membuka tabir visual candoleng
TRANSCRIPT
MEMBUKA TABIR VISUAL CANDOLENG-DOLENG SEBAGAI PRAKTIK SUBKULTUR MUSIK DANGDUT DI
INDONESIA
KAJIAN VISUAL MEDIADiajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mata kuliah Kajian Visual Media
Dosen: Yuka Dian Narendra
Oleh
Sari Riantika Damayanti
209000056
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
JAKARTA 2012
P a g e | 1
INTRODUKSI
Dangdut merupakan salah satu aliran musik Indonesia yang multidimensi.
Dimensi tersebut antara lain mencakup estetik, artistik, sosial, ekonomi, bahkan politik.
Dimensi - dimensi ini hadir sebagai wujud representasi dari perilaku masyarakat
terutama pada kelompok yang menyangga eksistensi dangdut di Indonesia. Dalam hal
ini, dangdut menjadi situs istimewa yang mampu menjelaskan narasi tentang identitas
bangsa Indonesia dalam perjalanan kesejarahannya.
William Frederick menyatakan bahwa genre dangdut adalah prisma yang peka
dan berguna untuk memandang masyarakat Indonesia (Friederick, 1982). Sementara,
Andrew N. Weintraub juga berpendapat bahwa dangdut dapat mencerminkan keadaan
politik dan budaya nasional. Ia dikatakan dapat membantu membentuk gagasan tentang
kelas, gender, dan etnisitas di negara Indonesia sebagai praktik ekonomi, politik, dan
ideologinya sehingga kajian terhadap identitas bangsa Indonesia dapat ditinjau dari
diskursus mengenai dangdut. (Weintraub, 2012: 10)
Perkembangan musik dangdut yang diawali dengan fase yang disebut musik
dangdut klasik menjadi musik dangdut kontemporer atau modern menandai bahwa
realitas kekinian dari musik dangdut tidak hanya milik golongan atau kelas tertentu,
tetapi telah merambah ke ruang publik yang lebih luas. Dangdut yang sekitar tahun
1970-an dianggap musik kaum muda urban, kini menjadi bagian penting dan
menguntungkan bagi industri rekaman musik, film, video, pertunjukkan di TV, tabloid
dan nada sambung telepon genggam. Oleh karena itu, dangdut dapat dikatakan sebagai
budaya populer di Indonesia.
Saat ini, dangdut sebagai karya seni musik Indonesia juga tidak luput dari
standarisasi kapital baik pada bangunan musik, struktur lagu, maupun tema liriknya
yang lebih banyak mengeksploitasi ke persoalan cinta dalam ruang sempit hingga
pengumbaran libido cinta atau seksualitas, bahkan kini praktik protitusi dan/atau
pornoaksi pun semakin marak terjadi di dunia dangdut melalui tren goyang tubuh yang
sekarang lebih condong ke arah erotisme.
Candoleng-doleng adalah salah satu sampel subkultur dangdut yang
mengedepankan unsur-unsur erotisme dalam penampilannya. Candoleng-doleng
menjadi hiburan masyarakat khususnya di daerah Sulawesi Selatan seperti Pinrang,
P a g e | 2
Sidrap, Makasar dan seterusnya. Penyanyi elekton1
yang menyanyi sambil melakukan tarian erotis ini
menerima bayaran dalam bentuk saweran2 yang
diselipkan oleh penonton ke pakaian dalam yang
mereka kenakan. Para biduan –penyanyi / penari yang
terdiri dari perempuan belia hingga setengah baya-
diiringi pemain keyboard berpakaian dengan hanya
menggunakan bra, cawat, sepatu bot setinggi lutut dan
rok mini. Sambil bernyanyi, mereka menggeliat dan
menggoyang pinggulnya maju dan mundur lalu
memutar. Kemudian, mereka menggesek-gesekkan
tubuhnya di tiang penyangga tenda di panggung atau di
tubuh teman sesamanya lalu membuka busana perlahan
– lahan dilanjutkan dengan melakukan auto-erotika
atau yang familiar disebut dengan mansturbasi. (Lihat Gambar 1)
Candoleng – doleng diiringi dengan hentakan musik house dangdut, kemudian
para perempuan ini meliuk - liuk di atas panggung. Namun jarang sekali terdengar
nyanyian dari mulut mereka. Mereka justru lebih sering mengumbar desahan-desahan,
seolah seperti sedang berhubungan intim. Semakin lama goyangan mereka semakin
brutal. Mereka berjoget-joget sambil membuka pakaian. Pada menit berikutnya adegan
demi adegan seronok mereka suguhkan. Tak hanya bapak-bapak dan remaja yang
menyaksikan hiburan ini, anak - anak di bawah usia 14 (empat belas) tahun pun ikut
menyaksikan. Pertunjukkan ini sering dijumpai pada acara pernikahan di daerah
provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat setempat menyebutnya Candoleng – doleng.
Dalam Bahasa Indonesia, kata Candoleng – doleng dalam bentuk tunggal dapat
berarti “bergelantungan atau terjuntai” sedangkan dalam bentuk jamaknya berarti
“tergantung – gantung atau terjuntai-juntai”. Pada penggunaan bahasa Bugis sehari-hari
1 Juru musik yang mengiringi pertunjukkan dangdut. Di pulau Jawa dan Sumatra disebut Organ Tunggal, di Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Bugis Makassar Organ Tunggal disebut Elekton (penyebutan sehari-hari diambil dari kata Electone dalam bahasa Inggris). Lihat artikel mengenai "Candoleng-doleng, Suguhan Erotis di Sidrap Marak” diakses dari http://regional.kompas.com/ pada 22 Mei 20122 Istilah "saweran" umum nya populer di kalangan para penggemar musik dangdut. Saweran adalah pemberian tip yang dilakukan seorang penonton konser musik dangdut kepada seorang penyanyi / sinden atau pun biduan.
Gambar 1. Biduan Candoleng – doleng
P a g e | 3
baik makna tunggal dan jamak kata Candoleng-doleng tidak bersifat konotatif sebagai
contoh engkaro pao candoleng-doleng yang diterjemahkan dengan ada mangga yang
bergelantungan. Pergeseran hingga penggunaan candoleng-doleng sebagai nama sebuah
pertunjukan erotis yang mempertontonkan aurat adalah ketika para pelaku dalam
pertunjukkan ini adalah semuanya wanita dan pada umumnya sering bertelanjang dada
sehingga mempertontonkan payudaranya. Payudara yang tampak bergelantungan
dipinjam istilahnya untuk pertunjukkan ini sehingga disebutlah Candoleng-doleng. Hal
ini serupa dengan pemikiran Ferdinand de Saussure mengenai tanda yang terdiri dari:
bunyi-bunyian dan gambar disebut signifier atau penanda serta signified atau konsep -
konsep dari bunyi-bunyian dan gambar. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan
tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan
tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang
mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier. Perbedaannya
adalah Saussure memaknai object sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur
tambahan dalam proses penandaan. Contohnya ketika orang menyebut kata “Anjing”
(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan atau
kekesalan (signified). Begitulah pemikiran Saussure tentang tanda yang terdiri dari
signifier dan signified. Menurutnya, mereka merupakan kesatuan yang tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006).
Musik adalah bagian dari formasi diskursif tentang bagaimana menjadi anggota
komunitas nasional. Formasi diskursif ini mengondisikan orang untuk membayangkan
dirinya sebagai bagian dari komunitas dalam arti yang didefinisikan oleh lembaga dan
aparat negara. Diskursus tentang dangdut dapat menempatkan produksi dan sirkulasi
makna tentang sebuah genre musik dalam kondisi sosial tertentu sebab dangdut sebagai
sistem representasi yang secara simbolis berperan dalam membedakan satu kelompok
sosial dengan kelompok sosial lainnya yakni melalui bunyi, teks, citra dan maknanya.
(Weintraub, 2012)
Dangdut pada awal kemunculannya menjadi parent culture dari adanya subkultur-
subkultur dangdut yang kemudian memecah aliran musik ini ke dalam beberapa jenis
lain seperti: (a) dangdut pada tahun 1960 – 1975 ikut diramaikan oleh beberapa nama di
antaranya: O Chandralela, Sinar Kemala, Klana Ria, Pancaran Muda, Purnama Chandra
Ieka, Soneta dan juga Rhoma Irama serta Elvy Sukaesi, Muchsin dan Mansyur, (b) pada
P a g e | 4
tahun 1990 – 2000 yaitu Dangdut Standar yang diramaikan oleh penyanyi dangdut
seperti Meggy Z, Mega M, Caca, Ikke Nurjanah, Leo Waldy, Nais Larasati, Iis Arisha,
dan Sheilawati, (c) Disco Dangdut yang diramaikan oleh penyanyi dangdut seperti
Jeffry Bule, Nini Carlina, Aty Adyatie, Linda Carella, (d) Pop Dangdut yang
diramaikan oleh artis dangdut seperti Camelia Malik, Itje Tresnawati, dan Vetty Vera,
(e) Dangdut Mandarin diramaikan oleh Anis Marselia dan Merry Andani, (f) Dangdut
Daerah seperti Evi Tamala dan Nur Afni Octavia, (g) Rock Dangdut oleh Rhoma
Irama, Mara Karma dan Nano Romansyah hingga sekarang yang dikenal dengan (h)
Korean-Dangdut atau K-Dut seperti Ayu Ting-Ting. 3Menurut Hebdige, subkultur
merupakan bagian dari kultur atau kebudayaan, perilaku dan keyakinan yang mereka
anut biasanya berlainan dengan wilayah kultur dominan di mana mereka terdapat di
dalam kultur dominan tersebut. Pada awalnya, subkultur merupakan budaya perlawanan
oleh sekelompok orang yang terhadap sistem kebiasaan yang diotoriterkan. Subkultur
adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk
berdasarkan usia dan kelas. Secara tidak langsung sebuah subkultur melontarkan
perlawanan terhadap hegemoni di dalam suatu masyarakat. (Hebdige, 1999)
Candoleng-doleng dapat dikatakan sebagai subkultur budaya dangdut di Indonesia
sebab Ia menonjolkan erotisme yang berbeda dengan konsep awal musik dangdut
Indonesia pada era 1930-an seperti Orkes Gambus dan Orkes Melayu.
Makalah ini kan membahas bagaimana representasi visual dari subkultur
kebudayaan populer di Indonesia dalam mengartikulasikan identitas melalui berbagai
praktek subkultur. Fenomena yang akan diangkat adalah tentang pertunjukkan dangdut
erotis, Candoleng – doleng. Subkultur dangdut ini akan dibantu dengan menggunakan
pemikiran Hebdige dan Paul du Gay untuk menjelaskan bagaimana representasi visual
dari Candoleng – doleng ini dalam praktiknya.
PEMBAHASAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DANGDUT DI INDONESIA
Pada awal kemunculannya, musik dangdut sebenarnya diperuntukkan untuk
semua kalangan dari semua strata ekonomi dan sosial. Ia menjadi sangat akrab di telinga
seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan atas, kelompok - kelompok elit atau
3 Lih. Nizar dan Suherman. 1994. Dangdut Sebuah Perjalanan. Citra, 20-26 Juni, hlm 2
P a g e | 5
penguasa hingga masyarakat pinggiran. Ia dipopulerkan oleh penghibur terkenal di
Indonesia, sejak periode pasca Soekarno, yaitu antara tahun 1975-1981 sehingga
dangdut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. (Ibrahim, 1997)
Hal tersebut menjadikan dangdut sebagai identitas kultural bagi masyarakat
Indonesia. Namun seiring perkembangannya musik dangdut mendapat stereotip sebagai
musik kaum marjinal atau pinggiran dan kelompok kelas ekonomi bawah.
Musik dangdut adalah perpaduan antara alat musik Indonesia, Arab, India, dan
Barat yang dimainkan bersama-sama. Kemudian seiring berjalannya waktu, harmoni
musik ini dipengaruhi oleh orkestra barat serta irama samba dan rumba. Pengaruh itu
akhirnya membawa musik dangdut masuk ke dalam tradisi melayu yang berkembang di
daerah yang jauh dari ibu kota dan merupakan tempat tinggal para musisi dan kritikus
musik, terutama di daerah Padang dan Medan.
Dalam tulisan Frederick dalam (Ibrahim, 1997: 236) dijelaskan bahwa istilah
dangdut muncul sekitar tahun 1972-1973. Nama ”Dangdut” diambil dari istilah ejekan
yang muncul dari bunyi gendang yaitu dang dan dut. Semangat sosial dan alat musik
dangdut bermula dari periode awal kolonial. Ketika itu dipadukan antara alat musik
Indonesia, Arab, dan Barat yang dimainkan bersama-sama.dalam Tanjidor. Yaitu orkes
kecil yang dimainkan sambil berjalan (khas Betawi). Kemudian sepanjang abad ke- 19
pengaruh-pengaruh luar juga diserap. Menjelang tahun 1820, Ansambel Cina Betawi
yang dikenal dengan nama Gambang Kromong muncul dan dipadukan dengan alat
musik dan melodi Cina, Sunda, Maluku, dan Portugis yang kemudian dikenal dengan
sebutan Keroncong. Tetapi memasuki awal abad ke-20 jenis musik ini mendapat
reputasi yang tidak baik. Lalu, para pemain dan penyanyi keroncong pun akhirnya
banyak yag memutuskan untuk berkelana di kota-kota di Pulau Jawa. Di beberapa
daerah mereka mengasosiasikan dirinya dengan dunia Stamboel dan bentuk drama
populer kota yang sedang naik daun. Para golongan kelas atas mengganggap bahwa
jenis musik ini sebagai produk buruk yang berasal dari kehidupan kampung.
Tetapi pada tahun 1920, orang-orang Indonesia yang mengakui kepiawaian
keroncong dalam tatanan kolonial mulai lebih terbuka dengan keroncong, meskipun
mereka tetap menganggap bahwa musik keroncong merupakan musik kampungan dan
secara emosional tidal disukai serta bersifat egaliter. Kemudian pada tahun 1930-an
P a g e | 6
yakni setelah datangnya radio, piringan hitam dan film, musik keroncong berada dalam
tahap transisi penting.
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya
pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga
bentuk pemasarannya. Singkatnya pada tahun 1970-an sampai1980-an asimilasi lagu
melayu menjadi musik dangdut menjadi identik dengan musik Oma Irama (sekarang
dikenal dengan H. Rhoma Irama. Hal ini dikarenakan Oma Irama-lah yang
mengkombinasikan musik melayu dengan musik rock yang populer pada tahu 1970-an.
Dan pada saat tu mulailah musik melayu disebut dengan musik dangdut, karena
dominasi arena diambil alih oleh ketimpung yang bunyinya dapat diatur dengan tangan
sehingga dapat berbunyi dang-d. (Bungin, 2005: 96)
Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik
lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Aliran Musik Dangdut yang merupakan seni kontemporer terus berkembang dan
berkembang, pada awal mulanya Irama Dangdut Identik dengan Seni Musik kalangan
Kelas Bawah dan memang aliran seni Musik Dangdut ini merupakan cerminan dari
aspirasi dari kalangan Masyarakat kelas bawah yang mempunyai ciri khas kelugasan
dan Kesederhaan nya.
Karena sifat kontemporernya maka di awal tahun 1980-an, musik dangdut
berinteraksi dengan aliran Seni musik lainnya yaitu dengan masuknya aliran musik pop,
Rock dan Disco atau House Music. Selain masuknya unsur seni musik modern, musik
dangdut juga mulai bersenyawa dengan irama musik tradisional seperti gamelan,
Jaranan, Jaipongan dan musik tradisional lainnya.
Maka pada jaman 1990 mulai lah era baru dimana musik dangdut yang banyak
dipengaruhi musik tradisional yaitu irama gamelan yang identik dengan kesenian Musik
asli budaya jawa. Pada masa ini musik dangdut mulai berasimilasi dengan seni gamelan
dan terbentuklah suatu aliran musik baru yaitu “Musik Dangdut Campursari” atau
Dangdut Campursari. Meski musik dangdut yang lebih original juga masih tetap ada
pada masa tersebut.
Pada tahun 2000-an seiring dengan kejenuhan musik dangdut yang original maka
di awal era ini para musisi di wilayah Jawa Timur di daerah pesisir Pantura mulai
mengembangkan jenis musik dangdut baru yaitu seni musik dangdut koplo. Dangdut
P a g e | 7
Koplo ini merupakan mutasi dari musik dangdut setelah era dangdut campursari yang
bertambah kental irama tradisionalnya dan dengan ditambah dengan masuknya Unsur
seni musik kendang kempul yang merupakan seni musik dari daerah Banyuwangi, Jawa
Timur dan irama tradisional lainya seperti Jaranan dan Gamelan. Berkat kreatifitas para
musisi dangdut Jawa Timur ini lah sampai saat ini musik dangdut koplo yang Identik
dengan gaya jingkrak pada goyangan penyanyi dan musiknya ini saat ini sangat
kondang dan banyak digandrungi segala kalangan masyarakat Indonesia.
Pada era musik dangdut koplo inilah mulai memacu tumbuhnya grup musik
dangdut yang lebih terkenal dengan sebutan OM atau Orkes Melayu antara lain OM.
Sera , OM Monata, OM Palapa, OM New Palapa, OM RGS dan OM lainnya yang
mengibarkan aliran musik dangdut koplo di nusantara ini.
Saat ini, musik dangdut sudah menjangkau segala kalangan Masyarakat dari
kalangan kelas bawah sampai kalangan menengah hingga kelas atas. Musik dangdut pun
sudah merambah di dunia diskotik yang sudah memutar musik dangdut sebagai musik
wajibnya, Sehingga sudah tidak asing lagi jika saat ini banyak stasiun radio yang
menamakan dirinya sebagai stasiun radio dangdut bahkan stasiun televisi dangdut
Indonesia, karena kecintaan masyarakat dengan irama musik dangdut ini. Maka tidak
bisa dipungkiri irama musik dangdut ini bisa dibanggakan menjadi musik asli
Indonesia. Akhirnya musik asli dangdut Indoensia sudah merambah ke dunia
internasional antara lain negara Jepang yang mulai gandrung sehingga membawa
kebanggaan kita akan aliran music yang menjadi salah satu ikon bangsa ini.
B. DANGDUT SEBAGAI KEBUDAYAAN POPULER DI INDONESIA
Ketika budaya diartikan dalam istilah populer maka akan berkaitan dengan tema
analisa “posmodernisme”. Budaya tidak lagi berasal dari khalayak tapi berpusat pada
kata dengan menggunakan konteks budaya. Makna dan ideologi boleh saja tidak
semenarik dulu dalam dominasi tapi bukan berarti “tidak bisa digunakan lagi”. Dengan
kata lain, budaya populer boleh saja berada dalam ranah posmodernisme tapi bukan
berarti tidak memiliki makna. Kesalahan ditegaskan pada penggunaan istilah oleh para
kaum kapitalis untuk memunculkan sebuah budaya dominan sehingga bentuk
perlawanan terhadap dominasi tersebut pasti akan memiliki karakter posmodernisme
kosong dan penanaman makna. (Scannell, 1994)`
P a g e | 8
Para pakar melihat bahwa realitas dibangun di dalam budaya popular, dan di
waktu yang sama budaya popular dianggap sebagai realitas. Budaya popular bukan
hanya mengenai orang-orang, bahasa, fesyen (fashion), atau bahkan kebutuhan hidup.
Budaya popular adalah akar dari nilai-nilai komersial. Budaya popular menanggung
beban dari sesuatu yang secara komersial memiliki nilai untuk diproduksi. Sebagai
hasilnya, budaya popular mengidentifikasikan masyarakat sebagai sebuah kesatuanhal
ini bersifat ideologis artinya budaya popular mengidentifikasikan seseorang menjadi
bagian dari masyarakat popular atau tidak. Derivasinya adalah budaya popular
menetapkan standarisasi dan mengasosiasikan sikap atau tingkah laku sebagai yang
“normal” atau yang “menyimpang” menurut perspektifnya. Mereka yang turut dalam
lokomotif budaya popular akan dianggap “normal”, sebaliknya yang tidak mengikuti
budaya popular atau bahkan menentangnya akan dianggap “menyimpang”.
Dalam Bungin (2005) dijelaskan tentang gagasan budaya populer oleh Ben Agger
dapat dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu:
1. Budaya dibangun berdasarkan kesenangan tapi tidak substansial dan
mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.
2. Kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional.
3. Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Max
kapitalis
4. Kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.
Berkaitan dengan gagasan Ben Agger tersebut dapat diketahui bagaimana makna
musik dangdut dalam budaya populer dalam masyarakat Indonesia. Di bawah kendali
industri budaya popular pola budaya musik Indonesia mengalami pergeseran
determinasi bangunan musiknya. Musik dangdut sebagai karya seni Indonesia, saat ini
juga tidak luput mengalami perekayasaan standarisasi baik bangunan musiknya, struktur
lagunya, maupun pembakuan tema liriknya yang lebih banyak mengeksploitasi ke
persoalan cinta dalam ruang sempit, mulai dari tematik ilusi cinta, ekstasi cinta sampai
pengumbaran libido cinta atau seksualitas, bahkan kini dunia perselingkuhan pun makin
marak merambah di dunia musik dangdut. Apalagi penambahan goyang tubuh yang
semakin jauh lebih condong ke arah erotisme dan pornoaksi.
Seni sebagai perwujudan dari ekspresi batin yang selalu dikaitkan dengan estetika
telah mengalami pergeseran nilai, direduksi dan standarisasi sedemikan rupa sehingga
P a g e | 9
menjadikan dirinya tak lebih dari sekadar sebagai objek kepentingan komoditas. Musik
sebagai karya seni yang diharapkan menjadi pengkayaan batin, pencerahan budi,
sekaligus sebagai pecerminan yang mewakili watak, karakter, citra dan kepribadian
suatu masyarakat telah mengalami pergeseran nilai. Akankah pergeseran nilai,
pergeseran estetika dalam musik dangdut ini mewakili cerminan riil kondisi masyarakat
kita? Atau jangan-jangan justru kita yang sudah diperdaya oleh penyusupan propaganda
ideologi kapitalisme global yang secara tersembunyi menggerogoti kepribadian dan jati
diri kita sebagai bangsa.
C. PRAKTIK CANDOLENG-DOLENG SEBAGAI SUBKULTUR DANGDUT DI
INDONESIA
Dangdut seringkali dikerdilkan sebagai bentuk rendah dari budaya populer
Indonesia (Weintraub, 2012). Diskursus mengenai dangdut di tanah air turut mengiringi
perjalanan sejarah Indonesia. Diskursus mengenai dangdut mampu menjelaskan narasi
tentang identitas bangsa Indonesia secara lebih luas termasuk tentang kelas, gender,
etnisitas, maupun bangsa sehingga dangdut dapat dianggap sebagai tanda simbolis
untuk menciptakan apa yang disebut dengan Bourdieu sebagai distingsi atau pembeda
(Bourdieu, 1982). William Frederick mengatakan bahwa:
Dangdut as the style of music here defended by contemporary Indonesia’s best known popular entertainer, has been of enormous influence in much of the post Soekarno period, especially the years 1975 – 1981. Aimed directly of youth, it is dominated by a pulsating dance rhytm, and a populist message, with both islamic and secular variants. It has given Indonesian Islam a new kind of public identity.
Subkultur sering diartikan sebagai sebuah perlawanan terhadap hegemoni di
dalam suatu masyarakat dengan menciptakan gaya sendiri. Hal tersebut dalam fashion,
terkadang subkultur melakukan perlawanan terhadap fashion itu sendiri, namun
terkadang subkultur tidak menentang terhadap hegemoni, mereka hanya ingin berbeda
dan hanya ingin menunjukkan identitas atau keberadaan mereka. (Hebdige, 1999 : 204).
Subkultur adalah bagian dari kultur atau kebudayaan, biasanya istilah Subkultur
ini digunakan dalam ilmu sosiologi, antropologi, dan studi kebudayaan untuk
mendefinisikan sebagai sekumpulan orang yang mempunyai sebuah perilaku dan
P a g e | 10
keyakinan yang berlainan dengan wilayah kultur dominan dimana mereka termasuk di
dalam dominan tersebut. Selain itu subkultur dapat ditafsirkan sebagai “organisme
independen yang berfungsi di luar konteks sosial, politik dan ekonomi yang lebih
besar”. (Hebdige, 1999 : 148)
Setiap subkultur mendefinisikan diri dengan simbol- simbol tertentu atau fashion
yang berbeda. Pada akhirnya, subkultur ini akan mengartikulasikan identitas melalui
praktik – praktik untuk menandai keberadaannya. Fashion sendiri sering dinggap
sebagai sesuatu yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakatkapitalis, namun
dalam gaya atau fashion dalam subkultur sarat dengan sebuah perlawanan terhadap
gaya yang selama ini telah ada karena mereka menganggap bahwa gaya yang selama ini
ada sangat otoriter dan kaku. Namun terkadang subkultur tidak melawan akan hegemoni
tersebut, mereka hanya ingin tampil beda atau hanya untuk menunjukkan identitas atau
keberadaan mereka. “Maksud di balik gaya semua subkultur tontonan adalah
mengkomunikasikan perbedaan (sambil mengkomunikasikan identitas kelompok).
(Hebdige, 1999 : 204)
Selanjutnya, subkultur diidentikan dengan anak muda, karena anak muda selalu
ekspresif dalam merepresentasikan gaya mereka. Subkultur anak muda saat ini semakin
berkembang, hal ini disebabkan oleh bertambahnya media massa yang memberi sebuah
pengaruh, perubahan susunan keluarga. Menurut Cohen fungsi laten dari subkultur
adalah untuk ‘mengekspresikan’ dan menanggapi, kendati secara magis, kontradiksi
yang tetap tersembunyi atau tidak terselesaikan di dalam kultur orang tua. (Cohen dalam
Hebdige, 1999 : 150)
Berdasarkan beberapa konsep subkultur yang dikemukakan di atas, dangdut
sendiri sebagai kebudayaan populer Indonesia kemudian memiliki beberapa subkultur
seiring dengan perkembangan zamannya. Subkultur ini muncul ketika kita melihat
hadirnya beberapa jenis aliran dangdut yang berbeda dan memiliki karakter khas
masing-masing. Sebagai contoh Rock Dangdut yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama
dkk yang menawarkan tema-tema tentang kemiskinan, agama, kegagalan dalam
keluarga dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, dangdut pun
semakin mengalami perubahan, karakternya tidak lagi mengedepankan tema dari teks
lagu yang dinyanyikan seperti era dangdut sebelumnya. Dangdut dihiasi dengan
pergulatan mengenai tubuh erotis yang menyertainya. Dangdut kemudian lebih identik
P a g e | 11
dengan goyangan – goyangan seksi dan panas yang mampu membangkitkan gairah
seksual laki – laki. Candoleng – doleng hadir sebagai salah satu penanda adanya jenis
dangdut yang demikian. Ia hadir dengan karakter khasnya sendiri serta mengangkat isu
yang berbeda yakni menawarkan rangsangan tubuh bagi kaum laki – laki. Tentunya hal
ini menjadi kontroversial. Akan tetapi dalam pembahasan ini, permasalahan yang
ditengahkan adalah mengenai perbedaan candoleng –doleng dengan genre dangdut
lainnya yang tampak melalui isu – isu yang ditonjolkan serta istilah yang diangkat
yakni membawa unsur kedaerahan khusunya daerah Sulawesi Selatan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa candoleng – doleng ini merupakan praktik subkultural yang
tumbuh hanya pada masyarakat lokat Sulawesi Selatan saja. Praktik-praktik subkultural
ini bisa mencerminkan keinginan kolektif masyarakat lokal Sulawesi Selatan untuk
melarikan diri dari kepenatan dan tekanan hidup sehari – hari.
D. MEMBUKA TABIR VISUAL CANDOLENG-DOLENG MELALUI ANALISA
SIRKUIT BUDAYA PAUL DU GAY
Dalam setiap penampilannya, dangdut sering identik dengan goyangan. Goyang
dangdut ini adalah bentuk parelisasi antara penyanyi dengan pertunjukkan musiknya
sebab adanya kolaborasi antara lagu dan musik dan tarian mencerminkan bentuk
harmonisasi suatu pertunjukkan seni musik. (Ida, 2003)
Tubuh perempuan dianggap mengandung sensualitas yang mengarah pada
erotisme dan menggugah birahi laki – laki. Terkait dengan goyangan erotis ini, maka
yang dilakukan para penyanyi dangdut perempuan dianggap sebagai pornoaksi. Dalam
hal ini, dangdut menjadi ruang untuk menentukkan posisi – posisi yang sangat
bertentangan perihal makna tubuh perempuan. Bagi sebagian besar kalangan, tarian
erotis perempuan adalah komodifikasi dan maksiat, sementara bagi kalangan lainnya,
tarian ini merupakan peluang ekonomi dan kebebasan ekspresi. Dalam kacamata
feminis, jelas hal semacam ini dipertentangkan terutama terkain dengan otoritas
perempuan dalam menentukkan ekspresinya dan juga konteks perempuan yang selalu
dijadikan objek seksual oleh kaum laki – laki. Bartky mengatakan “woman’s body is an
ornamented surfaced too and there is much dicipline involved in this production as well
(Ida, 2003).” Ini berarti bahwa tubuh perempuan dianggap sebuah ornamen yang harus
sangat diperhatikan, karena dia adalah objek yang menonjol.
P a g e | 12
Praktik subkultural dari candoleng – doleng tidak hanya dapat dianalisa melalui
goyangan erotis yang menjadi karakter khasnya. Namun juga dapat melalui aspek –
aspek visual lainnya seperti gaya vokal, fasyen, irama, harmoni, melodi dan bentuk.
Menurut Paul du Gay terdapat 5 (lima) hal penting dalam proses kultural (cultural
process) yang dapat diidentifikasi melalui representasi, identitas, produksi, konsumsi
dan regulasi yang membentuk pola seperti sirkuit sehingga disebut dengan sirkuit
budaya. Sirkuit budaya ini dapat dianalisa melalui teks-teks budaya atau artefaknya.
Untuk dapat menelusuri makna dan representasi yang tersirat dalam dangdut erotis
Candoleng – doleng, maka diperlukan suatu pemodelan layaknya yang dibuat oleh Paul
du Gay dan Stuart Hall yang kemudian kita kenal dengan sebutan Sirkuit Budaya.
Sirkuit budaya ini dimaksudkan untuk menunjukkan secara jelas relasi dan koneksi
antar elemen budaya dan representasinya yang kita bisa sebut sebagai share meaning.
(Lihat Gambar 2)
Gambar 2. The Circuit of Culture, from Du Gay, 1997, Production of Culture / Cultures of Production
Representasi, produksi (cultural production), dan konsumsi (cultural
consumption) adalah mencakup aspek visual dari suatu budaya atau yang dapat
diinderakan. Dalam kasus Candoleng – doleng, dapat dianalisis melalui gaya vokal, teks
lagu, melodi, irama dan harmoni. Representasi adalah produksi makna terhadap konsep
yang terdapat dalam pola pikir kita melalui bahasa. Makna diproduksi dan
dipertukarkan antara anggota dari budaya tersebut yang terlibat melalui praktik bahasa
dari tanda dan gambar yang ditampilkan untuk merepresentasikan sesuatu. Seperti yang
P a g e | 13
telah diungkapkan di atas, Candoleng – doleng memiliki beberapa struktur visual
diantaranya Ia diiringi dengan hentakan musik house dangdut yaitu musik dangdut
dengan hentakan keras (up beat), kemudian para penyanyi / penari yang notabene
adalah perempuan ini meliuk - liuk di atas panggung. Namun jarang sekali terdengar
nyanyian dari mulut mereka. Mereka justru lebih sering mengumbar desahan-desahan,
seolah seperti sedang berhubungan intim. Semakin lama goyangan mereka semakin
brutal. Mereka berjoget-joget sambil membuka pakaian. Pada menit berikutnya adegan
demi adegan seronok mereka suguhkan. Tak hanya bapak-bapak dan remaja yang
menyaksikan hiburan ini, anak - anak di bawah usia 14 (empat belas) tahun pun ikut
menyaksikan. Pertunjukkan ini sering dijumpai pada acara pernikahan di daerah
provinsi Sulawesi Selatan.
Identitas mengungkapkan tentang selera dan simbol budaya suatu komunitas
tertentu. Identitas merupakan salah satu yang menjadikan sebuah ciri khas seseorang.
Identitas tidak dapat datang atau tercipta dengan sendirinya, melainkan identitas
diciptakan atau dibentuk dari seseorang atau kelompok tertentu.
Menurut Giddens identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita
sebagai pribadi. Tentu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-
sifat yang kita miliki; ini bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda
yang bisa kita tunjuk. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang
kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju sesuatu yang datang
kemudian (Barker, 2005 : 171).
Identitas dapat dibentuk melalui representasi – representasi yang hadir dari pola
produksi hingga konsumsi budaya. Berkaitan dengan musik dangdut, maka dangdut pun
dapat dikategorikan oleh dua hal yang dapat membantu identifikasi mengenai identitas
dangdut tersebut termasuk dapal realitas subkultur yang mana yakni identitas nasional
populer dan identitas regional dan / atau identitas etnis.
Musik Indonesia dielaborasi oelh Hatch (1985) dan Yampolsky (1991) sebagai
penanda identitas lokal -identitas regional dan identitas etnis. Genre musik nasional
populer Indonesia dicirikan oleh kriteria berikut: (1) dinyanyikan dalam bahasa
nasional, (2). unsur - unsur musikalnya baik instrumen, warna suara, organisasi
melodik, ritmik dan formal berlandaskan model Barat atau sekurang - kurangnya tidak
diasosiasikan dengan kelompok etnis tertentu, dan (3) rekaman musiknya diproduksi di
P a g e | 14
jakarta oelh sekelompok produser pusat dan beredar dalam jaringan media nasional. Di
pihak lain, musik populer lokal dicirikan oleh kriteria berikut: (1). dinyanyikan dalam
bahasa lokal, (2). memiliki unsur - unsur musikal pribumi, (3) diproduksi di studio
rekaman lokal untuk pasar lokal. (Weintraub, 2012)
Dalam kasus Candoleng – doleng maka dapat dikatakan bahwa ia masuk dalam
kategori identitas regional atau etnis populer yakni Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi
Selatan merupakan tempat tercipta dan berkembangnya Candoleng – doleng ini yang
juga dapat dibuktikan melalui istilahnya yang merupakan bahasa Bugis Makasar
( Sulawesi Selatan). Walaupun diantara beberapa lagu dinyanyikan di atas pentas oleh
para biduan candoleng – doleng adalah lagu – lagu dangdut nasional populer selain
lagu – lagu dengan bahasa lokal. Ini menandakan adanya perpaduan budaya antara
nasional dan regional atau yang juga dikenal dengan regionalitas nasional dalam musik
dangdut.
Kemudia, pada penjelasan mengenai regulasi dapat mencakup nilai - nilai, norma
- norma, hukum hingga agama yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi
perjalanan budaya. Penyanyi dangdut A. Rafiq mengatakan bahwa tindakan yang bisa
dikategorikan sebagai pornografi dan pornoaksi dinilai dari batasan agama, budaya, dan
adat istiadat daerah (Ida, 2003). Berdasarkan hal ini, candoleng - doleng telah
melampaui batasan regulasi antara etika dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa
dangdut kemudian mendapat batasan dan pengaruh terutama dari norma – norma, nilai –
nilai dan adat istiadat yang terdapat di Indonesia. Candoleng-Candoleng bisa diartikan
aksi erotis wanita yang mengumbar aurat dengan bertelanjang dada hingga bugil yang
diiringi sajian elekton. Dalam hal ini candoleng-doleng merupakan proses disosiatif
baik dalam bentuk persaingan (competition); kontravensi (contravention) dan;
pertentangan (conflict) pada pada interaksi sosial masyarakat. Melihat fenomena
candoleng-doleng dan bagaimana kontrol masyarakat lebih cenderung berkaitan dengan
Perspektif sosiologi yakni Interaksionis Simbolik. Streapteas produk pertunjukkan barat
yang menjelma menjadi candoleng-doleng bisa merupakan proses labelling. Dalam
proses labeling bahwa perilaku menyimpang merupakan produk dari pemahaman yang
dikeluarkan oleh suatu kelompok, dalam hal ini kegiatan candoleng-doleng sebagai
perilaku menyimpang dijadikan label sebagai streaptease. Walaupun kita tidak harus
bersifat absolutisme dalam melihat candoleng-doleng sebagai perilaku menyimpang,
P a g e | 15
sikap reaktif dalam proses pelabelan dapat memungkinkan hal ini, karena dengan
melihat saja , definisi dapat timbul akan arti candoleng-doleng yang bisa jadi menjadi
sebuah perilaku menyimpang di tengah masyarakat.
Candoleng-doleng sering dianggap dan dipandang hal yang biasa walaupun pada
lapisan masyarakat Bugis Makassar sangat kental dengan nilai-nilai religius dan ade’
(adat). Candoleng-doleng bisa menjadi salah satu proses yang mampu memberikan
dampak perubahan sosial dan kebudayaan, dan bagaimana pun tanggapan akan hal ini
bahwa candoleng-doleng diyakini memilik kadar pertentangan yang merupakan hal baru
yang menghancurkan nilai-nilai norma dan secara alamiah telah ditolak hanya
kemampuan untuk memulihkannya membutuhkan sebuah proses.
Proses interaksi adanya perubahan hal baru ini lebih terlihat karena faktor
perubahan sosial, ekonomi dan budaya dan kekhawatiran akan adanya maladjustment
yakni perubahan yang tak mampu disaring akan terjadi di dalam masyarakat. Akibat
terburuk akan menimbulkan anomibaru di tengah masyarakat karena apapun bentuknya
akan menjadi sebuah realitas nyata. Proses penyaluran akan hal ini akan memberikan
dampak disintegrasi sosial di tengah masyarakat. Apapun hal itu candoleng-doleng tidak
ingin akan terlihat atau menjadi bagian karakter pada kebudayaan yang ada.
KESIMPULAN
Dangdut adalah salah satu aliran musik yang berkembang di Indonesia. Ia
kemudian diidentikkan dengan selera musik kelas menengah ke bawah. Dangdut
sebagai musik kaum marjinal ini telah mengalami kemajuan ketika rejim kekuasaan
Orde Baru menggunakannya sebagai alat penarik massa pada saat kampanye politik.
Mereka juga dipolitisasi untuk bergabung menjadi partisan oleh partai politik terbesar
saat itu yaitu Golkar. ()
Popularitas dangdut yang menyebar ke seantero nusantara menunjukkan bahwa dangdut
dapat dikatakan sebagai budaya populer di Indonesia. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman, dangdut pun semakin berubah, berbagai jenis aliran tumbuh dan
berkembang. Konteks regional dan nasional pun semakin menguatkan posisi mereka
dalam memengaruhi budaya populer Indonesia ini sehingga dangdut kemudian terpecah
menjadi beberapa subkultur seperti Rock Dangdut, K-Dut ataupun Dangdut Erotis.
P a g e | 16
Makalah ini menjelaskan tentang bagaimana praktik subkultur Candoleng – doleng
yang mampu mengartikulasikan identitas mereka melalui representasi visual yang
dihadirkan dari pola produksi dan konsumsi budaya (cultural production and
consumption). Candoleng – doleng merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat
sekitar Sulawesi Selatan untuk hiburan dangdut yang seringkali disuguhkan pada pesta
– pesta pernikahan di sana. Candoleng – doleng ini sarat akan gerakan atau goyangan
erotis. Para biduan Candoleng – doleng ini melakukan gerakan maju mundur kemudian
memutar pada tiang – tiang penyangga panggung sambil menyanyi, kemudian mereka
membuka busana yang mereka kenakan satu per satu lalu melakukan auto-erotika di
atas panggung. Hiburan ini tidak hanya dihadiri oleh kalangan dewasa laki – laki
maupun perempuan, tapi juga anak – anak yang kira – kira berusia kurang dari 14
(empat belas) tahun. Mereka menyaksikannya secara sengaja dan merespon para
penyanyi / penari Candoleng – doleng ini dengan uang yang disebut saweran dan
diselipkan pada pakaian dalam biduan. Kemudian, tekanan akan norma – norma, nilai-
nilai dan budaya dalam masyarakat Indonesia merupakan wujud regulasi yang
seharusnya dapat mepengaruhi praktik subkultur ini. Namun, Candoleng – doleng ini
terlihat melampaui regulasi yang ada. Di Sulawesi Selatan sendiri terdapat budaya siri
pese atau budaya malu yang sangat dijunjung tinggi. Namun, regulasi semacam ini
nampaknya tidak banyak dipertimbangkan dalam produksi, konsumsi, representasi,
maupun identitas Candoleng – doleng. Mereka lebih memilih untuk membuat
regulasinya sendiri yaitu kebebasan yang tanpa dibatasi oleh sesuatu apa pun dengan
tujuan untuk menjadikan Candoleng – doleng ini sebagai sarana hiburan eskapisme
yang membantu masyarakat terutama penikmat Candoleng – doleng untuk keluar dari
kepenatan akan rutinitas dan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari –
hari. Untuk itu, Candoleng – doleng masih tetap bertahan hingga sekarang ini walau
dengan beberapa kontroversi.
Daftar Pustaka
BIBLIOGRAPHY Barker, C. (2000). Cultural studies: Theory and Practice. London: Sage Publication.
P a g e | 17
Bungin, B. (2005). Pornomedia; Sosiologi Media, konstruksi Sosial Teknologi telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Pranada Media.
Frederick, W. H. (1982). Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture . Indonesia , 103-130.
Gay, P. d. (1997). Doing Cultural Studies: THe Story of The Sony Walkman Milton Keynes. New York: Sage.
Hebdige, D. (1989). Subculture: The Meaning of Style. London and New York: Routledge.
Hoed, B. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, R. (2003). Rachmah Ida. Jurnal Perempuan , 23 - 34.
Nizar. (1994). Dangdut Sebuah Perjalanan. Citra , 2.
Scannell, P. (1994). Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader. London: Sage Publication.
Sobur, A. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syamsudin, S. (2012, May 21). Regional Kompas. Retrieved May 22, 2012, from kompas.com: http://regional.kompas.com/
Weintraub, A. N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.