membedah tembang macapat
DESCRIPTION
jawaTRANSCRIPT
Membedah Tembang Macapat
8 Juli 2015 18:02 WIB Category: Budaya jawa, Pringgitan, Tradisional Dikunjungi: kali A+ / A-
Foto: travelblog
DULU, di pendidikan sekolah dasar, dalam pelajaran muatan lokal bahasa Jawa,
selalu diajarkan tembang-tembang warisan para sunan. Ada 11 tembang yang
masuk dalam kategori tembang cilik atau tembang macapat ini.
Tembang macapat relatif lebih mudah didendangkan. Sebab, aturan-aturan dalam
macapat lebih tak sekaku kakawin. Selain itu dalam tembang macapat, perbedaan
antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.
Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra
mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi
sajak akhir yang disebut guru lagu. Menurut pujangga Ranggawarsita, macapat
merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah “melagukan nada
keempat”. Namun ada pula yang mengartikan macapat sebagai maca papat-papat
(membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku
kata.
Adapun kesebelas tembang yang termasuk dalam tembang macapat yakni tembang
Pangkur, Maskumambang, Sinom, Asmaradana, Dandanggula, Durma, Mijil, Kinanthi,
Gambuh, Pocung dan Megatruh. Konon, setiap tembang memiliki maksud dan watak
tersendiri.
1. Mijil. Mijil bermakna lahir. Kelahiran seorang anak ke muka bumi merupakan hasil
olah spiritual dan jasmaniah antara laki-laki dan wanita. Tembang ini memiliki watak
prihatin dan memuat rasa lega.
2. Maskumambang. Maskumambang menggambarkan kebahagiaan orang tua
setelah lahir si jabang bayi. Tembang ini juga menggambarkan betapa takutnya
orang tua akan kehilangan anak yang disayangnya. Watak dari tembang ini adalah
ngeres, nelangsa.
3. Kinanthi. Kinanthi menggambarkan binaan dan bimbingan orang tua pada sang
anak, siang dan malam. Kinanthi bermakna dikanthi-kanthi (diarahkan dan
dibimbing) agar menjadi manusia sejati yang selalu menjaga bumi pertiwi. Watak
tembang ini adalah tresna, asih, dan seneng.
4. Sinom. Sinom bermakna “isih enom”. Dalam tembang ini digambarkan orang tua
yang selalu menjaga anaknya yang beranjak remaja agar tak salah langkah. Watak
tembang Sinom adalah grapyak.
5. Dandanggula. Pada tembang ini, anak yang memasuki usia remaja telah beranjak
dewasa. Ia mulai gemar berkelana dan mencoba hal-hal baru. Maka dalam tembang
ini dituliskan kehati-hatian untuk membimbing sang anak agar tetap berjalan di jalan
yang benar. Watak tembang Dandanggula adalah luwes, ngresepake.
6. Asmarandana. Asmarandana menggambarkan membuncahnya gejolak asmara
masa muda di tengah keharusan menggapai cita. Tembang ini berwatak kesengsem.
7. Gambuh. Tembang yang bermakna Gampang Nambuh ini menggambarkan sikap
angkuh serta acuh tak acuh. Tembang ini menjadi pepeling agar jangan menjadi
orang tinggi hati sebelum mampu meraih makna hidup sejati. Tembang ini berwatak
semanak, lucu, guyon.
8. Durma. Tembang ini dimaknai sebagai “mundurnya tata krama”. Pertengkaran
dan kekerasan memenuhi jagat raya. Maka selalu diingatkan agar eling dan
waspada. Tembang ini berwatak galak, nesu.
9. Pangkur. Pada tembang ini, sang anak yang dulu dilahirkan, mulai menyesal
akibat merenungi kekeliruan yang telah dilakukan pasa masa lampau. Tembang ini
berwatak nepsu kang prihatin.
10. Megatruh. Megatruh atau megat-ruh, menggambarkan putusnya nyawa dari
raga. Ajal datang sekonyong-konyong terkadang tanpa sempat untuk memperbaiki
diri. Oleh karena itu tembang ini berwatak getun, nglangut.
11. Pocung. Tembang Pocung bermakna orang yang telah mati kemudian dibungkus
kain kafan. Seluruh yang dimiliki di dunia sirna seiring terputusnya nyawa dari raga.