memanfaatkan kekuatan pasar untuk perikanan skala kecil...
TRANSCRIPT
Memanfaatkan Kekuatan Pasar
untuk Perikanan Skala Kecil:
Dokumen Panduan Berdasarkan Pengalaman
dalam Perikanan Tuna Skala Kecil
di Indonesia
2017
Daftar Isi 1. Pendahuluan .............................................................................. Error! Bookmark not defined.
1.1. Permintaan Global atas Makanan Laut .................................................................................. 1
1.2. Kekuatan Pasar sebagai Alternatif Undang-undang .............................................................. 1
1.3. Skema Sertifikasi, Kekuatan Konsumen, dan Pengecer .......................................................... 2
1.4. Kerangka Dokumen ................................................................................................................ 3
2. Mengembangkan FIP menuju Sertifikasi MSC .................................................................... 4
3. Sertifikasi Fair Trade .................................................................................................................. 7
4. Ketertelusuran ............................................................................................................................. 9
4.1. Meningkatkan Informasi dan Ketertelusuran Perikanan Tuna (IFITT) .............................. 10
4.2. Inovasi Teknologi menuju Keberlanjutan dalam Perikanan Tuna di Indonesia .................. 13
5. Memanfaatkan Kekuatan Pasar untuk Menarget Pasar Domestik ................................. 14
6. Kesimpulan ................................................................................................................................ 15
Daftar Referensi ................................................................................ Error! Bookmark not defined.
1
1. Pendahuluan
1.1. Permintaan Global atas Makanan Laut
Permintaan global atas makanan laut meningkat dan memberikan tekanan penangkapan
pada stok ikan untuk memenuhi kebutuhan populasi manusia yang terus bertambah.
Sementara itu, banyak stok ikan mengalami eksploitasi berlebihan dan tekanan perikanan
pada stok ikan perlu dikurangi untuk lebih jauh mencegah eksploitasi berlebihan, serta
mencegah naiknya harga makanan laut akibat kelangkaan spesies ikan liar (Tveteras et al.,
2012). Pasar konsumen yang besar di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan China kini sangat
bergantung pada impor, karena stok ikan di perairan mereka telah berkurang dan
permintaan atas spesies tropis, seperti tuna, meningkat. China kini merupakan konsumen
produk makanan laut yang terbesar, dengan jumlah produk impor meningkat (Villasante et
al., 2013). Volume impor makanan laut Amerika Serikat meningkat 90% (Helvey et al., 2017)
dan hampir 20% impor makanan Uni Eropa pada tahun 2015 berupa makanan laut yang
nilainya ditaksir 22,3 miliar euro (EUMOFA, 2016). Dalam setiap kasus, proporsi besar
produk impor tersebut berasal dari perikanan negara berkembang, dengan meningkatnya
permintaan atas produk seperti tuna, todak (swordfish), dan udang karena berubahnya
preferensi konsumen (Helvey et al., 2017).
1.2. Kekuatan Pasar sebagai Alternatif Undang-undang
Undang-undang internasional dan nasional ditetapkan dengan tujuan untuk membatasi,
mengontrol, dan meregulasi usaha perikanan. Bagaimanapun, undang-undang bergantung
pada penegakan hukum dan pengawasan yang memadai, serta kemauan pemerintah
setempat untuk menyetujui dan menerapkan regulasi. Satu lagi pendekatan untuk membuat
perubahan dalam industri perikanan adalah melalui pasar, yaitu melalui daya beli
konsumen. Inisiatif berbasis pasar ini berbeda dengan undang-undang konvensional (Litz,
1994; Stavins, 1995) yang memberikan restriksi pada usaha perikanan, menggunakan
hukuman untuk mencegah pelanggaran, dan dapat menghabiskan biaya penegakan hukum
yang besar. Konsep inisiatif pasar adalah mengubah status quo perilaku konsumen serta
sistem penawaran dan permintaan. Dengan demikian, inisiatif pasar dapat disebut sebagai
‘kekuatan’, menimbulkan perubahan di pasar. Kekuatan pasar pada umumnya
dideskripsikan sebagai
Kekuatan yang dapat mempengaruhi harga dan permintaan atas suatu produk, bebas dari
pengaruh pemerintah, berbeda dengan kebijakan berbasis pasar, serta cenderung berasal dari
perilaku konsumen dan penjual (Business Dictionary, 2017; Cambridge Dictionary, 2017).
Kekuatan pasar dapat berupa skema sertifikasi, kampanye selebriti, atau panduan
jenis-jenis ikan. Contoh kampanye yang sangat sukses adalah penampilan seorang
mantan bintang basket dalam kampanye antikonsumsi sirip hiu di China. Kampanye
tersebut berkontribusi mengurangi konsumsi sirip hiu (Fabinyi, 2016). Contoh lainnya
adalah program Seafood Watch, yaitu buku panduan jenis-jenis ikan dari Monterey
Bay Aquarium, yang memberikan rekomendasi kepada konsumen jenis ikan mana
yang dikonsumsi berikut alasannya (Monterey Bay, 2017). Dengan demikian, kekuatan
pasar memberikan insentif untuk praktik yang lebih baik dan berkelanjutan melalui
kemudahan akses pasar, potensi harga yang lebih bagus, dan potensi pilihan
konsumen yang lebih baik (Roheim et al., 2011). Konsep memanfaatkan kekuatan pasar
2
untuk melindungi lingkungan atau hal lain bukanlah baru. Konsep tersebut muncul
pada tahun 1980-an. Alasan utama beralih ke inisiatif berbasis pasar sebagai metode
yang lebih disukai dan lebih berhasil, telah diidentifikasikan oleh Stavins (1995):
Efektivitas biaya adalah prioritas dalam kebijakan, berarti tidak semuanya dapat
dimasukkan.
Beban undang-undang terhadap pemangku kepentingan industri.
Munculnya masalah lingkungan jenis baru yang tidak dapat ditangani secara
memadai dengan peraturan yang ada sekarang.
Permintaan konsumen atas spesies tertentu dapat mempengaruhi kesehatan stok ikan dan
mengalami peningkatan tekanan penangkapan ketika ikan tertentu disukai karena alasan
kesehatan atau keunggulan lainnya. Contohnya adalah meningkatnya permintaan atas ikan
sungut ganda (monkfish) di Inggris setelah promosi oleh para koki selebriti pada tahun 1980-
an. Setelah itu, tekanan penangkapan stok ikan tersebut meningkat dan mengakibatkan
stoknya berkurang drastis (Pinnegar et al., 2006). Pilihan yang dijatuhkan konsumen atas
produk ikan apa yang akan dibeli mempengaruhi tekanan penangkapan pada stok ikan
sekaligus mempengaruhi kondisi stoknya. Jika perilaku konsumen dapat diubah, diganti
dari produk-produk perikanan yang dieksploitasi berlebihan ke yang tidak dieksploitasi
berlebihan, maka ada potensi untuk mengurangi permintaan atas ikan yang ditangkap
dengan jenis alat tangkap tertentu (misalnya, jenis-jenis ikan yang sering menjadi tangkapan
sampingan). Ini berarti bahwa investasi perikanan dalam praktik-praktik yang lebih
berkelanjutan dapat memberikan keunggulan kompetitif di pasar. Meskipun demikian,
mengingat beragamnya produk ikan yang tersedia untuk konsumen, sering kali sulit untuk
membedakan antara ikan yang dihasilkan secara berkelanjutan dan yang tidak.
Menyediakan informasi ini kepada konsumen dengan cara yang mudah diakses adalah
konsep mendasar di balik sertifikasi pasar.
1.3. Skema Sertifikasi, Kekuatan Konsumen, dan Pengecer
Skema sertifikasi yang berasal dari konsumen menuntut untuk mengetahui kualitas dan
kemanan dari produk makanan mereka (Beulens et al., 2005) telah berevolusi untuk
sertifikasi sejumlah isu, dari alat tangkap ramah lumba-lumba, perikanan budi daya
organik, sampai rendahnya tangkapan yang terbuang (Ecolabel Index, 2017). Kesadaran
konsumen akan berkurangnya banyak stok ikan global dan dampak perikanan terhadap
lingkungan, seperti tangkapan sampingan dan rusaknya habitat, telah mendorong gerakan
konsumen untuk mendapatkan informasi lebih tentang sumber dan produksi komoditas
spesifik. Konsumen yang sadar akan potensi dampak negatif perikanan menggunakan
kekuatan daya beli untuk memberikan penghargaan pada produk-produk yang
memberikan informasi atau atribut produk dan dapat membuktikan, melalui sertifikasi atau
sarana lainnya, bahwa produknya sejalan dengan nilai-nilai konsumen. Hal ini telah
memicu meningkatnya jumlah ekolabel secara drastis dalam beberapa tahun terakhir
(misalnya Dolphin Safe dan SeaChoice), dengan label Marine Stewardship Council (MSC)
meluas dengan cepat dan menjadi salah satu ekolabel yang paling mudah dikenali di pasar
makanan laut (Gambar 1). MSC juga memberikan dokumen informasi tentang cara
memanfaatkan kekuatan pasar dengan sertifikasi MSC (MSC, 2011). Skema sertifikasi
bersifat bebas dari inisiatif dan undang-undang pemerintah, serta dinilai secara mandiri
oleh penilai pihak ketiga. Hal ini berarti tidak ada bias mengenai perikanan apa yang
3
disertifikasi, mengingat ada lembaga penilai kesesuaian (conformity assessment body, CAB)
yang memverifikasi bahwa perikanan tersebut memenuhi kriteria standar sertifikasi pada
level yang disyaratkan.
Pengecer dan konsumen mengakui kekuatan skema sertifikasi untuk bisnis mereka dan
kebutuhan untuk menawarkan lebih banyak produk yang disertifikasi berkelanjutan untuk
menarik atau mempertahankan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, swalayan besar,
seperti Wal-Mart, Carrefour, Sainsbury’s, dan Lidl, telah membuat komitmen untuk
meningkatkan proporsi produk makanan laut yang disertifikasi berkelanjutan di gerainya.
Menurut data dari tahun 2016, Sainsbury’s merupakan pengecer nomor satu di Inggris pada
tahun 2015 yang memiliki persentase ketersediaan produk bersertifikat MSC (76%, 200
produk (MSC, 2016)). Di dua swalayan lain yang menempati peringkat terbawah, hanya 2%
dan 5% produk makanan lautnya bersertifikat MSC. Konsumen yang sadar dan menaruh
minat pada informasi seperti itu dapat menggunakannya sebagai dasar untuk memilih
lokasi belanja pilihan mereka yang paling berorientasi keberlanjutan. Permintaan pengecer
untuk lebih banyak produk makanan laut yang bersertifikat berkelanjutan, dari pemasok
dan pasar, mendorong lebih banyak perikanan untuk mendaftarkan diri dalam skema
sertifikasi berkelanjutan untuk mempertahankan akses pasar dan harga yang kompetitif.
Gambar 1. Kumpulan ekolabel perikanan pada produk.
1.4. Kerangka Dokumen
Dokumen ini dimaksudkan sebagai referensi bagi LSM lain, pemangku kepentingan
industri, atau tipe pemangku kepentingan lainnya yang ingin memanfaatkan kekuatan
pasar dengan cara yang mirip dengan MDPI. Asal dari setiap kekuatan pasar didiskusikan,
demikian juga pengalaman MDPI, dan pelajaran yang didapatkan dari penerapan tiga jenis
pendekatan pasar:
1. Proyek Perbaikan Perikanan (Fisheries Improvement Projects, FIP, dengan tujuan
sertifikasi MSC)
2. Sertifikasi Fair Trade (Perdagangan yang Adil)
4
3. Ketertelusuran
Dokumen ini tidak menguraikan satu-satunya metode memanfaatkan kekuatan pasar dan
menerapkan proyek, hanya yang berdasarkan pengalaman MDPI. Oleh karena itu,
informasi dalam dokumen ini harus dipertimbangkan dalam konteks perikanan skala kecil
di kawasan timur Indonesia (terutama tuna), yang mungkin memerlukan penyesuaian
untuk persyaratan berbeda dalam perikanan berbeda di negara berbeda. Mungkin terdapat
lebih dari satu cara untuk menggunakan pendekatan pasar selain proyek dan aktivitas yang
didiskusikan dalam dokumen ini. Oleh karena itu, semua opsi harus dieksplorasi dan
kondisi perikanan harus dinilai sebelum diterapkan. Mungkin juga ada sertifikasi atau
skema selain MSC, Fair Trade, dan Ketertelusuran yang lebih cocok untuk suatu perikanan,
negara, dan pasar ekspor tertentu. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan persyaratan
dagang nasional dan internasional, yang dapat digunakan untuk mendukung motivasi
untuk sebuah sertifikasi, sebagaimana didiskusikan di bagian ketertelusuran dalam
dokumen ini.
2. Mengembangkan FIP menuju Sertifikasi MSC
Marine Stewardship Council (MSC) adalah lembaga sertifikasi perikanan mandiri yang
mempromosikan konsumsi produk makanan laut yang dihasilkan secara berkelanjutan
melalui pemberian ekolabel (www.msc.org). Sertifikasi MSC dan label produknya yang
khas berwarna biru merupakan salah satu ekolabel makanan laut yang paling mudah
dikenali di pasar global. Sebagai hasilnya, produk-produk bersertifikat MSC memiliki akses
ke pasar internasional yang besar dan berpotensi mempengaruhi preferensi belanja
konsumen. Perikanan diberikan sertifikasi MSC ketika memenuhi standar yang disyaratkan
dalam tiga prinsip MSC: (1) aktivitas perikanan harus berada di level berkelanjutan; (2)
operasi perikanan harus dikelola untuk mempertahankan struktur, produktivitas, fungsi,
dan keragaman ekosistem tempat perikanan tersebut bergantung; (3) perikanan harus
memenuhi semua hukum lokal, nasional, dan internasional, serta harus memiliki sistem
pengelolaan yang merespons perubahan keadaan dan mempertahankan keberlanjutan
(MSC, 2010).
Proyek Perbaikan Perikanan (FIP) adalah inisiatif untuk mendukung laju perikanan menuju
praktik-praktik yang lebih berkelanjutan. Proyek-proyek tersebut kerap digunakan untuk
mempersiapkan suatu perikanan untuk sertifikasi MSC atau sertifikasi lainnya, dengan
membuat progres yang dapat diidentifikasikan dan terlaporkan dalam mengadopsi praktik-
praktik yang lebih berkelanjutan, sesuai dengan persyaratan dari sertifikasi yang
ditargetkan. Sebelum sertifikasi penuh MSC, beberapa FIP menciptakan kemitraan dengan
pengecer dan pabrik pengolahan ikan untuk menciptakan peluang pasar untuk perikanan
yang belum disertifikasi MSC, namun membuat progres yang terlihat di FIP (Bush et al.,
2013). Bagaimanapun, peluang pasar ini tidak selalu dijamin.
Perikanan madidihang pancing ulung (handline) Indonesia dahulu merupakan dua bagian
dari prapenilaian MSC, yaitu penilaian pancing ulur individual pada tahun 2009 (Moody
Marine Limited, 2009) dan sebagai bagian dari penilaian tahun 2010 untuk perikanan tuna
Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Indonesia pada tahun 2010 (Moody Marine Limited,
2010). Yang terakhir disebutkan merupakan dasar untuk mendirikan Indonesian National
Tuna FIP yang menggabungkan tiga spesies (madidihang, tuna mata besar, dan cakalang)
5
dan lima jenis alat tangkap (pukat cincin/purse seine, rawai/longline, pancing ulur/handline,
huhate/pole and line, serta tonda/troll) yang kini memasuki implementasi tahun keenam.
Proyek ini dipimpin oleh WWF-Indonesia, dengan aspek-aspek tertentu dari
implementasinya didukung oleh MDPI dan LSM lain. Jumlah spesies dan alat tangkap yang
terdaftar, demikian juga luasnya ruang lingkup menjadikan progres FIP menuju sertifikasi
MSC menantang, membutuhkan koordinasi dan sistem pelaporan yang sangat bagus. MDPI
mendukung implementasi FIP untuk madidihang yang ditangkap dengan pancing ulur di
kawasan timur Indonesia, demikian juga perikanan huhate di kawasan timur Indonesia. Hal
ini dicapai melalui kerja sama yang erat dengan International Pole and Line Foundation
(IPNLF) dan melalui Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI),
serta para anggota industri yang relevan.
Implementasi FIP juga membutuhkan hubungan yang baik dengan pejabat pemerintah, dari
tingkat daerah, provinsi, sampai nasional, dan juga LSM lain yang mengerjakan proyek
tersebut, serta pemangku kepentingan lainnya. Sebagian besar kerja FIP menuntut
pengaturan dan penyusunan sistem pengelolaan, demikian juga pengenalan regulasi
pengelolaan yang baru, untuk memenuhi persyaratan internasional.
Mengingat terpencilnya banyak lokasi operasi perikanan pancing ulur skala kecil dan
kurangnya informasi tentang aktivitas tangkapan dan perikanan yang sebelumnya, perilaku
nelayan menjadi penting dalam hal mendorong partipasi, misalnya dalam pengumpulan
data yang akurat. Untuk tujuan itu, MDPI menciptakan sistem pengumpulan data
perikanan (I-Fish, www.ifish.id) pada tahun 2012, bekerja sama dengan Anova LLC dan
proyek USAID IMACS. Sistem pengumpulan data I-Fish kini dioperasikan di hampir 20
situs di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Maluku.
MDPI mengimplementasikan dan mendokumentasikan aktivitas FIP di semua situs tempat
aktifnya pengumpulan data. Meskipun demikian, mengingat status madidihang di Samudra
Hindia (dieksploitasi berlebihan), situs yang daerah penangkapan ikannya menjadi bagian
area kompetensi Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) tidak dapat dipertimbangkan
untuk penilaian MSC saat ini (Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat). Oleh
karena itu, situs di provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua
Barat, dan Maluku yang semuanya kini ada dalam FIP yang sedang di bawah peninjauan
tahunan oleh konsultan independen.
Peninjauan tersebut mempertimbangkan situs-situs ini dalam konteks area kompetensi
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). MDPI, IPNLF, dan AP2HI
mengembangkan rencana kerja yang direvisi setiap tahun untuk mencatat pencapaian dan
kondisi yang berubah, serta membagi pekerjaan di antara mitra-mitra. Berdasarkan
peninjauan terakhir pada Oktober 2016, aspek pancing ulur dari FIP di Samudra Pasifik
Barat dan Tengah kini berjalan dengan sangat baik, dengan sedikit perbaikan yang
diperlukan untuk strategi panen, sedikit pekerjaan dalam hal pengelolaan spesies sekunder,
serta perhatian terhadap kepatuhan dan penegakan hukum. Perikanan tersebut lolos
indikator performa 3.2.1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals,
SDG) terkait tujuan spesifik perikanan. Semua indikator performa lainnya memiliki skor 80,
mengindikasikan lolos uji (Gambar 2)
6
Gambar 2. Skor tiap indikator performa untuk aspek perikanan pancing ulur FIP Indonesia
di area kompetensi WCFPC berdasarkan peninjauan pada bulan Oktober 2016.
Pelaporan publik tentang FIP melalui situs web Fishery Progress (www.fisheryprogress.org)
sangat dianjurkan. Situs web tersebut secara terbuka mendokumentasikan progres dan
status dari berbagai perikanan yang terdaftar di FIP, sehingga konsumen dan pengecer
dapat dengan mudah mengakses perikanan tanpa mengacu ke dokumen-dokumen tebal.
Situs web Fishery Progress juga memberitahukan apakah suatu perikanan telah tidak aktif
selama jangka waktu yang panjang, dan dengan demikian mendorong pembaruan
informasi secara terus-menerus.
Dengan implementasi FIP, MDPI selalu menantikan terwujudnya sertifikasi. Ini berarti
memastikan pemangku kepentingan mengetahui proses jangka panjang FIP dan sertifikasi
MSC. Mengingat biaya yang sebenarnya dari penilaian MSC, persiapan yang baik adalah
sangat penting untuk menghindari menghabiskan dana dan energi pemangku kepentingan
dalam kasus penilaian yang gagal. Bagian dari sertifikasi MSC adalah sertifikasi Lacak Balak
(Chain of Custody). MDPI mengajukan pendanaan melalui MSC Global Fisheries
Sustainability Fund untuk mempersiapkan penilaian risiko dari rantai pasokan tuna skala
kecil di kawasan timur Indonesia, mengumpulkan informasi, dan memberikan rekomendasi
tentang cara memenuhi persyaratan Lacak Balak, agar rantai pasokan siap ketika perikanan
mereka pada akhirnya mendapatkan sertifikasi dan mereka memerlukan Lacak Balak untuk
memasarkan produknya yang bersertifikat.
7
3. Sertifikasi Fair Trade
Fair Trade (Perdagangan yang Adil) adalah skema label yang diakui secara internasional,
memberikan informasi kepada konsumen bahwa komoditas yang diberi label telah
diproduksi dan dipasok dengan cara etis, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Fair Trade
didefinisikan sebagai ‘…kemitraan dagang, berdasarkan dialog, transparansi, dan rasa
hormat yang mencari kesetaraan yang lebih besar di perdagangan internasional. Fair Trade
berkontribusi pada pengembangan yang berkelanjutan dengan cara menawarkan
persyaratan dagang yang lebih baik dan mengamankan hak-hak produsen dan pekerja yang
termarjinalkan, terutama di negara-negara berkembang’ (Bowen, 2001). Salah satu
perbedaan yang paling terlihat antara sertifikasi seperti MSC dan Fair Trade adalah
penekanan pada faktor sosial dari rantai pasokan, misalnya masyarakat tempat produk
berasal. Fair Trade pada umumnya diterapkan pada masyarakat miskin di negara-negara
berkembang, dan untuk mendukung pengembangan masyarakat produsen, produsen Fair
Trade menerima Dana Premium, yaitu persentase yang sudah ditentukan dari harga pada
saat bahan mentah pertama kali mendarat yang diterima di samping harga normal produk.
Dana Premium dibayar oleh konsumen, yang karena pengetahuannya akan apa makna logo
Fair Trade, bersedia membayar sedikit lebih banyak daripada harga normal pasar. Dana
Premium tidak dapat dibelanjakan untuk tujuan perorangan nelayan. Dana tersebut
dikumpulkan ke rekening bersama dan harus dibelanjakan untuk perbaikan hidup
masyarakat, memperbaiki efisiensi produksi, dan untuk isu-isu konservasi atau lingkungan
dalam masyarakat.
Fair Trade pada umumnya diasosiasikan dengan produk-produk yang dihasilkan tanah,
seperti pisang, kopi, dan kapas. Produk-produk tersebut telah terjual dengan baik, terutama
di pasar negara berkembang. Meskipun demikian, bertambahnya permintaan dan konsumsi
makanan laut global, ditambah lagi dengan kondisi yang buruk dari banyak stok ikan dan
pentingnya perikanan skala kecil dalam perikanan tangkap air asin, memotivasi Fair Trade
USA untuk mengembangkan Standar Perikanan Tangkap (Capture Fisheries Standard) pada
Hubungan dan koordinasi yang baik adalah kunci untuk mencapai langkah-
langkah perbaikan FIP dan persiapan untuk peninjauan tahunan.
Keuntungan pasar dari keterlibatan dalam FIP tidak dijamin.
Adalah sulit untuk mempertahankan nelayan tetap termotivasi dan terlibat
dalam aktivitas FIP. Hal ini berseberangan dengan sertifikasi Fair Trade
(didiskusikan di bawah ini) yang mengharuskan keterlibatan nelayan dan
memberikannya penghargaan, yaitu melalui Dana Premium.
Mencapai hasil dalam FIP mungkin memerlukan waktu lebih lama daripada
yang diharapkan. Dukungan finansial dibutuhkan setiap tahunnya dan
rekaman progres yang bagus perlu diperlihatkan kepada para pendonor.
8
tahun 2014 (Fair Trade, 2014). Standar Perikanan Tangkap menggabungkan prinsip-prinsip
Fair Trade USA yang berhubungan dengan pemberdayaan, pengembangan ekonomi,
tanggung jawab sosial, dan pengelolaan lingkungan (untuk informasi yang lebih mendetail
tentang standar tersebut, silakan mengunjungi situs web Fair Trade USA,
www.fairtradeusa.org). Fair Trade USA memiliki Dewan Penasihat Perikanan (Fisheries
Advisory Council, FAC) yang memberikan masukan tentang Standar Perikanan Tangkap
dan isu-isu lain. MDPI, berikut Anova sebagai mitra pasar yang kuat, adalah anggota FAC.
Ketika ada panggilan untuk melaksanakan proyek percontohan Standar Perikanan Tangkap
Fair Trade yang baru, Anova mengajukan diri sebagai voluntir percontohan di rantai
pasokannya, dengan MDPI sebagai mitra pelaksana implementasinya. MDPI bekerja sama
dengan Fair Trade USA dan Standar Perikanan Tangkap (FC) yang baru dikembangkan itu
untuk mengimplementasikan proyek Fair Trade di Indonesia, terutama untuk perikanan
madidihang skala kecil. Sebagai mitra industri, Anova LLC secara finansial mendukung
implementasi program Fair Trade dalam rantai pasokannya. Sebagai gantinya, semua
produk bersertifikat Fair Trade ditangani Anova LLC, memberikannya keunggulan
kompetitif melebihi pemangku kepentingan industri lainnya dengan cara menyediakan
produk ke pasar Amerika Serikat.
Pada awalnya, penerapan Fair Trade dilaksanakan di Buru Utara dan di Pulau Ambon,
keduanya berlokasi di Maluku. Semenjak itu, program telah meluas, termasuk ke Buru
Selatan dan Seram (keduanya di Maluku), Toli-toli di Sulawesi Tengah, serta Bisa di Maluku
Utara. Ekspansi ke situs baru selalu bersifat tentatif dan implementasi jangka panjang dari
program tidak selalu dijamin. Anova LLC adalah mitra industri yang kini mendukung
program Fair Trade. Sebagai suatu bisnis, Anova memerlukan hasil investasi untuk
melanjutkan proyek dan mempertahankan keuntungan. Hal ini merupakan pelajaran yang
didapatkan, yaitu bahwa program Fair Trade memang memerlukan volume produk yang
cukup untuk program menjadi sukses, demikian juga antusiasme dari masyarakat untuk
memastikan kepedulian mereka terhadap proyek, serta mengurangi kebergantungan pada
mitra LSM selama penerapan proyek.
Perlu adanya volume produk yang cukup dan teratur untuk menjustifikasi
biaya implementasi program. Fair Trade masih mengoperasikan model bisnis,
yang menuntut adanya omzet yang cukup tinggi untuk mempertahankan
keuntungan dan melanjutkan investasi.
Dana Premium tidak boleh berasal dari LSM, donor, atau tipe pemangku
kepentingan lainnya. Dana Premium harus berasal dari pasar dan mitra
industri. Jika hal tersebut tidak terjadi, pasar artifisial untuk produk tersebut
diadakan di tempat yang tidak ada permintaan kuat atas produk tersebut.
Langkah ini tidak berkelanjutan dalam jangka panjang dan tidak memberikan
ruang untuk ekspansi karena terbatasnya dana yang tersedia untuk LSM.
9
4. Ketertelusuran
Ketertelusuran sedikit berbeda dari dua kekuatan pasar yang didiskusikan di atas. Baik
dalam sertifikasi MSC maupun Fair Trade, memiliki sistem ketertelusuran atau Lacak Balak
merupakan persyaratan untuk mendapatkan sertifikat. Dengan demikian, ketertelusuran
sering dipadukan sebagai satu atribut dari skema sertifikasi tertentu. Bagaimanapun, ketika
dipandang sebagai persyaratan/kekuatan dagang dan bukan sebagai kekuatan pasar,
ketertelusuran menjadi atribut yang terpisah dan dapat disertifikasi, sebagaimana akan
dijelaskan mendetail di bagian ini. Ketertelusuran didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengakses suatu atau seluruh informasi yang berhubungan dengan apa yang didiskusikan,
di seluruh siklusnya, dengan cara identifikasi yang terekam (Olsen and Borit, 2013). Bagi
MDPI, ini berarti menelusuri sumber pasokan ikan dari nelayan melalui pabrik pengolahan
ikan sampai ekspor dan membuat informasinya tersedia di setiap tahap. Ini merupakan
tugas yang sulit, mengingat kondisi kapal tangkap skala kecil, pemindahan tangkapan dari
banyak kapal tangkap ke satu kontainer ekspor dan potensi pencampuran pemasok atau
pengecer yang berbeda sepanjang rantai pasokan (Gambar 3). Hingga saat ini,
ketertelusuran adalah satu-satunya kekuatan pasar yang didiskusikan dalam dokumen ini
yang sedang dalam proses diintegrasikan ke kebijakan Indonesia, terutama di bawah
tekanan dari Amerika Serikat dan Seafood Import Monitoring Program yang baru saja
dikembangkannya. Dengan demikian, hal ini bertolak dari kekuatan pasar yang sebenarnya
(bebas dari pengaruh pemerintah) dan menjadi suatu persyaratan dagang.
Pengalaman MDPI dalam ketertelusuran didiskusikan dalam dua proyek. Yang pertama
adalah Meningkatkan Informasi dan Ketertelusuran Perikanan Tuna (Improving Fisheries
Information and Traceability for Tuna, IFITT) dan yang kedua adalah Inovasi Teknologi
menuju Tuna Berkelanjutan di Indonesia (Technology Innovation towards Sustainable Tuna in
Indonesia). Informasi yang lebih mendetail dari implementasinya, berikut tantangan dari
proyek-proyek tertentu, dapat dibaca di situs web MDPI atau dengan menghubungi MDPI.
Bagian ini membahas pengalaman dari proyek-proyek yang secara khusus terkait dengan
menyediakan produk yang dapat ditelusuri ke pasar.
10
Gambar 3. Rantai pasokan ketertelusuran menunjukkan perjalanan ikan melewati tiap poin
dalam rantai pasokan dan tahap-tahap yang perlu direkam untuk mempertahankan
informasi ketertelusuran (sumber: Duggan and Kochen, 2016).
4.1. Meningkatkan Informasi dan Ketertelurusan Perikanan Tuna (IFITT)
Pekerjaan MDPI dalam ketertelusuran dimulai pada tahun 2014 bekerja sama dengan
Wageningen University and Research (Belanda), ThisFish (Kanada), dan Institut Pertanian
Bogor. Wageningen memulai proyek 4 tahun yang dinamakan Improving Fisheries
Information and Traceability for Tuna (IFITT atau Meningkatkan Informasi dan Ketertelusuran
Perikanan Tuna). Proyek IFITT juga membutuhkan kerja sama beberapa mitra industri,
yaitu PT Harta Samudra, BHLN Technical Services, PT Era Mandiri Cemerlang, dan PT
Sinar Purefoods, untuk menerapkan proyek dalam rantai pasokan di Indonesia. Ide di balik
proyek IFITT adalah menggabungkan informasi yang dikumpulkan dari aktivitas
penangkapan ikan I-Fish (www.ifish.id) dengan sistem ketertelusuran yang dapat dilihat
konsumen, dengan demikian menambah informasi yang ada untuk pemangku kepentingan
yang berminat. Kemudian, pemangku kepentingan dapat memasukkan kode yang
ditemukan pada produk ke situs web ThisFish dan membaca latar belakang informasi
produknya (Gambar 4). Pada saat itu, tidak ada permintaan dari konsumen atas informasi
yang selengkap itu. Dalam kasus ini, proyek IFITT sedang berusaha memberikan informasi
tambahan tersebut ke konsumen dan sebagai hasilnya, mengharapkan adanya permintaan.
Sebelum IFITT, tidak ada tekanan pasar pada rantai pasokan untuk mengimplementasikan
ketertelusuran yang sensitif informasi seperti itu untuk produk-produk mereka.
11
Gambar 4. Gambaran bagaimana ThisFish, yaitu ketertelusuran yang dapat dilihat
konsumen, bekerja.
Penerapannya dilaksanakan di Labuhan Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bitung (Sulawesi
Utara), dan sejumlah situs di provinsi Maluku. Sementara proyek memperlihatkan progres,
jelaslah bahwa permintaan di pasar atas produk dengan ketertelusuran tingkat tinggi tidak
ada di dua dari tiga rantai pasokan. Konsep ini dibuktikan di rantai pasokan ketiga, yaitu
rantai pasokan bersertifikat Fair Trade PT Harta Samudra. Sebagaimana didiskusikan di
bagian Fair Trade di atas, mendapatkan sertifikat Fair Trade memerlukan pemisahan cermat
tangkapan Fair Trade dan tangkapan yang bukan Fair Trade dari lokasi pendaratan ke
pabrik pengolahan ikan sampai ekspor. Pemisahan ini dibutuhkan untuk kalkulasi akurat
dari Dana Premium yang akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
meskipun mungkin tidak ada permintaan langsung konsumen untuk informasi tersebut,
persyaratan yang diharuskan standar Fair Trade untuk ketertelusuran mendorong
pemangku kepentingan untuk berinvestasi dan bekerja sama untuk memastikan inisiatif
ketertelusuran dikerjakan. Implementasi di Maluku meluas untuk mencakup empat area
pada tahun 2016, yaitu Maluku Tengah, Buru Utara, Buru Selatan, dan Seram.
Menerapkan proyek ketertelusuran pada perikanan seperti itu memerlukan banyak
perencanaan dan penyesuaian dengan keadaan setempat. Di Maluku, ada keterbatasan
aliran listrik di siang hari demikian juga jangkauan internet. Hal itu berarti, banyak
pekerjaan yang terkait ketertelusuran di lokasi pendaratan dikerjakan secara manual.
Penanda berwarna tertentu diikatkan ke pembungkus tiap potongan ikan (Gambar 5) yang
berasal dari nelayan Fair Trade. Kode yang mewakili pemasok dan desa disematkan ke
pembungkus plastik tersebut. Ketika masuk ke pabrik pengolahan ikan, semua tangkapan
Fair Trade didahulukan diproses, kemudian diikuti oleh tangkapan yang bukan Fair Trade.
Hal ini memastikan pemisahan yang bagus antara tangkapan Fair Trade dan yang bukan,
serta memerlukan sedikit penyesuaian awal dalam urutan dan alur pekerjaan di pabrik
pengolahan ikan. Tipe perencanaan ini dan potensi penyusunan ulang alur pengolahan
harus didiskusikan sepenuhnya dengan rantai pasokan yang berpartisipasi sebelum dan
selama implementasi, untuk memastikan bahwa pendekatan efisiensi dan pengendalian
mutu dari perusahaan tidak terganggu.
12
Gambar 5. Contoh penanda berupa tali hijau yang diikatkan ke potongan ikan untuk
menandai tuna tangkapan Fair Trade dan kode untuk menandai pemasok.
Harus ada asumsi tentang bagaimana nilai bisnis diciptakan (business case)
agar permintaan pasar sukses. Dalam kasus Lombok, sebelumnya tidak ada
sertifikat Fair Trade atau Marine Stewardship Council untuk memberi
insentif dan memanfaatkan partisipasi. Sementara itu, di Maluku, karena
sertifikat Fair Trade, inisiatif ketertelusuran sukses.
Ketertelusuran adalah kekuatan pasar/kekuatan dagang yang relatif baru,
dengan sangat sedikit produk yang memberikan informasi sehingga
konsumen dapat mengidentifikasi perjalanan ikan. Diskusi dengan pengecer
selama proyek berjalan mengungkapkan bahwa walaupun mereka mungkin
setuju dengan gagasan menyediakan informasi ketertelusuran, menyediakan
produk dengan informasi ketertelusuran menyorot fakta bahwa produk-
produk lain tidak dapat ditelusuri sampai tahap yang sama, dan dengan
demikian menciptakan risiko yang tinggi untuk permintaan konsumen
terhadap produk-produk yang tidak dapat ditelusuri.
Kemitraan dengan pemangku kepentingan industri sangat meningkatkan
akses awal ke beragam pemangku kepentingan dalam rantai pasokan.
Bagaimanapun, hal ini tidak menjamin inisiatif akan sukses.
13
4.2. Inovasi Teknologi menuju Ketertelusuran Perikanan Tuna di Indonesia
MDPI bergabung dalam konsorsium dengan Wageningen University, Institut Pertanian
Bogor, dan mitra industri Anova LLC dan PT Harta Samudra, dengan pendanaan dari
Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO). Proyek 15 bulan ini dimulai pada
November 2015 dan dibangun dari kerja proyek IFITT sekaligus memperkenalkan teknologi
ke rantai pasokan. Proyek bertujuan mengembangkan ketertelusuran berbasis teknologi
(traceability-based technology, TBT) yang menciptakan pertukaran informasi dua arah antara
nelayan, pabrik pengolahan ikan, dan pedagang Indonesia, membantu untuk
menghubungkan nelayan dengan informasi perikanan dan pasar global, serta membantu
pabrik pengolahan ikan dan penjual ikan memenuhi persyaratan informasi dari negara-
negara pengimpor, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Empat teknologi yang
diperkenalkan pada rantai pasokan adalah sebagai berikut:
1. Tally-O: sistem ketertelusuran internal untuk pabrik pengolahan ikan.
2. Spot Trace: peranti penentu lokasi berbasis satelit.
3. Dock: aplikasi untuk aktivitas pengumpulan data ikan.
4. OurFish: sistem pembukuan berbasis aplikasi untuk pemasok.
Dock dan OurFish tidak didorong oleh kekuatan pasar atau permintaan spesifik konsumen.
Oleh karena itu, kedua teknologi itu tidak didiskusikan mendetail dalam dokumen ini.
Keduanya didorong oleh tujuan memperbaiki efisiensi dan mengurangi kesalahan manusia
dalam pengumpulan dan penyimpanan data. Informasi dari peranti Spot Trace terkadang
diminta oleh konsumen yang ingin mengetahui dengan pasti ikan mereka ditangkap di
mana dan oleh siapa. Bagaimanapun, menyajikan informasi area besar tangkapan pada
umumnya sudah cukup untuk konsumen dan pasar belum meminta informasi lokasi
penangkapan yang mendetail. Pemakaian Spot Trace sebelumnya lebih banyak untuk
menguji apakah pendekatan-pendekatan itu layak untuk armada perikanan skala kecil.
Amerika Serikat belum lama ini memperkenalkan Seafood Import Monitoring Program atau
SIMP (NMFS and NOAA, 2016) yang berlaku untuk spesies-spesies yang terdaftar dari
Januari 2018 dan memerlukan informasi mendetail pada informasi seperti asal tangkapan
dan alat tangkap yang dipakai. Uni Eropa juga memberlakukan sistem sertifikat tangkapan
(EC, 2009). Ada insentif untuk yang mematuhi sertifikat tangkapan Uni Eropa: negara-
negara yang melanggar akan diberikan ‘kartu kuning’ atau ‘kartu merah’, tergantung
tingkat parahnya pelanggaran. Kartu-kartu tersebut dapat mempengaruhi akses suatu
negara ke pasar Uni Eropa. Untuk itu, kekuatan dagang besar yang memotivasi pengenalan
sistem Tally-O merupakan akses ke pasar internasional yang menguntungkan. Sistem ini
dapat diimplementasikan menggunakan skema berbasis kertas. Namun, mengingat
besarnya volume produk dan persyaratan informasi, lebih efisien bagi sistem ini untuk
memanfaatkan teknologi yang tersedia. Menggunakan teknologi untuk mengumpulkan
data juga memfasilitasi penggabungan beragam aliran informasi untuk memenuhi
persyaratan informasi. Tally-O didesain dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini.
EcoTrust Canada dikontrak untuk mengembangkan solusi peranti lunak dan peranti keras
yang dibutuhkan untuk implementasi Tally-O di mitra pabrik pengolahan ikan. Tally-O
diimplementasikan di pabrik pengolahan ikan yang berlokasi di Indonesia dan Vietnam
(bagian dari rantai pasokan yang sama). Tujuan Tally-O adalah untuk memperbaiki efisiensi
perekaman data dengan menghilangkan perhitungan berbasis kertas, untuk memperbaiki
14
ketertelusuran unit produksi, dan untuk memfasilitasi pembuatan laporan. Laporan yang
dibuat dari Tally-O kemudian dapat dipakai untuk persyaratan sertifikat tangkapan dan
pengawasan impor untuk akses ke pasar internasional.
Peranti lunak yang dipakai untuk Tally-O bersifat sumber terbuka dan tersedia dari GitHub.
Ini berarti pihak mana pun yang berminat, terlepas itu LSM serupa MDPI dengan mitra
industri atau individu, dapat mengambil kodenya dan mengembangkannya sesuai kondisi
pabrik pengolahan ikan mereka.
5. Memanfaatkan Kekuatan Pasar untuk Menarget Pasar Domestik
Sampai saat ini, implementasi kekuatan pasar oleh MDPI berfokus pada perikanan tuna
skala kecil dan produknya diekspor ke pasar Amerika Serikat, yang memiliki pemahaman
dan memiliki permintaan atas makanan laut yang bersertifikat berkelanjutan. MDPI pernah
membuat survei untuk mengetahui permintaan domestik atas produk bersertifikat yang
dipasok dari Indonesia (kepiting bakau Papua Barat). Sebanyak 60% responden tidak
pernah mendengar tentang skema sertifikasi perikanan, seperti Marine Stewardship Council
atau Fair Trade. Hanya 3% yang mengatakan mereka hanya membeli produk bersertifikat.
Meskipun hanya survei kecil, survei menemukan bahwa permintaan domestik atas produk
bersertifikat yang dijual pada harga premium tidak ditemukan di Indonesia. Kurangnya
permintaan ini dapat dijelaskan dengan sejumlan faktor lain mempengaruhi pembelanjaan
konsumen di Indonesia yang prioritas keberlanjutannya tidak begitu tinggi untuk
menjustifikasi pengeluaran lebih. Sementara Indonesia terus berkembang dan kesadaran
konsumen akan isu-isu seperti keberlanjutan meningkat, maka pasar domestik untuk
produk-produk seperti itu dapat muncul. Bagaimanapun, menggunakan kekuatan pasar
untuk membuat perubahan dalam rantai pasokan dengan produk-produk yang dijual untuk
pasar internasional berpotensi menghasilkan efek yang sangat besar. Situasi ini cenderung
sama di negara-negara lain yang tahap perkembangannya sama dengan Indonesia dan
harus dijelaskan sebelum memulai proyek yang bertujuan menyediakan produk
bersertifikat untuk pasar domestik.
Dari pengalaman Tally-O, persyaratan pasar yang diwajibkan untuk
ketertelusuran mendorong mitra industri untuk mendukung proyek,
memastikan teknologi yang efisien dikembangkan untuk rantai pasokan
mereka. Hal ini memberikan dasar untuk memperluas teknologi ke pasokan
lainnya, karena ada kisah sukses yang dapat didiskusikan dalam mencari
mitra.
Mirip dengan pengalaman IFITT, belum ada tuntutan pasar dan harga
premium yang terkait untuk makanan laut yang dapat ditelusuri. Sebagai
gantinya, harga premium kini dikaitkan dengan sertifikasi pasar yang salah
satu aspeknya adalah ketertelusuran.
15
6. Kesimpulan
Inisiatif cenderung sukses jika didukung oleh satu atau lebih pemangku kepentingan
industri.
Perlu ada peluang industri untuk inisiatif. Jika tidak ada, maka pemangku
kepentingan industri cenderung tidak mau menginvestasikan waktu dan usaha yang
diperlukan.
Pada beberapa kasus, perusahaan dan pemangku kepentingan tidak bersedia
menginvestasikan usaha lebih banyak daripada usaha untuk memenuhi undang-
undang pemerintah. Hal ini dapat disebabkan sejumlah faktor, misalnya waktu,
uang, prioritas hidup lainnya, dan sebagainya.
Dana Premium Fair Trade harus bersumber dari permintaan pasar.
Mengingat kondisi perikanan skala kecil, sering kali lebih mudah bekerja dengan
proyek yang tuntutan konsumennya sudah ada, daripada berusaha mengadakan
suatu sistem dan kemudian memunculkan tuntutan konsumen atas informasi.
Pengecer lebih bersedia bekerja sama di proyek seperti itu karena dianggap berisiko
kecil.
Regulasi impor untuk pasar internasional yang besar adalah cara yang bagus untuk
memberikan insentif pada partisipasi industri dan dukungan untuk inisiatif.
Harga premium tidak selalu dijamin. Ada Dana Premium yang berhubungan
dengan sertifikat Fair Trade, tetapi tidak ada hasil investasi serupa yang
berhubungan dengan sertifikasi MSC. Hal itu bisa jadi merupakan hasil dari proses
dan bisa jadi bukan.
Peluang pasar untuk perikananan yang masuk FIP tidak selalu dijamin.
Ketika memperkenalkan inisiatif yang ditujukan pada kekuatan pasar tertentu
(misalnya sertifikasi atau ketertelusuran) kepada masyarakat perikanan, perlu secara
hati-hati dijelaskan apa yang dapat dan tidak dapat diharapkan dari partisipasi, dan
jangan menjanjikan keuntungan, baik keuntungan finansial maupun lainnya.
Permintaan domestik atas suatu produk yang bersertifikat mungkin sudah ada dan
mungkin belum ada, menjadikan kasus mengejar sertifikasi untuk produk yang
dikonsumsi pasar domestik bisa jadi tidak sesukses yang diharapkan.
Analisis dinamika pasar internasional untuk produk makanan laut harus
dilaksanakan sebelum implementasi proyek.
16
Menjaga hubungan yang baik dengan pemangku kepentingan dan memastikan
lancarnya keuntungan kedua belah pihak adalah penting untuk penerapan inisiatif
sertifikasi dan ketertelusuran jangka panjang.
Atribut produk yang baru, misalnya ketertelusuran, mungkin tidak sepenuhnya
diikuti pengecer sampai satu proporsi tertentu produk mereka dapat mencapai
atribut produk yang sama. Ini dikarenakan keengganan pengecer untuk memiliki
suatu produk dengan atribut produk tertentu yang dapat menyorot betapa
buruknya performa produk-produk lain.
Persyaratan dagang nasional dan internasional harus dipertimbangkan sebelum
memutuskan kekuatan pasar mana yang akan dimanfaatkan. Persyaratan dagang
dapat digunakan untuk mendorong partisipasi dalam inisiatif berbasis pasar,
misalnya ketertelusuran.
Penting untuk terus memantau gambaran besar isu ini dan apa yang ingin dicapai,
dengan cara terlebih dahulu mempersiapkan pemangku kepentingan dengan baik
untuk memastikan pemahaman dan kerja sama mereka.
17
Daftar Referensi
Beulens, A. J. M., Broens, D. F., Folstar, P., and Hofstede, G. J. 2005. Food safety and
transparency in food chains and networks. Relationships and challenges. Food Control,
16: 481–486.
Bowen, B. 2001. ‘Let’s go Fair’. In Fair Trade Yearbook 2001, EFTA, pp. 21–41.
Bush, S. R., Toonen, H., Oosterveer, P., and Mol, A. P. J. 2013. The ‘devils triangle’ of MSC
certification: Balancing credibility, accessibility and continuous improvement. Marine
Policy, 37: 288–293. Elsevier.
Business Dictionary. 2017. Market Forces.
http://www.businessdictionary.com/definition/market-forces.html (Accessed 1 July
2017).
Cambridge Dictionary. 2017. Market Forces.
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/market-forces (Accessed 1 July
2017).
Duggan, D. E., and Kochen, M. 2016. Small in scale but big in potential: opportunities and
challenges for fisheries certification of Indonesian small-scale tuna fisheries. Marine
Policy.
EC. 2009. COMMISSION REGULATION (EC) No 1010/2009 of 22 October 2009. Official
Journal of the European Union: 5–41.
Ecolabel Index. 2017. Ecolabel Index.
http://www.ecolabelindex.com/ecolabels/?search=fish&as_values_077= (Accessed 3 July
2017).
EUMOFA. 2016. The EU fish market - 2016 edition. 94 pp.
Fabinyi, M. 2016. Sustainable seafood consumption in China. Marine Policy, 74: 85–87.
Elsevier. http://dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2016.09.020.
Fair Trade. 2014. Fair Trade Capture Fisheries Standard Compliance Criteria.
Helvey, M., Pomeroy, C., Pradhan, N. C., Squires, D., and Stohs, S. 2017. Can the United
States have its fish and eat it too? Marine Policy, 75: 62–67. Elsevier.
http://dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2016.10.013.
Litz, F. T. 1994. Harnessing market forces in natural reouces management: lessons from the
Surf Clam Fishery. Boston College Environmental Affairs Law Review, 21.
Monterey Bay. 2017. Seafood Watch. http://www.seafoodwatch.org/ (Accessed 3 July 2017).
Moody Marine Limited. 2009. Pre-assessment report for Indonesian handline yellowfin tuna.
37 pp.
Moody Marine Limited. 2010. Pre-assessment report for Indonesian Pacific and Indian
Ocean tuna fisheries. 67 pp.
MSC. 2010. Marine Stewardship Council Fishery Standard: Principles and criteria for
sustainable fishing.
MSC. 2011. Harnessing Market Forces for Positive Environmental Change. The MSC
standard and scoring system. London. 1-5 pp.
MSC. 2016. Retailers and MSC-certified products on offer.
https://www.msc.org/newsroom/news/sainsburys-no-1-uk-retailer-for-sustainable-
seafood-lidl-nets-third-place (Accessed 3 July 2017).
NMFS, and NOAA. 2016. Magnuson-Stevens Fishery Conservation and Management Act;
Seafood Import Monitoring Program.
Olsen, P., and Borit, M. 2013. How to define traceability. Trends in Food Science and
Technology, 29: 142–150. Elsevier Ltd.
18
Pinnegar, J. K., Hutton, T. P., and Placenti, V. 2006. What relative seafood prices can tell us
about the status of stocks. Fish and Fisheries, 7: 219–226.
Roheim, C. A., Asche, F., and Santos, J. I. 2011. The elusive price premium for ecolabelled
products: Evidence from seafood in the UK market. Journal of Agricultural Economics,
62: 655–668.
Stavins, R. N. 1995. Harnessing market forces to protect the environment. In Overcoming
Indifference: ten key challenges in todaay’s changing world. Ed. by K. Schwab. New
York University Press.
Tveteras, S., Asche, F., Bellemare, M. F., Smith, M. D., Guttormsen, A. G., Lem, A., Lien, K.,
et al. 2012. Fish is food – The FAO ’s fish price index. Plos One.
Villasante, S., Rodríguez-Gonzalez, D., Antelo, M., Rivero-Rodriguez, S., de Santiago, J. A.,
and Macho, G. 2013. All Fish for China? Ambio, 42: 923–936.