memandang diklat secara 360 derajat, sebuah otokritik

123
Page | i DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I ANGKATAN XXV Maret April Mei 2013 M M e e m m a a n n d d a a n n g g D D i i k k l l a a t t S S e e c c a a r r a a 3 3 6 6 0 0 D D e e r r a a j j a a t t : : S S e e b b u u a a h h O O t t o o k k r r i i t t i i k k R R e e f f l l e e k k s s i i K K r r i i t t i i s s B B e e r r d d a a s s a a r r k k a a n n K K o o m m p p i i l l a a s s i i J J u u r r n n a a l l H H a a r r i i a a n n A A l l u u m m n n i i D D i i k k l l a a t t p p i i m m I I A A n n g g k k a a t t a a n n X X X X V V , , 2 2 0 0 1 1 3 3 Tri Widodo W. Utomo P USAT K AJIAN H UKUM A DMINISTRASI N EGARA LAN

Upload: tri-widodo-w-utomo

Post on 12-May-2015

2.579 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Refleksi Kritis Berdasarkan Kompilasi Jurnal Harian Alumni Diklatpim I Angkatan XXV, 2013

TRANSCRIPT

Page | i

DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I ANGKATAN XXV

Maret April Mei 2013

MMMeeemmmaaannndddaaannnggg DDDiiikkklllaaattt SSSeeecccaaarrraaa 333666000

DDDeeerrraaajjjaaattt::: SSSeeebbbuuuaaahhh OOOtttoookkkrrriiitttiiikkk

RRReeefffllleeekkksssiii KKKrrriiitttiiisss BBBeeerrrdddaaasssaaarrrkkkaaannn KKKooommmpppiiilllaaasssiii JJJuuurrrnnnaaalll HHHaaarrriiiaaannn AAAllluuummmnnniii

DDDiiikkklllaaatttpppiiimmm III AAAnnngggkkkaaatttaaannn XXXXXXVVV,,, 222000111333

Tri Widodo W. Utomo

P U S A T K A J I A N H U K U M A D M I N I S T R A S I N E G A R A L A N

Page | ii

Daftar Isi

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………… ii

Sambutan Kepala LAN ……………………………………………………………………… v

Sambutan Deputi Diklat SPIMNAS …………………………………………………….. vi

Sambutan Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan LAN …………… vii

Sambutan Koordinator Widyaiswara Kajian Falsafah Bangsa,

Paradigma Pembangunan dan Kepemimpinan Nasional …………………… viii

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………… x

Executive Recommendation ……………………………………………………………… xiii

Jurnal #1 “Untuk Apa Saya Disini?” ……………………………………………. 1

Jurnal #2 “(Mencoba) Berpikir Berbeda Tentang Diklat

Kepemimpinan …………………………………………………………….. 3

Jurnal #3 “Refleksi Kebangsaan (Calon) Pemimpin” ………………….. 7

Jurnal #4 “Jasmerah” …………………………………………………………………. 10

Jurnal #5 “Negara Gagal dan Nation Building” …………………………… 13

Jurnal #6 “Bangsa Pekerja dan Nasionalisme” ……………………………. 17

Jurnal #7 “Aktualisasi Keliru Metode Andragogi” ………………………… 20

Jurnal #8 “Kepemimpinan: Mengapa Selalu Berfokus pada

Pemimpin? …………………………………………………………………… 23

Jurnal #9 “Teknik Analisis pada Diklat Kepemimpinan” ………………. 25

Jurnal #10 “Antara Harapan dan Realita” ……………………………………… 27

Jurnal #11 “Dari Evaluasi Hingga Kertas Kerja” ……………………………. 29

Page | iii

Jurnal #12 “Tentang “Peran” Peserta Diklat dan Penilaian

Kinerjanya” ………………………………………………………………….. 32

Jurnal #13 “Tugas Baca” ……………………………………………………………….. 35

Jurnal #14 “Adakah Komitmen Nasional Untuk Diklat

Kepemimpinan? ……………………………………………………………. 38

Jurnal #15 “Pernik-Pernik Diklat” ………………………………………………… 40

Jurnal #16 “Diklat Sebagai Melting Pot” ………………………………………. 44

Jurnal #17 “Mengidamkan Munculnya Kecerdasan Kolektif” …………… 47

Jurnal #18 “KTP-2” …………………………………………………………………………. 50

Jurnal #19 “Medan Magnet di Sekitar Diklat” ……………………………….. 54

Jurnal #20 “Tersesat” ……………………………………………………………………… 56

Jurnal #21 “Menyingkap The Untold Stories dalam Reformasi

Birokrasi” ……………………………………………………………………… 59

Jurnal #22 “3 Kajian Diklatpim I: Onggokan atau Sistem” ……………. 62

Jurnal #23 “Diklat Lain Diluar Diklat” …………………………………………….. 64

Jurnal #24 “Mendengar Apa yang Dibicarakan, Bukan Siapa yang

Bicara” …………………………………………………………………………… 67

Jurnal #25 “Leader-centered vs Team-centered Leadership” ………. 69

Jurnal #26 “Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara

Kesejahteraan” ……………………………………………………………… 72

Jurnal #27 “Kamar B-315” ………………………………………………………………. 77

Jurnal #28 “Antara OL dan Simulasi” ……………………………………………… 79

Jurnal #29 “Trade Off Dalam Diklat” ……………………………………………… 82

Jurnal #30 “Meneladani yang Tua” …………………………………………………. 84

Jurnal #31 “Desentralisasi Dipertanyakan” ……………………………………. 86

Jurnal #32 “Dokumentasi Diklatpim I di Arsip Nasional” ………………… 89

Page | iv

Jurnal #33 “ASEAN Community: Wujud Kekalahan Indonesia Dalam

Perang Kebijakan?” ………………………………………………………… 91

Jurnal #34 “Fragmented State (Negara Dasamuka)” ……………………… 93

Jurnal #35 “Senam 4 Dimensi” ………………………………………………………… 95

Jurnal #36 “Kasus” …………………………………………………………………………… 97

Jurnal #37 “Pembulatan” ………………………………………………………………… 100

Jurnal #38 “5 Menit yang Menentukan Keberhasilan” ……………………. 102

Jurnal #39 “Ujian KTP-2” ……………………………………………………………….. 104

Jurnal #40 “Ladies Program” …………………………………………………………… 106

Page | v

Sambutan

Kepala

Lembaga Administrasi Negara Jurnal yang ditulis oleh Sdr. Tri Widodo ini sangat menarik dan penting untuk dibaca oleh mereka yang peduli dengan Diklat Kepemimpinan khususnya, atau Diklat Aparatur Negara pada umumnya. Kritik terhadap kualitas dari Diklat Kepemimpinan sudah banyak diberikan dan didiskusikan, namun pengalaman pribadi dari mereka yang pernah mengikuti Diklat Kepemimpinan seperti yang ceritakan oleh Sdr. Tri Widodo ini penting untuk disimak. Sebagai orang yang pernah mengikuti serangkaian Diklatpim, sebelum akhirnya sampai pada Diklat Pim I, refleksi yang dilakukan oleh Sdr. Tri Widodo ini memiliki kekuatan subyektif tersendiri. Experiential learning yang dimilikinya membuat refleksinya sangat menarik dan perlu dibaca oleh para pengambil kebijakan dan penyelenggara Diklat. Jika para peserta Diklat Kepemimpinan lainnya dapat menulis refleksi tentang pengalamannya mengikuti Diklat PIM dan mempublikasikannya, tentu akan sangat membantu semua pihak yang berkepentingan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang segala aspek terkait dengan penyelenggaraan Diklat PIM. Pembaharuan Diklat PIM membutuhkan pemahaman yang lengkap dan menyeluruh tentang apa yang terjadi dengan Diklat PIM sekarang ini agar transformasinya menuju Diklat PIM yang baru nantinya dapat dikelola dengan baik. Publikasi jurnal ini tentu sangat membantu kita semua dalam memahami realitas yang ada di Diklat PIM I. Sebagai Kepala LAN saya sangat menghargai publikasi jurnal ini dan refleksi yang dimiliki oleh penulisnya.

Kepala LAN,

Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA

Page | vi

Sambutan

Deputi Diklat SPIMNAS Lembaga Administrasi Negara

Dalam perspektif knowledge management, menulis karya ilmiah, semi ilmiah, bahkan non-ilmiah sekalipun adalah sebuah aktivitas intelektual yang sangat penting. Menulis bisa dikatakan sebagai upaya capturing knowledge, sebab dalam proses menulis ada pergulatan mencari jawaban terhadap banyak pertanyaan dan misteri. Ketika pertanyaan dan misteri tadi terungkap melalui tulisan, artinya ilmu tadi sudah terkuasai oleh penulisnya. Ini pula barangkali mengapa Khalifah Ali bin Abu Thalib bersabda yang artinya “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Namun, menulis tidak hanya bermanfaat untuk menangkap pengetahuan; ia juga sangat ampuh untuk menjernihkan / memperjelas pengetahuan (refining knowledge), menyebarkan pengetahuan (sharing knowledge), menerapkan pengetahuan (applying knowledge), sekaligus mengembangkan pengetahuan (increasing knowledge). Itulah sebabnya, dalam konteks Diklat Aparatur, menulis kertas kerja menjadi salah satu komponen yang tidak tergantikan. Learning product secara individual seperti KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan) maupun secara kolektif seperti KKA (Kertas Kerja Angkatan), adalah upaya terstruktur (by design) untuk menumbuhkan tradisi akademik serta kompetensi berpikir analitis dan sistemik bagi peserta. Meskipun demikian, kita sadari bersama bahwa kemampuan ini tidak bisa tumbuh seketika hanya karena seseorang sudah mengikuti diklat selama 10 minggu. Peserta masih dituntut untuk berkreasi dan berinovasi menghasilkan kinerja/prestasi yang melampaui harapan penyelenggara (beyond expectation). Dengan dasar berpikir seperti itulah, saya menyambut baik dan memberi apresiasi tinggi untuk inisiatif Sdr. Tri Widodo W. Utomo dalam mengkompilasi jurnal harian dan menyajikannya secara sistematis. Selain manfaat untuk yang bersangkutan, saya yakin bahwa karya seperti ini layak untuk disimak bagi penyelenggara diklat, khususnya LAN selaku instansi Pembina diklat. Saya berharap hal positif seperti ini akan diikuti oleh peserta lain untuk menambah keragaman dan kekayaan intelektual lembaga diklat di Indonesia.

Deputi Diklat SPIMNAS,

Prof. Dr. Ismaid Said, SH.,MH

Page | vii

Sepatah Ungkapan

Kepala Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan LAN Sebagaimana telah dibudayakan dalam pembelajaran Diklatpim Tk I bahwa menulis jurnal belajar pribadi merupakan keharusan bagi setiap peserta setiap hari. Jurnal belajar pribadi tersebut sebagai bentuk akuntabilitas dan dokumentasi terhadap progress pembelajaran yang dialami oleh masing-masing peserta terhadap segala sesuatu yang terjadi selama diklat berlangsung.

Sebagai pembelajar sejati, pak Tri Widodo (penulis) telah melangkah dari sekedar menulis jurnal belajar pribadi, melakukan sharing dengan sesama peserta, dan kemudian menyimpannya. Namun penulis telah mendokumentasikannya dalam sebuah buku kumpulan jurnal yang berjudul “Memandang Diklat Secara 360 Derajat”. Potret perjalanan pembelajaran diklatpim Tk I selama kurang lebih 10 minggu setidaknya dapat ditelusuri dengan membaca buku kumpulan jurnal ini sehingga dapat memberikan gambaran terhadap berbagai pihak yang belum mengenal atau belum mengalami dalam pembelajaran diklatpim Tk I.

Buku ini merupakan refleksi kepedulian penulis terhadap diri sendiri, lembaga/ Pusdiklat SPIMNAS dan bangsa. Sebagai sebuah dokumentasi yang penting, yang disusun secara teratur, sistematis dan bahkan komprehensif terhadap perkembangan proses learning yang dialami oleh penulis selama mengikuti Diklatpim Tingkat I. Pengalaman serta perenungan terhadap pembelajaran yang direfleksikan melalui jurnal tersebut tidak hanya mencakup pada materi substansi diklat semata tetapi menyangkut pula segala aktivitas dan aktor utama maupun pendukung selama diklat berlangsung selama 10 minggu. Penuangan berupa segala kritik dan ide perbaikan terhadap proses pembelajaran patut diberikan apresiasi yang sangat tinggi karena mencerminkan kepedulian dan kepekaan yang sangat tinggi terhadap desain Diklatpim Tingkat I kedepan yang lebih tepat sehingga dapat merespon kebutuhan konkrit peningkatan kompetensi para pemimpin stratejik melalui diklat kepemimpinan tertinggi ini.

Pusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan akan menjadikan catatan-catatan di dalam buku ini sebagai sumber dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan diklat ke depan, sehingga dapat menjadikan Diklatpim Tingkat I sebagai sebuah kebutuhan penting (tidak sekedar diwajibkan) bagi calon pejabat struktural eselon I. Inovasi-inovasi terbaik ke depan akan sangat mungkin terlahir dengan berawal dari Buku ini.

Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, Kepala,

Dra. Reni Suzana, MPPM

Page | viii

Sambutan

Koordinator Widyaiswara Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma

Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional Cukup lama saya membaca seluruh jurnal yang disusun pak Tri Widodo dan mencoba menangkap ide-ide, gagasan dan pemikiran pak Tri yang dituangkan didalam jurnal harian selama mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I di LAN Pejompongan. Saya memahami pemikiran orisinal pak Tri yang muncul secara spontan berdasarkan pengamatan beliau selama mengikuti seluruh proses pembelajaran Diklatpim Tingkat I ini, baik selama di dalam kelas, diskusi di kelompok, maupun tatkala bergaul dengan seluruh peserta Diklatpim I. Bahkan perasaan beliau tatkala berada di Kereta Api dalam perjalanan menuju kampus Pejompongan juga turut mewarnai jurnal ini yang tentu saja memberikan kontribusi dalam menuangkan ide-ide briliannya untuk menyempurnakan kurikulum maupun metoda pembelajaran Diklatpim yang nota bene ditujukan untuk meningkatkan kualitas para calon pemimpin masa depan. Pak Tri mengkritisi pemberian fasilitas yang berlebihan bagi peserta Diklatpim I, karena menurutnya tidak seharusnya jabatan tinggi itu berbanding lurus dengan fasilitas yang berlebih seperti yang dirasakan beliau selama mengikuti Diklatpim di Kampus LAN Pejompongan. Justru pak Tri mengusulkan agar peserta dilatih untuk tetap dapat berkarya dan berprestasi dalam kondisi serba terbatas. Inilah yang dimaksud dengan Adversity Quotions (AQ) yakni kecerdasan dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, istilah dalam bahasa Indonesianya KETAHAN MALANGAN. Dengan semakin meningkatnya kecerdasan adversitas para peserta diharapkan mampu menghadapi berbagai kesulitan, bukan orang yang selalu mendiamkan kesulitan bahkan lari dari kesulitan, sehingga tidak pernah dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pak Tri juga dalam jurnalnya mengusulkan agar peserta dapat lebih empati terhadap masyarakat miskin, sehingga tergerak hatinya untuk membantu orang orang yang lemah dan serba kekurangan dalam kehidupannya. Para peserta juga seharusnya dilatih agar ada keberpihakan terhadap orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung. Oleh karena itu selama proses pembelajaran sebaiknya ada kegiatan visitasi ke daerah-daerah miskin, berdialog dengan mereka seperti layaknya yang sering dilakukan Jokowi, bahasa gaulnya "BLUSUKAN". Kegiatan visitasi juga bisa dilakukan ke tahanan atau penjara para koruptor, kalau perlu ikut menginap di dalam kamar tahanan atau lembaga pemasyarakatan, agar dapat merasakan bagaimana kesulitan mereka selama berada di tahanan. Itulah beberapa ide brilian yang ditawarkan pak Tri dalam jurnal yang disusun secara apik dan enak dibaca.

Page | ix

Intinya, selama dalam proses pembelajaran diharapkan ada upaya untuk meningkatkan kecerdasan adversitas (AQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Saya sangat menyambut baik disusunnya buku ini yang merupakan kumpulan jurnal harian pak Tri. Diharapkan buku ini dapat memberikan inspirasi kepada penyelenggara Diklatpim dan para Widyaiswara untuk lebih meningkatkan kualitas penyelenggaraan Diklatpim, sehingga para alumninya dapat menjadi motor penggerak perubahan di instansinya masing-masing.

Koordinator Widyaiswara FBPPKN,

Dr. Ir. Nana Rukmana DW.,MA

Page | x

Kata Pengantar “Buku” ini adalah jurnal harian saat penulis menjalani tugas selaku peserta Diklatpim Tingkat I, yang kemudian dikompilasi dan disistematisasi untuk menemukan benang merah dari tulisan yang awalnya tidak didesain sebagai kesatuan tematik. Jurnal sendiri adalah catatan singkat dan ringan yang memuat hal-hal yang menarik, membangkitkan inspirasi, dan diyakini dapat menjadi media pembelajaran paling efektif baru peserta diklat. Jurnal ditulis dengan kaidah tertentu, salah satunya harus bermuatan pemikiran baru untuk perbaikan sistem Diklat Aparatur (khususnya Diklat Kepemimpinan). Oleh karena itu, meski jurnal ini ditulis dari sudut pandang beragam tergantung mood penulis dan issu yang diterima selama pelaksanaan diklat, namun ujung-ujungnya adalah rekomendasi untuk membenahi sistem diklat tersebut. Itulah sebabnya, kompilasi ini penulis beri judul “Memandang Diklat Secara 360 Derajat: Sebuah Otokritik”. Esensinya, penulis ingin menyorot kebijakan dan praktek Diklat Kepemimpinan (terutama Tingkat I) dari segala aspeknya, atau dari “delapan penjuru mata angin”. Kajian tentang Diklat Kepemimpinan dan berbagai persoalan yang menyelimuti, barangkali sudah terlalu banyak. Namun, sebagian besar kajian-kajian seperti itu dilakukan orang yang tidak sedang mengikuti diklat, sehingga penjiwaan terhadap diklat mungkin akan sangat sedikit. Sementara berbagai catatan dalam jurnal yang saya hasilkan dari rentang 20 Maret hingga 22 Mei ini di tulis pada saat saya sedang menempuh Diklatpim I. Dengan demikian, penulisan jurnal ini 100% menggunakan metode partisipatif (participatory method). Dengan metode seperti itu, persoalan yang saya ungkapkan bukan hanya persoalan di permukaan (surface) semata, namun saya usahakan dapat menyentuh lebih dalam hingga ke level pattern of behavior, systemic structure, bahkan mental model-nya. Dengan kata lain, perspektif untuk mengurai problematika diklat kepemimpinan tidak hanya mengandalkan helicopter view atau eye-bird view, namun lebih memaksimalkan submarine view atau deep-sea view. Dengan kedalaman penglihatan seperti ini, maka rekomendasi yang dihasilkan diharapkan berbeda dengan banyak rekomendasi yang selama ini telah ada. Layaknya ketika seseorang menyelam, semakin dalam dia menyelam, maka semakin sedikit pencahayaan yang mampu menembus kedalaman laut, sehingga semakin gelaplah keadaannya. Maka, sistem Diklat Kepemimpinan-pun juga memiliki kedalaman tertentu yang gelap dan tidak terlihat secara gamblang. Untuk itu, kumpulan jurnal ini mencoba menyibak kegelapan dan menemukan hal-hal yang membuat program diklat tidak optimal, untuk kemudian mengajukan gagasan perbaikannya. Oleh karena “kegelapan” juga menghinggapi penelusuran penulis, maka

Page | xi

“temuan-temuan” dalam kegelapan tadi tidak mungkin bisa diproyeksi sebelumnya. “Temuan” tadi lebih banyak bersifat accidental seiring dengan “rute” penyelaman yang penulis tempuh. Alhasil, antara temuan yang satu dengan temuan yang lain seringkali tidak saling terkait atau saling menjelaskan. Meskipun demikian, keseluruhan temuan tetap relevan untuk mengungkap dan memahami lebih dalam “harta karun” yang disebut dengan Sistem Diklat Kepemimpinan. Seiring dengan selesainya penyuntingan jurnal menjadi buku ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih yang teramat dalam dan tulus kepada berbagai pihak. Pertama, tentu penulis berhutang budi kepada Kepala LAN, Bapak Prof. Dr. Agus Dwiyanto yang telah memberi kepercayaan besar kepada penulis untuk mengikuti Diklatpim I ini, sekaligus perkenannya untuk memberi sambutan atas tulisan ini. Apresiasi yang tinggi juga kami haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ismail Said, SH.,MH, Deputi Diklat SPIMNAS, dan Ibu Dra. Reni Suzana, MPPM, Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, yang telah berkenan memberi kata sambutan terhadap kumpulan tulisan ini. Terima kasih dan salam hangat selalu penulis persembahkan kepada rekan-rekan peserta yang telah menjadi mitra pembelajaran yang produktif dan menginspirasi penulisan jurnal demi jurnal yang terkadang cukup melelahkan. Tak lupa untuk para Widyaiswara yang sudah memeras tenaga dan pikirannya demi membimbing dan mendampingi peserta hingga tuntasnya Diklatpim I, penulis haturkan terima kasih. Last but not least, untuk istri tercinta, R. Kania Bratadiredja, S.Sos beserta anak-anak harapan bangsa, Nurusyifa Widia Syafrisna, Rasyanda Zalfanur Nidatama, Najlanur Tria Mardyanita, Muhammad Mizan Abdurrahman, dan Muhammad Nizam Abdurrahim, terima kasih saja rasanya tidak cukup. Merekalah energi terbesar yang senantiasa menyemangati penulis dalam menjalankan setiap tugas dan aktivitas dengan tetap beroerientasi mutu. Maka, dengan segenap cinta mendalam, karya sederhana ini penulis persembahkan untuk mereka. Bagi pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebut satu per satu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga Allah akan membalas dengan pahala yang tak pernah putus dan memberi kebaikan dunia akherat untuk kita semua. Tentu saja, tiada gading yang tak retak. Sekuat apapun penulis mencoba memeras pikiran, pasti banyak kekurangan dari karya ini. Sehebat apapun penulis mencoba menghasilkan masterpiece, selalu yang ada adalah ketidaksempurnaan sepanjang masih di muka bumi. Maka, dengan segenap kesadaran dan keterbukaan, penulis sangat menantikan saran dan kritik pembaca yang budiman. Penulis juga mohon maaf yang sebesar-besarnya jika tulisan ini mengandung kata-kata yang kurang pada tempatnya, atau ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan isi tulisan ini. Apapun yang tertulis dalam buku ini, semata-mata penulis niatkan untuk kebaikan Republik tercinta, khususnya dalam rangka pengembangan SDM aparatur yang lebih bergengsi melalui penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan. Tidak terbersit niat sekecil apapun untuk menyudutkan, apalagi menyakiti dan mencari

Page | xii

kesalahan pihak tertentu. Sebagai peserta, penulis hanya merasa turut memikul tanggungjawab moral agar sistem diklat di tanah air semakin berbobot dan membawa manfaat secara optimal. Hal-hal yang baik perlu diapresiasi, semenatra yang masih kurang harus segera dicari solusinya untuk kepentingan bersama. Akhirnya, penulis berharap bahwa percikan permenungan ini dapat memberikan manfaat walau hanya sebesar atom … (Tri Widodo W Utomo) Peserta Diklatpim Tingkat I Angkatan XXV, 2013 NDH. 12

Page | xiii

Executive Recommendation Buku ini mencoba mengidentifikasi sebanyak mungkin alternatif yang layak dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan. Metode yang digunakan untuk menemukan butir-butir pemikiran yang kemudian diusulkan sebagai policy recommendation adalah metode partisipatif murni (pure participatory method), dimana penulis terjun langsung sebagai peserta dalam penyelenggaraan Diklatpim Tingkat I. Berbagai peristiwa, pengalaman, perasaan, dan interaksi dinamis selama mengikuti Diklatpim Tingkat I, telah mempengaruhi pandangan penulis, yang dituangkan dalam jurnal harian. Dari rangkaian jurnal yang ada, policy recommendation dalam mereformulasi kebijakan Diklat Aparatur sekaligus mereformasi penyelenggaraannya, dapat dikategorikan kedalam beberapa aspek sebagai berikut: Dari Aspek Desain dan Strategi Diklat, program Diklatpim yang relatif panjang durasinya lebih baik dipenggal-penggal menjadi program pendek-pendek dengan repetisi (pengulangan) pada periode tertentu, namun harus menghasilkan rencana pribadi untuk rancang bangun organisasi masa depan yang lebih aplikatif (#4). Diklat Kepemimpinan juga harus di-redesign agar mampu menghasilkan PNS dan para pejabat yang memiliki RPM (revolutions per minute) tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya (#6). Selanjutnya, perlu didesain pula agar diklat dapat menjadi bagian dari proses nation building (#3 dan #5). Hal lain yang urgen untuk dipikirkan adalah perlunya mengembangkan konvensi bahwa memberi ceramah bagi seorang tokoh nasional atau pejabat tinggi negara merupakan wujud Professional Social Responsibility (PSR) dari pejabat yang bersangkutan, sehingga mereka tidak cenderung meremehkan eksistensi Diklat Kepemimpinan (#14). Pada tataran yang lebih spesifik, penyelenggara perlu mendesain ulang dan merumuskan kembali filosofi, metode, skenario, dan target kompetensi yang diinginkan dari materi Tugas Baca. Aktivitas “membaca” seyogyanya tidak selalu diartikan membaca teks (naskah tertulis), namun bisa diarahkan untuk membaca konteks, yakni fenomena sunatullah atau tanda-tanda zaman (#13). Agar diklat dapat berkontribusi secara langsung terhadap pemecahan masalah aktual, maka diklat by design dapat dikembangkan sebagai melting pot yang mempertemukan berbagai pihak untuk membahas masalah bersama hingga menemukan solusinya. Artinya, diklat diselenggarakan dengan maksud tertentu atau purposive training, yakni sebagai sebuah “industri peleburan” yang akan mengkonversi bahan dasar menjadi bahan jadi, mereformulasi inkompetensi menjadi kompetensi, dan mentransformasi onggokan menjadi sesuatu yang serba sistem (#16).

Page | xiv

Hal lain yang dapat direkomendasikan adalah bahwa rancangan diklat aparatur kedepan seyogyanya berani mengakomodir materi spiritualitas kedalam muatan kurikulumnya. Sedangkan yang terjadi selama ini, desain diklat (formal) cenderung sangat sekuler, yang sengaja menjauhkan diri dari muatan spiritual dengan alasan toleransi. Maka, mengakomodir mautan spiritualitas kedalam kurikulum diklat sangatlah penting agar tidak terjadi gap yang semakin menganga antara kemampuan teoretis akademis yang dimiliki peserta, dengan kapasitas spiritual yang semakin kering (#23). Pada elemen “pembulatan”, direkomendasikan adanya kerangka pikir logis (logical framework) tentang diklat secara keseluruhan, yang berisi alasan mengapa diklat diperlukan, dan apa yang akan terjadi jika diklat tersebut tidak dilakukan. Selanjutnya, pada level messo diperlukan pula framework yang menjadi dasar mengapa sekelompok materi pembelajaran diberikan pada kajian tertentu, dan bagaimana berbagai materi tersebut secara bersama-sama dapat membangun kompetensi yang diharapkan. Kemudian pada level mikro-pun harus ada framework mengapa sebuah materi/mata diklat/agenda diberikan dan seperti apa posisinya terhadap rancang bangun program diklat secara holistik? (#37). Sementara pada elemen “kasus”, direkomendasikan kriteria tentang makna “kasus” serta kriteria tentang makna “kasus” (#36). Dari Aspek Metodologi, pembelajaran mestinya tidak didominasi in-class learning, namun mengakomodir interaksi langsung peserta dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, atau on the spot learning. Dengan kata lain, perlu diperkenalkan participatory technique yang mempersyaratkan keterlibatan langsung peserta dalam sebuah situasi atau aktivitas kelompok masyarakat tertentu (#2). Selain itu, metode Andragogi yang sering diterapkan para Widyaiswara harus ditopang dengan kemampuan substantif yang memadai dari Widyaiswara tersebut (#7). Dari Aspek Kurikulum dan Materi, penulis menyarankan diberikan zero mind process diawal pembelajaran, untuk mengosongkan pikiran dan membebaskan peserta dari belenggu jabatan, pengalaman, gelar, dan sebagainya (#1). Diklat Kepemimpinan pada berbagai level semestinya juga mengembangkan kurikulum untuk membentuk alumni diklat sebagai para pengikut (follower) yang baik, patuh, dan inovatif (#8). Selanjutnya, jumlah sessi untuk materi metode/ teknik analisis perlu dikurangi secara signifikas, dan sebagai gantinya LAN harus menyusun modul khusus yang berisi berbagai metode/teknik analisis yang dapat diaplikasikan untuk keperluan menyusun produk-produk pembelajaran Diklatpim semua jenjang. Akan lebih baik lagi jika LAN mengembangkan diklat teknis tentang Teknik Analisis yang mendukung pembelajaran Diklatpim, dan dijadikan sebagai prerequisite (persyaratan) sebelum mengikuti Diklatpim, sehingga pada saat menganalisis kasus atau menulis kertas kerja, tidak perlu lagi ada perdebatan tentang substansi, tahapan, atau aplikasi metode/teknik analisis tertentu (#9). Masih terkait dengan aspek kurikulum dan materi, penulis merekomendasikan agar kemampuan mendengar (listening competency) bagi peserta Diklat Kepemimpinan

Page | xv

lebih diasah dibanding kemampuan bicara (oral / speech competency). Selama ini, belum tumbuh kesadaran bahwa pendengaran adalah piranti pembelajaran yang terpenting, yang berkontribusi lebih besar terhadap kesuksesan dan produktivitas seseorang dalam organisasi (#12). Disisi lain, perlu ada ketersambungan dan interkoneksi antar kajian ketiga dalam Diklatpim (FBPPKN, SMPP, KSKP), sehingga ketiganya akan membentuk sebuah sistem, bukan onggokan yang tidak bermakna. Ketiga kajian itu sendiri sudah waktunya dievaluasi, salah satunya dengan memperjelas hubungan kompetensi yang dibangun antar ketiganya (#22). Dari Aspek Produk Pembelajaran, KTP2 untuk Diklatpim I (juga untuk Diklatpim II) harus lebih difokuskan pada fungsi manajerial makro seperti berpikir visioner, berpikir lintas sektor / lintas daerah / lintas susunan pemerintahan / lintas disiplin, memimpin perubahan, menemukan dan mendorong inovasi, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa KTP2 Diklatpim I hendaknya tidak terjebak pada penyusunan rencana kegiatan, namun harus berupa konsep besar (big thinking) tentang rancang bangun organisasi masa depan serta kebutuhan transformasi untuk menjamin eksistensi organisasinya ditengah tuntutan global yang makin kompleks (#11). Dari Aspek Sarana Prasarana, perlu dicoba sarana yang serba kurang dan serba terbatas, bukannya menyediakan sarana yang serba lengkap cenderung mewah (#2). Filosofi diklat adalah barangsiapa lulus dari kondisi serba terbatas tersebut tanpa keluhan sedikitpun, maka orang tersebut layak menjadi pemimpin. Dari Aspek SDM Kediklatan, widyaiswara perlu memahami dengan utuh minimal tiga metode/ teknik analisis yang dapat digunakan dalam menyusun produk pembelajaran individu maupun kelompok (#9). Selain itu, widyaiswara dituntut untuk memiliki kepekaan dan kejelian dalam memberikan penilaian, tidak semata-mata didasarkan pada pendekatan kuantitas berupa frekuensi peserta dalam sebuah diskusi (misalnya), namun lebih kepada pendekatan kualitas (#12). Seiring dengan hal ini, widyaiswara yang baik harus pula mampu “membaca” kondisi kebatinan peserta, apakah segala yang dilakukan benar-benar karena ketulusan dan antusiasmenya, ataukah hanya untuk memuaskan widyaiswara namun mengecewakan dirinya sendiri? Dalam keadaan tertentu yang kurang menguntungkan, widyaiswara harus secepat kilat mampu menemukan solusi yang cerdas untuk kebaikan bersama (#13). Tidak cukup sampai disana, seorang Widyaiswara hendaknya bisa lebih arif menyikapi ungkapan dan perilaku peserta yang terkadang masih “mentah” dan emosional. Widyaiswara juga perlu selalu menempatkan sesuatu pada konteks yang tepat, sehingga ucapannya tidak menimbulkan kesalahpahaman dan menciptakan suasana yang cenderung kurang menguntungkan bagi proses pembelajaran selanjutnya. Bahkan dalam beberapa hal, seorang Widyaiswara yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan “diplomasi” tingkat tinggi (#20). Dari Aspek Aktualisasi, selain dituntut untuk memiliki konsep yang kuat tentang dasar filosofis dan akademis Observasi Lapangan 9OL), penyelenggara juga perlu untuk memperjuangkan kembali agar OL dapat dilakukan di luar negeri sebagaimana pada

Page | xvi

penyelenggaraan Spati dahulu. Demikian pula, Simulasi-pun harus didasarkan pada argumentasi filosofis akademis yang jelas dan kuat. Paling tidak ada tiga hal untuk penyempurnaan kegiatan simulasi yang bisa disarankan, yakni: 1) dilakukan pada scope yang lebih kecil yakni kelompok, bukan kelas; 2) didukung dengan kasus yang spesifik, detil, dan cenderung kompleks; serta 3) dilakukan dengan persiapan yang cukup (#28). Dari Aspek Costumer Service Kediklatan, penyelenggara harus menyusun dan mengembangkan instrumen untuk mengukur Indeks Kepuasan Peserta Diklat. Evaluasi yang selama ini dilakukan hanya menyentuh aspek persepsi, namun tidak bisa menjadi alat ukur kinerja penyelenggara dan widyaiswara (#10). Selain aspek-aspek pokok yang dikemukakan diatas, ada beberapa sisi lain sistem diklat yang dapat dikembangkan, antara lain: • Penyelenggara harus memiliki contingency plan terhadap kemungkinan tidak berjalannya rencana tertentu agar mutu diklat tetap dapat dipertahankan (#15).

• Perlunya diterbitkan rekomendasi LAN untuk peserta/alumni yang berprestasi kepada pimpinan instansinya sebagai media pengendalian diklat serta meminimalisir politisasi jabatan dan tidak termanfaatkannya alumni diklat (#15).

• Penceramah sebaiknya diarahkan untuk bicara tidak hanya di level permukaan saja, namun lebih kepada hal-hal yang tidak banyak diketahui publik atau the untold stories (#21).

• Arus keluar masuk ruangan selama proses pembelajaran harus dihindari. Selain bisa mengganggu peserta lain, “lalu-lintas” pada saat kelas berlangsung juga bisa diterjemahkan sebagai kekurangsungguhan seseorang dalam mengikuti pembelajaran, sebagaimana halnya bicara sendiri ketika penceramah tengah bicara. Oleh karena itu, ada baiknya etika ‘sepele” seperti ini juga ditekankan sejak awal mulainya diklat (#24).

• Ada baiknya penyelenggara memiliki instrumen pengukuran dan pemantauan beban kerja masing-masing peserta. Hasil pengukuran dan pemantauan beban kerja ini selanjutnya akan menjadi dasar untuk melakukan treatment kepada peserta, apakah perlu diberi penugasan tambahan bagi yang beban kerjanya rendah, atau sebaliknya akan diberi dispensasi tertentu dalam hal memiliki beban kerja diatas rata-rata (#29).

• LAN (cq. Pusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan) perlu menjalin kerjasama dengan ANRI dan menyiapkan memorandum of understanding berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mendokumentasikan setiap dinamika pada Diklatpim di ANRI (#32).

Page | 1

Jurnal #1

“Untuk Apa Saya Disini?” Pertanyaan diatas muncul tak terbendung ketika saya mendapat tugas untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I, mulai hari ini, Rabu, 20 Maret 2013 hingga 22 Mei nanti. Ini adalah pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab, namun harus direnungkan. Sebab, ketika pertanyaan ini dijawab, maka jawabannya begitu mudah, yakni bahwa saya menjalankan penugasan Kepala LAN, atau sekedar mencari kelengkapan persyaratan sebagai seorang calon pemangku jabatan eselon I, atau mungkin juga jawaban yang sedikit idealis bahwa saya ingin terus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan agar mampu membangun kinerja organisasi yang lebih baik. Namun ketika direnungkan, terlalu banyak hal yang justru tidak terjawab. Apalagi, ketika keberadaan saya di kampus dan asrama Pejompongan ini didukung dengan fasilitas yang begitu tinggi layaknya orang penting. Saya mendapat fasilitas 1 kamar dengan kelengkapan AC, air panas, spingbed, bahkan juga layanan laundry harian dan mingguan. Belum lagi soal materi diklat, fasilitas olahraga, hingga layanan kesehatan, yang semuanya free of charge. Itupun belum seberapa. Anggaran yang harus disediakan negara untuk mengirim saya mengikuti Diklatpim I tentu teramat besar, melebihi SPP Program Doktor selama 1 tahun! Saya juga masih terus menerima gaji dan tunjangan jabatan meski saya tidak bekerja secara efektif, bahkan dibebaskan sementara dari tugas kedinasan. Maka … pertanyaan yang menggelisahkan adalah: nilai tambah apa yang harus saya hasilkan dari Diklat ini agar anggaran negara dan sederet fasilitas tadi tidak sia-sia? Kinerja seperti apa yang harus saya bangun agar saya menjadi orang yang lebih banyak “memberi” dari pada “menerima”? Sebagai seorang pemangku jabatan Eselon II, saya percaya bahwa jabatan bukan hanya wujud penghargaan dan kepercayaan dari pimpinan organisasi, namun lebih merupakan kedudukan yang didalamnya melekat tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadikan jabatan sebagai media/sarana mencapai tujuan berorganisasi. Saya masih terngiang dengan jelas statement Kepala LAN pada saat pelantikan jabatan struktural di LAN, Jum’at, 15 Maret 2013, bahwa jabatan bukanlah luxury atau kemewahan. Maka, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin berat pula tanggungjawab yang diembannya. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin jauh pulalah mestinya orang tersebut dari kemewahan. Sebab, semakin luas wewenang yang dimiliki, semakin besar tanggungjawabnya, dan semakin banyak fasilitas yang diterima, maka semakin besar pula kewajiban dia “membayar” kepada organisasi, kepada negara, dan kepada rakyat, dalam bentuk pengabdian yang semakin tulus, kinerja yang semakin baik. Pertanyaan lain yang sulit terjawab adalah: benarkah saya berhak mengikuti Diklatpim ini? Benarkah selama ini saya sudah memiliki kinerja yang patut dibanggakan, sehingga pimpinan memberi reward kepada saya untuk mengikuti

Page | 2

Diklatpim? Apa sesungguhnya kontribusi saya yang nyata dan terukur untuk institusi, bangsa, dan negara? Apakah tumpukan laporan penelitian yang pernah saya kerjakan sejak 1994 adalah bukti autentik dari prestasi saya? Bagaimana jika itu justru dilihat dari perspektif sebaliknya sebagai sebuah kesia-siaan? Dan pertanyaan paling sulit adalah: tahukah rakyat bahwa yang kita lakukan sehari-hari dalam mengemban amanah jabatan adalah untuk kemaslahatan mereka? Yakinkah bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan bangsa? Saya sering membayangkan sebuah situasi dimana masyarakat tiba-tiba datang di depan peserta dan penyelenggara Diklatpim (dimanapun dan pada jenjang apapun), kemudian membuat pernyataan sikap sebagai berikut: Bapak/ibu yang terhormat, dapatkan bapak/ibu meyakinkan kepada kami bahwa program yang bapak/ibu ikuti akan membawa manfaat bagi kami? Dalam hal apa hidup kami bisa menjadi lebih baik dengan keikutsertaan bapak/ibu dalam Diklatpim ini? Dan jika bapak/ibu gagal menjelaskan kepada kami, relakah bapak/ibu untuk menutup program ini dan mengalihkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar kami? Tentu situasi semacam itu hanya imajiner belaka, dan teramat kecil kemungkinan untuk menjadi kenyataan. Namun bagi saya, kontemplasi semacam ini tetaplah diperlukan untuk menyadarkan saya dan seluruh PNS bahwa kesempatan mengikuti Diklat, atau kesempatan menduduki jabatan, atau kesempatan turut mencicipi fasilitas negara, bukanlah kesempatan untuk dinikmati, disia-siakan, apalagi disalahgunakan. Itu semua adalah amanah yang harus ditunaikan, tantangan yang harus dijawab, ujian yang harus dipertanggung jawabkan, serta pembuktian yang harus dikonkritkan. Bagi saya pribadi, perenungan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan retorik tadi adalah upaya saya melakukan zero mind process, atau proses pengosongan pikiran agar dapat membuang belenggu-belenggu yang dapat mempersulit penerimaan dan penghayatan saya terhadap materi pembelajaran yang diberikan. Dalam konteks penyempurnaan kurikulum Diklat Kepemimpinan, ice breaking saja tidak cukup. Untuk itu, saya menyarankan agar zero mind process ini diberikan diawal pembelajaran. Bagaimana metode pengosongan pikiran ini, tentu dapat didiskusikan dan disepakati oleh para ahli pendidikan. Jika hingga sekarang saya belum mampu menjawab pertanyaan “untuk apa saya disini” – dan ini membuat saya merasa sedikit bersalah – maka biarkan saya mengurangi rasa bersalah saya dengan mencoba menyerap sebanyak mungkin ilmu-ilmu dan manfaat lain dari Diklat Kepemimpinan Tingkat I ini …

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 20 Maret 2013

Page | 3

Jurnal #2

“(Mencoba) Berpikir Berbeda Tentang Diklat Kepemimpinan” Pada hari pertama pelaksanaan Diklatpim I Angkatan XXV/2013 kemaren, telah dilakukan pemetaan kepribadian menggunakan instrumen Myers Briggs Tipe Indicator (MBTI). Hasilnya, saya masuk dalam tipe kepribadian INFJ (Introvert – Intuition – Feeling – Judging). Secara parsial, saya merasa bukan manusia dengan tipe introvert yang mengumpulkan informasi berdasarkan intuition, mengambil keputusan dengan mengandalkan feeling, serta memiliki gaya hidup judging. Namun secara keseluruhan, kepribadian INFJ dikatakan sebagai kepribadian Most Contemplative, yang nampaknya memang bersesuaian dengan diri saya pribadi. Sebagai pegawai yang telah “berkubang” di dunia penelitian selama hampir 20 tahun, wajar kiranya jika terbentuk dalam diri saya kebiasaan untuk berpikir, berkontemplasi, bermimpi, bahkan berandai-andai. Dan “hobby” berkontemplasi saya ini semakin menjadi setelah saya mendapat musibah kehilangan mobil pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu. Hanya, kontemplasi saya terhadap musibah ini bukan untuk mengembangkan banyak alternatif dan merekomendasikan kebijakan terbaik sebagaimana yang saya kerjakan selaku peneliti. Saya lebih mencoba mencari hikmah dan rahasia Ilahi dibalik keputusan-Nya yang terasa amat pahit buat saya se-keluarga. Dengan semangat berkontemplasi itu pula, bermunculan ide-ide baru dalam benak saya tentang diklat aparatur, khususnya Diklat Kepemimpinan. Tidak terhindarkan bahwa pandangan baru saya ini banyak dipengaruhi oleh musibah yang saya alami, dan kebetulan juga memiliki keterkaitan dengan zero mind process yang saya tulis pada Jurnal #1 (Untuk Apa Saya Disini?). Pada jurnal sebelumnya saya mempertanyakan, mengapa peserta Diklatpim (terutama jenjang Eselon 1) harus dilengkapi dengan fasilitas yang cukup mewah? Mental model birokrasi kita selama ini memandang lazim bahwa semakin tinggi jabatan identik dengan makin banyak dan mewahnya fasilitas yang harus disediakan. Nah, sekarang saya telah mengubur dalam-dalam pandangan seperti ini. Logikanya, jika semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin dalam dan besar tanggungawabnya untuk melayani masyarakat, apakah penambahan fasilitas akan menjamin seseorang tersebut dapat lebih baik dalam melayani masyarakat? Bagi saya ini sebuah logika yang kurang pas, kalau tidak dikatakan keliru (misleading). Maka, mestinya tidak perlu ada penambahan sarana atau privilege tertentu. Pejabat yang baik sangat mungkin justru menanggalkan berbagai kemudahan yang menjadi haknya berdasarkan aturan yang berlaku. Perilaku Gubernur DKI Jakarta Jokowi barangkali bisa menjadi contoh, bahwa pejabat tinggi tidak selamanya harus dikawal oleh ratusan orang dan puluhan mobil. Juga bahwa pejabat sekaliber Gubernur bisa melakukan hal ekstrem seperti turun ke gorong-gorong, turut membersihkan sampah di sungai, dan sebagainya.

Page | 4

Dalam konteks kediklatan, maka fasilitas yang megah sebenarnya bukanlah atribut yang melekat pada sistem dan program diklat, terlebih jika indahnya fasilitas semakin menjauhkan para peserta diklat dari “konstituen” yang harus dipikirkan dan dilayani. Seorang pejabat yang baik mestinya bisa membuktikan kepada siapapun bahwa dia tetap mampu menjalankan kewajiban sebagai peserta diklat meski tanpa didukung sarana yang berlebih, dan tetap tanpa keluhan (zero complaint). Bagi saya, seseorang yang masuk dalam lingkungan pendidikan, lebih logis jika dihadapkan pada situasi yang serba sulit, serba terbatas, dan serba kekurangan. Dari situasi seperti itulah diharapkan muncul sikap dan perilaku tangguh, sekaligus membangun kompetensi inovatif dalam dirinya. Sebaliknya dengan fasilitas yang serba nyaman, bukankah hanya akan menciptakan para birokrat yang manja, cengeng, dan mudah mengeluh? Dengan minimalnya sarana diklat tadi (jika ide ini dapat diterima), maka metode penyampaian materi, penanaman nilai-nilai, dan internalisasi doktrin (jika ada) juga perlu diubah. Pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam kelas, namun justru harus diarahkan pada sistem pembelajaran di alam terbuka. Salah satu alam terbuka yang bisa dijadikan sumber pembelajaran adalah kantong-kantong kemiskinan atau pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta. Atau bisa juga situasi di dalam kereta ekonomi. Atau mungkin juga kehidupan sehari-hari tukang sapu, tukang ojeg, dan kelompok masyarakat lain yang selama ini dianggap “terpinggirkan”. Ide ini muncul dari pengalaman pribadi saya menggunakan jasa KA jurusan Serpong – Tanah Abang. Sejak kehilangan mobil, saya memang beralih ke moda transportasi rakyat ini. Dan ternyata, begitu banyak pembelajaran yang saya peroleh dari “interaksi” saya dengan wong cilik. Pertama kali saya naik KA ekonomi, saya begitu terperanjat dengan begitu banyaknya penyandang cacat yang tidak berkaki dari pangkal pahanya. Namun mereka tidak memperlihatkan raut muka menyesal, marah, serakah, ataupun sedih. Mereka terlihat enjoy menjalani takdirnya dengan menjadi peminta atau pengamen. Saya sempat bertanya dalam hati: dimana negara saat dibutuhkan warganya? Bukankah mereka bisa saja menuntut negara untuk menegakkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945? Pertanyaan saya pun berlanjut: kemana perginya para pejabat pemerintah sehingga tega menelantarkan saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan? Mengapa justru ada larangan para pengemis, pedagang asongan, dan pengamen untuk memasuki kereta dan peron? Bukankah ini adalah kebijakan yang sangat tidak merakyat, diskriminatif, bahkan bertentangan dengan Konstitusi? Pada kesempatan lain, saya melihat sepasang suami istri yang buta keduanya, dengan membawa 3 anak, dengan salah satunya masih bayi dan berada dalam gendongan sang ibu. Saya begitu trenyuh melihat mereka dan tidak sanggup membayangkan bagaimana cara mereka mengasuh anak, menyiapkan makanan, mencari nafkah, dan seterusnya? Sayapun mengutuk diri saya dengan mengatakan pada diri sendiri betapa tidak bermanfaatnya saya selaku pemangku jabatan Eselon II namun tidak berdaya

Page | 5

melihat situasi ketidakberdayaan masyarakat di depan mata. Saya memiliki angan-angan besar untuk memuliakan manusia-manusia “terlantar” seperti mereka, namun yang mampu saya berikan pada akhirnya hanyalah memberikan beberapa lembar uang ribuan. Sungguh betapa malunya saya … Di hari lain, saya mengamati para penghuni pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta yang begitu damai ditengah kemiskinan yang menghimpit. Tanpa aliran listrik legal, tanpa saluran air bersih, tanpa fasilitas MCK yang sehat, namun mereka bisa makan bersama keluarga dan bercengkerama riang gembira. Saya pun kembali bertanya-tanya: apa sesungguhnya yang membuat mereka begitu ikhlas dan bahagia? Sayapun terpikir, sudahkah para pejabat mengunjungi mereka dan belajar makna kehidupan dari mereka? Peristiwa-peristiwa seperti itulah yang membentuk weltanschauung (worldview) baru dalam diri saya. Saya sangat menganjurkan penyelenggara diklat untuk mengakomodir interaksi langsung peserta dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, on the spot. Disitulah para pejabat tadi harus mengenali kebutuhan dan aspirasi rakyat, sekaligus menggali banyak hal agar dapat menemukan esensi pembelajaran yang sejati. Saya juga berpikir bahwa pejabat sekaliber Menteri dan Presiden sekalipun, hendaknya sekali-kali pergi ke kantornya dengan menggunakan moda transportasi rakyat seadanya, agar mereka mengetahui itulah kondisi faktual kehidupan rakyat kita, itulah kualitas pelayanan publik, dan itulah tingkat kinerja mereka (para pejabat). Ketika mereka menyadari bahwa kinerjanya selama ini mengecewakan rakyat, diharapkan segera merombak cara kerja dan orientasi program, juga melakukan realokasi anggaran yang lebih tepat sasaran. Lebih ekstrem lagi, saya membayangkan situasi dimana para peserta Diklat Kepemimpinan juga dibebani tugas yang “mustahil”, misalnya dengan membersihkan WC, menyapu halaman, mengepel lantai (bukan untuk kamarnya), membersihkan selokan, atau merawat taman dan membuang sampah ke TPS/TPA. Mengapa tidak? Bukankah kita pernah mendapat cerita ketika seorang ulama besar didatangi orang yang meminta nasihat, dan setelah orang tersebut pulang, maka sang ulama kemudian membersihkan WC dan mengepel lantai. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, sang ulama menjawab bahwa dia takut menjadi sombong dan merasa lebih pandai dari pada orang yang meminta nasihat. Artinya, aktivitas yang “menjijikkan” seperti menyikat kloset, sesungguhnya akan banyak menggugurkan sifat sombong yang banyak menjangkiti para pejabat tinggi. Bagi saya, metode ini adalah participatory technique (terlibat langsung dalam sebuah situasi atau aktivitas tertentu), yang selama ini vacuum dari metodologi diklat aparatur. Dan dengan metode yang baru ini, diharapkan Diklat Kepemimpinan akan menghasilkan efek mendalam (deep impact), bukan efek yang dahsyat (high impact). Deep impact adalah dampak yang bersifat fundamental dan long lasting, sedangkan high-impact lebih bersifat ledakan sesaat (temporary blasting). Dengan deep impact ini, Diklatpim 1 harus menghasilkan dampak mendalam yang nyata melalui internalisasi nilai melalui eksperimentasi partisipatoris. Teknik belajar dari orang

Page | 6

miskin hanyalah salah satu cara, dan terbuka teknik lain seperti enginap di penjara KPK, menjalankan tugas sebagai orang miskin, menjalani kehidupan di wilayah konflik atau bencana, dan sebagainya. Keterlanjuran saya untuk suka berkontemplasi juga mengantarkan saya pada pemikiran bahwa waktu penyelenggaraan diklat sebaiknya tidak selalu berhimpit dengan jam kerja normal (antara jam 08.00 – 16.30). Mengapa tidak dicoba pembelajaran tengah malam? Bukankah Allah sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk bangun di sepertiga malam terakhir, karena pada waktu itulah Allah akan menurunkan banyak hidayah, ilmu, dan segala macam kebaikan kepada mereka yang bangkit dari tidurnya. Bukankah dari aspek kesehatan hal ini juga sangat baik dan dianjurkan? Nah, jika kita memiliki waktu-waktu istimewa, mengapa tidak dicoba diterapkan dalam mendesain jadual Diklat Kepemimpinan? Mungkin sekali banyak diantara kita yang akan menolak ide seperti ini. Namun penolakan terhadap kebaruan (novelty) hanya akan membuktikan bahwa kita resisten terhadap perubahan, bahwa kita senang dengan kenyamanan yang telah kita rasakan, bahwa kita tidak pernah maju meski hanya selangkah. Dengan perubahan pada metodologi dan penambahan content pembelajaran yang saya sebutkan diatas, saya percaya bahwa alumni Diklatpim I akan menghasilkan (calon) pemimpin yang memaknai kepemimpinan bukan hanya sebuah seni dalam alam teori atau di ruang kantor, namun merupakan aksi di lapangan (action leadership).

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 21 Maret 2013

Page | 7

Jurnal #3

“Refleksi Kebangsaan (Calon) Pemimpin” Saya sungguh beruntung mendapat penugasan mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I. Sebagai seorang yang selalu mengaku sebagai pembelajar dan haus dengan kebaruan diberbagai bidang, saya sangat antusias untuk menjalani seluruh agenda yang ditawarkan penyelenggara. Sayapun telah menyiapkan diri 100 persen baik secara fisik maupun mental untuk mengambil manfaat terbesar bagi diri saya. Dari kemanfaatan diri ini, saya berharap akan dapat berbuat jauh lebih baik untuk institusi yang telah membesarkan saya selama 20 tahunan terakhir. Pada saat upacara pembukaan, kami dapat informasi bahwa salah satu agenda yang didalami pada Diklatpim Tingkat I adalah Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional. Bukan berarti agenda lain tidak penting, namun saya memberi perhatian lebih untuk soal kebangsaan. Dan setelah mendengarkan ceramah Dr. Yudi Latif tadi pagi, saya semakin yakin bahwa pembangunan nilai-nilai kebangsaan (cinta tanah air, pride sebagai warga negara, tekad untuk mendarmabaktikan diri demi negeri) semakin urgen di era globalisasi dan demokrasi sekarang ini. Banyak alasan yang mendasari pemikiran saya mengapa soal kebangsaan ini penting, terutama dalam konteks penyelenggaraan Diklatpim I. Pertama, peserta Diklatpim I adalah para pegawai yang hampir mendekati puncak karier. Artinya, cara pandang yang dimiliki tidak lagi berada pada level institusi apalagi unit kerja. Kapasitas (calon) pemangku jabatan Eselon I tentu tidak lagi pada tataran operasional, namun telah berpindah ke wilayah yang lebih strategis, yang menuntut keluasan perspektif dalam melihat suatu masalah serta kemampuan menganalisis kompleksitas permasalahan secara substansial. Kedua, ada kecenderungan permasalahan kebangsaan dewasa ini semakin membesar. Di tingkat elite politik, terlihat secara kasat mata pertikaian antar politisi baik dalam parpol yang sama ataupun antar parpol. Koalisi yang tidak pernah sehati dan saling menyandera juga mewarnai perjalanan politik nasional 5 tahun terakhir. Di lingkungan eksekutif diwarnai oleh pertikaian para pembantu Presiden yang saling mengancam, misalnya terkait issu kongkalikong anggaran. Para Gubernur se Kalimantan juga pernah bersatu untuk memboikot pengiriman batu bara ke pulau Jawa sebagai bentuk kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi. Di tataran akar rumput, konflik jauh lebih massive dan beragam, sejak kasus Sampit, Poso, dan Ambon, hingga kasus Ahmadiyah dan Gereja Yasmin. Singkatnya, konflik di Indonesia tidak hanya terjadi antara rakyat vs rakyat, namun juga rakyat vs negara, dan bahkan negara vs negara. Belum lagi persoalan generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai kebangsan dan religiositas sebagaimana terlihat dari kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, seks

Page | 8

bebas, dan yindakan hedonism lainnya. Hal inipun masih diperparah dengan semakin merebaknya kriminalitas di sekitar kita. Berbagai fenomena diatas memberi alarm yang kuat bahwa ke-Indonesia-an kita sudah mulai retak dan semakin rapuh. Padahal, kurang apa dengan negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja ini? Dalam bahasa Jawa sering kita dengan ungkapan murah kang sarwa tinuku, tukhul kang sarwa tinandur, yang mengilustrasikan bahwa negeri ini diberkahi Sang Pencipta dengan karunia berlimpah. Perjuangan melawan kolonialisme Portugis, Belanda, dan Jepang, juga telah membentuk semangat kesatuan sebangsa dan setanahair, serta menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan kebangsan yang begitu kuat, hingga terwadahi dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, Jika dilacak jauh ke masa silam, bibit-bibit nasionalisme sudah terlihat ketika Kertanegara (Raja Singasari) pada tahun 1275 M memperkenalkan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara. Inilah embrio awal dari “nusantara” yang kita kenal dewasa ini. Konsep Kertanegara tersebut diperkuat lagi dengan Sumpah Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada tahun 1336 M yang tidak akan melepaskan puasanya sebelum seluruh nusantara bersatu. Di awal abad 20, Ki Hajar Dewantara telah melontarkan semboyan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga, 1913). Ini jelas sekali merujuk pada aneka ragam suku dan budaya yang tersebar dan terbentang di seluruh penjuru nusantara. Jika dewasa ini kita sering mendengar semboyan The Three Musketeers yakni “One for All, All for One”, maka jauh hari sebelumnya bangsa kita telah mempraktekkannya. Tidak ketinggalan dengan para pendahulunya, para pemuda di tahun 1928 telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang semakin memperkuat tekad mewujudkan kesatuan tumpah darah, kesatuan bangsa, dan kesatuan bahasa, Indonesia. Akhirnya, berbagai tautan historis tadi diukir dengan tinta emas dalam naskah Proklamasi 17-8-1945 dan UUD 1945 tanggal 18-8-1945. Menjadi pertanyaan bagi seluruh pewaris kemerdekaan, mengapa perjuangan yang sedemikian panjang dan telah berhasil membentuk identitas kebangsaan bernama Indonesia, tiba-tiba goyah dan limbung? Apakah gejala dekadensi nilai kebangsaan adalah hal yang lumrah dalam iklim globalisasi, sebagaimana juga dialami oleh India? Menurut Yudi Latif dalam ceramahnya, India adalah negara yang memproduksi Doktor terbanyak di dunia, namun tidak memiliki nilai kebangsaan yang kuat. Bahkan untuk menetapkan pakaian tradisional sebagai pakaian nasional harus dikatakan oleh orang lain (khususnya Inggris sebagai bekas penjajahnya). Erosi dan krisis kebangsaan telah begitu dalam mwabah di India, hingga akhirnya muncul gagasan untuk menulis ulang sejarah mereka (Re-write Indian History). Sayangnya, Yudi Latif tidak menjawab pertanyaan saya, apakah Indonesia juga harus melakukan penulisan kembali sejarah kebangsaannya? Jika ya, bagaimana melakukan penulisan ulang sejarah itu, dan apa muatan yang harus ditulis? Namun meski tidak mendapat jawaban, saya pribadi yakin bahwa harus ada Rewriting Indonesia history.

Page | 9

Ini adalah bagian dari proses nation building and character building, agar Indonesia dapat mengembalikan semangat kebangsaan dan bersatu padu menatap masa depan mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia yang adil dan makmur. Bagaimana menulis ulang sejarah Indonesia itu, semoga saya dapat meng-explore pada kesempatan yang lain … Dalam konteks kediklatan, perlu dipikirkan dan didesain agar Diklat Aparatur dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nation building and character development ini, bukan sekedar membangun kompetensi teknis atau kepemimpinan bagi PNS. Dan secara lebih makro, harus diciptakan sistem yang terintegrasi antara pendidikan aparatur, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan politik, dan pendidikan formal berjenjang, yang kesemuanya merujuk pada Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 22 Maret 2013

Page | 10

Jurnal #4

“Jasmerah” Jasmerah! Adakah warga negara Indonesia yang tidak mengetahui istilah ini? Ini adalah judul pidato Bung Karno memperingati HUT RI pada tahun 1966. Istilah “Jasmerah” sendiri sudah begitu memasyarakat, namun tidak banyak yang paham esensinya, sejarahnya, serta nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Kebetulan, agenda Diklatpim I hari ini adalah visitasi ke Arsip Nasional (ANRI). Deputi Konservasi Kearsipan yang menerima kami juga sempet mengingatkan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang terjangkit penyakit amnesia, yakni lupa dengan sejarah bangsa sendiri. Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: mengapa kita harus ingat sejarah? Pasti akan banyak jawaban sesuai persepsi dan penghayatan seseorang terhadap kandungan sejarah bangsanya. Namun bagi saya, mengingat-ingat sejarah kebangsaan akan menjamin masyarakat memiliki jati diri dan identitas bangsa. Jika masa silam (sejarah) adalah “sangkan” (asal muasal), dan masa depan adalan “paran” (arah tujuan), maka kedua dimensi waktu tersebut sesungguhnya membentuk sebuah garis lurus secara imajiner. Dalam filsafat Jawa dikenal ungkapan sangkan paraning dumadi. Artinya, manusia harus tahu dari mana berasal, dan kemana dia akan menuju. Tidak masuk akal seseorang dapat mengkonstruksi masa depannya tanpa merekonstruksi masa silamnya. Kalaupun hal seperti itu terjadi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah amnesia sejarah, yakni hilangnya kesadaran manusia dalam dimensi ruang dan waktu. Sangat boleh jadi, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami gejala hilangnya kesadaran kolektif akan akar sejarah kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika sekelompok orang Papua menginginkan berpisah dari Republik dengan mendirikan OPM, semestinya tidak dihadapi dengan kekuatan militer, namun cukup ditunjukkan dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, yang membuktikan bahwa masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Indonesia. Bukti keinginan dari masyarakat Irian Barat itu adalah dengan adanya pernyataan tekad secara tertulis dan dikuatkan oleh tanda tangan atau cap jempol dari para Kepala Suku di Irian Barat. Selanjutnya hasil Pepera itu dibawa ke Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969, yang memutuskan menerima dan menyetujui hasil Pepera. Nah, jika saat ini ada generasi baru Papua yang menuntut merdeka, maka sebenarnya mereka adalah orang-orang yang amnesia, karena tidak pernah menengok pada sejarah para pendahulunya. Demikian pula dengan terjadinya hingar-bingar politik 10 tahun terakhir, rasanya teramat sulit bagi para elite politik di Pusat maupun Daerah untuk bersatu padu, merapatkan barisan, menyingsingkan lengan, saiyeg saeka praya, menyatukan kekuatan untuk membangun bangsa yang besar dan mensejahterakan rakyatnya. Yang

Page | 11

terjadi adalah fakta sebaliknya, dimana rakyat disuguhi oleh berbagai tontotan berupa pertarungan kepentingan dan keserakahan menjadi penguasa, yang semuanya itu hanya akan melunturkan jiwa-jiwa kebangsaan. Mengapa mereka tidak bisa belajar dari sejarah, misalnya pada saat perumusan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Meiji Doori (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1). Sejak malam tanggal 16 Agustus 1945 hingga ditandatanganinya naskah tersebut oleh Soekarno Hatta menjelang fajar menyingsing tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul 29 tokoh pergerakan yang berasal dari berbagai suku dan berbagai latang belakang, namun semuanya menyatukan diri hanya demi Indonesia Merdeka. Uniknya, ketika rezim Orde Baru tumbang dan masuklah era reformasi, tokoh-tokoh yang mengaku reformis juga sempat kumpul di gedung yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu. Namun sayangnya, begitu pertemuan bubar, mereka kembali kepada kepentingannya masing-masing yang sempit dan melupakan kepentingan negara secara utuh (sumber: bapak Lutfi, pemandu museum). Tentu saja mereka selalu mengatasnamakan setiap langkah dan perilakunya sebagai perpanjangan suara dan mandat rakyat, namun rakyat pula yang dapat menilai apakah mereka benar-benar tulus dalam perjuangannya atau dilandasi pamrih-pamrih tertentu. Dalam konteks seperti inilah, kita sangat layak menyimak kembali sepenggal pidato Bung Karno sebagai berikut:

Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah: “Never leave history”. Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap. (Sumber: http://rosodaras.wordpress.com/tag/jasmerah/)

Bercermin pada kondisi kekinian tentang centang-perenang politik nasional yang gaduh dan menjengahkan, nampaknya itu semuanya bukti bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh dan terlalu lama melupakan sejarah, sehingga terjadi berbagai disharmoni sosial antar komponen bangsa. Nampaknya para elite jaman “reformasi” ini tidak mampu mengambil moment of truth ketika berada di tempat yang disebut sebagai “Titik Nol Republik”. Mereka juga gagal menjawab pertanyaan: sudah seberapa jauhkah Republik ini berjalan sejak langkah pertama di titik nol? Ketika mereka gagal memanfaatkan moment of truth sekaligus menjelaskan kepada rakyat tentang jejak langkah Republik, maka pada hakekatnya langkah mereka tidak pernah beranjak maju, alias hampa dalam dinamika politik yang tidak produktif. Dalam konteks Diklatpim I, saya tiba-tiba khawatir bahwa kunjungan ke ANRI maupun Museum Naskah Proklamasi ini tidak akan membekas apapun dalam hati dan sanubari para peserta. Menanamkan nilai-nilai kejuangan seperti rela berkorban,

Page | 12

mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, semangat mengabdi bukan hasrat memimpin, adalah persoalan pembangunan karakter bangsa (nation building and character building), yang membutuhkan proses panjang dan berkesinambungan. Maka, kunjungan sehari dapat dipastikan tidak menimbulkan deep impact bagi peserta. Repetisi (pengulangan) untuk menggaungkan pidato pada tokoh kemerdekaan, kisah-kisah heroik para pejuang, promosi nilai-nilai kepahlawanan, dan sebagainya, menjadi kata kunci untuk mengembalikan rasa kebangsaan (sense of nationality) yang mulai hambar. Oleh karena itu, agar program diklat menghasilkan dampak perubahan yang bertahan lama bagi peserta (long lasting effect), perlu diciptakan sistem repetisi tasi. Sebagaimana diketahui Diklatpim I, II, III, dan IV relatif panjang penyelenggaraannya dan seringkali hanya menghasilkan produk pembelajaran (misalnya Kertas Kerja) yang tidak applicable. Lebih baik desain program diklat dibalik, yakni program pendek-pendek dengan repetisi pada periode tertentu, namun harus menghasilkan rencana pribadi untuk rancang bangun organisasi masa depan yang lebih aplikatif. Metode pengajaran sejarah perjuangan bangsa untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA pun, perlu ditinjau kembali. Menghapal saja tidaklah cukup. Mereka juga harus mampu “menurunkan” hapalan sejarah (dimensi kognitif) menjadi penghayatan (dimensi afentif), hingga akhirnya akan mempengaruhi perilaku kolektif generasi penerus bangsa (dimensi psikomotorik). Untuk itu, pembelajaran di kelas juga tidak memadai lagi. Anak-anak itu harus sering-sering dibawa ke lokasi riil terjadinya peristiwa bersejarah, agar mereka tidak lupa sejarah nenek moyangnya, sekaligus menumbuhkan daya imajinasi dan visualisasi masa silam guna menangkap “roh” para pejuang dan kemudian me-utilisasi untuk merancang pembangunan nasional di masa depan berbasis karakter bangsa.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013

Page | 13

Jurnal #5

“Negara Gagal dan Nation Building” Ketika jurnal ini ditulis, issu kudeta terhadap Pemerintahan SBY sedang marak di berbagai media. Pada saat yang bersamaan, ada skandal berupa pemberondongan tahanan titipan Polri di Lapas Cebongan, Sleman. Keduanya adalah peristiwa yang terpisah dan berdiri sendiri, namun bisa dipandang memiliki keterkaitan. Karena negara (direpresentasikan oleh jabatan Presiden) terlalu berlebihan merespon issu kudeta yang hanya dilontarkan oleh segelintir masyarakat sipil, maka negara menjadi lalai menjaga keselamatan warganya. Melihat pada reaksi yang cenderung show of force dari aparat keamanan dengan mengerahkan kendaraan lapis baja di beberapa titik pusat kota Jakarta, nampak sekali bahwa sikap negara sudah tidak proporsional, hanya penghamburan energy, dan bahkan menyebarkan rasa cemas di banyak kalangan. Terkait dengan issu-issu diatas, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang memberikan ceramah sessi pagi hari ini menyatakan bahwa negara membuat issu-issu yang tidak produktif, seperti issu kudeta tadi. Padahal, negara seharusnya memerankan diri sebagai faktor pemersatu bangsa dan menjaga kohesi sosial dalam masyarakat. Selain itu, demokrasi tidak bisa bekerja dengan baik jika negara lemah. Namun faktanya, sejak masa reformasi cenderung terjadi penurunan kapasitas negara bahkan bergerak kearah gagal. Negara kehilangan kewibawaannya, hingga banyak kalangan memprediksi akan terjadi efek Balkanisasi, yakni sebuah situasi diamna negara terpecah belah seperti di negara-negara Balkan (Kosovo, Bosnia, Monte Negro, Herzegovina, dll). Disisi lain, di tingkat grass root terdapat gejala merosotnya public civility (keberadaban publik), seperti bisa diamati dengan mudah pada perilaku pengendara di jalan raya yang suka menyerobot, kebiasaan membuang sampah sembarangan, keberingasan massa, ketidakpatuhan pada aturan, dan sebagainya. Mencermati situasi seperti itu, maka kegagalan negara sesungguhnya tidak hanya bersumber dari impotensi perangkat negara dalam menjalankan tugas dan misinya, namun juga dikontribusikan oleh perilaku publik yang tidak mencerminkan semangat disiplin nasional. Satu counter argument dapat diajukan untuk menilai benarkah Indonesia masuk dalam kategori negara gagal? Bukankah pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun? Mengenai hal ini, Prof. Azyumardi Azra menjawab bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan makan roti (we don’t live with bread alone). Selanjutnya, jawaban tertulis dapat dibaca dari tulisan beliau yang kebetulan dimuat di Kompas, 25-3-2013, berjudul “Hukum Rimba”, sebagai berikut:

Mengapa sebuah negara yang secara ekonomi bisa bertumbuh dengan baik dapat terjerumus ke dalam labirin negara gagal? Hal ini terkait

Page | 14

banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara – yang kemudian menular ke daerah. Sekali para pejabat publik – baik eksekutif, legislative maupun yudikatif – terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak hukum tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak berintegritas, tidak menyelaraskan perkataan dan perbuatan, terciptalah keadaan anomie. Jika keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order of the day.

Apa sesungguhnya negara gagal (state failure) itu? Secara konseptual, Armin von Bogdandy, et.,al, dalam publikasi berjudul State-Building, Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches (Max Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 9, 2005, p. 579-613, Netherlands, 2005) memberi definisi negara gagal sebagai the failure of public institutions to deliver positive political goods to citizens on a scale likely to undermine the legitimacy and the existence of the state itself (ketidakmampuan institusi negara untuk memberi kebajikan umum kepada warganya pada skala yang membuat legitimasi dan eksistensi negara dipertanyakan). Adapun 5 (lima) ciri dominan dari negara gagal adalah: 1) disharmony between communities, 2) inability to control borders and the entirety of the territory, 3) a growth of criminal violence, 4) corrupt institutions, and 5) a decaying infrastructure (Bogdandy, ibid.; Robert I. Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”, in: R.I. Rotberg (ed.), State Failure and State Weakness in a Time of Terror, 2003). Berdasarkan analisis Rotberg (2003) tadi, ada tujuh negara yang dikategorikan gagal (failed states), yakni Afghanistan, Angola, Burundi, Congo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan. Dibawah kategori ini ada Somalia yang dikelompokkan sebagai collapsed state. Sementara Indonesia sendiri digolongkan dalam weak states atau negara yang mendekati gagal (approaching failure) bersama dengan Colombia, Sri Lanka, and Zimbabwe. Studi Rotberg ini sejalan dengan publikasi The Fund For Peace tentang Failed State Index 2012. Laporan FFP tersebut menempatkan Indonesia pada kategori very high warning dengan skor 80,6. Sekedar perbandingan, Somalia dinilai sebagai negara paling gagal dan masuk kategori very high alert dengan skor 114,9. Sedangkan Finlandia adalah negara teraman di dunia yang dikategorikan sebagai very sustainable state dengan skor 20,0. Akan tetapi, saya ingin menggarisbawahi bahwa tidaklah penting memperdebatkan apakah Indonesia sudah masuk kriteria negara gagal atau baru mendekati kearah gagal, yang terpenting adalah bagaimana bangsa ini menemukan cara yang benar dan cepat untuk memulihkan kondisi kebangsaan yang sedang babak belur. Dengan kata lain, nation building dan character development bagi anak negeri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bogdandy (ibid),

Page | 15

state failure dapat mendorong terjadinya nation failure (kegagalan bangsa), yang ditandai oleh tiga hal sebagai berikut: • a process in which the requirements of normal politics, the social substratum

essential for the acceptance of majority and redistribution decisions, disappear; • the cultural projection of a nation is no longer convincing to many; there is no

consensus on the cultural traditions, customs, symbols, rituals, and the historical experience – there is no “usable past”;

• when individual and mutually exclusive nationalisms replace the former common identity.

Sekali lagi, nation building dan character development menjadi conditio sine qua non untuk melanjutkan pembangunan nasional ke tahap-tahap berikutnya. Dalam kaitan ini, saya memaknakan nation building sebagai upaya merajut kembali keretakan dalam interaksi antar etnis, antar kelompok beragama, antar daerah, antar elit dan partai politik, antar angkatan dalam militer, antar aparat penegak hukum, antar pimpinan dan lembaga kemasyarakatan, antar pengusaha, serta antar susunan pemerintahan. Rajutan yang sobek disana-sini harus ditambal dengan falsafah fundamental bangsa Indonesia, yakni sila-sila dalam Pancasila. Ketika interaksi kebangsaan kita sudah sama-sama dilandasi oleh spirit dan semangat kejiwaan yang bersumber dari dasar filsafat yang sama, maka energi kebangsaan akan terkonsolidasi membentuk national power yang amat dahsyat. Pada gilirannya, mudah ditebak bahwa percekcokan elite tidak akan terjadi lagi (zero political disputes), dan konflik horisontal-pun dalam diminimalisir mendekati nihil (zero social conflict). Sementara yang saya maksudkan dengan character development adalah proses pendidikan mental spiritual untuk membentuk perilaku anak negeri secara individual. Karakter kerja keras, mengabdi sepenuh hati, kecintaan mendalam terhadap negeri kelahiran, tekad tidak akan mengkhianati negeri melalui tindakan dan pemikiran koruptif, menempatkan kolektivitas diatas individualitas, serta santun dalam kehidupan pribadi yang informal maupun dalam lingkungan formal. Hanya dalam konteks nation building dan character development itulah, kita berani bicara tentang “menjadi Indonesia” (on becoming Indonesia). Dalam hal ini, Indonesia bukan hanya entitas politik (state entity) yang bermodalkan territorial yang jelas, penduduk, pemerintahan, dan kedaulatan, namun lebih sebagai entitas kebangssan (nation entity) yang terbangun atas keberagaman latar belakang sejarah, budaya, dan kepentingan. Untuk itu, strategi yang jitu untuk nation building dan character development harus dirumuskan matang-matang, untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Diantara beberapa strategi Becoming Indonesia yang mungkin untuk dikembangkan adalah: • Mengaktifkan lagi transmigrasi sebagai upaya pemerataan distribusi penduduk dan menciptakan mutual understanding lintas budaya.

Page | 16

• Terkait dengan strategi pertama diatas, maka perlu diperkuat dengan upaya mempromosikan perkawinan antar etnis, sehingga anak yang lahir dari pernikahan antar etnis akan beridentitas Indonesia.

• Pernikahan antar etnik juga perlu dibarengi dengan “perkawinan” silang antar karya seni seperti motif batik, lukisan dan patung, seni tari dan pewayangan, dan seterusnya. Tujuannya, untuk menghasilkan sintesa baru dari karya seni dan karya budaya Indonesia. Batik, semestinya bukan hanya ada Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Bali, dan seterusnya, namun harus ada “Batik Indonesia”.

• Dalam tubuh birokrasi harus diciptakan sistem mutasi kepegawaian lintas daerah, lintas sektor, dan lintas susunan pemerintahan, untuk menumbuhkan sense of belongingness terhadap negeri. Meminjam analisis systems thinking, Indonesia bukanlah onggokan yang terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan seterusnya. Indonesia adalah identitas baru hasil peleburan beratus-ratus bahkan beribu identitas budaya. Dengan kata lain, Indonesia adalah systems community atau komunitas serba sistem. Dalam perspektif seperti ini, maka paradigm “Indonesia adalah Papua, dan Papua adalah Indonesia” (sekedar mengambil contoh), perlu didampingi oleh paradigm “Papua adalah Jakarta, Surabaya adalah Bengkulu” dan seterusnya. Maka, jargon “putra daerah” semestinya sudah bergeser menjadi semangat “putra Indonesia”.

Meskipun demikian, Becoming Indonesia tidak selamanya harus melalui proses akulturasi (persilangan) budaya. Setiap warga negara, setiap daerah otonom, atau setiap organisasi dari Sabang sampai Merauke tetap dapat menjadi Indonesia dalam ke-Jawa-an, ke-Sunda-an, ke-Batak-an, ke-Bugis-an mereka, dan seterusnya. Dan dalam konteks seperti “Menjadi Indonesia dalam Identitas Lokal” inilah justru Pancasila membuka peluang besar untuk menjadi pemersatu, jembatan komunikasi, dan pedoman perilaku bagi identitas lokal yang bertebaran di sepanjang zamrud khatulistiwa. Selain strategi diatas, pandangan Benedict Anderson (Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism) dapat dimanfaatkan untuk proses nation building negara kita. Pada salah satu bagian, Anderson menyebut tentang Glorification of the past. Dalam konteks Indonesia, ini artinya bahwa nilai-nilai kejuangan perlu terus dikisahkan kepada generasi penerus sehingga para pahlawan dan nilai-nilai yang diperjuangkan tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat (collective memories of the nation). Tentu, proses nation building dan character development ini tidak diperlukan untuk menangkal issu musiman seperti kegagalan negara semata, namun harus dilakukan dalam segala situasi dan kondisi. Yang pasti, kemungkinan negara untuk gagal bisa dicegah dengan upaya nation building dan character development ini. Dan Diklat Kepemimpinan semestinya mengambil peran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses nation building dan character development ini.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 26 Maret 2013

Page | 17

Jurnal #6

“Bangsa Pekerja dan Nasionalisme” Pada ceramah tentang Perkembangan Paradigma Pembangunan Global dan Indonesia dan Visi Perjuangan NKRI, Dr. Purnaman meminta peserta menuliskan satu hal yang dianggap paling penting dan ingin dipelajari dalam hubungan dengan materi ceramah. Saat itu saya menuliskan “Membangun Bangsa Pekerja (Working Nation)”. Bagi saya, bermacam-macam paradigm pembangunan tidak ada artinya sama sekali tanpa dijalankan oleh manusia-manusia yang bermental baja dan tak pernah lelah bekerja demi kejayaan bangsanya. Dengan kata lain, spirit nasionalisme warga negara harus menjadi fundamen yang kokoh untuk berjalannya program dan kebijakan pembangunan. Kebetulan sekali, pada sesi ceramah berikutnya, Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyinggung soal bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Bonus demografi adalah peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang 15-64 tahun). Pada usia inilah, dependency ratio paling rendah, dengan asumsi manusia yang berada pada usia produktif tersebut memiliki faktor produksi yang dapat diandalkan (misalnya pendidikan danketerampilan). Dalam konteks Indonesia, disebut “bonus” karena sekitar 60 persen dari total penduduk berada pada rentang usia 15-64 tahun tadi. Dengan jumlah penduduk berkisar 240 juta jiwa, maka ada 144 juta jiwa masuk dalam kategori usia produktif. Bayangkan saja, seandainya setiap penduduk produktif menambah jam kerjanya 1 jam saja setiap harinya, maka akan ada 144 juta jam kerja baru. Jika secara akumulatif nasional ada penambahan 144 juta jam kerja setiap hari, berapa milyar jam kerja yang bisa dilakukan bangsa ini dalam 1 tahun? Jika penambahan jam kerja setiap usia produktif setiap harinya ditingkatkan 2, 3, atau 4 jam, maka akumulasi nasional akan semakin berlipat ganda. Ini peluang yang teramat sangat dahsyat bagi negeri ini untuk menyelesaikan berjuta “proyek” dan pekerjaan rumah yang tertinggal. Saya membayangkan, tambahan milyaran jam kerja dalam 1 tahun itu equivalen dengan penyelesaian pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Singkatnya, pembangunan JSS bisa diselesaikan “hanya” dalam 1 tahun, jika bangsa ini menambah jam kerja hariannya minimal 1 jam. Produktivitas Indonesia dibanding dengan negara tetangga, terus terang masih tertinggal cukup jauh. Laporan USAID (2010, Measure: Indonesia, The Enterprise Development Diagnostic Tool, Business Growth Initiate Project) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja per pekerja per tahun (labor productivity per person employed) Indonesia adalah USD 10,671.07, kalah dari Thailand dengan produktivitas

Page | 18

sebesar USD 15,547.95, atau Malaysia sebesar USD 25,590.27, serta terlalu jauh dari Singapura sebesar USD 45,786.45. Laporan ini sejalan dengan publikasi APO (Asian Productivity Organization) berjudul APO Productivity Databook 2012 (Keio University Press, Tokyo). Disini dikatakan bahwa per hour labor productivity levels (level produktivitas pekerja per jam) tahun 2010 di Indonesia (dalam USD) adalah 3,6, atau dibawah Filipina (4,3), Thailand (6,7), Malaysia (15,0) dan Singapura (40,2). Itulah sebabnya, struktur demografi yang “gemuk” di bagian tengah yang dialami Indonesia merupakan berkah dan anugerah Tuhan YMK, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah secara nasional. Bonus demografi harus benar-benar disikapi positif oleh seluruh jajaran bangsa Indonesia, baik dari kalangan birokrat pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jika tidak, bisa terjadi kondisi sebaliknya, dimana bonus demografi justru berubah menjadi musibah. Hal ini terjadi jika kelompok usia produktif tadi hanya diisi oleh manusia yang konsumtif, yang menyukai produk asing, yang tidak memiliki jam kerja tinggi, atau yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi. Dalam kaitan inilah, maka persoalan nasionalisme menjadi sangat urgen. Sebagaimana dikatakan oleh Ian Lustic, “nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini”. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengaktualisasikan nasionalisme di era globalisasi dan pasar bebas dewasa ini? Ketika generasi muda terlanjut terpikat dengan segala produk barang dan budaya yang berbau asing, ketika kapitalisme mulai menggeser para pelaku bisnis tradisional, ketika kebanggaan nasional mulai layu, ketika ketika para importer seenaknya memainkan komoditas dan harga demi kepentingan sempit mereka, ketika produk-produk murah luar negeri membanjiri pasar domestik, dan ketika negara terlihat bingung dengan situasi problematik yang dihadapi, bagaimana status nasionalisme kita? Dalam keadaan seperti itulah, justru penanaman kembali nilai-nilai dan semangat nasionalisme semakin mendesak. Dalam aktualisasinya, saya menyarankan agar nasionalisme diterjemahkan dalam bentuk kerja keras seluruh lapisan bangsa. Untuk itu, sangat direkomendasikan bagi pimpinan nasional untuk membuat Gerakan Nasional Kerja Keras. Kerja keras bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain, namun untuk lebih memperkuat jati diri dan kontribusi Indonesia bagi dunia. Hal ini penting untuk digarisbawahi, karena Indonesia didirikan bukan hanya untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi juga untuk keselamatan dan kedamaian dunia. Demikian pula, Pancasila bukan hanya digali dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, namun juga relevan dalam percaturan dunia internasional. Semakin besar kontribusi Indonesia untuk dunia, sesungguhnya semakin besar pula aktualisasi Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Tentang aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme sebagai “bangsa pekerja” (working nations) ini, termanifestasikan dalam dua hal. Pertama, menambah jam

Page | 19

kerja formal maupun informal. Saat ini rata-rata jam kerja orang Indonesia adalah 38 jam per minggu, sementara orang Korea bekerja 62 jam per minggu. Perbedaan jumlah jam kerja ini terbukti berpengaruh amat besar terhadap produktivitas nasional. Kedua, menambah “RPM” (revolution per minute) dalam setiap jam yang digunakan. Artinya, kualitas, kreativitas, inovasi, dan produktivitas harus meningkat meski unit waktu yang tersedia sama. Untuk mendorong produktivitas nasional melalui peningkatan RPM (bukan penambahan jam kerja), maka investasi dalam sektor pendidikan merupakan keharusan. Dalam hal ini, pendidikan yang kita butuhkan bukan yang mencerdaskan otak manusia saja, namun harus pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks Diklat Kepemimpinan, Diklatpim IV, III, II dan I pun semestinya harus mampu menghasilkan PNS dan para pejabat yang memiliki RPM tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Jika produktivitas seorang alumni tidak meningkat setelah mengikuti Diklat, hal ini menunjukkan adanya kegagalan baik dari sisi sistem diklat (kurikulum, pengajar, metode pembelajaran, dan lain-lain) maupun dari sisi individual pesertanya.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 27 Maret 2013

Page | 20

Jurnal #7

“Aktualisasi Keliru Metode Andragogi” Sudah menjadi pemahaman umum bahwa metode pembelajaran dalam Diklat Aparatur, terutama Diklat Kepemimpinan, adalah metode Andragogi, atau metode belajar untuk orang dewasa. Metode ini berpusat pada peserta (participant centered learning), yang membedakan dengan metode Paedagogi yang berpusat pada pengajar (teacher centered learning). Menurut penelitian Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), metode kuliah atau ceramah (lecture) memang merupakan metode yang paling tidak efektif, dimana setelah kuliah selesai, persentase perolehan pengetahuan peserta hanya 5 persen. Metode yang lebih efektif dalam pembelajaran adalah reading (dengan perolehan pengetahuan sebesar 10 persen), audio visual (20 persen), demonstration (30 persen), group discussion (50 persen), learning by doing (75 persen), dan teaching one-to-one (90 persen). Metode Andragogi ini didasari pada asumsi bahwa peserta tidak datang dengan otak kosong, namun sudah cukup kaya dengan pengalaman dan pengetahuan, sehingga peserta akan bisa menjadi sumber belajar bagi peserta lain, bahkan bagi guru/widyaiswara yang hanya bertindak selaku fasilitator. Namun, metode ini sering disalahartikan oleh widyaiswara/fasilitator tertentu untuk menghindari dari kewajiban untuk menguasai bidang ilmu tertentu, untuk mengarahkan anak didik secara gamblang, untuk mejawab sebuah pertanyaan, untuk memenuhi rasa penasaran orang lain, dan seterusnya. Ini pulalah yang terjadi dalam pembelajaran di Diklatpim I ini. Atas nama metode Andragogi, seorang widyaiswara mengatakan “Tugas saya memang membuat confuse peserta. Jika peserta bingung, itu tandanya sedang berpikir”. Pada sessi diskusi kelompok dia juga mengatakan bahwa dia sengaja seminim mungkin untuk intervensi agar dapat melihat apa yang dihasilkan peserta. Sebenarnya tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun menjadi salah jika itu hanya dalih untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab pertanyaan atau memenuhi harapan peserta. Celakanya, banyak widyaiswara seperti ini yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya peserta mampu melihat mana yang sekedar berdalih, dan mana yang benar-benar murni ingin mendorong peserta mengungkap problematika secara mandiri, sebelum ia sendiri akan memberikan pencerahan kepada peserta. Metode Andragogi juga sering disalahartikan dalam wujud lain. Widyaiswara seolah berkewajiban memberi apresiasi terhadap apapun hasil kerja peserta, meskipun sebenarnya hasil itu salah secara metofologis atau tidak tepat secara substantif. Akibat apresiasi yang seringkali berlebihan ini, maka peserta merasa bahwa hasil kerjanya sudah benar. Namun ketika dikonsultasikan kepada ahlinya, bisa jadi hasilnya justru bertolak belakang dan disalahkan.

Page | 21

Oleh karena itu, metode Andragogi yang disalahartikan mengandung bahaya yang cukup besar. Ketika peserta bekerja mandiri tanpa pengarahan yang memadai, dan menghasilkan produk belajar yang dinilai baik (padahal sebaliknya), maka ini sama artinya dengan penyesatan ilmu pengetahuan. Dan dalam perspektif agama (Islam), ilmu yang salah namun diamalkan, akan mengakibatkan dosa bukan hanya bagi pelakunya, namun terlebih lagi untuk guru yang memberikan ilmu yang salah tersebut. Maraknya fenomena metode Andragogi dijadikan tempat bersembunyi para widyaiswara dari inkompetensinya ini menunjukkan adanya kesalahan dalam praktek penyelenggaraan Diklatpim secara keseluruhan. Untuk itu, banyak hal harus diperhatikan secara serius. Mekanisme dan persyaratan rekrutmen seorang widyaiswara adalah salah satu aspek terpenting yang harus dikoreksi. Gelar Doktor memang penting, namun gelar bukanlah segala-galanya. Kompetensi seseorang terbangun bukan hanya dari proses belajar di perguruan tinggi, namun juga dari pengalaman kerja, penghayatan dan kontemplasi atas jalan panjang kehidupan, interaksi dengan lingkungan, atau bahkan otodidak. Nama-nama besar seperti Bill Gates, Walt Disney, Agatha Christie, dan Henry Ford di luar negeri, atau Sudjatmoko, HAMKA, dan Bob Sadino di dalam negeri, adalah sedikit dari banyak tokoh besar karena determinasi pribadinya yang tangguh tanpa harus mengecap di bangku pendidikan formal tertinggi. Akan jauh lebih baik jika seleksi widyaiswara dilakukan dengan sistem persaingan sempurna (perfect competition) yang terbuka bagi siapapun tanpa harus dikerangkeng oleh persyaratan formal seperti gelar, jabatan, dan sebagainya. Selain itu, seorang widyaiswara harus benar-benar menghayati makna profesinya yang berarti istana ilmu pengetahuan (widya = ilmu; istana = iswara). Dari makna ini saja sudah terlihat bahwa widyaiswara sebuah sebuah kehormatan dan kemegahan yang begitu agung. Maka, perilaku yang tidak pantas hanya akan mengkhianati keagungan profesi widyaiswara. Dalam hubungan ini, alangkah baiknya para widyaiswara berkenalan dengan Pygmalion, salah seorang nama dalam legenda / mitologi Yunani. Pygmalion adalah seorang pematung yang selalu berpikiran positif dan berprasangka baik terhadap orang lain. Ia juga pribadi yang berorientasi kualitas. Sebagai pematung, Pygmalion tidak pernah setengah-setengah; setiap karyanya selalu menjadi masterpiece dalam hidupnya. Maka, setiap karyanya adalah penjelmaan dari spiritnya, penghayatannya terhadap nilai-nilai luhur yang diyakini, dan kualitas kebatinannya. Dan lebih hebat lagi, dalam menghasilkan karya-karya monumentalnya, Pygmalion tidak pernah memiliki pamrih rendahan. Apa yang dilakukan semata-mata karena memang ia harus melakukan itu, dan apa yang dihasilkan karena ia memang harus menghasilkan itu. Akhirnya … atas segala keluhuran kepribadiannya tadi, Dewi Aphrodite menganugerahi Pygmalion seorang istri jelita yang berasal dari patung ciptaannya. Patung yang menjelma menjadi istri Pygmalion ini diberi nama Dewi Galatea. Itulah imbalan yang sepadan bagi orang yang tulus ikhlas dalam setiap tugasnya, dan menyelesaikan tugasnya dengan penjiwaan penuh tentang makna hidup seseorang.

Page | 22

Dalam ilmu manajemen, kisah Pygmalion bertansformasi menjadi Pygmalion Effect, atau Self Fulfilling Prophecy, adalah sebuah situasi ketika kita mengharapkan yang terbaik dari diri kita sendiri atau dari bawahan kita maka sering kita akan mendapatkan yang terbaik itu. Sebab, kekuatan pengharapan (the power of expectation) membuat semua orang akan berbuat sebaik mungkin untuk dapat mencapai harapan itu. Aktualisasi Pygmalion Effect dalam diri seorang widyaiswara dan proses pembelajaran Diklatpim adalah bahwa seorang widyaiswara harus mengubah orientasinya mendapatkan “JP” (jam pelajaran) dan honorarium, menjadi orientasi berbagi, memberi, membenahi kinerja peserta, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang widyaiswara harus memiliki pengharapan yang besar bahwa apa yang diberikan akan berkontribusi positif terhadap reformasi di lingkungan organisasi masing-masing peserta. Namun jika pengharapan ini tidak disertai dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni, bagaimana dia bisa berharap akan khasiat the power of expectation tadi? Singkatnya, metode apapun dapat dipakai oleh widyaiswara sepanjang ditopang oleh kompetensi yang cukup. Jika tidak, maka maka selamanya kita akan berbelas kasihan kepada si Andragogi karena selalu menjadi dalih atas disfungsi seorang widyaiswara.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 28 Maret 2013

Page | 23

Jurnal #8

“Kepemimpinan: Mengapa Selalu Berfokus pada Pemimpin?” Pada hari Kamis, 28 Maret 2013, kelas kami mendiskusikan tema kepemimpinan dengan menggunakan metode SSM (Soft System Methodology). Pemimpin harus memiliki peran yang kuat untuk mampu membangun sistem pelayanan publik yang berkualitas, daya saing bangsa yang kuat, serta mewujudkan kedaulatan bangsa yang kokoh. Peran pemimpin sendiri sangat beragam dalam pandangan para ahli. Menurut Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), ada tiga peran utama pemimpin seorang pemimpin, yakni: 1) Visioning and Setting an Example, yang dijabarkan dalam peran yang lebih spesifik seperti create and inspiring vision and shared values, lead change, lead by example, dan demonstrate confidence; 2) Empowering and Energizing, yang terbagi lagi dalam peran inspire and energize people, empower people, communicate openly, dan listen, support, and help; serta 3) Leading Team, yang lebih diaktualisasikan dalam peran involve everyone & use team approach, coach & bring out the best of your people, encourage group decision, dan monitor progress but don’t micromanage. Senada dengan pendapat Vadim diatas, Dave Ulrich, Norm Smallwood, and Kate Sweetman (The Leadership Code: Five Rules to Lead, Harvard Business School Press, 2009) mengemukakan lima kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Strategist – Leaders shape the future; 2) Executor – Leaders make things happen; 3) Talent manager – Leaders engage today’s talent; 4) Human capital developer – Leaders build the next generation; serta 5) Personal proficiency – Leaders invest in their own development. Pandangan ini sangat serupa dengan Dept. of Education, Training, and Employment, Queensland Government dalam publikasi berjudul Capability and Leadership Framework, yang menyebutkan kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Shapes strategic thinking; 2) Achieves results; 3) Cultivates productive working relationships; 4) Exemplifies personal drive and integrity; serta 5) Communicates with influence. Sementara itu, Peter Senge ("The Leader's New Work: Building Learning Organizations," in Sloan Management Review, 1990), berpendapat bahwa dalam organisasi pembelajaran (learning organization), pemimpin mempunyai tiga peran sebagai designers, teachers, dan stewards. Ketiga peran ini membutuhkan keterampilan baru yakni kemampuan membangun shared vision, menantang model mental yang berlaku (surfacing and testing mental model), dan mendorong pola yang lebih sistemik berpikir (systems thinking). Sebagai designer, pemimpin bertugas mendesain governing ideas tentang tujuan, visi, dan nilai-nilai inti organisasi. Tugas kedua adalah menerjemahkan guiding ideas menjadi keputusan bisnis. Sebagai teacher, pemimpin bertugas membantu setiap orang dalam organisasi untuk

Page | 24

memperoleh pandangan yang lebih dalam tentang realitas saat ini. Adapun sebagai steward, pemimpin berprinsip servant first, bukan leader first. Stewardship ini terdiri dari dua hal, yakni stewardship untuk orang-orang yang dipimpin, dan stewardship untuk tujuan yang lebih luas atau misi yang memperkuat organisasi. Intinya, seorang pemimpin haruslah serba bisa alias multi talenta dan multi kompetensi. Itulah konsekuensi seseorang yang memiliki pengikut (follower). Sayangnya, diskusi dan analisis tentang kepemimpinan seringkali hanya dilihat dari sisi si pemimpin, dan jarang yang bicara soal pengikut (followership). Buku-buku tentang kepemimpinan begitu berlimpah, sementara buku tentang kepengikutan sangat sulit didapatkan. Pengikut masih lebih diposisikan sebagai obyek terhadap pemimpin sebagai subyek. Memang peran pemimpin sangatlah penting, sebagaimana tersirat dari ungkapan “An army of sheep led by a lion, is better than an army of lions led by a sheep” (Alexander The Great). Namun bukan berarti peran pengikut dapat dikecilkan. Sebagaimana ungkapan Barbara Kellerman: “Followers are more important to leaders than leaders are to followers”. Singkatnya, harus ada proporsi yang seimbang antara pemimpin dan pengikut saat membahas tentang leadership. Ini sejalan juga dengan perkataan Edith Wharton (dalam Vesalius in Zante, 1564): “There are two ways of spreading light: to be the candle or the mirror that reflects it”. Karena soal kepemimpinan terus diperbincangkan sementara kepengikutan seolah terabaikan, yang terjadi kemudian justru adalah krisis kepemimpinan. Pengalaman Indonesia maupun berbagai negara menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan nasional hampir selalu diwarnai oleh intrik politik yang jahat. Bahkan dalam masa kepemimpinan formal, seorang pemimpin terus saja digoyang dan dipertanyakan legitimasinya. Siapa yang melakukan itu? Tentu saja kalangan pengikutnya. Dan hal ini terjadi karena dimensi kepengikutan tidak pernah dipikirkan secara serius, atau dikembangkan sistem, strategi, dan kebijakan yang lebih tepat untuk mendukung fungsi kepemimpinan. Dalam kaitan dengan Diklat Aparatur, maka Diklat Kepemimpinan pada berbagai level semestinya tidak hanya membekali peserta untuk menjadi (calon) pemimpin yang baik, namun juga harus dikembangkan kurikulum untuk membentuk alumni diklat sebagai para pengikut yang baik, patuh, dan inovatif. Kita bisa belajar dari Alexander Agung yang menjadi follower yang baik dari gurunya, Aristoteles. Atau, kita bisa menengok kisah tentang Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India pertama (1947-1964) yang merupakan murid utama Mahatma Gandhi. Mereka bisa menjadi pemimpin yang baik karena berhasil dengan gemilang ketika menjadi pengikut. Intinya, hanya mereka yang baik ketika menjadi follower yang memiliki probabilitas untuk menjadi leader yang baik. Maka, membangun kepemimpinan yang kuat sama pentingnya dengan menumbuhkan kepengikutan yang tangguh.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 1 April 2013

Page | 25

Jurnal #9

“Teknik Analisis pada Diklat Kepemimpinan” Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional (FBPPKN) hampir selesai. Selama sembilan hari terakhir, peserta dicekoki dengan berbagai insights yang bersumber dari ceramah nara sumber, kunjungan lapangan, dan bimbingan widyaiswara. Dalam menganalisis informasi yang diterima, dipilih dan digunakan SSM (soft system methodology) sebagai metodenya. Bagi kebanyakan peserta, metode SSM ini masih sangat baru dan menantang untuk menguasainya. Tentu saja ini akan memperkaya teknik analisis yang telah dikuasai sebelumnya dari Diklatpin tingkatan yang lebih rendah atau dari pendidikan formal. Tanpa bermaksud “menggugat” teknik analisis yang diterapkan pada setiap jenjang Diklatpim, ada pertanyaan menggelitik dan belum terjawab selama ini. Mengapa Diklatpim IV menerapkan teknik analisis Tree Analysis, Diklatpim III menggunakan SWOT Analysis, dan Diklatpim II memilih Systems Thinking dan System Dynamic. Seluruh teknik analisis ini tergolong pada hard system. Sedangkan Diklatpim I lebih menerapkan soft system methodology. Diklat Kepemimpinan adalah diklat penjenjangan yang pesertanya berasal dari jenjang jabatan (Eselon) yang sesuai dengan jenjang diklat. Namun, rasanya tidak ada satupun teori yang menyatakan bahwa metode atau teknik analisis juga berjenjang sesuai dengan jenjang jabatan. Artinya, bukan hal yang haram sesungguhnya jika seorang (calon) pejabat Eselon I menggunakan analisis pohon (tree analysis) untuk mengurai permasalahan yang dihadapi unit kerjanya. Demikian pula, bukanlah hal yang menakjubkan seandainya seorang pejabat Eselon IV memakai SSM untuk menghasilkan rekomendasi aksi yang diperlukan dalam rangka memperbaiki situasi yang dianggap bermasalah (situation considered problematic) di instansinya. Sayangnya, karena teknik analisis tadi terlanjur identik dengan jenjang diklat tertentu, maka muncullah kesan bahwa SSM seakan lebih baik dari pada systems dynamic, atau SWOT seolah-olah lebih canggih dibanding tree analysis. Secara esensial, apapun metode atau teknik analisis yang digunakan, pada hakekatnya hanyalah alat untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas kebijakan. Pertanyaannya adalah, apakah karakter tugas, kompleksitas permasalahan, dan mekanisme pengambilan keputusan di jenjang jabatan Eselon I hanya tepat jika dipilih SSM? Pertanyaan yang sama berlaku pula untuk jenjang jabatan dibawahnya serta teknik analisis yang diajarkan. Saya pribadi masih percaya bahwa jenjang jabatan lebih mencerminkan adanya perbedaan fungsi, luasnya wewenang, panjangnya span of control, dan beratnya tanggungjawab jabatan, namun tidak ada kaitan sama sekali dengan metode analisis. Maka, “pemaksaan” penggunaan metode/teknik analisis tertentu untuk jenjang

Page | 26

jabatan tertentu, adalah sebuah kesalahan yang tidak sepele. Kesalahan ini akan semakin membesar manakala terpenuhi dua situasi. Pertama, ketika widyaiswara yang mengampu tidak menguasai sepenuhnya metode yang diajarkan, dan cenderung menimbulkan kebingungan peserta. Saya sendiri telah mengingatkan rekan-rekan peserta bahwa jika kita sendiri belum yakin dengan metode SSM, bisa jadi akan ditertawakan jika akan kita jadikan sebagai tool of analysis pada Seminar Nasional di akhir program diklatpim I nantinya. Kedua, ketika metode yang kita pelajari dengan mati-matian di temporary system pada akhirnya tidak dapat diaplikasikan di permanent system karena berbagai alasan, seperti langkah-langkahnya yang kurang praktis, efektivitasnya yang belum teruji, sifatnya yang terlalu teoretik, dan sebagainya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemakaian metode analisis tertentu tidak mendominasi agenda pembelajaran Diklatpim. Sebagaimana dikatakan salah seorang rekan satu kelompok, bisa-bisa Diklatpim I akan terjebak menjadi diklat teknis SSM dan kehilangan sentuhan kepemimpinannya. Mungkin akan jauh lebih baik jika metode/teknik analisis sifatnya pilihan, sedangkan soal penggunaan dan kecocokannya diserahkan kepada peserta untuk memilih sesuai dengan minat dan kesesuaian dengan karakter tugas dan organisasinya. Selanjutnya, agar peserta Diklat Kepemimpinan di seluruh jenjang memiliki gambaran dan pilihan yang lengkap tentang beragam metode/teknik analisis, maka LAN harus menyusun modul khusus yang berisi berbagai metode/teknik analisis yang dapat diaplikasikan untuk keperluan menyusun produk-produk pembelajaran. Dan agar metode/teknik analisis ini bisa diaplikasikan, maka widyaiswara perlu memahami dengan utuh minimal tiga metode/teknik analisis yang dapat digunakan dalam menyusun produk pembelajaran individu maupun kelompok. Akan lebih baik lagi jika LAN mengembangkan diklat teknis tentang Teknik Analisis yang mendukung pembelajaran Diklatpim, dan dijadikan sebagai prerequisite (persyaratan) sebelum mengikuti Diklatpim, sehingga pada saat menganalisis kasus atau menulis kertas kerja, tidak perlu lagi ada perdebatan tentang substansi, tahapan, atau aplikasi metode/teknik analisis tertentu. Satu hal yang pasti, sebagai pelaku kebijakan di levelnya masing-masing, peserta Diklatpim adalah “instrumen utama” dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan, sehingga harus memiliki kemandirian penuh untuk memilih atau menentukan metode analisis. “Penggiringan” justru dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan efektivitas rencana program kerja instansi sampai dengan implementasinya.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 2 April 2013

Page | 27

Jurnal #10

“Antara Harapan dan Realita” Adalah sebuah kewajaran ketika seseorang berharap mendapat tambahan ilmu-ilmu baru dari Diklatpim I yang akan diikuti. Justru patut dipertanyakan eksistensi seseorang yang merasa tidak ada tantangan dan antusiasme dalam mengikuti program ini. Harapan memperoleh wawasan, konsep, maupun teori-teori baru ini seringkali melampaui kemampuan penyelenggara maupun widyaiswara untuk memenuhinya. Akibatnya, timbullah kekecewaan ketika harapan yang melambung ternyata tidak terpenuhi. Ini pulalah yang terjadi di penghujung Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional. Salah seorang teman yang kebetulan menjadi ketua kelompok mengungkapkan kekecewaannya dalam jurnal harian selama dua hari berturut-turut. Pada catatan pertama ia menyebutkan bahwa pembelajaran pada hari Kamis, 28 Maret 2013, kurang efektif dan produktif, untuk tidak menyebut tidak bermanfaat. Argumentasinya adalah bahwa sepanjang hari itu, peserta harus melakukan diskusi kelompok secara marathon dengan menggunakan metode SSM, yang disusul dengan pemaparan hasil diskusi. Bukan proses dan hasil diskusi yang sesungguhnya “digugat” oleh rekan tadi, melainkan keraguan terhadap kebenaran dari kerja kelompok. Memang hampir semua anggota kelompok memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun karena tuntutan harus melakukan presentasi, maka jadilah hasil kerja kelompok yang seadanya atau sekedar mengugurkan kewajiban. Keraguan semakin besar saat hasil kerja kelompok yang masih diragukan tadi justru selalu dibenarkan dan diapresiasi oleh widyaiswara. Pada catatan kedua, teman tadi menulis bahwa alokasi yang tersedia untuk mempelajari SSM (sejak ceramah, pendalaman, hingga presentasi) adalah 8 sessi atau ekuivalen dengan 24 jam pelajaran. Ini dianggap terlalu lama dan membuang waktu secara sia-sia, apalagi jika dibandingkan dengan hasilnya yang kurang memuaskan dirinya maupun peserta lain secara keseluruhan. Ia mengatakan bahwa 3 sessi sudah lebih dari cukup untuk mempelajari SSM. Alasannya, seorang (calon) pejabat Eselon I tidak perlu menguasai hingga detail metode ini, namun cukup pada kaidah kelimuan atau prinsip-prinsipnya, tahapannya, serta contoh aplikasinya dalam menganalisis situasi problematik tertentu. Pada praktek pengambilan keputusan di instansinya, ia cukup memberikan arahan dan melakukan kontrol terhadap tugas-tugas yang didistribusikan kepada bawahannya. Sebagaimana yang dirasakan kawan tadi, sayapun merasakan kegalauan yang sama. Dan meski banyak teman lain yang tidak berani mengungkapkan secara tertulis, namun perasaan teman yang sudah menduduki Eselon I-b ini ternyata juga dirasakan oleh banyak peserta yang lain. Kegundahan semacam ini sering terungkap dalam jawaban eksplisit seseorang di forum penyajian, maupun dalam perbincangan informal

Page | 28

antar peserta di ruang makan, di sela-sela istirahat, atau dimanapun dan kapanpun ada kesempatan. Saya pribadi pernah mencoba mengurangi rasa penasaran dengan melempar pertanyaan kepada kelompok lain, yang sesungguhnya saya tujukan untuk para widyaiswara. Sayangnya, tidak ada jawaban yang memuaskan saya, bahkan cenderung semakin membingungkan karena beberapa kali widyaiswara memberi jawaban yang bertolak belakang. Maka, hingga saat inipun saya masih tidak yakin bahwa aplikasi SSM bisa dilakukan semudah dan sesederhana yang kami lakukan di kelompok. Saya masih ragu bahwa mengurai situasi masalah yang kompleks cukup diselesaikan dalam dua hingga tiga jam melalui tujuh tahap SSM, sebagaimana yang kami lakukan di kelompok untuk tiga issu yang berbeda. Bagi saya, metode apapun termasuk SSM, adalah alat untuk mendapatkan kebenaran ilmu. Inilah pandangan filsafat ilmu yang saya yakini. Jika saya masih ragu dengan kebenaran ilmu yang saya peroleh, maka kemungkinan besar ada kesalahan pada alat analisis yang digunakan. Mengingat tingginya potensi ketidakpuasan peserta terhadap dimensi kediklatan, maka penyelenggara harus menyusun dan mengembangkan instrumen untuk mengukur Indeks Kepuasan Peserta Diklat. Evaluasi yang selama ini dilakukan hanya menyentuh aspek persepsi, namun tidak bisa menjadi alat ukur kinerja penyelenggara dan widyaiswara. Selanjutnya, survey untuk mengukur kepuasan peserta selaku pelanggan (costumer) ini perlu dilakukan baik pada setiap tahap pembejalaran maupun pada akhir program. Dengan mengetahui secara dini tingkat kepuasan peserta, maka dapat segera diambil langkah-langkah untuk memperbaiki, sebelum semuanya terlambat.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 3 April 2013

Page | 29

Jurnal #11

“Dari Evaluasi Hingga Kertas Kerja” Hari ini, 3 April 2013, tidak ada substansi menarik yang bisa menjadi sumber inspirasi penulisan jurnal. Hari ini hanya diisi dengan evaluasi penyelengaraan diklat selama lebih kurang 3 minggu terakhir serta penjelasan KTP2 dan penjelasan tema. Maka, saya hanya ingin memberi respon terhadap sikap beberapa rekan peserta atas evaluasi yang dilakukan penyelenggara. Saya pribadi tidak ada keluhan sama sekali, karena setiap kekurangan yang ada sesungguhnya adalah “vitamin” buat peserta (lihat Jurnal #1 dan #2). Namun dari teman-teman peserta yang lain, cukup banyak keluhan yang disampaikan, mulai dari AC yang tidak dingin, konsumsi yang dianggap kurang sesuai selera atau komposisi nutrisi, microphone yang sering mati, dan sebagainya. Termasuk yang dikeluhkan adalah muatan yang disampaikan oleh para pembicara/penceramah yang lebih banyak menonjolkan permasalahan pembangunan dibanding kinerja positif yang dicapai pemerintah. Kritik terhadap penceramah yang mengkritik pemerintah sangat jamak terjadi. Dulu ketika saya mengikuti Diklatpim II, keluhan serupa juga terjadi. Demikian pula pada jenjang Diklatpim III maupun IV. Intinya, tidak ada yang salah dengan keluhan semacam itu. Hanya saja, peserta diklat yang kurang merasa nyaman ketika penceramah banyak bicara soal masalah bangsa harus paham bahwa untuk menemukan kebijakan yang baik dan berisi solusi-solusi cerdas, selalu dimulai dari masalah. Dalam teori policy analysis, masalah merupakan faktor input yang harus mampu dikenali, diidentifikasi, didefinisikan, dispesifikasi, dan direstrukturisasi. Semua pakar analisis kebijakan seperti Thomas Dye, Willian Dunn, James Anderson, Carl Patton and David Sawicki, dan sebagainya, selalu memulai analisis dari kewajiban merumuskan masalah ini. Mengapa perumusan/pengenalan masalah sangat penting dalam analisis kebijakan? Sebab, banyak “masalah” yang sebenarnya bukan masalah, melainkan hanya sebuah symptom atau gejala adanya masalah. Maka, kemampuan membedakan mana masalah kebijakan dan mana yang bukan masalah kebijakan, menjadi sangat penting untuk melangkah pada tahap analisis selanjutnya. Sekali kita keliru memetakan dan mempersepsikan sebuah masalah, maka akan keliru pula kita dalam mengembangkan alternatif hingga memilih kebijakan terbaik. Tidak aneh jika kemudian sering kita dengar ungkapan bahwa keberhasilan merumuskan masalah dengan baik adalah setengah dari keberhasilan melakukan analisis kebijakan. Oleh karena itu, peserta diklat semestinya berbahagia ketika para penceramah dengan gamblang menyajikan berbagai permasalahan dari optik kepakaran mereka. Tinggal tugas peserta kemudian melakukan perumusan masalah dan melanjutkannya hingga tahap pemilihan kebijakan terbaik (best policy chosen). Tanpa didahului oleh

Page | 30

kejelasan masalah yang dihadapi, maka peserta bisa terjebak dalam perangkap blind men and elephant, dan larut dalam debat yang kurang produktif. Selanjutnya, pada penjelasan penulisan KTP2 (Karya Tulis Prestasi Perorangan), sempat muncul sedikit kebingungan di kalangan peserta termasuk saya. Kebingungan tadi bersumber dari jenjang jabatan peserta yang mayoritas masih di Eselon 2 namun harus menulis kertas kerja untuk lingkup Eselon 1. Terhadap pertanyaan saya apakah materi KTP2 lebih fokus pada fungsi manajerial ataukah pada substansi tugas dan fungsi unit kerja Eselon 1, dijawab oleh Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan agar diarahkan ke fungsi manajemen. Nah, disinilah saya merasa kurang sreg. Bagi saya jangankan jenjang Eselon 1, untuk pejabat Eselon 2 sekalipun semestinya bisa memaknakan fungsi manajerial dalam konteks yang lebih strategis. Saya pribadi menafsirkan fungsi manajemen menjadi dua kategori, yakni: 1) fungsi manajerial mikro seperti perencanaan, penganggaran, pengawasan, dan lain-lain; serta 2) fungsi manajerial makro seperti berpikir visioner, berpikir lintas sektor / lintas daerah / lintas susunan pemerintahan / lintas disiplin, memimpin perubahan, menemukan dan mendorong inovasi, dan sebagainya. Dengan kategorisasi seperti itu, maka KTP2 untuk Diklatpim I dan II mestinya difokuskan pada fungsi manajerial makro, sementara KKP (Kertas Kerja Perseorangan) pada Diklatpim III dan IV cukup pada fungsi manajerial mikro. Ini berarti pula bahwa KTP2 Diklatpim I hendaknya tidak terjebak pada penyusunan rencana kegiatan, namun harus berupa konsep besar (big thinking) tentang rancang bangun organisasi masa depan serta kebutuhan transformasi untuk menjamin eksistensi organisasinya ditengah tuntutan global yang makin kompleks. Terakhir, sessi hari ini diakhiri dengan penjelasan Kertas Kerja Tema (KKT). Jika KTP2 adalah refleksi dari individual intelligence peserta, maka KKT adalah produk pembelajaran secara kolektif yang mestinya mencerminkan kecerdasan kolektif (collective intelligence) dari seluruh anggota kelompok. Namun seringkali, KKT tidak berkorelasi dengan kecerdasan kolektif karena pembagian tugas yang kurang merata dan lemahnya mekanisme mengadopsi ide-ide perorangan menjadi ide bersama. Untuk itu, saya sangat mengapresiasi perubahan yang dilakukan oleh penyelenggara terkait dengan target menghasilkan beragam produk pembelajaran. Penghapusan Temu Karya atau Seminar OL dan Kertas Kerja Angkatan (integrasi dari KKT Kelompok), diharapkan akan membuat peserta dapat mencurahkan perhatiannya dalam menghasilkan satu produk individual (KTP2) dan satu produk kolektif (KKT) secara berkualitas. Orientasi kuantitas telah bergeser menjadi orientasi kualitas dalam menghasilkan produk pembelajaran. Disinilah, peserta harus memanfaatkan waktu yang relatif “longgar” untuk menumbuhkan budaya kualitas dalam proses pembelajaran, sekaligus menjawab tantangan untuk mampu menghasilkan kertas kerja yang lebih berkualitas dibanding angkatan-angkatan sebelumnya.

Page | 31

Apakah Angkatan XXV mampu melakukannya? Semua kembali kepada niat dan komitmen setiap peserta. Paling tidak, perubahan tadi diharapkan mampu menumbuhkan iklim dan hasrat untuk berkompetisi secara sehat di antara para peserta.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 4 April 2013

Page | 32

Jurnal #12

“Tentang “Peran” Peserta Diklat dan Penilaian Kinerjanya” Sore hari ini setelah selesai sessi pemaparan pembulatan kajian pertama, saya mendapat kejutan dari salah seorang widyaiswara. Dia menyarankan saya agar lebih aktif dalam diskusi di kelas, karena itu merupakan dasar penilaian widyaiswara terhadap peserta. Terus terang, saya terkejut karena dua alasan. Pertama, saya merasa bahwa widyaiswara tersebut “sayang” kepada saya dan ingin memberi nilai bagus, namun karena saya tidak terlalu aktif, maka dengan terpaksa dia tidak bisa melakukannya. Kedua, saya lebih terkejut karena ucapan sang widyaiswara tadi mengandung arti bahwa penilaian kinerja peserta diklat masih sangat tradisional, dengan mengandalkan frekuensi peserta dalam mengajukan pertanyaan atau memberi komentar. Dalam pemikiran saya, penilaian berdasarkan banyaknya seseorang bicara di kelas harusnya diberi bobot yang rendah, kecuali penyampaian pandangan/pertanyaan tadi memang berbobot, kontekstual dengan wacana yang sedang didiskusikan, tidak ada tendensi untuk menonjolkan diri, dan seimbang (tidak menyudutkan seseorang, tidak bersifat menguji, dan sebagainya). Selain itu, harus dilakukan redefinisi tentang bentuk-bentuk peran atau kontribusi peserta dalam proses penyelenggaraan diklat. Apa sesungguhnya peran/kontribusi yang diharapkan penyelenggara dari seorang peserta diklat? Nampaknya, pertanyaan sangat elementer ini tidak pernah mendapat perhatian yang cukup, sehingga akhirnya peran direduksi menjadi aktivitas tanya jawab di kelas. Padahal, peran seorang peserta diklat bisa dikembangkan dalam beragam variasi, seperti “pengabdian” sebagai pengurus kelas, kontribusi teknis untuk kelompok, bantuan individual untuk meringankan beban peserta lain, kesungguhan dalam mengikuti diklat termasuk dalam membuat produk-produk pembelajaran, dan sebagainya. Maka, bijakkah menjadikan “hobby” bicara seorang peserta sebagai indikator kinerja, sementara pada indikator lain peserta tersebut tidak begitu peduli? Jika paradigm “makin banyak bicara, maka makin tinggi nilai”, maka Diklat Kepemimpinan sama artinya hanya memproduksi aparatur tipe talker, dan bukan worker. Dan bahayanya, orang yang banyak bicara sering terjebak pada sindrom not action talk only alias tong kosong nyaring bunyinya. Padahal idealnya, alumni Diklat Kepemimpinan harus dibentuk menjadi tipe talk less do more and walk the talk. Oleh karena itu, model penilaian kinerja peserta diklat nampaknya sudah mendesak untuk diperbaiki. Kriteria yang selama ini digunakan seperti kepemimpinan, prakarsa, kerjasama, dan sejenisnya, tidak relevan lagi karena tidak memiliki parameter yang jelas dan terukur. Salah satu alternatif penilaian adalah berdasarkan aktivitas nyata yang dijalani peserta.

Page | 33

Kembali ke nasihat widyaiswara diatas, saya menyatakan bahwa tidak masalah bagi saya kehilangan poin karena tujuan saya mengikuti Diklatpim I ini bukan untuk mencari nilai atau menjadi juara, namun mencari ilmu dan berbagai pelajaran kehidupan yang mungkin akan sangat bermanfaat bagi diri saya dalam menempuh profesi PNS di LAN. Saya sendiri merasakan perubahan pada diri saya yang tidak lagi terlalu ingin show off dengan selalu bicara di setiap kesempatan. Saya merasa bahwa sikap seperti itu tidaklah bijak, meski faktanya cukup mujarab untuk meraih ranking tinggi diantara para peserta. Saya juga lebih membenarkan persepsi bahwa selaku (calon) pemimpin, kemampuan mendengar (listening competency) harus lebih diasah dibanding kemampuan bicara (oral / speech competency). Ini seiring dengan anugerah Tuhan YMK yang memberikan dua telinga kepada manusia, dan hanya satu mulut. Sayangnya, kesadaran bahwa pendengaran adalah piranti pembelajaran yang terpenting belum tumbuh dikalangan desainer dan penyelenggara pendidikan (dalam arti luas, meliputi pendidikan formal dan informal). Coba kita renungkan, telinga ternyata adalah indera pertama yang berfungsi ketika seorang bayi lahir. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan dibacakan adzan dan iqamat untuk bayi yang baru lahir. Lebih hebatnya lagi, telinga adalah juga indera yang masih berfungsi ketika seorang hamba Tuhan menghadapi ajal. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan talqin atau dibacakan tahlil untuk orang yang menghadapi sakaratul-maut. Maka, tidaklah aneh jika telinga berkontribusi lebih besar terhadap kesuksesan dan produktivitas seseorang dibanding mulutnya. Ini yang dikatakan oleh Bernard M. Baruch bahwa “most of the successful people I’ve known are the ones who do more listening than talking”. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Lynn O. Cooper bahwa “listening is a desirable skill in organizational settings; good listening can improve worker productivity and satisfaction” (“Listening Competency in the Workplace: A Model for Training”, Business Communication Quarterly, December 1997 vol. 60 no. 4 pp. 75-84). Oleh sebab itu, menjadi ironis jika kemampuan mendengar tidak mendapat porsi penilaian dalam menentukan kinerja seorang peserta diklat, sementara “kecerewetan” yang seringkali mengganggu kenyamanan peserta lain justru dihargai tinggi. Cara berpikir seperti ini jelas harus dibongkar karena bisa jadi hanya menghasilkan para pemimpin yang suka berdebat dari pada menghasilkan konsensus. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka harus semakin “lebar” pula telinga yang dimilikinya, dan semakin “sempit” mulutnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang rajin dan sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati bawahannya atau rakyatnya, bukan sebaliknya. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka harus semakin sering pula ia menyerap aspirasi, harapan, keluhan, dan permasalahan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi kewajibannya untuk dilayani. Dengan perspektif itu pula, maka saya cukup bahagia dengan diri saya ketika bisa menahan diri untuk tidak mengobral verbalisme saya. Dalam beberapa hal, saya bahkan merasa lebih “dewasa” dibanding orang lain yang lebih tua dan lebih tinggi jenjang jabatannya, namun mereka belum mampu menahan nafsu bicaranya. Kualitas

Page | 34

orasi seseorang bisa jadi menunjukkan kualitas seutuhnya dari orang tersebut, seperti sosok Bung Karno. Namun untuk manusia rata-rata, kebanyakan bicara malah bisa merendahkan derajatnya. Dari pada banyak bicara namun kurang makna, lebih baik diam. Dalam kondisi seperti inilah diam adalah emas. Diam yang dilakukan dengan maksud untuk memberi kesempatan orang lain mengungkapkan pemikirannya, adalah juga emas. Singkatnya, tidak semua diam harus dimaknai sebagai pasif, tidak punya sikap, tidak punya ide, atau tidak peduli. Disitulah dibutuhkan seorang penilai (widyaiswara) yang peka dan jeli, serta bisa membedakan omongan yang berbobot dengan omongan yang sekedar menjadi omongan belaka; serta membedakan diam yang pasif atau tidak peduli (ignorance silent) dan mana diam yang didasarkan pada tujuan tertentu (purposive silent). Pendekatan kuantitas berupa frekuensi seseorang mengemukakan pendapat, sudah waktunya diganti menjadi pendekatan yang berpihak pada kualitas.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 4 April 2013

Page | 35

Jurnal #13

“Tugas Baca” Dalam kurikulum Diklatpim I dan II, ada materi tentang Tugas Baca. Namun uniknya, desain program untuk Diklatpim II dan Diklatpim I sangat berbeda. Pada saat mengikuti Diklatpim II, materi Tugas Baca dilakukan dengan mencari buku-buku di perpustakaan untuk mempertajam tugas-tugas seperti KKT atau KTP2. Judul buku dibebaskan dan tidak diwajibkan untuk dipresentasikan hasilnya. Sedangkan di Diklatpim I, judul buku sudah ditentukan, dengan format presentasi yang juga sudah dibakukan. Sejak Kajian 1 (Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, Kepemimpinan Nasional), sudah muncul kebingungan ketika peserta harus menyajikan hasil bacaannya dengan struktur yang terbagi menjadi empat aspek, yakni: “Esensi”, “Prinsip”. “Aplikasi”, dan “Lesson Learned”. Kebetulan, dengan judul buku Negara Paripurna karangan Yudi Latif, keempat aspek tersebut masih bisa “dipaksakan”. Namun pada Kajian 2 (Sistem Pemerintahan dan Pembangunan Nasional), perdebatan menjadi berkepanjangan sampai menghabiskan dua sessi secara sia-sia. Kesia-siaan ini bersumber dari tiga hal. Pertama, buku yang direkomendasikan belum siap saat peserta sudah harus membaca. Masih untung ada sponsor dari peserta sehingga penggandaan ketiga buku bisa lebih cepat dibagikan meski agak terlambat. Kedua, belum ada kepastian tentang buku mana yang harus dibaca. Widyaiswara memberikan tiga judul buku, masing-masing Confession of an Economic Hit Man: Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Jakarta, Abdi Tandur, 2005), serta Pengakuan Bandit Ekonomi John Perkins: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta, Ufuk Press, 2007), keduanya karya John Perkins. Selain kedua buku tadi, masih diwajibkan juga kepada peserta untuk menyiapkan sendiri buku SANKRI, tanpa dijelaskan diawal buku ke berapa dari tiga jilid SANKRI tersebut. Dan hal ketiga yang paling membuat peserta bingung adalah ketidakkompakan widyaiswara tentang Tugas Baca ini. Pendeknya, materi Tugas Baca menjadi bagian yang paling tidak terstruktur, paling tidak jelas tujuan instruksionalnya, paling tidak jelas metodenya, dan paling tidak jelas manfaatnya, dari seluruh mata diklat yang ada di kurikulum Diklat Kepemimpinan. Kebimbangan peserta tentang kemanfaatan membedah buku-buku yang disodorkan terlihat nyata dengan sarannya kepada widyaiswara untuk mengganti dengan buku lain karena buku-buku diatas dinilai tidak berkorelasi dengan tugas instansinya. Namun toch tetap saja tidak ada pilihan lain bagi peserta selain sami’na wa atho’na (saya dengar dan saya taat). Jika model pembelajaran seperti ini masih terus dipertahankan, lebih baik Tugas Baca dihapus saja karena hanya membuang waktu dan energi peserta.

Page | 36

Sejujurnya, saya pribadi juga merasakan bahwa tugas baca dengan skenario yang diterapkan di Diklatpim I ini sangat tidak ada gunanya. Padahal, Tugas Baca bisa menjadi metode pembelajaran yang lebih efektif dibanding ceramah atau diskusi kelompok, sepanjang didesain dengan benar. Dalam hal ini, saya lebih merekomendasikan agar peserta diberi kebebasan untuk menentukan sendiri buku yang ingin dibacanya. Cara pemaparan hasil bacaan-pun dibebaskan, tidak dikekang dengan keharusan merangkum dari aspek esensi, prinsip, dan aplikasinya. Munculnya tiga aspek itu sendiri (esensi, prinsip, aplikasi) mengundang perdebatan yang tidak produktif antar peserta dan antara peserta dengan widyaiswara. Lagi pula, seperti buku Confession of an Economic Hit Man tadi, sangat sulit disistematisasi berdasarkan esensi, prinsip, dan aplikasinya, karena ini lebih merupakan pengalaman hidup seseorang (John Perkins) dalam permainan ekonomi global. Selain itu, penyelenggara diklat dan widyaiswara harus paham bahwa kebutuhan pembelajaran setiap peserta tidak selalu sama. “Pemaksaan” membaca buku tertentu tidak akan pernah menghilangkan dahaga intelektual seseorang, bahkan bisa menimbulkan situasi kejengahan yang luar biasa. Saya merasakan betul, ketika saya ingin banyak mencari dan membaca tentang public administration untuk mendukung penulisan KTP-2 serta tugas-tugas yang telah menanti di unit kerja saya yang baru, tiba-tiba petualangan hidup John Perkins-lah yang harus saya lalap. Dalam situasi ini, maka saya memperoleh dua kerugian sekaligus yakni membaca sesuatu yang tidak saya butuhkan, dan kehilangan waktu untuk mempercepat tugas penulisan KTP-2. Maka, seorang widyaiswara yang baik harus bisa “membaca” kondisi kebatinan peserta, apakah segala yang dilakukan benar-benar karena ketulusan dan antusiasmenya, ataukah hanya untuk memuaskan widyaiswara namun mengecewakan dirinya sendiri? Sekali keberatan kolektif mengemuka seperti kejadian sore tadi, maka widyaiswara harus seketika itu pula menemukan solusi yang cerdas untuk kebaikan bersama. Disisi lain, penyelenggara juga harus mengkaji ulang dan merumuskan kembali filosofi, metode, skenario, dan target kompetensi yang diinginkan dari materi Tugas Baca ini. Satu hal yang perlu direnungkan untuk perbaikan kedepan, aktivitas “membaca” jangan selalu diartikan membaca teks (naskah tertulis), namun bisa diarahkan untuk membaca konteks (fenomena sunatullah, atau tanda-tanda zaman). Proses penyadaran, aufklarung, atau enlightment seseorang tidak selamanya datang dari inspirasi yang didapat dari membaca teks, namun bisa juga dari hasil kontemplasi, perenungan, dan pemaknaan terhadap sebuah gejala alam, mencari hakekat dari sesuatu yang tidak nampak, membaca sesuatu yang tidak tersurat, dan menembus batas-batas transendental sebuah realitas dan rasionalitas. Dari membaca konteks ini, kemudian dikristalisasi menjadi lesson learned untuk menjalani kehidupan dengan cara yang lebih baik dan manusiawi.

Page | 37

Bagaimana konkritisasi dari tugas membaca teks menjadi tugas membaca konteks? Kita perlu duduk bersama dan saling membuka hati dan pikiran kita.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 8 April 2013

Page | 38

Jurnal #14

“Adakah Komitmen Nasional Untuk Diklat Kepemimpinan?” Saya tidak terlalu yakin bahwa para petinggi negeri ini memberi perhatian serius terhadap diklat aparatur. Saya juga tidak yakin bahwa mereka memiliki komitmen yang kuat untuk turut mencerdaskan kehidupan aparatur dan mengurai karut marut permasalahan bangsa melalui investasi SDM sektor publik. Ketidakyakinan saya ini muncul ketika seorang pejabat tinggi setingkat Menteri dengan seenaknya membatalkan jadual mengajar di Diklatpim, hanya karena alasan klasik dipanggil Presiden. Seperti pada hari Senin, 8 Maret 2013 ini, tiba-tiba penyelenggara membagikan revisi jadual karena Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan berhalangan memenuhi janjinya untuk memberi materi. Sungguh saya sangat heran ketika Presiden selalu dijadikan dalih untuk mengalahkan semua agenda dan kepentingan. Saya juga heran bahwa kepentingan Presiden seolah-olah adalah kepentingan seluruh bangsa sehingga tidak ada kepentingan lain diatas kepentingan Presiden. Dengan alasan Presiden pula, banyak program yang menjadi tidak jelas dan serba tidak pasti. Saya sangat tidak yakin bahwa negeri ini sedang dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga para Menteri harus siap sedia 24 jam menunggu panggilan Presiden yang serba mendadak. Saya juga tidak yakin bahwa Presiden menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak terstruktur, tidak ada skala prioritas, tidak memiliki irama, atau serba acak dan serba mendadak. Sayapun tidak yakin bahwa Presiden begitu arogan harus dilayani para Menterinya tanpa dapat menerima pertimbangan lain. Saya masih percaya bahwa manajemen negara ini dikelola begitu indah, rapi, dan teratur, sehingga mayoritas agenda para pejabat tinggi (Menteri hingga Presiden) dapat berlangsung sesuai rencana. Saya lantas berandai-andai. Jika saya menjadi pembantu Presiden dan mendapat undangan memberi ceramah di sebuah acara, saya akan meyakinkan Presiden bahwa apa yang saya lakukan adalah dalam konteks membantu beliau di bidang saya. Jika saya “mangkir” dari tugas yang telah terjadual, sama artinya saya gagal membantu beliau. Dan jika saya menjadi Presiden, maka saya akan menerima argumen Menteri saya tadi, sepanjang tugas-tugas yang saya berikan dapat dijalankan dengan baik. Sebagai “Presiden”, saya justru akan senang jika para pembantu saya rajin memberi ceramah disana-sini, karena itu adalah kesempatan untuk mengkomunikasikan program kerja Presiden dengan berbagai kalangan. Sebagai pimpinan tertinggi, saya juga akan menerapkan Time Management yang baik, sehingga dengan waktu yang sama (24 jam sehari) saya minta pada Menteri untuk melakukan banyak hal dengan banyak output dan outcomes. Dari pada sekedar menemani “kesepian” saya atau mendengarkan curhat saya, akan saya biarkan para Menteri untuk berinovasi di bidangnya masing-masing. Saya justru akan marah jika para Menteri sering-sering

Page | 39

menghadap saya untuk minta petunjuk dan arahan, karena hal itu hanya menunjukkan bahwa mereka adalah manusia dungu yang tidak bisa berpikir kreatif. Sayapun akan memberikan kebebasan kepada para Menteri untuk bertindak dalam batas-batas wewenang yang telah saya berikan. Dalam konteks kediklatan, kalau perlu saya akan turun tangan langsung dengan mengundang peserta ke Istana Kepresidenan untuk mendengarkan konsep saya dalam memimpin negara. Saya akan tunjukkan kepada mereka bahwa memimpin negara harus dilakukan dengan konsep, namun pengelolaannya harus menggunakan hati (led by concept and managed by heart). Kembali ke soal komitmen nasional terhadap Diklat Kepemimpinan, bagaimana mungkin diklat akan menjadi ajang yang bergengsi jika para pemimpinnya masih melihat dengan sebelah mata? Bagaimana mungkin kita bisa membangun kebanggaan menjadi peserta diklat, jika pembicara yang ditunjuk oleh pejabat tinggi negara tadi tidak lebih baik dari peserta? Maka, perlu dipikirkan cara membangun mindset nasional bahwa Diklat Kepemimpinan bukan sekedar kepentingan LAN atau kepentingan individu peserta. Diklat Kepemimpinan adalah kepentingan strategis nasional untuk menjamin estafet kepemimpinan yang mulus dan berkelanjutan. Dalam konteks menyiapkan kader pemimpin masa depan melalui transfer of knowledge, experience and wisdom dari tokoh-tokoh kunci tadi, maka memberi ceramah pada Diklat Kepemimpinan harus dimaknai sebagai Professional Social Responsibility (PSR) dari seorang tokoh nasional. Artinya, dalam jabatan seseorang tidak hanya melekat tanggungjawab moral, administratif, hukum, dan politis, namun juga tanggungjawab sosial. Semakin banyak PSR seorang tokoh atau petinggi negeri, maka semakin besar pula kontribusinya dalam membangun profil kepemimpinan yang kuat dan professional.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 9 April 2013

Page | 40

Jurnal #15

“Pernik-Pernik Diklat” Dua hari terakhir, 9 dan 10 April 2013, suasana kelas terasa sangat informal. Hal ini tidak terlepas dari batal hadirnya para pembicara kunci, sehingga waktu yang lowong dijadikan jam mandiri. Sessi mandiri yang biasanya diberikan pada malam hari, kali ini terjadi sejak siang hari, sehingga menimbulkan nuansa yang tidak biasa. Secara umum, peserta bersyukur dengan adanya jam mandiri ini, sebagaimana layaknya anak SD yang gembira ketika sang guru tidak masuk kelas. Untungnya, peserta sudah dewasa sehingga dapat memanfaatkan waktu yang ada untuk penulisan KTP-2, diskusi kelompok, atau untuk aktivitas lain yang tidak sia-sia. Hanya saja, terbersit pertanyaan dalam benak saya. Dengan kejadian seperti ini, apakah tujuan instruksional diklat bisa tercapai? Saya tidak tahu persis apakah situasi seperti ini cukup lazim dalam pelaksanaan Diklat Kepemimpinan, mengingat saya tidak punya pengalaman mengelola program diklat. Namun dalam pemahaman saya, hal seperti ini semestinya tidak terjadi. Penyelenggara harus selalu memiliki contingency plan ketika pembicara yang diundang ternyata berhalangan. Apalagi, kasus batalnya seorang pembicara di detik-detik akhir bukan hanya terjadi di angkatan ini saja. Ini adalah masalah rutin, yang semestinya sudah dapat diantisipasi sejak dini dengan mencari alternatif solusi ketika masalahnya muncul. Dalam perspektif analisis kebijakan, problem seperti ini dapat disebut sebagai structured simple problem, sehingga cara pemecahannya relatif mudah dan tidak membutuhkan teknik-teknik khusus. Secara sekilas, kasus ini terlihat sepele dan berdiri sendiri alias tidak memiliki kausalitas dengan masalah lain. Namun dampak ikutan yang mungkin timbul jika tidak dapat diatasi, bisa menyebabkan kasus kecil ini berkembang menjadi masalah sistemik. Kekecewaan dan turunnya kepercayaan peserta terhadap penyelenggara adalah salah satu potensi masalah yang timbul. Dalam konteks yang lebih besar, hal ini akan menjadi stigma bahwa lembaga penyelenggara kurang kompeten mengelola proses pembelajaran, sehingga tingkat kinerja yang dicapai juga relatif rendah. Jika stigma seperti ini terus berkembang menjadi postulat atau asumsi dasar dalam benak banyak orang, maka hilanglah kewibawaan dan legitimasi lembaga. Untuk itu, adanya “rencana cadangan” selalu dibutuhkan untuk menjamin mutu diklat. Situasi informal yang kami alami selama dua hari, membuat peserta memiliki waktu luang untuk saling berkomunikasi yang produktif, bukan sekedar omong kosong untuk membunuh waktu. Salah satu yang saya peroleh dari salah seorang teman adalah rasa pesimismenya terhadap civil effect dari Diklatpim I ini. Dia menceritakan bahwa di instansinya sudah banyak yang memiliki sertifikat Diklatpim I, namun pengangkatan pejabat Eselon I kurang memperhatikan persyaratan ini. Teman ini tadi juga pesimis dapat promosi ke jenjang eselon tertinggi karena merasa tidak memiliki backing dari

Page | 41

orang kuat tertentu. Cerita ini menegaskan “rumor” yang selama ini terjadi tentang fenomena politisasi birokrasi di lingkungan instansi pemerintah pusat dan daerah, atau konkritnya pengangkatan pejabat yang lebih dilandasi pada selera (favoritism) dan kedekatan (cronyism), namun sering mengabaikan pertimbangan merit sistem (meritocracy) dan kemampuan (competency) pegawai. Untuk itu, kawan tadi menyarankan hendaknya LAN sebagai Pembina sekaligus penyelenggara Diklatpim I dapat menerbitkan rekomendasi kepada pimpinan instansi tentang kelayakan alumni Diklatpim I untuk menduduki jabatan Eselon I. sesungguhnya disadari sepenuhnya bahwa urusan pengendalian diklat merupakan wewenang BKN, sehingga dengan kewenangannya tadi semestinya BKN dapat mencegah terjadinya politisasi birokrasi. Namun mengingat kewenangan pengangkatan jabatan ada pada PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) K/L/Pemda, maka BKN tidak sepenuhnya mampu mencegah praktek-praktek seperti ini. Dalam kaitan seperti inilah, maka adanya rekomendasi LAN akan menjadi moral force bagi PPK untuk menjadikan Diklatpim sebagai konsideran dalam melakukan fungsi promosi dan mutasi kepegawaian. Hal ini sekaligus untuk mencegah terjadinya surplus alumni yang tidak terserap pada pasar jabatan, serta menjamin investasi SDM aparatur yang begitu mahal tidak sia-sia. Ide adanya endorsement LAN kepada alumninya bagi saya patut direspon secara positif. Bagaimana isi endorsement tadi, dan kepada alumni yang mana yang akan di-endorse, tentu tidak dapat dirumuskan secara instan saat jurnal ini ditulis. Namun yang perlu digarisbawahi adalah keuntungan jika hal itu dilakukan. Manfaat mikro dari sudut pandang peserta, rekomendasi LAN jelas akan menjadi insentif yang menarik dan cenderung “diperebutkan”. Implikasinya, peserta akan lebih sungguh-sungguh menjalani program diklat dan menghasilkan efek kompetisi yang sehat dan positif. Jika kompetisi antar peserta lebih kuat, maka kualitas diklatpun secara otomatis akan meningkat. Dan jika mutu diklat meningkat, maka dampak diklat terhadap perbaikan kinerja instansi asal peserta juga bisa diharapkan lebih cepat terwujud. Dengan kata lain, rekomendasi LAN untuk alumni Diklatpim kepada pimpinan K/L/Pemda akan menjadi pengungkit (leverage) bagi pembenahan sistem pembinaan kepegawaian nasional serta sistem manajemen kinerja SDM aparatur. Hal terakhir yang sangat berkesan bagi saya adalah kasus yang dihadapi oleh rekan sekelas yang menjabat sebagai Kepala RS Bhayangkara Sulawesi Selatan. Pak Kombes Purwadi, nama rekan ini, dimata saya adalah sosok yang sholeh, baik hati, bersahabat, dan tidak birokratis. Dia juga pribadi yang berdisiplin tinggi dan murah hati. Disiplin bisa dilihat dari kebiasaan berolahraga secara rutin meski agenda pembelajaran sangat padat, sedangkan murah hatinya terlihat dari spontanitasnya untuk mensponsori penggandaan tiga buku yang ditetapkan widyaiswara sebagai tugas baca. Tiba-tiba, hari Sabtu kami digemparkan dengan kejadian penembakan beliau oleh seorang polisi yang kecewa karena asrama yang ditinggali akan terkena proyek pembangunan RS. Yang mencengangkan bagi saya adalah, hanya dalam waktu 3-4 hari

Page | 42

beliau sudah kembali ke kelas dalam keadaan seperti tidak mengalami sesuatupun. Saya sempat menyebut beliau sebagai Hercules, sebagai ungkapan atas kekaguman saya terhadap kekuatan fisiknya yang luar biasa. Namun dibalik kekuatan fisiknya, saya lebih yakin bahwa beliau memiliki kekuatan jiwa dan mental yang amat tangguh. Kekuatan mental spiritual itulah yang menyebabkan kendala fisik seolah tidak ada artinya. Saya membayangkan, seandainya semua pejabat Republik ini memiliki kekuatan fisik serta mental spiritual seperti beliau, betapa budaya kerja dan kinerja instansi pemerintah akan terasa sangat istimewa. Hal lain yang tidak masuk akal adalah ketika penembakan dilakukan oleh orang terlatih dan dari jarak dekat (sekitar 1 meter), namun ternyata tidak mengenai organ-organ vital. Hebatnya lagi, dua peluru yang dilepaskan seolah berbelok-belok mencari jalur yang tidak mematikan. Bagaimana logikanya sebutir peluru mengenai jari kiri, kemudian menyerempet leher kiri, dan bersarang pundak kanan? Nampaknya ada invisible hand atau campur tangan langsung Yang Maha Kuasa. Dan saya yakin bahwa hal-hal metafisik atau supranatural seperti ini diijinkan terjadi oleh Tuhan untuk suatu alasan. Alasan itu bagi saya adalah untuk menjadi pembelajaran baik bagi yang bersangkutan, untuk pegawai di lingkungan kerjanya, maupun untuk kami, para rekan peserta Diklatpim I. Pembelajaran pertama yang bisa ditarik adalah bahwa perilaku seseorang akan menjadi penolong manakala ia berada dalam keadaan mendesak. Dalam kasus pak Purwadi diatas, saya memiliki keyakinan bahwa ia diselematkan oleh Allah karena shalatnya yang tekun, doanya yang panjang, dan sodaqohnya yang banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ”Perbanyaklah sedekah, sebab sedekah bisa memanjangkan umur”. Pelajaran kedua, jagalah kebugaran fisik secara optimal, karena fisik yang prima akan dapat menjaga sistem reflek untuk menghindarkan diri dari bahaya yang tidak terduga. Dalam buku The Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R Covey pun dianjurkan agar kita selalu “mengasah gergaji” (Habit No. 7). Tubuh kita adalah alat untuk mencapai tujuan, sebagaimana gergaji untuk menebang pohon. Gergaji tersebut akan menjadi tajam jika terus diasah, dirawat, dan dijaga dari kerusakan, sehingga akan menjadi piranti yang efektif dalam menjalankan tugasnya. Bagaimana kita menjaga “gergaji” kita? Covey menyarankan agar kita menyeimbangkan dimensi fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual, antara lain dengan melakukan meditasi atau yoga. “Meditasi” disini tentu harus ditafsirkan dalam arti yang lebih luas mencakup aktivitas zikir, doa, dan i’tikaf (berdiam untuk melakukan muhasabah atau introspeksi), sementara “yoga” pun harus dimaknakan sebagai olahraga dalam arti luas. Pelajaran ketiga, apapun situasi yang kita hadapi dalam melaksanakan tugas, usahakan selalu dengan tulus ikhlas, sikap ramah, dan hindari kemungkinan timbulnya ketersinggungan apalagi sakit hati dari orang lain. Seperti diceritakan oleh pak Pur, beliau mengakui sempat mengeluarkan ucapan yang memicu emosi pelaku penembakan. Jika ucapan pak Pur dianggap sebagai bentuk kezaliman, tetap saja tidak boleh dilawan dengan kezaliman, apalagi kezaliman yang jauh lebih besar.

Page | 43

Maka, tindakan penembakan itu jelas salah besar dilihat dari sudut manapun dan dengan dalih apapun. Tentu saja, emosi adalah sifat yang amat manusiawi, dan oleh karenanya dapat dimaklumi jika pak Pur dan penembaknya sempat emosi dengan situasi yang dihadapi masing-masing. Namun seandainya keduanya sama-sama menjaga kesejukan dalam komunikasi, maka hal yang buruk bisa dicegah sejak dini. Jika kita cermati situasi politik di tanah air pada tahun politik ini, betapa banyak pejabat tinggi pemerintah, politisi, aparat keamanan, bahkan rakyat jelata yang mengumbar kemarahan dengan cara dan bentuknya masing-masing. Kriminalitas semakin menjadi-jadi, dan tindakan main hakim sendiri juga semakin lumrah. Bangsa ini nampaknya telah berubah menjadi bangsa pemarah dan tak terlihat lagi gurat-gurat keramahannya. Dan ini jelas sangat tidak menguntungkan dalam upaya membangun bangsa yang unggul dan bermartabat. Oleh sebab itu, menjadi tugas pimpinan nasional untuk menciptakan suasana batin antar komponen bangsa yang teduh, iklim pembangunan yang sejuk dan kondusif, serta membangun kecerdasan emosional bangsa secara kolektif. Terimakasih pak Pur, bapak yang mendapatkan musibah, namun kami semua yang mendapat hikmah. Semoga hikmah yang kami terima dari peristiwa yang bapak alami akan menjadi pahala berlimpah, menjadi penangkal musibah-musibah berikutnya, menjadi sarana memanjangkan umur dan memperbanyak rejeki, serta mendatangkan keberkahan dan hidup berkelimpahan untuk bapak se keluarga.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 11 April 2013

Page | 44

Jurnal #16

“Diklat Sebagai Melting Pot” Diantara banyaknya materi yang disampaikan narasumber dari Bappenas, saya memberi perhatian khusus pada fenomena terputusnya rantai proses antara fungsi perencanaan yang menjadi domein Bappenas dan biasa dilakukan pada periode Januari-Mei, dengan fungsi penganggaran yang menjadi domein Kemenetrian Keuangan yang biasa berlangsung pada periode Juni hingga Desember. Dengan adanya gap antara perencanaan dengan penganggaran ini, Bappenas sering “kehilangan jejak” untuk menjaga konsistensi perancanaan dengan dukungan anggaran. Bagi saya, fakta diatas adalah sebuah ironi besar dalam sistem pembangunan nasional. Ada sebuah ungkapan dari Miguel de Cervantes Saavedra yang berbunyi “to be prepared is half of the victory”, yang maknanya kurang lebih bahwa ketika kita telah memiliki perencanaan yang baik, maka kita sudah menuju setengah dari kemenangan. Namun jika hanya perencanaan yang baik, sementara pada implementasinya terjadi gap yang lebar antara perencanaan (Bappenas) dengan penganggaran (Kementerian Keuangan), maka perencanaan tersebut bisa menjadi sia-sia. Dan faktanya, memang terjadi deviasi RPJM ketika dijabarkan dalam Renstra K/L. Selanjutnya, deviasi terjadi secara beruntun pada saat Renstra K/L diterjemahkan dalam RKP, RKP diturunkan menjadi Renja K/L, Renja K/L dioperasionalisasikan dalam DIPA K/L, dan DIPA diimplementasikan dalam realisasi fisik dan anggaran. Dengan banyaknya deviasi pada mata rantai perencanaan dan penganggaran tersebut, bisa dibayangkan berapa besarnya deviasi dari RPJM menjadi realisasi fisik dan anggaran? Tingginya deviasi tersebut diperparah dengan rendahnya konsistensi indikator dan target RKP 2013 dengan RPJM 2010-2014. Sebagai contoh, jumlah indikator outcome RKP 2013 yang sama dengan indikator outcome RPJM 2010-2014 hanya sebesar 75,61%, sementara target outcome RKP 2013 yang sama dengan target outcome RPJM hanya sebesar 48,78 %. Di tingkat output, jumlah indikator output RKP 2013 yang sama debgan indikator output RPJM hanya sebesar 21,58 %, sementara target output RKP 2013 yang sama dengan RPJM hanya sebesar 11,37 % (Bappenas, Perspektif Perencanaan Dalam Sistem Manajemen Pembangunan Nasional, 2013). Terjadinya deviasi dan lemahnya konsistensi itu sendiri tidak lepas dari sinergi yang kurang optimal dari Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kedua institusi ini memiliki kewenangan yang spesifik namun sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat. Ketika koordinasi gagal dilakukan dan ketika egoisme institusi terus dipertahankan, maka yang terjadi adalah inefisiensi dan inefektivitas sistem pembangunan nasional kita. Sungguh saya miris melihat situasi seperti ini. Lantas, terpikir oleh saya bahwa perlu ada suatu forum yang bisa mempertemukan berbagai pihak yang terkait dengan situasi problematik tertentu secara intens tanpa

Page | 45

sekat jabatan, institusi, maupun hambatan ruang dan waktu. Nah, satu-satunya forum yang memenuhi kriteria tadi menurut saya adalah Diklat. Maka, diklat by design dapat dijadikan sebagai melting pot yang mempertemukan berbagai pihak untuk membahas masalah bersama hingga menemukan solusinya. Dalam hal ini, melting pot didefinisikan sebagai “a metaphor for a heterogeneous society becoming more homogeneous, the different elements melting together into a harmonious whole with a common culture” (Wikipedia). Konsekuensinya sebagai melting pot, maka diklat diselenggarakan dengan maksud tertentu (purposive training), dan tidak dibuka peluang yang sama bagi peserta dari instansi yang tidak terkait dengan masalah yang hendak diselesaikan. Disini, “inti masalah” akan dijadikan sebagai tema dalam pelaksanaan diklat dengan tujuan khusus tadi. Dalam kasus fragmentasi fungsi perencanaan dengan penganggaran tadi, misalnya, maka (calon) peserta yang dipanggil mengikuti diklat adalah yang berasal dari Bappenas, Kementerian Keuangan, dan beberapa dari K/L/Pemda untuk case study terjadinya fragmentasi kebijakan. Atas dalam kasus konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan agama/keyakinan, maka (calon) peserta dari Kementerian Dalam Negeri, Kemenetrian Agama, dan Pemda tempat terjadinya konflik, harus menjadi prioritas. Dengan demikian, peserta kertas kerja bersama yang berisi konsensus atau general agreement untuk menerapkan solusi terhadap masalah yang dihadapi bersama. Dengan memfungsikan diklat sebagai melting pot tadi, bukan hanya permasalahan aktual yang dapat diselesaikan, namun juga mendobrak mekanisme formal yang kaku dalam hubungan antar lembaga. Sebagaimana lazimnya, sesama alumni biasanya memiliki ikatan batin yang lebih erat sehingga komunikasi interpersonal akan dapat mengatasi communication barrier yang selama ini dalam hubungan kedinasan. Dengan modal kedekatan emosional inilah, egoisme sektoral dapat diminimalisir sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi seorang pejabat. Sebenarnya diklat yang sekarang juga sudah mencerminkan terjadinya proses peleburan berbagai potensi dan latarbelakang yang berbeda dari setiap peserta. Hanya saja, melting pot yang ada saat ini tidak didesain secara terfokus untuk memecahkan situasi problematik yang dihadapi instansi asal peserta. Artinya, kurang jelas output dan outcomes apa yang ingin dicapai dengan bahan dasar atau material yang beragam tadi. Ibaratnya sebuah industri peleburan, harus jelas apakah material yang dilebur akan menghasilkan keramik, besi baja cor, emas batangan, atau hanya onggokan yang tidak bernilai strategis? Sama halnya dengan Diklat Kepemimpinan, akan jauh lebih baik jika produk pembelajaran tidak hanya yang berhubungan dengan instansinya, namun juga hasil yang lebih strategis menyangkut masalah dan kepentingan yang lebih luas, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan seterusnya. Jika produk utama Diklat Kepemimpinan hanya KTP-2, sementara KKT/KKA disusun hanya sekedar untuk “menggugurkan kewajiban”, maka KTP-2 tadi hanya akan menjadi onggokan di perpustakaan yang tidak terlalu signifikan sebagai produk intelektualitas dalam memecahkan permasalahan bangsa. Diklat adalah

Page | 46

“industri peleburan” yang akan mengkonversi bahan dasar menjadi bahan jadi, mereformulasi inkompetensi menjadi kompetensi, dan mentransformasi onggokan menjadi sesuatu yang serba sistem. Jika pola melting pot ini tidak diterima, maka dapat pula dicoba cara lain untuk mengatasi gap, barrier, dan kebuntuan komunikasi antar instansi, yakni dengan membudayakan courtesy call atau undangan kehormatan. Sebagai contoh, Menteri Keuangan mengundang Bappenas dan beberapa pimpinan K/L dalam sebuah coffee morning untuk membicarakan secara “hati ke hati” masalah yang dihadapi bersama. Hal yang sama dapat dilakukan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas atau pimpinan K/L manapun sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Dengan kata lain, untuk melakukan koordinasi tidak harus menunggu forum resmi seperti Musrenbangnas, Rakorpannas, dan yang sejenisnya. Pertanyaannya, maukah kita membuat tradisi yang lebih smooth and soft dalam komunikasi lintas kementerian? Semua akan kembali kepada komitmen pimpinan K/L yang bersangkutan. Namun sebagai orang LAN, ada baiknya LAN memelopori hal ini sebagai konvensi baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 12 April 2013

Page | 47

Jurnal #17

“Mendambakan Munculnya Kecerdasan Kolektif” Mungkin benar bahwa bangsa kita mengalami kesulitan mengelola potensi individu yang dahsyat menjadi kebaikan bersama. Logikanya, kebaikan yang kecil, jika digabungkan kebaikan-kebaikan kecil lain yang jumlahnya teramat banyak, maka akan berakumulasi menjadi kebaikan yang teramat besar. Namun logika ini seringkali tidak berjalan dalam realita. Sebagai contoh, manusia Indonesia secara individual terkenal akan keramahannya, sikap suka menolongnya, toleransinya, dan seterusnya. Dalam perspektif agama, masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan saleh. Masjid, gereja, dan tempat-tempat peribadatan sering penuh oleh jamaahnya. Hewan korban juga kadang berlebih di musim berkorban, sebagaimana zakat yang sering berlimpah dimusim lebaran. Bahkan sering kita lihat adanya tanda hitam di kening banyak orang, yang menandakan bekas sujud yang amat khusyu’. Pendeknya, kita perlu bangga dan bahagia dengan mudahnya menemukan kesalehan individual manusia Indonesia. Sayangnya, kesalehan individual tadi tidak menjelma menjadi kesalehan kolektf. Kita tentu ingat kasus pertikaian antar kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kelompok relijius, dengan cara-cara yang jauh dari spirit relijius. Kita juga bisa lihat mudahnya masyarakat terbakar emosinya hanya karena persoalan-persoalan sepele. Dalam tataran sistem, kitapun bisa mengamati tigginya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, lambat dan berbelitnya pelayanan, mafia peradilan yang kasat mata, dan berbagai kasus yang menunjukkan tidak adanya kesalehan sosial (collective piety). Fenomena sulitnya mengkonversi potensi individu menjadi sumber daya kolektif juga terjadi dalam konteks diklat aparatur, peserta Diklatpim I Angkatan XXV, misalnya, terdiri dari individu-indvidu yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Hal ini bisa diamati dari latar belakang pendidikan dimana banyak yang sudah Doktor, dan diantaranya alumni luar negeri. Dilihat dari jabatannya juga 5 orang sudah menduduki jabatan Eselon I, sementara yang menduduki jabatan Eselon II juga berada pada posisi strategis seperti Kepala Kejaksaan Tinggi, Kombes Polisi di salah satu Mapolda, Stah Ahli Dewan Ketahanan Nasional, dan lain-lain. Pengalaman peserta dalam berbagai program skala internasional juga cukup banyak, yang tercermin dari cerita-cerita mereka. Sayangnya, kecerdasan individual tadi tidak serta merta dapat menjelma menjadi kecerdasan kolektif. Dalam hal ini, kecerdasan kolektif (collective intelligence) dimaknakan sebagai kondisi munculnya kecerdasan bersama atau kecerdasan kelompok (shared or group intelligence) yang timbul dari kolaborasi dan kompetisi banyak individu, dan menjelma dalam konsensus kelompok, misalnya dalam kualitas pengambilan keputusan (terjemahan bebas dari Wikipedia).

Page | 48

Nah, jika KKT (Kertas Kerja Tema) atau KKA (Kertas Kerja Akhir) dipandang sebagai wujud kecerdasan kolektif, maka bisa dikatakan bahwa kecerdasan kolektif yang terbangun adalah kecerdasan yang jauh dibawah rata-rata. Sebab, semangat kebatinan dalam menyusun KKT/KKA tidak dilandasi oleh cita-cita menghasilkan publikasi kelas satu yang layak dijadikan konsumsi bacaan tingkat Menteri bahkan Presiden. KKT/KKA lebih bernuansa formalitas dengan metodologi akademik yang dipertanyakan serta rujukan teoretik yang setengah-setengah. Saya membayangkan, Pusdiklat Spimnas selalu menghasilkan satu publikasi di setiap akhir penyelenggaraan Diklatpim II dan I, dan publikasi ini menjadi rujukan nasional karena berisi analisis terhadap issu aktual tertentu hingga solusi-solusi inovatifnya. Faktanya, KKA/KKT selama ini hanya disimpan oleh penyelenggara dan tidak menjadi policy recommendation kepada pimpinan nasional. Ironisnya, KTP-2 juga bernasib serupa dengan KKT/KKA yang hanya menjadi penghias rak-rak buku semata. Kesimpulannya, setiap angkatan Diklatpim II dan I terbukti tidak menghasilkan sebuah dokumen yang berpengaruh (influential) terhadap reformasi kebijakan di tanah air. Saya lebih mengidamkan bahwa setiap angkatan wajib menghasilkan sebuah buku yang mengangkat tema diklat dan berisi bab-bab hasil kontribusi setiap peserta. Untuk Diklatpim I Angkatan XXV misalnya, judul buku yang harus dihasilkan adalah sama dengan tema yakni “Sinergi Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Memasuki Era ASEAN Community 2015”. Dengan demikian, diklat akan diawali dengan dan dijiwai oleh tema, kemudian diakhiri dengan publikasi yang berisi semua jawaban terhadap problematika terkait tema tersebut. Jika ide ini disepakati, maka perlu ada redesign terhadap produk pembelajaran dalam Diklat Kepemimpinan. Diskusi-diskusi kelompok tetap diperlukan sebagai ajang pertukaran gagasan (idea sharing and exchange), namun tidak harus dikemas dalam bentuk pembuatan slide yang dipaparkan di kelas. Proses intellectual exercise sesungguhnya lebih banyak berjalan pada saat diskusi dibanding saat presentasi, sehingga sessi presentasi hanya menjadi “latihan bicara” bagi beberapa orang saja (yakni mereka yang diberi kesempatan sebagai penyaji atau pembahas), sementara peserta yang lain cenderung diam dan “menikmati waktu istirahat”. Yang lebih diperlukan sebenarnya adalah dokumentasi dari proses intellectual exercise tadi, dan bukan presentasinya. Oleh karena itu, mungkin saja KKT/KKA dihapus dan digantikan dengan menyusun buku yang mengacu tema. KTP-2 mungkin juga bisa dihapus, mengingat peserta Diklatpim I diharapkan lebih memiliki visi nasional yang bersifat strategis, bukan rencana kerja yang bersifat teknis instansional. Namun saya sangat menyadari bahwa ide ini cukup sulit ditataran aplikasinya. Sebab, terlalu banyak pejabat tinggi birokrasi kita yang tidak punya budaya akademik dan tidak terbiasa dengan aktivitas tulis-menulis, terlebih karya tulis ilmiah. Jika model ini dipaksakan, bisa jadi malah menyuburkan praktek plagiarisme berupa munculnya penulis-penulis bayangan atau para joki (ghost writers). Akan tetapi, mempertahankan produk pembelajaran lama yang jelas-jelas tidak membawa efek kuat untuk perubahan organisasi juga bukan pilihan tepat.

Page | 49

Maka, boleh jadi dikembangkan pola kombinasi sesuai ekspektasi penyelenggara dan kemampuan peserta. Esensinya, apapun produk pembelajaran yang dihasilkan, haruslah menjadi cerminan terbaik dari intelektualitas kolektif kelas yang semakin berbobot.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 13 April 2013

Page | 50

Jurnal #18

“KTP-2” Hari ini, ada sedikit “perdebatan” antara saya, rekan satu kelompok, dan pembimbing, terkait struktur dan muatan KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Perdebatan tadi berawal dari pertanyaan saya tentang sistematika KTP-2 yang saya nilai terlalu sederhana dan tidak memililiki platform yang jelas, apakah sebagai karya tulis ilmiah seperti skripsi/thesis/disertasi, ataukah lebih merupakan makalah kebijakan (policy paper). Pertanyaan saya selanjutnya, apakah memang KTP-2 tidak perlu ada kerangka pikir (logical framework of thinking) dan tinjauan teoretik konseptual? Jika perlu, pada bab mana yang paling tepat untuk menuliskannya? Selain itu, pada buku panduan juga tidak disebutkan sama sekali soal metodologi, padahal aspek ini menjadi roh dari sebuah karya tulis ilmiah? Pertanyaan diatas tidak terlepas dari pengamatan saya tentang beragamnya struktur, muatan, pola perumusan judul, dan gaya penulisan KTP-2. Saya sempat menemukan salah satu KTP-2 angkatan sebelumnya yang menurut saya sangat tidak layak karena hanya berisi soal penjelasan istilah ditambah beberapa teori, sementara tidak jelas apa sesungguhnya problematika yang ada dan ingin dipecahkan. Dalam KTP-2 tadi juga tidak jelas apa tools of analysis yang digunakan dan bagaimana menerapkannya. Uniknya, semua dibenarkan dan diluluskan. Inllah yang sedikit menjadikan kerisauan bagi saya. Demikian pula di angkatan saya. Dari tiga kelompok yang ada ternyata memiliki standar yang sangat bervariasi. Cara penulisan judul saja sudah sangat berbeda. Di kelompok saya diarahkan berupa formula P – Q – R (melakukan P, melalui Q, untuk R), sementara kelompok lain lebih bebas polanya. Teknik penulisan judul dengan formula P – Q – R ini mengadopsi salah satu langkah pada SSM (soft system methodology), yakni tahap perumusan root definition of relevant purposeful activities, yakni tahapan setelah merumuskan situation considered problematic dan penyusunan problem situation expressed melalui pembuatan rich pictures. Karena model Q – P – R ini adalah salah satu tahapan spesifik dari SSM, maka tidak aneh jika muncul kesan bahwa karya tulis dengan judul seperti ini akan menerapkan SSM sebagai alat analisisnya. Kesan seperti ini sendiri sudah dibantah oleh salah seorang pembimbing KTP-2 dengan menyatakan bahwa pola perumusan judul ini tidak serta-merta mengharuskan penggunaan metode tertentu, dan penulis tetap memiliki kebebasan untuk mencari metode lain selain SSM. Selain perbedaan dalam hal cara merumuskan judul, antar kelompok juga berbeda dalam metode yang dianjurkan. Kalau di kelompok saya ada “penggiringan” untuk menggunakan SSM meski secara formal dinyatakan adanya kebebasan penulis memilih metode yang paling tepat, di kelompok lain justru ada anjuran untuk menerapkan beragam metode secara bersamaan. Beberapa metode yang dianjurkan antara lain

Page | 51

teknik iceberg (gunung es), agenda setting dan perumusan masalah dari James Anderson atau William Dunn, 7 langkah Mustopadidjaja, maupun systems dynamic dengan archetype atau CLD (causal loop diagram). Tentang berbagai perbedaan antar angkatan maupun antar kelompok ini, saya sangat memahami semangat yang melandasinya. Sebagai seorang pejabat tinggi, sangat wajar kepada peserta Diklatpim I diberi kebebasan akademik untuk merancang dan menulis kertas kerjanya. Namun bagi saya, kebebasan tadi bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, namun kebebasan dalam koridor kaidah akademik yang baku pada penulisan karya tulis ilmiah. Kecuali dinyatakan secara tegas bahwa KTP-2 bukanlah karya tulis ilmiah, maka lain lagi persoalannya. Disinilah diperlukan ketegasan penyelenggara untuk merancang ulang KTP-2, bukan hanya dari struktur/sistematikanya saja, namun juga platform-nya. Konkritnya, saya merekomendasikan beberapa upaya pembenahan. Pertama, penyelenggara wajib memberi kejelasan apakah KTP-2 adalah karya tulis ilmiah atau bukan. Jika melihat pada struktur dan muatan yang diatur pada buku panduan saat ini, maka teramat sulit mengatakan KTP-2 sebagai karya tulis ilmiah, mengingat hanya berisi Latar Belakang Masalah (Bab I), Rumusan Masalah (Bab II), Pemecahan Masalah (Bab III), Kebijakan yang Direkomendasikan (Bab IV), dan Rencana Implementasi dan Strategi Pelaksanaan (Bab V). Dari lima bab tadi sama sekali tidak tersurat dan tersirat muatan teoretik dan metodologinya, sehingga saya katakan sebagai karya tulis non ilmiah. Namun bagi saya pribadi, sangat aneh jika kertas kerja individual pada Diklatpim I tidak memiliki sense ilmiah. Semakin tinggi jenjang jabatan seseorang bukan berarti semakin jauh dari tradisi akademis, justru sebaliknya mereka harus semakin mahir dalam penerapan standar-standar ilmiah dalam pembuatan karya tulis. Apa jadinya negeri ini jika semakin tinggi tingkatan kebijakan semakin tipis pula kadar akademis dan keilmiahnnya? Kedua, dengan struktur/sistematika yang ada pada buku pedoman, nampaknya KTP-2 diarahkan sebagai makalah kebijakan (policy paper). Jika benar dugaan saya, maka sebaiknya tidak perlu disusun dan/atau dibagi dalam lima bab, namun cukup menjadi sebuah artikel yang mengalir dengan sub-sub judul sesuai kebutuhan. Adapun tentang muatannya, KTP-2 dapat menggunakan skema yang disarankan Eóin Young and Lisa Quinn dalam artikelnya berjudul “Writing Effective Public Policy Papers, A Guide for Policy Advisers in Central and Eastern Europe”, sebagai berikut:

� define and detail an urgent policy issue within the current policy framework which needs to be addressed;

� outline the possible ways (policy alternatives) in which this issue can be addressed;

� provide an evaluation of the probable outcomes of these options based on an outlined framework of analysis and the evidence from the current policy framework;

Page | 52

� choose a preferred alternative (policy recommendation) and provide a strong argument to establish why your choice is the best possible policy option.

(Sumber: Daniel Start and Ingie Hovland, 2004, Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers, London: Research and Policy in Development Programme).

Secara sekilas, elemen yang disarankan oleh Young and Quinn ini sangat serupa dengan struktur KTP-2 pada buku panduan. Yang diperlukan adalah penajaman dan penekanan muatan setiap bab-nya. Pada Bab I, sebaiknya tidak hanya berisi latar belakang, namun juga issu yang menjadi polemik di tengah masyarakat, perdebatan teoretik antar pakar, serta kerangka kebijakan terkait issu/tema yang diangkat beserta gap yang ada (deviasi antara norma yang berlaku dengan praktek yang terjadi). Selanjutnya, Bab II sebaiknya tidak hanya berisi rumusan masalah, namun perlu didahului oleh kritik terhadap kebijakan yang berlaku. Kritik disini bukan dalam pengertian mencari kesalahan atau kelemahan, namun serupa dengan yang dilakukan kritikus sastra terhadap karya sastra tertentu yang lebih bersifat konstruktif, pengayaan, atau pembandingan. Termasuk dalam “kritik kebijakan” ini adalah lesson learned apa yang bisa ditarik dari implementasi kebijakan selama ini. Dalam rangka membuat kritik kebijakan hingga rumusan masalah inilah, dapat digunakan berbagai metode, teknik, atau alat analisis yang relevan. Salah satu referensi bagus untuk berbagai toolkit dalam analisis kebijakan adalah artikel Ingie Hovland berjudul “Successful Communication: A Toolkit for Researchers and Civil Society Organisations”, London: Research and Policy in Development Programme, 2005 (reprinted in 2007). Dalam hal ini. Hovland membagi dalam empat aspek tools, yakni planning tools, packaging tools, targeting tools, dan monitoring tools. Pada tahap perencanaan (planning), tools yang dapat digunakan antara lain stakeholder analysis, social network analysis, problem tree analysis, atau force field analysis. Sedangkan pada tahap persiapan (packaging), ada beberapa tools misalnya visioning scenarios atau tell a story. Kemudian pada tahap implementasi (targeting), tersedia beberapa media antara lain policy paper, lobbying, the Gilbert Email Manifesto (GEM), website, dan sebagainya. Adapun pada tahap kontrol dan evaluasi dampak (monitoring), bisa digunakan Most Significant Changes (MSC), outcome mapping, researcher checklist, dan CFSC integrated model. Selanjutnya, Bab III KTP-2 sebaiknya bukan tentang Pemecahan Masalah, melainkan alternatif kebijakan yang layak dipertimbangkan beserta issu-issu yang ingin diselesaikan. Sementara itu, Bab IV disarankan bukan memuat hal tentang “Kebijakan yang Direkomendasikan”, melainkan “Rekomendasi Kebijakan”. Makna rekomendasi kebijakan bagi saya lebih luas dari pada sekedar kebijakan yang direkomendasikan. Sebab, rekomendasi kebijakan tidak hanya berisi kebijakan yang direkomendasikan, namun juga kepada siapa rekomendasi ditujukan, siapa saja pihak-pihak yang harus menjalankan rekomendasi tersebut, bagaimana cara yang harus ditempuh, apa target yang harus dicapai jika rekomendasi tadi dilakukan, kapan rekomendasi dilakukan dan kapan target harus tercapai, bagaimana sistem monitoring dan evaluasi terhadap

Page | 53

pelaksanaan rekomendasi, apa dampak yang muncul jika rekomendasi tidak dilakukan dan apa yang harus segera dilakukan jika situasi ini terjadi, dan seterusnya. Pendeknya, rekomendasi tidak berisi “apa yang harus dilakukan oleh seseorang” namun juga harus menjangkau sampai kepada jaminan hasil dari program/kegiatan yang direkomendasikan. Selain itu, rekomendasi kebijakan juga perlu menyertakan argumen yang kuat mengapa hal itu dipilih dan diyakini sebagai pilihan terbaik dalam mengatasi problematika yang ada. Adapun Bab V cukup berisi Kesimpulan, yang membuat intisari dari bab pertama hingga terakhir secara ringkas, adat, dan informatif. Dengan menggunakan referensi diatas, maka KTP-2 secara tegas dapat dinyatakan sebagai policy paper yang memenuhi unsur-unsur ilmiah, namun bukan karya tulis ilmiah sebagaimana skripsi/thesis/disertasi.

Dari kamar B-315

Kampus Pejompongan, 15 April 2013

Page | 54

Jurnal #19

“Medan Magnet di Sekitar Diklat” Secara diam-diam, saya merenungkan bahwa dalam lingkungan diklat seperti yang kami alami saat ini, terdapat dua hukum alam yang berlaku sekaligus. Pertama, meski belum menemukan teorinya, saya meyakini bahwa setiap manusia selalu berhadapan dengan cermin-cermin yang tidak nampak (invisible mirror). Energi apapun yang kita keluarkan, dan tindakan apapun yang kita lakukan, akan kembali kepada diri kita apa adanya. Doa yang kita panjatkan, sedekah yang kita sebarkan, senyum yang kita rekahkan, sikap positif yang kita tunjukkan, perkataan manis yang kita lontarkan, dan segala macam kebaikan yang lahir dari dalam diri kita, pasti akan kembali kepada kita sebagai kebaikan, baik dalam bentuk yang sama, atau mungkin juga berbeda. Begitu juga sebaliknya, setiap keburukan yang kita pertontonkan, pada waktunya akan kembali kepada kita sebagai keburukan pula, karena setiap energy yang berasal dari diri kita akan dipantulkan kembali oleh cermin-cermin misterius tadi. Inilah yang barangkali sering disebut dengan Hukum Kekekalan Energi yang menyatakan bahwa energi tidak bisa hilang, hanya berubah bentuk. Ketika kita memberi sedekah, tidak pernah kita kekurangan apalagi kehabisan rejeki. Rejeki yang kita bagi dengan orang lain itu akan kembali sebagai rejeki yang lebih banyak, atau mungkin berubah menjadi kebahagiaan dalam hidup kita, yang dengan hidup bahagia itu membuat tubuh kita lebih sehat, dan dengan tubuh sehat kita bisa bekerja lebih giat dan memperoleh rejeki yang lebih berlimpah. Kedua, saya juga meyakini bahwa setiap kebaikan akan lebih mudah bertemu dan berkawan dengan kebaikan lainnya; dan setiap kebaikan akan melahirkan kebaikan-kebaikan selanjutnya. Ketika seorang kawan menunjukkan sikap kesalehan dengan rajin shalat di masjid dan puasa sunah, hal ini akan menarik simpul-simpul kesalehan pada pribadi-pribadi yang lain, sehingga kesalehan individu tadi akan mengundang munculnya kesalehan individu-individu lainnya. Inilah yang saya perhatikan dengan classmates saya di Diklatpim I. Pada awal penyelenggaraan, hanya ada dua orang yang rajin puasa Senin-Kamis dan sekitar tujuh sampai delapan orang yang rutin shalat berjamaah. Namun pada minggu keempat dan kelima, saya perhatikan jumlah teman-teman yang berpuasa semakin banyak, demikian pula dengan jamaah shalat Subuh dan Maghrib. Bahkan ketika saya iseng membandingkan dengan peserta Diklatpim II dan III, ternyata persentase jamaah yang berasal dari peserta Diklatpim I jauh lebih banyak. Secara random sampling saya menghitung pada beberapa kesempatan, peserta Diklatpim yang rajin ke masjid ternyata mencapai 50 persen lebih, dan ini bagi saya adalah sebuah hal yang sangat luar biasa dan sangat menggembirakan.

Page | 55

Fakta inilah yang membuat saya berpikir telah terjadi medan magnet di lingkungan Diklatpim I. Sifat magnet adalah akan memberikan daya tarik kepada unsur-unsur yang sejenis. Seperti saya tulis diatas: “kebaikan akan bertemu dan berkawan dengan kebaikan lainnya”. Dan uniknya, kebaikan rekan-rekan peserta tidak berhenti sampai disini. Ada saja kebaikan yang tercipta setiap harinya, dari membagikan kaos, membagikan buku, mentraktir makan, mensponsori penggandaan bahan bacaan, saling mengunjungi saudaranya yang sakit dan membesarkan hatinya, dan sebagainya. Seolah-olah di kelas kami ada perlombaan berbuat kebaikan. Inilah yang saya tulis diatas bahwa: “setiap kebaikan akan melahirkan kebaikan-kebaikan berikutnya”. Saya sungguh berbahagia dengan lingkungan yang penuh kebaikan tadi. Bahkan dalam hati kecil saya sempat tersirat bahwa saya bersedia mengikuti diklat seperti ini selama mungkin meski resikonya saya tidak dapat menerima berbagai honor seperti sebelum mengikuti diklat ini ... ☺ Dari sini saya mencoba menarik beberapa lesson learned. Pertama, di lingkungan manapun, terutama di tempat kerja kita, hendaknya kita selalu melakukan kebaikan dengan cara apapun, untuk menemukan kawan kebaikan serta memancing munculnya kebaikan-kebaikan lain. Kedua, ketika ada seseorang disekitar kita yang berbuat kebaikan, perkuatlah dengan kebaikan dari diri kita, dan jangan kembangkan issu murahan bahwa orang tadi sedang mencari perhatian, atau bahwa orang tadi ada maunya dibalik tindakannya, dan sejenisnya. Marilah kita menjadi “magnet” yang positif bagi lingkungan kita, dan mari kita buat dunia ini lebih indah dengan berlomba-lomba dalam kebaikan …

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 16 April 2013

Page | 56

Jurnal #20

“Tersesat” Pada sessi diskusi “studi kasus” hari ini, suasana sempat memanas gara-gara kata “tersesat”. Awalnya, seorang peserta dari kelompok 3 mengomentari paparan kelompok 1 dan 2. Beliau mengungkapkan perbedaan pandangannya dengan kelompok 1 dan 2, dan menyatakan kebingungannya apakah dia atau kelompok yang sedang presentasi yang tersesat. Dia menggunakan istilah “tersesat” karena paparan kelompok 1 dan 2 dinilai tidak merujuk pada esensi Kajian SMPP (Sistem Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan), serta merumuskan judul paparan dengan pendekatan X (kegiatan) – Y (melalui) – Z (untuk), yang dia nilai terlalu kaku. Kemudian, penanya lain dari kelompok 1 juga mengungkapkan hal kurang lebih sama, dan menyebutkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Kebetulan sekali, saya saat itu bertindak sebagai moderator. Ketika pertanyaan dan tanggapan selesai, sebelum mempersilahkan kelompok 1 untuk menjawab saya katakan agar kelompok 1 menjawab pertanyaan hanya yang ada dalam substansi paparan, dan tidak perlu menjawab pertanyaan diluar kontrol kelompok, dalam hal ini tentang “ketersesatan”. Saya juga sampaikan agar soal tersesat atau tidaknya kelompok kita serahkan kepada Widyaiswara selaku pembimbing kelompok. Ternyata, himbauan saya tidak diikuti oleh kelompok 1. Salah seorang anggota kelompok bahkan menegaskan tidak ada yang tersesat dan jangan pernah lagi menggunakan kata “tersesat” di dalam forum. Celakanya, saat itu ada celetukan yang secara pasti entah dari mana, yang mengatakan: “Widyaiswara yang tersesat”. Sesaat setelah ketiga kelompok menyelesaikan paparannya, seperti biasa para widyaiswara tampil kedepan. Salah satu diantaranya, yang menjadi koordinator, menyebutkan bahwa penanya pertama memberikan tanggapan yang terus terang, sedangkan saya dan penanya kedua disebutkan lebih halus dalam berbicara namun lebih nylekit. Setelah sessi presentasi selesai, kata tersesat masih berkembang menjadi komoditas menarik dan obrolan yang mengasyikkan di saat istirahat maupun saat santai. Namun yang tidak kami sadari, ternyata ada seorang Widyaiswara yang sangat tersinggung dengan kata ini. Saya bisa memahami, mungkin saja beliau ingin menjaga citra sebagai pihak yang membimbing dan mengarahkan peserta kearah jalan yang benar dan lebih baik. Meski kata “tersesat” tadi sebenarnya sama sekali tidak ditujukan kepada beliau, namun beliau terlalu sensitif dan menilai peserta telah menyindirnya. Beliau kemudian memberi “ceramah” agar kami tidak mudah memvonis sesuatu sebagai tersesat, karena mungkin saja kebenaran akan ditemukan dalam perjalanan di depan kami. Beliau sangat tidak menyetujui ungkapan rekan kami bahwa “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Bagi beliau, ini adalah langkah mundur atau setback, dan kita sangat tidak dibenarkan untuk mundur. Beliau bahkan

Page | 57

melibatkan emosinya dengan mengatakan “maaf, saya lebih tua dari anda”, dan seolah-olah mencari pembenaran bahwa usia yang lebih tua selamanya lebih benar. Tentu saya sangat menyesalkan sikap widyaiswara tadi yang saya nilai kurang matang dan terlalu cepat menyimpulkan secara keliru maksud ucapan teman-teman, termasuk ucapan saya sendiri selaku moderator. “Tersesat” tadi lebih banyak mengilustrasikan adanya kebingungan peserta tertentu terhadap substansi pembelajaran, metode yang digunakan, atau format presentasi yang baik. Kalaupun benar-benar tersesat, maka tersesat dalam ilmu pengetahuan bukanlah sebuah aib. Justru ketersesatan dalam ilmu pengetahuan akan menjadi awal dari penemuan ilmiah yang bernilai sangat tinggi. Coba kita ingat, berapa eksperimen yang harus dilalui Thomas Alva Edison untuk menemukan bola lampu atau lampu pijar? Konon, dia berhasil menemukan bola lampu pada eksperimen yang ke-1000. Jika kita gunakan terminologi “tersesat”, maka dia telah mengalami ketersesatan sebanyak 1000 kali. Namun, bukankah Edison tidak mengatakan bahwa 1000 eksperimen yang dilalui adalah sebuah kegagalan? Dia justru mengatakan: “saya berhasil menemukan 1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu”, dan tidak pernah mengatakan “saya gagal 1000 kali dalam menemukan bola lampu”. Saya juga tidak sepenuhnya menyetujui ucapan widyaiswara tadi bahwa “kembali ke pangkal jalan” adalah langkah mundur atau setback. Ada kalanya untuk maju dan berlari kencang kita harus mundur sejenak mengatur strategi yang lebih tepat. Dalam learning organization, bukankah kita tidak hanya diajarkan untuk learn dan unlearn, namun juga relearn? Makna relearn adalah bahwa kita dapat menerapkan kembali wisdom kita dimasa lalu yang pernah kita tinggalkan padahal memiliki nilai filosofis yang luhur dan masih terus aktual dengan kekinian kita. Selain itu, Widyaiswara ini juga harus paham dengan konteks yang disampaikan teman saya ini. Untuk diketahui, teman saya ini alumni Fakultas Hukum UII dan memiliki dasar agama yang sangat kuat. Ketika dia mengungkapkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”, dia sudah menjelaskan bahwa ungkapan ini lazim terjadi di pesantren. Nah, anak-anak pesantren yakin benar dengan Sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Aku tinggalkan dua perkara, yang jika engkau pegang teguh, maka engkau tidak akan tersesat selamanya. Dua perkara itu adalah Alquran dan Hadist”. Maka, mutlak benar adanya jika seseorang tersesat dalam hidupnya, maka satu-satunya jalan menuju jalan yang lurus dan benar adalah Alquran dan Hadist sebagai “pangkal”nya. Dalam hal ini, jika seseorang sudah mulai tersesat namun meneruskan langkahnya, maka langkah itu akan tersesat semakin jauh. Ini bukan berarti bahwa apa yang disampaikan Widyaiswara tadi salah. Ajakan untuk tidak mundur ke belakang dan maju terus sampai menemukan keberhasilan adalah benar dilihat dari sisi ikhtiar manusia. Kadang manusia memang tidak sadar bahwa keberhasilannya sudah amat dekat dengan dirinya, dan ketika dia berhenti, menyerah, dan putus asa, akhirnya yang sudah dilakukan menjadi tidak berarti apa-apa. Maka, benar sekali bahwa kita harus terus berusaha keras dan yakin bahwa keberhaslan akan kita peroleh. Namun secara akidah, prinsip, tata nilai, dan

Page | 58

keyakinan/keimanan, maka pedomannya tidak berubah, tidak dicari-cari di depan kita, dan tidak boleh kita tinggalkan. Sama logikanya untuk konteks bangsa Indonesia, jika bangsa ini sudah merasa jauh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka solusinya adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, bukan melanjutkan jalan dan berharap akan menemukan Pancasila dan UUD 1945 yang lain di depan sana. Kasus “tersesat” ini hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh elemen diklat, terutama Widyaiswara. Sebagai orang yang dituakan secara usia biologis maupun pengalaman dan keilmuan, hendaknya bisa lebih arif menyikapi ungkapan dan perilaku peserta yang terkadang masih “mentah” dan emosional. Jika Widyaiswara lebih mentah dan lebih emosional dibanding peserta, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan tugasnya membimbing peserta? Widyaiswara juga perlu selalu menempatkan sesuatu pada konteks yang tepat, sehingga ucapannya tidak menimbulkan kesalahpahaman dan menciptakan suasana yang cenderung kurang menguntungkan bagi proses pembelajaran selanjutnya. Bahkan dalam beberapa hal, seorang Widyaiswara yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan “diplomasi” tingkat tinggi. Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada soal ketersesatan ini, akan lebih bijak jika Widyaiswara menyatakan kegembiraannya jika peserta merasa tersesat, karena tersesat di belantara ilmu sama artinya akan selalu mendapatkan ilmu baru kemanapun peserta melangkahkan kakinya. Samudera ilmu begitu luas tidak berbatas, dan orang-orang yang tidak tersesat dalam rimba raya pengetahuan justru mereka yang hanya memiliki wawasan sempit bagaikan kuda dengan kacamatanya yang sempit.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 17 April 2013

Page | 59

Jurnal #21

“Menyingkap The Untold Stories dalam Reformasi Birokrasi” Kemahiran seorang Eko Prasojo bicara reformasi birokrasi, atau seorang Bibit Samad Riyanto bicara pemberantasan korupsi, mungkin sama dengan kemahiran seekor burung terbang di angkasa, atau seekor ikan berenang di lautan lepas. Maka, beruntunglah para peserta Diklatpim I mendapat pembicara berkelas seperti mereka. Namun, saya pribadi agak “kecewa” diawal, ketika mereka lebih banyak menyampaikan hal-hal “standar” tentang definisi konsep, referensi teoretik, deskripsi situasi, kebijakan yang cenderung normatif, atau permasalahan yang terkesan klasik. Eko Prasojo misalnya, memulai ceramah dengan menanyakan mengapa kita perlu reformasi administrasi, dilanjutkan dengan pengertian/konsep reformasi administrasi, potret makro Indonesia dan masalah pokok SDM Aparatur, kemudian banyak mengulas soal strategi reformsi birokrasi dan target-target yang ingin dicapai, dan diakhiri dengan ajakan kepada para peserta untuk menjadi agen perubahan di instansi masing-masing. Dibanding Eko Prasojo, paparan Bibit Samad Riyanto pada tanggal 4 April yang lalu terkesan jauh lebih klasik dan lebih cocok untuk konsumsi mahasiswa Fakultas Hukum semester 1. Ia memulai dengan pengertian korupsi, kondisi korupsi di Indonesia, peran pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dan gerakan moral memerangi korupsi, yang diakhiri dengan penutup. Dengan paparan model normatif ini, wajar jika peserta – terutama saya – tidak banyak tertarik. Maka, pada sessi ceramah Bibit saya sampaikan harapan agar beliau lebih banyak bicara soal-soal yang selama ini tidak diketahui khalayak (the untold stories, the unspoken realities), misalnya adakah intervensi dan tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada KPK dalam menjalankan tugasnya, mengapa kasus besar seperti Century tidak bisa segera tuntas, bagaimana sikap para politisi Senayan terhadap pemberantasan korupsi, dan pertanyaan lain yang sejenis. Syukurlah, akhirnya beliau sempat juga mengungkap sedikit-sedikit soal Century dan Cicak vs Buaya meski waktu tersisa tinggal sedikit. Intinya, beliau mengatakan ada kekuatan besar mengapa muncul kasus Cicak vs Buaya dan mengapa skandal Century masih terus berlarut-larut hingga sekarang. Sayangnya, beliau tidak sampai mengungkap lebih detil kekuatan seperti apa dan siapa dibalik kekuatan besar itu. Serupa dengan Bibit, Eko Prasojo pada sessi tanya jawab akhirnya juga banyak mengungkap “misteri” dibalik tersendatnya capaian kinerja reformasi birokrasi. Meski tidak secara terang-terangan, namun secara tersirat beliau membenarkan akan sinyalemen para peserta akan berbagai dilema di sekitar reformasi.

Page | 60

Pertama, tentu issu remunerasi atau tunjangan kinerja, dimana Kementerian Keuangan sudah menerima tunjangan ini sejak 2008 sebesar 100 persen, sementara hingga saat ini masih banyak Kementerian/Lembaga yang belum menerima sama sekali. Ironisnya, di Kementerian Keuangan justru masih saja terus terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan manipulasi pajak, yang seolah membuktikan hipotesis publik bahwa tunjangan yang besar tadi tidak berkorelasi positif dengan berkurangnya tindak pidana korupsi. Adalah ironis pula ketika Kemenetrian Keuangan begitu “mudah” menyediakan anggaran besar untuk perbaikan kesejahteraan pegawainya, sementara untuk alokasi bagi instansi lain terasa begitu sulit dan berbelit-belit. Dampaknya, program reformasi tidak bisa berjalan selaras antar lembaga. Kementerian Keuangan yang didukung dengan anggaran besar mampu melakukan aktivitas apapun dalam rangka reformasi, sehingga memunculkan image seolah-olah Kementerian Keuangan jauh lebih hebat dibanding kementerian lainnya, yang memiliki dana amat terbatas untuk menggulirkan reformasi di instansinya. Kondisi inilah yang dijadikan sebagai “alasan pembenar” untuk menerima tunjangan yang besar tadi, meski instansi lain tidak menerima sama sekali. Wajarlah jika kemudian muncul joke bahwa birokrasi Indonesia berkasta. Dalam kasus seperti ini, nampak bahwa Kementerian Keuangan mem-fait accompli Kementerian PAN dan RB, untuk tidak mengatakan “menyandera”. Maksudnya, Kementerian Keuangan yang menerima manfaat RB, namun kegagalan program reformasi seolah menjadi tanggungjawab tunggal Kementerian PAN dan RB. Kedua, soal berlarutnya pembahasan dan pengesahan RUU ASN (Aparatur Sipil Negara), yang diindikasikan ada penolakan serius dari dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama pada Sekretaris Jenderal Kementerian dan asosiasi Sekretaris Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketidakakuran seperti ini membuktikan betapa birokrasi kita masih dikelola dengan pola “monarki” atau “rejim”. Penolakan terhadap RUU ASN jelas sekali mencerminkan kuatnya ego sektoral dan kepentingan aktor-aktor tertentu yang tidak menginginkan goyah dari istana comfort zone. Maka, dengan mudah kita bisa maklum jika kinerja pemerintahan kita teramat rendah, karena memang tidak ada common interest, shared values and vision, mutual understanding, dan sense of synergy diantara instansi pemerintah tersebut. Kasus Peraturan Pemerintah No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, adalah contoh lain betapa birokrasi kita terlalu berat menanggung beban politik, dan betapa Kementerian PAN dan RB tidak bisa berbuat sesuatu dan menolak hal yang jelas-jelas diyakini debagai kekeliruan. Sebagai institusi yang paling bertanggungjawab terhadap program RB, Kementerian PAN dan RB justru berubah menjadi kambing hitam terhadap kebijakan-kebijakan keliru yang mengatasnamakan reformasi. Ketiga, merebaknya lembaga-lembaga non struktural baru serta mengembangnya unit-unit kerja kementerian, yang dilakukan di era reformasi dan desentralisasi. Desain dasar reformasi dan desentralisasi jelas menghendaki adanya perampingan unit kerja organisasi di tingkap pusat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dimana rata-rata kementerian semakin tambun, dan jumlah LNS semakin “menggila”. Ditambah dengan pemekaran provinsi hingga kecamatan dan kelurahan, maka peningkatan beban APBN dan APBD secara otomatis menjadi taruhannya. Lagi-lagi, dalam situasi seperti itu

Page | 61

nampaknya Kementerian PAN dan RB tidak bisa berperan banyak. Meski gossip-nya ada silent moratorium untuk pemekaran unit-unit organisasi K/L, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tentu ada “sesuatu” dibalik lemahnya Kementerian PAN dan RB sebagai filter untuk menahan berkembangbiaknya lembaga pemerintah. Keempat, agar RB bisa berhasil secara optimal, maka komitmen pimpinan tertinggi negeri menjadi faktor determinan. Beliau harus menjadikan RB sebagai the living reform, bukan sekedar reform agenda. Saat ini memang beliau sudah menerbitkan Perpres No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, namun substansi Perpres tadi nampaknya belum merasuk dalam jiwa, urat nadi, dan aliran darah para penyelenggara negara. Beliau dituntut untuk menghapus reformasi sebagai wacana atau lip service belaka, dan menghilangkan jarak, sekat, atau tirai antara Presiden dengan program RB. Sebab, selama ini ada kesan publik bahwa Presiden sesungguhnya tidak tahu banyak tentang esensi dan manfaat reformasi birokrasi, sementara para pembantunya juga gagal meyakinkan beliau bahwa RB merupakan kebutuhan utama Kabinet Indonesia Bersatu II untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan yang benar-benar bersih, amanah, kompeten, dan berkinerja tinggi. Ada baiknya Presiden membuat acara coffee morning atau afternoon break dengan agenda khusus membahas issu reformasi birokrasi ini. Dalam konteks penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan, saya merekomendasikan agar para penceramah diminta untuk bicara tidak hanya di level permukaan saja, namun lebih kepada hal-hal yang tidak banyak diketahui publik. Apalagi pada jenjang Diklatpim I, tidak masanya lagi peserta diberi kualiah teknis dan teori yang bertumpuk. Issu-issu strategis tidak harus dimaknakan sebagai issu-issu internasional atau issu-issu lintas disiplin saja, melainkan juga issu-issu lokal dan spesifik, namun mempunyai nilai informasi yang tinggi. Inilah yang saya maksudkan dengan the untold stories. The untold stories ini sangat boleh jadi akan menjadi the driving force untuk sebuah perubahan yang nyata.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 18 April 2013

Page | 62

Jurnal #22

“3 Kajian Diklatpim I: Onggokan atau Sistem?” Senin ini, Diklatpim I Angkatan XXV resmi memasuki kajian ketiga yakni KSKP (Kajian Strategi dan Kebijakan Pembangunan), atau kajian yang terakhir sebelum masuk tahap Aktualisasi. Sekedar untuk mengingatkan kembali, kajian pertama adalah FBPPKN (Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional), sedangkan kajian kedua adalah SMPP (Sistem Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan). Saya sangat berharap, pada saat pembekalan awal saya akan memiliki gambaran utuh tentang filosofi dan logika berpikir mengapa pembelajaran Diklatpim I ini dibagi menjadi tiga kajian. Adakah tujuan besar yang ingin dicapai melalui ketiga kajian secara spesifik? Jika ada, apa tujuan besar atau kompetensi akumulatif yang akan diwujudkan dari ketiga kajian secara sinergis? Seingat saya, pada saat pengarahan program di awal diklatpun tidak ada penjelasan tentang hal ini. Ditambah lagi, karena kebodohan dan kelambatan otak saya, hingga memasuki minggu keenam saya belum bisa menangkap desain besar Diklatpim I ini, khususnya keterkaitan antar ketiga kajian. Mungkin saja, desainer kurikulum memang tidak bermaksud mengkaitkan satu kajian dengan kajian lainnya. Mungkin saja saya yang berharap secara tidak proporsional dengan “memaksa” ketiga kajian harus saling terkoneksi membangun kompetensi besar Diklatpim I. Namun saya punya argumen. Jika masing-masing kajian tidak memiliki keterikatan yang erat, maka kajian tersebut lebih cocok menjadi diklat teknis. Selain itu, jika ketiganya saling terpisah namun berada dalam wadah yang sama, artinya ketiganya hanyalah onggokan atau komponen yang tidak saling tergantung, tidak saling mempengaruhi, dan tidak saling memperkuat. Saya yakin bahwa ini tidak benar, dan bahwa diantara ketiganya membentuk hubungan serba sistem (systems). Dalam konteks serba sistem tadi, maka ketiganya harus bisa saling menjelaskan (mutual explaining). Dengan kata lain, ketiga kajian diatas mestinya tidak hanya berurusan dengan fungsi know-what (facts, explicit knowledge), namun lebih kepada know-how (tacit knowledge) bahkan know-why (science). Dalam rangka turut memikirkan kajian-kajian dalam Diklat Kepemimpinan sebagai sebuah sistem, saya berpendapat bahwa Kajian FBPPKN memiliki tujuan untuk membangun kompetensi kebangsaan dan memperkuat kohesi bangsa. Ini adalah jenjang kompetensi tertinggi yang harus dimiliki oleh pejabat karir tertinggi (Eselon I). Namun sebagai anggota organisasi, seorang pejabat Eselon I juga harus memiliki kemampuan mengelola dan mengembangkan organisasi (organizational management and development), sekaligus kompetensi keteladanan baik secara dalam tataran sikap dan etika maupun kinerja. Kompetensi inilah yang dibangun melalui Kajian SMPP. Adapun Kajian KSKP bergerak pada wilayah yang lebih spesifik lagi, yakni membangun

Page | 63

kompetensi enabler atau memberdayakan orang lain, penyiapan kader, transfer pengetahuan dan keterampilan, atau sebagai mentor terutama bagi bawahannya. Jika gradasi kompetensi disepakati menjadi tiga level, yakni kompetensi kebangsaan – pengembangan organisasi (organizational development) – pemberdayaan (enabler), maka sebagai konsekuensinya nama dan materi masing-masing kajian mungkin sekali harus direview kembali. Dalam hal ini, kajian SMPP dan KSKP nampaknya perlu dilebur untuk mengembangkan kompetensi kedua (organizational development), sedangkan kajian ketiga lebih tepat diisi dengan muatan tentang konsep, strategi, dan teknik-teknik pemberdayaan sumber daya (resource optimization) untuk lebih memampukan kapasitas organisasi, terutama SDM. Namun, ini hanyalah ide sesaat yang belum didukung dengan kajian teoretik yang memadai, sehingga akurasi ide ini juga masih perlu ditelaah lebih dalam. Namun esensinya adalah bagaimana membuat antara kajian yang satu dengan yang lain memiliki ketersambungan yang sistemik, bukan onggokan yang tidak bermakna.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 22 April 2013

Page | 64

Jurnal #23

“Diklat Lain Diluar Diklat” Bagi umat muslim seperti saya, urusan hidup, mati, jodoh, dan rejeki adalah ketentuan Allah yang sudah digariskan sejak sebelum kita dilahirkan dimuka bumi. Karena sudah menjadi ketetapan-Nya, maka muncul istilah bahwa rejeki tidak akan lari kemana, atau Tuhan tidak pernah keliru memberi rejeki kepada seseorang. Meskipun demikian, rejeki tidak akan mendatangi kita jika kita tidak melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Itulah sebabnya, kita tetap wajib untuk menjemput rejeki yang telah ditetapkan untuk diri kita. Nah, logika tersebut saya rasakan identik dengan ilmu. Saya punya hipotesis bahwa ilmu sesungguhnya telah dihamparkan di muka bumi oleh Sang Pencipta, sehingga sering kita dengar ungkapan belajarlah dari alam, pengalaman adalah guru yang terbaik, dan sebagainya. Namun, ilmu tidak akan pernah kita kuasai jika kita tidak pernah melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Dalam sebuah tembang Jawa, ada sepenggal bait berbunyi: ngelmu iku kalakone kanthi laku (ilmu itu didapatkan melalui ikhtiar). Maka, kitapun wajib menjemput ilmu, karena segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak nampak didepan kita, dibelakang kita, disamping kita, diatas kita, dan dimanapun, sesungguhnya mengandung ilmu. Semakin tekun seseorang menjemput ilmu, maka semakin besarlah peluang untuk menguasai banyak ilmu. Kaitannya dengan Diklat Aparatur, tidak terbantahkan bahwa diklat adalah sumber ilmu yang sudah tersistematisir secara substansi/materi maupun metode penyampaiannya. Maka belajar melalui diklat akan memudahkan dan mempercepat peserta untuk menguasai ilmi yang diajarkan dalam diklat tersebut. Namun, di sekeliling diklat yang resmi, sesungguhnya terhampar materi dan metode “diklat” lainnya dalam jumlah yang tidak terbatas. Salah satu sumber ilmu yang saya peroleh adalah dari ceramah setiap selesai shalat Subuh. Diantara sekian banyak materi ceramah, saya mencatat satu hal yang sangat inspiratif. Saat itu, penceramah mengingatkan bahwa sumber segala sumber ilmu adalah Alquran, dari urusan pemerintahan, manajemen kepegawaian, pelayanan publik, dan sebagainya. Intinya, tidak ada satupun yang terlewat oleh Alquran. Alquran adalah teori terbesar (grand theory) untuk menjelaskan segala fenomena alam semesta. Sayangnya, saat kita bicara reformasi birokrasi, misalnya, adakah yang merujuk pada Alquran? Atau saat kita bicara tentang Total Quality Management, bukankah teori yang digunakan selalu teori yang berasal dari Barat? Lebih ironis lagi, sering pembimbing akademik tingkat Skripsi, Thesis, atau Disertasi, yang menolak jika ada mahasiswa bimbingannya menjadikan ayat Alquran sebagai landasan teoretisnya.

Page | 65

Tanpa terasa, sikap yang berawal dari niat baik untuk memuliakan Alquran ini, justru telah membuat jarak yang amat lebar antara pedoman hidup yang hakiki (yakni Alquran), dengan praktek kehidupan sehari-hari. Yang terjadi kemudian adalah dikotomi antara nilai-nilai agama dengan praktek bermasyarakat dan bernegara. Agama seolah-olah ditempatkan pada posisi sakral yang tidak boleh terjamah oleh ke-profan-an duniawi. Urusan agama seakan-akan hanya berlangsung di dalam masjid atau forum-forum pengajian, sementara dalam urusan membangun sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah, sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan, sistem integritas aparatur, dan seterusnya, kita lebih mempercayai teori good governance, strategic planning and management, learning organization, reinventing and banishing bureaucracy, dan seterusnya. Dan inilah yang terjadi dengan sistem Diklat Aparatur kita. Yang terjadi kemudian adalah, desain diklat (formal) yang sangat sekuler, yang sengaja menjauhkan diri dari muatan spiritual dengan alasan toleransi. Padahal, bukankah urusan spiritual bukan dominasi agama tertentu? Maka, alangkah baiknya jika rancangan diklat aparatur kedepan berani mengakomodir materi spiritualitas kedalam muatan kurikulumnya. Soal detil materi, metode, durasi, fasilitator, hingga evaluasinya (jika perlu), tinggal dipikirkan untuk konteks masing-masing agama. Bagi saya pribadi, desain Diklat Kepemimpinan yang ada saat ini tidak menjadi masalah besar, karena defisit spiritualitas dapat saya kurangi dengan berguru dari “diklat” yang lain. Namun untuk rekan-rekan yang hanya menerima tambahan ilmu dari jalur diklat yang formal, bukankah akan terjadi gap yang semakin menganga antara kemampuan teoretis akademis yang semakin menjulang, dengan kapasitas spiritual yang semakin kering? Saya jadi teringat perkataan Ary Ginanjar bahwa suatu ketika nanti, bermunculan banyak sufi besar bukan dari pesantren atau gereja, namun dari perusahaan atau instansi pemerintah. Ini hanya bisa terjadi jika capacity building untuk aparatur tidak dikotomis dan sekuler seperti sekarang ini. Disamping “diklat” model ceramah Subuh seperti diatas, masih banyak sumber ilmu lain yang dapat digali. Salah satunya dari sesama peserta diklat, baik jenjang Pim I, II, bahkan III. Tingginya jenjang diklat kepemimpinan yang diikuti, terbukti tidak selamanya berkorelasi dengan tingginya kualitas dan intelektualitas seseorang. Maka, belajar dari para “yunior” bagi saya bukanlah hal tabu atau memalukan. Modus lain menyedot ilmu adalah belajar dari seseorang yang pendiam. Pepatah air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan nampaknya masih sangat relevan dengan perkembangan teknologi dan demokratisasi dewasa ini. “Ilmu padi” yang mengajarkan manusia untuk semakin berisi semakin menunduk, juga menjadi pelajaran penting untuk kita. Maka, jangan pernah meremehkan orang pendiam, karena siapa tahu dibalik sifat pendiamnya terkandung kearifan yang langka. Ini pula yang peroleh dari seorang kawan yang bekerja di sebuah instansi sipil namun menerapkan disiplin dan gaya militer. Sebagai pimpinan tertinggi di tingkat provinsi, biasanya jabatan yang disadang teman saya ini cukup ditakuti. Anak buahpun bersikap sangat hormat, sampai-sampai seorang sopir tidak berani duduk di kemudi sebelum

Page | 66

sang pejabat masuk kedalam mobil. Si sopir-pun harus memberi hormat sebelum duduk di kemudi. Namun hebatnya sahabat yang saya panggil “abang” ini, dia berani mendobrak tradisi yang bagi kebanyakan orang justru menjadi prestise kehormatan. Dia juga biasa pergi ke kantor jalan kaki sejauh sekitar 2 km dari rumah dinasnya. Dan lebih hebat lagi, si abang sangat menghayati nilai-nilai spiritual sehingga selalu berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang pantas, meski telah terlanjur menjadi kelaziman di lingkungan institusinya. Dari abang pulalah saya mendapat wejangan tentang “ilmu ikhlas” dalam menjalani peran di rumah tangga, di kantor, maupun dalam interaksi sosial dengan masyarakat luas. Saya berharap, semoga para peserta Diklat Kepemimpinan di jenjang manapun, tidak puas dengan sajian diklat formal yang disediakan oleh penyelenggara, dan terus terobsesi untuk menggali ilmu-ilmu baru melalui “diklat” yang lain.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 23 April 2013

Page | 67

Jurnal #24

“Mendengar Apa yang Dibicarakan, Bukan Siapa yang Bicara” Ketika sudah ada konfirmasi kehadiran Jusul Kalla untuk ceramah di Diklatpim I, saya berniat akan menulis sesuatu yang unique dari mantan Wakil Presiden ini. Namun dengan sangat tiba-tiba, pusat perhatian saya berbalik untuk menulis suasana kelas, setelah melihat hadirnya banyak pejabat struktural serta para widyaiswara yang sedang tidak mengampu tugas. Saya bertanya dalam hati: mengapa hanya gara-gara seorang “JK”, mereka berbondong-bondong ingin menjadi pendengar? Apakah itu adalah fatsun politik dan standar protokoler yang harus diikuti secara kaku? Saya sangat tidak percaya bahwa itu adalah SOP yang wajib dipatuhi, terlebih kedudukan JK yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Wapres. Atau, apakah mereka yakin bahwa JK akan menyampaikan ide-ide baru yang originalitas dan nilai strategis yang tinggi? Saya lantas membandingkan dengan pembicara lain, misalnya tokoh sekaliber Sri Edi Swasono, yang tidak mendapat perlakuan yang seimbang. Padahal, apa yang disampaikan JK jelas tidak lebih baik dibanding materi Sri Edi. Itulah sebabnya, seketika saya menyimpulkan bahwa bangsa ini masih terjangkit mental lama yang cenderung menempatkan (mantan) pejabat tinggi pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding siapapun yang tidak (pernah) menduduki jabatan tinggi, secerdas apapun mereka. Sebagai institusi pembelajar, LAN mestinya memberi kehormatan kepada ilmu dan kebenaran, bukan kepada individu. Sebab, ilmu dan kebenaran tidak hanya bersumber dari orang-orang besar, melainkan juga sangat mungkin berasal dari orang yang tidak kita perhitungkan sama sekali, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan “dengarkan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan”. Ini bukan berarti bahwa hadirnya para struktural dan para Widyaiswara pada sessi ceramah JK adalah hal yang keliru. Hanya saja, alangkah baiknya jika sikap positif untuk menuntut ilmu tadi tidak diskriminatif hanya kepada JK, melainkan juga kepada seluruh penceramah secara proporsional. Anehnya, ditengah-tengah acara, satu per satu pejabat struktural dan Widyaiswara tadi meninggalkan ruangan, dan semakin membuat saya semakin bingung, apa sesungguhnya yang mereka cari? Apakah mereka kecewa karena isi ceramah yang tidak sesuai ekspektasi, ataukah mereka ada kesibukan lain yang lebih penting dibanding “mendampingi” JK, atau karena alasan lain lagi? Dari perspektif kediklatan, arus keluar masuk ruangan adalah sesuatu yang harus dihindari, terlebih untuk pembicara sekelas JK. Selain bisa mengganggu peserta lain, “lalu-lintas” pada saat kelas berlangsung juga bisa diterjemahkan sebagai kekurangsungguhan seseorang dalam mengikuti pembelajaran, sebagaimana halnya bicara sendiri ketika penceramah tengah bicara. Oleh karena itu, ada baiknya etika

Page | 68

‘sepele” seperti ini juga ditekankan sejak awal mulainya diklat. Tentu saja, seorang peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lainnya. Namun ketika ada orang yang khusus diundang untuk memberi ceramah, “nafsu” untuk menjadi “penceramah tandingan” atau perilaku lain yang tidak patut, sebaiknya bisa dikendalikan. Singkatnya, tradisi penghormatan terhadap nara sumber – siapapun mereka – harus digalakkan, bukan karena si narasumber adalah mantan pejabat negara. Sekali kita (peserta diklat maupun non peserta) berniat untuk menuntut ilmu dari si narasumber, lakukan dengan konsekuen dan tidak “kabur” ditengah jalan. Jika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengikuti secara penuh, lebih elegan apabila kita tidak ikut sejak awal aagr tidak muncul kesan “menyepelekan” dari nara sumber.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 24 April 2013

Page | 69

Jurnal #25

“Leader-centered vs Team-centered Leadership” Hari ini ada beberapa peristiwa yang berbeda dari biasanya. Pertama, seorang peserta yang Doktor Ekonomi Pertanian dan menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi di sebuah Kementerian membacakan catatan hariannya. Ia menyampaikan bahwa dari tiga sessi pembelajaran pada hari Selasa, 24-4-2013, hanya sessi ceramah Jusuf Kalla yang bermanfaat, sementara dua sessi lain yang diisi dengan diskusi kelompok dianggap tidak bermanfaat. Ia juga menyatakan bahwa latihan teknik scenario planning dalam diskusi kelompok tidak ada maknanya, karena peserta sudah bisa memahami teknik tersebut dari ceramah Daniel Sparringa sebelumnya. Selain dua sessi hari Selasa kemaren, teman ini juga mengganggap sessi-sessi yang serupa sebagai sebuah kesia-siaan, sehingga durasi Diklatpim 1 sesungguhnya bisa dipersingkat dari 10 hinggu menjadi satu bulan (4 minggu) saja. Secara pribadi, saya cukup setuju dan mendukung ide tersebut, karena saya merasa bisa menerapkan teknik scenario planning tanpa harus membahas ulang pada diskusi kelompok. Namun saya juga memiliki catatan atas pandangan kawan saya tadi. Pertama, tidak ada garansi bahwa seluruh peserta memiliki pemahaman yang sama seperti saya atau kawan saya ini. Kedua, Diklatpim bukanlah forum pengayaan pengetahuan (knowledge enrichment) semata, melainkan juga ajang melatih keterampilan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik mestinya tidak berhenti pada kepuasan intelektual, namun harus melangkah lebih jauh untuk bisa memuaskan hasrat, harapan, dan dahaga intelektual team-nya. Pemimpin yang baik tidak selalu ingin berada di depan (ing ngarsa sung tuladha), namun juga harus sering bergerak ke tengah (ing madya maungun karsa) dan ke belakang (tut wuri handayani). Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menahan egonya, menurunkan standar pribadinya, dan mengurangi derajat kepuasannya, demi terpenuhinya kepuasan orang lain serta naiknya standar orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik adalah yang menjadikan team-nya sebagai pusat (pelaku inti, fokus perhatian, dan sumber energi untuk menjalankan sebuah misi), bukannya menjadikan dirinya sebagai pusat diantara anak buahnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berpikir untuk kesempurnaan pribadinya, namun lebih mementingkan kesempurnaan kolektif. Pemimpin yang baik tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun harus lebih cerdas secara emosional, dengan memiliki empati, toleransi, dan penghormatan atas segala jenis perbedaan dan dinamika dalam kelompok. Pemimpin yang baik akan bekerja diatas dan bersama dengan energi orang lain, tidak bekerja berdasarkan energi pribadinya, sekuat apapun dia memiliki energi tersebut. Inilah yang saya maksudkan sebagai team-centered leadership, bukan leader-centered leadership. Maka, saya menilai bahwa kawan saya tadi sudah cukup sempurna dalam penguasaan teori kepemimpinan maupun ilmu-ilmu lainnya, namun belum cukup matang dalam memainkan seni kepemimpinan (leadership as an art). Itu yang harus disadarinya

Page | 70

dengan segera, untuk kemudian mengubah perspektifnya tentang kelompok, mengubah gaya kepemimpinannya menjadi lebih situasional (contingency leadership), serta menata ulang cara berperilaku termasuk cara berbicara dan cara mengungkapkan ekspresinya. Peristiwa kedua yang menarik adalah dua kali blunder yang dibuat Ketua Kelas. Blunder pertama, dia mengkritik Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas yang dua kali membatalkan janji secara mendadak untuk menjadi narasumber di Diklatpim 1. Namun sekonyong-konyong, dia berbalik menyalahkan LAN yang dianggap tidak mampu mengelola jadual. Konyolnya, dia kemudian membandingkan dengan Lemhannas, dan menyatakan bagaimana mungkin LAN bisa selevel dengan Lemhannas jika urusan jadual saja tidak mampu. Kontan saja, pernyataannya ini mengundang respon dari kolega saya di LAN, yang kebetulan menjadi koordinator tim reformasi diklat. Kawan saya ini sangat tersinggung dengan statement Ketua Kelas, dan mengatakan bahwa menilai LAN dibawah Lemhannas adalah pandangan picik, karena Diklatpim 1 tidak bisa dibandingkan dengan KRA (Kursus Reguler Angkatan) atau KSA (Kursus Singkat Angkatan) di Lemhannas. Dia juga menyatakan bahwa seorang yang sudah ikut KRA tetap saja tidak eligible untuk menduduki jabatan Eselon I. Kesimpulannya, Diklatpim I jauh lebih prestisius bagi PNS karir dibanding KRA yang lebih banyak nuansa politisnya. Menyikapi kontroversi tadi, saya memaksakan diri untuk turut berbicara, dengan harapan bisa menengahi polemik yang sempat memanas. Saya katakan bahwa memandang peristiwa atau fenomena apapun selalu bisa dilihat dari sua sisi kontras. Sebagaimana gelas yang berisi setengah air, kita bisa mengatakan bahwa gelas itu setengah kosong, tapi kita juga bisa mengatakan gelas itu setengah isi. Dalam konteks ketidakhadiran Ketua Bappenas pun demikian. Kita bisa melihat sebagai kegagalan penyelenggara Diklatpim, namun kita juga bisa melihat dari sisi lain. Dalam hal ini, saya katakan bahwa ketidakhadiran Bappenas adalah masalah Bappenas, jangan ditimpakan sebagai masalah penyelenggara. Lebih baik berpikir positif bahwa ketidakhadirannya justru menjadi peluang bagi peserta untuk berlatih mengelola perubahan yang seringkali tidak disangka-sangka. Sebagai pemimpin yang sudah berada di puncak karir, apa yang akan dilakukan jika terjadi perubahan: mencari seseorang untuk disalahkan mengapa perubahan terjadi, atau segera berpikir apa yang harus dilakukan untuk merespon perubahan itu? Nah, sikap Ketua Kelas yang mencari black goat (kambing hitam) atas fakta ketidakhadiran Menteri PPN menandakan bahwa dia kurang siap untuk deal with changes. Padahal, managing change dan winning the change adalah salah satu kompetensi paling mendasar yang harus dikuasai oleh seorang pejabat level Eselon I. Jika perubahan “sepele” di tataran temporary system saja membuat dia kebakaran jenggot, bagaimana jika terjadi perubahan besar di permanent system-nya? Celaka dua belas. Setelah membuat blunder ini, sang Ketua Kelas membuat blunder kedua pada sessi ceramah Amien Rais. Setelah berbasa-basi memberi apresiasi, dia

Page | 71

berbaik menanyakan, apa kontribusi Amien Rais terhadap negara? Seketika itu juga Amien Rais balik bertanya, apa kontribusi anda sebagai birokrat? Sempat terjadi “insiden” pokrol bambu yang menurut saya sangat tidak pantas dipertontonkan. Disatu sisi, Ketua Kelas sangat tidak etis melontarkan pertanyaan seperti itu, namun disisi lain saya melihat Amien Rais mudah tersulut emosinya. Untungnya, saya menyimak Amien Rais segera menetralisir emosinya dan memberi jawaban meski terkesan seadanya. Terlepas dari pro-kontra tentang sosok dan peran seorang Amien Rais, saya pribadi menilai bahwa Amien Rais tetaplah tokoh nasional yang langka, baik secara integritas kepribadiannya maupun kontribusinya bagi Republik. Sebagai pemimpim reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru, dan sebagai Ketua MPR yang berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002), itu sudah jauh lebih cukup untuk membuktikan siapa Amien Rais yang sesungguhnya, belum lagi karya-karya ilmiah yang tidak terhitung jumlahnya, atau ratusan Doktor yang sudah dihasilkannya untuk Republik tercinta. Oleh karenanya, pertanyaan Ketua Kelas tadi sangatlah tidak sepantasnya karena hanya mencerminkan ahistorisitas pemahamannya terhadap sejarah kontemporer bangsa Indonesia. Saya tidak tahu persis mengapa hari ini muncul peristiwa “abnormal” yang dipicu oleh dua peserta yang kebetulan sama-sama menjabat sebagai Staf Ahli tersebut. Saya menduga bahwa keduanya sudah mengalami peningkatan tensi atas beban tugas yang semakin menumpuk. Sayapun menyadari akan situasi overload yang dialami seluruh peserta di minggu ke-6 ini. Sayapun sangat merasakannya, apalagi tidak jarang tugas kelompok yang sudah dibagi merata ke setiap anggota, balik lagi ke saya dengan berbagai alasan, dari gaptek lah, tidak terbiasa dengan tugas-tugas membaca dan menulis lah, dan sebagainya. Namun saya mencoba menghadapi semua itu dengan sangat serius namun tetap santai. Saya merasa masih bisa mengendalikan emosi dan hasrat untuk ingin selalu didepan dan menunjukkan “keakuan” saya. Bagi saya, situasi penuh tekanan seperti ini sangat sehat untuk melatih diri saya agar terbiasa dengan situasi yang lebih sulit (mudah-udahan saja tidak ada) di kemudian hari. Maka, bagi penyelenggara Diklatpim I, segala aspirasi tadi dapat saja dipertimbangkan dan dianalisis sisi untung ruginya. Namun sepanjang penyelenggara memiliki landasan berpikir yang jelas, matang, dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak ada kewajiban untuk menerima setiap masukan, dan penyelenggara dapat terus memegang teguh prinsip the show just goes on …

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 25 April 2013

Page | 72

Jurnal #26

“Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara Kesejahteraan”

Hari Kamis, tanggal 26 April 2013 kemaren, saya mendapat giliran untuk memaparkan ringkasan buku tulisan Dr. Riant Nugroho berjudul “Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Bagi saya, ada satu hal yang sangat menarik dari buku ini, yakni Bab 1 yang menyebutkan bahwa sejak 2 dasawarsa terakhir ini telah terjadi perang kebijakan antar negara-negara di dunia. Negara yang lebih kuat “memaksa” negara yang lebih lemah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan negara maju, terutama berkenaan dengan investasi untuk penguasaan sumber-sumber daya produktif. Contohnya adalah proteksi industri dalam negeri, penguasaan atas kawasan, hingga embargo AS terhadap alutsista yang dibeli Indonesia dari AS (terutama F-16 dan Hercules) karena Indonesia dinilai melanggar HAM. Dalam peperangan tersebut, hampir selalu negara berkembang berada pada posisi yang lemah dan kalah, akibat dari ketidakmampuannya membuat dan menghasilkan kebijakan yang unggul. Kegagalam membuat kebijakan yang unggul ini terlihat dari dua hal, yakni: 1) tidak mengerti makna dan substansi kebijakan publik; dan 2) tidak ada analis kebijakan; kalaupun ada tetapi tidak bekerja dengan baik; kalaupun sudah bekerja dengan baik tidak mampu menghasilkan kebijakan yang hebat. Boro-boro ingin menjadi counter dan penyeimbang terhadap kebijakan negara lain, kebijakan publik di negara berkembang justru banyak “didikte” oleh kemauan dan kepentingan negara maju. Artinya, kebijakan di negara berkembang boleh saja dikemas dalam sistem perundangan formal di negaranya. Namun, substansi dan semangatnya tidak jarang melenceng jauh dari cita-cita luhur memperjuangkan kepentingan rakyat serta membangun kemandirian dan identitas kebangsaan. Oleh karena kebijakan yang ada tidak unggul, maka yang terjadi kemudian adalah kegagalan mewujudkan negara yang unggul. Kegagalan membangun negara unggul ini pada gilirannya memperlemah daya tahan bangsa terhadap pengaruh global, sehingga dalam iklim globalisasi, negara seperti ini tidak mampu meraih peluang dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Dalam bahasa pengungkapan yang berbeda, Dr. Amien Rais juga menyingkap issu tentang “perang kebijakan” ini pada ceramahnya beberapa hari yang lalu. Amien mengungkapkan fenomena tentang korporatokrasi, yakni pemerintahan yang dikuasai oleh korporasi besar. Di Indonesia, contoh korporasi besar adalah Freeport Mc Moran, Chevron dan lain-lain. Korporasi ini bisa memiliki kekayaan yang melampaui kekayaan suatu negara seperti di Afrika, Burma, dan sebagainya. Mereka bisa berjaya karena berkolaborasi dengan lima elemen korporatokrasi lainnya, yakni militer, pemerintah, machinery intellectual (intelektual bayaran), mass media, dan perbankan besar.

Page | 73

Contoh political backup dari pemerintah negara asal korporasi tersebut misalnya datang dari White House, dimana seorang Henry Kissinger adalah salah satu Komisioner Freeport. Presiden Richard Nixon juga contoh yang sempurna untuk membuktikan betapa korporatokrasi sudah merasuk dalam-dalam ke dalam “jaringan syaraf” dan “aliran darah” sistem pemerintahan AS. Dalam hal ini, Nixon menginginkan kekayaan Indonesia diperas sampai kering, karena di mata Nixon, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Soviet atau China. Sementara elemen mass media yang semestinya menjadi penyeimbang, dan bahkan sering disebut sebagai the fourth power selain Trias Politica, ternyata berubah semakin lembek dan tidak bertaji. Jika dahulu mass media berfungsi sebagai watch dog (anjing pengawas), namun sekarang berubah menjadi guard dog (anjing pengawal), bahkan leg dog (anjing peliharaan), dan circus dog (anjing hiburan). Korporatokrasi global itulah yang sejatinya menjadi “panglima perang” dan melancarkan perang kebijakan di berbagai belahan negara berkembang. Dalam buku karangan John Perkins berjudul Confession of an Economic Hit Man: Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Jakarta: Abdi Tandur, 2005) dikatakan bahwa seorang hit man yang menjadi boneka korporatokrasi memiliki beberapa tugas antara lain: • Menyebarkan cerita bohong tentang pertumbuhan ekonomi, GNP, dan lain-lain negara target;

• Membuat laporan fiktif untuk IMF dan WB agar mengucurkan hutang; • “Memancing” KKN di negara target untuk membangkrutkan negara penerima hutang dan menciptakan ketergantungan (debt trap, debt web);

• Menekan negara pengutang untuk mendukung AS dalam hal pangkalan militer, voting di PBB, dan sebagainya;

• Memaksa negara pengutang menjual kekayaan alam melalui pemberian konsesi. Pertanyaannya, bagaimana caranya korporatokrasi tadi dapat mencengkeram tengkuk penguasa? Menurut Amien Rais, hal ini dilakukan dengan korupsi yang paling canggih, yakni korupsi yang menyandera kekuasaan negara (state-captured corruption). Contoh konkritnya, perusahaan Jepang, Korea dan lain-lain memiliki lobby di sekitar Capitol Hill, yang kemudian menyogok Congressman agar membuat UU yang menguntungkan perusahaan mereka. Dalam buku John Perkins sendiri dijelaskan bahwa dalam melakukan tugas-tugasnya, seorang hit man dapat menghalalkan segala cara, dari penipuan, pemerasan dan penyuapan; pembunuhan; penggermoan; perusakan ekosistem; bahkan mereka juga sampai hati melakukan pengingkaran terhadap Deklarasi Kemerdekaan bangsa sendiri demi kepentingan korporatokrasi. Uraian diatas secara tidak langsung menjelaskan tentang fenomena military-industrial-congressional complex di negeri Paman Sam. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh President Dwight Eisenhower pada tanggal 17 Januari 1961 saat menyampaikan pidato akhir masa jabatan. Eisenhower sangat cemas dengan semakin menguatkan pengaruh militer-industri-legislator dalam berbagai bidang dan

Page | 74

mengingatkan bahwa hal ini bisa menghancurkan nilai-nilai egalitarian dan penghormatan terhadap hak-hak warga sipil, yang selama ini dijunjung oleh Konstitusi AS. Dalam penggalan pidatonya yang sering disebut sebagai peringatan kenabian (prophetic warning), pada bagian IV dan VI, Eisenhower mengatakan:

IV. In the councils of government, we must guard against the acquisition of unwarranted influence, whether sought or unsought, by the military-industrial complex. The potential for the disastrous rise of misplaced power exists and will persist. We must never let the weight of this combination endanger our liberties or democratic processes. We should take nothing for granted. Only an alert and knowledgeable citizenry can compel the proper meshing of the huge industrial and military machinery of defense with our peaceful methods and goals, so that security and liberty may prosper together. (Dalam badan pemerintahan, kita harus waspada terhadap akuisisi pengaruh yang tidak beralasan, baik disengaja maupun tidak, oleh kombinasi militer-industri. Potensi munculnya penggunaan kekuasaan secara keliru muncul dan akan tetap ada. Kita tidak boleh membiarkan kombinasi ini membahayakan kemerdekaan dan proses demokrasi. Kita tidak harus menerima sesuatu apa adanya. Hanya warga yang waspada dan terdidik yang dapat memaksa penggunaan mesin pertahanan militer dan industri untuk tujuan dan cara-cara perdamaian, sehingga keamanan dan kebebaan dapat tercapai bersama). VI. Down the long lane of the history yet to be written America knows that this world of ours, ever growing smaller, must avoid becoming a community of dreadful fear and hate, and be instead, a proud confederation of mutual trust and respect. Such a confederation must be one of equals. The weakest must come to the conference table with the same confidence as do we, protected as we are by our moral, economic, and military strength. That table, though scarred by many past frustrations, cannot be abandoned for the certain agony of the battlefield. (Menyusuri sejarah panjang yang belum ditulis, penduduk Amerika tahu bahwa di dunia kita yang semakin mengecil, harus dihindarkan dari proses menjadi masyarakat yang penuh ketakutan dan kebencian, dan sebaliknya, kebanggaan atas sikap saling percaya dan saling menghormati. Sikap seperti ini harus seimbang. Masyarakat yang paling lemah harus datang ke meja konferensi dengan kepercayaan diri yang sama, dan sama-sama dilindungi oleh kekuatan moral, ekonomi, dan militer. Meja itu, meski terluka oleh banyak frustasi masa lalu, tidak boleh ditinggalkan untuk penderitan medan perang). http://coursesa.matrix.msu.edu/~hst306/documents/indust.html

Page | 75

Sejak pidato itu diucapkan, sudah 52 tahun Amerika diperingatkan oleh salah satu nenek moyang sekaligus founding fathers-nya. Sayangnya, praktek military-industrial-congressional complex bukannya menghilang, justru beralihrupa menjadi semakin mengerikan karena bergabungnya kekuatan mass media. Kombinasi kekuatan itu sekarang menjadi military-industrial-congressional-mass media complex, yang nampaknya akan semakin melanggengkan rezim korporatokrasi dan perang kebijakan global. Amerika (dan para sekutunya) nampaknya belum bisa mengambil pelajaran dari peristiwa 9-11 (nine-eleven) yakni luluh lantaknya twin tower gedung WTC. Aksi ini menurut John Perkins adalah wujud kebencian mendalam dari negara-negara korban korporatokrasi AS, dan merupakan konsekuensi logis atas perang kebijakan yang dilancarkan AS. Dalam situasi dimana kebijakan publik (negara berkembang) sangat lemah dan menyebabkan kegagalan membangun negara yang unggul, peran seorang pemimpin menjadi sangat penting. Sebab, sedemokratis apapun formulasi kebijakan publik, pada akhirnya yang memutuskan adalah pemimpin. Selain itu, seorang pemimpin selalu berada pada setiap tahapan kebijakan, semenjak formulasi, implementasi, hingga evaluasi kebijakan. Maka, wajarlah jika pemimpinlah yang menentukan apakah sebuah kebijakan akan menjadi kebijakan yang unggul atau tidak, dan pemimpin pula yang menentukan apakah negara akan menjadi negara yang unggul atau tidak. Pemimpinlah yang harus mengambil peran terbesar untuk melindungi rakyatnya dari intervensi asing, sekaligus menjamin kesejahteraannya. Konsep politik yang memberikan peran besar kepada negara/pemerintah untuk membangun kesejahteraan ini sering dikenal dengan istilah welfare state (negara kesejahteraan). Namun situasi kontemporer dewasa ini mengilustrasikan semakin lemahnya welfare state di satu sisi dan semakin menguatnya neo-liberalisme disisi lain. Negara kesejahteraan terbukti tidak mampu menghadapi perang kebijakan yang dilakukan oleh negara maju dengan korporatokrasinya. Akibatnya, kebijakan yang semestinya dirumuskan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat negerinya sendiri, justru terbalik menguntungkan kepentingan kapitalis, liberalis, dan kolonialis barat. Inilah barangkali yang sering dikatakan sebagai krisis negara kesejahteraan. Situasi problematiknya-pun kemudian menjadi lingkaran setan (vicious circle). Negara berkembang tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri berhadapan dengan kekuatan asing, sehingga cenderung mengikuti segala kemauannya, sehingga kebijakan yang dihasilkan menjadi sangat rapuh, yang membawa dampak buruk berupa kepentingan nasional yang menjadi semakin terjepit. Pemerintah negara berkembang (termasuk Indonesia) seolah kebingungan mencari jalan keluar karena seluruh pintu-pintu keluar sudah dikuasai dan dikunci oleh aktor-aktor hit man. Bagi saya, materi-materi mengenai kebijakan publik dan perang kebijakan, korporatokrasi dan kegagalan welfare state, sangatlah mencerahkan. Ini memberi kesadaran baru tentang mafia kebijakan tingkat global dan permainan jahat negara-negara maju. Dan saya yakin, bahwa kesadaran dan pencerahan seperti ini juga sudah

Page | 76

diterima oleh banyak kalangan, dari birokrasi, akademisi, penggiat kerja sosial, militer, pengusaha lokal, hingga para politisi dan pimpinan nasional. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kesadaran seperti ini tidak menjelma menjadi gerakan nasional melawan korporatokrasi, neo-liberalisme dan neo-kolonialisme? Mengapa mereka – termasuk saya – tidak tergerak untuk menyelamatkan Indonesia untuk generasi mendatang? Apakah kekuatan civil society kita terlalu lembek di hadapan state? Ataukah sistem politik kita sudah benar-benar tersandera oleh para elit dan politisi? Ataukah penduduk negeri ini sudah benar-benar tidak peduli negaranya tergadai di pasar internasional yang kejam? Terlalu sulit untuk menjawabnya, dan terlalu seram untuk membayangkan jawaban yang jujur. Nampaknya kita perlu pemimpin yang kuat. Merujuk pada ceramah Prof. Jimly Ashshidiqie, mungkin kita perlu sosok pimpinan seperti Hitler, namun tidak sepenuhnya, cukup seperempatnya saja. Sebagaimana diketahui, Jerman pada periode 1919-1933 sering dikenal sebagai Republik Weimar yang mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi parlementer dan memberlakukan Konstitusi Weimar. Konstitusi ini dikenal sebagai the most liberal constitution in the world. Setelah 13 tahun, muncul kebosanan bahkan kebencian rakyat Jerman terhadap kebebasan yang berlebihan. Pada momentum kebencian yang memuncak terhadap kebebasan itulah, muncul Hitler. Hitler melakukan banyak kampanye tentang anti kebebasan dan anti demokrasi. Pada saat Partai Nazi yang dipimpin Hitler ikut Pemilu, ternyata menang. Dan pekerjaan pertama yang dilakukan Nazi/Hitler setelah menang Pemilu adalah membubarkan partai-partai politik. Banyak hal buruk yang dilakukan Hitler, namun tetap ada yang bisa dicontoh, yakni soal keberanian dan ketegasannya dalam memperjuangkan prinsip yang diyakini. Selain Hitler, tentu masih banyak kepala-kepala negara yang bisa dicontoh karena keberaniannya melawan dominasi hingga agresi negara maju terutama AS, misalnya Presiden Jaime Roldos dari Ekuador yang terbunuh tahun 1981 karena melawan intervensi AS di negaranya. Nasib yang sama dialami oleh Presiden Omar Torrijos dari Panama yang juga terbunuh pada tahun yang sama dan dengan alasan yang serupa dengan Jaime Roldos. Komitmen yang luar biasa untuk menjaga integritas negerinya dari campur tangan asing juga ditunjukkan pemimpin dunia lainnya seperti Presiden Hugo Chavez dari Venezuela, Presiden Ahmadinejad dari Iran, bahkan juga Presiden Soekarno. Apakah saat ini kita bisa berkata “tidak” untuk intervensi asing? Kalau kita mau, saya yakin, kita PASTI BISA !!

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 26 April 2013

Page | 77

Jurnal #27

“Kamar B-315” Menulis cukup banyak jurnal selama Diklatpim 1 tanpa menulis soal kamar yang saya tempati, rasanya sangat tidak fair. Di kamar B-315 inilah lahir ratusan halaman jurnal dan karya tulis lain (KTP-2, KKA, Laporan Simulasi, Laporan OL, dan sebagainya). Dari kamar ini juga lahir puluhan bahan presentasi mulai dari issu kepemimpinan, falsafah kebangsaan, daya saing nasional, kebijakan publik, keamanan perbatasan, hingga terorisme. Di kamar ini pula saya mengasah kemampuan menulis, kemampuan analisis, dan kemampuan imajinasi, sekaligus melatih kemampuan pengendalian diri. Singkatnya, kamar B-315 telah menjadi sahabat yang begitu setia menemani saya bekerja hingga larut malam bahkan kadang menjelang pagi. Kamar ini juga menjadi guru saya yang sangat baik yang telah memberi banyak pelajaran penting dibalik kebisuannya. Maka, sudah sepantasnya saya mengekspresikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus atas semua yang saya terima dari kamar B-315. Caranya tidak lain adalah dengan merekam hubungan batin saya dengannya dalam bentuk jurnal ini, agar kenangan ini bisa terus saya bawa dan ingat hingga kapapun. Suatu ketika nanti saat saya lewat di depan kamar ini, pasti jiwa saya akan menyapa spirit kamar B-315, dan saat itulah terjadi lagi silaturahmi spiritual dan transendental. Apalagi seandanya saya menjadi “orang penting” di Republik ini, maka kamar inipun akan meningkat derajatnya menjadi “museum”, sama seperti kamar-kamar di rumah Laksamana Maeda yang digunakan untuk merumuskan naskah teks Proklamasi, atau ruang penjara Banceuy yang digunakan untuk memenjarakan Bung Karno, atau kamar kediaman Bupati Djojodiningrat di Jalan Gatot Soebroto, Rembang, tempat RA. Kartini menghabiskan hari untuk membaca dan menulis kumpulan surat-surat, atau kamar-kamar lain dengan nilai historisnya masing-masing. Jika Kartini menghasilkan buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, maka di kamar inipun saya akan menghasilkan kumpulan jurnal yang saya beri judul Memandang Diklat Secara 360 Derajat: Sebuah Otokritik. Dahulupun saat mengikuti Diklatpim II Angkatan XXXI Tahun 2011, di kamar B-201 saya telah mengukir di dinding-dinding, di atap, dan di lantai kamar, sebuah kumpulan jurnal yang saya beri judul Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya. Bagi saya, kamar dan karya yang dihasilkan memiliki hubungan kebatinan, yang meskipun tidak nampak, namun memiliki kekuatan yang sangat besar. Jika boleh saya mempersonifikasikan kamar ini, maka kamar tersebut selalu mengharapkan kedatangan kita, merindukan kita berdoa dan sembahyang di dalamnya, dan terus mengundang kita untuk selalu menghasilkan karya-karya terbaik. Bahkan saya merasakan, betapa kamar ini berlaku teramat sopan kepada saya, menghindari dari kemungkinan berbuat gaduh, dan terus mempercantik dirinya agar

Page | 78

saya betah tinggal didalamnya. Sayapun merasa seperti ada yang memperhatikan, setiap kali saya menulis, seakan-akan ada yang turut membaca dan bahagia dengan untaian kata-kata yang saya hasilkan. Sebaliknya, saya merasa ide-ide dan pemikiran saya sudah teramat banyak yang menempel kokoh di setiap sudut kamar, yang setiap kali saya pandang kembali, saya seperti membaca sebuah buku cerita. Kamar ini juga memberi saya sebuah suasana yang romantis, terutama dikala pagi hari dan sehabis hujan. Ketika saya memandang keluar, betapa saya melihat sebuah pemandangan alam dan suasana kehidupan yang begitu damai, tenteram, dan menyejukkan. Kadang saya seperti mengalami déjà vu, seolah-olah saya pernah berada pada situasi yang persis seperti in, entah kapan dan dimana. Ketika saya melihat pohon-pohon yang basah dan tenang, saya seperti melihat daun-daun dan ranting-ranting sedang berdzikir mensucikan nama Tuhannya, mengagungkan asma Sang Pencipta, dan bersyukur atas segala nikmat dan ketetapan-Nya. Sekali lagi, terima kasih kamar B-316. Engkau telah rela menjadi bagian dari perjalanan karir dan sepenggal episode hidup saya; engkau telah berkenan memberi tempat berteduh dan tempat memejamkan mata untuk melepas lelah; engkau selalu sabar menemaniku disaat-saat tugas semakin menumpuk dan tak mau tahu; dan engkau terus mendukung dan berdoa dengan khusyu’ untuk keberhasilanku. Meski tidak berarti, semoga catatan kecil ini bisa menjadi hadiah dariku untukmu, kamar B-315, sekaligus mengabadikan hubungan kebatinan diantara kita.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 29 April 2013

Page | 79

Jurnal #28

“Antara OL dan Simulasi” Pada pembacaan jurnal hari Senin lalu, banyak sekali kekecewaan teman-teman terhadap pelaksanaan Observasi Lapangan (OL) dan Simulasi. Kekecewaam terhadap OL bersumber dari beberapa hal, misalnya alasan pemilihan daerah lokus, waktu yang terlalu singkat, serta “larangan” untuk menyeberang ke luar negeri (Kuching, Malaysia untuk kelompok 1 dan Singapura untuk kelompok 2). Sedangkan kekecewaan terhadap simulasi disebabkan oleh persiapan yang kurang matang, pemilihan peran yang kurang tepat, penunjukan pemeran yang mendadak, dan ketidakjelasan tujuan simulasi. Kekecewaan teman-teman sangat beralasan. Saya sendiri melihat bahwa dalam penyelenggaraan Diklatpim 1 ini banyak hal yang kurang direncanakan secara baik, rinci, dan matang, termasuk soal OL dan Simulasi tersebut. Untuk OL misalnya, idealnya tema diklat sudah dirancang jauh hari sebelum pembukaan diklat, dan dari tema ini kemudian bisa ditentukan pula lokasi OL yang paling tepat, sehingga OL bukan hanya sekedar program untuk menyerap DIPA dan menjadi kegiatan yang mubah, bahkan cenderung makruh. Selain itu penyelenggara harus memiliki konsep yang kuat apa dasar filosofis dan akademis dari OL ini, dan apa bedanya Diklat dengan OL dan tanpa OL? Jika tidak ada bedanya, maka sama artinya OL hanya sebuah kesia-siaan karena “membuang” biaya, tenaga, dan waktu yang cukup besar tanpa menghasilkan sesuatu yang signifikan. Sayangnya, baik penyelenggara maupun Widyiswara sering terlihat belum memiliki pemahaman yang utuh tentang hakekat OL, dan terkesan masih mencari bentuk OL yang terbaik. Sebagai contoh, pertanyaan: “jika KKA adalah kertas kerja berskala nasional, apakah data daerah bisa mencerminkan kondisi nasional?” selalu muncul di setiap angkatan. Selain itu, agenda OL sering didesain dengan sangat mendadak, sementara aspek substansi yang ingin digalipun relatif lemah. Dengan situasi seperti ini, saya merasakan bahwa OL dan laporan hasil analisisnya kurang mampu menelorkan rekomendasi dan gagasan brilian, cerdas, dan orisinal dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Paparan hasil OL dari banyak kelompok dalam berbagai jenis dan jenjang diklat tidak jarang hanya bersifat superficial belaka, dan hampir tidak pernah disampaikan secara langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Sangat boleh jadi, penyelenggara perlu untuk memperjuangkan agar OL dilakukan di luar negeri sebagaimana pada penyelenggaraan Spati (Sekolah Pimpinan Administrasi tingkat Tinggi, model diklat aparatur sebelum berubah menjadi Diklatpim Tingkat 1). Hal ini terkait dengan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh pejabat Eselon I, yakni memiliki wawasan global, mampu berpikir visioner, dan sanggup untuk menjadi pemimpin perubahan. Dengan kompetensi yang sudah sangat makro, memang pemilihan lokus Diklatpim 1 di tingkat daerah (terutama kabupaten/kota) terasa

Page | 80

sangat kecil dan sempit. Meskipun saya bisa menjelaskan kepada teman-teman bahwa itu adalah manifestasi dari ungkapan small is beautiful atau think globally, act locally, tetap saja saya melihat urgensi peserta Diklatpim 1 untuk melihat secara langsung kondisi negara lain, terutama pada aspek manajemen pemerintahan tertentu yang menjadi concern peserta. Sepanjang pengetahuan saya, tidak selalu pejabat Eselon II sering bertugas ke luar negeri. Bahkan untuk pegawai LAN seperti saya, tugas ke luar negeri diluar tugas belajar dan mencari peluang secara mandiri untuk mengikuti seminar atau konferensi, sangatlah jarang dan menjadi kemewahan tersendiri. Dari kunjungan itu, diharapkan peserta dapat mencari dan menemukan lesson learned, best practice, benchmark, dan inovasi-inovasi yang berkembang, untuk selanjutnya dipikirkan probabilitasnya untuk direplikasi atau diadopsi di Indonesia. Senada dengan OL, Simulasi-pun harus didasarkan pada argumentasi filosofis akademis yang jelas dan kuat. Kompetensi apa yang ingin dibangun dengan simulasi ini, dan apa manfaat yang ingin dihasilkan? Dari dua kali pelaksanaan simulasi, meskipun meriah namun secara konseptual aktivitas ini terasa hambar karena tidak ada pemahaman dan kesadaran baru yang muncul dari kegiatan role play ini. Agar lebih menggigit, perlu dilakukan redesain terhadap rancangan kegiatan simulasi ini. Beberapa hal yang bisa saya sarankan adalah sebagai berikut. Pertama, simulasi sebaiknya tidak dilakukan di dalam kelas, namun cukup dalam kelompok. Dengan simulasi yang melibatkan banyak orang seperti yang kami alami, maka yang terjadi hanya penggiliran kesempatan bicara untuk 30 orang, tanpa debat yang alot, tanpa analisis terhadap opsi-opsi atau pemikiran yang diajukan peserta, dan tanpa fokus yang jelas. Diskusi menjadi melebar kemana-mana, sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disimpulkan. Sebaliknya jika simulasi terjadi di tim kecil, maka waktu yang tersedia bisa dioptimalkan, dan interaksi antar peserta bisa terjadi lebih intens dan alamiah, dalam arti tidak mengada-ada dan tidak asal bicara. Kedua, simulasi sebaiknya didukung dengan kasus yang kompleks. Dalam hal ini, diskusi kasus pada setiap Kajian Diklatpim I dapat dikombinasikan dengan Simulasi, sehingga simulasi tidak bersifat imajiner melainkan membumi dan kontekstual dengan situasi dunia yang sebenarnya (real world). Ketiga, simulasi sebaiknya tidak dilakukan secara instan. Paling tidak 2-3 hari sebelumnya, peserta sudah harus mengetahui perannya, dan sudah membaca rincian kasus yang akan disimulasikan, sehingga peserta memiliki tenggang waktu yang lebih luas untuk mempelajari lebih dalam karakter dan tugas/fungsi jabatan yang diperankan, serta mencari data-data pendukung yang relevan. Dengan mekanisme seperti ini, saya membayangkan simulasi bisa mencerminkan dinamika di permanent system. Dan setelah selesai melakukan simulasi, seyogyanya dilakukan refleksi tentang mengapa di permanent system sebuah perubahan begitu sulit dilakukan, mengapa pejabat begitu angkuh untuk mendobrak rintangan koordinasi lintas lembaga, mengapa kebijakan sering terlambat dan tidak bisa mengantisipasi tuntutan publik, dan sebagainya. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, sebenarnya saya dapat memaklumi adanya kekurangan tersebut. Usulan tentang lokus OL apakah di dalam atau luar

Page | 81

negeri, sangat berkaitan dengan pagu anggaran LAN yang diterima dari Kementerian Keuangan setiap tahunnya. Persepsi pejabat Kemkeu tentang tingkat kepentingan OL di luar negeri seringkali jauh lebih menentukan dibanding proposal dari LAN dengan seabreg argumentasinya. Beban pekerjaan penyelenggara yang teramat tinggi juga menjadi kendala serius hingga mereka seringkali tidak sanggup mengawal setiap agenda pada level yang idealnya. Belum lagi faktor sulitnya mendesain kasus. Dalam hal ini, para Widyaiswara sebaiknya dikumpulkan pada sebuah workshop untuk diberi keterampilan menyusun kasus-kasus yang akan diangkat sebagai materi diskusi kelompok maupun simulasi. Namun, dengan kesadaran adanya kelemahan ini, akan mempermudah upaya untuk melakukan perbaikan. Berbagai kendala bukanlah alasan untuk membenarkan rendahnya kinerja diklat, sehingga continuous improvement harus tetap menjadi spirit terbesar bagi pengelola diklat. “Tiada hari tanpa perbaikan”, itulah semboyan bagi seluruh penyelenggara diklat yang harus ditaati selamanya.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 30 April 2013

Page | 82

Jurnal #29

“Trade Off Dalam Diklat” Wikipedia menerjemahkan trade off sebagai a situation that involves losing one quality or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. Intinya, kita tidak mungkin memperoleh segala yang kita inginkan dengan kadar kualitas dan kuantitas yang sama. Kita harus memutuskan mana diantara berbagai kondisi atau pilihan yang ada, yang memberikan manfaat terbaik untuk diri kita. Pemikiran seperti inilah yang barangkali menjadi dasar munculnya ungkapan “hidup adalah pilihan”. Keterbatasan tenaga, waktu, dan kemampuan kita, menjadi alasan mengapa kita tidak mungkin meraih segala mimpi, ambisi, dan visi kita. Orang Sunda ulah ngarawu ku siku, yang makna harfiahnya adalah jangan mengambil segala sesuatu dengan siku karena akan berceceran diantara kedua tangan kita. Lebih baik mengambil dengan tangan kita, meski dapatnya sedikit namun tidak akan jatuh atau hilang. Dalam dunia diklat, trade off ini juga sering muncul dengan tiba-tiba, terutama ketika ada situasi tidak terduga atau pada situasi beban tugas yang memuncak (overload). Seperti yang saya alami, pada awal penyelenggaraan saya sangat optimis untuk menyelesaikan tugas diatas target yang ditetapkan penyelenggara. Jika produk pembelajaran individual yang resmi hanya KTP-2, saya sudah merancang sebuah buku hasil kompilasi jurnal harian. Jika jurnal cukup ditulis tangan sepanjang setengah halaman, saya selalu menulis minimal 1,5 halaman ketik rapat (1 spasi). Jika KTP-2 cukup ditulis dengan standar minimal, saya mencanangkan dalam hati agar KTP-2 saya tidak sekedar mencerminkan sebuah laporan, namun harus menjadi karya tulis ilmiah yang berbobot dan berstandar jurnal terakreditasi, meski tetap memperhatikan kaidah penulisan dari penyelenggara. Meski waktu yang tersedia kadang tidak seimbang dengan beban yang ada, namun saya telah berniat untuk memanfaatkan weekend sebagai waktu tambahan dalam menyelesaikan berbagai tugas. Namun, idealisme itu lama kelamaan agak tergerus. Apalagi ketika tiga anak saya sakit, maka Jum’at malam hingga Minggu malam sepenuhnya saya abdikan untuk menemani dan melayani keluarga. Resikonya, saya tidak memiliki waktu tambahan untuk penyelesaian target, yang akhirnya mempengaruhi kinerja saya. Dalam situasi seperti inilah, saya harus memilih, dan saya harus rela membayar pilihan saya dengan menurunkan kualitas dan kuantitas dari satu atau lebih produk pembelajaran saya. Situasi trade off juga saya alami antara KTP-2 dan jurnal. Hingga minggu ketujuh saat ini, terus terang saya belum menyelesaikan penulisan KTP-2. Namun jika saya mencurahkan energi untuk menulis KTP-2, saya agak menyayangkan jika saya kehilangan kesempatan menulis jurnal, yang sejujurnya bagi saya jauh lebih prestisius dibanding KTP-2. Situasi yang sama juga “menjebak” saya ketika saya selalu dijadikan sekretaris kelompok dan diberi tugas membuat paparan kelompok dan mencatatan

Page | 83

hasil diskusi. Artinya, begitu diskusi kelompok selesai, faktanya saya masih harus membuat slide powerpoint untuk kelompok. Terlebih lagi, saya juga koordinator seksi akademik kelas, sehingga produk-produk kelas juga harus saya tangani, seperti merancang framework KKA agar menjadi panduan ketiga kelompok, membuat laporan simulasi, mengumpulkan bahan-bahan belajar untuk didistribusikan kepada seluruh peserta, dan seterusnya. Tugas selaku seksi akademik dan tiga kali selaku sekretaris pada tiga kelompok yang berbeda mau tidak mau menyita waktu saya paling banyak. Dalam situasi lain, saya sering sekali berkeinginan untuk menjalani hidup secara seimbang, misalnya dengan olahraga pagi secara teratur. Saya sering iri melihat teman-teman melakukan jalan pagi atau senam sambil bersenda-gurau. Namun bagi saya, dibanding target akademik, olahraga tidak masuk dalam prioritas saya. Ini sama artinya bahwa tidak turut olahraga adalah trade off atau “harga” yang harus saya bayar untuk bisa menghasilkan karya akademik. Jika “hidup yang seimbang” kita jadikan sebagai prioritas utama, maka sebaiknya kita bisa membatasi diri dari tumpukan tugas yang menumpuk. Nah, dalam konteks kediklatan, ada baiknya penyelenggara memiliki instrumen pengukuran dan pemantauan beban kerja masing-masing peserta. Hasil pengukuran dan pemantauan beban kerja ini selanjutnya akan menjadi dasar untuk melakukan treatment kepada peserta, apakah perlu diberi penugasan tambahan bagi yang beban kerjanya rendah, atau sebaliknya akan diberi dispensasi tertentu dalam hal memiliki beban kerja diatas rata-rata. Dari beban kerja ini pula perlu dipikirkan cara meredistribusi beban kerja agar kinerja kolektif (kelompok atau kelas) menjadi lebih menonjol dibanding kinerja individual peserta. Terlepas dari situasi trade off yang saya ungkapkan diatas, saya mencoba tetap positive feeling bahwa saya masih bisa menyelesaikan seluruh target idealisme saya. Dasar keyakinan saya adalah bahwa manusia dianugerahi oleh YMK sebuah potensi istimewa untuk bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin, untuk memikirkan hal-hal yang mustahil dan tidak terpikirkan (think the unthinkable). Jumlah jam dalah sehari tidak pernah melampauai 24 jam, namun hasil kerja manusia selalu bisa ditingkatkan. Maknanya, saya harus lebih meningkatkan kualitas kerja, kualitas diri, dan kualitas cara/metode dalam bekerja. Dengan demikian, saya berharap dapat sebesar mungkin menekan kemungkinan terjadinya trade off diatas, meski tidak dapat dihindari sama sekali.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 1 Mei 2013

Page | 84

Jurnal #30

“Meneladani yang Tua” Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim kemaren cukup membuat saya berdecak kagum. Diluar dugaan saya, ternyata beliau masih sanggup bicara hampir satu jam dengan berdiri. Beliau juga masih begitu logis, sistematis dan penuh makna dalam mengungkapkan pemikiran beliau. Lebih mengagumkan lagi, saat sessi tanya jawab saya perhatikan beliau tidak mencatat pertanyaan para peserta. Namun saat menjawab, sepertinya semua pertanyaan terjawab dengan baik tanpa ada yang terlewat. Dalam usia beliau yang 81 tahun, ternyata tidak mengurangi sama sekali kebugaran, konsentrasi, daya tahan, dan kecerdasannya. Saya sangat heran, bagaimana cara beliau menyimpan berbagai pertanyaan (storing), kemudian mengolah untuk menemukan jawaban yang tepat (processing), dan memanggil satu per satu (recalling) dalam bentuk jawaban yang runtut dan bahkan menjadi saling terkait dan saling menjelaskan (enriching). Sungguh beliau adalah sosok manusia langka dan asset nasional yang masih sangat layak untuk mengemban amanah strategis. Jangankan posisi Menteri, jabatan Wakil Presiden, bahkan Presiden sekalipun rasanya tidak akan memberatkan bagi orang sekaliber Emil Salim. Uniknya, selama penyelenggaraan Diklatpim 1 ini kami juga berhadapan dengan tokoh-tokoh sepuh yang hanya tua dari aspek biologisnya, namun tetap enerjik dan muda dari spirit dan dedikasinya. Dr. Purnaman Natakusumah yang sudah berusia 82 tahun dan Dr. Nusyirwan Zen yang berusia 78 tahun adalah contoh dari sosok istimewa tersebut. Dalam kamus hidup belian-beliau sepertinya tidak ada istilah pikun, manja, lelah, atau mengeluh. Cara bicara yang mengalir rapi, daya ingat yang tinggi terhadap teori dan konsep-konsep kontemporer, cara menjawab pertanyaan yang analitik, kecepatan dalam memberi respon atas respon, optimisme yang terpancar dari aura dan raut muka, dan sebagainya, mencerminkan kualitas pikiran mereka yang mengagumkan. Saya yakin, bukan hanya saya yang iri dengan beliau-beliau. Semua peserta tanpa kecuali, pasti memimpikan berumur panjang, yang bukan sekedar umur panjang, namun umur yang disertai dengan keunggulan pribadi yang tidak kalah dari anak-anak muda yang usianya puluhan tahun dibawah usia beliau. Mungkin ada baiknya jika dari seluruh alokasi waktu yang tersedia, beliau menyisihkan 10 persen saja untuk berbagi tentang tips dan rahasia untuk bisa menjalani hidup yang stabil selama puluhan dekade. Saya jadi berpikir bahwa selama ini kita terlanjur mendikotomikan antara tua – muda. Seolah-olah generasi tua adalah mereka yang hanya senang bernostalgia dengan kejayaan masa silam, yang tidak mau berubah dan tidak mau disaingi oleh generasi muda, yang telah kehilangan sebagian besar energinya sehingga menjadi sosok yang rapuh dan loyo, yang mudah lupa dan mudah emosi, yang gagap teknologi, serta

Page | 85

sederet atribut lain yang terlanjur menjadi stigma. Dengan stigma itu, kemudian muncul “gugatan” terhadap orang-orang tua yang masih berambisi maju sebagai Presiden atau Kepala Daerah, misalnya. Seorang Presiden yang memilih para pembantunya dari kalangan tua juga sering dikritik sebagai anti pembaharuan dan memnunjukkan kegagalan melakukan kaderisasi calon pemimpin nasional. Dalam proses reformasi birokrasi, kita juga sering mendengar gagasan tentang “potong satu generasi”. Seolah-olah, generasi tua adalah generasi korup yang menjadi benalu dan parasit bagi pemerintahan nasional, yang harus dipotong beramai-ramai. Bahkan dalam pemerintahan ada konsep tentang Gerontocracy, yang didefinisikan sebagai masyarakat yang dikendalian oleh orang-orang berumur. Dalam pengertian yang lebih sempit, gerontokrasi juga bisa berarti “pemerintahan yang kekuasaannya berpusat pada dan dikendalikan oleh orang-orang tua”. Dalam kaitan ini, Eep Saifullah Fatah dalam tulisannya berjudul Melawan Gerontokrasi, menyatakan bahwa Setelah menjalani reformasi lebih dari delapan tahun, salah satu agenda yang belum dituntaskan hingga saat ini adalah perlawanan atas gerontocracy. Secara umum, politik Indonesia masih dikuasai oleh apa yang bisa kita sebut ”generasi pertama politisi reformasi”. Inilah generasi yang menerima tongkat estafet dari Orde Baru dan kemudian mengelola era baru demokrasi. Usia mereka sekarang 50 tahun ke atas. Selanjutnya Eep menulis bahwa gerontocracy juga melanda kehidupan partai politik secara sangat tegas. Umumnya partai politik dikuasai oleh politisi tua. Tak hanya itu, partai juga kerapkali dikendalikan secara personal sehingga anasir-anasir partai seolah-olah menjadi milik dari sang ketua umum. Nah, dengan melihat figur seperti Prof. Emil Salim, Dr. Purnaman, dan Dr. Nusyirwan, saya tidak terlalu mendukung pemikiran Eep. Sebab, faktanya tidak semua orang tua memenuhi kriteria gerontokrasi seperti disebut diatas. Sebaliknya, tidak semua anak muda selalu menyukai tantangan dan perubahan, selalu lebih kreatif dan inovatif, lebih cepat dan akurat dalam bekerja, lebih tahan banting, dan seterusnya. Soal tua – muda nampaknya tidak menjadi issu penting. Ini adalah soal mentalitas. Tidak ada jaminan bahwa yang muda selalu memiliki mentalitas lebih kuat. Boleh jadi justru orang tua yang memiliki mentalitas jauh lebih baik dan positif dibanding yang muda. Mentalitas ini terbentuk dan terbangun tidak dalam semalam, namun melalui proses yang panjang. Maka, sesungguhnya wajar belaka jika semakin tua seseorang maka semakin memiliki peluang untuk memiliki mentalitas lebih baik. Sosok seperti pak Emil, pak Purnaman, dan pak Nus, saya nilai telah lulus dari ujian sejarah kehidupan sehingga menjadi figur yang sangat pantas diteladani.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 2 Mei 2013

Page | 86

Jurnal #31

“Desentralisasi Dipertanyakan” Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim dua hari yang lalu, membuat saya menengok kembali issu desentralisasi yang cukup lama saya tinggalkan. Terakhir saya menggeluti issu desentralisasi saat masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur hingga tahun 2010. Secara substantif, sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan Prof. Emil, namun tetap saja menarik untuk diperbincangkan, terutama karena beliau mengkritik konsep dasar desentralisasi baik berdasarkan UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Salah satu yang diungkapkan Ketua Wantimpres ini adalah bahwa desentralisasi telah mengakibatkan beralihnya berbagai perijinan ke daerah, misalnya sektor pertambangan. Sejak era desentralisasi luas, berbagai daerah seperti Kalimantan ibarat wilayah yang di bom yang menyebabkan lobang besar. Melihat fenomena ini, Pemerintah Pusat gemas karena daerah seolah melakukan obral perijinan, dan tidak memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Uniknya, salah seorang peserta yang berasal dari daerah justru menyalahkan Pemerintah Pusat yang dianggap tidak mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan yang semakin parah oleh semakin tidak terkendalinya perijinan di daerah. Sistem desentralisasi di masa reformasi ini, menurut Prof. Emil, mengakibatkan hilangnya back bone pemerintah hingga ke daerah (desa). Selanjutnya, Prof. Emil juga mengatakan bahwa desentralisasi telah mengakibatkan daerah ingin memberi perhatian besar kepada putra daerah, sehingga Keluarga Berencana dianggap sebagai program depopulasi yang mengancam tumbuhnya pada putra daerah. Itulah sebabnya, laju pertumbuhan penduduk di era otonomi luas melonjak lagi, setelah berhasil dikendalikan pada masa Orde Baru. Laju pertumbuhan yang tidak terkendali ini, meski ada nilai positifnya seperti memberikan bonus demografi bagi bangsa Indonesia, namun juga menyimpan time-bomb seperti makin terbatasnya lapangan kerja, makin tingginya tuntutan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), makin lemahnya daya dukung lingkungan (carrying capacity), makin sempitnya lahan untuk permukiman, makin tingginya beban anggaran, dan sebagainya. Hal lain yang menarik dari ceramah Prof. Emil adalah soal perbandingan masa lalu dan sekarang. Pada jaman Suharto dulu, ketika Presiden mengeluarkan perintah, maka seluruh Menteri dan Gubernur langsung melaksanakan dan tidak menafsirkan secara berbeda. Kesatuan komando dari pucuk pimpinan hingga lapisan terbawah, begitu kuat dan mudah dikontrol. Namun di era desentralisasi sekarang ini, perintah Presiden seringkali tidak bisa langsung dilaksanakan karena para Menteri dan Gubernur masih menunggu arah kebijakan dari partai politiknya masing-masing. Jika garis politik

Page | 87

Parpol berbeda dengan arah kebijakan Presiden, sangat boleh jadi kepentingan Parpol yang lebih diprioritaskan. Dari ketiga issu yang disampaikan diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa Prof. Emil menginginkan resentralisasi urusan-urusan yang telah didesentralisasikan. Sayangnya, beliau tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maka, ketika sessi ceramah sudah selesai, saya temui beliau dan menanyakan apa konsep beliau terhadap tiga issu yang dilontarkannya. Ternyata jawabannya cukup sederhana dan sudah banyak diwacanakan, yakni bahwa otonomi semestinya tidak diberikan di tingkat kabupaten/kota, namun di tingkat provinsi. Ide ini dilihat dari berbagai argumentasi sangat masuk akal. Sebagai negara kesatuan (unitary state) yang telah berpuluh tahun menerapkan prinsip dekonsentrasi (baca: sentralisasi), terlalu jauh untuk melakukan giant leap atau leap-froging dengan langsung memberi otonomi kepada daerah tingkat kedua. Secara empirik faktual, perjalanan lebih dari satu dekade desentralisasi luas juga menyajikan banyak kegagalan seperti rendahnya kinerja daerah otonom baru, porsi anggaran daerah yang sebagian besar terserap untuk belanja aparatur, merebaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan DPRD, dan sebagainya. Namun persoalannya, apakah mungkin Pemerintah Pusat menarik kembali urusan yang telah didesentralisasikan? Mungkin saja hal ini dianggap sebagai langkah resentralisasi yang sangat tidak populer dikalangan akademisi dalam dan luar negeri. Bisa juga hal ini dicap sebagai “menjilat ludah sendiri” dan mengingkari tuntutan reformasi 1998 yang melahirkan UU No. 22/1999. Resiko melakukan “resentralisasi” tentu harus diantisipasi secara cermat, misalnya kemungkinan munculnya perlawanan dari kabupaten/kota. Penarikan otonomi ke tingkat provinsi juga bukan jaminan akan dapat diselesaikannya semua masalah. Mungkin saja yang terjadi kemudian hanya sekedar memindahkan masalah. Untuk itu, melihat kebijakan desentralisasi yang sudah kadung seperti sekarang haruslah seimbang antara perspektif pusat terhadap daerah dan perspektif daerah terhadap pusat. Jika yang terjadi selalu pemaksaan dari satu perspektif atau dari satu pihak saja, dapat dipastikan kebijakan itu tidak berumur lama dan rentan terhadap gugatan judicial review. Daerah harus menahan diri untuk tidak “berulah” yang akan merepotkan Pusat. Jika daerah diibaratkan anak, dan pusat adalah orang tua, harus dihindarkan jangan sampai terjadi pepatah Jawa anak polah bapa kepradah (anak berulah, orang tua yang menanggung akibat). Sebaliknya, jangan sampai pula pepatah tadi berbalik menjadi bapa polah, anak kepradah. Sebab faktanya, sudah terlalu banyak kasus pusat berulah dan daerah yang menanggung beban. Contohnya, banyak instansi pusat yang membuat aturan yang saling bertentangan dan membingungkan daerah. Banyak pula permintaan data yang sama dari berbagai kementerian, sehingga menghabiskan energi pejabat daerah. Belum lagi soal struktur kelembagaan pusat yang berubah-ubah seperti dalam kasus Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bergabung dan berpisahnya

Page | 88

Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang sedikit banyak mempengaruhi interaksi antara daerah dengan kementerian yang bersangkutan. Oleh karena itu, akan lebih bijaksana jika gagasan-gagasan reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan pusat-daerah dikaji lebih seksama agar tidak terjebak pada situasi trial and error yang tidak berkesudahan. Pergantian UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, serta telah dilakukannya uji materiil oleh MK terhadap UU No. 32/2004 sebanyak 36 kali, menunjukkan sangat mentahnya materi yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Saya pribadi dapat menyetujui ide Prof. Emil Salim untuk membawa otonomi ke level provinsi, namun saya lebih mendukung untuk mempertahankan “keterlanjuran” yang terjadi dengan memperbaiki sisi-siai yang masih bermasalah. Berwacana memang menyenangkan, melempar gagasan-gagasan out of the box juga selalu menantang. Namun menciptakan produk hukum yang mampu bertahan lama di tengah dinamika lingkungan yang turbulent, yang mampu memuaskan secara relatif kepentingan berbagai kelompok, serta yang mampu menjabarkan nilai-nilai dan semangat Konstitusi, adalah sebuah pekerjaan yang teramat berat. Tugas pemerintah adalah melayani, bukan membebani masyarakat. Fungsi pemerintah adalah untuk mempermudah, bukan mempersusah dan memperlemah masyarakat. Maka, harus dijamin bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah benar-benar merupakan cerminan dari kebutuhan dan harapan masyarakat kebanyakan, bukan kepentingan segelintir golongan tertentu. Meminjam kalimat dalam sebuah iklan televisi: masyarakat kok dibuat coba-coba …

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 3 Mei 2013

Page | 89

Jurnal #32

“Dokumentasi Diklatpim I di Arsip Nasional” Di awal penyelenggaraan Diklatpim I, khususnya pada saat pengarahan program, saya menyampaikan usulan agar proses pembelajaran selama Diklatpim I dapat didokumentasikan secara digital/elektronik, dan disimpan di Arsip Nasional. Dasar pemikiran saya adalah bahwa dari 30 peserta yang ada, dapat dipastikan diantaranya akan menduduki posisi-posisi strategis di berbagai Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya. Apapun yang terjadi di sepanjang proses pembelajaran, saya yakini memiliki nilai historis yang cukup tinggi. Pemikiran-pemikiran individual, kesepakatan dalam kelompok, pro dan kontra dalam memandang sebuah situasi, jurnal-jurnal yang dibacakan secara harian, dan sebagainya, sangat boleh jadi adalah mutiara-mutiara yang dibutuhkan generasi mendatang. Bagi generasi era 2050 atau sesudahnya, tentu keberadaan kami adalah para pendahulu yang dianggap berkontribusi atas baik buruknya situasi negara pada tahun 2050-an tersebut. Dengan demikian, baik buruknya masa depan akan sangat ditentukan oleh cara berpikir para pelaku kebijakan di era sekarang. Sebagaimana bunyi salah satu hukum dalam learning organization, masalah saat ini datang dari keputusan masa silam (today’s problem comes from yesterday’s solution or decision). Ini sama artinya, masalah pada masa depan adalah hasil dari solusi atau keputusan hari ini. Nah, jika dinamika para pejabat tidak direkam, akan terjadi keterputusan informasi, mengapa sebuah keputusan lahir dan bagaimana prosesnya dijalankan, siapa yang bertanggungjawab terhadap kebijakan tersebut, adakah vested interest dalam perumusan kebijakan tersebut, dan sebagainya. Tanpa adanya dokumentasi, sangat sulit bagi generasi mendatang untuk memahami dan melacak masa silam. Intinya, apapun yang terjadi selama Diklatpim I, adalah sebuah rangkaian mengukir sejarah. Maka, kesadaran tentang nilai historis (historical sense and awareness) dari program diklat ini harus dimiliki oleh penyelenggara. Dengan kesadaran ini, penyelenggara akan melakukan segala upaya untuk menempatkan diklatpim kedalam simpul-simpul sejarah pembangunan aparatur. Tanpa adanya kesadaran historis ini, maka diklatpim jenjang apapun dan berapapun angkatan yang dilakukan, hanya berhenti sebagai proyek yang tidak bermakna apa-apa, bahkan hanya menjadi by product dari sistem administrasi negara. Disisi lain, peserta secara individual juga harus memiliki kesadaran sejarah bahwa dirinya adalah pelaku sejarah. Apalagi jika seseorang ingin menulis biografi, maka setiap aktivitas dalam diklat dan interaksi antar peserta rasanya sangat layak untuk dituangkan dalam biokrafi tersebut. Sekilas memang tidak ada yang istimewa dengan aktivitas peserta selama Diklatpim I, Namun seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang biasa-biasa saja bisa berubah

Page | 90

menjadi luar biasa. Bayangkan pada masa lalu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, yang disusul oleh hasrat yang menggebu-gebu dari kalangan pemuda agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, para pemuda yang terlibat pastilah tidak berpikir bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah sejarah besar negeri ini. Sayangnya, negeri ini tidak punya dokumentasi siapa saja para pemuda itu selengkapnya dan peran apa saja yang mereka jalankan, apa yang telah mereka lakukan dan ungkapkan, faktor apa yang menginspirasi mereka sehingga memiliki keinginan merdeka begitu kuat, rumah-rumah siapa saja yang pernah mereka gunakan untuk menggelar rapat atau merencanakan aksi, bagaimana rencana detil dari gerakan mereka, dan sebagainya. Karena tidak ada dokumentasi tadi, maka terjadilah “keterputusan sejarah” seperti saya katakan diatas. Ini hanyalah satu contoh kecil, tentu saja masih banyak contoh-contoh lain yang lebih besar yang bisa diangkat. Belajar dari sejarah masa lalu, maka mestinya kita yang hidup masa kini tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Keterputusan sejarah masa silam dapat dipahami karena masih terbatasnya teknologi komunikasi dan informatika, namun jika hal itu terjadi pada masa kini rasanya hanya menunjukkan kebodohan kita. Apalagi, merekam persitiwa pada masa sekarang tidak membutuhkan tumpukan kertas yang jika ditumpuk bisa setinggi gedung bertingkat 10, namun cukup disimpan dalam sekeping CD. Pada saat yang bersamaan, ANRI siap untuk memfasilitasi penyimpanan dokumen penyelenggaraan Diklatpim I dalam folder/depo/group series khusus. Jadi, yang harus dilakukan LAN (cq. Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan) hanyalah menjalin kerjasama dengan ANRI dan menyiapkan memorandum of understanding berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Semoga saja, apa yang saya pandang sebagai nilai strategis dan nilai historis dari program Diklatpim I ini sama seperti pandangan pimpinan LAN atau pandangan para peserta dan alumni Diklatpim I, sehingga ide saya untuk mendokumentasikan setiap dinamika pada Diklatpim di ANRI mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 4 Mei 2013

Page | 91

Jurnal #33

“ASEAN Community: Wujud Kekalahan Indonesia Dalam Perang Kebijakan?”

Minggu, 5 Mei 2013 kemaren, kami berangkat menuju lokasi OL (observasi lapangan). Saya mendapat bagian ke Batam untuk mengkaji soal ASEAN Economic Community. Sore kami tiba di hotel Novotel, hanya beristirahat sejenak, malamnya kami langsung berdiskusi untuk membahas persiapan hari ini. Dalam diskusi inilah muncul pertanyaan dalam hati sekaligus rasa penasaran saya, apakah mungkin ASEAN Community ini merupakan wujud kekalahan Indonesia dalam perang kebijakan global? (catatan: untuk memahami apa makna “perang kebijakan”, silakan baca kembali Jurnal #26 tentang Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara Kesejahteraan). Rasa curiosity saya ini bersumber pada prinsip-prinsip yang biasa berlaku dalam zona perdagangan bebas. Salah satu prinsip perdagangan bebas adalah reciprocity (timbal balik). Ilustrasinya, dalam skema pasar tunggal tadi, Singapore Airlines boleh masuk ke bandara manapun di Indonesia, dan sebaliknya maskapai penerbangan Indonesia juga boleh masuk ke Changi Airport. Permasalahannya, kapasitas SQ untuk beroperasi dan menciptakan jalur-jalur baru di Indonesia dan menghubungkannya dengan Changi jauh lebih besar dibanding kapasitas maskapai domestik untuk melakukan hal yang sama. Dalam kasus lain, perdagangan bebas juga memungkinkan akuntan publik, dokter, atau pengacara Singapura, Malaysia, atau Thailand masuk ke Indonesia. Meskipun akuntan publik, dokter, atau pengacara Indonesia juga boleh masuk ke negara tetangga, namun tingkat penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa asing, dan tingkat profesionalismenya jauh dibanding kolega mereka dari negara lain. Prinsip lain dalam perdagangan bebas adalah non discrimination, yang menghendaki dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff (tariff and non-tariff barriers). Sebagai contoh, harga gas harus sama tanpa membedakan asal negara pembelinya. Artinya, jika harga gas di Indonesia lebih murah dari pada di Singapura, maka pihak Singapura boleh membeli gas di Indonesia dalam volume berapapun dengan harga sama di Indonesia. Ini akan “mengancam” terpenuhinya kebutuhan dalam negeri jika stok yang ada terbatas dan “diborong” Singapura. Kemungkinan lain, jika harga pasar harus sama sementara pasarnya adalah pasar ASEAN, maka harga di seluruh negara ASEAN menjadi sama. Implikasinya, ada kemungkinan harga gas di Indonesia akan melonjak mengikuti harga pasar, karena selama ini harga gas di dalam negeri masih disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain, pasar tunggal ASEAN mensyaratkan pencabutan subsidi komoditas tertentu, dan ini akan berdampak buruk bagi masyarakat yang masih hidup dibawa garis kemiskinan. Dilihat dari indikator jumlah pengeluaran, maka kenaikan harga komoditas akan menyebabkab bertambahnya penduduk miskin. Ini berarti pula pemberlakuan ASEAN Community berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Page | 92

Demikian pula untuk komoditas lain seperti rumput laut. Jika Malaysia atau Thailand memborong rumput laut yang belum diolah dari Indonesia dengan harga lokal tanpa bea masuk dan kendala tariff lainnya, kemudia membawa ke negaranya untuk diolah menjadi produk-produk dengan nilai tambah lebih, maka yang akan mendapat keuntungan adalah mereka, sementara petani rumput laut hanya mendapat margin keuntungan minimal. Sekali lagi, masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri tidak akan mampu meraih manfaat dari sistem pasar tunggal ASEAN. Dengan demikian, “bahaya” yang sesungguhnya dari ASEAN Community adalah tiadanya batas-batas administratif maupun kedaulatan negara ASEAN, sehingga “wilayah ekonomi” Singapura, Malaysia, dan Thailand juga meliputi wilayah Indonesia, sementara “wilayah ekonomi” Indonesia mungkin saja tidak pernah melebar dari wilayah spasial Indonesia. Jika ilustrasi-ilustrasi diatas benar terjadi, maka jelas sekali bahwa ASEAN Community hanya memberi dampak buruk untuk bangsa kita. Dan jika ini yang terjadi, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Indonesia telah kalah dalam perang kebijakan, bahkan jauh hari sebelum perang itu dimulai. Mestinya, sejak muncul ide awal tentang masyarakat ASEAN ini, para tokoh politik, intelektual, dan pejabat pemerintahan sudah mampu menghitung kekuatan diri dan menakar kekuatan “lawan”, untuk kemudian menentukan “jurus-jurus maut” (baca: kebijakan publik yang unggul) guna menaklukkan para “musuh” dan menempatkan mereka dibawah hegemoni kita. Namun bisa saja kekhawatiran diatas tidak terbukti. Yang pasti, “prediksi” diatas tidak dimaksudkan sebagai bentuk pesimisme memasuki era ASEAN Community, melainkan sebagai early warning system agar semua kalangan di negeri ini lebih berhari-hati sehingga dapat mengambil kebijakan dan langkah yang lebih jitu untuk self positioning ditengah konstelasi ekonomi politik dan geo politik Asia Tenggara tahun 2015 mendatang.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 6 Mei 2013

Page | 93

Jurnal #34

“Fragmented State” Issu tumpang tindih tugas, fungsi, dan kewenangan antar instansi pemerintah sudah teramat sering kita dengarkan. Begitu pula kabar tentang sulitnya koordinasi dan sinergi antar lembaga karena kuatnya egoisme sektoral dan institusional, seperti menjadi menu wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, saya cukup terperanjat saat mendengarkan paparan Kadin Kota Batam yang begitu lugas mengupas tuntas persoalan dunia usaha yang bersumber dari tidak efektifnya kelembagaan pemerintah serta tidak jelasnya mekanisme tatalaksana birokrasi. Pengusaha pelayaran yang kebetulan sedang menjadi formatuur untuk menyusun pengurus Kadin Kota Batam ini melempar pertanyaan, apakah di Indonesia ada Administrasi Maritim? Peraturan perundangan yang mengatur kelautan mungkin sudah terlalu banyak, namun hal ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa kita sudah memiliki maritime administration. Sebab, administrasi maritim tidak hanya berhubungan dengan payung hukum atau regulasi semata, namun juga mencakup kelembagaan kemaritiman yang terpadu, business process atau tatakelolanya, SDM yang kompeten dari policy maker hingga coast guard-nya, juga mengenai sumber-sumber daya dan fungsi manajemennya (budgeting, planning, controlling, networking, empowering, etc.). Kitapun sudah memiliki Akademi Pelayaran, namun administrasi maritim nampaknya menghendaki cakupan yang lebih luas dibanding sekedar teknis pelayaran, meliputi hukum internasional, sistem politik/ekonomi/ pemerintahan/sosial budaya sebuah negara, issu pertahanan/kedaulatan/HAM/ nasionalisme, dan seterusnya. Dari ketiadaan administrasi maritim ini, berdampak pada munculnya gesekan yang makin menguat antar instansi. Ibu dari Kadin tadi memberi contoh misalnya terjadinya friksi antara Bea Cukai dengan BP. Batam. Bea Cukai tidak mengakui Batam sebagai free trade zone, sehingga tetap memungut cukai atau bea masuk terhadap produk-produk barang impor, sementara BP Batam tetap bersikukuh bahwa semua barang impor tidak boleh lagi dipungut pajak atau bea masuk. Friksi serupa terjadi antara BP Batam dan pemkot Batam, dimana ada tuntutan dari sekelompok masyarakat (baik tuntutan murni maupun ada unsur penunggangan) untuk membubarkan BP Batam. Ironisnya, Kementerian Perhubungan juga terlibat friksi dengan BP Batam, dimana jasa sandar kapal di pelabuhan semestinya masuk atau dibayarkan kepada Perhubungan Laut, namun justru dipungut oleh BP. Batam. Apakah friksi ini berhenti sampai disini? Ternyata tidak. Ibu dari Kadin masih bercerita bahwa selama ini terjadi kasus penghentian atau penyetopan kapal di tengah laut oleh Angkatan Laut, Bea Cukai, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, dan lain-lain, yang ujung-ujungnya diselesaikan dengan “cara damai”.

Page | 94

Sekali lagi, hal-hal yang mengemuka dari pelaku usaha di Batam tadi sungguh membuat saya terperanjat. Bukankah selama ini ada Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, yang diketuai oleh Menko Perekonomian, dengan anggota tujuh Menteri (Keuangan, Pedagangan, Perindustrian, Perhubungan, Pekerjaan Umum, Nakertrans, Dalam Negeri) ditambah Kepala Bappenas dan Kepala BKPM. Ketika mereka sudah terkumpul dalam satu wadah, mengapa overlap dan duplikasi tadi masih saja tidak terhindarkan? Lebih-lebih saat ini Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan dijabat orang yang sama, masihkah ada alasan tentang sulitnya koordinasi? Apakah para pembesar negeri ini benar-benar tidak mengetahui ada permasalahan dibawah, ataukah memang tidak memiliki kepedulian dan membiarkan masalah tanpa alasan yang tidak jelas? Banyaknya lembaga yang menangani suatu urusan secara “keroyokan” tanpa didukung oleh sistem komunikasi dan koordinasi yang baik, menjadi indikator negara yang terfragmentasi (fragmented state), bukan dalam konteks geografis atau kewilayahan, namun fragmentasi secara kelembagaan dan kebijakan. Negara menjadi “berwajah banyak” (Dasamuka) di hadapan warganya, yang jelas membuat warga bingung bahkan frustasi. Setiap institusi selalu meng-claim dirinya sebagai representasi negara yang memiliki otoritas berdasarkan peraturan hukumnya masing-masing, namun tidak peduli dan tidak berinteraksi dengan institusi diluar dirinya. Kesan yang muncul kemudian adalah negara ini menciptakan banyak institusi dan bekerja berdasar prinsip “semua mengerjakan semua”. Hubungan antar lembaga menjadi benang kusut yang mustahil terurai, kecuali dengan memotong benang tersebut. Situasi kontras kami peroleh saat berkunjung ke PT. Bintan Resort Cakrawala. Kedatangan kami disambut oleh seorang manajer, dan ternyata dia pula yang memberi paparan tentang berbagai hal terkait perusahaannya. Tidak disangka-sangka, dia juga yang mengantar dan memandu kami berkunjung ke lapangan seperti ke pelabuhan, Nirwana Garden, padang golf, dan sebagainya. Tidak berhenti sampai disini, dia juga yang menyiapkan makan siang dan menemani rombongan. Hingga akhirnya, dia pula yang melepas rombongan kami melanjutkan perjalanan. Cara bekerjanya begitu efisien, tidak ada duplikasi, gesit dan cekatan, dan tuntas. Kesan yang muncul adalah “sesedikit mungkin orang, mengerjakan sebanyak mungkin urusan”. Dalam konteks birokrasi, semestinya prinsip one institution with multiple functions juga harus dilakukan. Arsitektur kelembagaan pemerintahan yang banyak dan gemuk, tidak terikat oleh visi besar yang sama, serta banyaknya atribut khas yang mencirikan keangkuhan institusional, harus dipangkas menjadi kelembagaan yang sedikit, ramping, menjalankan visi besar yang jelas, serta costumer friendly atau ramah terhadap pelanggan. Wajah-wajah yang banyak harus dioperasi dan dilebur menjadi satu wajah, sehingga warga negara tidak kehilangan banyak waktu dan banyak biaya saat berhubungan dengan entitas bernama “negara”.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 7 Mei 2013

Page | 95

Jurnal #35

“Senam 4 Dimensi” Menulis jurnal harian selama Diklatpim I itu gampang-gampang susah. Gampang, karena kita bisa menulis apapun yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kediklatan, bisa menulis tentang ide-ide besar hingga perasaan sentimental, bisa menulis fakta atau fiksi, juga bisa menulis tentang siapapun dengan gaya tulisan apapun. Namun, menulis juga susah, karena menulis itu butuh inspirasi. Tanpa inspirasi, penulis sekaliber Gunawan Mohammad sekalipun akan kesulitan merangkai kata-kata penuh makna. Nah, ketika kita sedang blank alias tidak punya ide apapun yang akan ditulis sementara kita dibatasi deadline harus menyetor satu catatan harian, kita tidak bisa menunggu sang ide untuk datang. Kita harus menjemput, mencari, bahkan kalau perlu mengais-ngais di setiap sudut dan di sepanjang jalanan kompleks asrama. Ini pula yang saya lakukan. Begitu kehabisan ide, maka saya “turba” (dalam arti denotatif benar-benar turun ke bawah dari lantai 3 asrama) untuk menemukan ide yang tak kunjung datang. Tapi lucunya, saya baru bisa meralisasikan eksplorasi saya pada saat keberangkatan dan selama observasi lapangan. Sasaran saya adalah ingin menggali apakah motif dari teman-teman yang rajin jogging setiap hari. Hal ini saya anggap penting untuk saya explore karena saya sangat tidak tertarik untuk melakukannya. Sehabis shalat Subuh berjamaah yang dilanjutkan dengan kultum (kuliah tujuh menit), saya jauh lebih memilih untuk membuat jurnal harian dari pada capek dan keringatan jalan-jalan. Toh selama ini saya merasa sehat, dan beberapa kali general checkup juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hasil eksplorasi saya cukup mengejutkan. Ternyata teman-teman melakukan olahraga ringan di pagi hari bukan sekedar melatih otot agar lebih kuat dan mampu menghasilkan reflex secara lebih cepat. Mereka melakukan itu juga untuk memperkuat pikiran atau melatih konsentrasi, karena mereka menghitung berapa putaran yang telah diselesaikan, dan setiap putaran bisa menghasilkan berapa ratus dzikir. Mereka juga melatih perasaan karena dalam setiap gerakan dilakukan dengan perasaan bahagia. Dan yang paling mengejutkan, dalam setiap langkahnya,mereka sertai dengan dzikrullah. Saking khusyuknya berdzikir, mereka mengaku kadang lupa bahwa mereka sedang berjalan. Kaki-kaki mereka telah berjalan seolah tanpa perintah dari pusat kendali manusia, yakni otak. Baik fisik, hati, pikiran, dan jiwa mereka sudah menyatu kedalam kalimat-kalimat dzikir yang mereka lantunkan seiring dengan langkah yang mereka ayunkan. Itulah sebabnya, saya memberi istilah “senam 4 dimensi” untuk aksi kecil mereka di pagi hari. Dari temuan hasil eksplorasi saya ini, kemudian memberi dua inspirasi kepada saya. Pertama, saya ingin mengikuti langkah mereka untuk “senam religi” di hari-hari terakhir Diklatpim I. ketidaktertarikan saya terhadap senam fisik tetap tidak berubah, namun saya ingin mencoba melakukan senam religi tadi. Intinya adalah beribadah,

Page | 96

namun kemasannya saja yang berbeda. Jika selama ini ibadah dilakukan dengan memperbanyak shalat sunah atau dzikir secara bersila seperti orang sedang bermeditasi, sekarang dilakukan dengan gerak yang lebih dinamis dan secara berpindah-pindah sesuai track yang kita inginkan sendiri. Inilah “meditasi” gaya baru yang sangat menantang untuk dicoba dan ditradisikan. Kedua, apapun yang kita lakukan, sejak pergi ke kantor hingga pulang ke rumah, sejak bangun pagi hingga terlelap di malam hari, bisa terjadi dalam satu dimensi atau dalam empat dimensi sekaligus. Semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, apakah kita cukup puas hanya hidup dalam satu dimensi saja, ataukah kita ingin memberi nilai tambah terhadap segala aktivitas kita, kapanpun dan dimanapun. Menulis jurnal inipun sesungguhnya juga mengandung empat dimensi, ketika kita mengeluarkan tenaga/energi untuk menghasilkan tulisan, melakukan olah pikiran, menikmati dan terdorong untuk terus menulis, serta menjadikan aktivitas menulis sebagai bagian dari menunaikan perintah agama untuk menuntut ilmu. Maka, merugilah peserta diklat yang hanya menghasilkan catatan harian sebagai olah fisik belaka tanpa landasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 8 Mei 2013

Page | 97

Jurnal #36

“Kasus” Ada yang terlewat dari proses pembelajaran pada kajian 1, 2, dan 3 yang belum sempat saya angkat dalam jurnal, padahal merupakan elemen penting dalam diklatpim untuk membangun kompetensi tertentu peserta diklat. Elemen tersebut adalah Kasus. Penyelenggara dan widyaiswara nampaknya belum firm betul mengenai pengertian kasus, komponen minimal sebuah kasus, serta format laporan dan expose analisis kasus. Karena pemahaman penyelenggara dan widyaiswara yang belum bulat ini, maka praktek yang diberikan pada setiap kajian juga berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang cukup “panas”. Pada kajian kedua misalnya, widyaiswara memberi daftar issu terkait ASEAN Community yang dibagi menjadi tiga kelompok, yakni politik keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Tidak ada sama sekali data pendukung berupa opini, fakta, permasalahan, ataupun statistik terkait ketiga elemen ASEAN Community tersebut. Widyaiswara mempersilahkan peserta untuk memilih satu atau beberapa issu yang ada dalam daftar untuk dikembangkan sebagai kasus, yang tentu membuat sebagian peserta bingung. Kontan saja salah seorang peserta menyatakan dengan tegas bahwa issu bukanlah kasus, sementara tugas peserta adalah menganalisis kasus, bukan membuat kasus. Kebingungan lain adalah soal penggunaan istilah yang saling bertukar antara kasus dengan studi kasus, padahal keduanya jelas memiliki makna yang jauh berbeda. “Kasus” adalah peristiwa atau kumpulan persitiwa, fakta atau kumpulan fakta, masalah atau kumpulan masalah yang belum dianalisis sehingga belum diketahui pokok/inti masalahnya serta solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan “studi kasus” adalah salah satu metode yang sering digunakan terutama pada penelitian kualitatif yang bersifat spesifik dan berskala lokal. Adapun definisi baku tentang studi kasus Robert K. Yin (“Case Study Research: Design and Methods”, dalam Applied Social Research Method Series, Volume 5, California: Sage Publications, 2002) sebagai berikut: A Case study is an empirical inquiry that investigate a contemporary phenomenon within its real-life context, when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used. Singkatnya, “kasus” pada setiap kajian di Diklatpim I bukanlah “studi kasus”, cukup disebut dengan “analisis kasus” atau “bedah kasus”. Untuk itu, agar tidak terjebak pada debat yang berkepanjangan, maka perlu dibuat kriteria tentang makna “kasus” ini. Dalam hal ini, saya menyarankan beberapa kriteria kasus yang baik seperti dibawah ini, siapa tahu dapat diterapkan untuk pembelajaran Diklatpim I yang akan datang.

Page | 98

• Kasus harus memiliki keterkaitan dengan tema; • Kasus harus faktual dan aktual (bukan kasus imajiner) sehingga hasil analisis harus sedekat mungkin memenuhi kebutuhan ;

• Kasus sebaiknya bersifat kronologis agar dapat diketahui hubungan antar peristiwa dalam kasus tersebut;

• Hindar keragu-raguan dalam analisis dan pemaparan kasus (“katanya”, “konon”, “mungkin”, dan lain-lain) agar tidak menjadi fitnah atau sarat dengan konflik kepentingan;

• Jika kasusnya kompleks, lebih baik dipilih dan difokuskan pada bagian tertentu dari kasus tersebut.

• Kasus dapat bersumber dari berita media, laporan, hasil penelitian, pengaduan masyarakat, kasus hukum, dan lain-lain.

Masalah selanjutnya mengenai cara penyajian. Widyaiswara membebaskan format, metode yang dipakai, atau tentang apapun, sementara penyelenggara juga tidak memiliki panduan yang jelas bagaimana menganalisis hingga mempresentasikan “kasus” tersebut. Alhasil, sempat timbul perdebatan yang semestinya tidak diperlukan. Untuk menghindari disorientasi pada penyelenggaraan Diklatpim angkatan yang akan datang, maka terkait dengan sistematika penyajian “kasus” ini saya sarankan sebagai berikut: 1. Ringkasan Kasus, merupakan intisari dari rangkaian peristiwa/deretan angka statistik/ kumpulan fakta dan opini yang belum terstruktur, menjadi paparan yang lebih singkat namun condensed, compact, dan systemic. Dalam pembelajaran Diklatpim II, ini bisa disamakan dengan story line.

2. Pokok Permasalahan, adalah masalah terbesar yang akan dipecahkan atau situasi paling pro blematis yang akan ditingkatkan sesuai dengan prioritas dan kemampuan dari policy maker dan policy implementator;

3. Kerangka Berpikir / Rujukan Teoretik (jika dibutuhkan dan jika waktu yang tersedia mencukupi);

4. Analisis / Pembahasan, antara lain berisi jawaban terhadap pertanyaan tentang: • Faktor apa saja yg menjadi penyebab masalah? • Apa dampak masalah tersebut (sekarang dan masa mendatang)? • Langkah apa saja yang pernah dilakukan? • Siapa saja yang terlibat dan/atau bertanggung jawab terhadap masalah tersebut baik secara individu maupun institusional)?

• Mengapa upaya-upaya diatas belum berhasil sehingga masalah belum terpecahkan?

5. Alternatif Pemecahan Masalah. Pada bagian ini dapat digunakan metode atau teknik analisis tertentu seperti soft system methodology, scenario planning, problem tree analysis, SWOT analysis, force field analysis, dan sebagainya, sesuai kebutuhan analisis dan judgment dari analis.

6. Lesson Learned / Policy Implication, berisi hal-hal yang diperlukan untuk mencegah agar masalah yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Page | 99

Dengan sistematika yang bernuansa sangat academic ini, maka tidak mungkin kasus hanya disusun dalam waktu 1 sessi (3x45 menit). Analisis kasus sebaiknya tidak hanya menjadi formalitas belaka, namun harus didesain untuk benar-benar menjadi “laboratorium semu” dari pusat-pusat perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal terakhir yang dapat dipertimbangkan adalah, apakah analisis kasus benar-beanr dibutuhkan untuk mengasah kemampuan analitis peserta? Atau kemungkinan lain, analisis kasus dipertahankan namun elemen pembelajaran lain yakni diskusi 1 dan 2 pada setiap kajian yang ditiadakan. Faktanya, apa yang terjadi pada diskusi 1 dan 2 dengan analisis kasus tidak ada bedaya sama sekali alias setali tiga uang. Secara pribadi, saya mendukung jika diskusi 1 dan 2 dihapus, sehingga dalam satu kajian akan terdapat elemen Ceramah Isu Aktual (CIA). Tugas Baca, Analisis Kasus, Pembulatan, serta Evaluasi. Dengan demikian, maka durasi Diklatpim dapat dipersingkat tanpa mengurangi esensi dan kualitas proses pembelajaran.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 10 Mei 2013

Page | 100

Jurnal #37

“Pembulatan” Di dua minggu terakhir Diklatpim I yang tidak lagi ada keharusan menulis jurnal harian, saya mencoba untuk tetap menulisnya, terutama untuk mengangkat issu-issu yang cukup penting namun terlewat karena terkalahkan oleh agenda lain yang lebih penting. Sama seperti catatan saya sebelumnya (#36 Kasus), jurnal yang saya tulis kali inipun juga upaya me-recall kembali pengalaman yang telah lewat pada kajian pertama hingga ketiga. Kali ini saya ingin bicara soal Pembulatan. Pembulatan adalah elemen terakhir dari sebuah tahap yang disebut dengan kajian. Dari namanya saja kita bisa menebak bahwa pembulatan dimaksudkan untuk merangkum dan mencari keterhubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan tepat terhadap seluruh agenda pembelajaran. Dengan pembulatan, yang masih bengkok dapat diluruskan, kesalahan tafsir dapat diperbaiki, dan kekurangan pemahaman dapat ditutupi. Namun faktanya, pembulatan justru sering memunculkan konsep baru, pemahaman baru, dan bahkan kebingungan baru. Hal ini bermula dari ketiadaan panduan yang jelas tentang makna pembulatan, cara/teknik melakukan pembulatan, dimensi substansial yang dibulatkan, serta output dan format pembulatan. Sebagaimana pada penulisan “analisis kasus”, widyaiswara-pun memiliki pandangan yang berbeda tentang pembulatan, sehingga materi paparan kelompok berbeda-beda meski elemen yang dipelajari sejak awal hingga akhir sama. Selain itu, muncul juga “protes” dari salah seorang peserta yang menyatakan bahwa pembulatan tidak sama dengan “kasus”. Jika dalam pembulatan hanya bicara satu issu spesifik dan dengan tool of analysis yang spesifik pula, apa bedanya dengan analisis kasus? Bagi saya, pembulatan hakikatnya adalah upaya untuk mengevaluasi apakah seluruh rangkaian materi yang diberikan dapat dipahami oleh peserta. Dalam melakukan evaluasi ini, penyelenggara dan/atau widyaiswara mencari umpan balik (feedback) dari peserta, antara lain melalui kuis yang terstruktur, menanyakan issu-issu utama secara acak (random), atau dengan diskusi interaktif antara peserta dengan penyelenggara/widyaiswara. Selain melakukan evaluasi, penyelenggara/widyaiswara juga dapat meggali sejauhmana peserta memiliki rencana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh kedalam praktek kepemimpinan dan organisasional di instansinya. Dengan demikian, pembulatan sesungguhnya bukan aktivitas sepihak peserta, namun lebih merupakan aktivitas segi tiga (triangle activity) antara peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tercapainya tujuan instruksional diklat bukan hanya urusan dan kebutuhan peserta semata, namun juga menyangkut kepentingan penyelenggara.

Page | 101

Sehubungan dengan hal tersebut, agar pembulatan benar-benar bisa “kunci” terakhir dalam memahami ilmu secara benar, beberapa prakondisi berikut ini sangat mungkin harus dipenuhi. Pertama, harus tersedia kerangka pikir logis (logical framework) tentang diklat secara keseluruhan. Konsep besar ini singkatnya berisi alasan mengapa diklat diperlukan, dan apa yang akan terjadi jika diklat tersebut tidak dilakukan. Selanjutnya, pada level messo diperlukan pula framework yang menjadi dasar mengapa sekelompok materi pembelajaran diberikan pada kajian tertentu, dan bagaimana berbagai materi tersebut secara bersama-sama dapat membangun kompetensi yang diharapkan. Kemudian pada level mikro-pun harus ada framework mengapa sebuah materi/mata diklat/agenda diberikan dan seperti apa posisinya terhadap rancang bangun program diklat secara holistik? Kedua, ketiga framework tadi harus dikomunikasikan sejak awal diklat dan dipahami secara sama oleh peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tanpa adanya kesamaan dalam memahami kerangka pikir ini, maka pembulatan tidak akan pernah terwujud, dan selalu menjadi bangun persegi yang asimetris.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 13 Mei 2013

Page | 102

Jurnal #38

“5 Menit yang Menentukan Keberhasilan” Tulisan ini mungkin sedikit provokatif. Sebab, keberhasilan seseorang seringkali diraih dengan kerja keras selama puluhan tahun tanpa rehat. Bagaimana mungkin waktu yang hanya 5 menit memberi kontribusi signifikan bagi keberhasilan seseorang? Nah, disinilah menariknya menafsirkan makna “5 menit” ini. Bagi saya, 5 menit sesungguhnya identik dengan total waktu hidup seseorang. Bagaimana logikanya? Saya akan mencoba menguraikan dalam konteks kediklatan, karena inspirasi tulisan inipun saya peroleh selama mengikuti Diklatpim I. Harus diakui bahwa penugasan kepada peserta sudah sangat banyak dan memberatkan. Dalam satu kajian saja misalnya, kelompok harus melakukan dua kali diskusi untuk menghasilkan dua paparan. Kelompok yang sama juga harus membaca buku wajib, meringkasnya, kemudian mempresenatsikan. Tidak cukup sampai disini, peserta juga masih harus membuat analisis kasus – yang lagi-lagi – harus dipaparkan. Diakhir kajian, peserta masih harus melakukan aktivitas yang disebut pembulatan, yang tentu saja juga wajib disajikan di depan kelas. Ini belum termasuk tugas-tugas lain seperti membuat jurnal harian, visitasi, simulasi dan laporannya, bahkan juga menulis KKA dan KTP-2. Meskipun frekuensi, jumlah, dan beban dari tugas-tugas tersebut nampak sedikit tidak logis, tetap saja ada waktu-waktu yang saya lihat kurang produktif. Pada jam makan malam, misalnya, banyak peserta yang melanjutkan dengan ngobrol-ngobrol dan ber-karaoke. Ada juga yang memilih jalan-jalan ke luar kampus untuk mencari makan atau minum di tempat-tempat favorit mereka. Atau saat ada materi yang kosong karena pembicara berhalangan. Atau saat kami harus menunggu cukup lama di bandara menunggu pesawat yang delay yang akan mengantarkan kami ke lokasi Observasi Lapangan atau mengantar kami pulang kembali ke Jakarta. Bahkan, saya melihat banyak waktu-waktu emas yang dibiarkan oleh peserta sebagai waktu yang terbuang sia-sia atau mubadzir, yakni waktu menjelang subuh dimana kita sudah harus bangun namun kita malah menikmati kehangatan selimut. Katakanlah dalam satu hari kita ambil 5 menit dari waktu ngobrol kita, ditambah 5 menit dari waktu tidur kita, dan 5 menit dari ketidakjelasan agenda kita, maka dalam 1 hari kita memiliki 15 menit extra dari biasanya. Jika sebulan terdiri dari 30 hari, maka waktu ekstra yang kita miliki adalah 15 menit x 30 = 450 menit = 7,5 jam. Jika rata-rata menulis jurnal harian seperti ini adalah 1 jam, maka dalam satu bulan bisa dihasilkan 7 hingga 8 jurnal. Dalam satu tahun, maka kita dapat membuat 96 jurnal. Inilah perbedaan yang dibuat oleh waktu yang hanya “5 menit”. Bayangkan seandainya kita bisa invest lebih banyak waktu, berapa banyak karya-karya baru yang bisa kita buat dibanding jika kita hambur-hamburkan waktu tersebut.

Page | 103

Disisi lain, jangan lihat “5 menit” sebagai akumulasi dari 300 detik. Lihatlah juga “nilai mutu” yang sering muncul dalam waktu yang sedemikian singkat itu. Ide-ide besar seringkali tidak muncul dari sebuah diskusi panjang dan analisis yang melelahkan, namun justru terlahir dari renungan sekejap mata atau exercise pikiran secara tidak disengaja. Inilah yang disebut ilham, yang bisa datang tanpa dicari dan susah ditemukan meski terus digali. Namun, probabilitas datangnya ilham jauh lebih besar pada kumparan otak yang terus berputar, dibanding otak yang diistirahatkan dalam tenang. Maka, siapkan otak kita untuk menerima ilham, wahyu, wangsit, pulung, atau inspirasi, dengan “mencuri-curi” 5 menit dari setiap aktivitas kita yang tidak produktif. Tentu saja, jangan seluruh waktu ngobrol kita curi untuk berpikir, jangan pula kita curi seluruh waktu tidur kita untuk kontemplasi dan menuliskan hasil kontemplasi. Silakan anda akan ngobrol apapun bahkan omong-omong kosong, silakan pula anda hang-out untuk menikmati dunia luar sambil makan minum bersama teman, bahkan silakan anda untuk istirahat dan tidur senyenyak mungkin. Namun ketika berbagai aktivitas tadi sudah menghambat anda untuk menjadi lebih produktif, segeralah berhenti, dan curilah 5 menit diantaranya untuk berolah-pikir, berolah-rasa, dan berolah-karsa agar anda selalu membuat perbedaan dan kemajuan dalam hidup anda. Ingatlah bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki “mata uang” yang selalu dibelanjakan setiap harinya. Ada yang mendapatkan sesuatu yang bernilai tinggi melampaui nilai “mata uang” yang dimiliki, namun banyak diantara manusia yang justru hanya membuang-buang “mata uang”nya tanpa mendapatkan apapun yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. “Mata uang” itu adalah usia. Setiap hari kita membuang usia hanya untuk ngobrol, jalan-jalan, atau tidur dan tidak mendapat apapun. Bukankah lebih baik manakala usia kita sama-sama berkurang, namun kita dapat menghasilkan sesuatu yang mengandung nilai lebih tinggi baik secara agamis, ekonomis, akademis, maupun humanis? Inilah barangkali tafsir mbeling terhadap Surat Al-Ashr … Sungguh merugilah orang-orang yang membuang waktu dalam hidupnya secara sia-sia, yang bicara sia-sia, melakukan sesuatu yang sia-sia, dan akhirnya membuat hidup mereka sia-sia. Naudzubillahi min dzalik.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 14 Mei 2013

Page | 104

Jurnal #39

“Ujian KTP-2” Terus terang, hari ini saya agak kecewa dengan ujian KTP-2 yang saya jalani. Persiapan yang sungguh-sungguh sejak hunting data selengkap mungkin dari berbagai sumber, pendalaman secara mandiri buku-buku tentang SSM karya Sudarsono dan Peter Checkland, membuat tampilan slide sebagus yang saya mampu, hingga tidur menjelang fajar, rasanya menjadi sia-sia ketika hal yang saya yakini kebenarannya dinyatakan secara berbeda oleh widyaiswara penguji. Yang membuat saya kecewa sebenarnya bukanlah perasaan subyektif saya yang belum bisa menerima pernyataan widyaiswara yang mengoreksi KTP-2 saya, melainkan pemahaman antar widyaiswara yang tidak bulat sehingga seorang widyaiswara menyalahkan sementara yang lainnya membenarkan. Dalam situasi ketiadaan konsensus antar widyaiswara tadi, muncul kesan bahwa mereka merasa paling mengerti dan cenderung memaksakan pengertiannya yang sebenarnya belum tentu benar. Hal kedua yang membuat saya kecewa adalah bahwa analisis SSM dan Scenario Planning yang jelas-jelas bagian ilmu sosial di-treat sebagai ilmu matematika dengan rumus-rumus bakunya. Akibatnya, metode yang hakikinya adalah alat bantu dalam menyusun argumentasi logis hingga rekomendasi dalam sebuah kajian, menjadi tujuan utama yang menyebabkan seluruh proses dan hasil kajian keliru jika “rumus baku” tadi tidak diterapkan. Independensi peneliti dikalahkan oleh alat analisis, dimana peneliti seolah-olah hanyalah operator mesin dalam sebuah pabrik. Beberapa hal yang membuat saya keberatan secara intelektual diantaranya bisa saya contohkan sebagai berikut. Namun sebelumnya perlu saya ungkapkan judul KTP-2 saya yakni “Penguatan Peran Deputi III LAN (P) Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara (R). Pertama, T (Transformation) pada analisis CATWOE penguji mengharuskan diambil dari unsur Q, sementara saya mengambil dari unsur P dan Q secara sekaligus. Dalam bukunya Dr. Sudarsono disebutkan bahwa makna T tersirat dari deskripsi berupa pertanyaan “apa input dan output dari transformasi tersebut?”. Terhadap pertanyaan tadi, saya menafsirkan inputnya adalah Penguatan Peran Deputi III LAN (P), sedangkan outputnya adalah Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q). Sementara pada W (weltanschauung, World-view), menurut rumus penguji adalah kombinasi P dan R, sedangkan “rumus” saya adalah kombinasi Q dan R. Alasan saya, Dr. Sudarsono menyebutkan dalam bukunya bahwa W dapat dideskripsikan dalam pertanyaan “Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual?”. Makna transformasi tersebut menurut saya terlalu rendah jika dilihat dari unsur input (P). Kedua, penguji mengharuskan isi bulatan-bulatan pada Conceptual Model (CM) harus sama persis dengan situation considered problematic (SCP), sedangkan saya

Page | 105

mengubah bahasa masalah pada SCP menjadi bahasa aktivitas pada CM. Masih menurut Sudarsono, CM berhubungan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem supaya menjadi seperti apa dinyatakan dalam root definition. Selanjutnya, Sudarsono juga menyatakan bahwa CM yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah model yang relevan dengan situasi problematis. Dari pernyataan itu saja sudah eksplisit bahwa CM tidak sama dengan SCP, namun relevan dengan SCP. Ketiga, ketika penulis beralih ke analisis Scenario Planning (SP), tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi Focal Concern (FC). Saat mengaitkan FC dengan SSM, penguji mengharuskan mengambil dari unsur T pada analisis CATWOE, sementara saya justru mengambil dari unsur W. Pertimbangan saya, FC mencerminkan situasi yang ingin kita deskripsikan pada jangka panjang, bukan sebuah proses menuju kepada ujung dari masa depan yang kita deskripsikan tadi. Lebih parah lagi, penguji juga menyatakan bahwa pada tahap kedua SP yakni mengindentifikasi Driving Force (DF), harus sama dengan SCP dan CM. Padahal secara anatominya menurut saya ketiganya berbeda meski memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Dalam DF misalnya, harus dirumuskan dalam wujud variabel/indikator sehingga dapat diukur secara kuantitatif. Hal ini tentu berbeda dengan SCP yang merupakan pernyataan masalah, atau CM yang merupakan aktivitas manusia (Holon). Keempat, rekomendasi yang dihasilkan pada SSM dan rekomendasi hasil SP juga dikatakan harus sama. Saya lantas bertanya-tanya: jika rekomendasi harus sama, buat apa kita melakukan analisis dengan kedua tool yang berbeda? Bukankah setiap tools of analysis memiliki karakteristik dan tujuan yang spesifik, namun bisa saling memperkuat satu dengan lainnya? Uniknya, ketika dispute saya dengan penguji pertama ini saya kemukakan kepada penguji kedua dan ketiga, mereka membenarkan pekerjaan dan argumentasi saya. Saya jadi sampai pada kesimpulan bahwa pengusaan metodologi mereka masih sangat mentah. Sayapun juga merasa tidak menguasai teknik SSM, namun posisi saya saat itu adalah siswa yang dibimbing, sehingga wajar jika pemahaman saya belum bulat dan banyak melakukan kekeliruan. Namun kekeliruan bagi seorang pembimbing, tentulah bukan sesuatu yang dapat dimaklumi.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 15 Mei 2013

Page | 106

Jurnal #40

“Ladies Program” Saya agak terkejut ketika mendengar kabar akan diadakan kegiatan ladies program dalam rangkaian Diklatpim I. Terakhir kali saya mengetahui program ini tahun 1994 saat saya baru saja diangkat menjadi CPNS dan ditempatkan di LAN Perwakilan Jawa Barat, di Bandung. Kebetulan sekali, saat itu ayah saya mengikuti Diklat Sepadyanas, dan di akhir program, Ibu sayapun mengikuti ladies program. Setelah itu, saya tidak pernah mendengar lagi LAN mengadakan acara untuk istri para peserta diklat ini. Hanya lembaga diklat di daerah yang nampaknya masih terus mentradisikannya sebagai additional activity yang terpisah dari program Diklat Penjenjangan. Maka, terus terang saya bertanya-tanya, apa latar belakang, tujuan, dan landasan berpikir dari penyelenggaraan ladies program di Diklatpim I ini? Sayangnya, saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari setiap orang yang saya Tanya. Salah seorang peserta yang kebetulan seorang perempuan dan berasal dari LAN juga tidak paham mengapa program ini muncul, selain “menjalankan perintah pimpinan”. Saya pribadi memiliki pendapat yang terbelah tentang ladies program. Disatu sisi, saya menolak, namun disisi lain saya dapat memberikan dukungan pula. Saya menolak atas dasar beberapa argumentasi. Pertama, program ini tidak dijelaskan sejak awal serta tidak memiliki urgensi dan framework yang jelas. Apa tujuan besar dari program ini, apa sasaran kompetensi yang dibangun, mengapa hanya dilakukan setengah hari, mengapa materi yang dipilih adalah tentang keprotokolan, mengapa desainnya berupa ceramah, dan banyak pertanyaan lainnya, terus menjadi misteri hingga akhir program. Intinya, kemanfaatan program ini dalam pandangan saya teramat kecil, untuk tidak mengatakan nol besar. Kedua, program ini memberi “beban” tambahan bagi peserta karena seluruh pembiayaan dibebankan kepada peserta. Ketika sebuah program lembaga berjalan diluar kerangka institusional, maka sulit bagi saya untuk menerimanya. Sebaliknya, saya sangat mendukung program ini dengan syarat kedua situasi yang menjadi keberatan diatas dapat diatasi. Artinya, ladies program harus dikemas sebagai bagian tidak terpisahkan dari Diklat Kepemimpinan, yang desainnya telah matang jauh hari sebelum program tersebut berjalan. Penyelenggara harus sudah memiliki analisis kebutuhan yang dapat dipertanggungjawabkan mengapa mengusulkan penyelenggaraan ladies program ini. Sebagai bagian dari Diklat Kepemimpinan, maka ladies program harus diarahkan untuk memperkokoh kapasitas kepemimpinan dari para suami peserta ladies program. Seperti kata pepatah: dibalik kesuksesan seorang suami, ada peran dan kontribusi istri yang hebat. Maka, substansi kurikulumnya pun juga didesain bukan semata-mata meningkatkan keterampilan teknis istri, melainkan lebih memperkuat peran istri sebagai pendamping suami, pengatur manajemen rumah tangga, pendidik anak, dan mitra sejajar suami. Atas

Page | 107

dasar pemikiran seperti inilah saya menilai materi keprotokolan adalah salah besar. Hal ini terutama berlaku untuk istri saya yang sehari-hari mengurus rumah dan anak, yang jauh sekali denan urusan protokoler yang penuh basa-basi, namun “terpaksa” dijejali dengan teori keprotokolan. Mengapa tidak dipilih materi lain yang lebih aplikatif seperti smart parenting, psikologi remaja dan anak-anak (untuk mencegah sejak dini perilaku menyimpang para remaja seperti tindakan bullying di sekolah, narkoba, pergaulan bebas, dan seterusnya), atau bahkan materi untuk meng-guide istri menjadi konsultan bagi suaminya sehingga lebih betah di rumah, tidak terjangkit stress karena beban kerja di kantor, dan sejenisnya. Semua materi itu – sekali lagi – merupakan prasyarat keberhasilan seorang suami. Oleh karena ladies program mrupakan bagian integral dari Diklat Kepemimpinan, maka skema pembiayaannya juga harus terintegrasi dengan anggaran Diklat Kepemimpinan tersebut. Ini berarti pula, ladies program menjadi program wajib (compulsory program) bagi istri-istri peserta Diklat Kepemimpinan. Kedudukan, peran, dan tanggungawab suami dengan istri menjadi dua komponen yang saling melengkapi dan memperkuat dalam konfigurasi bertemunya sistem domestik kekeluargaan dengan sistem publik (profesi suami). Pandangan kesisteman inilah yang saya lihat sangat lemah dalam ladies program saat ini. Dikotomi antara “urusan rumah tangga” dan “urusan kantor” sebaiknya ditiadakan. Suami harus tahu apapun yang terjadi dengan rumah tangganya, sebaliknya istripun layak tahu apa yang dilakukan suaminya di kantor lengkap dengan problematika yang muncul. Tentu saja, untuk urusan-urusan yang masuk kategori “rahasia jabatan” tidak boleh diceritakan kepada siapapun termasuk kepada istri maupun anggota keluarga yang lain. Bung Karno sendiri dalam buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams pernah mengkritik tradisi masyarakat tradisional kita yang menganggap wanita (para istri) hanya sebagai kanca wingking, yang hanya memiliki tiga tugas yakni macak, masak, dan manak (Jerman: Kleider, Küche, Kinder). Wanita seolah-olah diposisikan sebagai “pundi-pundi” yang tidak boleh dilihat orang lain dan tidak boleh ditampilkan di depan khalayak ramai. Maka, dengan meminjam pemikiran Bung Karno ini, pendidikan bagi perempuan adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, ladies program bisa dikatakan sebagai wujud tanggungjawab mencerdaskan para perempuan Indonesia, sekaligus memperkuat sinergi istri-istri dengan para suaminya.

Dari kamar B-315 Kampus Pejompongan, 16 Mei 2013