memahami hakekat perundang-undangan dan … · 2017. 6. 4. · masa yunani kuno yang telah berakhir...
TRANSCRIPT
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
1
MEMAHAMI HAKEKAT PERUNDANG-UNDANGAN DAN PEMBENTUKANNYA1
Oleh
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
(Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana)
I. Sejarah dan Perkembangan Konstitusi dan Dasar-Dasar Ilmu Perundang-Undangan
Sejarah dan Perkembangan Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perkembangan hukum dari masa ke masa. Perkembangan konstitusi dari masa
ke masa dilihat dari perspektif konstitusionalisme yakni paham tentang
pemerintahan menurut konstitusi atau konstitusional. Paham ini berkembang
dari masa ke masa, dan dipisahkan menjadi 2 kategori Paham
Konstitusionalisme Klasik (mulai pada masa Yunani Kuno, Romawi, dan abad
pertengahan) dan Paham Konstitusionalisme Modern.
Zaman Yunani Kuno, Konstitusionalisme adalah Polis (Negara Kota) yang
pemerintahannya menurut asas demokrasi langsung. Plato dan Aristoteles
beranggapan warga negara yang baik adalah patuh terhadap konstitusi dan
undang-undang. Aristoteles sampaikan Politea atau konstitusi lebih tinggi dari
undang-undang. Zaman Romawi Kuno, berdasarkan “empirium” pemahaman
terhadap “konstitusionalisme”, berkenaan dengan eksistensi konstitusi,
dipandang sebagai instrument pemerintahan, berupa: kebiasaan masyarakat,
dictat lawyers, catatan-catatan negarawan, kepercayaan dan keyakinan rakyat
berkait dengan metode atau cara penyelenggaraan kekuasaan negara. Zaman
Pertengahan, terdapat filosofi “fiudum”, pemahaman “konstitusionalisme”
1 Makalah ini disampaikan dalam Kegiatan Bimbingan Teknis (BIMTEK) Legal Drafting, yang diselenggarakan oleh Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, di Hotel Garden Palace, Surabaya, Tanggal 22-24 Maret 2016.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
2
digambarkan sebagai paham “feodalisme”, suatu bentuk pemerintahan yang
dikuasasi oleh kaum feodal atau tuan-tuan tanah.2
Konstitusionalisme Modern, intinya pemerintahan berdasarkan konstitusi,
dengan ciri utama: (i) Pembatasan kekuasaan pemerintahan, (ii) pemerintah yang
tidak sewenang-wenang dan (iii) pemerintah yang bertanggung jawab serta
akuntabel kepada rakyat.3 Istilah negara hukum dikenal dengan “rechstaat” ada
pula “rule of law”. Istilah “rechstaat” adalah konsep yang populer dalam tradisi
Eropa Kontinental, sedangkan Anglo Saxon menggunakan “rule of law”.
Pengembangan konsep “rule of law” oleh A.V Dicey, di identifikasi dalam 3 unsur,
diantaranya : (1) supremacy of law, (2) equality before the law, (3) the constitution
based on individual rights.4 Friedrich Stahl, membagi 4 unsur dari negara hukum
“rechstaat”:
1. Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia 2. Adanya pemisahan dalam kekuasaan negara 3. Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang-undang yang
telah ditetapkan terlebih dahulu 4. Adanya peradilan administrasi negara.5
Di Indonesia, menekankan supremasi konstitusi, hal ini tersirat dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945, menentukan :
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
Ketentuan ini menekankan pada Undang-Undang Dasar merupakan aturan
tertinggi yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, maka
2 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Setara Press, Malang, h. 15 3 Ibid, h.17 4 A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition,
London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187 5 Philipus M. Hadjon,. 1987, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat di Indonesia, PT Bina
Ilmu, Surabaya, h. 75
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
3
penyelenggaraan negara harus berdasarkan konstitusi, begitu juga peraturan
perundang-undangan dibawahnya.
II. Hakekat Peraturan Perundang-undangan
Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana isi Ketentuan Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat dengan UUD NRI 1945). Ketentuan tersebut secara historis diartikan
dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai Negara yang
berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Pemahaman akan konsep negara hukum itu menjadi suatu
pandangan bahwa segala tindakan dalam penyelenggaraan negara haruslah
berdasarkan hukum. Keabsahan tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas
berawal dari pungutan Pajak. Di AS dikenal dengan istilah “taxation without
representation is robbery” di Inggris dikenal dengan istilah “no taxation without
representation”.
Setelah amandemen, UUD NRI 1945 memaknai Pasal 1 ayat (3) tersebut
dengan menghubungkan pada prinsip negara hukum yang demokratis,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945. Selebihnya,
ketentuan Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945 itu menentukan:
Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-
undangan.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
4
Prinsip negara hukum yang demokratis, menekankan pada aktivitas
penyelenggaraan negara yang mendeskripsikan pada hubungan antara hukum,
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Melihat penyelenggaraan negara yang
berdasarkan prinsip tersebut, maka harus diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Dengan kata lain, pemikiran negara hukum yang didasarkan pada
Konstitusi, mengandung pemahaman akan penempatan supremasi hukum dan
jaminan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dalam peraturan perundang-
undangan. Prinsip negara hukum yang ditempatkan dalam batang tubuh UUD
NRI 1945, merupakan upaya dalam mewujudkan tujuan negara yang termaktub
dalam pembukaan UUD.
The founding fathers (pendiri bangsa) kita ini telah menetapkan tujuan
bangsa ini dan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan (preambule) tersebut dapat diamati dari beberapa frasa, diantaranya
: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Beberapa tujuan ini, menjadi ukuran yang terus
menerus diperjuangkan oleh pemerintah. Karenanya, dalam batang tubuh
tepatnya Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menentukan:
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Mengingat betapa pentingnya, eksistensi peraturan perundang-undangan
di negara ini, maka pemahaman secara komprehensif harus menjadi priotas
dalam pembentukannya. Dengan maksud, memahami hakekat peraturan
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
5
perundang-undangan baik dalam tataran filosofis, teoritis maupun dogmatik.
Pemikiran ini dipengaruhi oleh pemikiran J. Gijjels, ( membagi 3 lapisan, yakni
dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum) yang pada akhirnya
diarahkan kepada praktik hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama yakni
pembentukan hukum dan penerapan hukum.6
Filosofis
Dalam perspektif filosofis eksistensi peraturan perundang-undangan
sudah mulai ada pada jaman Yunani Kuno, melalui pikiran para filsuf seperti
Plato atau Aristoteles saat itu. Plato dalam bukunya berjudul Laws, melakukan
perubahan pemikiran terhadap apa yang telah pikirkan semula dalam karyanya
Politea. Sebelumnya ia menganggap bahwa cukup memberikan
keleluasan/kebebasan kepada seorang filsuf yang menjadi raja dalam memimpin
negara, karena raja itu telah dianggap memahami hakekat tujuan dari negara.7
Pada akhirnya, pemikiran itu beralih pada ide tidak bisa penyelenggaraan negara
dijalankan oleh raja-raja berlatar belakang filsuf untuk melaksanakan semua
kewenangan tanpa peraturan-peraturan tertulis. Kemudian, pendapat inilah
yang memunculkan pandangan bahwa keadilan itu tidak bisa hanya didapatkan
dari pikiran-pikiran melainkan harus dituangkan dalam peraturan tertulis.
Dengan dalil membatasi kekuasaan agar penguasa agar tidak sewenang-wenang
dan juga rakyat mengetahui hak-haknya.8
Plato mengatakan, hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason
thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak
6 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Cetakan ke-IV, Yogyakarta, h. 10
7 Jimmy Z. Usfunan, 2015, Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana, h. 156
8 Ibid
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
6
anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan
dari kekuatan yang memerintah (governing power).9 Uraian pemikiran Plato ini
memberikan gambaran bahwa hukum itu tidak boleh hanya sekedar kemauan
penguasa. Selebihnya, Wayne Marisson, mengungkapkan pendapat Plato yang
menjelaskan sejumlah prinsip dasar, yakni :
a. bahwa harus ada standar-standar moral absolut;
b. bahwa standar-standar moral absolut harus diejawantahkan dalam
kodifikasi hukum, betapapun tak sempurnanya kodifikasi itu;
c. bahwa bagian terbesar penduduk suatu negara, karena
ketidakmengertiannya akan filsafat, tidak dibenarkan bertindak atas
inisiatifnya sendiri mengubah baik gagasan-gagasan moral maupun
kodifikasi hukum yang mencerminkan gagasan-gagasan moral itu;
mereka harus total dan tanpa syarat tunduk pada peraturan yang
diterapkan bagi mereka oleh pembuat undang-undang (the legislator).10
Kemutlakan dari urgensi aturan tertulis adalah suatu jalan pikiran yang
didengungkan oleh Plato, saat itu. Melalui pengalamannya dari konstruksi
negara aristokrasi (negara yang dipimping oleh para filsuf/aristokrat) yang
diidamkan, sampai pada runtuhnya pemikiran ideal itu karena perilaku/sifat
manusia yang harus dibatasi.
Kemudian Aristoteles saat itu (Masa Yunani Kuno), mencetuskan 2 (dua)
prinsip keadilan, yakni keadilan commutatief (kepada yang sama penting
9 H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 18
10 Wayne Marisson dalam I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, h. 47-48
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
7
diberikan yang sama) dan keadilan distributief (kepada yang tidak sama penting
diberikan yang tidak sama).11 Pemikiran Aristoteles ini mirip dengan Plato terkait
tidak dapat dipisahkannya antara hukum dan keadilan. Namun, Aristoteles lebih
pada pembagian keadilan dari 2 perspektif itu. Dengan demikian pembentukan
aturan, harus mengakomodir prinsip keadilan tersebut.
Masa Yunani Kuno yang telah berakhir beralih pada jaman Romawi,
bersifat imperium. Pemikiran akan hukum tertulis juga telah mempengaruhi
penyelenggaraan kerajaan saat itu. Namun, kepentingan penguasa (Kaisar)
sangat mempengaruhi perumusan kebijakan dalam peraturan yang berlaku saat
itu. Hal ini terlihat pada aturan kerajaan Romawi dengan nama Lex Regia and
Corpus Iuris Civilis.12 Catatan Gede Palguna menginformasikan masa Romawi
menghasilkan beberapa pemikiran, yakni : pertama, hukum bukanlah sekedar
peraturan tertulis melainkan rule of reason dan karenanya melekat pada
pengalaman manusia, kedua, penguasa harus tunduk pada hukum, ketiga,
lahirnya bentuk permulaan kodifikasi hukum.13
Perkembangan hukum dari masa ke masa, makin berkembang setelah
masa Romawi diikuti dengan abad pertengahan, lalu masa Renaissance
(pencerahan) kemudian negara modern. Sejarah menunjukkan bahwa hukum
dalam perkembangannya mudah diintervensi oleh keinginan penguasa. Secara
filosofis, hipotesa ini bisa menjadi benar ditambah dengan adagium:
Homo Homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya)
Lord Acton: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
11 L.J. Van Apeldoorn, Tanpa Tahun, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, h. 11 serta Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, h. 23
12 Brian Z Tamanaha. 2004, On The Rule of Law (History, Politics, Theory), Cambridge University Press, New York. h. 11-12
13 I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 55
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
8
Berangkat dari pemikiran yang terurai ini, maka jaminan kepastian hukum yang
adil menjadi dambaan jaman.
Teoritis
Berangkat dari pemikiran teoritis, terdapat beberapa teori, asas, dan
konsep yang menjadi pedoman bagi pembentukan perundang-undangan.
Pentingnya pemahaman ini agar lebih memberikan jastifikasi teoritis pada
pembentukan perundang-undangan. Beberapa teori itu diantaranya, Ilmu
Perundang-undangan, Teori Perundang-Undangan, konsep negara hukum,
konsep kepastian hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Burkhardt Krems,
sebagaimana dikutip Maria Farida Indrati Soeprapto14 menyatakan:
“Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungs-wissenschaft)
merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan
sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,
yaitu:
a. teori Perundang-undangan (Geetzgebungstheorie), yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian yang bersifat kognitif.
b. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif.
Selanjutnya menurut Krems15, substansi ilmu perundang-undangan
(Gesezgebungslehre) dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren) b. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebungs-methode)
14 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta, h. 2 15 ibid
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
9
c. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik)
Hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan negara
oleh Burkhardt Krems disebut dengan ”staatsliche rechtssetzung”, itu
menyangkut:
1. isi peraturan (Inhalt der Regelung) 2. bentuk dan susunan peraturan (Form de Regeleung) 3. metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der
Regelung) 4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren de Ausarbeitung
der Regelung)16
Apabila menggunakan pemikiran Burkhardt Krems ini sebagai
pendekatan, maka perlu ditindaklanjuti mengenai perihal isi, bentuk dan
susunan peraturan, metode pembentukan peraturan, serta prosedur dan proses
pembentukan peraturan ketika mendeskripsikan mengenai ”pembentukan
peraturan perundang-undangan”. Perihal ”isi” identik dengan istilah ”materi
muatan”. Materi muatan menekankan pada isi dari ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemikiran Lon Fuller mengenai ”isi” hukum positif “positive legal content”
harus memenuhi delapan unsur, diantaranya:17
a. Harus ada aturan-aturan umum sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan;
b. Peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi otoritas harus diumumkan (dipublikasikan);
c. Hukum (peraturan) tidak boleh berlaku surut; d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti
(jelas); e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain; f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan melebihi apa
yang dapat dilakukan (tidak mungkin untuk dipenuhi); g. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah;
16 Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 300
17 Lon Fuller, 1964, The Morality of Law, Revisi Edition, Yale University, p. 47-81
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
10
h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari (pemerintah harus melaksanakan dengan teguh aturan-aturan ini).
Fuller membagi moral hukum menjadi 2 (dua) yakni : morality of duty
(moral kewajiban) dan morality of aspiration (moral aspirasi) yang menjadikannya
hukum. Moralitas aspirasi menekankan moral dalam kehidupan yang baik,
keunggulan, realisasi sepenuhnya dari kekuatan manusia. Pada moralitas
aspirasi terdapat beberapa gagasan pendekatan dalam kewajiban.18
Hans Nawiasky, membedakan norma hukum negara dalam 4 (empat)
kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara),
Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang
formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan
otonom).19
Pemikiran Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law
and State mengungkapkan bahwa Penciptaan norma ditentukan oleh norma
yang lebih tinggi serta hirarki dalam berbagai tingkatan norma.20
Dogmatika
Secara dogmatika, Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan Materi muatan yang
harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
18 ibid, p. 5-6, lihat pula JJH Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, diterjemahkan oleh
Bernard Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 259-260. 19 Hamid Attamimi, 1990, op.cit, h. 287 20 Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, h. XIV
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
11
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 236 ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menentukan :
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara dogmatika hukum, Jenis dan hirarki peraturan perundang-
undangan di Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Metode Penyusunan Peraturan
Perihal metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der
Regelung) terdapat beberapa metode sala satunya adalah ROCCIPI. Pendekatan
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
12
ROCCIPI merupakan akronim dari (Rule, Opportunity, Capacity, Comunication,
Interest, Process, Ideology). Pendekatan ini merupakan metode pemecahan
masalah dalam merancang Undang-Undang yang baik. Fungsi ROCCIPI dapat
dipahami dari perspektif normatif dan perspektif empiris. Dari perspektif
normatif ROCCIPI berfungsi sebagai berikut:
1. Jastifikasi Teoritik-konseptual
2. Jastifikasi Constitutional
3. Jastifikasi Yuridis
4. Pendekatan adalah deduktif 21.
Metode ROCCIPI dapat dipergunakan dalam penelitian normatif dan
penelitian hukum empirik. Penggunaan ROCCIPI sebagai jastifikasi teoritik
dilakukan dengan cara sebelum sebuah rancangan undang-undang atau
peraturan daerah dilakukan, perancang harus melakukan penelusuran terhadap
teori-teori, konsep-konsep maupun asas-asas hukum umum yang dipergunakan
sebagai dasar pembenaran.22 Pendekatan ROCCIPI dapat dideskripsikan sebagai
berikut :23
Rule : Dari perspektif normatif, apabila pengaturan mengenai Implementing
Agency “Lembaga Pemerintah” tidak jelas.
Opportunity: Pengaturan yang tidak jelas memberi kesempatan penyalahgunaan
wewenang “abuse of power”.
Capacity: Perilaku bermasalah dari oknum pejabat pemerintahan, karena
kemampuan (wewenang) yang terlalu luas dan birokrasi yang berbelit-belit.
21 Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana, Denpasar, h.25.
22 ibid 23 Ibid, h. 27-28
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
13
Communication : Penyalahgunaan wewenang dan berbagi penyimpangan oleh
oknum pejabat pemerintahan, dapat terjadi karena tidak ada aturan, lemahnya
koordinasi serta tugas dan kewajiban yang tidak jelas.
Interest : Kelemahan pengaturan mengenai sanksi, dsb, memungkinkan
terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Proces: Pemberian wewenang tidak jelas, berakibat pengambilan keputusan
secara sepihak (sewenang-wenang) oleh oknum pejabat pemerintahan.
Ideology: Perilaku menyimpang dari oknum pejabat pemerintahan selalu timbul,
manakala peraturan tidak jelas.
Pemahaman hakekat rule, perlu dikaitkan dengan cita hukum, teori keberlakuan
hukum atau gelding theorie (landasan filosofis, sosiologis dan yuridis).
Terdapat pula beberapa metode lain untuk menguji atau melakukan
penilaian dampak adanya peraturan baru yakni The OECD Reference Chekclist
Regulatory Decision Making, Regulatory Impact Assesment (RIA), Better Regulation
Checklist (Checklist to Assess Practibality and Enforceablity of Legislation, and
Integrated Framework for Policy Analysis and Legislation (IFPL)), dan Model
Analisis Kerangka Regulasi (Makara).24
III. Politik Hukum
Solly Lubis,25 memberikan uraian bahwa 2 (dua) bagian konstitusi yang
memiliki dasar bagi hukum kebijakan publik adalah bagian Pembukaan dan
Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar NRI 1945. Bagi Lubis, bahwa Undang-
24 Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, h. 80 25 M. Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik, CV. Mandar Maju, Bandung,
h.28
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
14
Undang Dasar NRI 1945, sebagai hukum tertinggi, tidak hanya memberikan
patokan hukum (yuridis) tetapi juga memberikan arahan kebijakan (policy).26
Disamping itu juga Undang-Undang Dasar mengandung nilai-nilai filosofis
paradigmatik dan juga mengandung nilai pesan-pesan kebijakan (Political
messages).27
Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara.28
Politik pembentukan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkutan
dengan penciptaan, pembaruan dan pengembangan hukum. Politik
pembentukan hukum seperti itu mencakup: (a) kebijaksanaan (pembentukan)
perundang-undangan; (b) kebijaksanaan (pembentukan) hukum yurisprudensi
atau putusan hakim, (c) kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis
lainnya.29
Politik mengenai isi hukum adalah kebijaksanaan agar asas dan kaidah
hukum:
a. memenuhi unsur filosofis,yuridis dan sosiologis;
b. mencerminkan kebijaksanaan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
politik dan hankam;
26 Ibid, h. 32 27 Ibid, h. 35 28 Moh Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h.1 29 Jazim Hamidi, Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah (Studi Atas
Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi Publik), Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18 Juli 2011, h. 346
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
15
c. mencerminkan tujuan dan fungsi hukum tertentu yang hendak
dicapai;
d. mencerminkan kehendak mencapai cita-cita berbangsa dan
bernegara di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.30
Mengenai prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren de
Ausarbeitung der Regelung), telah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang baik dari sudut pandang ilmu hukum harus
memenuhi persyaratan-persyaratan ideal. Persyaratan-persyaratan tersebut
seperti syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Menurut Joeniarto31, secara
substansiil isi dari suatu hukum positif harus mencerminkan nilai filosofis,
historis dan sosiologis.” Dalam kaitan ini historis lebih dilihat sebagai nilai
yuridis.
Syarat filosofis dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang
baik merupakan hal yang penting, karena syarat ini berkaitan dengan cita
hukum “rechtsidee”. Pasal 2 Undang-Undang No. 12/2011, menentukan bahwa
“Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Makna
ketentuan tersebut menempatkan Pancasila sebagai “rechtidee” demi
mewujudkan kepastian dan keadilan. Untuk itu pembentukan peraturan
perundang-undangan harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila termasuk
30 ibid 31 Joeniarto, 1980, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di
Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, cet II, hal.15.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
16
perlindungan, pemenuhan hak asasi manusia (HAM) sebagai perwujudan Sila ke-
Dua.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, memberikan
jastifikasi bahwa dalam pembentukan hukum, baik “legislasi” (UU dan Perda)
ataupun “regulasi” (peraturan kebijakan) tidak boleh bertentangan dengan nilai
Pancasila. Jika meminjam istilah Hans Kelsen yakni “Grundnorm” maka sangat
tepat jika dikatakan Pancasila sebagai norma dasar dari Negara Republik
Indonesia. Apalagi kedudukan Pancasila yang merupakan nilai filosofi bangsa
telah diturunkan dalam tataran normatif yakni pada konstitusi. Secara hirarki
kedudukan UUD NRI 1945 merupakan peraturan tertinggi sehingga menjadi
sumber bagi aturan dibawahnya. Dengan demikian Pancasila merupakan
pedoman yang wajib diaktualisasikan dalam setiap peraturan perundang-
undangan serta seluruh kebijakan negara.
Persyaratan yuridis “juridische gelding” sangat penting dalam pembuatan
Peraturan Perundang-undangan. Menurut, Bagir Manan32 hal-hal penting yang
harus diperhatikan :
Pertama, keharusan adanya pemberian wewenang dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum “van rechtwegeneitig”. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum.
Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi
32 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co. Jakarta,
hal.152.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
17
hukum. Misalnya keharusan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD.
Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Berkaitan dengan aspek sosiologis, Robert Seidman dan Ann Seidman,33
mengatakan kelemahan utama dalam suatu peraturan perundang-undangan
dewasa ini yaitu kegagalannya mengungkap dengan jelas hubungan sebab akibat
antara Undang-Undang (norma-norma hukum) dengan kenyataan sosial dan
pembangunan. Penyebab kegagalan suatu Peraturan Perundang-undangan ini
karena perancang tidak melakukan pengkajian secara mendasar tentang
substansi materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, kecuali hanya
mengedepankan bentuk formalnya saja.
Pemahaman tersebut sejalan dengan pemikiran Philippe Nonet dan Philip
Selznick dengan merumuskan teori hukum yang responsif dengan anggapan
sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat
lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak
dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan
hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali
hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita
keadilan sendiri.34
Intisari pemikiran Philippe Nonet dan Selznick ini menginginkan suatu
hukum yang bersifat ”bottom up” dengan lebih menggali hal-hal yang menjadi
33 Ann Seidman, Robert Seidman, 2002, Penyusunan RUU Dalam Perubahan Masyarakat
Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips, Jakarta hal.30. 34 Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Transition: Towards Responsive
Law, Harper & Row, New York, h. 4.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
18
tuntutan masyarakat. Pemikiran ini merupakan a contrario dari karakter hukum
yang represif, dengan sifat ”top down”, dikarenakan sifatnya tersebut maka
pembuat Undang-Undang/Perda acapkali tidak mengakomodir harapan dari
masyarakat, hal ini yang sangat berpotensi banyaknya kepentingan politik dalam
proses pembentukannya. Sehingga hal ini berdampak minimnya peran serta
masyarakat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Landasan filosofis, yuridis dan sosiologis merupakan nilai dasar tujuan
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Mengingat pentingnya
landasan tersebut, maka selalu ada dalam konsideran menimbang di setiap
peraturan perundang-undangan. Selain itu, ketiga landasan tersebut tercermin
dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Seperti yang
dimuat dalam Pasal 5 dan 6 ayat (1) UU No. 12/2011.
Pada Pasal 5, Guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang
baik, maka dalam pembentukannya harus memperhatikan asas-asas;
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,
c. Kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Dalam penjelasan Pasal ini menyebutkan, yang dimaksud dengan
"kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
19
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Sedangkan
asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Selain itu, yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan
materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan
jenis peraturan perundang-undangannya. Yang dimaksud dengan asas "dapat
dilaksanakan" adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Pengertian asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Definisi asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi,
serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Sedangkan definisi asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
20
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan: ”Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:”
a. pengayoman; b. kemanusian; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
“Asas pengayoman" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat. Definisi "asas kemanusiaan" adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Sedangkan yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap
menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
21
Pengertian "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan
"asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa materi
muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pengertian "asas keadilan" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali. Yang dimaksud dengan "asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
Sedangkan yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian
hukum" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum. Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
22
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan
negara.
Disamping landasan dan asas-asas tersebut, yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan Peraturan perundang-undangan adalah dengan penggunaan
metode kepastian hukum oleh Jimmy Z. Usfunan, dengan cara sebagai berikut35:
1. Diperlukan pembatasan interpretasi dalam pembentukan uu/perda khususnya pada tahapan perencanaan, penyusunan dan pembahasan.
2. Perancang atau drafter harus berpikir secara mendalam dengan melakukan penjelajahan terhadap fakta dalam kasus-kasus yang ada, termasuk kasus yang rumit (hard cases) sekalipun.
3. Perancang harus bisa berpikir antisipatif/memprediksi kasus-kasus yang kemungkinan terjadi kedepan, sebagai perkembangan tindakan setelah adanya aturan.
4. Diperlukan upaya mencari kelemahan-kelemahan dari aturan yang dibuatnya itu, melalui pengujian publik (peran serta masyarakat). Guna memperkaya kajian-kajian normatif maupun empirik dari aturan tersebut.
5. Menghindari ketidak jelasan aturan (norma kabur ”vague normen” atau unclear norm)
6. Menghindari konflik norma ”antinomy” dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
7. Diperlukan evaluasi/pembaharuan terhadap peraturan yang ada, dengan menyesuaikan terhadap perkembangan masyarakat (kontekstual) serta putusan pengadilan.
IV. Pembentukan Peraturan Daerah
Konstitusi telah mengatur kekusaan negara, yang kemudian dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menentukan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan undang-undang. Frasa
“dibagi atas” menunjukkan pada negara kesatuan, yang kemudian membagi-bagi
35 Jimmy Z. Usfunan, 2015, op.cit, h. 343-344
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
23
kekuasaan ke daerah dalam kerangka negara kesatuan tersebut. Oleh sebab itu
pembagian kekuasaan ini berimplikasi pada daerah diberikan hak untuk
membuat peraturan daerah sebagai dasar penyelenggaraan negara.
Pentingnya eksistensi peraturan perundang-undangan dalam konteks
negara hukum, maka diharapkan pembentukannya pun tidak dibuat “asal-
asalan”. Melainkan betul-betul melakukan pengkajian yang mendalam saat
proses pembentukan peraturan perundang-undangan dengan dimulai dari
penelitian hukum normatif dan empiris. Hal ini dimaksudkan agar peraturan
yang dihasilkan dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat sasaran.
Pembentukan Peraturan perundang-undangan secara khusus bertujuan,
mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sesuai dengan cita hukum
Indonesia yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar itu, kepastian hukum dan keadilan
itu baru bisa diwujudkan jika pembentukan peraturan perundang-undangan
ditangani dengan baik dan profesional melalui teknik perancangan yang
memadai dan pendekatan hukum normatif yang komprehensif dan cermat.
Pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah diberikan
legitimasi secara konstitusional sesuai Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan:
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Dengan demikian, esensi Peraturan Daerah adalah untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Keberadaan peraturan daerah tidak bisa
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
24
dilepaskan dari urusan wajib pemerintahan daerah. Pasal 12 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jo Undang-Undang No. 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014, menentukan bahwa :
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11ayat (2) meliputi:
a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Penentuan hirarki dalam ketentuan tersebut, merupakan implementasi
pemahaman terhadap pikiran Hans Kelsen akan “stufenbautheorie” atau teori
penjenjangan norma. Teori tersebut memaknai bahwa norma hukum yang
tingkatannya lebih rendah baru memiliki daya mengikat apabila bersumber dan
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
25
berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi.36 Terdapat 2 sumber hukum dari
undang-undang dalam pembentukan peraturan daerah, Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menentukan :
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 14 ini menunjukkan bahwa peraturan daerah tidak hanya dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan saja, melainkan juga
menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan lebih tinggi.
V. NASKAH AKADEMIK
Pemakaian istilah Naskah Akademik peraturan perundang-undangan
secara baku digulirkan tahun 1994 melalui Keputusan Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) No. G.159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan, dalam
keputusan ini disebutkan, bahwa naskah akademik peraturan perundang-
undangan adalah naskah awal yang memuat pengaturan materi-materi
36 Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, University of California Pres Berkeley, Los
Angeles, London, p. 138
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
26
perundang-undangan bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistemik,
holistik dan futuristik.”
Sebelumnya berbagai istilah mengenai naskah akademik Undang-
Undang/peraturan perundang-undangan ini bermunculan, seperti istilah naskah
rancangan undang-undang, naskah ilmiah rancangan undang-undang,
rancangan ilmiah peraturan perundang-undangan, naskah akademis rancangan
undang-undang, academic draft penyusunan peraturan perundang-undangan.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
Rancangan Peraturan Presiden, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan :
”Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.” Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang menyebutkan istilah Naskah
Akademik disebut dengan Rancangan Akademik. Dalam Pasal 3 ayat (1)
menentukan :
”Menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undang-undang yang akan disusun.”
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, secara eksplisit tidak mengatur mengenai Naskah
Akademik sebelum penyusunan suatu peraturan perundang-undangan.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
27
Setelah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 diganti dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, maka Naskah Akademik menjadi suatu kewajiban. Dalam
perancangan produk legislasi daerah, landasan demikian itu dipersyaratkan
dalam bentuk persyaratan pengadaan naskah akademik, yaitu suatu naskah
hasil penelitian atau pengkajian hukum yang diselenggarakan dalam rangka
perancangan untuk produk legislasi.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat. Frasa yang bergaris bawah ini menunjukkan bahwa Naskah
Akademik memuat masalah-masalah beserta kajiannya sebagai bentuk solusi
yang akan diatur dalam rancangan peraturan perundang-undangan.
Pengertian demikian itu melahirkan konsep tentang naskah akademik. Naskah
akademik merupakan:
a. naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum;
b. penelitian terhadap masalah tertentu dan solusinya;
c. hasil penelitian dan pengkonstruksian masalah dan pemecahannya
merupakan bahan untuk mengkonstruksikan norma hukum untuk
mengatur pemecahan masalah tersebut; dan
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
28
d. naskah hasil penelitian demikian itu harus dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Lampiran Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menentukan sistematika Naskah
Akademik sebagai berikut :
JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BAB VI PENUTUP
BAB VI PENUTUP
Lampiran I angka 2.1 UU No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa bagian
Pendahuluan suatu naskah akademik memuat: latar belakang, sasaran yang
akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode
penelitian. Berdasarkan ketentuan tersebut, bagian Pendahuluan dari naskah ini
secara berturut-turut menyajikan:
a. latar belakang masalah dan sasaran yang akan diwujudkan; b. identifikasi masalah; c. tujuan dan kegunaan penelitian; serta d. metode penelitian.
Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa latar
belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan naskah
akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan perundang-
undangan tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
29
Peraturan perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam dan
komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan
materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk.
Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan.
Lampiran I Nomor 2 Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011,
menguraikan Bab II Naskah Akademik memuat uraian mengenai materi yang
bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian dalam Lampiran juga dijelaskan pada Bab III Naskah Akademik
memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait yang
memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan
Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara
vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang
ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku
karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang
baru.
Pada Bab IV Naskah Akademik, sebagaimana diatur dalam Lampiran UU
No. 12 Tahun 2011, menentukan :
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
30
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Mengenai Bab V Naskah Akademik, Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 juga
menerangkan bahwa, Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan
dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada
dasarnya mencakup:
a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa;
b. materi yang akan diatur;
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
31
c. ketentuan sanksi; dan
d. ketentuan peralihan.
Kemudian Bab Penutup yakni Bab VI, diuraikan dalam Lampiran UU No. 12
Tahun 2011, bahwa Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.
A. Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik
penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya.
B. Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-
undangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
32
DAFTAR BACAAN
A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth
edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan
Company.
Ann Seidman, Robert Seidman, 2002, Penyusunan RUU Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis, Penyunting, Yohanes Usfunan cs., Elips,
Jakarta.
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundangan Di Indonesia, Indo Hill, Co.
Jakarta.
Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.
Brian Z Tamanaha. 2004, On The Rule of Law (History, Politics, Theory),
Cambridge University Press, New York.
H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan
Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V,
Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287
Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, h.
XIV
Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, University of California Pres
Berkeley, Los Angeles, London.
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint)
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, Sinar Grafika.
Jazim Hamidi, Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah
(Studi Atas Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi
Publik), Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18 Juli 2011.
Jimmy Z. Usfunan, 2015, Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, Disertasi, PPS Universitas Udayana.
Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH
33
JJH Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, diterjemahkan oleh Bernard Arief
Sidharta, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Joeniarto, 1980, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara
Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, cet II.
L.J. Van Apeldoorn, Tanpa Tahun, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha,
Lon Fuller, 1964, The Morality of Law, Revisi Edition, Yale University
M. Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik, CV. Mandar Maju,
Bandung
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit
Kanisius, Jogjakarta.
Moh Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Transition: Towards
Responsive Law, Harper & Row, New York.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, Cetakan ke-IV, Yogyakarta
Philipus M. Hadjon,. 1987, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat di Indonesia,
PT Bina Ilmu, Surabaya
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, Orasi
Ilmiah, Universitas Udayana, Denpasar.
Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar NRI 1945 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah