mekanisme pengendalian dlm perencanaan generasi ketiga

21
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013 [email protected] [email protected] Mekanisme Pengendalian dalam Perencanaan Generasi Ketiga. Studi Kasus: Pengendalian dalam Mewujudkan Kota Hijau DR. Ir. Agus Dwi Wicaksono, lic.rer.reg. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya Malang, email:[email protected] dan [email protected] 1. Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peristiwa-peristiwa penting yang membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan sosial politik dan ekonomi. Perubahan yang terjadi antara lain dalam bidang sosial politik (dari Sentralitas Kekuasaan menjadi Desentralisai, dari Otoriter menjadi Demokratis), dalam bidang ekonomi (dari Pengelolaan Keuangan Terpusat menjadi pengelolaan secara lokal-regional, dari pasar lokal menjadi pasar global), dalam bidang institusi (terjadinya Globalisasi) serta bidang fisik (terjadinya Domestikasi). Perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak terhadap bidang perencanaan. Tuntutan akan perencanaan yang berkualitas menjadi suatu kebutuhan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. Bukan merupakan rahasia lagi bahwa rencana yang ada di Indonesia saat ini masih banyak yang berfungsi sebagai ‘macan kertas’. Secara konsepsual dan visual menarik dan indah, namun sedikit sekali pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari atau dapat dikatakan sangat lemah dalam pelaksanaannya. Bahkan secara nyata banyak sekali dijumpai produk-produk rencana yang hanya menghias lemari instansi-instansi pemerintah. Pemanfaatan dan pengendalian rencana menjadi salah satu ttitik kritis dalam keseluruhan siklus perencanaan Dengan tantangan kondisi ke depan yang berkembang cepat dan kompleks serta juga tuntutan yang semakin besar terhadap peran perencanaan, maka dituntut agar perencanaan harus semakin berkualitas. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas perencanaan, disamping juga faktor dinamis dari perencanaan yang selalu mengikuti paradigma yang ada. Namun apapun paradigmanya, tetaplah muara dari semua paradigma adalah sintagma perencanaan, sebagai suatu proses hakiki perencanaan. Model perencanaan yang saat ini masih banyak digunakan dalam dunia praksis maupun akademis di sekolah-sekolah perencanaan di Indonesia adalah model perencanaan rasional komprehensif yang mulai dikenalkan sekitar tahun 1940an. Telah banyak kritik terkait dengan model perencanaan rasional komprehensif. Sebagai model perencanaan generasi pertama, perencanaan rasional komprehensif dianggap terlalu ideal, tidak fokus serta proses perencanaannya menuntut sumberdaya besar. Kritik terhadap model perencanaan generasi pertama tersebut memunculkan antitesa yang menghasilkan perencanaan generasi kedua. Sejak tahun 1960an telah banyak model yang mencoba menyempurnakan dan bahkan merombak model perencanaan rasional komprehensif, seperti model perencanaan advokasi, perencanaan inkremental, perencanaan jangka menengah, perencanaan strategis, perencanaan radikal dlsb. Namun aplikasinya secara praksis masih belum banyak digunakan, terutama pada perencanaan spasial atau tata ruang. Salah satu tahap proses perencanaan rasional komprehensif yang sering menjadi menjadi titik kritis adalah pemanfaatan dan pengendalian rencana, yang merupakan phase transisi antara rencana yang berada pada aras konsepsual menjadi tindakan untuk mewujudkan rencana yang berada pada aras operasional. Atas dasar tersebut tulisan ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : (i) Bagaimanakah perubahan paradigma dan sekaligus perkembangan model perencanaan pada era transisi saat ini?, (ii) Bagaimanakah meningkatkan kualitas pengendalian perencanaan pada model perencanaan generasi terakhir umtuk mewwujudkan kota berkelanjutan?

Upload: agus-dwi-wicaksono

Post on 13-Sep-2015

106 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

Perkembangan Model Perencanaan mulai dari generasi pertama sampai tiga; Mekanisne Pengendalian pada Generasi ketiga; Tipologo Kota Berkelanjutan; Mekanisme Pengtendalian dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan

TRANSCRIPT

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Mekanisme Pengendalian dalam Perencanaan Generasi Ketiga. Studi Kasus: Pengendalian dalam Mewujudkan Kota Hijau

    DR. Ir. Agus Dwi Wicaksono, lic.rer.reg.

    Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya Malang, email:[email protected] dan [email protected]

    1. Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peristiwa-peristiwa penting yang

    membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan sosial politik dan ekonomi. Perubahan yang terjadi antara lain dalam bidang sosial politik (dari Sentralitas Kekuasaan menjadi Desentralisai, dari Otoriter menjadi Demokratis), dalam bidang ekonomi (dari Pengelolaan Keuangan Terpusat menjadi pengelolaan secara lokal-regional, dari pasar lokal menjadi pasar global), dalam bidang institusi (terjadinya Globalisasi) serta bidang fisik (terjadinya Domestikasi).

    Perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak terhadap bidang perencanaan. Tuntutan akan perencanaan yang berkualitas menjadi suatu kebutuhan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. Bukan merupakan rahasia lagi bahwa rencana yang ada di Indonesia saat ini masih banyak yang berfungsi sebagai macan kertas. Secara konsepsual dan visual menarik dan indah, namun sedikit sekali pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari atau dapat dikatakan sangat lemah dalam pelaksanaannya. Bahkan secara nyata banyak sekali dijumpai produk-produk rencana yang hanya menghias lemari instansi-instansi pemerintah. Pemanfaatan dan pengendalian rencana menjadi salah satu ttitik kritis dalam keseluruhan siklus perencanaan

    Dengan tantangan kondisi ke depan yang berkembang cepat dan kompleks serta juga tuntutan yang semakin besar terhadap peran perencanaan, maka dituntut agar perencanaan harus semakin berkualitas. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas perencanaan, disamping juga faktor dinamis dari perencanaan yang selalu mengikuti paradigma yang ada. Namun apapun paradigmanya, tetaplah muara dari semua paradigma adalah sintagma perencanaan, sebagai suatu proses hakiki perencanaan. Model perencanaan yang saat ini masih banyak digunakan dalam dunia praksis maupun akademis di sekolah-sekolah perencanaan di Indonesia adalah model perencanaan rasional komprehensif yang mulai dikenalkan sekitar tahun 1940an. Telah banyak kritik terkait dengan model perencanaan rasional komprehensif. Sebagai model perencanaan generasi pertama, perencanaan rasional komprehensif dianggap terlalu ideal, tidak fokus serta proses perencanaannya menuntut sumberdaya besar. Kritik terhadap model perencanaan generasi pertama tersebut memunculkan antitesa yang menghasilkan perencanaan generasi kedua. Sejak tahun 1960an telah banyak model yang mencoba menyempurnakan dan bahkan merombak model perencanaan rasional komprehensif, seperti model perencanaan advokasi, perencanaan inkremental, perencanaan jangka menengah, perencanaan strategis, perencanaan radikal dlsb. Namun aplikasinya secara praksis masih belum banyak digunakan, terutama pada perencanaan spasial atau tata ruang.

    Salah satu tahap proses perencanaan rasional komprehensif yang sering menjadi menjadi titik kritis adalah pemanfaatan dan pengendalian rencana, yang merupakan phase transisi antara rencana yang berada pada aras konsepsual menjadi tindakan untuk mewujudkan rencana yang berada pada aras operasional. Atas dasar tersebut tulisan ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : (i) Bagaimanakah perubahan paradigma dan sekaligus perkembangan model perencanaan pada era transisi saat ini?, (ii) Bagaimanakah meningkatkan kualitas pengendalian perencanaan pada model perencanaan generasi terakhir umtuk mewwujudkan kota berkelanjutan?

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    2. Perkembangan Model Perencanaan

    2.1. Perencanaan Generasi Pertama Karakteristik "generasi pertama" perencanaan, yang banyak dipelajari pada sekolah

    perencanaan dan juga dipraktekan sampai tahun 1970an, memiliki ciri khas sebagai suatu proses rasional yang menganalogikan sebagai proses ilmiah dalam riset. Ciri lain yang dapat diidentifikasikan adalah keinginan untuk mempertimbangkan semua aspek dalam setiap pengambilan keputusan. Secara umum proses perencanaan rasional komprehensif dipartisi menjadi delapan tahap sebagai berikut:

    memahami masalah mengumpulkan informasi menganalisis informasi menyusun solusi menilai solusi mengimplementasikan solusi menguji solusi memodifikasi solusi, jika diperlukan.

    Walaupun berbagai penulis dan perencana memilah tahap perencanaan generasi pertama dengan lebih rinci atau juga ada yang lebih makro, ataupun dengan istilah yang berbeda, namun secara implisit perencanaan generasi pertama didasarkan asumsi dan prinsip yang sama, sebagai berikut:

    Perumusan masalah dan solusinya merupakan dua tahapan yang diskrit dan independen satu sama lain.

    Pendekatan perencanaan harus bersifat rasional dan objektif. Prosesnya tidak hanya didukung oleh satu disiplin ilmu saja, tetapi melibatkan banyak disiplin (multidisiplin).

    Solusi dalam perencanaan bersifat optimal, yang memiliki makna bahwa semua aspek yang relevan dimaksimalkan untuk mendapatkan nilai tunggal Asumsi dan sudut pandang inilah yang menjadi dasar bagi model perencanaan rasional.

    Sebagian besar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh perencana didasarkan atas pertimbangan utama rasionalitas, yaitu mengembangkan alternatif solusi dan memilih solusi atau alternatif dengan kriteria yang rasional.

    Seperti yang telah banyak diungkapkan, asumsi dan prinsip yang ideal di atas ternyata dalam prakteknya menjadi tidak realistik dan juga tidak aplikatif. (Schnwandt, 2008).

    2.2. Perencanaan Generasi Kedua Karakteristik perencanaan generasi kedua sangat kontras dengan perencanaan generasi

    sebelumnya, yang telah diuraikan di atas. Jika proses perencanaan generasi pertama didominasi oleh tame problem atau 'masalah jinak' atau masalah yang sederhana, maka perencanaan generasi kedua berkaitan dengan masalah yang kompleks (wicked problem).. 'Masalah jinak' dianalogikan sebagai masalah yang terdapat dalam permainan catur atau penyelesaian soal matematika. Setiap masalah dalam permainan catur atau penyelesaian persamaan matematika, dapat dibayangkan memiliki satu solusi yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan masalah yang ada. Selanjutnya, jika suatu masalah telah dapat dipecahkan, maka solusi yang digunakan dapat menjadi acuan atau bahkan menjadi aturan bagi yang menghadapi masalah sejenis.

    Hal tersebut berbeda dengan karakteristik masalah kompleks (wicked problem) yang terdapat pada perencanaan generasi kedua. Penulis lain (Simon,1973 dalam Schnwandt, 2008) memberikan istilah 'ill-defined problem' atau 'ill-structured problem' pada masalah generasi kedua. Karakteristik 'masalah kompleks' dicirikan sebagai berikut: a. Setiap masalah kompleks pada dasarnya bersifat unik.

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    b. Tidak terdapat suatu batasan yang baku dalam masalah kompleks. Setiap deskripsi tentang masalah hanya bersifat sementara dan dianggap sebagai suatu gejala (simptom) dari masalah yang lain.

    c. Deskripsi terhadap masalah kompleks dapat dipandang dari berbagai macam sudut pandang. Pilihan sudut pandang ini akan menentukan metode pemecahan masalahnya.

    d. Solusi potensial untuk 'masalah kompleks', selain tidak dapat ditentukan jumlah tepatnya, juga tidak memiliki tolok ukur kuantitatif yang dapat digunakan dalam proses perencanaan.

    e. Tolok ukur keberhasilan solusi yang digunakan tidak menggunakan nilai 'benar atau salah' namun lebih baik atau lebih jelek.

    f. Seorang perencana tidak dapat melakukan kegaiatan eksperimen, seperti yang dilakukan oleh ilmuwan di laboratorium, sehingga diharapkan tidak melakukan kesalahan yang fatal dalam proses perencanaan.

    g. Setiap implementasi solusi masalah merupakan suatu proses final dan linear yang tidak memungkinkan adanya 'trial and error'

    h. Dengan pertimbangan bahwa deskripsi dan pemahaman masalah bersifat temporer, maka tidak terdapat aturan baku terkait dengan pemecahan masalah.

    Tidak diragukan lagi, bahwa perencanaan generasi kedua dari Rittel (1972, 1973) membawa dampak yang mendasar terhadap teori perencanaan. Perubahan yang paling penting adalah kenyataan bahwa setiap perencanaan harus didukung oleh dasar filosofis yang kuat. Manifestasinya adalah bahwa setiap pengetahuan tidak sepenuhnya handal dan selalu didasarkan asumsi metafisik dan sangat tergantung dari paradigma tertentu. Sehingga konsep-konsep seperti obyektif untuk mendeskripsikan masalah, atau optimal untuk menentukan solusi pemecahan masalah, tidak dapat lagi digunakan dalam proses perencanaan karena memang justru konsep tersebut yang banyak dikritik oleh perencanaan generasi kedua. Rittel lebih mengusulkan penggunaan nilai-nilai aksiologis dan etika bagi proses perencanaan. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu kelemahan perencanaan generasi kedua, karena model perencanaan generasi kedua banyak mengesampingkan bahkan menghilangkan tujuan-tujuan perencanaan itu sendiri. Sebagai contoh, dengan asumsi bahwa setiap masalah dalam perencanaan generasi kedua ini bersifat unik (wicked problem), maka dengan sendirinya tidak ada sesuatu yang dapat ditransfer atau dianalogikan untuk kasus perencanaan. Akibatnya pula tidak akan dikenal sistematisasi dalam perencanaan, seperti survey yang sistematis, analisis yang sistematis atau pengambilan keputusan yang sistematis.

    2.3. Perencanaan Generasi Ketiga Pada bagian ini akan diuraikan model perencanaan yang lebih maju lagi, yaitu perencanaan

    generasi ketiga. Dasar dari perencanaan generasi ketiga ini adalah teori sistem, yang dikembangkan oleh Heidemann (1992). Dengan maksud, supaya substansi 'perencanaan' yang sangat kompleks dapat distrukturkan, maka harus dibahas kembali teori sistem yang menjadi dasar bagi model perencanaan.

    Pada saat ini, pemahaman terhadap sistem mengalami penyederhanaan makna. Sebagai contoh beberapa tulisan (Jantsch 1992, Siegwart 1996, atau Luhmann 1996), mendefinisikan sistem sebagai suatu jaringan antar komponen dan keterkaitannya secara bersama-sama membentuk suatu kesatuan. Atau sistem dimaknai sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari kumpulan elemen, yang saling berkaitan. Ditambahkan beberapa contoh sistem antara lain atom yang merupakan sistem dari partikel dasar; sel hidup sebagai sistem dari keterhubungan organik atau reaksi enzim; masyarakat sebagai suatu sistem dari beragam individu manusia yang memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Definisi di atas sering disebut sebagai model hubungan elemen dari sistem. Namun demikian model sistem tersebut tidak lepas dari berbagai ktitik. diantaramya terlalu memfokuskan pada proses internal (inner workings), yaitu pada elemen dan keterkaitannya dengan elemen yang lain serta terhadap keseluruhannya, tanpa mempertimbangkan hubungan dengan lingkungannya.

    Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa teori sistem bukan hanya mengisolasi hubungan antar inti atau elemen saja, namun juga hubungannya dengan limgkungan. Pertimbangan

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    tersebut secara struktural menempatkan elemen suatu sistem yang selalu berkaitan dengan dengan lingkungannya. Paradigma baru teori sistem, yang sering disebut sebagai paradigma sistem-lingkungan, memandang sistem sebagai bentukan dari sistem-inti yang menyatu dalam suatu lingkungan yang lebih besar atau luas.

    Dalam teori perencanaan, paradigma baru tersebut memunculkan tesa there is no planning per se, atau tidak ada perencanaan yang berdiri sendiri atau mandiri. Perencanaan selalu diinisiasi oleh manusia yang memilki karakter biologis dan perilaku yang spesifik, yang selalu berinteraksi dengan organisasi atau bekerjasama dalam proyek, yang hidup dan beraktivitas dalam lingkungan sosial dan budaya, dan yang memilik kemampuan, ketrampilan serta keterbatasan tetentu (yang didefinisikan sebagai hambatan). Sebagai contoh, manusia memiliki hambatan bahwa persepsi manusia terhadap terhadap dunia (lingkungan) akan selalu selektif, secara makna tidak komplit, dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan kognitif yang terbatas. Kemampuan kognitif yang terbatas juga dicontohkan bahwa manusia tidak memilki kekuatan untuk merubah semua yang kita inginkan (sesuai tujuan rencana).

    Suatu model perencanaan seharusnya mempertimbangkan semua hambatan dan kualifikasi di atas. Pencarian model tersebut terjawab oleh pendekatan teori yang pertama kali diungkapkan oleh seorang ahli biologi Jacob von Uexkuell (Heidemann, 1992). Pendekatan teori von Uexkuell menegaskan teori sistem-inti/komponen serta secara eksplisit menggarisbawahi bukan hanya keterbatasan kemampuan persepsional manusia terhadap lingkungan sekitar, namun juga keterbatasan kapasitas kognitif manusia serta keterbatasan kemampuan manusia untuk melakukan tindakan. Menurut Uexkuell, setiap organisme dan termasuk juga manusia, hanya mampu menyerap sebagian dari stimuli yang diproduksi oleh lingkungan sekutar (external world), serta meresponnya dengan cara yang spesifik. Respon tersebut berpengaruh secara spesifik pula terhadap lingkungan eksternal dan kembali memberikan stimuli terhadap organisme. Siklus tertutup tersebut oleh Uexkuell disebut sebagai siklus fungsional.

    Environments

    AgentsCognitive World

    Effectual WorldSensory World

    Setting

    Sensory Apparatus

    Cognitive Apparatus

    EffectualApparatus

    Situation

    Gambar 1. Siklus Fungsional (Heidemann, 1992 diadaptasi dari Uexkll)

    Siklus fungsional dapat diartikulasikan sebagai berikut (lihat gambar 1 di atas): Stimuli eksternal yang mempengaruhi setiap organisme akan ditangkap/ dipersepsikan oleh Agents dengan bantuan Sensory Apparatus yang berada dalam Sensory World. Pada manusia Sensory Appartus ini dikenal sebagai organ pancaindera yang memiliki keterbatasan dalam menangkap semua stimuli yang berasal dari lingkungannya. Jika stimuli yang berasal dari lingkungan tidak dapat dideteksi oleh pancaindera, maka stimuli tersebut selanjutnya juga tidak dapat diinterpretasikan. Cognitive Apparatus suatu organisme yang berada di Cognitive World, merupakan perangkat atau organ yang

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    memiliki kemampuan sekaligus keterbatasan untuk mempengaruhi tindakan yang diinginkan. Pengaruh suatu organisme terhadap lingkungannya akan menggunakan Effectual Apparatus dalam Effectual World yang juga terbatas sesuai kemampuan dan jangkaun Effectual World sertiap organisme.

    3. Model Perencanaan Generasi Ketiga Model Uexkuell di atas memberikan pemahaman berbagai kemungkinan akan peran seorang

    perencana, yang berpersepsi, berpikir dan bertindak (dan yang berproses dalam organisasi), yang memikliki latar belakang tingkat pengetahuan, dan yang hidup dalam lingkungan (yang juga akan membatasi perangkat tindakan yang dimiliki seorang perencana).

    Ide dasar dari model perencanaan generasi ketiga dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut (lihat gambar 2)

    Life World

    Planning World

    Pemahaman thdSITUASI

    OUTCOME SETTING INTERVENSI

    Komunikasitentang

    PERILAKU

    PenyusunanINSTRUKSI

    Gambar 2. Skema Dasar Perencanaan (diadaptasi dari Heidemann, 1992)

    Sensory World dalam skema dasar perencanaan diartikan sebagai Pemahaman terhadap Situasi. Hal ini merujuk pada kemampuan dan kapasitas perencana untuk mempersepsikan dan menginterpretasikan lingkungannya. Tahap pemahaman terhadap situasi merupakan phase transisi antara Life World dengan Planning World.

    Selanjutnya cognitive world dalam modelnya Uexkll diterjemahkan sebagai penyusunan/ perumusan instruksi, dimana perencana dengan kapasitas dan kemampuannya merumuskan langkah-langkah untuk menentukan atau mengendalikan tindakan yang sesuai. Instruksi (dalam bentuk rencana, deskripsi atau arahan) merupakan langkah-langkah bagi pihak ketiga untuk melakukan tindakan tertentu (seperti misalnya: membangunan fasilitas umum, membangun jalan, membangun rumah atau merevitalisasi kawasan).

    Pada adaptasi model Uexkll untuk model dasar perencanaan, konsep effectual world diterjemahkan ke dalam dua bagian yaitu komunikasi tentang perilaku dan intervensi. Hal ini disebabkan karena proses perencanaan berhadapan dengan kondisi yang kompleks. Dalam istilah yang lebih konkret: perencanaan harus dipahami sebagai aktivitas pada domain publik, yang tidak dapat mengimplementasi semua instruksi secara langsung dan cepat. Seringkali diperlukan pula modifikasi terhadap instruksi yang telah disusun pada planning world .Bagian kedua yang merupakan terjemahan dari effectual world adalah intervensi, karena muara dari perencanaan adalah perubahan dalam dunia nyata. Seperti halnya pada effectual world, maka setting juga

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    diterjemahkan menjadi dua bagian. Hal ini dilakukan untuk membedakan antara situasi sebelum dan sesudah Intervensi dari perencana.

    Selanjutnya untuk memperjelas model dasar perencanaan, dikembangkan pula model perencanaan disertai dengan beberapa kata kunci seperti diartikulasikan pada gambar 3 berikut.

    Life WorldArenaAgenda

    Planning WorldPendekatanInstitusi

    Pemahaman thdSITUASI Eksplorasi Interpretasi

    OUTCOME Preservasi Modifikasi

    SETTING Spasial Sosial Ekonomi Lingkungan Politik-Adm.

    INTERVENSI Pengaturan Lokasi Pembangunan &

    Pemelilhraan Fas Mempengaruhi

    Perilaku

    Komunikasi ttgPERILAKU Komunikasi Persetujuan

    PenyusunanINSTRUKSI Merumuskan

    Solusi Menilai Solusi

    Gambar 3. Skema Perencanaan dengan Kata Kunci (diadaptasi dari Heidemann,

    1992) Secara selintas saja dapat disimpulkan bahwa dalam perencanaan minimal terdapat dua (2)

    titik kritis yang rentan terhadap kesalahan yang dapat berakibat terhadap penurunan kualitas rencana maupun perencanaan. Titik kritis Pertama berada pada tahap Pemahaman terhadap Situasi, dimana terjadi transformasi informasi dari level Faktual (Life World) ke level Konsepsual (Planning world). Tahap ini, secara sederhana dikenal sebagai tahap survey untuk memahami wilayah perencanaan. Sedangkan titik dimana terjadi tranformasi informasi dalam bentuk rencana pada level Konsepsual ke level Faktual, merupakan titik kritis Kedua, yang dikenal sebagai tahapan Komunikasi tentang Perilaku dan Intervensi. Sebetulnya masih terdapat beberapa titik kritis lain selain kedua titik transisi dan juga tahap analisis, namun pada kedua titik kritis transisi kemungkian bias informasi akan lebih besar dibandingkan pada titik yang lain.

    Planning by Spidol atau Perencanaan dari atas Meja mungkin merupakan ungkapan sinis terhadap proses perencanaan yang sering kita lakukan bersama. Namun ungkapan tersebut dapat menggambarkan secara nyata, bagaimana suatu proses perencanaan di Indonesia berlangsung. Pelajaran yang dapat kita tarik dari kritik tersebut di atas adalah perencanaan lebih banyak hanya dilakukan dari atas meja tanpa pemahaman yang mendalam terhadap wilayah perencanaan. Hal inilah yang akhirnya yang memunculkan antitesa terhadap proses perencanaan yang konvensional dengan mengetengahkan pendekatan perencanaan partisipatif, fenomenologis ataupun induktif planning. Hakekat dari antitesa tersebut sebetulnya adalah masyarakat yang berada dalam wilayah perencanaan sendirilah yang paham betul mengenai kondisi wilayahnya sehingga dapat menentukan ke arah mana wilayah atau bahkan kehidupannya akan dibawa.

    Pemahaman akan wilayah perencanaan memang merupakan titik kritis pertama. Berdasarkan dari pengalaman yang ada terdapat beberapa kemungkinan-kemungkinan yang mengakibatkan bias informasi antara manisfestasi faktual dengan artikulasi konsepsual sehingga menyebabkan kualitas data atau informasi dan akhirnya juga kualitas rencana menjadi rendah. Kejadian yang berada pada level Faktual dapat ditransformasikan menjadi Data sebagai suatu deskripsi kuantitatif/kualitatif pada level Konsepsual, apabila kejadian tersebut secara impresif meninggalkan Jejak (traces).

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Berdasarkan karakteristiknya Jejak dapat bersifat permanen, yang pada umumnya berbentuk memori, ataupun bersifat non permanen, berbentuk persepsi yang dicerap oleh indera. Representasi kondisi faktual atau transformasi dari Kejadian Jejak Data akan melibatkan tiga tahapan aktivitas yaitu : Scanning Recording Measurement. Kualitas transformasi yang mengalir akan sangat tergantung dari kualitas penerapan tiga tahapan di atas atau observasi (Heidemann, 1990).

    Tahap Scanning meliputi pula siklus interpretasi, sehingga dikenal pula sebagai siklus eksplorasi-interpretasi. Mekanisme interpretasi merupakan merupakan proses kebalikan dari KejadianJejakData menjadi DataJejakKejadian sebagai representasi kejadian pada level Faktual. Proses interpretasi melibatkan tiga tahapan aktivitas yaitu : Decoding Assignment Ascription. Kualitas yang baik dari mekanisme ini (pemahaman) akan menjadi dasar pijakan bagi interpretasi kejadian-kejadian pada level Faktual dengan dukungan kognitif teoritis.

    Secara emperical science, mekanisme eksplorasi dan interpretasi merupakan suatu mekanisme bersifat siklus yang akan selalu terkait dan interdependen. Perbaikan siklus Scanning (Eksplorasi dan Interpretasi), diantaranya dicapai melalui:

    Perbaikan prosedur dan peningkatan pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memindai kejadian, merekam jejak dan mengukur data. Pemanfaatan citra satelit, foto udara, teknologi digital, kamera. Tujuan dari pemanfaatan kemajuan teknologi diharapkan akan dapat memindai kejadian secara lebih teliti, lebih luas, lebih jauh, lebih dalam; merekam data secara lebih cepat, lebih fleksibel, lebih mudah; serta mengukur data secara lebih teliti dan cepat.

    Mendukung terciptanya situasi yang kondusif bagi kejernihan transformasi memori dan persepsi kedalam bentuk data. Prakondisi ini diperlukan terutama untuk transformasi kejadian yang berkaitan dengan proses sosial individu maupun masyarakat.

    Pengkayaan dan peragaman kognitif teoritis serta konsep-konsep spesifik yang digali dari kearifan setempat terutama untuk mendukung mekanisme interpretasi

    PENJELASANPENJELASAN

    REPRESENTASIREPRESENTASIOBSERVASIOBSERVASI

    REFL

    EKSI

    REFL

    EKSI

    KEJADIANKEJADIAN

    AskripsiAskripsi

    ScanningScanning

    JEJAKJEJAK

    PerekamanPerekaman

    PenilaianPenilaian

    DATADATA

    PengukuranPengukuran

    DecodingDecoding

    INTERPRETASIINTERPRETASI

    EKSPLORASIEKSPLORASI Gambar 4. Siklus Eksplorasi Interpretasi (diadaptasi dari Heidemann, 1992)

    Jika titik kritis pertama berada pada titik transisi transformasi dari level Faktual ke level Konsepsual, titik kritis yang kedua berada pada titik transisi dari level Konsepsual ke level Faktual. Proses yang terjadi adalah transformasi dari Rencana yang berbentuk arahan atau pedoman yang berada pada level Konsepsual ditransformasikan menjadi Kejadian atau Aktivitas pada level Konsepsual. Mekanisme ini meliputi 3 (tiga) simpul yaitu: TUJUAN-INTERVENSI-OUTCOME dengan siklus pengembangan dan pengujian, yang dikenal sebagai siklus Pengendalian. Siklus dasar pengendalian terdari dari gabungan 2 siklus yaitu siklus Monitoring-Rekomendasi-Evaluasi-Tujuan yang berada pada aras Planning World serta siklus Monitoring-Rekemendasi-Intervensi-Fakta yang berada pada aras Life World (lihat gambar

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    MONITORINGFAKTA TUJUAN

    INTERVENSI REKOMENDASI EVALUASI

    Life World Planning World

    Gambar 5. Siklus Dasar Pengendalian (diadaptasi dari Heidemann, 1992)

    4. Kota Hijau (Eco City) dalam Konteks Kota yang Berkelanjutan Sejak sustainable develoment mulai dicetuskan sebagai paradigma baru pembangunan pada

    tahun 1970an, sustainability menjadi terminologi ajaib yang muncul secara luas dalam dokumen-dokumen perencanaan tingkat lokal, regional, nasional dan bahkan global. Sejak saat itu pula, konsep keberlanjutan menjadi salah satu tema yang sering diperdebatkan dan digunakan sebagai konsep dalam ilmu wilayah dan kota serta transportasi.

    Berkelanjutan menjadi konsep yang paling sering digunakan dalam perencanaan kota di Indonesia maupun di seluruh dunia. Pergeserean paradigma yang terjadi dalam bidang perencanaan wilayah dan kota serta urban design telah memunculkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih holistik, inklusif untuk memenuhi kriteria berkelanjutan.

    Riddell tahun 2004 mengartikulasikan hubungan antara berkelanjutan dan perencanaan kota ini melalui pernyataannya:

    Sustainability requires ways to satisfy the lives of all without exceeding the ecological capacity of biosphere. Future-friendly towns and cities are key players in building a sustainable future . Since it is at the local level where infrastructure related design and policy shapes peoples lives and resource consumption, towns and cities can be particularly effective in pioneering sustainability

    Secara formal penggunaan konsep berkelanjutan dalam penerapan kebijakan perkotaan telah dimulai sejak tahun 1972, pada saat the United Nations Conference on the Human Environment di Stockholm menghasilkan beberapa rekomendasi terkait kota berkelanjutan. Setelah itu beberapa inisiatif penting bermunculan seperti yang tergambarkan pada tabel berikut

    Tabel 1. Beberapa Inisiatif Penting dalam Implementasi Kota Berkelanjutan

    Tahun Peristiwa dan Inisiatif Kaitannya dengan Agenda Kota Berkelanjutan

    1972 United Nations Conference on the Human Environment (UNCHA)

    Rekomendasi I: Perencanaan dan Manajemen Permukiman yang berkualitas secara Ekologis

    1976 Habitat 1 (Vancouver) Penetapan program internasional yang didesain

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    untuk mengurangi pertumbuhan area perkotaan1978 Pembentukan United Nations Centre for

    Human Settlement (UNCHS) Pemberian insentif terhadap pola dan perilaku berkelanjutan bagi kehidupan di kawasan kota dan perdesaan

    1987 World Commission on Environment and Development

    Paragrap 9: Tantangan Pekotaan, diuraikan sebagai kebutuhan untuk mendorong lebih banyak komunitas perkotaan yang berkelanjutan baik di negara maju maupun sedang berkembang.

    1990 United Nations Sustainable Cities Programme

    Integrasi antara UNCHS dan the United Nations Environment Programme (UNEP) dalam hal insentif pembangunan berkelanjutan

    1990 European Commissions Green Paper on the Urban Environment

    Tanggapan dan strategi Komisi Eropa tehadap kota-kota di Eropa terkait masalah lingkungan dan kaitannya dengan kawasan perdesaan

    1991 European Commissions Expert Group on the Urban Environment

    Group Independen yang terbentuk dari perwakilan dan pakar masing-masing Negara dengan tugas memberikan rekomendasi tentang cara mengembangkan kota dan perencanaan guna lahan dalam menghadapi masa depan yang disesuaikan dengan program lingkunagn Masyarakat Eropa

    1992 United Nations Conference on Environment and Development

    Agenda 21, Paragrap 2, Promoting Sustainable Human Settlement Development

    1993 European Sustainable Cities Programme Dibentuk oleh Panel Ahli Komisi Eropa tentang Lingkungan Kota

    1994 European Sustainable Cities Campaign Koalisi 80 otoritas kota dan distrik untuk mengimplementasi kebijakan kota yang berkelanjutan

    1996 Habitat 11 The City Summit Fokus pada implementasi Agenda 21 pada kawasan perkotaan

    Sumber : Whitehead 2013

    4.1. Tipologi Kota Berkelanjutan Perkembangan bentuk kota telah menjadi satu kesatuan dengan perkembangan masyarakat,

    politik, ekonomi, kelembagaan dan fisik ekologisnya. Dalam aspek lingkungan, banyak penelitian menyimpulkan bahwa bentuk kota yang kontemporer merupakan sumber dari berbagai macam masalah lingkungan (Newman 1996, Kenworthy 2006). Penelitian tersebut juga mengungkapkan bentuk kota mempunyai pengaruh langsung terhadap habitat, ekosistem, keanekaragaman hayati dan kualitas air melalui konsumsi lahan, fragmentasi habitat, serta konversi lahan terbuka hijau. Selain itu, bentuk dan struktur ruang kota juga berpengaruh terhadap perilaku perjalanan, dan akhirnya berdampak juga terhadap kualitas udara.

    Telah banyak kajian teoritis dalam jurnal maupun buku teks yang membahas dan merekomendasikan beragam model, teori maupun solusi preskriptif tentang bentuk dan struktur kota yang berkelanjutan disertai dengan kriteria dan aspek positif dan negatifnya. Model dan konsep konsep tersebut, dapat diklasifikasikan dalam empat tipologi bentuk dan struktur ruang kota yang secara hipotesis dianggap ramah dengan lingkungan (Jabareen 2006)

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    4.1.1. Neotraditional Development Bentuk kota dan permukiman konvensional, memberi inspirasi terhadap beberapa arsitek

    maupun planner dalam pencarian bentuk kota yang lebih baik secara fisik, yang dikenal dengan model perencanaan kota Neotradisional. Neo-traditional Development menekankan penggunaan kembali pola grid dan jalan yang ramah bagi pejalan kaki. Pola ini banyak digunakan pada awal abad 20an yang diklaim mampu meningkatkan prosentase orang untuk berjalan kaki dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Beberapa literatur (Berman, 1996: 45) menguji perilaku umum perjalanan serta kecenderungan dan kelayakannya pada model neo-traditional development. Neo-traditional development akan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor secara signifikan jika permukiman tersebut menyediakan akses yang dapat dijangkau. Hal ini mensyaratkan bahwa penduduk juga bermukim pada lingkungan tersebut, sehingga fasilitas umumm sosial dan perdagangan masih dalam jangkauan untuk dicapai dengan berjalan kaki. Dampak paling besar pada pengaruh pola neo-traditional development terhadap pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah perjalanan ke pusat-pusat perbelanjaan sehingga diperlukan pengaturan tata guna lahan campuran untuk menyediakan beragam fasilitas pada suatu kawasan. Penggunaan jaringan jalan yang berpola grid akhirnya akan mengurangi kemacetan pada jalan utama dan mengurangi waktu perjalanan.

    Salah satu model pendekatan perencanaan neotradisonal yang dikenal secara luas adalah New Urbanism. New Urbanism mendorong penerapan strategi perencanaan kota tradisional agar lebih mengurangi urban sprawl dan penurunan kualitas pusat kota dan membangunnya (membangun kembali) secara lebih baik. Charles Bohl (2000) mengungkapkan bahwa New Urbanism adalah suatu model pendekatan sederhana dalam planning dan design, yang didasarkan preseden histories untuk mengintegrasikan beragam tipe rumah dalam satu permukiman.

    New Urbanist yakin, bahwa karakter desainnya dapat memuaskan penghuninya, mendorong masyarakat untuk berjalan kaki, meningkatkan interaksi sosial dan menggairahkan sense of community. Selain mempunyai karakter keragaman type rumah, kata kunci new urbanism dan neotraditional adalah integreasi perbedaan struktur social dan ekonomi, penerapan kepadatan yang lebih tinggi dan pengutamaan aspek manusia dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Beberapa gambaran suasana yang menjelaskan permukiman New Urbanism mirip dengan suasana kota kecil di Amerika tahun 1920 an, dimana rumah-rumah yang didominasi adanya teras depan, berada sepanjang jalan yang sempit, setback bangunan yang kecil serta garasi yang berada di halaman belakang (Jabareen 2006).

    Neotradational Development atau New Urbanism menekankan pada beberapa kriteria bentuk kota yang berkelanjutan. Dari sisi pandang transportasi, Neotraditional mendorong lingkungan permukiman yang berorientasi pedestrian. Dari segi kepadatan, model ini cenderung kepada tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya. Di samping itu disarankan pula penggunaan lahan campuran (mix landuse) antara fungsi perumahan, perdagangan, jasa dan fasilitas umum. Secara umum, kota ideal dari pandangan Neotraditional, adalah kota yang mandiri, tidak mengelompok, berorientasi pejalan kaki serta, mixed land uses, kepadatan yang tinggi, pola jalan yang memberikan kesempatan pengemudi dan pejalan kaki memiliki alternatif rute, serta memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.

    Model lain yang juga didasarkan atas model Neotradisional adalah Transit Oriented Development (TOD). Beragam istilah lain juga sering digunakan antara lain Transit Village, Transit-Supportive-Development dan Transit-Friendly Design. Beragam terminologi di atas, memiliki kesamaan kriteria, yaitu mixed used development, pengembangan jalur Mass Rapid Transit (MRT) atau Light Rapid Transit (LRT) yang melayani permukiman. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya mengurangi ketergantungan akan kendaraan bermotor. Digambarkan pula TOD sebagai lingkungan yang kompak dengan guna lahan yang beragam, dan tersusun di sekitar halte/stasiun MRT atau LRT. Stasiun/Halte, sebagai pusat permukiman, dikelilingi oleh public space dan fasilitas umum .

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Seperti yang telah diungkapkan di atas, TOD mendorong peningkatan penggunaan kereta api komuter dengan merencanakan bentuk kota yang berbasis kereta api komuter. Resep tradisional TOD adalah 3 D, yaitu density, diversity dan design: a. Density (kepadatan). Densifikasi tata guna lahan sekitar stasion KA Komuter atau Trem

    bertujuan untuk mengkonsentrasikan penduduk, perumahan, tempat kerja disekitar stasiun transit dan mendorong penduduk menggunakan kereta api untuk melakukan perjalnan

    b. Diversity (keragaman). Tata guna lahan campuran di sekitar halte/stasiun KA komuter bertujuan mengurangi perpindahan moda ke kendaraan bermotor, yang akhirnya juga akan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dalam sehari melalui penyediaan guna lahan campuran antara perumahan, perdagangan dan jasa disekitar stasiun KA komuter. Hal ini memungkinkan sebagian besar penduduk dapat mengakses dengan mudah ke fasilitas perdagangan, jasa dan pelayanan lainnya yang berada di sekitar stasiun dengan berjalan kaki, dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor (menciptakan walkable community)

    c. Design. Elemen urban design digunakan untuk mengkreasikan area di sekitar stasiun atau halte lebih nyaman, ramah dan mudah diakses dengan sepeda atau berjalan kaki. Desain ini meliputi jalur, jembatan dan tunnel untuk sepeda, bicycle racks di stasiun, traffic calming di kawasan perumahan, pembatasan parkir, serta perabot ruang kota (penerangan, bangku taman, telpon umum dlsb) yang estetis

    4.1.2. Urban Containment Pada awal tahun akhir tahun 1980an dan awal1900an, sebagian besar kota-kota di dunia dan

    terlebih lagi di Eropa, berbentuk kompak dengan populasi penduduk yang terkonsentrasi di dalam kota. Kondisi seperti ini jauh berbeda dibandingkan dengan tahun 1960an sampai 1980, yang pertumbuhan populasinya sebagian besar (95%) berada di kawasan suburban. Pada saat ini, situasi yang tidak jauh berbeda dapat dijumpai hampir disemua tempat, yaitu lebih banyak perkembangan kota yang cenderung horizontal. Fenomena ini (urban sprawl), ditandai dengan persebaran yang tidak beraturan antara kawasan perumahan yang berkepadatan rendah dan kawasan perdagangan yang cenderung strip development, sehingga meningkatkan ketergantungan akan kendaraan bermotor.

    Urban sprawl, yang memiliki ciri area terbangun tersebar dengan kepadatan yang rendah, memakan lebih banyak lahan dibandingkan dengan pengembangan secara kompak dan kepadatan yang tinggi. Pengaruh perkembangan secara sprawl terjadi pula hampir diseluruh kawasan perkotaan di dunia.

    Secara umum, kebijakan urban containment mengidentifikasikan minimal tiga (3) instrument untuk mengendalikan pertumbuhan kota. Greenbelts (sabuk hijau) dan urban growth boundaries (batas pertumbuhan wilayah kota) yang digunakan sebagai faktor pendorong, sedangkan urban service areas (kawasan pusat pelayanan kota) yang berfungsi sebagai faktor penarik. Sabuk hijau merupakan instrument spasial yang bersifat sebagai pembatas dan pada umumnya berbentuk jalur tipis yang mengelilingi suatu kota atau kawasan. Jalur tipis ini bersifat permanen atau minimal peruntukannya sulit untuk dikonversi. Pada banyak kasus, sabuk hijau berbentuk lahan terbuka atau pertanian, yang telah dibeli dan dikuasai oleh pemerintah atau organisasi non profit. Sabuk hijau merupakan kawasan yang dikonservasi sebagai ruang terbuka atau ruang terbuka hijau serta didesain sebagai penyangga yang melindungi sumberdaya alam dari dampak pertumbuhan area terbangun. Beberapa konsep dalam tipologi Urban Containment, antara lain Urban Growth Boundaries (UGBs), yang merupakan batas administratif antara kawasan terbangun dengan tidak terbangun untuk membatasi sprawl, melindungi ruang terbuka hijau serta mendorong redevelopment kawasan kota (Rodriguez et al 2006 dan Woo 2007). Selain UGBs terdapat pula istilah lain secara formal juridis, yaitu urban limit line (ULL), blue line, atau green line sebagai instrumen fisik spasial yang memisahkan kawasan kota dan perdesaan.

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    4.1.3. Compact City Awal promosi pengembangan berkelanjutan dicetuskan oleh Le Corbusier yang mendesain

    La Ville Radieuse (Radiant City) sebagai solusi terhadap masalah yang muncul pada Victorian City. Karakteristik Radiant City yang khas adalah dominasi tower blocks yang menjulang sehingga memungkinkan kepadatan penduduk yang tinggi di antara open-spaces yang luas. Ide radiant city dilanjutkan oleh Dantzig dan Saaty dengan istilah compact city yang memiliki visi meningkatkan kualitas hidup tanpa membebani generasi mendatang (Neuman 2005, Talen 2006, Hirt 2007, Geurs et al. 2006, Schneider et al 2008). Visi ini ternyata sejalan dengan prinsip pengembangan berkelanjutan saat ini. Secara umum konsep compact city meliputi banyak strategi dengan tujuan menciptakan kompaksi dan kepadatan untuk menghindari masalah yang biasanya muncul pada desain dan kota modern. Beberapa keuntungan dan kerugian penerapan Compact City pada beberapa negara berkembang antara lain (Acioly Jr dan Claudio 2000):

    a. Keuntungan Potensi munculnya interkasi sosial yang kuat Aksesibilitas yang tinggi ke pusat-pusat pelayanan Penggunaan lahan dapat dilakukan secara optimal dan efisien Pelayanan infrastruktur dan angkunan umum lebih efisien Vitalitas dan keragaman kawasan yang lebih tinggi

    b. Kerugian Sarana prasarana menjadi overloaded dan padat Angkutan umum cenderung crowded Polusi udara dan suara yang lebih tinggi Ruang terbuka lebih sedikit Kelangkaan ruang untuk sanitasi

    4.1.4. Eco-City Eco-city merupakan payung metafora yang merangkum beragam konsep urban-ecological

    yang bertujuan mencapai kota yang berkelanjutan. Konsep ini merangkum berbagai kebijakan lingkungan, social dan kelembagaan yang mengarah terhadap pengelolaan ruang kota secara berkelanjutan. Selain itu, Eco-city juga mendorong mendorong agenda-lingkungan yang menekankan terhadap manajemen lingkungan melalui instrumen kebijakan.

    Ciri khas konsep Eco-city adalah greening dan passive solar design. Dibandingkan dengan konsep lain, visualisasi eco-city secara spasial kurang nyata (karena lebih menekankan pada kebijakan aspasial). Terdapat beberapa konsep dan pendekatan yang menekankan pada passive solar design, diantaranya the Ecovillage, Solar Village (Van der Ryn and Calthorpe 1986), Cohousing (Roelofs 1999,240-42), dan Sustainable Housing (Edwards and Turrent 2000, Boonstra 2000), Environmental City, Green City, Sustainable City, Eco-City, Ecological City, Sustainable Urban Living, Sustainable Community, Sustainable Neighborhood, dan Living Machines.

    Berdasarkan beragam pendekatan di atas, dapat ditarik inti sari konsepnya, yaitu eco-city tidak menyarankan suatu bentuk kota yang spesifik melainkan lebih bersifat manajemen kota. Bentuk fisik kota atau built environment bukan merupakan suatu yang paling penting dalam pengembangan secara berkelanjutan, namun lebih menekankan pada cara mengorganisasi dan mengelola masyarakat kota. Hal yang sama diungkapkan pula oleh Talen, Emily dan Ellis (2002): Variabel sosial, ekonomi, dan kultural merupakan aspek determinan dalam membentuk kota yang berkelanjutan, dibandingkan struktur spasialnya.

    Studi atau penelitian lain juga menyimpulkan eco-city meliputi sepuluh aspek sebagai berikut (Kentworthy, 2006: 78):

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Kota berbentuk kompak dan memiliki tata guna lahan campuran, dengan pemanfaatan lahan yang efisien serta memproteksi lingkungan alan, keanekaragaman hayati dan lahan pertanian.

    Lingkungan alam mengisi dan membatasi ruang-ruang kota, sehingga antara kota dan hinterland terjalin suatu rantai produksi dan distribusi yang seimbang

    Jalan bebas hambatan atau jalan tol di dalam kota dikurangi, dan digantikan dengan jalur KA komuter, sarana prasarana bersepeda dan berjalan kaki, sehingga penggunaan kendaraan bermotor dapat diminimalkan.

    Pemanfaatan teknologi lingkungan dalam pengolahan air, energi dan limbah bersifat ekstensif serta sistem parasarana sebagai penunjang kehidupan kota bersifat sistem loop.

    Pusat dan sub pusat kota bersifat manusiawi, dapat dijangkau dengan mudah tanpa kendaraan bermotor, serta menampung sebagian besar perumahan.

    Kota memiliki kualitas citra yang kuat, melalui ekspresi budaya masyarakat dan good governance.

    Struktur tata ruang kota dan urban design secara umum, dan ruang publik secara khusus mampu mengartikulasikan dan beradaptasi dengan keinginan masyarakat.

    Kinerja ekonomi kota disusun secara inovatif, kreatif dan unik yang berbasis potensi, budaya, sejarah lokal.

    Perencanaan kota masa depan bersifat visioner, melalui proses debate and decide bukan predict and provide.

    Semua pengambilan keputusan berbasis ramah lingkungan, integrasi sosial, ekonomi lokal serta prinsip kompaksi, transit oriented city.

    Dengan demikian, suatu kota dikelola untuk mencapai keberlanjutan, melalui pengaturan tata guna lahan, lingkungan, kelembagaan, soasial dan ekonomi (Robinson dan Tinker 1998; United Nations Conference on Environment and Development 1992; United Nations Framework Convention on Climate Change 1992; Council of Europe 1993; European Commission 1994). Sebagai contoh: Agenda 21 menekankan pada manajemen terintegrasi pada level kota untuk menjamin faktor lingkungan, social dan ekonomi dipertimbangkan bersama-sama dalam kerangka sustainable city.

    4.2. Kriteria Kota Berkelanjutan Berdasarkan uraian tipologi di atas dan juga review teori yang ada, disimpulkan kota

    berkelanjutan memiliki kriteria sebagai berikut (Jabareen 2006, Wicaksono 2009) :

    4.2.1. Kepadatan Selain kompaksi, kepadatan juga merupakan terminologi yang penting dalam struktur ruang

    kota berkelanjutan. Kepadatan merupakan perbandingan antara penduduk atau unit bangunan dengan luas lahan suatu kawasan. Hubungan antara kepadatan dengan karaktersitik kota juga didasarkan pada konsep kelayakan ambang batas, yaitu jumlah penduduk minimal yang dipersyaratkan untuk keberlangsungan aktivitas kota atau yang dapat membangkitkan interaksi.

    Pengaruh kepadatan (bersama dengan jenis bangunan) terhadap sustainability, terjadi melalui perbedaan konsumsi energi, barang dan lahan untuk perumahan, jalan dan sarana prasarana kota. Kepadatan tinggi dan tata guna lahan yang terintegrasi, bukan hanya mengurangi pemakaian sumber daya, tetapi juga mendorong interaksi sosial melalui kompaksi. Kenworthy (2006) menyimpulkan beberapa kebijakan yang dapat mengurangi pemakaian energi dengan meningkatkan kepadatan kota, meningkatkan kualitas pusat kota, mengoptimalkan lahan di dalam kota, menyediakan alternatif angkutan umum yang baik, serta membatasi sarana prasarana untuk kendaraan pribadi. Beberapa alternatif pengaturan bangunan dan KDB pada tingkat kepadatan yang sama digambarkan sebagai beikut.

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    4.2.2. Keragaman Keragaman aktivitas merupakan esensi dari kota berkelanjutan. Jane Jacobs (2002)

    mempopulerkan konsep keragaman yang kemudian diadopsi secara meluas oleh banyak model perencanaan kota, seperti new urabnism, smart growth dan sustainable development. Jacobs juga menulis

    In dense, diversified city areas, people still walk, an activity that is impractical in the suburbs and in most grey areas. The more intensely various and close-grained the diversity in an area, the more walking. Even people who come into a lively, diverse area from outside, whether by car or by public transportation, walk when they get there

    Terdapat banyak kesamaan antara tata guna lahan campuran dengan keragaman. Namun yang membedakan adalah keragaman merupakan fenomena multidimensional yang memdorong variasi dalam hal jenis perumahan, kepadatan bangunan, ukuran rumah tangga, usia, budaya dan pendapatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keragaman banyak terkait dengan konteks sosial dan budaya

    4.2.3. Tata Guna Lahan Campuran Bebrapa puluh tahun yang lalu, perencanaan kota konvensional masih mengganggap bahwa

    unmixing kota dengan zonasi yang eksklusif (rigid zonning) sebagai suatu konsep yang ideal. Dampaknya adalah semakin jauh panjang perjalanan yang dilakukan serta berkurangnya daya tarik kota.

    Penggunaan lahan campuran atau zonasi yang heterogen memungkinkan guna lahan yang sesuai dan saling membutuhkan untuk berdekatan sehingga dapat mengurangi jarak tempuh antar aktivitas. Tata guna lahan campuran ditandai dengan keragaman fungsi guna lahan dalam suatu area, seperti perumahan, perdagangan, jasa, perkantoran, industri dlsb. Dampak selanjutnya adalah pengurangan penggunaan kendaraan pribadi untuk berbelanja, ke tempat pekerjaan, sekolah dan tempat rekreasi. Pengunaan konsep tata guna lahan campuran setidaknya menjamin bahwa banyak sarana pelayanan kota berada dalam radius yang memungkinkan untuk dicapai dengan berjalan kaki dan bersepeda. Disamping itu penggunaan lahan campuran dapat merevitalisasi bagian kawasan kota dengan penambahan fungsi baru.

    4.2.4. Kompaksi Kompaksi suatu lingkungan bina merupakan strategi yang diterima secara luas untuk

    mencapai struktur ruang kota yang lebih berkelanjutan. Konsep kompaksi diterapkan untuk mengarahkan perkembangan kota pada struktur ruang kota yang ada, sehingga dapat meminimalkan energi untuk kebutuhan transportasi, air, barang dan manusia. Dengan intensifikasi, yang merupakan strategi utama untuk mencapai kompaksi, kepadatan bangunan dan aktivitas dapat meningkat sehingga akhirnya bermuara pada penggunaan lahan kota menjadi yang lebih efisien. Beberapa penelitian (Acioly Jr dan Claudio C. 2000) menganggap bahwa kompaksi merupakan tipologi yang paling penting untuk mencapai kota berkelanjutan. Sebagai contoh dikatakan bahwa kota berkelanjutan harus kompak, padat, beragam dan terintegrasi secara kuat. Struktur ruang kota yang terbentuk akan dapat mendorong masyarakat untuk berjalan kaki dengan mudah dan mengurangi keinginan untuk menggunakan kendaraan pribadi.

    Pada penentuan nilai indiaktor, Hasse dan Kornbluh merumuskan indikator tingkat kompaksi berdasarkan tingkat aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan.

    Tabel 5. Kategori tingkat Kompaksi berdasarkan aksesibilitas ke Pusat Pelayanan

    Tingkat Kriteria Karakter Kawasan

    A Jarak rata-rata ke pusat pelayanan = 0 750 m Berorientasi Berjalan Kaki (Walking Smart Growth)

    B Jarak rata-rata ke pusat pelayanan =751 1.500 m Berorientasi Kendaraan tidak

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    bermotor (Bicycle Smart Growth) C Jarak rata-rata ke pusat pelayanan =1.501 3.000 m Suburban Sprawl D Jarak rata-rata ke pusat pelayanan =3.001 6.000 m Rural Sprawl E Jarak rata-rata ke pusat pelayanan > 6.000 m Excessive Sprawl

    Sumber : Hasse dan Kornbluh 2004

    4.2.5. Transportasi Berkelanjutan Tidak diragukan lagi, bahwa transportasi merupakan masalah terbesar dalam perdebatan

    lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur ruang kota. Hal yang menarik adalah sustainability diartikan sebagai minimalisasi mobilitas maupun panjang perjalanan (Handy, 2005). Menurut Handy, bentuk kota berkelanjutan harus memiliki struktur yang sesuai untuk melakukan pergerakan dengan berjalan kaki, bersepeda dan angkutan umum yang efisien, serta harus berbentuk kompak dan mendorong interkasi sosial.

    Dalam hal ini, transportasi berkelanjutan didefinisikan sebagai pelayanan transportasi dengan merefleksikan biaya sosial dan lingkungan yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan serta adanya kesimbangan antara kebutuhan akan mobilitas dengan kebutuhan akan aksesibilitas, kualitas lingkungan dan permukiman yang nyaman.

    Kebijakan pengembangan kota berkelanjutan, seharusnya juga mencakup pengurangan keinginan untuk melakukan perjalanan dan menciptakan kondisi yang sesuai untuk transportasi yang efisien dan ramah lingkungan. Asumsinya adalah, jika pemisahan aktivitas secara spasial lebih pendek, maka keinginan untuk melakukan perjalan juga menjadi kecil dan mudah dicapai dengan berjalan kaki, bersepeda, dan moda transportasi lainnya yang ramah lingkungan.

    4.2.6. Passive Solar Design Passive Solar Design merupakan titik sentral dalam usaha untuk mewujudkan bentuk dan

    struktur ruang kota yang berkelanjutan. Konsep umumnya adalah mereduksi kebutuhan energi dan menyediakan penggunaan energi pasif melalui design tertentu.

    Desain yang berpengaruh terhadap lingkungan bina, pada umumnya melalui orientasi bangunan dam kepadatan bangunan. Asumsinya adalah desain, posisi, orientasi, layout dan landskap dapat mendorong penggunaan optimum pencahayaan dan kondisi iklim mikro untuk meminimalkan kebutuhan akan pemanasan ataupun pendinginan bangunan melalui sumber energi konvensional.

    Wilayah kota dideskripsikan sebagai urban microclimate yang memiliki perbedaan iklim pada skala yang berbeda. Moughtin dan Peter (2005) menyimpulkan beberapa parameter desain yang dapat meningkatkan kualitas iklim mikro dan mewujudkan kota berkelanjutan, yaitu: (1) bentuk bangunan, yang mempengaruhi aliran udara, view, sinar matahari dan tutupan permukaan; (2) koridor jalan, mempengaruhi proses pemanasan dan pendinginan, kenyamanan visual dan termal, serta pengurangan polusi; (3) desain bangunan, yang mempengaruhi konversi dan pelepasan panas; (4) material penutup permukaan, mempengaruhi penyerapan dan pemantulan panas; (5) vegetasi dan permukaan air, mempengaruhi proses evaporasi; serta (6) transportasi, mengurangi, menyebarkan dan mengalirkan udara, panas serta kebisingan.

    4.2.7. Penghijauan (Greening) Penghijauan kota atau green urbanism juga menjadi konsep desain yang penting untuk

    mewujudkan struktur ruang kota yang berkelanjutan. Ruang terbuka hijau memiliki kemampuan untuk memberi kontribusi positif dalam pengembangan kota berkelanjutan. Melalui penghijauan diharapkan terjadinya integrasi antara alam dengan kota dan tetap menjaga kehadiran alam dalam kehidupan masyarakat kota.

    Terdapat beberapa keuntungan dengan adanya ruang terbuka hijau, antara lain: (1) memberi konstribusi dalam keanekaragaman hayati melalui konservasi dan peningkatan keunikan habitat kota; (2) menjaga keseimbangan lingkungan fisik kota melalui pengurangan polusi, menjaga air

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    tanah dan iklim kota; (3) memberi kontribusi peningkatan kualitas visual kota; (4) meningkatkan kualitas hidup mahluk hidup di perkotaan; (5) meningkatkan daya tarik ekonomi dan kebanggaan bagi penduduk kota.

    Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mewujudkan green urbanism antara lain (Beatly 2000): (1) tetap menjaga pengembangan dalam batas ekologis; (2) mendesain dengan analogi alam; (3) mendorongi metabolisme sirkular dibandingkan metabolisme linear; (4) menjaga kemandirian secara lokal maupun regional; (5) memfasilitasi gaya hidup yang lebih berkelanjutan; (6) menekankan pada kualitas hidup masyarakat.

    Berdasarkan pembahasan di atas dan analisis dekonstruksi, dapat disusun suatu matriks dan model kota berkelanjutan seperti gambar berikut

    NEOTRADITIONAL DEVELOPMENT(Audirac 1994, Berman

    1998)

    Bentuk kompak, kepadatantinggi, tata guna lahan

    campuran

    Transp berkelanjutan, keragaman, kompak, tgl

    camp.

    City Greening, keragamanekol & kultur, manaj

    berkelanjutanKebijajan yang menekankan

    compatness

    COMPACT CITY(Tsuei 1996, Holden 2005,

    Neuman 2005, Burton 2000, dll)

    URBAN CONTAINMENT(Rodriguez 2006, Woo

    2007)

    ECO-CITY(Kentworthty 2006)

    Kepadatan

    Keragaman

    TGL Campuran

    Kompaksi

    TransportasiBerkelanjutan

    Pasive Solar Design

    Greening-Ecological Design

    KOTA yang BERKELANJUTAN

    tinggisdg

    tinggi

    tinggi

    sdg

    sdg

    sdg

    tinggi

    tinggi

    tinggi

    tinggi

    tinggi

    tinggi

    tinggi

    sdg

    sdg

    sdgsdg

    sdg

    sdg

    sdg

    sdg

    New Urbanism, Transit Oriented Development, Transit Village, Transit-friendly design,

    Urban Growth Boundaries, Urban Limit Line, Green

    Line

    Environmental City, Green City, Sustainable City,

    Sustainable Community

    KRIT

    ERIA

    KOT

    A BE

    RKEL

    ANJU

    TAN

    kecil kecil

    kecil

    kecil

    kecil

    kecil

    KRIT

    ERIA

    STR

    UKTU

    R KO

    TA

    BERK

    ELAN

    JUTA

    N

    Gambar 6. Tipologi Kota Berkelanjutan

    5. Mekanisme Pengendalian dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan Seperti yang telah diungkapkan pada bagian 3 di atas, mekanisme pengendalian memiliki

    karakteristik berbeda dengan Pemahaman terhadap Situasi karena transformasinya yang bersifat divergen, dengan tingkat kesulitan yang tinggi, yaitu: Bagaimana mentransformasikan rencana yang berada dalam aras (level) konsepsual mampu berperan sebagai arahan atau pedoman bagi tindakan-tindakan yang diinginkan pada level faktual. Apa jaminannya bahwa seluruh masyarakat atau Planning Addressee melakukan aktivitas atau kegiatan sesuai dengan yang direncanakan. Diperlukan monitoring dan rekomendasi yang secara terus menerus mengikuti dan melekat pada mekanisme Control. Oleh sebab itu dalam perencanaan sebetulnya lebih tepat menggunakan istilah Pengendalian dibandingkan/ untuk menggantikan istilah Realisasi.

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Level MANAJERIALLevel MANAJERIAL Level KONSEPSUALLevel KONSEPSUALLevel OPERASIONALLevel OPERASIONAL

    MONITORING

    Kaji Banding antarakondisi yang

    berkembang denganyang diharapkan

    FAKTA

    Kondisiyang ada/ kondisi yang

    berkembang saat ini

    TUJUAN

    Kondisi atau Keadaanyang diharapkan

    (RENCANA)

    TINDAKANTindakan thd Kondisi ygada melalui INFORMASI, MOTIVASI, ORGANISASI.

    & INSTALASI

    REKOMENDASIKesimpulan dari hasil

    Kaji Banding untukmenentukan Tind./

    Intervensi atau Revisi

    EVALUASI

    Evaluasiatau Revisi

    Tujuan/ Rencana

    Gambar 7. Mekanisme Pengendalian (Heidemann 1992, Wicaksono 1994,

    Wicaksono 1999 Penjelasan singkat kegiatan utama yang terdapat pada mekanisme pengendalian adalah

    sebagai berikut:

    5.1. Monitoring dan Rekomendasi: Yaitu merupakan kaji banding antara fakta (kondisi yang ada atau sedang berkembang)

    dengan tujuan (kondisi yang diharapkan, yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Kota). Pengawasan merupakan langkah awal dalam keseluruhan mekanisme pengendalian kawasan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan. Tahap pengawasan ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan rekomendasi bagi tahap selanjutnya. Apabila dari hasil pengawasan didapat kesimpulan bahwa rencana pemanfaatan ruang dapat mengarahkan dan mempercepat proses pembangunan serta dapat direalisasikan, maka kesimpulan akan merekomendasi intervensi-intervensi atau tindakan untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya, apabila rencana yang telah ditetapkan ternyata tidak dapat mempercepat proses pembangunan atau bahkan memperlambat, maka tidak menutup kemungkinan untuk merevisi atau memperbaiki rencana yang ada. Dengan demikian, aktivitas pengawasan harus dilakukan secara periodik dan dalam kurun waktu yang cukup untuk dapat dengan segera mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan dan dengan segera melakukan intervensi atau tindakan yang diperlukan. Pada tahap inilah peran sistem informasi perencanaan menjadi penting.

    Selain itu, prasyarat lain yang perlu diperhatikan dalam proses monitoring untuk menjamin keberhasian mekanisme pengendalian adalah keterbacaan rencana. Sebagai suatu instruksi atau pedoman bagi suatu kelompok masyarakat, maka rencana yang baik adalah kejelasan pedoman atau instruksi sehingga dapat dipahami secara jelas oleh masyarakat. Keterbacaan suatu rencana harus memiliki kejelasan dalam:

    Apa : Jenis Pedoman Berapa : Intensitas/ Besaran Pedoman Dimana : Lokasi Pedoman dilaksanakan Kapan : Waktu dan kurun waktu pedoman dilaksanakan Siapa : Stakeholders pedoman Bagaimana : Cara dan alat untuk melaksanakan pedoman Untuk Apa : Tujuan pedoman dilaksanakan

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Sebagai contoh keterbacaan rencana pada penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sesuai UU no 26 tahun 2007 dapat dilihat pada gambar

    RTRW KotaPeraturan Daerah Kotamengatur

    diperhatikan dalam penyusunanmemuat

    pedoman untuk

    Ditinjau kembali lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, dalam hal

    Perubahan kondisi lingk strategistertentu yg berkaitan dg bencanaalam skala besar & atau

    Perubahan batas teritorial negaradan/ Provinsi & Kota

    Jangka Waktu 20 tahunDitinjau kembali lebih dari 1 kali

    dalam 5 tahun, dalam hal Perubahan kondisi lingk strategis

    tertentu yg berkaitan dg bencanaalam skala besar & atau

    Perubahan batas teritorial negaradan/ Provinsi & Kota

    Jangka Waktu 20 tahun

    jangkawaktu

    RTRWN & RTRWP Pedoman Bid Penataan Ruang

    RPJPD

    Ps. 28

    diacu

    Perkemb permasalahan Provinsi sertahasil pengkajian implikasi penataanruang KotaUpaya pemerataan pemb &

    pertumbuhan ekonomi KotaKeselarasan aspirasi pemb Kota & pemb

    Kota/ kotaDaya dukung & daya tampung

    lingkungan hidupRPJPDRTRWK yang berbatasanRTR kawasan strategis Kota

    TUJUAN, KEBIJAKAN & STRATEGI penataan ruang wilayah KotaRENCANA STRUKTUR RUANG wilayah

    Kota yg meliputi: Sistem pusat Kota Sistem jaringan prasarana Kota

    RENCANA POLA ruang wilayah Kota ygmeliputi:

    Kawasan lindung Kota Kawasan budi daya yg memiliki nilai

    strategis KotaPenetapan KAWASAN STRATEGIS KotaArahan pemanfaatan ruang yg berisi

    INDIKASI PROGRAM UTAMA jangkamenengah lima tahunanArahan PENGENDALIAN

    PEMANFAATAN ruang wilayah Kota Indikasi arahan peraturan zonasi prov Arahan perizinan Arahan insentif dan disinsentif Arahan sanksi

    Penyusunan RPJPDPenyusunan RPJPMDPemanfaatan ruang & pengendalian

    pemanfaatan dalam wilayah KotaMewujudkan keterpaduan, keterkaitan, &

    keseimbangan perkembangan antarwilayah Kota/kota, serta keserasianantarsektorPenetapan lokasi & fungsi ruang utk

    investasiPenataan ruang kaw strategis Kota

    Siapa, Bagaimana

    Untuk Apa

    Apa,

    Dim

    ana

    Kapan

    Gambar 8. Keterbacaan RTRW Kota

    B. Intervensi/Tindakan terhadap kondisi yang ada. Transformasi dari pedoman-pedoman yang terdapat dalam rencana ke dalam tindakan nyata

    dilakukan melalui suatu intervensi. Intervensi dalam hal ini adalah suatu program tindakan untuk merealisasi rencana yang telah ditetapkan. Selama ini intervensi yang sering diterapkan dan lajim digunakan adalah peraturan atau perundang-undangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar beserta sangsi-sangsinya. Namun disamping itu perlu pula memanfaatkan perangkat intervensi lain secara lebih terencana dan dapat merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung. Perangkat intervensi yang dimaksud adalah:

    PerasaanPerasaan

    PikiranPikiran

    PerilakuPerilaku

    PeralatanPeralatan

    MOTIVASIMOTIVASI

    INFORMASIINFORMASI

    ORGANISASIORGANISASI

    INSTALASIINSTALASI

    SikapSikap, , perasaanperasaan, , usahausaha

    PemikiranPemikiran, , pengetahuanpengetahuan, , pandanganpandangan

    ProsedurProsedur--prosedurprosedur utamautama, , penangananpenanganan operasionaloperasional

    PembangunanPembangunan fasilitasfasilitas & & penyediaanpenyediaan alatalat

    JENIS INSTRUMEN PENGENDALIAN PENGARUH TERHADAP

    KETERANGAN

    Gambar 9. Intrumen Pengendalian (Heidemann 1992, Wicaksono 1994, Wicaksono

    1999)

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    1. Motivasi. Motivasi bertujuan mempengaruhi masyarakat kota untuk berpartisipasi menggunakan sumber dayanya serta terlibat dalam perencanaan maupun realisasinya. Motivasi ini berkaitan dengan perubahan sikap atau perasaan seseorang. Dalam situasi, dimana peran masyarakat dituntut untuk lebih dominan dalam pembangunan kota serta masih adanya potensi-potensi yang dimiliki masyarakat , maka perangkat motivasi ini menjadi semakin penting. Potensi-potensi yang dimaksud misal: sifat-sifat gotong royong yang masih tertanam pada masyarakat ataupun kerelaan menyumbangkan sebagian harta atau tanahnya untuk kepentingan umum. Beberapa contoh intrumen bentuk motivasi dalam mewujudkan kota hijau antara lain Penyelenggaraan even yang bersinggungan dengan tujuan kota hijau atau berkelanjutan

    (Kota Hijau, SAJISAPO, pemecahan MURI, karnaval bunga). Pemberian reward/ penghargaan bagi yang berprestasi atau mendukung kota hijau

    (penyelenggaraan Lomba Taman Industri, lomba taman Perumahan, taman RT, TOGA) Pelatihan terkait dengan kota hijau (Penanaman Pohon, TOGA bagi kelompok masyarakat,

    pembuatan biopori) Seminar terkait dengan kota berkelanjutan

    2. Informasi Perangkat Informasi berkaitan dengan perubahan-perubahan pengetahuan maupun pandangan masyarakat untuk mendudkung tujuan yang ditetapkan. Hal demikian dicapai dengan mengintrodusir pengetahun-pengetahun tentang kondisi dan fakta yang ada serta prosedur-prosedur yang disepakati. Informasi ini dapat memanfaatkan jalur-jalur komunikasi yang telah ada dan berkembang di perkotaan seperti: komukasi lesan melalui penyuluhan, koran (khususnya KMD), radio, televisi, seni pentas (pertunjukan rakyat).

    3. Organisasi Perangkat ini bersifat desinsentif, yaitu berkaitan dengan prosedur-prosedur yang diijinkan dan yang tidak boleh dilanggar beserta sangsi-sangsinya. Beberapa contoh instrumen organisasi antara lain: PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang Ruang Terbuka Hijau, Corporate Social

    Responsibility (CSR) bagi RTH, PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang persyaratan penanaman pohon untuk pengurusan

    KTP PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang keringan pajak bagi lahan RTH PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang emisi kendaraan bermotor. PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang emisi kendaraan bermotor dan kompensasinya. PERDA/ PERBUP/ PERWALI tentang daya dukung lahan. MOU/ Kerjasama dengan instansi lain terkait tujuan kota hijau

    4. Instalasi Merupakan pengembangan sarana dan prasarana yang sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang kota untuk mendukung aktivitas yang diinginkan. Apabila perangkat peraturan dikategorikan sebagai perangkat desinsentif, maka pengembangan sarana dan prasarana ini merupakan perangkat insentif: yaitu memberikan suatu nilai tambah berupa kemudahan, kelancaran dan keuntungan bagi masyarakat yang mematuhi peraturan atau yang mendukung terciptanya kondisi yang diharapkan. Penataan Taman dan RTH Penambahan Perabot Taman Pembangunan Fasilitas Penunjang

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    6. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tentang kota berkelanjutan dan mekanisme pengendalian di atas,

    dapat dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut a. Perkembangan perencanaan dari generasi pertama sampai generasi ketiga telah membawa

    perubahan yang mendasar pada setiap model perencanaan yang dihasilkan. Masing-masing model memiliki karakteristik tersendiri sesuiai dengan tantangan yang dihadapi. Model Perencanaan generasi ketiga yang didasarkan atas teori sitem yang diperluas, menekankan pada keterbatasan kapasitas dan kemampuan perencana dalam konteks lingkungan yang lebih besar.

    a. Terdapat beragam kajian teoritis yang merekomendasikan model atau solusi preskriptif bentuk dan struktur ruang kota yang berkelanjutan. Konsep konsep tersebut, dapat dikelompokkan dalam model Neotraditional Development (termasuk di dalamnya New Urbanism, Transit Oriented Development, Transit Village, Transit Supportive Development, Transit Friendly Design), Urban Containment (termasuk Urban Greenbelt, Urban Growth Boundaries UGBs, dan Urban Limit Line ULL), Compact City dan The Eco-City .

    b. Keempat model di atas memiliki kriteria yang serupa yaitu (1) kepadatan yang tinggi ; (2) tingkat keragaman yang tinggi; (3) tata guna lahan campuran; (4) bentuk kota yang kompak; (5) transportasi yang berkelanjutan ; (6) passive solar design; (7) Greening Ecological Design. Penelitian mengenani struktur ruang dan juga bentuk kota yang berkelanjutan tersebut, diwarnai dengan pencarian bentuk kota yang mampu (1) mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor sehingga menimbulkan emisi yang lebih rendah sekaligus mengurangi konsumsi energi; (2) meningkatkan pelayanan transportasi umum yang lebih baik; (3) meningkatkan aksesibitas; (4) memanfaatkan kembali prasarana dan lahan yang telah dibangun; (5) meningkatkan regenerasi kawasan perkotaan; (6) meningkatkan kualitas hidup; dan (7) memberi perlindungan terhadap ruang terbuka hijau.

    c. Tiga kegiatan utama dalam mekanisme pengendalian adalah: Monitoring dan Rekomendasi:, yang merupakan kaji banding antara fakta (kondisi yang ada atau sedang berkembang) dengan tujuan (kondisi yang diharapkan, yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Kota) serta rekomendasinya; Evaluasi, yang merupakan tinjauan kembali terhadap tujuan yang telah ditetapkan dan dapat ditindak lanjuti dengan revisi tujuan; Intervensi/Tindakan terhadap kondisi yang ada,

    d. Instrumen pengendalian merupakan perangkat intervensi yang terdiri dari Informasi, Motivasi, Organisasi dan Intalasi, yang saling terkait dan mendukung.

    Referensi Acioly Jr , Claudio C. 2000. Can Urban Management Deliver the Sustainable City? Guided

    Densification in Brazil versus Informal Compactness in Egypt, dalam Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing Countries (editor Mike Jenks and Rod Burgess) .E & FN Spon, London.

    Berman, Michael Aaron. 1996. The Transportation Effects of Neo-Traditional Development. Journal of Planning Literature. Vol. 10, No. 4, hal 347-363

    Bohl, Charles C. 2000. New Urbanism and the city: Potential Applications and Implications for Distressed Inner-city Neighborhoods. Housing Policy Debate 11 (4): 761-801.

    Geurs, Karst T. dan van Wee, Bert. 2006. Ex-post Evaluation of Thirty Years of Compact Urban Development in the Netherlands. Urban Studies, Vol. 43, No. 1, hal. 139-160

    Hasse, John dan Kornbluh, Andrea. 2004. Measuring Accessibility as A Spatial Indicator Of Sprawl. Middle States Geographer, 2004, Vol 37. hal 108-115

    Heidemann, Claus. 1992. Methodologie Der Regionalplanung - Die Erste Und Einzige Kommentierte Bilderfibel Der Regionalplanung. Diskussionpapier Nr.16.

    Heidemann, Claus. 1992. Planning Theory. Institute for Regional Planning/Science, University of Karlsruhe.

    Hirt, Sonia. 2007. The Compact versus the Dispersed City: History of Planning Idea on Sofias Urban Form. Journal of Planning History. Vol. 6, No. 2, hal.138-165

  • Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Alih Fungsi Lahan yang Berdampak pada Keselamatan dan Kesehatan Ruang Kota

    Universitas Brawijaya. Malang, 3 Oktober 2013

    [email protected] [email protected]

    Jabareen, Yosef Rafeq. 2006. Sustainable Urban Form: Their Typologies, Model, and Concepts. Journal of Planning Education and Research. Vol. 26, 38-52.

    Jacobs, Jane. 2002. The Uses of Sidewalks: Safety from the Death and Life of Graet American Cites dalam The City Reader (editor Ricahrd T. LeGates dan Frederic Stout) . Routledge, Taylor & Francis Group. London and New York

    Kentworthy, Jeffrey R. 2006. The Eco-city: Ten Key Transport and Planning Dimensions for Sustainable Development. Environment and Urbanization. Vol. 18, No.1, hal. 67-85

    Neuman, Michael. 2005. The Compact City Fallacy. Journal of Planning Education and Research. Vol.25, hal.11-26.

    Newman, Peter. 1996. Reducing Automobile Dependence. Environment and Urbanization. Vol. 8, hal 67-92.

    Riddell, Robert. 2004. Sustainable Urban Planning: Tipping the Balance. Blackwell Publishing Ltd Rittel, H. 1972. On the Planning Crisis: Systems Analysis of the First and Second Generations,

    dalam Bedriftskonomen, No.8, October; pp. 390-396. Rittel, H. and Webber, M. 1973, Dilemmas in a General Theory of Planning, dalam Policy

    Sciences 4(2): 155-169. Rodriguez, D., Targa, F., dan Aytur, S. 2006. Transport Implications of Urban Containment Policies:

    A Study of the Largest Twenty-five US Metropolitan Areas. Urban Studies, Vol. 43, No. 10, hal. 1879-1897.

    Schneider, Annemarie dan Woodcock, Curtis. 2008. Compact, Dispersed, Fragmented, Extensive?. A Comparison of Urban Growth in Twenty-five Global Cities using Remotely Sensed Data, Pattern Metrics and Census Information. Urban Studies. Vol. 45, No. 3, hal. 659-692.

    Schnwandt, Walter L.. 2008. Planning in crisis? : theoretical orientations for architecture and planning. Ashgate Publishing Limited

    Talen, Emily, dan Cliff Ellis. 2002. Beyond relativism: Reclaiming the search for good city form. Journal of Planning Education and Research. Vol. 22, hal. 36-49.

    Talen, Emily. 2006. Design That Enables Diversity: The Complications of a Planning Ideal. Journal of Planning Literature. Vol. 22, No.3, hal. 233-249

    Whitehead, Mark. 2003. (Re)Analysing the Sustainable City: Nature, Urbanisation and the Regulation of Socio-environmental Relations in the UK. Urban Studies, Vol. 40, No. 7, 11831206

    Wicaksono, Agus Dwi dan Supriharjo, Rimadewi . 2009. Sustainable Urban Mobility: Eksplorasi pengaruh Pola Struktur Kota. Makalah pada Seminar Nasional Teknik Sipil ITS V 2009 dengan Tema Teknologi Ramah Lingkungan dalam Bidang Teknik Sipil.

    Wicaksono, Agus Dwi. 1994. Die Stadtplanung in Ostjava-Indonesien; Aufgaben, Arbeitsablaeufe und Erfolgs-aussichten. Universitaet Karlsruhe.

    Wicaksono, Agus Dwi. 1999. Realisasi Perencanaan Kota di Jawa Timur. Jurnal Fakultas Teknik Vol 2.tahun 1999

    Wicaksono, Agus Dwi. 2008. Evaluasi Struktur Tata Ruang Kota Probolinggo Berdasarkan Aspek Transportasi Berkelanjutan. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

    Woo, Myungje. 2007. Impact of Urban Containment Policies on Urban Growth and Structure. The Ohio State University.