mediasi dan representasi imej dalam "tobacco packaging warning messages"

29
I. Abstrak Makalah ini akan mengaitkan fenomena warning messages –pesan – pesan peringatan yang tercantum dalam kemasan rokok, dengan konsep pengantar media dan kajian budaya, khususnya konsep mediasi –dimana teks media berusaha menerangkan dan memberikan informasi mengenai realita atau keadaan diluar sana dengan sebenar – benarnya, serta bagaimana kemudian efek tersebut menjadi sebuah representasi—atau dimana sebuah teks media yang disampaikan kepada khalayak terlebih dahulu mengalami proses gatekeeping, sehingga yang disampaikan oleh teks media tersebut kepada khalayak bukanlah kondisi yang seutuhnya benar – benar terjadi. Selain konsep mediasi dan representasi, makalah ini juga akan mengaitkan fenomena warning messages yang berada dalm kemasan rokok dengan konsep semiotika, atau bagaimana sebuah teks media bersifat polisemi –atau bermakna banyak—dan bagaimana pada akhirnya khalayak akan memposisikan diri mereka dalam menginterpretasikan makna yang disalurkan oleh warning messages dalam kemasan rokok tersebut, dan dimana efektifitas pesan yang disampaikan melalui kemasan rokok ini tanpa mengasah kecurigaan daripada masyarakat terkait efek samping yang ditimbulkan II. Latar Belakang

Upload: dianti-saddono

Post on 31-Dec-2015

112 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Paper Mata KuliahPengantar Media dan Kajian Budaya

TRANSCRIPT

I. Abstrak

Makalah ini akan mengaitkan fenomena warning messages –pesan – pesan

peringatan yang tercantum dalam kemasan rokok, dengan konsep pengantar media

dan kajian budaya, khususnya konsep mediasi –dimana teks media berusaha

menerangkan dan memberikan informasi mengenai realita atau keadaan diluar

sana dengan sebenar – benarnya, serta bagaimana kemudian efek tersebut menjadi

sebuah representasi—atau dimana sebuah teks media yang disampaikan kepada

khalayak terlebih dahulu mengalami proses gatekeeping, sehingga yang

disampaikan oleh teks media tersebut kepada khalayak bukanlah kondisi yang

seutuhnya benar – benar terjadi.

Selain konsep mediasi dan representasi, makalah ini juga akan mengaitkan

fenomena warning messages yang berada dalm kemasan rokok dengan konsep

semiotika, atau bagaimana sebuah teks media bersifat polisemi –atau bermakna

banyak—dan bagaimana pada akhirnya khalayak akan memposisikan diri mereka

dalam menginterpretasikan makna yang disalurkan oleh warning messages dalam

kemasan rokok tersebut, dan dimana efektifitas pesan yang disampaikan melalui

kemasan rokok ini tanpa mengasah kecurigaan daripada masyarakat terkait efek

samping yang ditimbulkan

II. Latar Belakang

“The Technical Guide on Tobacco Labelling and Packaging is intended to

assist governments in implementing effective packaging and labelling

measures that are required and recommended by the WHO Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC), and included in the World Health

Organization (WHO) Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008 – the

MPOWER package.”1

Seperti yang kita ketahui, merokok telah menjadi sebuah kebiasaan, budaya

bahkan trend sejak abad ke-16. Dimana kemunculan awal rokok dimulai dari daratan

1 Dikutip dari jurnal : “Tobacco Packaging and LabellingTechnical guide”, diakses melalui http://www.tobaccofreeunion.org/files/186.pdf

Amerika Selatan. Hingga hari ini, rokok masih beredar penjualannya secara komersil

di tokok – toko besar yang kita temui sehari – hari. Hingga hari ini, rokok bukanlah

salah satu barang langka dan sulit untuk didapat. Bahkan di Indonesia sendiri,

penjualan rokok juga terdapat di warung – warung kecil sehingga dengan mudahnya

akses untuk mendapatkan rokok dari berbagai kalangan usia –terutama karena tidak

pekanya konsumen akan bahaya yang ditimbulkan rokok itu sendiri.

Rokok kini hadir dengan berbagai bentuk kemasan, bahkan rasa yang makin

beragam. Sebut saja Marlboro Ice Blast, hadir dengan rasa mint – nya yang menarik,

serta kemasan berwarna hitam dan biru metalik tampak begitu menarik. Namun, yang

akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini adalah kemasan rokok yang justru

meningkatkan permintaan terhadap rokok itu sendiri.

Selama ini kemasan dianggap sebagai salah satu komponen penting dalam

melakukan strategi pemasaran. Kemasan bahkan dianggap menggambarkan identitas

dari merk suatu produk, serta menjadi salah satu penunjang yang efektif dalam

mempromosikan poin - poin penting pemasaran, atau bahkan saat produk tersebut

tengah dipergunakan oleh konsumen. Dalam makalah ini, yang akan dikaji adalah

kemasan produk rokok—kemasan produk yang seringkali ter- “ekspos” saat

seseorang sedang melakukan konsumsi terhadap rokok. Seperti yang dikatakan oleh

John Digianni, yaitu seorang desainer kemasan rokok,

“A cigarette package is unique because the consumer carries it around with

him all day... It’s a part of a smoker’s clothing, and when he saunters into a bar and

plunks it down, he makes a statement about himself—kemasan rokok adalah sesuatu

yang unik karena konsumen akan membawanya sepanjang hari…bagian dari pakaian

dan gayanya, serta mendefinisikan siapakah dirinya.”

Karena adanya konsep – konsep pemasaran yang mengedepankan pengemasan

rokok untuk menaikkan permintaan pasar, serta kemasan rokok dianggap sebagai

salah satu media periklanan produk rokok itu sendiri, WHO (world health

organization) menetapkan sebuah peraturan terkait pengemasan rokok itu sendiri,

sehingga dimulai dari tahun 2000 hingga sekarang, pengemasan rokok di beberapa

Negara (termasuk di Indonesia) harus mencantumkan bahaya dan efek samping dari

konsumsi rokok sendiri. Pada awalnya, pencantuman bahaya dan efek samping hanya

melalui kata – kata saja, namun lama – kelamaan gambar daripada efek samping juga

menjadi salah satu yang mendominasi kemasan rokok tersebut.

Pencantuman efek samping dan penyakit yang ditimbulkan akibat merokok

pada awalnya hanya berupa peringatan melalui kata – kata, namun dalam rangka

meningkatkan awareness dan mencapai tingginya tingkat perokok yang berhenti, kini

peringatan yang tercantum dalam kemasan mulai menunjukkan simbol – simbol

berupa foto dengan kata – kata yang menunjang, atau bahkan beberapa menggunakan

testimoni.

Dan sejumlah data bersumber dari jurnal – jurnal menunjukkan bahwa tingkat

efektifitas akan jauh lebih tinggi ketika peringatan yang dicantumkan dalam kemasan

rokok tersebut tidak hanya dengan kata – kata saja, melainkan dengan gambar, simbol

ataupun segala sesuatu yang bersifat visual. Bahkan, ada beberapa yang justru

‘mendandani’ kemasan dari rokok tersebut serupa dengan penyakit yang ditimbulkan

kala mengkonsumsi rokok pada skala tertentu.

Selain itu, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh James F. Thrasher dengan

judul Pictorial health warning labels on cigarette packaging: A cost-effective

population intervention, Ia mencantumkan data – data terkait signifikansi penggunaan

simbol dan gambar dalam campaign yang dilakukan melalui pengemasan produk

rokok, dimana efek yang ditimbulkan jauh lebih signifikan ketika adanya penggunaan

gambar ketimbang hanya sekedar kata – kata semata.

Diagram diatas menunjukkan data yang diperoleh oleh Calvante TM Labeling

and Packaging in Brazil pada tahun 2002 silam, bahwa dengan keberadaan peringatan

kesehatan tentang bahaya merokok justru meningkatkan penghentian jumlah perokok

di Brazil pada tahun tersebut. Bagan diatas juga menunjukkan kenaikan cukup pesat

terjadi setelah peringatan mulai menggunakan gambar dan simbol, ketimbang hanya

sekedar kata – kata semata.

Adanya peningkatan pemberhentian jumlah perokok yang pesat karena adanya

peringatan berupa gambar dan simbol memiliki efek yang masif terhadap perokok.

Untuk itu, makalah ini membahas tingkat kemasifan dan ke-efektifitasan penggunaan

gambar dan simbol terhadap makna yang kemudian akan diinterpretasikan oleh para

pembaca teks media. Dan betapa simbol dan gambar yang turut menjadi teks dalam

kemasan rokok tersebut dengan mudah mendapat perhatian dan bahkan merubah

sikap para perokok, bahkan tanpa adanya kepekaan seberapa seringnya penyakit –

penyakit tersebut dialami para perokok, dan dalam kadar yang seberapakah penyakit

dan efek samping akan muncul kepada perokok, dimana teks berupa gambar dan

simbol pada kemasan rokok lama kelamaan tidak lagi menjadi sekedar mediasi,

namun mulai beranjak kearah representasi.

III. Landasan Konseptual

Landasan konseptual yang akan digunakan dalam pembahasan masalah adalah

konsep Pengantar Media dan Kajian Budaya yang diambil dari buku Media and

Society, yaitu Chapter 5 : Mediation and Representation, serta Chapter 7 :

Semiology.

III.1 Mediasi dan Representasi

Representasi merupakan konsep utama dalam kajian media. Menurut

O’Shaugnessy, ada tiga makna yang dapat ditarik dari konsep representasi ini, antara

lain :

1. to look like or to resemble –untuk menyerupai atau membuat cerminan akan

suatu hal.

2. To stand in for something or someone –untuk mempertegas makna dari

sesuatu, atau makna yang datang dari seseorang.

3. To present a second time –untuk menunjukkan ulang suatu kejadian.

O’Shaugnessy juga mengatakan bahwa bahasa dan representasi media dapat

melakukan tiga hal tersebut diatas, dimana kita—sebagai khalayak atau pembaca—

mengenali dunia berdasarkan adanya bahasa dan representasi dari media. Terdapat

hubungan yang kompleks antara realita dan representasi. Seperti yang dikatakan oleh

Richard Dyer, bahwa

“…seseorang memahami realita hanya melalui representasi akan sebuah realitas,

melalui teks, wacana, atau gambar yang disajikan oleh media…namun karena

seseorang tersebut memahami realitas melalui representasi, tidak berarti Ia tidak dapat

melihat kebenaran dari sebuah realita sama sekali… realita selalu lebih kompleks

ketimbang representasi manapun yang dilakukan oleh media apapun, dimana

representasi hampir tidak pernah mendekati realita, dan menyebabkan mengapa

sejarah manusia memproduksi begitu banyak perbedaan dan cara yang berubah –ubah

dalam membuat pembaca dapat memahaminya.”

Maksud dari perkataan Dyer diatas adalah apabila kita merasa suatu representasi

tidak cukup mewakili atau menggambarkan sebuah realita, maka kita harus mencari

cara lain untuk melakukan representasi sedemikian rupa. Melakukan perbaharuan

terhadap representasi telah terjadi kian lama dalam sejarah kebudayaan manusia—

mengembangkan gaya baru dalam melakukan representasi serta menemukan cara –

cara yang baru untuk melihat dan memahami realita.

Dalam mengkaji kasus pesan peringatan dalam kemasan rokok ini ada sebuah

model yang akan digunakan, yakni model of the media-world relationship –

menekankan proses konstruksi, seleksi dan interpretasi :

Through Cameras/projectors/sound recorders

Media pada dasarnya berasal dari kata ‘middle’ –tengah. Media merupakan

suatu hal yang terletak ditengah, antara pengirim pesan dan khalayak atau audiences.

Dalam model ini, dapat dilihat bahwa adanya sifat saling mempengaruhi antara realita

dan Media, sehingga realita dapat direpresentasikan sedemikian rupa melalui media.

Media merepresentasikan, mengkonstruksikan, menginterpretasikan realita dan

merubahnya menjadi sebuah gambaran/teks mengenai realita tersebut.

III.2 Semiologi

Semiologi, atau semiotika, dikenal sebagai metode untuk menganalisis

bahasa, simbol, atau tanda dan sistem dari penandaan itu sendiri (the study of signs

and sign systems). Semiologi menggarisbawahi bahwa segala bentuk komunikasi

adalah berdasarkan sistem penandaan (sign systems), yang berlaku terhadap struktur

atau peraturan yang terdapat didalam suatu sistem. Dalam konteks semiology, tanda

(sign) adalah aspek pusat, yang bisa dimengerti melalui dua cara:

The World/Reality

The Media Representations/Constructions/Interpretations

Images/ Texts

1. Tanda bekerja dalam basis bahwa ia bermaksud atau merepresentasikan hal

lain diluar dirinya—seperti makna, konsep atau gagasan.

2. Setiap simbol mengandung signifier dan signified. Signifier merupakan aspek

terlihat yang merepresentasikan sebuah gagasan. Sementara signified

merupakan rujukan terhadap suatu konsep akan simbol – simbol tertentu.

Sign = Flower

Signifier = f-l-o-w-e-rDalam sebuah kata ‘flower’

Dengan memahami adanya konsep signifier dan signified, kita seharusnya

dapat melihat keberadaan kontruksi dalam pesan – pesan media, dan meningatkan

bahwa yang kita saksikan bukanlah sebenar-benarnya realita, melainkan sesuatu yang

mendekati realita, serta signifier dan signified yang bertujuan untuk

merepresentasikan dunia nyata.

O’Shaugnessy menuliskan bahwa dalam memhami bagaimana semiologi

bekerja, terdapat beberapa poin – poin kunci, yaitu :

1. Codes & conventions, dalam mengkomunikasikan tanda,

Semua pesan media menggunakan kode, dan dikomunikasikan melalui

conventions. Kode merupakan ketetapan – ketetapan tertentu dalam

mengkomunikasikan suatu makna. Seperti contohnya dalam bahasa, maka

yang menjadi kode adalah huruf – huruf yang menjadi bagian dalam

pemantapan makna dari suatu hal. Sementara itu konvensi (conventions)

merupakan metode dalam mengatur keberadaan tanda ataupun kode dalam

mengkomunikasikan suatu makna, dengan cara yang kemudian menjadi suatu

kebiasaan, dan telah dikenal dalam waktu yang cukup lama. Seperti halnya

dalam bahasa, maka tata bahasa dan strukturnya merupakan konvensi, yang

telah disesuaikan dengan budaya setempat dan menjadi suatu kebiasaan, serta

telah dikenal dalam waktu yang turun – temurun. Atau O’Shaugnessy

Signified = konsep ‘Flower’, berkelopak, bertangkai, dsb.

mencontohkan, bahwa dalam ‘digital literacy’ atau ‘net-speak’, maka yang

menjadi kode dan konvensi adalah rangkaian bahasa yang digunakan dalam

menulis pesan dalam e-mail ataupun SMS, seperti “gr8! C U L8R”, atau “I

miss U 2,” dimana kode yang digunakan bertujuan untuk mempersingkat

pesan, dan terangkai dalam suatu konvensi yang kemudian dikenal oleh orang

banyak.

2. Tidak terlepas dari adanya budaya yang dibagi secara bersama, juga

tergantung dari pengetahuan akan suatu budaya,

Bagaimana sebuah sistem penandaan dapat bekerja, adalah apabila orang –

orang yang saling berkomunikasi dengan tanda – tanda tersebut,

berkomunikasi dengan cara yang sama. Contoh, makna dari tulisan – tulisan

‘digital literacy’ seperti “Gr8! B4 tomorrow!” tidak mungkin dapat dimengerti

oleh para penghuni panti jompo. Contoh lainnya adalah bahasa suatu daerah

hanya akan digunakan secara efektif oleh masyarakat yang memang tinggal di

regional yang sama—sulit apabila seorang dari etnis Sunda yang memang

sudah tinggal di daerah Sunda, berkomunikasi menggunakan bahasa etnis

Minahasa dengan masyarakat Minahasa. Maka dalam rangka memahami

perbedaan tanda yang terbagi dalam kode – kode yaitu bahasa, kita harus

belajar dan memahami bahasa- bahasa tersebut sendiri.

3. Terdapat sistem perbedaan dalam mengkomunikasi tanda – tanda.

Salah satu poin penting dari Saussure yang dikutip O’Shaugnessy dalam

menganalisis bahasa adalah bagaimana kata – kata tidak dapat diartikan

apabila ia sendirian, dimana kata tersebut baru memiliki makna yang utuh

apabila kita bandingkan dengan kata lain yang berhubungan dengannya.

Sebagai contoh, makna kata ‘kiri’ tidaklah berarti apa – apa tanpa kita

mengetahui adanya konsep ‘kanan’ ataupun ‘arah’. Atau bagaimana kita

memaknai arti dari warna bendera Indonesia tanpa kita melihat artinya secara

filosofis. Contoh lain dalam sistem perbedaan dalam berkomunikasi lewat

tanda adalah warna merah dalam dispenser tidak akan berarti ‘panas’ apabila

tidak ada warna biru yang berarti ‘dingin’ sebagai kebalikannya. Maka, dalam

memaknai suatu tanda atau simbol, dibutuhkan kata lain atau konsep lain –

yang pada umumnya bersifat keterbalikan—agar makna dari suatu tanda atau

simbol tersebut menjadi utuh.

4. Konotasi dan denotasi juga tidak dapat terlepas dalam

mengkomunikasikan tanda – tanda.

Denotasi adalah sesuatu yang Barthes sebut sebagai ‘the first order of

signification’ –tahap pertama dalam memahami. Denotasi merujuk kepada

makna asli dari suatu tanda atau simbol, dimana tanda atau simbol tersebut

mengkomunikasikan makna nya dan bisa diterima secara masuk akal. Menurut

O’Shaugnessy, makna denotasi dapat diekspresikan dengan mendeskripsikan

tanda tersebut dengan sesederhana mungkin. Sebagai contoh, makna denotasi

dari Ibu Kartini adalah seorang perempuan Indonesia dari etnis Jawa yang

hidup pada masa dimana perempuan belum mendapatkan kebabasan

sepenuhnya atas dirinya sendiri. Atau makna denotasi dari bendera Indonesia

adalah bentuk kotak yang terdiri atas dua warna yang tertera secara horizontal

—merah dan putih. Jadi, makna denotatif dapat dikatakan pula sebagai makna

yang langsung dapat kita tangkap langsung secara visual, tanpa melihat makna

lain didalamnya.

Sementara itu konotasi adalah tahap kedua dalam pemahaman, merujuk

kepada emosi, nilai, serta asosiasi yang diberikan sebuah tanda sehingga dapat

dipahami oleh khalayak—atau membuat kita sebagai khalayak membuat kita

merasa atau berimajinasi. Seperti contohnya, makna konotasi atas ibu Kartini

adalah seorang perempuan yang harum namanya, akibat perjuangannya

menyetarakan hak – hak kaum perempuan. Atau makna konotasi akan bendera

Indonesia adalah warna merah melambangkan keberanian, serta warna putih

melambangkan kesucian. Lebih jelas lagi, O’Shaugnessy menerangkan sebuah

contoh, dimana warna merah dapat memiliki berbagai macam arti –di Negara

barat dinilai sebagai warna yang melambangkan sensualitas, di Cina dianggap

sebagai warna pembawa keberuntungan atau komunisme. Makna konotasi

dalam media dapat diartikan sebagai sesuatu yang di persepsikan khalayak

dalam suatu gambar. Terdapat dua macam konotasi, yaitu:

1. Individual connotations –Konotasi individual.

Yang dimaksud dengan konotasi individual adalah makna tertentu yang

kita peroleh berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Contoh, apabila

saat masih kecil kita memiliki pengalaman buruk dengan Anjing, maka

setiap kali muncul figur mamalia berkaki empat dan gemar

menggonggong, maka dengan otomatis kita akan menghindarinya, dan

menjaga diri kita agar pengalaman buruk yang kita pernah alami dengan

hewan tersebut kembali terulang. Atau ketika Anjing menjadi salah satu

komponen dalam teks media, maka yang muncul justru konotasi buruk

mengenai hewan tersebut, ketimbang sosok Anjing yang dinilai sebagai

sahabat Manusia.

2. Cultural connotations – Konotasi Budaya.

Seperti halnya dengan konotasi individual, konotasi budaya merupakan

makna konotasi yang disebabkan karena budaya yang berlaku disekeliling

kita. Contohnya, di Indonesia penggunaan kebaya menggambarkan kaum

ningrat, konservatif dan ke-Jawa-Jawa-an. Atau seperti analisis John Fiske

tentang jeans yang dikutip O’Shaugnessy dalam bukunya, jeans

menggambarkan kebabebasan, jiwa muda, dan kesetaraan.

Kemudian, O’Shaugnessy kembali melakukan kutipan dalam bukunya, yaitu

analisis C.S Pierce mengenai pembagian tanda menjadi tida tipe :

1. Iconic Signs

Iconic signs mengacu kepada hubungan yang mencerminkan kemiripan atas

signifier dan signified. Seperti contohnya adalah bagaimana sebuah lukisan

menggambarkan kemiripan objek didalamnya dengan objek aslinya. Ataupun

menurut O’Shaugnessy, suara yang terekam seperti suara serigala melolong,

ataupun suara debur ombak, juga dapat disebut iconic signs karena suara yang

terekam menggambarkan suasana asli dari suatu peristiwa.

2. Indexical Signs

Mengacu kepada bagaimana signifier menjadi suatu indikasi, arahan, atau

pengukuran, tahapan, atau penyebab akan suatu hal. Contoh, lambang

kebakaran di gambarkan dengan gambar rokok; karena rokok dapat menjadi

salah satu penyebab kebakaran. Ataupun tanda yang diberikan berupa lampu

mobil yang dikedipkan sebanyak sekian kali mengindekskan bahwa sebuah

mobil akan mengambil putaran balik.

3. Symbolic Signs

Symbolic signs banyak berhubungan dengan kesepakatan yang terjadi secara

budaya. Dimana hubungan antara signifier dan signified bersifat illogical atau

tidak berhubungan secara logis. Mengandung arbitrary signifiers, atau disebut

tidak adanya hubungan secara logis kepada signified-nya, melainkan hanya

sebuah kesepakatan secara budaya. Contoh yang paling mudah adalah simbol

matematis seperti “∞” untuk menggambarkan tak terhingga, atau ‘α’ untuk

alpha. Tidak ada hubungan yang logis antara signified dan signifier-nya,

melainkan hanya kesepakatan secara budaya semata. Itulah symbolic signs.

IV. Pembahasan

Kemasan rokok merupakan bagian yang paling efektif dalam strategi pemasaran

rokok. Kemasan rokok dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, atau identitas dari

perokok yang mengkonsumsinya. Namun pada tahun 2000-an, WHO (world health

organizations) menetapkan bahwa dalam rangka menekan jumlah perokok di dunia—

atau di beberapa Negara—maka dalam setiap bungkus atau kemasan rokok, harus

memuat bahaya dan efek samping yang mungkin ditimbulkan dari mengkonsumsi

rokok.

WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) Article

11.1(b)

“1. Each Party shall, within a period of three years after entry into force of this

Convention for that Party, adopt and implement, in accordance with its national law,

effective measures to ensure that:

.(b) Each unit packet and package of tobacco products and any outside packaging

and labelling of such products also carry health warnings describing the harmful

effects of tobacco use, and may include other appropriate messages. These warnings

and messages: (i) shall be approved by the competent national authority; (ii) shall be

rotating; (iii) shall be large, clear, visible and legible; (iv) should be 50% or more of

the principal display areas but shall be no less than 30% of the principal display

areas; (v) may be in the form of or include pictures or pictograms.”

WHO mencetuskan sebuah kebijakan terkait propaganda untuk mengampanyekan

pemberhentian merokok. WHO juga menyetujui bahwa kemasan rokok memang

sarana propaganda (sebagai halnya sarana propaganda dalam pemasaran) yang efektif

dan mampu mempengaruhi konsumen dengan mudahnya. WHO mencetuskan bahwa

dalam memuat pesan peringatan dalam bungkus dan kemasan rokok, harus memuat

empat komponen :

1. Tipe resiko yang spesifik dalam mengkonsumsi rokok (kanker paru – paru,

penyakit jantung, stroke, ketergantungan)

2. Besarnya resiko yang mungkin dialami dalam mengkonsumsi rokok (apakah

yang mungkin didapat dari mengkonsumsi rokok sebanyak sekian bungkus

dalam frekuensi waktu sekian?)

3. Konsekuensi yang mungkin didapat dari resiko merokok (apa yang akan

terjadi pada kita apabila mengalami kanker hati, dan adakah kesempatan untuk

bertahan menghadapinya?)

4. Keuntungan dalam merubah kebiasaan merokok.

Menurut Jim F. Thrasher, PhD, MA, MS, dari Departemen Promosi Kesehatan,

Pendidikan, dan Perilaku, Arnold School of Public Health terjadi peningkatan

pemberhentian perokok sangat drastis ketika peringatan dalam kemasan rokok tidak

hanya dalam sebatas kalimat – kalimat saja, melainkan adanya simbol pictorial berupa

gambar ataupun foto, bahkan testimoni.

Dalam kaitannya dengan konsep – konsep pada landasan konseptual, bahwa

pemilihan konten atau gambar dalam kemasan rokok dapat dikaitkan dengan konsep

representasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh James F. Thrasher,

memperlihatkan bahwa penambahan kata – kata yang mendukung kekuatan makna

yang akan di beri oleh peringatan tersebut memang terjadi, sehingga gambar tidak

sepenuhnya bekerja sendirian tanpa adanya olahan dari para pembuat kebijakan

tersebut. Seperti peringatan yang pada awalnya hanya merupakan kalimat – kalimat

biasa, lama – lama dalam rangka membentuk opini publik terkait bahaya rokok, maka

simbol – simbol berupa gambar pun mulai digunakan.

Gambar diatas menunjukkan bahwa adanya perubahan dari peringatan yang sekedar

berasal dari kalimat dan tulisan saja, menjadi gambar – gambar efek samping dan

bahaya merokok untuk membentuk opini publik. Tidak hanya itu,tiga makna dari

representasi –seperti yang telah dijabarkan pada landasan konseptual—antara lain :

1. to look like or to resemble –untuk menyerupai atau membuat cerminan akan suatu

hal.

2. To stand in for something or someone –untuk mempertegas makna dari sesuatu,

atau makna yang datang dari seseorang.

3. To present a second time –untuk menunjukkan ulang suatu kejadian.

Representasi merupakan sebuah usaha untuk membuat kemiripan atau

mencerminkan apa yang terjadi di realita, namun tidak dapat diartikan sebagai sesuatu

yang terjadi secara sering atau dalam frekuensi waktu yang banyak. Pemasangan

peringatan dalam kemasan rokok ini sendiri bahkan memiliki ukuran—topik apakah

yang akan lebih banyak mendapatkan perhatian dari konsumen.

Dapat disaksikan apabila topik yang akan lebih banyak mendapatkan perhatian

adalah gambar yang menyertakan kutipan, sehingga kata – kata yang menunjang

makna gambar tersebut terlihat seperti sebuah testimoni.

Terlihat apabila ada proses ‘gatekeeping’ atau pendandanan yang dilakukan terhadap

pesan yang ingin disampaikan, sehingga pesan akan lebih efektif diterima oleh publik,

dan tujuan daripada pemberian pesan—dalam konteks ini kampanye pemberhentian

merokok—dapat tercapai. Kasus ini dapat dilihat dari salah satu model representasi,

yaitu model of the media-world relationship. O’Shaugnessy mengatakan bahwa model

ini menekankan pada proses mediasi, namun maksud dari penggunaan model ini

dalam mengkaji representasi yang terjadi dalam kasus peringatan dalam kemasan

rokok ini adalah terdapatnya tarik-menarik antara satu komponen dengan komponen

lainnya, dan saling memberi pengaruh.

Realita (terjadinya efek samping dan bahaya akan merokok) akan memberi pengaruh

terhadap teks media yang tercantum di dalam media itu sendiri. Media (pesan

peringatan dalam kemasan rokok) akan memberikan pengaruh terhadap konsumen

(audiences), dan sebaliknya, keputusan yang dibuat oleh para konsumen untuk tidak

merokok, akan menjadi trigger dimana kemasan – kemasan rokok juga akan mulai

memproduksi kemasan dengan unsur yang sama, sehingga pesan peringatan dalam

kemasan rokok akan terproduksi dalam jumlah yang lebih lagi. Hal itu menyebabkan,

realita yang terjadi kemudian akan mengalami perubahan (menurunnya jumlah

perokok menyebabkan menurunnya pula tingkat penderita kanker hati—salah satu

efek samping merokok). Dan adanya efek samping dalam realita ini kemudian

membuat media mengkontruksikan sebuah realita tersebut ke dalam gambar dalam

bungkus rokok, menjadikannya sebuah pesan peringatan.

Selain representasi, konsep yang akan digunakan dalam membedah kasus ini

adalah semiologi—semiotika, yaitu metode yang digunakan untuk mempelajari

simbol – simbol atau tanda – tanda dalam masyarakat.

Konotasi dan denotasi bisa dilihat keterlibatannya dalam pengemasan pesan

dalam bungkus rokok ini.

Seperti gambar diatas, denotas pada gambar tersebut merupakan seorang yang

tengah terbaring sakit, apabila dilihat dari tulisannya, maka dapat diketahui

merupakan figur pasien yang sedang mengalami kanker paru – paru akibat merokok.

Maka makna konotasi dari gambar diatas adalah efek samping dari bahaya merokok

yang bertujuan agar konsumen berpikir dua kali sebelum akhirnya memutuskan untuk

mengonsumsi rokok. Dalam hal ini maka konotasi yang berlaku adalah secara

individual, karena bagaimana makna dari gambar yang terdapat dalam kemasan rokok

akan dipersepsikan secara berbeda oleh masing – masing individual. Namun, apabila

pemasangan gambar berupa efek samping pada bungkus rokok ini telah mengakar-

budaya dimana setiap perusahaan rokok diseluruh dunia wajib menerapkan hal ini,

maka tidak menutup kemungkinan hal ini dapat menjadi sebuah konotasi yang bisa

dimengerti secara budaya (cultural connotations).

Adapun gambar – gambar atau tulisan yang tertera pada bungkus dan kemasan rokok

dapat diklasifikasikan sebagai indexical signs, karena menunjukkan adanya indikasi

terhadap sesuatu, serta kausalitas (hubungan sebab – akibat) dari mengonsumsi rokok

dan akibat mungkin terjadi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa masing – masing

efek samping yang tertera sebagai pesan peringatan di kemasan rokok menunjukkan

akibat yang timbul akibat mengonsumsi rokok.

Merupakan salah satu contoh indexical signs, karena menunjukkan indikasi, hubungan sebab-akibat

dari tindakan mengkonsumsi rokok.

V. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ‘tobacco packaging warning messages’ merupakan

salah satu sarana yang tepat dalam mempropagandakan suatu tujuan (baik secara

pemasaran, ataupun kampanye anti rokok). Namun didalamnya tidak dapat terlepas

dari konsep representasi, dimana kekuatan dari pesan yang disampaikan melalui

kemasan tokok tersebut itu mengalami proses ‘gatekeeping’ dengan menambahkan

kata – kata berupa testimoni ataupun keterangan dari efek samping yang tertera

tersebut, dimana kata – kata yang tercantum untuk menambahkan kekuatan efektifitas

pesan belum tentu sepenuhnya benar. Analisis juga digunakan melalui salah satu

model yaitu model of the media-world relationship, dimana ketiga komponen yang

terlibat didalamnya (realita, media dan khalayak) saling memberikan pengaruh satu

sama lain, digambarkan dengan panah bermata dua yang terletak diantara masing –

masing komponen.

Selain itu, fenomena ‘tobacco packaging warning messages’ juga dilihat

melalui konsep semiotika, dimana terdapat makna denotasi dan konotasi di dalam

gambar – gambar yang tertera di kemasan rokok tersebut. Selain itu, gambar juga

dapat diterjemahkan sebagai indexical signs, karena menunjukkan adanya indikasi

dan kausalitas yang mungkin terjadi karena pengkonsumisan terhadap rokok.

Penaruhan pesan peringatan di bungkus rokok ini terlihat sangat efektif dalam

mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak untuk berhenti merokok, padahal tidak

sepenuhnya pesan yang dibubuhkan di kemasan rokok tersebut sesuai dengan realita

yang terjadi.

VI. Daftar Pustaka

O’Shaugnessy, M. & Stadler, J. (2005). Media and Society. Oxford, New York:

Oxford University Press.

Durham, M.G. & Kellner, D.M. (2005). Media and Cultural Studies: Keyworks.

Malden, MA: Blackwell Publishing.

During, Simon (ed), 2005. The Cultural Studies Reader. Second Edition. New York:

Routledge

VII. Daftar Jurnal

Jurnal “Tobacco Packaging and Labelling Technical guide” oleh Tobacco Control at

the Union United for Tobacco- free Future, diakses melalui

http://www.tobaccofreeunion.org/files/186.pdf

Jurnal “Tobacco Packaging Health Warning Labels” oleh European Comission,

diakses melalui

http://ec.europa.eu/public_opinion/archives/quali/ql_5818_tobacco_en.pdf

Jurnal “Pictorial health warning labels on cigarette packaging: A cost-effective

population intervention” oleh James F. Thrasher, diakses melalui

http://www.vcu.edu/idas/docs/Thrasher_VCU_pictorial_HWLs_2012.pdf