mediasi dan representasi imej dalam "tobacco packaging warning messages"
DESCRIPTION
Paper Mata KuliahPengantar Media dan Kajian BudayaTRANSCRIPT
I. Abstrak
Makalah ini akan mengaitkan fenomena warning messages –pesan – pesan
peringatan yang tercantum dalam kemasan rokok, dengan konsep pengantar media
dan kajian budaya, khususnya konsep mediasi –dimana teks media berusaha
menerangkan dan memberikan informasi mengenai realita atau keadaan diluar
sana dengan sebenar – benarnya, serta bagaimana kemudian efek tersebut menjadi
sebuah representasi—atau dimana sebuah teks media yang disampaikan kepada
khalayak terlebih dahulu mengalami proses gatekeeping, sehingga yang
disampaikan oleh teks media tersebut kepada khalayak bukanlah kondisi yang
seutuhnya benar – benar terjadi.
Selain konsep mediasi dan representasi, makalah ini juga akan mengaitkan
fenomena warning messages yang berada dalm kemasan rokok dengan konsep
semiotika, atau bagaimana sebuah teks media bersifat polisemi –atau bermakna
banyak—dan bagaimana pada akhirnya khalayak akan memposisikan diri mereka
dalam menginterpretasikan makna yang disalurkan oleh warning messages dalam
kemasan rokok tersebut, dan dimana efektifitas pesan yang disampaikan melalui
kemasan rokok ini tanpa mengasah kecurigaan daripada masyarakat terkait efek
samping yang ditimbulkan
II. Latar Belakang
“The Technical Guide on Tobacco Labelling and Packaging is intended to
assist governments in implementing effective packaging and labelling
measures that are required and recommended by the WHO Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC), and included in the World Health
Organization (WHO) Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008 – the
MPOWER package.”1
Seperti yang kita ketahui, merokok telah menjadi sebuah kebiasaan, budaya
bahkan trend sejak abad ke-16. Dimana kemunculan awal rokok dimulai dari daratan
1 Dikutip dari jurnal : “Tobacco Packaging and LabellingTechnical guide”, diakses melalui http://www.tobaccofreeunion.org/files/186.pdf
Amerika Selatan. Hingga hari ini, rokok masih beredar penjualannya secara komersil
di tokok – toko besar yang kita temui sehari – hari. Hingga hari ini, rokok bukanlah
salah satu barang langka dan sulit untuk didapat. Bahkan di Indonesia sendiri,
penjualan rokok juga terdapat di warung – warung kecil sehingga dengan mudahnya
akses untuk mendapatkan rokok dari berbagai kalangan usia –terutama karena tidak
pekanya konsumen akan bahaya yang ditimbulkan rokok itu sendiri.
Rokok kini hadir dengan berbagai bentuk kemasan, bahkan rasa yang makin
beragam. Sebut saja Marlboro Ice Blast, hadir dengan rasa mint – nya yang menarik,
serta kemasan berwarna hitam dan biru metalik tampak begitu menarik. Namun, yang
akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini adalah kemasan rokok yang justru
meningkatkan permintaan terhadap rokok itu sendiri.
Selama ini kemasan dianggap sebagai salah satu komponen penting dalam
melakukan strategi pemasaran. Kemasan bahkan dianggap menggambarkan identitas
dari merk suatu produk, serta menjadi salah satu penunjang yang efektif dalam
mempromosikan poin - poin penting pemasaran, atau bahkan saat produk tersebut
tengah dipergunakan oleh konsumen. Dalam makalah ini, yang akan dikaji adalah
kemasan produk rokok—kemasan produk yang seringkali ter- “ekspos” saat
seseorang sedang melakukan konsumsi terhadap rokok. Seperti yang dikatakan oleh
John Digianni, yaitu seorang desainer kemasan rokok,
“A cigarette package is unique because the consumer carries it around with
him all day... It’s a part of a smoker’s clothing, and when he saunters into a bar and
plunks it down, he makes a statement about himself—kemasan rokok adalah sesuatu
yang unik karena konsumen akan membawanya sepanjang hari…bagian dari pakaian
dan gayanya, serta mendefinisikan siapakah dirinya.”
Karena adanya konsep – konsep pemasaran yang mengedepankan pengemasan
rokok untuk menaikkan permintaan pasar, serta kemasan rokok dianggap sebagai
salah satu media periklanan produk rokok itu sendiri, WHO (world health
organization) menetapkan sebuah peraturan terkait pengemasan rokok itu sendiri,
sehingga dimulai dari tahun 2000 hingga sekarang, pengemasan rokok di beberapa
Negara (termasuk di Indonesia) harus mencantumkan bahaya dan efek samping dari
konsumsi rokok sendiri. Pada awalnya, pencantuman bahaya dan efek samping hanya
melalui kata – kata saja, namun lama – kelamaan gambar daripada efek samping juga
menjadi salah satu yang mendominasi kemasan rokok tersebut.
Pencantuman efek samping dan penyakit yang ditimbulkan akibat merokok
pada awalnya hanya berupa peringatan melalui kata – kata, namun dalam rangka
meningkatkan awareness dan mencapai tingginya tingkat perokok yang berhenti, kini
peringatan yang tercantum dalam kemasan mulai menunjukkan simbol – simbol
berupa foto dengan kata – kata yang menunjang, atau bahkan beberapa menggunakan
testimoni.
Dan sejumlah data bersumber dari jurnal – jurnal menunjukkan bahwa tingkat
efektifitas akan jauh lebih tinggi ketika peringatan yang dicantumkan dalam kemasan
rokok tersebut tidak hanya dengan kata – kata saja, melainkan dengan gambar, simbol
ataupun segala sesuatu yang bersifat visual. Bahkan, ada beberapa yang justru
‘mendandani’ kemasan dari rokok tersebut serupa dengan penyakit yang ditimbulkan
kala mengkonsumsi rokok pada skala tertentu.
Selain itu, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh James F. Thrasher dengan
judul Pictorial health warning labels on cigarette packaging: A cost-effective
population intervention, Ia mencantumkan data – data terkait signifikansi penggunaan
simbol dan gambar dalam campaign yang dilakukan melalui pengemasan produk
rokok, dimana efek yang ditimbulkan jauh lebih signifikan ketika adanya penggunaan
gambar ketimbang hanya sekedar kata – kata semata.
Diagram diatas menunjukkan data yang diperoleh oleh Calvante TM Labeling
and Packaging in Brazil pada tahun 2002 silam, bahwa dengan keberadaan peringatan
kesehatan tentang bahaya merokok justru meningkatkan penghentian jumlah perokok
di Brazil pada tahun tersebut. Bagan diatas juga menunjukkan kenaikan cukup pesat
terjadi setelah peringatan mulai menggunakan gambar dan simbol, ketimbang hanya
sekedar kata – kata semata.
Adanya peningkatan pemberhentian jumlah perokok yang pesat karena adanya
peringatan berupa gambar dan simbol memiliki efek yang masif terhadap perokok.
Untuk itu, makalah ini membahas tingkat kemasifan dan ke-efektifitasan penggunaan
gambar dan simbol terhadap makna yang kemudian akan diinterpretasikan oleh para
pembaca teks media. Dan betapa simbol dan gambar yang turut menjadi teks dalam
kemasan rokok tersebut dengan mudah mendapat perhatian dan bahkan merubah
sikap para perokok, bahkan tanpa adanya kepekaan seberapa seringnya penyakit –
penyakit tersebut dialami para perokok, dan dalam kadar yang seberapakah penyakit
dan efek samping akan muncul kepada perokok, dimana teks berupa gambar dan
simbol pada kemasan rokok lama kelamaan tidak lagi menjadi sekedar mediasi,
namun mulai beranjak kearah representasi.
III. Landasan Konseptual
Landasan konseptual yang akan digunakan dalam pembahasan masalah adalah
konsep Pengantar Media dan Kajian Budaya yang diambil dari buku Media and
Society, yaitu Chapter 5 : Mediation and Representation, serta Chapter 7 :
Semiology.
III.1 Mediasi dan Representasi
Representasi merupakan konsep utama dalam kajian media. Menurut
O’Shaugnessy, ada tiga makna yang dapat ditarik dari konsep representasi ini, antara
lain :
1. to look like or to resemble –untuk menyerupai atau membuat cerminan akan
suatu hal.
2. To stand in for something or someone –untuk mempertegas makna dari
sesuatu, atau makna yang datang dari seseorang.
3. To present a second time –untuk menunjukkan ulang suatu kejadian.
O’Shaugnessy juga mengatakan bahwa bahasa dan representasi media dapat
melakukan tiga hal tersebut diatas, dimana kita—sebagai khalayak atau pembaca—
mengenali dunia berdasarkan adanya bahasa dan representasi dari media. Terdapat
hubungan yang kompleks antara realita dan representasi. Seperti yang dikatakan oleh
Richard Dyer, bahwa
“…seseorang memahami realita hanya melalui representasi akan sebuah realitas,
melalui teks, wacana, atau gambar yang disajikan oleh media…namun karena
seseorang tersebut memahami realitas melalui representasi, tidak berarti Ia tidak dapat
melihat kebenaran dari sebuah realita sama sekali… realita selalu lebih kompleks
ketimbang representasi manapun yang dilakukan oleh media apapun, dimana
representasi hampir tidak pernah mendekati realita, dan menyebabkan mengapa
sejarah manusia memproduksi begitu banyak perbedaan dan cara yang berubah –ubah
dalam membuat pembaca dapat memahaminya.”
Maksud dari perkataan Dyer diatas adalah apabila kita merasa suatu representasi
tidak cukup mewakili atau menggambarkan sebuah realita, maka kita harus mencari
cara lain untuk melakukan representasi sedemikian rupa. Melakukan perbaharuan
terhadap representasi telah terjadi kian lama dalam sejarah kebudayaan manusia—
mengembangkan gaya baru dalam melakukan representasi serta menemukan cara –
cara yang baru untuk melihat dan memahami realita.
Dalam mengkaji kasus pesan peringatan dalam kemasan rokok ini ada sebuah
model yang akan digunakan, yakni model of the media-world relationship –
menekankan proses konstruksi, seleksi dan interpretasi :
Through Cameras/projectors/sound recorders
Media pada dasarnya berasal dari kata ‘middle’ –tengah. Media merupakan
suatu hal yang terletak ditengah, antara pengirim pesan dan khalayak atau audiences.
Dalam model ini, dapat dilihat bahwa adanya sifat saling mempengaruhi antara realita
dan Media, sehingga realita dapat direpresentasikan sedemikian rupa melalui media.
Media merepresentasikan, mengkonstruksikan, menginterpretasikan realita dan
merubahnya menjadi sebuah gambaran/teks mengenai realita tersebut.
III.2 Semiologi
Semiologi, atau semiotika, dikenal sebagai metode untuk menganalisis
bahasa, simbol, atau tanda dan sistem dari penandaan itu sendiri (the study of signs
and sign systems). Semiologi menggarisbawahi bahwa segala bentuk komunikasi
adalah berdasarkan sistem penandaan (sign systems), yang berlaku terhadap struktur
atau peraturan yang terdapat didalam suatu sistem. Dalam konteks semiology, tanda
(sign) adalah aspek pusat, yang bisa dimengerti melalui dua cara:
The World/Reality
The Media Representations/Constructions/Interpretations
Images/ Texts
1. Tanda bekerja dalam basis bahwa ia bermaksud atau merepresentasikan hal
lain diluar dirinya—seperti makna, konsep atau gagasan.
2. Setiap simbol mengandung signifier dan signified. Signifier merupakan aspek
terlihat yang merepresentasikan sebuah gagasan. Sementara signified
merupakan rujukan terhadap suatu konsep akan simbol – simbol tertentu.
Sign = Flower
Signifier = f-l-o-w-e-rDalam sebuah kata ‘flower’
Dengan memahami adanya konsep signifier dan signified, kita seharusnya
dapat melihat keberadaan kontruksi dalam pesan – pesan media, dan meningatkan
bahwa yang kita saksikan bukanlah sebenar-benarnya realita, melainkan sesuatu yang
mendekati realita, serta signifier dan signified yang bertujuan untuk
merepresentasikan dunia nyata.
O’Shaugnessy menuliskan bahwa dalam memhami bagaimana semiologi
bekerja, terdapat beberapa poin – poin kunci, yaitu :
1. Codes & conventions, dalam mengkomunikasikan tanda,
Semua pesan media menggunakan kode, dan dikomunikasikan melalui
conventions. Kode merupakan ketetapan – ketetapan tertentu dalam
mengkomunikasikan suatu makna. Seperti contohnya dalam bahasa, maka
yang menjadi kode adalah huruf – huruf yang menjadi bagian dalam
pemantapan makna dari suatu hal. Sementara itu konvensi (conventions)
merupakan metode dalam mengatur keberadaan tanda ataupun kode dalam
mengkomunikasikan suatu makna, dengan cara yang kemudian menjadi suatu
kebiasaan, dan telah dikenal dalam waktu yang cukup lama. Seperti halnya
dalam bahasa, maka tata bahasa dan strukturnya merupakan konvensi, yang
telah disesuaikan dengan budaya setempat dan menjadi suatu kebiasaan, serta
telah dikenal dalam waktu yang turun – temurun. Atau O’Shaugnessy
Signified = konsep ‘Flower’, berkelopak, bertangkai, dsb.
mencontohkan, bahwa dalam ‘digital literacy’ atau ‘net-speak’, maka yang
menjadi kode dan konvensi adalah rangkaian bahasa yang digunakan dalam
menulis pesan dalam e-mail ataupun SMS, seperti “gr8! C U L8R”, atau “I
miss U 2,” dimana kode yang digunakan bertujuan untuk mempersingkat
pesan, dan terangkai dalam suatu konvensi yang kemudian dikenal oleh orang
banyak.
2. Tidak terlepas dari adanya budaya yang dibagi secara bersama, juga
tergantung dari pengetahuan akan suatu budaya,
Bagaimana sebuah sistem penandaan dapat bekerja, adalah apabila orang –
orang yang saling berkomunikasi dengan tanda – tanda tersebut,
berkomunikasi dengan cara yang sama. Contoh, makna dari tulisan – tulisan
‘digital literacy’ seperti “Gr8! B4 tomorrow!” tidak mungkin dapat dimengerti
oleh para penghuni panti jompo. Contoh lainnya adalah bahasa suatu daerah
hanya akan digunakan secara efektif oleh masyarakat yang memang tinggal di
regional yang sama—sulit apabila seorang dari etnis Sunda yang memang
sudah tinggal di daerah Sunda, berkomunikasi menggunakan bahasa etnis
Minahasa dengan masyarakat Minahasa. Maka dalam rangka memahami
perbedaan tanda yang terbagi dalam kode – kode yaitu bahasa, kita harus
belajar dan memahami bahasa- bahasa tersebut sendiri.
3. Terdapat sistem perbedaan dalam mengkomunikasi tanda – tanda.
Salah satu poin penting dari Saussure yang dikutip O’Shaugnessy dalam
menganalisis bahasa adalah bagaimana kata – kata tidak dapat diartikan
apabila ia sendirian, dimana kata tersebut baru memiliki makna yang utuh
apabila kita bandingkan dengan kata lain yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh, makna kata ‘kiri’ tidaklah berarti apa – apa tanpa kita
mengetahui adanya konsep ‘kanan’ ataupun ‘arah’. Atau bagaimana kita
memaknai arti dari warna bendera Indonesia tanpa kita melihat artinya secara
filosofis. Contoh lain dalam sistem perbedaan dalam berkomunikasi lewat
tanda adalah warna merah dalam dispenser tidak akan berarti ‘panas’ apabila
tidak ada warna biru yang berarti ‘dingin’ sebagai kebalikannya. Maka, dalam
memaknai suatu tanda atau simbol, dibutuhkan kata lain atau konsep lain –
yang pada umumnya bersifat keterbalikan—agar makna dari suatu tanda atau
simbol tersebut menjadi utuh.
4. Konotasi dan denotasi juga tidak dapat terlepas dalam
mengkomunikasikan tanda – tanda.
Denotasi adalah sesuatu yang Barthes sebut sebagai ‘the first order of
signification’ –tahap pertama dalam memahami. Denotasi merujuk kepada
makna asli dari suatu tanda atau simbol, dimana tanda atau simbol tersebut
mengkomunikasikan makna nya dan bisa diterima secara masuk akal. Menurut
O’Shaugnessy, makna denotasi dapat diekspresikan dengan mendeskripsikan
tanda tersebut dengan sesederhana mungkin. Sebagai contoh, makna denotasi
dari Ibu Kartini adalah seorang perempuan Indonesia dari etnis Jawa yang
hidup pada masa dimana perempuan belum mendapatkan kebabasan
sepenuhnya atas dirinya sendiri. Atau makna denotasi dari bendera Indonesia
adalah bentuk kotak yang terdiri atas dua warna yang tertera secara horizontal
—merah dan putih. Jadi, makna denotatif dapat dikatakan pula sebagai makna
yang langsung dapat kita tangkap langsung secara visual, tanpa melihat makna
lain didalamnya.
Sementara itu konotasi adalah tahap kedua dalam pemahaman, merujuk
kepada emosi, nilai, serta asosiasi yang diberikan sebuah tanda sehingga dapat
dipahami oleh khalayak—atau membuat kita sebagai khalayak membuat kita
merasa atau berimajinasi. Seperti contohnya, makna konotasi atas ibu Kartini
adalah seorang perempuan yang harum namanya, akibat perjuangannya
menyetarakan hak – hak kaum perempuan. Atau makna konotasi akan bendera
Indonesia adalah warna merah melambangkan keberanian, serta warna putih
melambangkan kesucian. Lebih jelas lagi, O’Shaugnessy menerangkan sebuah
contoh, dimana warna merah dapat memiliki berbagai macam arti –di Negara
barat dinilai sebagai warna yang melambangkan sensualitas, di Cina dianggap
sebagai warna pembawa keberuntungan atau komunisme. Makna konotasi
dalam media dapat diartikan sebagai sesuatu yang di persepsikan khalayak
dalam suatu gambar. Terdapat dua macam konotasi, yaitu:
1. Individual connotations –Konotasi individual.
Yang dimaksud dengan konotasi individual adalah makna tertentu yang
kita peroleh berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Contoh, apabila
saat masih kecil kita memiliki pengalaman buruk dengan Anjing, maka
setiap kali muncul figur mamalia berkaki empat dan gemar
menggonggong, maka dengan otomatis kita akan menghindarinya, dan
menjaga diri kita agar pengalaman buruk yang kita pernah alami dengan
hewan tersebut kembali terulang. Atau ketika Anjing menjadi salah satu
komponen dalam teks media, maka yang muncul justru konotasi buruk
mengenai hewan tersebut, ketimbang sosok Anjing yang dinilai sebagai
sahabat Manusia.
2. Cultural connotations – Konotasi Budaya.
Seperti halnya dengan konotasi individual, konotasi budaya merupakan
makna konotasi yang disebabkan karena budaya yang berlaku disekeliling
kita. Contohnya, di Indonesia penggunaan kebaya menggambarkan kaum
ningrat, konservatif dan ke-Jawa-Jawa-an. Atau seperti analisis John Fiske
tentang jeans yang dikutip O’Shaugnessy dalam bukunya, jeans
menggambarkan kebabebasan, jiwa muda, dan kesetaraan.
Kemudian, O’Shaugnessy kembali melakukan kutipan dalam bukunya, yaitu
analisis C.S Pierce mengenai pembagian tanda menjadi tida tipe :
1. Iconic Signs
Iconic signs mengacu kepada hubungan yang mencerminkan kemiripan atas
signifier dan signified. Seperti contohnya adalah bagaimana sebuah lukisan
menggambarkan kemiripan objek didalamnya dengan objek aslinya. Ataupun
menurut O’Shaugnessy, suara yang terekam seperti suara serigala melolong,
ataupun suara debur ombak, juga dapat disebut iconic signs karena suara yang
terekam menggambarkan suasana asli dari suatu peristiwa.
2. Indexical Signs
Mengacu kepada bagaimana signifier menjadi suatu indikasi, arahan, atau
pengukuran, tahapan, atau penyebab akan suatu hal. Contoh, lambang
kebakaran di gambarkan dengan gambar rokok; karena rokok dapat menjadi
salah satu penyebab kebakaran. Ataupun tanda yang diberikan berupa lampu
mobil yang dikedipkan sebanyak sekian kali mengindekskan bahwa sebuah
mobil akan mengambil putaran balik.
3. Symbolic Signs
Symbolic signs banyak berhubungan dengan kesepakatan yang terjadi secara
budaya. Dimana hubungan antara signifier dan signified bersifat illogical atau
tidak berhubungan secara logis. Mengandung arbitrary signifiers, atau disebut
tidak adanya hubungan secara logis kepada signified-nya, melainkan hanya
sebuah kesepakatan secara budaya. Contoh yang paling mudah adalah simbol
matematis seperti “∞” untuk menggambarkan tak terhingga, atau ‘α’ untuk
alpha. Tidak ada hubungan yang logis antara signified dan signifier-nya,
melainkan hanya kesepakatan secara budaya semata. Itulah symbolic signs.
IV. Pembahasan
Kemasan rokok merupakan bagian yang paling efektif dalam strategi pemasaran
rokok. Kemasan rokok dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, atau identitas dari
perokok yang mengkonsumsinya. Namun pada tahun 2000-an, WHO (world health
organizations) menetapkan bahwa dalam rangka menekan jumlah perokok di dunia—
atau di beberapa Negara—maka dalam setiap bungkus atau kemasan rokok, harus
memuat bahaya dan efek samping yang mungkin ditimbulkan dari mengkonsumsi
rokok.
WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) Article
11.1(b)
“1. Each Party shall, within a period of three years after entry into force of this
Convention for that Party, adopt and implement, in accordance with its national law,
effective measures to ensure that:
.(b) Each unit packet and package of tobacco products and any outside packaging
and labelling of such products also carry health warnings describing the harmful
effects of tobacco use, and may include other appropriate messages. These warnings
and messages: (i) shall be approved by the competent national authority; (ii) shall be
rotating; (iii) shall be large, clear, visible and legible; (iv) should be 50% or more of
the principal display areas but shall be no less than 30% of the principal display
areas; (v) may be in the form of or include pictures or pictograms.”
WHO mencetuskan sebuah kebijakan terkait propaganda untuk mengampanyekan
pemberhentian merokok. WHO juga menyetujui bahwa kemasan rokok memang
sarana propaganda (sebagai halnya sarana propaganda dalam pemasaran) yang efektif
dan mampu mempengaruhi konsumen dengan mudahnya. WHO mencetuskan bahwa
dalam memuat pesan peringatan dalam bungkus dan kemasan rokok, harus memuat
empat komponen :
1. Tipe resiko yang spesifik dalam mengkonsumsi rokok (kanker paru – paru,
penyakit jantung, stroke, ketergantungan)
2. Besarnya resiko yang mungkin dialami dalam mengkonsumsi rokok (apakah
yang mungkin didapat dari mengkonsumsi rokok sebanyak sekian bungkus
dalam frekuensi waktu sekian?)
3. Konsekuensi yang mungkin didapat dari resiko merokok (apa yang akan
terjadi pada kita apabila mengalami kanker hati, dan adakah kesempatan untuk
bertahan menghadapinya?)
4. Keuntungan dalam merubah kebiasaan merokok.
Menurut Jim F. Thrasher, PhD, MA, MS, dari Departemen Promosi Kesehatan,
Pendidikan, dan Perilaku, Arnold School of Public Health terjadi peningkatan
pemberhentian perokok sangat drastis ketika peringatan dalam kemasan rokok tidak
hanya dalam sebatas kalimat – kalimat saja, melainkan adanya simbol pictorial berupa
gambar ataupun foto, bahkan testimoni.
Dalam kaitannya dengan konsep – konsep pada landasan konseptual, bahwa
pemilihan konten atau gambar dalam kemasan rokok dapat dikaitkan dengan konsep
representasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh James F. Thrasher,
memperlihatkan bahwa penambahan kata – kata yang mendukung kekuatan makna
yang akan di beri oleh peringatan tersebut memang terjadi, sehingga gambar tidak
sepenuhnya bekerja sendirian tanpa adanya olahan dari para pembuat kebijakan
tersebut. Seperti peringatan yang pada awalnya hanya merupakan kalimat – kalimat
biasa, lama – lama dalam rangka membentuk opini publik terkait bahaya rokok, maka
simbol – simbol berupa gambar pun mulai digunakan.
Gambar diatas menunjukkan bahwa adanya perubahan dari peringatan yang sekedar
berasal dari kalimat dan tulisan saja, menjadi gambar – gambar efek samping dan
bahaya merokok untuk membentuk opini publik. Tidak hanya itu,tiga makna dari
representasi –seperti yang telah dijabarkan pada landasan konseptual—antara lain :
1. to look like or to resemble –untuk menyerupai atau membuat cerminan akan suatu
hal.
2. To stand in for something or someone –untuk mempertegas makna dari sesuatu,
atau makna yang datang dari seseorang.
3. To present a second time –untuk menunjukkan ulang suatu kejadian.
Representasi merupakan sebuah usaha untuk membuat kemiripan atau
mencerminkan apa yang terjadi di realita, namun tidak dapat diartikan sebagai sesuatu
yang terjadi secara sering atau dalam frekuensi waktu yang banyak. Pemasangan
peringatan dalam kemasan rokok ini sendiri bahkan memiliki ukuran—topik apakah
yang akan lebih banyak mendapatkan perhatian dari konsumen.
Dapat disaksikan apabila topik yang akan lebih banyak mendapatkan perhatian
adalah gambar yang menyertakan kutipan, sehingga kata – kata yang menunjang
makna gambar tersebut terlihat seperti sebuah testimoni.
Terlihat apabila ada proses ‘gatekeeping’ atau pendandanan yang dilakukan terhadap
pesan yang ingin disampaikan, sehingga pesan akan lebih efektif diterima oleh publik,
dan tujuan daripada pemberian pesan—dalam konteks ini kampanye pemberhentian
merokok—dapat tercapai. Kasus ini dapat dilihat dari salah satu model representasi,
yaitu model of the media-world relationship. O’Shaugnessy mengatakan bahwa model
ini menekankan pada proses mediasi, namun maksud dari penggunaan model ini
dalam mengkaji representasi yang terjadi dalam kasus peringatan dalam kemasan
rokok ini adalah terdapatnya tarik-menarik antara satu komponen dengan komponen
lainnya, dan saling memberi pengaruh.
Realita (terjadinya efek samping dan bahaya akan merokok) akan memberi pengaruh
terhadap teks media yang tercantum di dalam media itu sendiri. Media (pesan
peringatan dalam kemasan rokok) akan memberikan pengaruh terhadap konsumen
(audiences), dan sebaliknya, keputusan yang dibuat oleh para konsumen untuk tidak
merokok, akan menjadi trigger dimana kemasan – kemasan rokok juga akan mulai
memproduksi kemasan dengan unsur yang sama, sehingga pesan peringatan dalam
kemasan rokok akan terproduksi dalam jumlah yang lebih lagi. Hal itu menyebabkan,
realita yang terjadi kemudian akan mengalami perubahan (menurunnya jumlah
perokok menyebabkan menurunnya pula tingkat penderita kanker hati—salah satu
efek samping merokok). Dan adanya efek samping dalam realita ini kemudian
membuat media mengkontruksikan sebuah realita tersebut ke dalam gambar dalam
bungkus rokok, menjadikannya sebuah pesan peringatan.
Selain representasi, konsep yang akan digunakan dalam membedah kasus ini
adalah semiologi—semiotika, yaitu metode yang digunakan untuk mempelajari
simbol – simbol atau tanda – tanda dalam masyarakat.
Konotasi dan denotasi bisa dilihat keterlibatannya dalam pengemasan pesan
dalam bungkus rokok ini.
Seperti gambar diatas, denotas pada gambar tersebut merupakan seorang yang
tengah terbaring sakit, apabila dilihat dari tulisannya, maka dapat diketahui
merupakan figur pasien yang sedang mengalami kanker paru – paru akibat merokok.
Maka makna konotasi dari gambar diatas adalah efek samping dari bahaya merokok
yang bertujuan agar konsumen berpikir dua kali sebelum akhirnya memutuskan untuk
mengonsumsi rokok. Dalam hal ini maka konotasi yang berlaku adalah secara
individual, karena bagaimana makna dari gambar yang terdapat dalam kemasan rokok
akan dipersepsikan secara berbeda oleh masing – masing individual. Namun, apabila
pemasangan gambar berupa efek samping pada bungkus rokok ini telah mengakar-
budaya dimana setiap perusahaan rokok diseluruh dunia wajib menerapkan hal ini,
maka tidak menutup kemungkinan hal ini dapat menjadi sebuah konotasi yang bisa
dimengerti secara budaya (cultural connotations).
Adapun gambar – gambar atau tulisan yang tertera pada bungkus dan kemasan rokok
dapat diklasifikasikan sebagai indexical signs, karena menunjukkan adanya indikasi
terhadap sesuatu, serta kausalitas (hubungan sebab – akibat) dari mengonsumsi rokok
dan akibat mungkin terjadi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa masing – masing
efek samping yang tertera sebagai pesan peringatan di kemasan rokok menunjukkan
akibat yang timbul akibat mengonsumsi rokok.
Merupakan salah satu contoh indexical signs, karena menunjukkan indikasi, hubungan sebab-akibat
dari tindakan mengkonsumsi rokok.
V. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa ‘tobacco packaging warning messages’ merupakan
salah satu sarana yang tepat dalam mempropagandakan suatu tujuan (baik secara
pemasaran, ataupun kampanye anti rokok). Namun didalamnya tidak dapat terlepas
dari konsep representasi, dimana kekuatan dari pesan yang disampaikan melalui
kemasan tokok tersebut itu mengalami proses ‘gatekeeping’ dengan menambahkan
kata – kata berupa testimoni ataupun keterangan dari efek samping yang tertera
tersebut, dimana kata – kata yang tercantum untuk menambahkan kekuatan efektifitas
pesan belum tentu sepenuhnya benar. Analisis juga digunakan melalui salah satu
model yaitu model of the media-world relationship, dimana ketiga komponen yang
terlibat didalamnya (realita, media dan khalayak) saling memberikan pengaruh satu
sama lain, digambarkan dengan panah bermata dua yang terletak diantara masing –
masing komponen.
Selain itu, fenomena ‘tobacco packaging warning messages’ juga dilihat
melalui konsep semiotika, dimana terdapat makna denotasi dan konotasi di dalam
gambar – gambar yang tertera di kemasan rokok tersebut. Selain itu, gambar juga
dapat diterjemahkan sebagai indexical signs, karena menunjukkan adanya indikasi
dan kausalitas yang mungkin terjadi karena pengkonsumisan terhadap rokok.
Penaruhan pesan peringatan di bungkus rokok ini terlihat sangat efektif dalam
mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak untuk berhenti merokok, padahal tidak
sepenuhnya pesan yang dibubuhkan di kemasan rokok tersebut sesuai dengan realita
yang terjadi.
VI. Daftar Pustaka
O’Shaugnessy, M. & Stadler, J. (2005). Media and Society. Oxford, New York:
Oxford University Press.
Durham, M.G. & Kellner, D.M. (2005). Media and Cultural Studies: Keyworks.
Malden, MA: Blackwell Publishing.
During, Simon (ed), 2005. The Cultural Studies Reader. Second Edition. New York:
Routledge
VII. Daftar Jurnal
Jurnal “Tobacco Packaging and Labelling Technical guide” oleh Tobacco Control at
the Union United for Tobacco- free Future, diakses melalui
http://www.tobaccofreeunion.org/files/186.pdf
Jurnal “Tobacco Packaging Health Warning Labels” oleh European Comission,
diakses melalui
http://ec.europa.eu/public_opinion/archives/quali/ql_5818_tobacco_en.pdf
Jurnal “Pictorial health warning labels on cigarette packaging: A cost-effective
population intervention” oleh James F. Thrasher, diakses melalui
http://www.vcu.edu/idas/docs/Thrasher_VCU_pictorial_HWLs_2012.pdf