materi ssbi 2012

185
KONSEP KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SEBAGAI SUATU SISTEM Oleh: Dr. ARIFIN A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian Ruang lingkup kajian pada bab pendahuluan ini adalah meliputi: (a) hakikat studi ilmu pengetahuan sosial-budaya; (b) konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem; (c) konsep kebudayaan sebagai suatu sistem; (d) konsep dinamika sosial dan kebudayaan; dan (e) Kesimpulan. Sedangkan tujuan atau harapan yang hendak dicapai dalam kajian ini adalah: (a) sebelum memahami lebih jauh tentang sistem sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat pluralis (majemuk), diharapkan para mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau peminat studi tentang sistem sosial budaya masyarakat Indonesia dapat memahami konsep-konsep dasar tentang kehidupan sosial sebagai suatu sistem, kebudayaan sebagai suatu sistem, dan dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat; dan (b) dengan memahami beberapa alternatif pemikiran atau konsep-konsep dasar tentang sistem sosial dan sistem budaya tersebut, diharapkan para mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau peminat studi tentang sistem sosial budaya masyarakat Indonesia, mampu melakukan kajian lebih lanjut baik melalui kajian teoritis pada sumber-sumber literatur yang dianjurkan maupun melakukan kajian-kajian empirik dalam bentuk penelitian ilmiah. B. Hakikat Studi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya 1

Upload: guntur-widar-kharisna

Post on 02-Aug-2015

145 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MATERI SSBI 2012

KONSEP

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SEBAGAI SUATU SISTEM

Oleh: Dr. ARIFIN

A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian

Ruang lingkup kajian pada bab pendahuluan ini adalah meliputi: (a) hakikat studi

ilmu pengetahuan sosial-budaya; (b) konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem;

(c) konsep kebudayaan sebagai suatu sistem; (d) konsep dinamika sosial dan

kebudayaan; dan (e) Kesimpulan. Sedangkan tujuan atau harapan yang hendak

dicapai dalam kajian ini adalah: (a) sebelum memahami lebih jauh tentang sistem

sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat pluralis (majemuk), diharapkan para

mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau peminat studi tentang sistem sosial

budaya masyarakat Indonesia dapat memahami konsep-konsep dasar tentang

kehidupan sosial sebagai suatu sistem, kebudayaan sebagai suatu sistem, dan

dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat; dan (b) dengan memahami beberapa

alternatif pemikiran atau konsep-konsep dasar tentang sistem sosial dan sistem

budaya tersebut, diharapkan para mahasiswa program studi ilmu-ilmu sosial atau

peminat studi tentang sistem sosial budaya masyarakat Indonesia, mampu melakukan

kajian lebih lanjut baik melalui kajian teoritis pada sumber-sumber literatur yang

dianjurkan maupun melakukan kajian-kajian empirik dalam bentuk penelitian ilmiah.

B. Hakikat Studi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta,

rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup

baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam

proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas

hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu

sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari

kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek

kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap

beragam karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau

pembaharuan diberbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak ada masyarakat di

dunia ini yang tidak berubah, perubahan sosial-budaya adalah suatu keniscayaan di

masyarakat (Appelbaum, R.P. 1970; Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P., 2004). Sejatinya

inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan

ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan

dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih baik (Arifin, 2010).

1

Page 2: MATERI SSBI 2012

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari

kebenaran, sebenarnya pengetahuan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis,

yaitu: (1) pengetahuan yang didapat dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui

penalaran ilmiah maupun melalui perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat

bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi.

Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif (pola

pikir dari dalil/teori ke contoh) dan penalaran induktif (pola pikir dari contoh ke teori).

Penalaran atau logika deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau

rasionalisme, sedangkan penalaran atau logika induktif berorientasi pada pandangan

konstruktivisme atau empirisme atau interpretatif. Penalaran deduktif adalah berpijak

dari teori/ dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke

teori atau dalil. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu

pengetahuan dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh, sedangkan logika

induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu pengetahuan dari contoh ke dalil atau

dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum (Arifin, 2010).

Prosedur kerja dengan metode ilmiah, baik dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan

sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan alam menurut Horton and Hunt (1984),

paling tidak menyangkut delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan, yaitu: (1)

merumuskan permasalahan (define the problem); (2) meninjau kepustakaan (review

the literature) atau kajian teori; (3) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses);

(4) merencanakan desain riset (plan the research design); (5) mengumpulkan data

(collect the data); (6) menganalisis data (analyze the data); (7) menarik kesimpulan

(draw conclusions); dan (8) mengulangi penelaahan hasil studi atau penelitian

(replicate the study).

Dalam memahami ilmu pengetahuan sosial-budaya atau ilmu pengetahuan alam,

sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi

fenomenalnya, dalam hal ini ilmu pengetahuan menampakkan pada realitas sebagai

berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam hidup kesehariannya

sangat konsern (fokus) pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme,

disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola

aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, obervasi,

eksperimental, komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran

ilmiah; dan (3) produk, yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma

beserta hasil penerapannya baik berupa fenomena sosial atau alam.; Kedua, dalam

dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-

komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus

menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan

2

Page 3: MATERI SSBI 2012

sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4)

temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem

ilmu pengetahuan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002)

Menurut para ahli, suatu ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan

sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya mempunyai suatu sistem,

dan masing-masing unsur dalam sistem ilmu tesebut adalah saling berhubungan.

Sedangkan komponen utama dari sistem science adalah: (1) perumusan masalah; (2)

pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4)

ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri

(Arifn, 2010).

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1996), bahwa semua ilmu pengetahuan sosial-

budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya memiliki tiga landasan utama,

yaitu: Pertama, Ontologi, yaitu membahas tentang hakikat objek yang dikaji atau

membahas tentang apa yang ingin diketahui atau merupakan suatu kajian mengenai

teori tentang hakikat ada. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, maka ilmu dapat

disebut sebagai pengetahuan empirik (nyata) yang berbeda dengan agama. Aspek

ontologi inilah yang membedakan antara objek disiplin ilmu pengetahuan satu dengan

ilmu pengetahuan lainnya.

Kedua, Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur

dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh

melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan

adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran data di atas segala-

galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari proses penelitian ilmiah

(scientific research).

Ketiga, Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh

dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara

pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi,

aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional suatu ilmu pengetahuan bagi

kehidupan. Menurut para ahli fungsi ilmu pengetahuan antara lain (a) fungsi praktis,

yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, memajukan pengetahuan guna

melakukan berbagai perbaikan kehidupan di masyarakat; (b) menetapkan hukum-

hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan,

sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian

untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang

tinggi bagi kehidupan di masyarakat. Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan

sosial satu dengan pengetahuan sosial yang lain dapat dilihat dari tiga aspek yaitu:

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002; Arifin, 2010).

3

Page 4: MATERI SSBI 2012

Sedangkan tujuan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial-budaya dan

ilmu pengetahuan alam meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-

fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektif, logis

atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman,

prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian; dan (3) untuk memahami

fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa

seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian

ilmiah (Hooever, 1980).

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa konsep penting yang dapat dipahami

tentang hakikat ilmu pengetahuan (science), baik ilmu pengetahuan sosial-budaya

maupun ilmu pengetahuan alam adalah: (1) science dimulai dari kesangsian atau

keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian seperti

dalam ajaran agama; (2) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib,

melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (3) penjelasan science bersifat detail,

sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya

maupun alam; (4) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu

tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte

dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau

masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian

berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif, dan pada tahap

positif inilah letak perkembangan ilmu pengetahuan (science); (5) kebenaran science

terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun

untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada

(Kuhn, T., 1970); dan (6) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi

filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode

penelitiannya, misalnya makna kebenaran teori ilmu pengetahuan yang berorientasi

filosofis positivisme, rasionalisme akan berbeda interpretasinya dengan teori ilmu

pengetahuan yang berorientasi filosofis idealisme, konstruktivisme (Suriasumantri, J.S.

1996; Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002). Sesuatu dianggap benar menurut paham

positivisme adalah ‘sesuatu itu harus ada kesesuaian dengan proposisi, teori, dalil,

hipotesis sebelumnya’, hal ini dikenal dengan istilah kebenaran koherensi, dan

pendekatan penelitiannya adalah penelitian kuantitatif. Sedangkan sesuatu dianggap

benar menurut paham konstruktivisme atau interpretatif adalah ‘sesuatu itu harus

sesuai dengan realitas atau fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari (kenyataan

empiris) atau dikenal dengan kebenaran korespondensi’, dan pendekatan

penelitiannya adalah penelitian kualitatif.

4

Page 5: MATERI SSBI 2012

C. Konsep Kehidupan Sosial Sebagai Suatu Sistem

Dalam kajian berikut tentang konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem

adalah menyangkut tentang: (1) konsep masyarakat dan konsep kehidupan sosial; (2)

karakteristik kehidupan sosial kolektif; (3) konsep struktur sosial; dan (4) konsep

kehidupan sosial sebagai suatu sistem. Pada dasarnya fenomena kehidupan sosial

adalah sangat luas dan kompleks, oleh karena itu analisis tentang fenomena sosial

tidak cukup hanya menyangkut keempat aspek tersebut di atas, namun paparan

keempat tersebut pada uraian berikut ini dapat dianggap sebagai dasar-dasar

pemahaman awal bagi peminat studi ilmu pengetahuan sosial, khususnya dalam

membahas tentang kehidupan sosial sebagai suatu sistem.

1. Konsep masyarakat dan konsep kehidupan sosial

Dalam banyak literatur, baik dalam studi sosiologi maupun antropologi dijelaskan

bahwa konsep tentang ’masyarakat’ dengan konsep ’kehidupan sosial’ adalah

mempunyai maksud atau makna yang relatif sama, karena: (1) pada dasanya proses-

proses sosial dalam ’kehidupan masyarakat’ adalah juga proses-proses sosial dalam

’kehidupan sosial’ itu sendiri; dan (2) pada dasarnya unsur-unsur kehidupan

masyarakat adalah juga unsur-unsur kehidupan sosial. Menurut para ahli unsur-unsur

kehidupan sosial tersebut antara lain: (a) status dan peranan sosial; (b) solidaritas

sosial; (c) lapisan atau stratifikasi sosial; (d) nilai dan norma sosial; (e) lembaga sosial;

(f) diferensiasi sosial; (g) interaksi sosial; (h) kekuasaan atau wewenang; dan (i)

pengendalian atau kontrol sosial; dan (3) baik konsep ’kehidupan masyarakat’ maupun

konsep ’kehidupan sosial’ sama-sama menunjukkan adanya suatu aktifitas kolektif

manusia dalam membangun solidaritas sosial dalam rangka proses pencapaian tujuan

hidup, baik secara individu atau kelompok. Jadi, tidak ada kehidupan masyarakat

tanpa kehidupan sosial, dan tidak ada pula kehidupan sosial tanpa kehidupan

masyarakat (Berger, PL and Berger B, 1972; Green, A.W, 1972).

Namun, ada juga yang memandang bahwa antara konsep ’masyarakat’ dan

konsep ’kehidupan sosial’ memiliki sedikit perbedaan, yaitu: (1) konsep kehidupan

masyarakat (society) adalah ’kesatuan-kesatuan manusia dalam melakukan proses-

proses sosial yang menempati suatu wilayah tertentu yang relatif lama berdasarkan

suatu identitas adat atau norma tertentu’, dan (2) konsep kehidupan sosial adalah

’proses-proses sosial individu di masyarakat dalam pemenuhan beragam kebutuhan

hidupnya’. Berdasarkan perbedaan tersebut maka makna ’kehidupan sosial’ lebih

bersifat dinamik dari pada makna ’masyarakat’, disamping itu ’masyarakat’ merupakan

wadah berkembangnya ’aktifitas atau kehidupan sosial’’ (Goode, W.J. 1977;

Koentjaraningrat, 1989). Dalam kajian buku ini penulis lebih mengambil posisi

pemahaman yang relatif sama antara konsep ’masyarakat’ dengan konsep ’kehidupan

5

Page 6: MATERI SSBI 2012

sosial’, karena hakikatnya kehidupan masyarakat dan kehidupan sosial sama-sama

sebagai wadah aktualisasi dan dinamika setiap manusia dalam proses pemenuhan

beragam kebutuhan hidup secara individu atau kelompok.

Menurut Koentjaraningrat (1989), bahwa pengertian masyarakat adalah

’kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu

yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama’. Jadi, suatu

kehidupan kolektif disebut masyarakat harus mempunyai ciri atau unsur sebagai

berikut: (1) terjadi proses interaksi sosial antar anggota masyarakatnya; (2) memiliki

suatu kesatuan identitas atau solidaritas sosial sesama anggota masyarakatnya; (3)

proses kehidupan sosial tersebut berlangsung secara terus menerus (kontinyu) dalam

waktu tertentu yang relatif lama; dan (4) mempunyai adat istiadat, nilai-norma sosial,

seperangkat aturan atau hukum yang mengatur seluruh pola tindakan sosial anggota

masyarakatnya. Sedangkan menurut David Popenoe (1974), semua proses kegiatan

anggota masyarakat dapat diklasifikasikan dalam lima ciri antara lain: (1) hampir

semua proses-proses sosial atau jalinan hubungan sosial antar anggota masyarakat

muncul karena adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi bersama atau adanya

permasalahan bersama yang harus diselesaikan; (2) sesama anggota masyarakat

membangun konsensus untuk menyusun prosedur dan mekanisme hubungan sosial

antar anggota dalam rangka meraih tujuan, yaitu terpenuhinya beragam kebutuhan

hidup di masyarakat; (3) adanya sistem pengendalian yang berpusat pada kekuasaan

dan wewenang dalam rangka meminimalkan konflik di masyarakat; (4) kepentingan,

solidaritas, kebersamaan anggota masyarakat biasanya menjadi sesuatu yang sangat

penting dan mendorong setiap anggota masyarakat untuk memberikan loyalitas tinggi

pada masyarakat demi kelestarian masyarakat; dan (5) semua anggota masyarakat

berusaha menjalankan sistem nilai norma budaya yang berlaku dan membangun

komunikasi dengan bahasa sehari-hari.

Berdasarkan ciri atau unsur masyarakat tersebut, maka masyarakat (society)

dan kebudayaan (culture) mempunyai hubungan yang sangat erat, karena: (1)

masyarakat adalah wadah berkembangnya suatu kebudayaan, sedangkan

kebudayaan adalah isi dari masyarakat atau sebagai pelestari kehidupan masyarakat,

karena adanya seperangkat nilai-norma sosial-budaya yang berfungsi sebagai

pengendali atau kontrol semua pola tindakan sosial warga masyarakat; (2) masyarakat

adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lain,

sedangkan kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang

menjadi pegangan atau pedoman bagi aktifitas sosial para angggota masyarakat

(Gazalba, S. 1967; Ayatrohaedi. 1986; Herusatoto, B. 2003).

6

Page 7: MATERI SSBI 2012

Menurut Durkheim, E., dalam Berry, D. (1981), bahwa ’suatu masyarakat

bukanlah hanya sekedar suatu penjumlahan atau sekumpulan individu semata-mata,

melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar anggota masyarakat,

sehingga menampilkan suatu realitas sosial tertentu yang mempunyai ciri-cirinya

sendiri’. Disamping itu menurut Durkheim, bahwa keseragaman-keseragaman tingkah

laku individu dalam masyarakat adalah produk sosial (masyarakat), dan produk sosial

tersebut dapat dikatakan sebagai konsensus anggota masyarakat yang sifatnya

mengikat anggota masyarakat. Jadi, diantara inti pandangan Durkheim tentang

masyarakat adalah bahwa: (1) masyarakat mempunyai kekuatan determinasi terhadap

pola perilaku sosial atau tindakan sosial individu dalam kehidupan sehari-hari.

Kekuatan yang mendeterminasi individu tersebut adalah konsensus masyarakat atau

bisa disebut sebagai struktur sosial (yang didalamnya terintegrasi antara nilai-norma,

status-peran, lembaga, wewenang, lapisan); (2) struktur sosial mempengaruhi pola

perilaku individu, bukan individu yang mempengaruhi struktur sosial; dan (3) beragam

peran individu dalam masyarakat sudah ditentukan oleh sistem norma sosial yang

telah disepakati oleh masyarakat (Durkheim, E. 1974). Jadi, berdasarkan uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat (kehidupan sosial) merupakan bentuk

dari kehidupan sosial kolektif yang kelestariannya banyak ditentukan oleh beragam

aktivitas sosial individu yang berdasarkan kepada nilai dan norma sosial-budaya yang

telah disepakati bersama oleh anggota masyarakat.

2. Karakteristik kehidupan sosial kolektif

Dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat aktifitas-aktifitas sosial kolektif dari

bentuk yang paling kecil (seperti kolektif keluarga) sampai yang kolektif paling besar

(seperti kolektif negara atau bangsa). Ada beberapa ciri atau karakteristik kehidupan

sosial kolektif, antara lain: (1) adanya pembagian kerja yang relatif permanen antar

anggota dalam kelompok tentang berbagai kegiatan untuk pemenuhan beragam

kebutuhan anggota kelompok; (2) adanya rasa saling ketergantungan antar anggota

dalam kelompok dalam proses pencapaian tujuan kelompok; (3) proses menjalin

kerjasama tersebut didasarkan pada sistem nilai, norma yang telah disepakati oleh

sesama anggota kelompok; (4) diperlukan adanya pola komunikasi yang baik untuk

membangun hubungan kerjasama tersebut; (5) adanya perlakuan yang beragam antar

anggota kelompok, sebagai konsekwensi dari keberagaman kemampuan dan keahlian

yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok; dan (6) adanya solidaritas in-

group dan adanya sistem pengendalian sosial terhadap pola perilaku anggota dalam

kelompok agar tetap berada pada garis visi dan misi kehidupan kelompok (Biesanz,J

and Biesanz,M, 1969; Popenoe, D., 1974; Koentjaraningrat, 1989).

7

Page 8: MATERI SSBI 2012

Realisasi dari keenam karakteristik kehidupan kelompok tersebut, antara

kelompok (kolektif) mikro (kecil) dan makro (besar), antara kolektif formal dan kolektif

informal, dan antara kolektif primer dan kolektif sekunder mempunyai perbedaan

intensitas atau perbedaan titik tekannya. Misalnya, implementasi keenam ciri kolektif

tersebut di atas antara kehidupan kolektif keluarga (informal), dengan kehidupan

kolektif negara (formal) adalah sangat berbeda, basis aktifitas anggota keluarga lebih

besar didasarkan pada aspek kesamaan ikatan batin yang kuat, karena adanya ikatan

keturunan, sedangkan basis aktifitas anggota atau warga bangsa/negara lebih besar

didasarkan pada aspek kesadaran hukum formal, karena adanya ikatan kesamaan

kewarganegaraan.

3. Konsep struktur sosial.

Kajian tentang konsep ’struktur sosial’ adalah banyak dikupas dalam studi

antropologi sosial. Dalam antropologi sosial, konsep ’struktur sosial’ seringkali

dipergunakan sebagai sinonim dari ’organisasi sosial’, dan terutama dipergunakan

dalam melakukan analisis terhadap masalah-masalah kekerabatan, lembaga hukum,

lembaga pendidikan, lembaga politik dari masyarakat sederhana atau tradisional.

Dalam terminologi sosiologi, konsep ’struktur sosial’ juga banyak bersinggungan

dengan pola hubungan timbal balik antar unsur sosial dalam suatu organisai sosial

yang berkaitan dengan masalah pendidikan, hukum, ekonomi, politik, keluarga dan

sebagainya dari masyarakat kontemporer (sekarang atau modern).

Ada beragam pendapat dari para ahli tentang pengertian ’struktur sosial’ antara

lain: (1) menurut Agus Salim (2002), struktur sosial adalah ’suatu tatanan hirakhis dari

hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu

(individu, keluarga, kelompok, kelas aau stratifikasi, dan sebagainya) didalam posisi-

posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai, norma yang berlaku pada suatu

masyarakat pada waktu tertentu’; (2) menurut Firth, dalam Soekanto, S., (1984),

bahwa struktur sosial adalah ’mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih

fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan

batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan anggota masyarakat secara

organisatoris’; (3) menurut Evans dan Leach, bahwa struktur sosial adalah

’menyangkut hubungan-hubungan antar kelompok’, atau ’berkaitan dengan distribusi

kekuasaan diantara orang-orang dalam kelompok’; dan (4) menurut Radcliffe Brown,

bahwa struktur sosial adalah ‘mencakup semua hubungan-hubungan sosial antara

individu dengan individu pada saat tertentu, oleh karena itu struktur sosial merupakan

aspek non personal dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial’.

Disamping itu menurut R. Brown, kebudayaan hanya bisa dipelajari secara ilmiah

melalui struktur sosial, oleh karena itu struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari

8

Page 9: MATERI SSBI 2012

kebudayaan. Jadi, analisis terhadap struktur sosial adalah sebagai salah satu aspek

dari studi terhadap kebudayaan.

Dalam studi sosiologi pengertian ‘struktur sosial’, sering digunakan dalam dua

aspek, yaitu: (1) makna ‘struktur’ atau ‘struktur sosial’, yang dipergunakan untuk

menggambarkan tentang keteraturan sosial, untuk menunjuk pada pola perilaku sosial

yang diulang-ulang dengan bentuk atau cara yang sama. Struktur sosial diartikan

sebagai hubungan timbal balik diantara posisi-posisi sosial dan antara peranan-

peranan sosial. Jadi, struktur sosial adalah sebagai bagian dari ‘sistem sosial’. Menurut

Parsons, bahwa struktur sosial sebagai aspek yang secara relatif ‘lebih statis’ daripada

aspek fungsional dari sistem sosial. Sistem sosial merupakan konsep yang lebih luas

daripada struktur sosial, karena struktur sosial adalah bagian ‘statis’ dari sistem sosial

(Goode, W.J., 1977; Craib, 1984).

Jadi, struktur sosial adalah ’merupakan jaringan daripada unsur-unsur sosial

yang pokok dalam kehidupan di masyarakat’. Unsur-unsur sosial yang pokok dalam

kehidupan masyarakat tersebut menurut para ahli adalah: (1) interaksi sosial; (2)

kelompok sosial; (3) kebudayaan atau nilai-norma sosial; (4) lembaga-lembaga sosial;

(5) stratifikasi sosial; dan (6) kekuasaan atau wewenang (Rose, A.M., 1965; Soekanto,

S., 1984; Macionis, J., 1987); dan (2) Konsep ‘struktur’ yang dipergunakan dalam

analisis teori-teori sosiologi. Dalam hal ini ada dua konsep yang berbeda, yaitu:

Pertama, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori fungsional struktural, adalah

‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor dan memaksa (determinis) pada aktor

atau individu dalam melakukan aktifitas sosial di masyarakat. Jadi, struktur sosial

berperan untuk membentuk, mengekang dan menentukan aktifitas sosial individu

dalam masyarakat (Abraham,F.M., 1982a; Harper,C.L., 1989); dan Kedua, konsep

‘struktur’ menurut pandangan teori strukturasi Giddens, yaitu: Struktur dimaknai

sebagai ‘properti-properti’ yang berstruktur, atau ‘seperangkat atau sekumpulan aturan

dan sumber daya yang berulangkali terorganisasi’ (recursively organized sets of rules

and resources). Dalam hal ini berarti: Struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas

agen manusia. Struktur bukan bersifat mengekang, mewarnai, membentuk dan

memaksa tindakan sosial individu di masayarakat, sebab ada faktor agen (kemampuan

jiwa, pikiran individu) juga ikut mewarnai, menentukan aktifitas sosial individu di

masyarakat (Giddens, 1984; Faisal, S. 1998; Priyono,H.B., 2002). Jadi, dalam

pandangan teori strukturasi, makna struktur sosial bisa menggambarkan fenomena

yang berskala makro dan juga menggambarkan fenomena yang berskala mikro,

keduanya (makro-mikro) saling mengisi.

9

Page 10: MATERI SSBI 2012

Menurut Mc. Guire dalam Soekanto, S., (1984), bahwa mengkaji tentang struktur

sosial harus dipamahami dimensi-dimensi struktur sosial masyarakat, sedangkan

dimensi-dimensi struktur sosial adalah:

a. Dimensi yang mencakup status atau kedudukan sosial (social status), yang bisa

didasarkan atas: status keluarga atau keturunan, status kekayaan, status keahlian

atau kemampuan, status pengaruh/ kekuasaan, status adat atau tradisi dan

sebagainya. Dari status tersebut tersebut memunculkan stratifikasi sosial dalam tiga

lapisan, yaitu: lapisan atas (upper class), lapisan tengah (middle class), dan lapisan

bawah (lower class).

b. Dimensi yang mencakup pranata atau lembaga-lembaga sosial (social institution),

yaitu meliputi: pranata politik (political institution), pranata kekerabatan (domestic

institution), pranata ekonomi (economic institution), pranata pendidikan (educational

institution), pranata ilmu pengetahuan (scientific institution), pranata agama

(religious institution), pranata kesehatan (somatic institution), dan pranata keindahan

(esthetic institution).

c. Dimensi yang mencakup derajat konformitas terhadap perilaku individu yang tidak

dikehendaki (pantangan) atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Konformitas

tersebut mencakup titik yang paling patut dilakukan sampai pada penyimpangan

(deviant) atau yang tidak patut dilakukan.

d. Dimensi yang mencakup kelompok-kelompok sosial, misalnya: calor caste, ethnic

group, varian orientation, varian by society, dan sebagainya.

4. Konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem.

Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan

sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial

tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau saling kait

mengkait dalam proses kehidupan manusia, baik dalam proses pemenuhan kebutuhan

individu atau kebutuhan kelompok.

Menurut Berry, D., (1981), bahwa pembahasan tentang sistem sosial pada

dasarnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan tentang masyarakat

(society). Dalam dialog sehari-hari sering pengertian ‘masyarakat’ dengan ‘sistem

sosial’ hampir sinonim, terutama dalam mengungkap tentang ‘sistem masyarakat’

dengan ‘sistem sosial’, tetapi dalam proses analisis fenomena sosial antara

‘masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’ tidak selalu sinonim, karena meskipun konsep

‘sistem’ dapat dikenakan pada masyarakat yang memiliki kekuatan ‘impersonal’

terhadap individu, sistem juga dapat berhubungan dengan aspek-aspek atau karakter

individu, misalnya: sistem di universitas bisa mendorong dosen (individu) bertindak

otoriter; sistem dalam kepartaian, bisa mendorong anggota (individu) DPR melakukan

10

Page 11: MATERI SSBI 2012

korupsi, sistem rumah sakit bisa menyebabkan orang (individu) menjadi sakit (hal ini

sering disebut dimensi latensi), dan bisa juga menyebabkan orang (individu) sembuh

dari penyakit yang diderita (fungsi manifes).

Menurut para ahli, ada beberapa ciri atau karakteristik suatu sistem sosial yaitu:

a. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem

sosial (sistem masyarakat) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem

pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional;

Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem

sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang

bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya

sistem keluarga. Jadi sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga

sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan

anak.

b. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem

akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya,

misalnya: (1) perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa

implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya;

(2) perubahan pada ikatan perkawinan suami-istri, akan membawa implikasi pada

perubahan perhatian, kasih sayang, atau kejiwaan anak dalam kehidupan keluarga,

dan seterusnya.

c. Antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat

deterministik (saling mempengaruhi), sehingga terjadinya perubahan positif

(integrasi) atau negatif (disintegrasi) pada salah satu sub-sistem akan membawa

integrasi atau disintegrasi suatu sistem secara keseluruhan (Harper, C.L, 1989;

Horton,P, and Hunt, G.L, 1984; Coleman, J.W, and Cressey, D.R., 1984).

Sifat determinasi sub sistem satu pada sub sistem lainnya dalam ‘sistem sosial’

tersebut akan memungkinkan menghasilkan dua bentuk, yaitu: (1) membawa

perubahan yang mengarah kepada pulihnya kembali keseimbangan sistem

(equilibrium) dan mempertahankan status quo; dan (2) membawa perubahan yang

mengarah pada kegoncangan sistem karena munculnya beragam perilaku

menyimpang para angggota dalam kelompok sebagai sistem (Soekanto, S., 1984;

Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Dalam kehidupan masyarakat modern atau

masyarakat metropolis ‘sistem sosial’ akan berkembang akan semakin kompleks,

terdiferensiasi, terintegrasi atau bahkan banyak muncul beragam problem

(disintegrasi), terjadinya realitas fenomena masyarakat modern/metropolis tersebut

karena beberapa faktor, yaitu: (a) berkembangnya beragam spesialisasi bidang

11

Page 12: MATERI SSBI 2012

kehidupan; (b) kompleksnya tuntutan atau rasa ketidakpuasan manusia terhadap

karya budaya yang ada; dan (c) intensitas kontak sosial-budaya dengan masyarakat

lain, karena kemajuan teknologi informasi di era globalisasi (Habermas, J., 1986;

Giddens, A, 1994).

Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti

bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang

saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk

struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem sosial

tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau perasaan

(tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan norma sosial; (e)

kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial (tingkatan sosial

seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang;

(h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i) sarana atau fasilitas dalam

kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M.M, 1998).

Contoh keterkaitan antar unsur-unsur sosial tersebut dalam kehidupan sosial

yang menggambarkan ‘suatu sistem’ adalah: ‘misalnya dalam kehidupan keluarga,

seseorang yang membangun kehidupan keluarga agar berlangsung secara integratif,

maka proses kehidupan keluarga itu harus mengintegrasikan tujuh sub unsur, yaitu: (1)

harus mendasarkan pada sistem keyakinan atau pengetahuan yang baik tentang

syarat-syarat membangun keluarga bahagia (integratif); (2) proses sosialisasi dan

interaksi antar anggota keluarga (ayah, ibu dan anak) tersebut harus berdasarkan

ikatan batin yang kuat, satu keyakinan, satu perasaan atau didasarkan pada tindakan

afektif; (3) semua anggota keluarga dalam menjalin interaksi dan sosialisasi harus

berdasarkan pada tujuan atau sasaran atau cita-cita yang telah disepakati dalam

keluarga, yaitu mencapai keluarga bahagia (keluarga yang integratif); (4) dalam

membangun keyakinan, interaksi dan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan keluarga,

harus mendasarkan pada nilai dan norma yang telah disepakati dalam keluarga; (5)

dalam upaya mewujudkan peran atau fungsi anggota keluarga di atas, maka harus

diperhatikan keberagaman kedudukan (status) atau lapisan status dan peranan (role)

masing-masing angggota dalam keluarga; (6) dalam upaya merealisasikan tujuan

terwujudkan integrasi keluarga, maka diperlukan figur orang tua yang melaksanakan

wewenang atau kekuasaan dalam keluarga secara demokrasi; dan (7) agar

pelaksanaan pemberian layanan pendidikan pada anak dan anggota keluarga secara

baik maka diperlukan sarana dan prasarana dengan baik dan adanya sistem kontrol

yang tegas tetapi mendidik’. Deskripsi contoh di atas dapat digambarkan sebagai

berikut.

12

Page 13: MATERI SSBI 2012

Gambar 1.1 tentang Kehidupan sosial sebagai suatu sistem.

D. Konsep Kebudayaan Sebagai Suatu Sistem

Dalam sub bab ini, fokus kajiannya adalah menjelaskan tentang: (1) pengertian

kebudayaan; (2) wujud kebudayaan; (3) unsur-unsur kebudayaan; (4) kenisbian atau

relativitas kebudayaan; (5) kebudayaan sebagai suatu proses hasil belajar atau

pembelajaran; dan (6) kebudayaan sebagai suatu sistem. Perlu dipahami bahwa

kajian tentang kebudayaan sebagai suatu sistem adalah mempunyai jangkauan materi

bahasan yang sangat luas, oleh karena itu wacana yang tersaji dalam bagian ini

hanyalah untuk memberikan dasar-dasar dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang

kebudayaan sebagai suatu sistem.

1. Pengertian kebudayaan.

Dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan sosial-budaya telah dijumpai beragam

definisi tentang kebudayaan. Keberagaman definisi tentang kebudayaan tersebut

disebabkan oleh: (a) keberagaman orientasi filosofis-teoritis para ahli dalam

memahami hakikat kebudayaan; dan (b) adanya keberagaman disiplin keilmuan yang

dimiliki oleh masing-masing peminat studi kebudayaan. Bahkan pada tahun 1952

sudah ada seorang antropolog A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn yang menulis buku

dengan judul ’Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions’, dalam buku

Kontrol

Tujuan

Kepercayaa

n

Lapisansosial

Power/kekuasaa

n

Afeksi

Sarana Tekanan

Nilai, Norma

Status & Role

13

Page 14: MATERI SSBI 2012

tersebut dijelaskan paling sedikit ada 160 buah definisi tentang kebudayaan, kemudian

mereka menganalisis dari segi latar belakang, prinsip, dan tipe atau inti dari pengertian

kebudayaan yang dikemukakan para ahli (Koentjaraningrat, 1989).

Kata ‘kebudayaan’ adalah berasal dari bahasa sanskerta ‘buddhayah’ (buddhi/

budi atau akal dan daya atau kekuatan). Jadi, dalam arti bahasa ‘kebudayaan’

merupakan suatu hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam proses kehidupannya.

Kebudayaan sebenarnya mempunyai arti yang sangat luas, tidak hanya sebatas

konsep tentang hal-hal yang indah, seperti bangunan-bangunan arsitektur (candi,

masjid, pura dan sebagainya); seni rupa, seni tari, seni suara atau kesusatraan, tetapi

meliputi seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia sepanjang usia hidupnya untuk

memenuhi beragam kebutuhan hidup, baik secara individu atau kelompok (Kroeber

(ed), 1953; Linton, R., 1963; Gazalba, S.,1967; Koentjaraningrat, 1982) Dalam bahasa

inggris kata kebudayaan adalah culture, yang berarti ‘segala daya upaya serta

tindakan manusia untuk merubah alam.

Kemudian apakah perbedaan makna ‘kebudayaan’ (culture) dengan ‘peradaban’

(civilization)?. Kebudayaan mempunyai makna yang lebih luas dari pada peradaban.

Dalam beberapa kajian tentang kebudayaan, istilah peradaban (civilization) sering

digunakan untuk menyebut bagian atau unsur-unsur dari karya budaya yang bersifat

indah, halus, membanggakan, dan maju. Contohnya: bangunan candi Borobudur;

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa dan kemajuan Iptek bidang

pertanian, kedokteran dan sebagainya; Keagungan seni rupa atau seni pahat;

Kesusastraan; Pelaksanaan demokrasi dan hak azasi yang baik dalam suatu negara,

dan sebagainya. Jadi, peradaban sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan

yang mengandung unsur-unsur kemajuan (membanggakan), baik yang bersifat fisik

maupun non fisik (Kroeber (ed), 1963; Gazalba, S.,1967).

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian

kebudayaan adalah ‘seluruh sistem ide (gagasan atau cita-cita) yang ada dalam pikiran

manusia, dan seluruh tindakan sosial dalam kehidupan sehari-hari serta seluruh hasil

karya fisik manusia (sistem teknologi) yang diperoleh melalui proses pembelajaran,

dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup baik secara individu atau

kelompok’. Berdasarkan kesimpulan definisi tentang kebudayaan tersebut, maka

hakikat suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud budaya, yaitu:

a. Wujud ide atau gagasan atau cita-cita (sistem budaya). Karakteristik atau ciri wujud

budaya ide adalah: bersifat sangat abstrak, ada dalam pikiran manusia, berbentuk

gagasan, cita-cita, motivasi, ideologi, keyakinan, dan tidak bisa dilihat bentuknya

dan tidak bisa diraba, serta menjadi orientasi dari munculnya wujud budaya

kelakuan berpola.

14

Page 15: MATERI SSBI 2012

b. Wujud kelakuan berpola atau sistem tindakan sehari-hari (sistem sosial). Beberapa

ciri wujud ini adalah: agak abstrak-agak kongkrit, gejalanya bisa diamati oleh panca

indra karena berupa kebiasaan atau tingkah laku sehari-hari, tidak bisa diraba,

kelahirannya berorientasi pada wujud budaya ide, dan dijadikan oreintasi munculnya

wujud budaya fisik (teknologi).

c. Wujud teknologi atau peralatan (sistem teknologi). Beberapa ciri wujud budaya ini

adalah: sangat kongkrit, bisa dilihat oleh kasat mata, bisa diraba, berbentuk benda

fisik, sebagai sarana perlengkapan dari wujud ide (sistem udaya) dan wujud

kelakuan berpola (sistem sosial) (Peursen, 1976; Koentjaraningrat, 1981; Ihromi,

T.O, 1984).

Jadi, hakikat makna kebudayaan itu mempunyai ruang lingkup pengertian yang

sangat luas, yaitu: (a) merupakan seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang sangat

beraneka ragam potensi atau kemampuannya; (b) diperoleh dan dilatihkan kepada

generasi penerus melalui proses pembelajaran (bukan melalui kelahiran atau

keturunan); (c) dijabarkan atau diwujudkan dalam bentuk gagasan, kelakuan atau

kebiasaan-kebiasaan atau tata cara dan peralatan hidup; (d) bersifat dinamik (terus

berubah dan berkembang) dalam proses kehidupan kemasyarakatan diberbagai

bidang; dan (e) bersifat nisbi atau relatif, yaitu ukuran baik atau tidak baik suatu karya

budaya itu tergantung pada pandangan pendukung budaya itu sendiri (Ihromi, T.O,

1984; Sulaeman,M., 1998; Liliweri, A., 2003).

2. Wujud kebudayaan

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa pada dasarnya suatu

kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk

kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan (sistem budaya); (2) wujud

kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan

sehari-hari (sistem sosial); dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau

peralatan hidup (sistem teknologi).

Wujud budaya pertama adalah dalam bentuk ide atau gagasan, sering disebut

dengan ‘sistem budaya’. Sedangkan ciri-ciri wujud budaya ide adalah: (a) bersifat

abstrak, sulit diraba dan dilihat bentuknya; (b) tempatnya ada di alam pikiran individu

atau warga masyarakat; (c) menjadi acuan atau pedoman individu dalam bertingkah

laku sehari-hari. Oleh karena itu wujud budaya ide atau gagasan sering dijadikan

sebagai ’pedoman hidup’; dan (d) relatif lebih sulit untuk mengalami perubahan,

apalagi wujud budaya ide tersebut sudah menjadi pandangan hidup warga

masyarakat. Contoh wujud budaya ide atau gagasan yang bersifat ’kolektif’ adalah:

nilai-nilai luhur Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan perundangan atau

hukum lainnya; Tujuan pembangunan nasional; Visi dan missi suatu organisasi sosial,

15

Page 16: MATERI SSBI 2012

politik ekonomi dan sebagainya. Sedangkan contoh wujud budaya ide atau gagasan

yang bersifat ’individu’ adalah: tujuan, cita-cita, keinginan, pandangan, ideologi,

keyanikan, dan motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu atau

untuk meraih prestasi di bidang tertentu.

Wujud budaya kedua dalam bentuk kompleks kelakuan berpola, sering disebut

sebagai ’sistem sosial’. Sedangkan ciri-ciri sistem sosial (wujud budaya kelakukan

berpola) adalah: (a) bentuknya lebih kongkrit dari pada wujud budaya ide atau

gagasan; (b) merupakan penerapan atau perwujudan dari budaya wujud ide, yang

berbentuk tata cara atau tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat; (c) relatif mudah berubah, terutama yang berbentuk kebiasaan-kebiasaan

sehari-hari dalam model berpakaian, berinteraksi sosial; dan (d) bisa diobservasi atau

diamati pola-pola kegiatan sehari-hari dalam memenuhi beragam kebutuhan hidupnya.

Contoh wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial) adalah: (a) wujud budaya ide

dalam bentuk ’ingin melakukan pernikahan’, maka wujud kelakukan berpola (sistem

sosial) adalah; rangkaian tahap-tahap kegiatan dalam upacara perkawinan; (b) wujud

budaya ide dalam bentuk ’tujuan ingin mewujudkan pelaksanaan demokrasi dalam

pemilu yang Luber’, maka wujud kelakuan berpolanya adalah, beberapa rangkaian

kegiatan pencoblosan di TPS oleh para pemilih dan panitia secara Luber. Jadi,

perwujudan dari wujud budaya kedua (kelakuan berpola) adalah selalu berorientasi

pada wujud budaya pertama (sistem ide atau gagasan). Apabila seseorang melakukan

aktivitas atau kegiatan tertentu (wujud budaya kedua) tidak sesuai dengan ide dasar,

keyakinan, atau nilai yang dijunjung tinggi (wujud budaya pertama), maka seseorang

tersebut dapat dikatakan sedang mengalami disintegrasi individu.Contoh, seseorang

ingin melakukan penelitian ilmiah secara objektif (wujud budaya pertama), tetapi yang

rangkaian kegiatan yang dilakukan adalah melakukan penjiplaan atau plagiator dari

penelitian orang lain (wujud budaya kedua yang tidak selaras dengan wujud budaya

pertama).

Wujud budaya ketiga adalah peralatan hidup, yang sering disebut sebagai

’sistem teknologi’, ciri-ciri wujud budaya sistem teknologi adalah: (a) sangat kongkrit,

dapat dilihat dan di raba wujudnya, berupa peralatan atau benda; dan (b) paling mudah

terjadi perubahan bentuk, karena bisa rusak. Bentuk wujud budaya teknologi bisa

berupa bangunan rumah atau pabrik atau bangunan tempat ibadah atau peralatan

hidup lainnya dari yang paling besar sampai yang paling kecil, misalnya paku atau

baut. Ketiga wujud budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu

atau kelompok (masyarakat) saling mengkait atau merupakan suatu sistem. Uraian

tentang kebudayaan sebagai suatu sistem akan dijelaskan pada uraian berikutnya.

16

Page 17: MATERI SSBI 2012

3. Unsur-unsur kebuadayaan

Setiap karya budaya selalu mempunyai tiga wujud budaya (wujud ide, wujud

kelakuan berpola, dan wujud teknologi), sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Dalam aktifitas manusia sehari-hari ketiga wujud budaya tersebut saling berhubungan

timbal balik (Kroeber (ed), 1953; Peursen, 1976; Arifin, 2008). Demikian juga setiap

karya budaya suatu masyarakat mempunyai unsur-unsur budaya, dari unsur-unsur

budaya yang mempunyai ruang lingkup luas sampai unsur-unsur budaya yang

mempunyai ruang lingkup sangat kecil.

Menurut antropolog C. Klukckhon dalam Kroeber (1953), bahwa karya budaya

manusia itu mempunyai unsur-unsur budaya yang selalu dijumpai disetiap kehidupan

masyarakat dimanapun di dunia ini, unsur-unsur budaya tersebut disebut ’unsur-unsur

budaya universal’ (cultural universals), sedangkan menurut Koentjaraningrat (1982),

bahwa unsur-unsur budaya universal tersebut disebut juga sebagai ’isi kebudayaan’.

Isi kebudayaan ini selalu dijumpai disetiap kehidupan manusia, baik pada masyarakat

terisolir sampai pada masyarakat metropolis (perkotaan modern).

Unsur-unsur budaya universal tersebut ada tujuh, yaitu: (1) Sistem religi atau

sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini pasti

mengenal sistem regili dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan

’supra natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara

personal tetap mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural),

hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut

berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha. Bagi orang

atheis, Tuhan mereka adalah science atau rasionalisme; (2) Sistem organisasi

kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola-pola

organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam

kelompok-kelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku; (3)

Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem

pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan

humaniora. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat semakin kompleks sistem ilmu

pengetahuan yang dikembangkan; (4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan

mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial,

baik bahsa simblik maupun non-simbolik; (5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun

akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang

dihadapi sehari-harai pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat

agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun,

dsb) sesuai dengan alam lingkungan agraris, dsb.; (6) Sistem mata pencaharian hidup.

Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencahariaan

17

Page 18: MATERI SSBI 2012

hidup, misalnya pertanian, nelayan, pertukangan, industri, profesi tertentu, dsb.; dan

(7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam

melakukan aktivitas tertentu di masyarakat.

Setiap unsur-unsur budaya universal (cultural universals) tersebut dapat dibagi

menjadi unsur-unsur budaya yang lebih kecil. Misalnya, sistem mata pencaharian

hidup (cultural universal), dapat dibagi kedalam unsur-unsur budaya yang lebih kecil

(bagian dari cultural universal yang disebut ‘aktivitas budaya setempat’ (cultural

activity), misalnya: mata pencaharian pertanian; mata pencaharian nelayan, dan

sebagainya. Dari unsur budaya cultural activity ini juga dapat dibagi menjadi unsur-

unsur budaya yang lebih kecil lagi yang disebut ‘Traits complex’, misalnya, mata

pencaharian pertanian, dibagi menjadi: sistem bercocok tanam di sawah, sistem

berkebun, dan sebagainya. Dari Traits complex ini juga dapat dibagi lagi menjadi

beberapa unsur yang lebih kecil, yang disebut ‘Traits’, misalnya: bagian dari sistem

bercocok tanam di sawah adalah: membajak, memanem padi, dan sebagainya. Dari

Traits ini juga dapat dibagi menjadi unsur budaya yang paling kecil yang disebut ‘Items’

(unsur terkecil yang tidak bisa dibagi lagi), misalnya, dari membajak, maka items-nya

adalah: kayu, paku, tali, dan sebagainya. Jadi, ketujuh unsur budaya universal

tersebut mempunyai sub-sub unsur dari cultural activity sampai ke items.

Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut

mempunyai tiga wujud budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud

sistem teknologi), yang masing-masing wujud budaya dari ketujuh unsur budaya

universal tersebut mempunyai empat bagian yang lebih kecil. Contoh, untuk unsur

budaya universal dari ‘sistem mata pencaharian hidup’, adalah: (1) wujud sistem

budaya adalah berupa ‘nilai adat istiadat’. Dari nilai adat istiadat ini dibagi menjadi

beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks budaya’. Dari kompleks budaya ini

bagi lagi menjadi beberapa ’tema budaya’. Dari tema budaya ini dibagai menjadi

beberapa ‘gagasan’’; (2) wujud sistem sosial adalah berupa ‘aktivitas sosial’. Dari

aktivitas sosial ini dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil berupa ‘kompleks

sosial’. Dari kompleks sosial ini bagi lagi menjadi beberapa ’pola sosial’. Dari pola

sosial ini dibagai menjadi beberapa ‘tindakan’’; (3) wujud teknologi, yaitu semua berupa

benda kebudayaan. Uraian tentang sub unsur dari unsur budaya universal menurut R.

Linton tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:

18

Page 19: MATERI SSBI 2012

Keterangan:

1. Wujud sistem budaya dari 1,2,3,4,5,6,7 (cultural universals) adalah ’adat istiadat’; Sedangkan 6.a; 6.b; dsb. adalah ’kompleks budaya’. Sedangkan 6.b.1; 6.b.2; dsb. Adalah ’tema budaya’. Sedangkan 6.b.1.a; 6.b.1.b; dsb adalah ’gagasan’.

2. Wujud sistem sosial dari 1,2,3,4,5,6,7 (cultural universals) adalah ’akitivitas sosial’. Sedangkan 6.a; 6.b; dsb. adalah ’kompleks sosial’. Sedangkan 6.b.1; 6.b.2; dsb. Adalah ’pola sosial’. Sedangkan 6.b.1.a; 6.b.1.b; dsb adalah ’tindakan’.

3. Wujud sistem teknologi, untuk semua unsur atau bagian (dari cultural universals sampai 6.b.1.a) adalah ’benda kebudayaan’

4. Kenisbian atau relativitas kebudayaan

Dalam studi psikhologi, sosiologi maupun antropologi, banyak menjelaskan

bahwa manusia dalam aktivitas hidup baik dalam ranah kehidupan individu maupun

kehidupan sosial selalu menampilkan pola-pola hidup yang diferensial (beragam atau

pluralis), baik keberagaman dalam hal: orientasi hidup; kemampuan berpikir; motivasi,

kedudukan dan peran-peran sosial, cara atau metode dalam meraih tujuan; adat

istiadat yang diyakini; agama atau kepercayaan, dan sebagainya. Bahkan

keberagaman kehidupan sosial budaya merupakan suatu keniscayaan atau keharusan

objektif dan selalu dijumpai dimanapun manusia berada, keberagaman kehidupan di

berbagai bidang justru akan dapat mendorong terjadinya dinamika sosial (Kroeber,

1952; Wilson, E.K., 1966; Green, 1972; Wrightsman, 1977).

Menurut para sosiolog dan antropolog, diantara sebab terjadinya keberagaman

atau kemajemukan sosial-budaya tersebut adalah: (1) adanya perbedaan kondisi

lingkungan alam fisik (geografis) sebagai tempat tinggal manusia, misalnya perbedaan

tingkat kesuburan tanah, perbedaan iklim dan cuaca; (2) adanya perbedaan tingkat

intensitas kontak sosial budaya dengan masyarakat luar, misalnya masyarakat di

pedalaman akan berbeda corak budayanya dengan masyarakat metropolis; (3)

perbedaan etos budaya (karakter budaya khas/khusus) antara kelompok satu dengan

Cultural Universal

s

3 52 6 741

dsb.a

6.b 6.a

dsb.6.b.26.b.1

dsb.

6.b.1.a

6.b.1.b

19

Page 20: MATERI SSBI 2012

kelompok lainnya, misalnya: budaya khusus petani, budaya khusus nelayan, budaya

khusus profesi guru, dokter, hakim, budaya khusus pedagang, dan sebagainya; (4)

perbedaan pandangan (ideologi), keyakinan (agama) yang menjadi orientasi hidup

dan perbedaan motivasi inovatif antar anggota masyarakat; (5) perbedaan tingkat

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (6) perbedaan tingkat heterogenitas

ras, ethnik suatu masyarakat (Macionis, J., 1987; Zanden, J.W.V, 1990; Liliweri, 2005).

Realitas keberagaman sosial-budaya tersebut, baik yang disebabkan oleh

perbedaan latar belakang geografis, perbedaan sosio-budaya dan psikhologis, akan

dapat mengharuskan munculnya sikap mental atau pandangan sebagai berikut: (1)

suatu karya budaya tertentu yang dihasilkan oleh suatu masyarakat tertentu tidak bisa

dianggap jelek atau dianggap baik oleh masyarakat yang menilai, karena ukuran ’baik’

atau ’jelek’ suatu karya budaya adalah melekat pada individu atau masyarakat yang

menghasilkan atau memiliki karya budaya itu sendiri. Prinsip inilah yang disebut

’relativitas budaya’; (2) menyelami dan memahami kedalaman makna karya budaya

atau simbol-simbol budaya suatu masyarakat tertentu, baik pada aspek ’wujud sistem

budaya’, ’sistem sosial’ dan ’sistem teknologi’ dengan cara ikut langsung dalam

merasakan dan menyelami pandangan, perasaan dan motivasi warga masyarakat

yang diteliti atau dikaji. Hal ini sering disebut prinsip ’kenisbian budaya’. (Ihromi, T.O.,

1984; Suseno, F.M., 1993; Poerwanto, H, 2000). Sebenarnya konsep antara relativitas

budaya dengan konsep kenisbian budaya adalah mempunyai makna yang sama.

Dalam kehidupan sosial budaya yang sangat pluralis, seperti masyarakat

Indonesia, terbangunnya sikap mental ’kenisbian budaya’ atau ’relativitas budaya’

adalah sangat penting dan mendasar, karena apabila kualitas sikap mental ’kenisbian

budaya’ warga masyarakat rendah maka keberagaman sosial budaya masyarakat

Indonesia akan menjadi sumber masalah (basic problems) yang sangat berat dan akan

menjadi penghambat proses pembangunan nasional. Ada beberapa faktor yang

menyebabkan rendahnya kualitas sikap mental ’kenisbian budaya’ warga masyarakat,

yaitu: (1) masih kuatnya sikap mental etnosentrisme di masyarakat, yaitu sikap mental

yang menilai bahwa karya dan pola budaya yang dimiliki sukunya adalah paling baik,

sedangkan karya dan pola budaya suku lain adalah jelek atau rendah kualitasnya.

Sikap ethnosentrisme bisa juga diartikan sebagai kesetiaan yang berlebihan pada

ethnik/sukunya; (2) masih kuatnya sikap mental curiga di kalangan warga masyarakat

terhadap unsur-unsur budaya lain atau luar yang akan masuk, karena unsur budaya

lain/luar dianggap akan dapat merusak atau menjadi sebab terjadinya kegoncangan

unsur budaya asli yang dianggap telah mapan; dan (3) sarana atau media-media

proses kontak sosial budaya antar masyarakat (suku bangsa) tidak berfungsi dengan

baik, misalnya: lembaga pendidikan, pusat rekreasi, pasar atau pusat-pusat kegiatan

20

Page 21: MATERI SSBI 2012

ekonomi; alat atau jalur-jalur transportasi; pameran atau pertukaran antar budaya

daerah, dan sebagainya. Jadi, pandangan kenisbian kebudayaan menuntut agar

semua perilaku sosial dan adat istiadat dari suatu masyarakat hendaknya dipandang

dari sudut masyarakat itu sendiri dan tidak dari sudut kebudayaan orang lain yang

menilai dan yang menganggap budayanya lebih baik dari yang lain, terbangunnya

kualitas sikap mental kenisbian budaya pada warga bangsa akan mendorong

kokohnya integritas dan kesatuan bangsa indonesia (Koentjaraningrat, 1981; Alfian,

1986; Usman, S., 1998; Liliweri 2005).

Napoleon Chanon, dalam Ihromi, T.O., (1984), memberikan contoh tentang

kenisbian budaya sebagai berikut: ’Adat istiadat yang berkembang di suku bangsa

Yanomamo, yang berada di daerah perbatasan negara venezuela dan Brazilia Amerika

Latin. Pada suku tersebut berlaku adat istiadat, yaitu apabila putra (anak laki-laki) suku

Yanomamo merasa tidak setuju atau marah kepada orang tuanya (karena orang tua

berbuat salah) dianjurkan untuk menyatakan kemarahannya dengan cara

menempeleng atau memukul orang tuanya. Jadi, bila anak menampar orang tuanya

sebagai bentuk kemarahannya pada orang tua, tindakan itu bukan dinilai atau

dianggap melanggar hukum bahkan dipuji. Sistem adat ini telah dipahami oleh anak

sejak kecil. Sebagian besar anak laki-laki mengetahuinya, bahwa cara yang sudah

dimaklumi bersama dan disetujui masyarakat Yanomamo tersebut adalah cara

menunjukkan kemarahan dalam masyarakat mereka pada orang tua dengan cara

memukul’. Realitas adat istiadat tersebut sudah tentu tidak bisa dinilai jelek menurut

adat istiadat yang umumnya berlaku di Indonesia, karena adat istiadat dalam bentuk

menyatakan kemarahan anak kepada orang tua pada masyarakat Yanomamao

tersebut adalah melekat pada pandangan hidup dan tradisi masyarakat Yanomamo itu

sendiri.

Konsekwensi logis dari realitas sosial budaya yang selalu tampil dalam

keberagaman tersebut adalah, setiap individu atau setiap warga masyarakat harus

mengembangkan sikap mental: (1) tolerir terhadap keberagaman pola-pola budaya

orang lain atau suku bangsa lain; (2) memberikan kesempatan bagi setiap individu

atau warga masyarakat dalam merealisasikan dan mengembangkan pola budayanya

secara proporsional ditengah keberagaman hidup, dengan tidak meremehkan atau

merendahkan adat istiadat orang lain; (3) terbuka terhadap beragam alternatif pilihan

hidup, selalu berinovasi untuk meraih kualitas hidup dan kompetitif secara positif di

tengah keberagaman sosial budaya. Namun dalam realitas hidup masih banyak

dijumpai pola-pola pikir dan tindakan sosial individu dalam masyarakat yang

menerapkan; dan (4) selalu mendukung atau mencintai setiap ada agenda kegiatan

atau aktivitas sosial budaya yang sifatnya adalah menggalakkan proses pembauran

21

Page 22: MATERI SSBI 2012

ethnik atau program informasi lintas budaya antar masyarakat, sehingga akan

diperoleh banyak alternatif pilihan dan wacana tentang keberagaman sosial budaya

masyarakat (Alfian, 1986; Effendi, S., (ed), 1992; Koentowijoyo, 1999).

5. Kebudayaan sebagai hasil pembelajaran

Dalam banyak kajian antropologi dan sosiologi dijelaskan bahwa, pada diri

manusia terdapat dua potensi dasar sebagai bekal dalam proses pemenuhan beragam

kebutuhan hidupnya di masyarakat, yaitu: (1) potensi diri yang bersifat naluriah atau

instinktif, dengan ciri-ciri: (a) diperoleh tidak melalui proses belajar tetapi melalui

kelahiran atau telah dibawa sejak lahir; (b) bersifat biologis-responsif, misalnya: ketika

merasa lapar dan haus ingin makan dan minum, ketika ngantuk kemudian tidur, ketika

anggota tubuh bersentuhan dengan api terasa panas, ketika debu akan masuk ke

mata kemudian mata berkedip, dan sebagainya; (2) potensi diri atau kemampuan diri

yang diperoleh melalui proses pengenalan, pembelajaran, pelatihan secara terus

menerus, hal inilah yang disebut dengan kebudayaan (Rose, 1965; Popenoe, D., 1974;

Horton and Hunt, 1984).

Dalam proses kehidupan sosial budaya di masyarakat, ada tiga cara proses

pembelajaran budaya yang dilakukan oleh setiap individu, yaitu: (1) proses

internalisasi; (2) proses sosialisasi; dan (3) proses enkulturasi. Proses internalisasi

adalah, ‘proses pembelajaran individu sejak usia dini (sejak lahir) sampai meninggal

untuk belajar, melatih dan menanamkan dalam jiwa-pikiran atau kepribadiannya

tentang segala hasrat, keinginan, emosi, motivasi, perasaan yang diperlukan selama

proses kehidupannya’. Dalam proses internalisasi inilah seseorang sejak kecil sampai

meninggal terus belajar tentang: merasakan dan mewujudkan kebahagiaan hidup;

merealisasikan dan memaknai cinta dan benci dalam hidup; membangun sikap simpati

atau empati, rasa malu; melatih diri bersikap adil, jujur; membangun semangat untuk

ingin tahu dan berbakti pada orang tua, masyarakat, berkarya, dan sejenisnya. (Green,

A. W. 1972; Koentjaraningrat, 1989). Jadi, dalam proses internalisasi ini seseorang

tidak pernah berhenti selama hidupnya untuk terus membangun kualitas kepribadian

atau berakhlak mulia, melalui lingkungan tempat hidupnya, baik dalam keluarga, teman

bermain, organisasi-organisasi sosial di masyarakat, dan lingkungan kerja.

Proses sosialisasi adalah, ‘proses pembelajaran individu sejak dini (sejak lahir)

sampai meninggal tentang pola-pola tindakan sosial atau interaksi sosial dalam

proses-proses sosial di lingkungannya dengan memperhatikan beragam nilai dan

norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya’. Jadi, dalam proses sosialisasi

seorang individu terus belajar dan melatih diri untuk: (a) menjalin interaksi sosial sebaik

mungkin agar diterima oleh anggota masyarakatnya; (b) melatih melakukan peran-

peran sosial sesuai dengan harapan masyarakatnya; (c) melakukan komunikasi secara

22

Page 23: MATERI SSBI 2012

efektif dengan anggota kelompok atau masyarakatnya dalam aktifitas sosial; dan (d)

menjalin kerjasama dalam kelompok dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan

hidupnya. Sedangkan diantara fungsi sosialisasi antara lain: (a) membentuk

kepribadian individu, khususnya berkaitan dengan beragam aktifitas kehidupan

kelompok atau proses-proses sosial (interaksi sosial) secara berkualitas; dan (b)

melatih setiap individu mampu melaksanakan beragam peranan sosial yang

diharapkan oleh masyarakat secara berkualitas (Berger, 1972; Bouman, P.J., 1982;

Horton and Hunt, 1984).

Menurut para ahli, ada beberapa lingkungan hidup yang dapat berfungsi sebagai

media sosialisasi seseorang untuk membangun kualitas kepribadian dalam hidup di

masyarakat, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan teman sebaya, (3)

lingkungan lembaga pendidikan atau sekolah, (4) media massa, dan (5) lingkungan

tempat kerja. Diantara kelima media sosialisasi tersebut, lingkungan keluarga adalah

media sosialisasi yang paling menentukan proses pembentukan kepribadian anak.

Kegagalan proses internalisasi dan sosialisasi dalam kehidupan keluarga atau yang

sering disebut ‘proses sosialisasi tidak sempurna’ akan menyebabkan anak melakukan

beragam tindakan-tindakan sosial menyimpang (Coleman and Cressey, 1984; Horton

and Hunt, 1984).

Proses enkulturasi. Istilah enkulturasi secara tekstual dapat diterjemahkan

sebagai ‘pembudayaan’ atau dalam bahasa inggris disebut ‘institutionalization’. Proses

enkulturasi adalah ’proses pembelajaran diri sejak usia dini sampai meninggal tentang

adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat. Jadi,

dalam proses enkulturasi ini seseorang sejak kecil berlatih untuk memahami dan

mengamalkan nilai, norma, adat istiadat, dan seperangkat aturan yang telah berlaku

dalam keluarga dan masyarakatnya (membangun karakter untuk sadar akan aturan

hidup). Pelatihan alam pikiran dan tindakannya tersebut dilakukan secara berulang-

ulang dari kecil sampai dewasa, sehingga tindakan-tindakan sosial yang berdasarkan

norma atau adat istiadat tersebut telah ’terbudayakan’ atau ’terlembagakan’ atau

‘terinstitusional’ atau ‘menjadi etos’. Sesuatu yang sudah ’terlembagakan’ atau

’terbudayakan’ berarti sesuatu itu sudah mendarah daging atau sudah menjadi pola

hidup sehari-hari dan relatif sulit mengalami perubahan.

Selama proses kehidupan sosial di masyarakat, setiap individu selalu

melakukan ketiga proses pembelajaran budaya tersebut, yaitu: internalisasi,

sosialisasi, dan enkulturasi. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat, karena

dalam praktik-praktik tindakan sosial dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan

hidup di masyarakat, setiap individu selalu bersentuhan dengan ketiga hal tersebut.

Ketiga proses pembelajaran budaya tersebut mempunyai persamaan, yaitu ’sama-

23

Page 24: MATERI SSBI 2012

sama berfungsi dalam proses pembentukan kepribadian seseorang sejak dini sampai

meninggal’, sedangkan perbedaannya lebih terletak pada ’titik tekan’

permasalahannya, yaitu: internalisasi lebih menekankan pada proses pembentukan

karakter atau kualitas kepribadian atau akhlak mulia setiap individu; sosialisasi lebih

menekankan pada aspek kualitas diri dalam melakukan proses interaksi sosial, atau

komunikasi sosial atau proses-proses sosial dalam kehidupan kelompok, baik dalam

keluarga, organisasi kemasyarakatan, tempat kerja dsb., sedangkan enkulturasi lebih

menekankan pada aspek ’pembudayaan’ atau melatih diri secara berulang-ulang

dalam mematuhi seperangkat norma atau aturan yang berlaku di masyarakat.

Setiap proses pembelajaran budaya yang dilakukan seseorang pada

lingkungan pembelajaran budaya, misalnya: keluarga, teman sebaya, sekolah, tempat

kerja, baik dalam bentuk internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi tidak selamanya

berlangsung secara sempurna. Apabila proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi

pada lingkungan pembelajaran budaya tersebut tidak sempurna, maka para anggota

kelompok tersebut cenderung akan melakukan tindakan menyimpang (deviants),

misalnya: suami-istri bercerai, anak terlibat dalam perkelahian atau penyalahgunaan

obat terlarang, konflik SARA, dan sebagainya.

Keenam, kebudayaan sebagai suatu sistem. Dalam kajian antropologi maupun

sosiologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak

cukup hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus

dilakukan secara integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat

kebudayaan itu adalah mencakup seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma

dalam wujud sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi secara integratif

(Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo, 1999).

Ada sebagian yang memandang bahwa semua cipta, rasa dan karsa

manusia, baik yang berbentuk negatif (merugikan masyarakat atau orang lain) atau

yang berbentuk positif (membawa kemajuan atau menguntungkan kehidupan

masyarakat) adalah kebudayaan. Namun pandangan tersebut perlu diberi penjelasan

lebih lanjut, yaitu: (1) hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang negatif (eror atau

destruktif) yang merugikan atau membawa dampak negatif bagi kehidupan bersama di

masyarakat, hakikatnya ’kurang proporsional’ apabila disebut sebagai karya budaya,

tetapi lebih tepatnya disebut bentuk cipta, rasa dan karsa yang menyimpang

(deviants), atau lebih proporsional disebut ’karya budaya menyimpang’, dan karya

budaya menyimpang sebenarnya ’bukan sesuatu yang diinginkan dan bukan yang

dicita-citakan’ oleh individu atau warga masyarakat; (2) pada hakikatnya pola tindakan

manusia dalam hidup adalah lebih cenderung untuk melakukan atau mengekspresikan

cipta, rasa dan karsanya ke arah keseimbangan, kedamaian hidup, kebahagiaan, dan

24

Page 25: MATERI SSBI 2012

ketenangan hidup daripada karya tindakan yang menyengsarakan (disintegrasi atau

eror); dan (3) hakikat suatu karya budaya atau yang dihasilkan oleh seseorang harus

mendorong untuk memunculkan karya budaya berikutnya (prospektif), dan setiap cipta,

rasa dan karsa yang menyimpang (deviants) sulit menghasilkan karya budaya

berikutnya yang lebih baik atau ‘peradaban’ (civilization) (Asy’ari, M. (Ed). 1988;

Effendi, S., (Eds). 1992; Mutahhari, M, 1997)..

Kebudayaan sebagai suatu sistem mengandung arti bahwa ’kebudayaan itu

merupakan suatu integrasi, yaitu antar wujud budaya dan antara unsur-unsur budaya

satu dengan yang lain saling menjalin hubungan timbal balik dalam proses kehidupan

di masyarakat. Jadi, masing-masing wujud budaya dan unsur budaya tidak bisa

dipahami secara parsial atau terpisah (otonom)’. Ada beberapa alasan yang

memperkuat pandangan bahwa kebudayaan adalah suatu integrasi (sebagai sistem),

antara lain:

a. Hakikat setiap karya budaya mempunyai sifat dasar yaitu ’sifat adaptif’ terhadap

pengaruh lain atau unsur budaya lain, sehingga setiap unsur budaya satu dengan

unsur budaya lain dalam kehidupan sehari-hari saling kait mengkait.

b. Hakikatnya setiap unsur budaya (tujuh cultural universals) dalam praktik-praktik

sosial sehari-hari tidak bisa saling bertentangan, justru semua unsur budaya

tersebut saling berhubungan atau saling melengkapi, saling mengisi untuk memberi

makna hidup manusia di masyarakat. Sangat mustakhil dalam aktivitas sosial

ketujuh unsur budaya universal tersebut berlawanan (tidak ada hubungan).

c. Perubahan yang terjadi pada unsur budaya satu dapat mempengaruhi perubahan

pada unsur budaya yang lain, contoh: perubahan jenjang pendidikan formal

(perubahan dalam penguasaan Iptek) seseorang akan mempengaruhi perubahan

pada unsur-unsur budaya yang lain, misalnya: sistem mata pencaharian hidup;

sistem kepercayaan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan kebudayaan adalah

suatu sistem.

d. Setiap karya budaya manusia apabila diimplementasikan dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari selalu menampilkan keterpaduan antara wujud budaya ide

(gagasan), kelakuan (tata cara) dan teknologi (benda). Deskripsi tentang

kebudayaan sebagai suatu integrasi (sistem) dapat disederhanakan dalam gambar

1.3 dan 1.4 sebagai berkut:

25

Page 26: MATERI SSBI 2012

Gambar 1.3. Tentang integrasi antar tujuh unsur budaya universal.

Gambar 1.4. Tentang integrasi antara wujud budaya dengan unsur-unsur budaya universal. (Diadopsi dari Koentjaraningrat, 1989)

Keterangan:1. Lingkaran lapisan terluar, yaitu A sampai G adalah tujuh unsur budaya universal

(cultural universals).

Bahasa

Sitem ilmu

penget.

Sitem Teknolgi

Sistem Mata penc.

Kesenian

Sistem religi

Sistem Org.

sosial

26

I

II

III

A

B

C

D

E

F

G

Page 27: MATERI SSBI 2012

2. Setiap unsur budaya dari cultural universals tersebut mempunyai tiga wujud budaya, yaitu: (a) wujud ide atau gagasan atau sistem budaya (lingkaran paling dalam atau lingkaran I); (b) wujud pola perilaku atau tata cara atau sistem sosial (lingkaran II); dan (c) wujud benda atau sistem teknologi (lingkaran III).

3. Keserasian fungsi antara lingkaran lapisan I, II, III dan lingkaran lapian terluar dalam praktik-praktik sosial-budaya adalah wujud integrasi budaya (budaya sebagai sistem).

4. Lingkaran I (wujud ide) adalah karya budaya yang paling dasar, sebagai orientasi dari lingkaran II dan III.

E. Konsep Dinamika Sosial dan Kebudayaan

Konsep dinamika sosial (social dynamics) dan dinamika kebudayaan (cultural

dynamics) adalah ‘proses-proses pergeseran unsur-unsur sosial dan unsur-unsur

kebudayaan dalam kehidupan masyarakat’ (Burns, T.R, 1987; Koentjaraningrat, 1989).

Pada studi antropologi dan sosiologi, kajian tentang dinamika sosial dan kebudayaan

banyak banyak berkaitan dengan konsep kajian tentang: perubahan sosial dan

perubahan kebudayaan; pembelajaran kebudayaan (proses internalisasi, proses

sosialisasi, dan proses enkulturasi); dan persebaran kebudayaan. Dalam pembahasan

tentang dinamika sosial dan kebudayaan berikut ini lebih banyak menyinggung tentang

perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.

Uraian tentang konsep perubahan sosial-budaya pada pembahasan berikut ini

hanya menjelaskan secara singkat tentang: (1) pengertian perubahan sosial-budaya;

(2) uraian singkat dari beberapa perspektif teoritis yang mengkaji tentang perubahan

sosial-budaya; (3) sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya; dan (4) ruang

lingkup kajian perubahan sosial-budaya.

Pertama, pengertian perubahan sosial-budaya. Ada beberapa asumsi penting

yang perlu dipahami oleh setiap peminat studi perubahan sosial atau perubahan

kebudayaan, adalah: Bahwa tidak ada sesuatu di bawah kolong langit dan di

hamparan bumi ini yang tidak mengalami perubahan sosial-budaya (Etzioni (eds),

1973; Bouman, 1982; Sztompka, 1993); Perubahan sosial merupakan suatu proses

perubahan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, oleh karena itu ruang

lingkup kajian perubahan sosial merupakan materi yang sangat luas, kompleks dan

terbuka (Goode, 1977; Harper, 1989). Demikian juga pengertian perubahan

kebudayaan, yaitu ‘suatu proses perubahan baik yang menyangkut perubahan dari

aspek wujud budaya maupun perubahan dari aspek unsur-unsur budaya’.

Beragam definisi tentang perubahan sosial telah diajukan oleh para ahli. Dari

beragam definisi tersebut sosiolog Selo Soemardjan menyimpulkan bahwa perubahan

sosial adalah, ‘segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu

masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai,

sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat’ (Soemardjan,

27

Page 28: MATERI SSBI 2012

1981). Dari berbagai definisi tentang perubahan sosial dan perubahan kebudayaan,

paling tidak ada empat konsep penting yang dapat dipahami tentang pengertian

perubahan sosial (social change) dan perubahan kebudayaan (cultural change), antara

lain:

a. Masyarakat dimanapun akan mengalami perubahan sosial dan perubahan

kebudayaan, dan perubahan sosial-budaya merupakan suatu proses yang luas,

kompleks, menyangkut berbagai aspek dan tatanan dalam kehidupan ummat

manusia.

b. Setiap perubahan sosial-budaya akan membawa modifikasi-modifikasi baik pada

aspek kuantitatif (material) maupun kualitatif (nonmaterial), yang dapat

berlangsung secara lambat (evolution) atau secara cepat (revolution).

c. Perubahan sosial-budaya yang terjadi bisa menyangkut, perubahan struktur sosial-

budaya, perubahan fungsi hubungan antar bagian dalam sistem sosial-budaya.

d. Perubahan sosial-budaya akan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan

pandangan hidup, nilai-nilai, tujuan dan sikap hidup manusia, meskipun proses

perubahan pada aspek ini berlangsung sangat lambat (Lauer, R.H. 1978;

Sztompka, 1993).

Kedua, perubahan sosial-budaya dalam perspektif teoritis. Ada beragam teori

(perspectives) yang membahas tentang perubahan sosial-budaya, yaitu: (1) perspektif

evolusi (evolutionary perspectives); (2) perspektif fungsionalis (functionalist

perspectives) (Durkheim, 1974); (3) perspektif konflik (conflict perspectives); (4)

perspektitif Interaksionis simbolik (Macionis, 1987; Harper, 1989; Zanden, 1990); dan

(5) perspektif Integrasi Agen Struktur (Giddens, 1987) atau Makro-mikro (Sanderson,

1991; Ritzer dan Goodman, 2003).

Kajian tentang fenomena sosial-budaya yang menjelaskan tentang perubahan

sosial-budaya berbasis teori evolusi (evolution theory), antara lain:

a. Pandangan A. Comte (1798-1857) tentang ‘tahap-tahap perkembangan manusia

dan masyarakat’ yang dikenal dengan hukum tiga tahap perkembangan, yaitu:

Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak); dan Tahap positif (riel)

(Mannheim, 1959; Wibisono, 1983; Laeyendecker, 1991). Pandangan Comte inilah

yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya (Inkeles, 1964; Giddens,

1985).

b. Pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang ‘evolusi masyarakat dari pola

sederhana menuju yang rumit dan kompleks, dari homogen (homogeneity) ke

heterogen (heterogeneity)’ (Etzioni, 1973; Rossides, 1978).

c. Karl Marx (1818-1883), tentang ‘evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis

tanpa kelas dengan padangan historis materialism’; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986).

28

Page 29: MATERI SSBI 2012

d. Max Weber (1864-1920), tentang the role of ideas in history. Bagi Weber setiap

individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat

macam yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, effective rationality,

dan purposive rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri

sendiri, tetapi juga simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku

masyarakat, dan tindakan yang paling utama adalah tindakan rationality

instrumental (Wrong, 1970; Johnson,D.P., 1981; Laeyendecker, 1991).

e. Pitirim A Sorokin (1889-1968), bahwa: Perubahan sosial-budaya bisa disebabkan

oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis (historical approach) dalam

studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode logika penuh arti yang

terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of culture) akan

menghasilkan tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem ideasional;

sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan siklus

yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur ‘agak’

homogen (Green, 1972; Rossides, 1978; Campbell, 1981). Masih banyak

teoritukus yang berpandangan evolusi, diantaranya: Oswald Spengler; Ferdinan

Toennies; Vilfredo Pareto; Emile Durkheim, dan Alex Inkeles. Pembahasan lebih

lanjut tentang perubahan sosial-budaya dalam perspektif teoritis akan diuraikan

pada bab berikutnya.

Ketiga, sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya. Menurut para ahli

sebab-sebab terjadinya perubahan sosial-budaya, ditentukan oleh banyak faktor,

antara lain: (1) faktor kondisi diluar kemampuan manusia (the ultimate conditions),

misalnya kondisi lingkungan fisik (physical environment), jumlah penduduk, iklim; (2)

faktor terjadinya integrasi atau konflik antar kepentingan dalam lembaga di

masyarakat; (3) faktor orientasi sistem nilai dan norma sosial budaya yang dianut

anggota masyarakat; (4) faktor penemuan budaya baru dan pengembangan bidang

teknologi, misalnya invention yang mempengaruhi beragam aspek kehidupan; (5)

faktor kontak sosial-budaya dan penyebaran unsur budaya melalui proses difusi; (6)

faktor peranan innovator dalam proses aktivitas sosial sehari-hari; dan (7) faktor

peranan penguasa dalam mewarnai kehidupan negara atau masyarakat (Green, 1972;

Zanden, 1990). Dari beragam faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab

terjadinya perubahan sosial-budaya dapat dipengaruhi oleh kondisi kekuatan internal

(internal force) dan kondisi kekuatan eksternal (external force) masyarakat (Etzioni,

1973; Popenoe, 1974; Soekanto, 1984,b).

Keempat, ruang lingkup kajian perubahan sosial-budaya. Merujuk pandangan

Gerth dan Mills, dalam Soekanto (1984,a), maka ruang lingkup kajian tentang

perubahan sosial-budaya dapat disimpulkan minimal menyangkut enam aspek, antara

29

Page 30: MATERI SSBI 2012

lain: (1) apakah aspek-aspek sosial-budaya yang berubah?; (2) bagaimana hal-hal itu

berubah?; (3) kemanakah tujuan atau arah dari perubahan sosial-budaya itu?; (4)

bagaimanakah kecepatan perubahan sosial-budaya tersebut terjadi?; (5) mengapa

terjadi perubahan sosial-budaya?; dan (6) faktor-faktor penting manakah yang ada

dalam perubahan sosial-budaya?.

Menurut Himes and Moore dalam Salim (2002), ada tiga dimensi dalam kajian

perubahan sosial-budaya adalah: (1) dimensi struktural, dimensi ini mengacu pada

perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat dengan ruang lingkup

perubahan meliputi: (a) perubahan aspek status dan peranan, (b) perubahan aspek

perilaku individu dan kekuasaan, (c) terjadinya pergeseran dari wadah atau kategori

peranan, (d) terjadinya modifikasi saluran komunikasi diantara peranan-peranan atau

kategori peranan, (e) terjadinya perubahan dari sejumlah tipe dan fungsi sebagai

akibat dari struktur; (2) dimensi kultural, dimensi ini mengacu pada perubahan-

perubahan kebudayaan dalam masyarakat, baik yang berupa: Wujud budaya ide

(sistem budaya); Wujud budaya kelakuan berpola (sistem sosial); dan Wujud budaya

fisik (sistem teknologi), baik bersifat difusi, inovasi dan integrasi; (3) dimensi

interaksional, dimensi ini mengacu pada adanya perubahan hubungan sosial di dalam

masyarakat. Ruang lingkup perubahan interaksional menyangkut lima hal yaitu:

hubungan kooperatif sampai konflik; hubungan informal dan formal; hubungan

horisontal dan vertikal.

F. Kesimpulan

Berdasarkan uraian singkat tentang: Hakikat studi ilmu pengetahuan sosial-

budaya; Konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem; Konsep kebudayaan sebagai

suatu sistem; dan Konsep dinamika sosial dan kebudayaan, adalah dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Semua ilmu pengetahuan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan alam, pada

dasarnya memiliki tiga landasan utama, yaitu: ontologi, epistemologi, dan

aksiologi. Dan untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan sosial satu dengan

yang lain dapat dilihat dari tiga landasan tersebut.

2. Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem’, mengandung arti bahwa

‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang

saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk

struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem

sosial tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau

perasaan (tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan

norma sosial; (e) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial

(tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh

30

Page 31: MATERI SSBI 2012

(power), atau wewenang; (h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i)

sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan.

3. Kebudayaan sebagai suatu sistem mengandung arti bahwa ’kebudayaan itu

merupakan suatu integrasi, yaitu antar wujud budaya dan antara unsur-unsur

budaya satu dengan yang lain saling menjalin hubungan timbal balik dalam proses

kehidupan di masyarakat. Jadi, masing-masing wujud budaya dan unsur budaya

tidak bisa dipahami secara parsial atau terpisah (otonom)’.

4. Konsep dinamika sosial (social dynamics) dan dinamika kebudayaan (cultural

dynamics) adalah ‘proses-proses pergeseran unsur-unsur sosial dan unsur-unsur

kebudayaan dalam kehidupan masyarakat’. Sedangkan ruang lingkup kajian

tentang perubahan sosial-budaya, minimal menyangkut enam aspek, antara lain:

(a) apakah aspek-aspek sosial-budaya yang berubah?; (b) bagaimana hal-hal itu

berubah?; (c) kemanakah tujuan atau arah dari perubahan sosial-budaya itu?; (d)

bagaimanakah kecepatan perubahan sosial-budaya tersebut terjadi?; (e) mengapa

terjadi perubahan sosial-budaya?; dan (f) faktor-faktor penting manakah yang ada

dalam perubahan sosial-budaya?.

KONSEP

SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS

Oleh: Dr. ARIFIN

31

Page 32: MATERI SSBI 2012

A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian

Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis

adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori

evolusi; (b fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem; (c) sistem sosial-

budaya dalam perspektif teori fungsional struktural dan neo-fungsional; (d) sistem

sosial-budaya dalam perspektif teori konflik dan neo-Marxian; (e) sistem sosial-budaya

dalam perspektif teori interaksionis simbolik; fe) sistem sosial-budaya dalam perspektif

teori fenomenologi; (g) sistem sosial budaya dalam perspektif teori posmodern; (h)

sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi; dan (i) kesimpulan.

Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam

perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program

studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana tentang fenomena

sosial-budaya dalam perspektif: Teori evolusi; Teori sistem; Teori fungsional struktural

dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan

teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi; (2) diharapkan para peneliti

atau peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep dasar tentang

fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori evolusi; Teori sistem; Teori

fungsional struktural dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori

interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi,

untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan

analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (3) setelah memahami

konsep-konsep dasar tentang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa,

peneliti dan peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada

referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan.

B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Evolusi

Kajian sosiologi yang menjelaskan tentang perubahan sosial berbasis teori

evolusi (evolution theory), antara lain: (1) pandangan A. Comte (1798-1857) tentang

‘tahap-tahap perkembangan manusia dan masyarakat’ yang dikenal dengan hukum

tiga tahap perkembangan, yaitu: Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak); dan

Tahap positif (riel) (Mannheim, 1959; Wibisono, 1983; Laeyendecker, 1991).

Pandangan Comte inilah yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya

(Inkeles, 1964; Giddens, 1985); (2) pandangan Herbert Spencer (1820-1903) tentang

‘evolusi masyarakat dari pola sederhana menuju yang rumit dan kompleks, dari

homogen (homogeneity) ke heterogen (heterogeneity)’ (Etzioni, 1973; Rossides, 1978);

(3) Karl Marx (1818-1883), tentang ‘evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis

tanpa kelas dengan padangan historis materialism’; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986);

(4) Max Weber (1864-1920), tentang the role of ideas in history. Bagi Weber setiap

32

Page 33: MATERI SSBI 2012

individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat macam

yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, effective rationality, dan purposive

rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri sendiri, tetapi juga

simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat, dan tindakan yang

paling utama adalah tindakan rationality instrumental (Wrong, 1970; Johnson,D.P.,

1981; Laeyendecker, 1991); dan (5) Pitirim A Sorokin (1889-1968), bahwa: Perubahan

sosial bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis

(historical approach) dalam studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode

logika penuh arti yang terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of

culture) akan menghasilkan tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem

ideasional; sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan

siklus yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur ‘agak’

homogen (Green, 1972; Rossides, 1978; Campbell, 1981).

Masih banyak teoritukus yang berpandangan evolusi, diantaranya: Oswald

Spengler; Ferdinan Toennies; Vilfredo Pareto; Emile Durkheim, dan Alex Inkeles.

Diantara tokoh teoritikus terkemuka yang berpandangan evolusi tersebut adalah A.

Comte, dengan teorinya tentang ‘tiga hukum perkembangan’. Banyak ilmuwan

(sosiolog) terkenal dunia terpengaruh oleh pandangan Comte, misalnya: E. Durkheim,

Talcott Parsons, dan Emitai Etzioni dsb (Wibisono, 1983). Diantara karya monumental

Comte adalah: Systeme de Philosophie Positive atau Sistem Filsafat Positif (1824);

Cours de Philosophie Positive atau Pelajaran Filsafat Positif 6 Jilid (1830-1842); dan

Systeme de Politique Positive atau Sistem Politik Positif (1851-1854).

Menurut Comte, bahwa sejarah kehidupan umat manusia, juga jiwa manusia,

baik secara individu atau kelompok (masyarakat), akan berubah dan berkembang

menurut hukum tiga tahap (Law of the three stage), yaitu: (a) Tahap Teologi atau Fiktif;

(b) Tahap Metafisik atau Abstrak; dan (c) Tahap Positif atau Riel (Rossides, 1978;

Inkeles, 1964; Macianis J.J, 1987). Adapun karaketrisitik ketiga tahap tersebut antara

lain tersebut di bawah ini.

Tahap Teologi atau Fiktif. Diantara ciri tahap ini adalah: (1) Merupakan tahap

awal perkembangan jiwa atau masyarakat, tahap ini manusia selalu berusaha untuk

mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang

ada; (2) Tahap teologi munculnya didahului oleh suatu perkembangan secara

bertahap, yaitu tahap: Fetisyisme; Politeisme, dan Monoteisme; (3) Pada tahap

Fetisyisme, manusia menganggap segala sesuatu (benda) yang ada disekeliling

manusia mempunyai pengaruh (kekekuatan mana) bagi kehidupan manusia. Dari sini

kemudian berkembang ke tahap Politeisme, yaitu manusia menyakini banyak dewa-

dewa (mahluk tidak kelihatan) yang menentukan hidup manusia, oleh karena itu

33

Page 34: MATERI SSBI 2012

manusia harus memujanya. Tahap terakhir adalah Monoteisme, yaitu manusia tidak

lagi percaya pada banyak dewa atau Tuhan, melainkan berubah pada satu kekuatan

mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa; (4) Comte menilai, tahap Fetisyisme

dan Politeisme terjadi pada masyarakat primitif, sedangkan tahap Monoteisme terjadi

pada tahap masyarakat klasik atau kuno; dan (5) Pada tahap Teologi ini, jiwa atau

masyarakat, seluruh pola perilakunya selalu dikaitkan dengan kekuasaan supra natural

(adikodrati) dan manusia tidak berdaya dalam proses hidup di masyarakat

(Laeyendecker, 1991; Wibisono, 1983).

Tahap Metafisik atau Abstrak. Diantara ciri tahap ini adalah: (1) Manusia sudah

mulai merobah cara-cara berpikirnya, mulai mencari dan menemukan jawaban atas

pertanyaan yang berkaitan dengan gejala alam; (2) Kemampuan akal budi

dikembangkan. Manusia tidak lagi mutlak tergantung pada kekuatan adikodrati,

melainkan beralih pada kekuatan abstraksinya; (3) Pada tahap ini istilah Ontologi

mulai dipergunakan. Tahap ini merupakan tahap peralihan, sehinga jiwa manusia

sering konflik (satu sisi kekuatan teologis masih nampak, sisi lain kekuatan abstraksi

semakin dominan), akhir konflik adalah kekuatan akal budi (abstraksi) sebagai

pemenang dalam menjelaskan hakikat sesuatu, tidak lagi kekuatan teologi; (4) Dalam

rentang sejarah kehidupan, tahap metafisik ini adalah tahap ketika umat manusia

datang pada jaman pertengahan dan Renaissance; (5) Pada tahap ini bukan lagi

kekuatan magik yang menentukan hidup, melainkan analisis fikir untuk menentukan

hakikat sehingga “ditemukan” adanya tingkatan (urutan) dari yang “ada”, yaitu

dibedakan “ada” natural dan “ada” supra natural (Wibisono, 1983); dan (6) Perbedaan

tahap Metafisik dengan teologis adalah, pada periode Metafisik mengenal dua periode,

yaitu: Periode Kritis (dimana pemikiran teologis diserang dan digugat); dan Periode

Konstruktif (dimana tahap positif sudah dipersiapkan). Tahap Metafisik ini berlangsung

selama antara tahun 1300 - 1800 (Laeyendecker, 1991; Rossides, 1978).

Tahap Positif atau Riel. Diantara ciri-ciri tahap ini adalah: (1) Tahap riel

merupakan tahap pembebasan yang sebenarnya, jiwa manusia dan masyarakat tidak

lagi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan magik atau adikodrati, yang diperlukan dalam

tahap ini adalah pengetahuan riel, yang dapat diperoleh melalui pengamatan empirik,

percobaan, perbandingan berdasarkan hukum-hukum rasio; (2) Dalam konteks

sejarah, bila tahap teologi adalah berada pada level masyarakat primitif, tahap

metafisik berada pada level masyarakat feodal atau jaman pertengahan, maka tahap

pofitif adalah berada pada level masyarakat modern dan merupakan puncak atau akhir

perkembangan masyarakt (Coser, 1969); (3) Kehidupan tahap positif akan diatur oleh

kaum elite cendekiawan dan industrialis, dengan rasa perikemanusiaan sebagai dasar

untuk mengatur kehidupan. Kaum cendekiawan dan industriawan inilah berpadu

34

Page 35: MATERI SSBI 2012

mengatur masyarakat secara ilmiah; (4) Bila pada tahap teologi komunitas keluarga

adalah dasar kehidupan masyarakat, pada tahap metafisik negara sebagai dasarnya,

maka pada tahap positif yang menjadi dasar adalah semua ummat manusia di bawah

pimpinan para cendekiawan dan industriawan; dan (5) Masyarakat tahap positif

merupakan bentuk puncak evolusi masyarakat, dan merupakan wujud masyarakat

terbaik, karena peran para cerdik pandai dan industriawan yang memerintah atas

dasar cinta kasih dan rasional, ketertiban (social statics) sebagai landasannya dan

kemajuan sosial (social dynamics) sebagai tujuannya (Rossides, 1978; Laeyendecker,

1991; Wibisono, 1983; Timasheff Nicholas, 1967).

Dalam kaitannya dengan studi tentang perubahan sosial, maka makna hukum

tiga tahap Comte adalah: (1) Bahwa perkembangan jiwa manusia dan kehidupan

masyarakat berlangsung secara evolusi linear, dari sederhana menuju ke arah

kemajuan, dan kemajuan itu digambarkan sebagai masyarakat positif atau industrial

(peran para cendekiawan dan industriawan); (2) Menurut Copleston (1974), Comte

mengakui adanya tumpang tindih (overlap) antara tahap satu dengan yang lain, artinya

tahap metafisik tidak bisa bebas sama sekali dari tahap teologi, demikian juga tahap

positif tidak bisa bebas sama sekali dari tahap teologi dan metafisik; dan (3) Tahap

positif, merupakan tahap akhir dan ideal atau terbaik, karena: Kehidupan didasarkan

cinta kasih sebagai pedoman; Ketertiban sebagai landasan; Kemajuan sebagai tujuan;

dan Peran elite cendekia dan industriawan dalam kekuasan. Tetapi Comte tidak

pernah menggambarkan bagaimana kehidupan setelah tahap positif. Oleh karena itu

teori Comte tentang perubahan atau perkembangan evolusi ini bersifat “Evolusi Linear

dan tertutup”, tak ubahnya dialektikanya Hegel dan Karl Marx. Jadi, Comte dan Marx

termasuk teoritisi Evolusi unilinear (Wibisono, 1983; Inkeles, 1964). Pengaruh hukum

tiga tahap Auguste Comte, tentang evolusi perkembangan jiwa manusia dan

masyarakat ini sangat besar dalam mewarnai beragam pandangan teoritisi sosial

tentang evolusi masyarakat.

Meskipun para ahli teori evolusi tersebut mempunyai beragam sudut pandang

tentang perubahan sosial, namun menurut Sztompka (1993) pada umumnya para

teoritikus evolusionis mempunyai asumsi yang sama. Ada sepuluh asumsi umum yang

menjadi inti teori evolusi yang dikemukakan para teoritikus evolusionis, yaitu: (1)

semua tokoh teori evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia

mempunyai bentuk, pola, logika, makna unik yang melandasi banyak kejadian yang

tampaknya serampangan dan tidak berkaitan; (2) obyek yang mengalami perubahan

adalah keseluruhan masyarakat manusia dan kemanusiaan; (3) keseluruhan

kehidupan masyarakat dipahami dengan istilah organik, dengan menerapkan analogi

organik, sebagai sebuah sistem yang terintegrasi secara ketat dari unsur-unsur

35

Page 36: MATERI SSBI 2012

subsistem, keseluruhannya tunggal dan umum, menyumbang terhadap pemeliharaan

dan kelangsungan hidupnya; (4) perhatian dipusatkan pada perubahan kesatuan

organik itu, pada sistem sosial; (5) perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu

yang alamiah, terjadi dimana saja dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realitas

sosial; (6) perubahan masyarakat dipandang mengarah bergerak dari bentuk

sederhana ke kompleks; (7) perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinear dan

mengikuti pola tunggal; (8) lintasan evolusi umum ini terbagi dalam fase-fase (periode)

mengikuti rentetan konstan dan tidak satupun fase bisa dilewati; (9) perubahan evolusi

dianggap bertahap, terus menerus, meningkat dan komulatif; dan (10) evolusi

mempunyai mekanisme yang sama yaitu proses kedepan (kemajuan) dan

menghasilkan perbaikan (Sztompka, 1993).

C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem

Pada bab I telah diuraikan tentang konsep ’aktifitas sosial dan kebudayaan

sebagai suatu sistem’. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami

aktifitas kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan

integratif atau memandang bahwa aktifitas sosial-budaya merupakan suatu sistem,

karena antar unsur-unsur sosial dan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan

masyarakat pada hakikatnya adalah saling mempengaruhi’, hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain: (1) dalam realitas hidup sehari-hari, antar unsur-unsur

sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (2) dalam praktik-praktik sosial sehari-hari

masing-masing unsur sosial-budaya saling berhubungan secara timbal balik; (3)

perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya akan mempengaruhi perubahan

pada unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (4) pada hakikatnya pola perilaku

sosial atau budaya sehari-hari untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup selalu

menampilkan keterpaduan antar unsur-unsur sosial dan budaya (Koentjaraningrat,

1981; Soemardjan, S., 1981; Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).

Orientasi filosofis dari teori sistem sebenarnya adalah mengacu pada aliran

positivisme yang dikembangkan oleh bapak sosiologi dunia August Comte. Comte

dikenal sebagai pencetus nama atau istilah sosiologi untuk studi ilmu masyarakat

(Abraham, F.M. 1982; Wibisono, K., 1983). Sosiolog Graham C. Kinloch (2005)

menyimpulkan beberapa asumsi pokok dari pandangan Comte tentang fenomena

kehidupan sosial, antara lain: Pertama, bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum

alam yang tidak terlihat (invisible natural), sejalan dengan proses evolusi dan

perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang berkembang dan dominan

berlaku di masyarakat.

Kedua, bahwa proses evolusi itu terjadi melalui tiga tahap perkembangan,

yaitu: (a) tahapan teologis, yaitu tahapan alam pikiran dan tindakan manusia yang

36

Page 37: MATERI SSBI 2012

selalu mencari akar sebab-sebab terjadinya sesuatu dari aspek supranatural (kekuatan

gaib/ Tuhan); (b) tahapan metafisis, yaitu tahapan alam pikiran abstraksi-abstraksi

yang dipersonifikasikan dan dilihat sebagai penyebab (kausal). Pada tahapan ini, alam

pikiran manusia sudah mulai kitis tentang fenomena hidup, tetapi masih belum bisa

melepas ikatan magis atau teologisnya; dan (c) tahapan positivistik, yaitu tahapan alam

pikiran manusia rasional, atau tahapan positif/ ilmiah, dan sudah lepas dari ikatan

magis. Tahap ini merupakan puncak evolusi kehidupan manusia, karena pada tahap ini

terjadi puncak perkembangan ilmu pengetahuan (Wibisono, K., 1983).

Ketiga, bahwa sistem sosial sebagai suatu kesatuan berkembang melalui tiga

tahap tersebut, dan puncaknya adalah tahap ke tiga (tahap positif). Tugas sosiologi

sebagai suatu ilmu pengetahuan positif adalah mengkaji dan memahami sistem sosial

tersebut secara integral, agar mampu memberi kontribusi terhadap pemecahan

masalah-masalah sosial; Keempat, bahwa sistem sosial terbagi menjadi dua hal, yaitu:

(a) statistik sosial (social static), yaitu menyangkut sifat-sifat manusia dan masyarakat,

serta hukum-hukum (nilai-nilai) yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial;

dan (b) dinamika sosial (social dynamic), yaitu menyangkut hukum-hukum perubahan

sosial (Rossides, 1978; Surbakti, R., 1997a).

Kelima, bahwa yang mendasari sistem itu adalah naluri kemanusiaan yang

terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (a) naluri-naluri pelestarian (instincts of

preservation) dalam hidup; (b) naluri-naluri perbaikan (instincts of improvement) dalam

hidup; dan (c) naluri sosial, misalnya kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta. Jadi,

menurut Comte, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada

seperangkat nilai sosial tertentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri

kemanusiaan. Struktur-struktur sosial sebagai satu kesatuan (sistem) yang

berkembang melalui tiga tahapan utama (teologis, metafisis, dan positivistis).

Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak

dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yang berjasa dalam melahirkan

teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam

mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter

Buckley (Ritzer dan Goodman, 2003). Berikut ini akan dijelaskan sembilan konsep

penting pandangan ‘teori sistem’ yang dikemukakan oleh para ahli (pendukung teori

sistem) dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Pertama, teori sistem asal usulnya adalah dimunculkan atau diilhami dari ilmu-

ilmu pasti (hard sciences) atau ilmu-ilmu alam (natural sciences). Jadi, menurut teori

sistem, setiap peneliti yang ingin memahami fenomena sosial-budaya yang

berkembang di masyarakat, logika berpikirnya atau metode dan pendekatan yang

dipakai adalah sama seperti dalam memahami fenomena ilmu-ilmu alam (ilmu pasti).

37

Page 38: MATERI SSBI 2012

Oleh karena itu teori sistem oleh para teoritisi dikelompokkan pada teori yang

berorientasi pada pandangan atau paham positivisme (Ritzer, ed. 2001). Dalam

pandangan Tacott Parsons, bahwa kehidupan organisme (kehidupan biologis)

merupakan contoh suatu sistem, dan kehidupan sosial juga dapat diibaratkan seperti

suatu kehidupan organisme. Pada tingkat macro (besar), misalnya, masyarakat dunia

(kemanusiaan) dapat dipandang sebagai sebuah sistem (terdiri dari beberapa negara,

ras, dan prinsip/ hukum hak asasi manusia, dan sebagainya), pada tingkat mezo

(menengah), misalnya, negara (state) atau bangsa (nation) dapat dipandang sebagai

sebuah sistem, demikian juga pada tingkat micro (kecil), misalnya: satuan keluarga,

satuan pendidikan, satuan perusahaan, ikatan pertemanan, dan segmen-segmen

tertentu dapat dipandang sebagai sebuah sistem (Johnson, D.P. 1981).

Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau

unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses,

khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem

secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-

budaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dinamika

sosial-budaya yang terjadi di masyarakat akan mengarah pada terwujudnya

keserasian fungsi antar unsur-unsur sosial-budaya dalam kehidupan kelompok (social

and cultural integrations). Unsur-unsur sosial dalam kehidupan kelompok merupakan

subsistem dari sistem dalam kelompok, demikian juga unsur-unsur budaya

merupakan subsistem budaya dalam kehidupan di masyarakat, masing-masing

subsistem tersebut bersifat integratif (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Harper, C.L.

1989; Bachtiar, W. 2006).

Ketiga, teori sistem dalam memandang tentang ‘perubahan sosial’ adalah

setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.

Perubahan adakalanya hanya terjadi sebagian (pada subsistem) dan tidak

menimbulkan akibat besar terhadap unsur-unsur lain dalam sistem. Kehidupan

kelompok (macro, mezo atau micro) sebagai suatu sistem sifatnya sangat kompleks,

tidak hanya berdimensi tunggal, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa

komponen, antara lain: (a) unsur pokok, misalnya: individu, tindakan individu; (b)

hubungan antar unsur, misalnya: nilai-norma, status-peran, solidaritas, interaksi; (c)

berfungsinya unsur dalam sistem, misalnya, pelaksanaan peranan individu

berdasarkan nilai-norma; (d) pemeliharaan batas, misalnya: persyaratan menjadi

anggota kelompok, kriteria menjadi anggota sistem dan sebagainya; (e) subsistem,

misalnya: segmen, divisi khusus, jenis seksi; dan (f) lingkungan, misalnya, keadaan

alam, kondisi geopolitik.

38

Page 39: MATERI SSBI 2012

Menurut teori sistem, ada beberapa kemungkinan terjadinya perubahan sosial

dalam suatu kelompok, antara lain: (a) perubahan komposisi anggota kelompok,

misalnya, bertambah/ berkurangnya anggota; (b) perubahan struktur, misalnya: terjadi

ketimpangan atau konflik, pergantian kekuasaan, hubungan kompetitif; (c) perubahan

fungsi, misalnya, adanya spesialisasi jenis peran-peran dalam kelompok; (d)

perubahan batas, misalnya: penggabungan antar subsistem, longgarnya syarat/

kriteria anggota; (e) perubahan hubungan antar subsistem, misalnya, munculnya

dominasi aspek politik pada aspek ekonomi; dan (f) perubahan lingkungan, misalnya,

bencana alam atau rusaknya lingkungan (ekologi) (Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P.

1993).

Keempat, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem

dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya antara

lain: (a) bersifat langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup;

dan (c) cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a)

hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek

pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada

sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem

sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem

tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling

terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila

dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan

mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan

yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan.

Kelima, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan teori

sistem yang dikembangkan Parsons, antara lain: (1) menurut Buckley, faktor ‘umpan

balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’

atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons, faktor menjaga

atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah

aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (2) Buckley, memandang

peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran

(jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara ‘kesadaran’

dan ‘tindakan’ serta ‘interaksi’ bersifat integratif, sedangkan menurut Parsons

kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang

menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial

seseorang (Abraham, F.M. 1982; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Jadi, bagi

Buckley, faktor internal (subjek) seseorang menentukan struktur dalam sistem,

39

Page 40: MATERI SSBI 2012

sedangkan bagi Parsons, faktor eksternal (struktur dari sistem) menentukan

seseorang (subjek).

Keenam, beberapa prinsip atau konsep dasar ‘teori sistem sosiokultural’

Buckley adalah: (1) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem

adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan

dalam sistem sosial; (2) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam

sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (3) proses sosial didalam

sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan

individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis. Jadi,

faktor kualitas individu atau kualitas internal individu menentukan proses sosial; (4)

level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas.

Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran,

negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan

truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (5) melalui transaksi dan bargaining

yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi

yang relatif stabil (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Sedangkan menurut Parsons,

setiap sistem mempunyai empat ‘fungsi memaksa’, artinya, setiap sistem harus

menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah-masalah: adaptasi,

pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Keempat

fungsi memaksa tersebut diterapkan pada sistem tindakan, baik yang bersifat alamiah,

kultur, kepribadian dan masyarakat (Hamilton, P. ,ed., 1990).

Ketujuh, teoritisi sistem dalam studi sosiologi yang mencoba

mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem

umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (1)

pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference),

sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya

sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (2)

pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency)

adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem sosial, sedangkan

menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang

berbeda. Jadi, faktor eksternal (lingkungan fisik dan struktur sosial) bukan satu-

satunya faktor yang menentukan gerak sistem, tetapi juga faktor internal (jiwa,

motivasi, mentalitas) individu sebagai warga kelompok juga ikut menentukan gerak

sistem (Hamilton, P. ,ed. 1990). Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang

kompleks daripada ‘lingkungan’, namun sistem mengembangkan subsistem-

subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antar subsistem untuk

mengatasi lingkungan secara efektif (Ritzer, ed, 2001).

40

Page 41: MATERI SSBI 2012

Kedelapan, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistem-

sistem autopoietic’, beberapa karakteristik ‘sistem-sistem autopoietic’ Luhmann antara

lain: (a) sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya

sistem ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’

mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri

dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya,

misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan

tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi

menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d)

sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara

sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem

autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya,

(b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d)

tertutup’.

Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan

oleh masyarakat. Individu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat

apabila individu tersebut dapat berkomunikasi secara efektif dalam proses interaksi

sosial di masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara konsep ‘sistem psikis’

dengan ‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan elemen-

elemen dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem sosial’

adalah ‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem sosial’

adalah komunikasi (communication) . Jadi, dalam sistem psikis, makna dikaitkan

dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan

komunikasi. Baik sistem psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara

bersama-sama.

Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam

masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering

disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman

dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu:

lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal

(pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem

menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam

membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b)

differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status

secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam

sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery);

dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang

41

Page 42: MATERI SSBI 2012

banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada

differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan

pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya (Ritzer dan

Goodman (2003).

Kesembilan, teoritikus Ritzer dan Goodman (2003) memberikan beberapa

kritik terhadap teori sistem Luhmann, antara lain: (1) Luhmann, melihat bahwa

keharusan perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti

(unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas sosial di

masyarakat yang terus berkembang (dinamik) dan terbuka (tidak tertutup seperti

pandangan Luhmann); (2) Luhmann, melihat bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk

mendiskripsikan perkembangan (evolusi) masyarakat dan meningkatnya kompleksitas

sistem sosial dalam menghadapi lingkungannya. Dalam realitas sosial di masyarakat

tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi kunci penyebab terjadinya perubahan

evolusi di masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain yang ikut menentukan yaitu:

de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub sistem

sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat hubungan

sistem); (3) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam sistem

adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan differensiasi.

Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk mendeskripsikan

relasi antar subsistem dalam sistem sosial. Tidak semua sistem tampak tertutup dan

otonom seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada

kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak

sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat.

Beberapa konsep pandangan teori sistem tentang fenomena sosial, yang telah

diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: (1) masyarakat

adalah suatu sistem, memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan bersifat

organik; (2) sistem sosial itu berkembang sesuai dengan beragam kebutuhan yang

mendasarinya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kebutuhan ekonomi; (3) struktur

sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berdasarkan sistem pembagian

kerja yang mengikutinya; (4) memandang bahwa masyarakat diatur oleh hukum-

hukum alam, dan unsur-unsur dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh

serta berkembang terus melalui tahapan-tahapan untuk menuju masyarakat yang

lebih positif dan industri; dan (5) bentuk perubahan sosial-budaya yang terjadi di

masyarakat adalah berlangsung secara evolusi.

D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural dan Neo-

Fungsional Struktural

42

Page 43: MATERI SSBI 2012

Perspektif teori fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial

budaya telah dikaji oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Diantara para pendekar

teori fungsional struktural dari disiplin antropologi antara lain: R. Brown, Malinowski, E.

Durkheim, dan C. Kluckohn. Sedangkan para pendekar teori fungsional struktural dari

disiplin sosiologi antara lain: Pitirim Sorokin, Talcott Parsons, Roebert K. Merton, dan

Jeffrey C. Alexander (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W. 2006). Kajian berikut ini akan

lebih menekankan pada pandangan para teoritisi sosiologi tentang teori fungsional

struktural, sedangkan pandangan para antropolog tentang teori fungsional struktural

tidak dibahas, hal ini bukan berarti pandangan para sosiolog berada pada posisi lebih

penting atau lebih baik dari pandangan para antropolog.

Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu

bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski

hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang Dunia

II, pada era akhir abad 20 teori teori fungsional struktural mulai dikritik para ilmuwan

sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural masih perlu

dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini akhirnya

muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004).

Kajian berikut tentang teori fungsional struktural, lebih difokuskan pada lima

permasalahan, antara lain: (1) Bagaimana pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin

dan George Homans dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana

pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena

sosial-budaya?; (3) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton

dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4) Bagaimana pandangan

Neofungsionalisme Jeffey C. Alexander dalam memahami fenomena sosial-budaya?;

1. Pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam

memahami fenomena sosial-budaya

Menurut para ahli, makna fungsional dalam kontek kehidupan sosial-budaya,

adalah ‘unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya dalam suatu kehidupan kolektif

saling berkontribusi, atau saling memberi pengaruh positif antar unsur untuk

mewujudkan kehidupan kolektif yang integratif’. Oleh karena itu apabila unsur-unsur

sosial atau unsur-unsur budaya tersebut dalam proses-proses sosial kolektif tidak

saling memberikan pengaruh positif disebut ‘disfungsional’. Dalam pandangan para

ahli teori fungsional, setiap kehidupan sosial dan kebudayaan mempunyai unsur-

unsur, dan masing-masing unsur tersebut cenderung untuk saling kait-mengkait

untuk menuju kearah keserasian fungsi dalam sebuah sistem, apabila keserasian

fungsi antar unsur dalam suatu sistem tidak terjalin dengan baik, kehidupan

43

Page 44: MATERI SSBI 2012

kelompok tersebut mengalami konflik dan akan menyebabkan terjadinya disintegrasi

sosial-budaya (Abraham, M.F, 1982; Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).

Teori fungsionalis mempunyai pola atau kerangka berpikir yang sama dalam

memahami fenomena sosial-budaya dengan teori organisme, bahkan ada sebagian

ahli mengatakan, bahwa asumsi-asumsi teori fungsionalis tentang kehidupan sosial-

budaya di masyarakat adalah bersumber pada pandangan teori organisme

Toynbee, Sorokin dan Spengler, juga bersumber pada teori psikologi Gestalt

(Bachtiar, W., 2006). Para ilmuwan sosial yang mendukung asumsi-asumsi teori

fungsionalis antara lain: A. Toynbee; Pitirim Sorokin; Spengler; Benedict; Florian

Znanieeki; R. Brown; Malinowski. George Homans. Pada pembahasan berikut ini,

hanya menguraikan beberapa pokok pikiran teori fungsionalis dari Pitirim Sorokin

dan George Homans, tujuan dipilihnya dua teoritikus tersebut adalah karena

pandangan kedua teoritikus tersebut cukup besar dalam perkembangan teori yang

berparadigma fungsional, dan diharapkan para pembaca secara mandiri lebih

terdorong untuk lebih memperdalam pandangan-pandangan teoritikus A. Toynbee;

Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; dan Malinowski.

Pandangan Pitirim Sorokin tentang fenomena sosial

Pandangan Sorokin tentang ‘hakikat realitas sosial’ (pokok-pokok persoalan

sosiologi) mempunyai kesamaan dengan pandangan Comte. Diantara sisi

kesamaan pandangan Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) keduanya

memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis budaya; dan (b) keduanya

menekankan betapa pentingnya peran ilmu pengetahuan (rasionalis) dalam

memahami dunia dan segala bentuk pola organisasi sosial serta perilaku manusia.

Sedangkan perbedaan pandangan antara Comte dengan Sorokin, antara lain: (a)

Comte mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat linear yang

mengarah pada terbentuknya masyarakat positif, sedangkan Sorokin mengusulkan

proses perubahan sosial-budaya bersifat siklus (tahap sejarah cenderung berulang);

dan (b) Comte, dalam menilai kebenaran suatu fenomena hidup lebih menekankan

pada aspek rasional (kebenaran inderawi), sedangkan Sorokin, menilai bahwa

dalam menentukan kebenaran suatu fenomena tidak cukup hanya dari sudut

kebenaran inderawi, tetapi juga dari sudut akal budi, dan intuisi atau kepercayaan

(Johnson, D.P, 1986).

Beberapa pokok pikiran Sosiolog Pitirim Sorokin (lahir di Rusia, 1889) tentang

fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, tentang integrasi sosial-budaya.

Menurut Sorokin, bahwa kunci dalam memahami realitas sosial-budaya di

masyarakat adalah harus memahami arti nilai, norma dan simbol yang berkembang

di masyarakat. Dalam budaya terdapat unsur-unsur yang saling terkait, atau saling

44

Page 45: MATERI SSBI 2012

memberi kontribusi fungsional, atau saling bergantung (terintegrasi). Terwujudnya

tingkat integrasi yang tinggi pada sistem sosial-budaya dalam kehidupan

masyarakat adalah apabila terdapat seperangkat ‘norma hukum’ yang dijadikan

sebagai pedoman berperilaku (pola perilaku) di masyarakat, atau dengan kata lain,

bahwa tingkat budaya integrasi yang penuh arti logis (logico meaningfull)

merupakan dasar terbentuknya integrasi sosial-budaya yang paling tinggi di

masyarakat (Rossides, 1978).

Kedua, tentang perubahan sosial-budaya, bahwa pola perubahan sosial-

budaya bersifat siklus (berulang), tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola

yang berubah (tidak tetap), atau sering disebut ‘berulang-berubah’ (varyingly

recurrent). Sedangkan aspek budaya yang terulang adalah tema-tema budaya

dasar. Dalam memahami tentang pola perubahan sosial-budaya, perlu

menggunakan pendekatan ‘integralis’. Kebenaran realitas empirik atau data empirik

tidak hanya ditentukan oleh satu kebenaran inderawi (seperti pandangan

positivisme Comte), tetapi kebenaran itu harus bisa terbuktikan secara integralis

dari tiga aspek, yaitu kebenaran inderawi, kebenaran akal budi dan kebenaran

kepercayaan atau intuisi. Bagi Sorokin, suatu epistemologi yang komprehensif

harus mengakui bahwa kenyataan (realitas) sosial-budaya adalah bersifat

‘multidimensional’ dan dapat ditangkap sebagiannya oleh inderawi, sebagiannya

oleh akal budi dan sebagaiannya oleh kepercayaan atau intuisi.

Ketiga, tentang tipe-tipe mentalitas budaya. Sorokin menyebutkan ada tiga

tipe mentalitas budaya (disebut ketiga supersistem sosio-budaya), dan beberapa

tipe kecil yang merupakan bagian dari tiga tipe mentalitas budaya tersebut, yaitu: (1)

tipe kebudayaan ideasional. Tipe ini mempunyai asumsi bahwa realitas (kenyataan

akhir) bersifat nonmateri, transenden, tidak bisa ditangkap oleh indera. Dunia ini

tergantung pada Tuhan (transenden). Tipe kebudayaan ideasional, dibagi menjadi

dua, yaitu: (a) kebudayan ideasional asketik, yaitu mentalitas yang menunjukkan

ikatan yang kuat pada prinsip ‘manusia harus mengurangi kebutuhan material agar

bisa lebih dekat pada dunia transenden’; dan (b) kebudayaan ideasional aktif, yaitu

mengurangi kebutuhan inderawi, tetapi berusaha mengubah dunia material supaya

selaras dengan dunia transenden; (2) kebudayaan inderawi (sensate culture), yaitu

dunia materi merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Kebudayaan ini dibagi

dua, yaitu: (a) kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong manusia

untuk aktif/ sebanyak mungkin meraih pemenuhan kebutuhan materi/ kepuasan

materi. Mental ini mendorong pertumbuhan iptek; (b) kebudyaan inderawi pasif.

Kebudayaan ini menghasilkan hasrat yang berlebihan (memuja nafsu) atau budaya

hedonisme; dan (c) kebudayaan inderawi sinis, yaitu memunculkan budaya munafik

45

Page 46: MATERI SSBI 2012

(hipokrit); dan (3) kebudayaan campuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: (a)

kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan yang merupakan campuran dari mentalitas

ideasional (transenden) dan inderawi (material) secara seimbang. Antara

transenden dan material saling mengisi/ berhubungan/ terintegrasi; (b) kebudayaan

ideasional tiruan (pseudo ideational culture), artinya antara transenden dan material

tidak terintegrasi tetapi saling berdampingan (Rossides, 1978; Johnson, D.P, 1986).

Keempat, tentang unsur budaya. Setiap kebudayaan hakikatnya mempunyai

dasar-dasar budaya (unsur-unsur budaya), antara lain: (a) bahasa; (b) filsafat; (c)

kepercayaan/ agama; (d) etika; (e) hukum; (f) politik; (g) ekonomi; (h) seni; (i)

teknologi. Masing-masing dasar-dasar budaya tersebut saling kait mengkait dalam

suatu kesatuan, yang disebut ‘supersistem budaya’. Menurut Sorokin, setiap

kehidupan kelompok tidak akan bisa lepas dari nilai-budaya yang berkembang

dalam kelompok, nilai-budaya tersebut berfungsi sebagai ikatan para anggota

kelompok dalam mewujudkan integrasi kelompok (Rossides, 1978).

Kelima, tentang bentuk mobilitas sosial (social mobility). Dalam kehidupan

masyarakat selalu terjadi mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam

struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok

sosial. Ada dua bentuk mobilitas sosial, yaitu: (1) mobilitas vertikal, yaitu

perpindahan status sosial yang dialami seseorang atau kelompok orang pada

lapisan sosial yang berbeda. Mobilitas sosial ertikal, dibedakan menjadi dua, yaitu:

(a) social climbing (perpindahan status naik), bisa berbentuk lapisan sosial

seseorang atau kelompok naik lebih tinggi. Sedangkan penyebabnya, adalah:

terjadinya peningkatan kualitas ketrampilan, keahlian atau prestasi karyanya, dan

adanya kekosongan kedudukan (alih generasi dalam jabatan); (b) social sinking

(perpindahan status turun), bisa berbentuk status sosial seseorang turun, dan tidak

dihargainya lagi kedudukan tertentu sebagai lapisan elit (misalnya jabatan direktur

perusahaan yang bangkrut). Sedangkan penyebab social sinking adalah seseorang

melakukan tindak pidana, dan sesorang memasuki masa purna tugas; (2) mobilitas

horisontal, yaitu perpindahan status sosial seseorang atau kelompok orang dalam

lapisan sosial yang sama (Surbakti, R., 1997a).

Meskipun sumbangsih pemikiran Sorokin dalam khasanah teori sosiologi

cukup besar, ada beberapa titik kelemahan pandangan Sorokin, antara lain: (a)

Sorokin terlalu menggeneralisasikan dan menyederhanakan fenomena sosial-

budaya di setiap masyarakat, padahal fenomena sosial-budaya sangat kompleks

dan unik, atau fenomena sosial-budaya banyak dipengaruhi oleh kondisi time and

space); dan (b) analisis Sorokin mengenai kebudayaan lebih bersifat umum

(makro), sehingga hasil analisisnya belum tentu bisa menjangkau atau mewakili

46

Page 47: MATERI SSBI 2012

kreasi budaya secara khusus (mikro) dari keseluruhan yang ada di masyarakat yang

sifatnya sangat dinamik.

Pandangan George Homans tentang fenomena sosial

Beberapa pokok pikiran Sosiolog George Homans, tentang fenomena sosial

budaya antara lain: Pertama, setiap kehidupan kelompok merupakan suatu sistem,

dalam suatu sistem terdapat elemen-elemen yang saling kait-mengkait (fungsional).

Elemen-elemen dalam suatu sistem (fungsional) dapat dianalisis dari aspek: (a)

aktivitas anggota dalam kelompok; (b) interaksi antar anggota didalam kelompok,

dan antar kelompok; (c) sentimen atau solidaritas terhadap kelompok; dan (d)

norma yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan kelompok

yang sistemik. Semua elemen dalam sistem yang ada dalam kelompok membentuk

piramida interaksi antar elemen (fungsional). Jadi, setiap elemen dalam sistem

bersifat fungsional dalam proses perubahan-perubahan sosial-budaya.

Kedua, dalam sebuah sistem terdapat sistem internal dan sistem eksternal.

Sistem internal memiliki lingkup tingkah laku individu dalam kelompok, sedangkan

sistem eksternal adalah tingkah laku yang mewakili kelompok berkaitan dengan

lingkungan, atau reaksi kelompok terhadap kondisi lingkungan. Hubungan antara

berbagai elemen yang ada dalam kelompok merupakan sistem sosial yang

mempengaruhi sistem internal. Menurut Homans, bahwa: (a) ketergantungan dalam

hubungan timbal balik akan mempengaruhi perasaan seseorang. Jika, interaksi

sosial antar dua pihak sering dilakukan akan memunculkan perasaan suka (positif)

pada masing-masing pihak, demikian juga sebaliknya; (b) ketergantungan timbal

balik antara perasaan dan aktivitas. Seseorang akan merasakan perasaan orang

lain melalui hubungan timbal balik, karena masing-masing pihak saling merasakan

manfaatnya. Hal ini akan mempengaruhi semua aktivitas dalam sistem eksternal;

dan (c) penyandaran sebagai hasil hubungan, seringnya berinteraksi dengan pihak

lain merupakan wujud dari aktivitas dan perasaan individu. Jadi, setiap sistem

memiliki bagian-bagian sistem (subsistem) baik bersifat internal maupun eksternal.

Ketiga, norma sosial merupakan bagian dari budaya terpenting (dasar) dalam

sebuah kelompok sebagai suatu sistem. Setiap elemen/ anggota/ subsistem dalam

proses aktivitas dan interaksinya berdasarkan norma sosial. Sistem internal dan

sistem eksternal dalam proses aktivitas kelompok saling berkaitan, Homans

mengistilahkan ‘pengaruh arus balik’. Jadi, semua aktivitas dalam sistem tersebut

berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kelompok.

Keempat, Homans berpendapat, ada elemen dasar dalam aktivitas kelompok

sebagai sistem yang terintegrasi (fungsional), antara lain: (1) ketergantungan timbal

balik dan sentimen, artinya seringnya hubungan timbal balik sesama anggota dalam

47

Page 48: MATERI SSBI 2012

kelompok, akan memperkuat perasaan pertemanan satu sama lain (kuatnya

hubungan antar elemen); (2) perasaan dan aktivitas, artinya perasaan pertemanan

yang kuat dalam kelompok sebagai suatu sistem akan diekspresikan melalui

beragam aktivitas kerja dalam sistem; dan (3) aktivitas dan interaksi, artinya

seseorang yang sering berinteraksi dengan orang lain melalui beragam aktivitas,

tidak terbatas hanya pada orang yang sering berinteraksi, tetapi juga pada orang

lain yang kurang berinteraksi (Bachtiar, W. 2006).

Kelima, bagi Homans, manusia dalam melakukan beragam tindakan di

masyarakat didasarkan kepada rasionalitas. Setiap tindakan diperhitungkan nilai

fungsinya, atau imbalannya atau pertukaran yang dia peroleh dari tindakan. Oleh

karena itu G. Homans termasuk salah satu pendukung teori pertukaran. Proses

pertukaran dalam kehidupan sosial (masyarakat) melibatkan aspek ‘kegiatan’,

‘interaksi’ dan ‘sentimen’ secara integral. Disintegrasi kelompok akan terjadi apabila

proses pertukaran dalam kehidupan kelompok tidak terjadi dengan baik. Dalam

proses pertukaran dalam kelompok, terjadi saling interaksi, pengaruh, penyesuaian,

persaingan, pencarian penghargaan, keadilan, kedudukan dan inovasi-inovasi,

untuk memperoleh keuntungan psikis dalam pertukaran imbalan dan hukuman yang

terjadi dalam kehidupan kelompok. Menurut Homans, bahwa semua struktur sosial

terbentuk dari proses pertukaran yang sama. Agar terjadi hubungan yang kuat

antara proses pertukaran dasar dengan pola organisasi sosial yang bersifat

kompleks, maka menurut Homans diperlukan proses ‘institusionalisasi’

(melembagakan atau menjadikan nilai-norma sebagai pola dalam organiasasi

secara ajek) (Turner, J.H., 1982).

Meskipun analisis atau pandangan G. Homans tentang beragam fenomena

sosial telah banyak pengaruhnya terhadap khasanah wacana teori-teori sosial,

sosiolog dan teoritikus Tunner, J.H. (1992) memberikan beberapa analisis kritik

terhadap beberapa sisi kelemahan sudut pandang Homans, antara lain: (a)

pandangan Homans terlalu menekankan aspek positivistis dalam mencermati

keterlibatan individu dalam proses-proses sosial, hal ini tentu tidak bisa dijadikan

sebagai pedoman dalam memahami fenomena sosial yang sangat dinamik dan

kompleks; (b) konsep atau prinsip tentang ‘pertukaran’ sebagai unsur dasar dalam

mewarnai setiap kegiatan kelompok atau organisasi kelompok memiliki banyak

kelemahan, karena dalam realitasnya unsur pertukaran bukan satu-satunya unsur

terpenting dalam ‘proses institusionalisasi’; dan (c) gagasan atau pandangan

Homans tentang ‘konsep pertukaran’, memunculkan permasalahan metodologis

dalam studi fenomena sosial di masyarakat.

48

Page 49: MATERI SSBI 2012

Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman, bahwa paradigma organik

(organisme) dan paradigma fungsionalis (fungsionalisme) mempunyai konsep

pemahaman yang relatif sama dalam memandang tentang masyarakat, yaitu

‘bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan, atau masyarakat memiliki unsur-unsur

atau elemen-elemen yang saling berhubungan’. Beberapa asumsi pokok

pandangan paradigma organik dan fungsional tentang kehidupan sosial di

masyarakat antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem yang saling

berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial ini berkembang sejalan dengan

kebutuhan-kebutuhan yang mendasarinya; (3) masyarakat mengalami

perkembangan dari tradisional (non industrial) menuju masyarakat industri dan

modern (bersifat evolusi); (4) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat

yang berlandaskan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; dan (5) secara

umum sistem sosial dibagi menjadi dua aspek, yaitu struktur sosial (masyarakat

statis) dan perubahan sosial (masyarakat dinamik) (Kinloch, G. 205).

2. Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami

fenomena sosial-budaya

Sebenarnya ilmuwan sosial yang terlibat dalam pengembangan teori

fungsional struktural adalah cukup banyak, baik yang berlatar belakang kajian

antropologi maupun sosiologi, misalnya: Levi Strauss; Emille Durkheim; R. Brown;

Talcott Parsons; Robert K Merton; Walter Buckley; Amitai Etzioni, dan sebagainya.

Dalam kajian berikut ini lebih menekankan pada pandangan-pandangan teori

fungsional struktural versi Talcott Parsons dan versi Robert K Merton. Pemilihan

dua pandangan teoritikus sosiologi tersebut bukan berarti penulis menempatkan

Parsons dan Merton dalam posisi teoritikus fungsional struktural yang paling baik

dan sempurna. Uraian singkat tentang teori fungsional struktural dari versi Parsons

dan Merton tersebut diharapkan bisa memotivasi para pembaca untuk lebih jauh

memahami perspektif fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial-

budaya di masyarakat.

Parsons lahir di Colorado, USA tahun 1902. Selama hidupnya dia membuat

sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan karya

yang terakhirnya. Menurut Herry Priyono (2002), ada tiga tahap refleksi teoritik

Parsons, antara lain: (1) Tahap pertama, ketika dia menyusun teori Tindakan

Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua, ketika dia meninggalkan teori tindakan

voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia

menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966).

Menurut Theodorson, dalam Raho, B. (2007), pengertian fungsionalisme

struktural adalah ‘salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang

49

Page 50: MATERI SSBI 2012

memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang

saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi

tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain’. Apabila terjadi perubahan pada

unsur sosial-budaya pada salah satu bagian akan menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan pada sistem, dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya

perubahan pada bagian yang lain. Kemudian asumsi dasar teori fungsional

struktural adalah ‘bahwa semua elemen atau unsur kehidupan sosial-budaya dalam

masyarakat harus berfungsi (fungsional) sehingga masyarakat secara keseluruhan

bisa menjalankan fungsi dengan baik’. Kajian berikut ini, tentang teori fngsional

struktural Parsons lebih banyak menitikbertakan pada konsep ‘Skema AGIL’ dan

konsep ‘Fungsional Struktural’.

Skema AGIL dalam fungsional struktural Parsons

Konsep, skema Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latensi (AGIL).

Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis

semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu:

adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan

kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem sosial dalam kelompok itu

harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu:

a. Adaptation (menyesuaikan diri dengan lingkungan). Sebuah sistem (dalam suatu

kelompok) harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus

menyesuaikan diri kondisi lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya.

Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang

melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan

eksternal) dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’,

adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam

menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan

alokasi.

b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok)

harus mendefinisikan tujuan dan upaya mencapai tujuan utamanya. Kemudian

aspek ‘Sistem kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan yang

telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk

mencapai tujuan utamanya. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem

pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan

dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya

manusia) untuk mencapai tujuan utama yang telah dirumuskan.

c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mengatur

hubungan antar bagian dalam sistem. Sistem juga harus mengelola hubungan

50

Page 51: MATERI SSBI 2012

ketiga fungsi lainnya (adaptation; goal attainment; latency). Kemudian aspk

‘Sistem sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan

bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas

kemasyarakatan’ (contoh, hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan),

adalah akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau mengkoordinasi

beragam komponen masyarakat menuju terwujudnya integrasi sosial-budaya.

d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus

memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, serta mendorong (memotivasi)

individu atau pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai-

norma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian aspek ‘Sistem kultural’,

adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor

seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai dengan

nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga,

sekolah, dan lembaga keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola

(nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hisup dalam kelompok) dengan

menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk ‘disosialisasikan,

diinternalisasikan dan dienkulturasikan’ pada dirinya.

Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di

masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme struktural versi Parsons,

seharusnya menggunakan skema AGIL sebagaimana yang tergambarkan pada

gambar 2.1 pada halaman berikut, yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan

satu dengan yang lain secara fungsional.

Sedangkan hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kehidupan

kelompok, dapat digambarkan seperti dalam skema berikut:

51

Page 52: MATERI SSBI 2012

Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL (Johnson D, 1986; Ritzer dan Goodman, 2004)

Konsep fungsional struktural Parsons

Untuk memahami skema AGIL tersebut, perlu dipahami beberapa pemikiran

kunci dari Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’ secara integral. Sedangkan

beberapa konsep kunci tentang teori fungsionalisme struktural Parsons antara lain:

a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem

tindakan individu dalam kelompok. Kultur mengatur interaksi antar aktor

(individu), menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.

b. Kultur, dipandang sebagai: (1) sistem simbol yang terpola (ajek/ sebagai etos),

teratur yang menjadi sasaran orientasi para aktor; dan (2) aspek-aspek

kepribadian yang sudah terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan

di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan

pola tindakan individu dalam kelompok agar sesuai dengan nilai-norma sosial-

budaya. Individu tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu

sudah ditentukan oleh kultur (budaya) (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W., 2008).

c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran

(difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui

proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan

proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004). Proses

internalisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk

membentuk pribadi (akhlak) yang baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses

sosialisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk

berinteraksi sosial, berkomunikasi atau bergaul dalam kelompok dengan baik

sesuai kultur yang berlaku’. Proses enkulturasi adalah ‘proses melatih diri sejak

ADAPTATION

- Organisme Perilaku- Sistem Ekonomi

GOAL ATTAINMENT

- Sistem Kepribadian- Sistem Pemerintahan

(sistem politik)

INTEGRATION- Sistem Sosial- Komunitas

Kemasyarakatan (hukum, norma)

LATENCY- Sistem Kultural- Sistem Fiduciari’

(lembaga keluarga, sekolah, agama)

52

Page 53: MATERI SSBI 2012

dini sampai meninggal untuk tanggap pada sistem kontrol, disiplin pada aturan

dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Pada hakikatnya setiap manusia

sepanjang hidupnya selalu dalam proses pembelajaran budaya (internalisasi,

sosialisasi dan enkulturasi), dan proses pembelajaran budaya tersebut

ditentukan oleh kultur yang berlaku, bukan ditentukan oleh jiwa dan pikiran

individu. Jadi, kultur (eksternal) menentukan pikiran dan jiwa (internal)

seseorang.

d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi

(hubungan timbal balik) dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik).

Aktor (individu) mempunyai motivasi untuk ‘mengoptimalkan kepuasan’, yang

berhubungan dengan situasi lingkungan mereka, yang didifinisikan dan dimediasi

dalam term sistem simbol yang terstruktur secara kultural.

e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c)

lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat

sistem sosial sebagai interaksi (hubungan timbal balik), tetapi dia tidak

menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem

sosial. Dia menggunakan ‘status-peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial.

Status adalah menyangkut posisi struktural individu dalam sistem sosial

(kelompok), sedangkan peran (role) adalah apa yang harus dilakukan individu

dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan dilihat dari sudut

pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari individu (seperti dalam teori

berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi ‘aktor’

dilihat sebagai ‘kumpulan dari beberapa status dan peran yang terpola oleh

struktur dalam sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi oleh aktor

eksternal, atau individu ditentukan oleh struktur sosial-budaya (Rossides, 1978.

f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1)

sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi

dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2)

untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan

yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi

kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus

mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem

sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6)

apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh

karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem

sosial memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini

menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.

53

Page 54: MATERI SSBI 2012

g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) sistem

kultural; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) organisme perilaku,

yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.

h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1)

sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung;

(2) sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan; (3) sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan

yang teratur; (4) sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk

bagian-bagian lain; (5) sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya;

(6) alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan

untuk memelihara keseimbangan sistem; dan (7) sistem cenderung menuju ke

arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan

pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,

mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan

kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004).

Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur keteraturan

masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.

i. Aktor (individu) dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1)

antara aktor dan struktur sosial mempunyai hubungan sangat erat; (2)

persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah

proses internalisasi dan sosialisasi; (3) dalam proses sosialisasi, nilai dan norma

diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor),

sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4)

aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi

dikonseptualisasikan sebagai proses konservatif (sebagian besar kebutuhan

dibentuk oleh masyarakat). Norma dan nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung

tidak berubah, dan cenderung berlaku sampai tua; (5) perhatian Parsons lebih

tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor (individu) di

dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural Parsons, adalah, bagaimana cara

sistem mengontrol atau mengendalikan aktor (individu), bukan mempelajari

bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem (Abraham, 1982;

Craib, 1984; Hamilton, 1990).

j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam

agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) dalam

sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan

baik (hemat); (2) sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan

(differensial), bahkan penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau

54

Page 55: MATERI SSBI 2012

flexible); (3) sistem sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang bagi aktor

untuk berperan, yang memungkinkan terjadinya perwujudan beragam

kepribadian di masyarakat tanpa mengancam integrasi dalam masyarakat

(kelompok).

k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial

khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.

Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat

menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, antara lain: (1) subsistem

ekonomi (dalam Adaptation); (2) subsistem pemerintahan (dalam Goal

attainment); (3) sistem komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan (4)

subsistem fiduciari (dalam Latency), lihat bagan di atas.

l. ‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem kepribadian

(personalitas) adalah: (1) personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan

motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir dengan baik. Komponen

dasarnya adalah ‘disposisi dan kebutuhan’. Disposisi kebutuhan merupakan

‘unit-unit motivasi tindakan individu yang paling penting’; (2) ada tiga tipe dasar

disposisi kebutuhan, yaitu: (a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan

sejenisnya, dari hubungan sosial mereka; (b) meliputi internalisasi nilai yang

menyebabkan aktor mengamati berbagai standar nilai-norma dalam kultural; dan

(c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan

menerima respon yang tepat; dan (3) hubungan sistem kepribadian dengan

sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya sendiri (kepribadian)

sesuai dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat (sistem sosial); dan (b)

peran yang diharapkan untuk dilakukan individu, terkait erat dengan status

(kedudukan) yang dimiliki oleh aktor di masyarakat. Berdasarkan ketiga konsep

tersebut dapat dipahami, bahwa dalam fungsionalisme struktural Parsons,

menempatkan citra aktor dalam aktivitas sosial dalam posisi sangat pasif,

dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh kultur atau gabungan dorongan

hati dan kultur (disposisi-kebutuhan) (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan

Goodman, 2004).

m. Konsep perubahan sosial. Pandangan Parsons tentang proses perubahan sosial

di masyarakat adalah berlangsung secara evolusioner. Menurut Parsons, ada

tiga komponen paradigma proses perubahan sosial secara evolusioner, yaitu: (1)

‘proses diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan

subsistem yang beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) proses diferensiasi

menimbulkan ‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-

masing subsistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri secara

55

Page 56: MATERI SSBI 2012

meningkat dan berkualitas). Masyarakat akan berevolusi dari sistem yang

bersifat ascription (atas dasar kelahiran) ke sistem yang berdasarkan

achievement (atas dasar prestasi/ keahlian); dan (3) ‘sistem nilai dasar’, artinya

semakin maju masyarakat semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh

karena itu diperlukan sistem nilai dasar (umum /pokok /ide dasar) yang lebih

tinggi untuk melegitimasi atau sebagai pandangan hidup (way of life) bagi

beragam norma, tujuan dan fungsi yang ada pada subsistem masyarakat

(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).

n. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1)

masyarakat primitif; (2) masyarakat lanjutan; dan (3) masyarakat modern. Dia

membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib,

1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosial-

budaya adalah: (1) proses perubahan sosial yang terjadi akan mengarah pada

keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal,

perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2)

proses diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam

subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara

keseluruhan. Nilai-nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) perubahan

evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan

adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (4) apabila terjadi perubahan

struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial

bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting), hal ini akan

mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem (Appelbaum, R.P. 1970;

Harper, C.L. 1989; Lauer, 1993) atau perubahan revolusi.

Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan sosial yang dibedakan

menjadi tiga macam perubahan yaitu: (1) perubahan ke arah sistem perbaikan

(mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap

perubahan yang sesuangguhnya (namun pola perubahan ini masih statis); (2)

perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem

kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan

koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); dan (3) perubahan ‘adaptive

apgrading’, artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan

distribusi sumber, sehingga meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993).

Meskipun pandangan Parsons tentang teori fungsional struktural, telah

dianggap sangat penting bagi setiap ilmuwan sosial dalam melakukan analisis

fenomena sosial, masih ada sisi kelemahan sebagai kritik dari teori fungsional

struktural Parsons, antara lain

56

Page 57: MATERI SSBI 2012

Pertama, kritik substantif (krtik utama), antara lain: (a) teori fungsional

struktural tidak berkaitan dengan sejarah (bersifat ahistoris), lebih memusatkan

pada masyarakat kontemporer maupun masyarakat abstrak, atau teori fungsional

struktural tidak mampu menjelaskan peristiwa masa lalu; (b) teori fungsional

struktural dianggap tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial secara

efektif pada masa kini, atau teori fungsional structural lebih senang menjelaskan

struktur sosial statis daripada proses perubahan itu sendiri (yang dinamis); (c) teori

fungsional struktural tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal

ini karena teori fungsional struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar

unsur;, dan cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat merusak dan

terjadi di luar kerangka kehidupan masyarakat; (d) teori fungsional struktural

cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu

dipandang sebagai dipaksa oleh kekuatan kultural dan sosial (faktor eksternal), atau

individu dianggap tidak merdeka dalam menentukan jalan hidup; dan (e) teori

fungsional struktural dalam praktiknya banyak digunakan untuk mendukung status

quo dan elite dominan (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Turner, J.H. 1982).

Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen,

antara lain: (a) teori fungsional struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas dan

bermakna ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat

nyata); (b) teori fungsional struktural termasuk teori yang lebih bersifat umum

(abstrak), padahal dalam melakukan analisa fenomena sosial akan lebih baik

memakai ‘teori middle range’, spesifik yang lebih historis (Merton); (c) pada

dasarnya belum ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan fenomena

social dengan menggunakan kerangka berpikir fungsional struktural; (d) teori

fungsional struktural membuat analisis konservatif dan sulit, sebab analisis

fungsional structural hanya cocok bagi kondisi sistem yang sama, sedangkan sistem

yang beragam sangat sulit; (e) logika teori fungsional struktural bersifat tautologi.

Argumentasi Tautologi adalah argumen yang konklusinya semata-mata

menegaskan apa-apa yang terkandung di dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa

sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam sistem dan bagian

dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam sistem sosial yang lebih luas; (f)

teori fungsional struktural dianggap terlalu teleologis (seolah-olah benar secara

logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (g) teori fungsional struktural terlalu

banyak mengadopsi dari ahli fungsional struktural antropologi, yang tentu kurang

cocok untuk analisis masyarakat modern (Ritzer dan Goodman, 2004).

Dari kedua konsep tentang kelemahan (kritik) terhadap teori fungsional

struktural Parsons tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (a) penerapan prinsip-prinsip

57

Page 58: MATERI SSBI 2012

biologis (hukum organism) pada kehidupan masyarakat memang menimbulkan

berbagai persoalan atau mempunyai banyak titik kelemahan; (b) anggapan bahwa

persoalan masyarakat merupakan elemen integral dan homeostatik yang kurang

menekankan problem kekuasaan, memunculkan tuduhan bahwa pandangan

Parsons bersifat elitis dan konservatif; (c) konsep struktur fungsionalisme Parsons

bersifat statis dan tidak berkembang atau banyak sisi kelemahannya apabila

digunakan untuk melakukan analisis masyarakat sekarang yang sangat dinamik,

dan kompleks; (d) penilaian Parsons, bahwa masyarakat Barat merupakan bentuk

masyarakat modern, dapat menimbulkan ethnosentrisme; dan (e) metode ‘deduksi

historis’ yang didasarkan pada analogi biologi, tentu banyak titik kelemahan apabila

diterapkan dalam realitas sosial-budaya yang unik, dinamik dan kompleks.

Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas antara lain:

(1) teori fungsional struktural tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (Parsons),

tetapi ada juga yang bersifat dinamis (Merton); (2) teori fungsional struktural juga

mengakui adanya struktural konflik dan konflik internal di dalam struktur, namun

perubahan yang terjadi itu hanya bersifat evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran

neo evolusi perspektif Merton); dan (3) Neo evolusi perspektif Merton, melihat

bahwa equilibrium dari statis mengarah ke equilibrium dinamis (melihat masyarakat

relatif kompleks, sehingga terbuka untuk berubah).

3. Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami

fenomena sosial-budaya

Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek

fungsionalisme struktural Parsons. Langkah atau pandangan Merton ini lebih

membantu para peneliti sosial dalam menggunakan teori fungsional struktural untuk

memahami beragam fenomena sosial-budaya di masyarakat. Ada beberapa

perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons dengan Merton, antara

lain: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand theory) dan

luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas, teori tingkat

menengah (Middle range theory); dan (2) FS Merton lebih menyukai teori Marxian

(fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons tidak

(Ritzer dan Goodman, 2004).

Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran R.K. Merton berkaitan dengan

teori fungsionalisme strukturalnya dalam memahami fenomena sosial di

masyarakat, antara lain:

Pertama, Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang

dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, antara lain: (1)

postulat, ‘bahwa semua keyakinan dan praktik sosial-budaya yang sudah baku

58

Page 59: MATERI SSBI 2012

adalah fungsional untuk kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi

integrasi tingkat tinggi. Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat

primitif atau masyarakat terisolir dengan jumlah komunitas yang kecil, tetapi tidak

cocok bagi masyarakat modern yang sangat dinamik dan kompleks; (2) postulat,

‘fungsionalisme universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk sosial, kultur (budaya),

dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif (mengikat dan memaksa).

Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan mempunyai fungsi

positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks atau modern yang multikultural

dijumpai beragam struktur; dan (3) postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua

struktur yang baku tersebut secara fungsional adalah penting untuk masyarakat.

Bagi Merton, dalam hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan

fungsional dalam masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat

kompleks (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a).

Kedua, sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran

sosial, pola institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara

kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk

pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional

seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif individual’.

Fungsi bagi Merton didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat

diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’

(Johnson, D.P. 1981; Raho, B. 2007).

Ketiga, beberapa konsep penting Merton tentang: disfungsi; nonfunctions; net

balance; dan manifest, antara lain: (1) konsep disfungsi, menurut Merton, sistem

sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif dan juga negatif

(disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di Amerika Serikat akan

menimbulkan disfungsi tatanan kehidupan politik (adanya rasdiskriminasi); (2)

konsep nonfunctions, yang didefinisikan sebagai akibat-akibat yang sama sekali

tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan, artinya bentuk tindakan

sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3) konsep net balance

(keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam melakukan analisis sosial

harus mampu mengembangkan pertanyaan pada ‘tingkatan analisis fungsional’,

dengan menimbang, membandingkan, menjumlah fungsi positif dan disfungsinya,

misalnya: sistem perbudakan mungkin lebih fungsional bagi unit sosial tertentu

(lapisan sosial-ekonomi elit) dan lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya

(masyarakat bawah/ lapiran bawah). Inilah yang membedakan Merton dengan tokoh

fungsional struktural lainnya (umumnya teoritisi fungsional hanya menganalisis

59

Page 60: MATERI SSBI 2012

masyarakat sebagai satu kesatuan); dan (4) konsep manifest (fungsi nyata) dan

latent (fungsi tersembunyi). Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi

analisis fungsional versi Merton. Fungsi nyata (manifest) adalah fungsi yang

diharapkan (contoh, lembaga rumah sakit adalah berfungsi merawat dan

menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi (latent) adalah fungsi yang tidak

diharapkan (contoh, rumah sakit adalah lembaga yang menghabiskan uang/

kekayaan bagi yang sakit, dan bisa menimbulkan jumlah orang sakit bertambah).

Menurut Merton, fungsi latent ada yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang

tidak fungsional (Johnson, D.P. 1981; Bachtiar, W. 2006).

Keempat, sumbangan terpenting Merton terhadap fungsionalisme struktural

dan terhadap analisis sosial-budaya pada umumnya, khususnya tentang

analisisnya mengenai hubungan antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie,

antara lain: (1) kultur, adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang

menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau kelompok; struktur sosial

adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara

melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya; dan anomie, adalah

kondisi individu atau kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai

normatif atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam kelompoknya. (2) setiap

melakukan analisis fenomena sosial-budaya, perlu menghubungkan ketiga konsep

tersebut (kultur, struktur sosial dan anomie), artinya analisis terhadap pola aktivitas

individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau tidak menyimpang

sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis hubungan antar ketiga konsep

tersebut; dan (3) Merton lebih tertarik dengan disfungsi yang dalam hal ini adalah

anomie, lebih khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie karena adanya

kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Craib, 1984; Hamilton,

1990).

Kelima, beberapa konsep dasar Merton tentang organisasi birokrasi modern,

antara lain: (1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional

dan formal, (2) birokrasi meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas

yang jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-

tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam

keseluruhan struktur birokratis; (5) status dalam birokrasi tersusun kedalam

susunan yang bersifat hirarkhis; (6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam

birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada

jabatan bukan pada orang, tetapi ada pada kelompok; dan (9) hubungan antar

individu dibatasi secara formal oleh nilai-norma yang telah disepakati kelompok

(Poloma, 2000).

60

Page 61: MATERI SSBI 2012

Keenam, beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial (social change)

menurut Merton, antara lain: (1) struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian

yang lebih mematuhi aturan normatif dalam kelompok. Apabila perilaku dalam

birokrasi tidak sesuai dengan aturan normatif kelompok, maka akan terjadi anomie

(non konformis); (2) anomie, disini bukan bersifat psikologis, melainkan lebih

berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan) antara kultural dengan struktural

dalam kelompok. Jadi, fenomena anomi dalam kehidupan sosial (masyarakat)

memerlukan penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3) analisa fungsional

struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan tiga postulat di atas (yaitu:

postulat kesatuan fungsional masyarakat; postulat fungsional universal dan postulat

indispensability), tetapi juga perlu dipadu dengan analisis lainnya, yaitu: analisis

konsep disfungsi (anomie); analisis konsekwensi keseimbangan fungsional (net

balance); dan analisis fungsi manifes dan fungsi latent (Craib, 1984; Hamilton, 1990;

Poloma, 2000).

Ketujuh, tentang perangkat peran (role-set). Setiap individu di masyarakat

memiliki status, dan setiap status terdapat beberapa peranan atau seperangkat

peran (role-set). Seperangat peran tersebut harus terintegrasi dengan baik, apabila

role-set tersebut tidak terjadi integrasi secara baik akan terjadi konflik (disintegrasi).

Oleh karena itu Merton memusatkan analisisnya pada struktur sosial dan

menyelidiki elemen-elemen fungsional dan elemen-elemen disfungsional dalam

kelompok. Elemen fungsional adalah beragam elemen yang dapat menghindarkan

terjadinya konflik (disintegrasi) dalam kelompok, sedangkan elemen disfungsional

adalah beragam elemen yang dapat memunculkan terjadinya konflik di masyarakat

(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Raho,B., 2007)..

Menurut Merton, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk

meminimalkan konflik di masyarakat, antara lain: (1) membangun intensitas

keterlibatan individu dalam beragam peranan dalam kehidupan di masyarakat; (2)

membangun sikap kompetitor (persaingan) diantara individu yang ada dalam role-

set (seperangkat peran) secara positif dan konstruktif; (3) apabila terjadi konflik

dalam role set (seperangkat peran), maka setiap anggota dalam kelompok harus

segera melakukan penyelesaian konflik; dan (4) melakukan isolasi peran, sehingga

sulit diamati oleh orang lain yang ada dalam role set (seperangkat peran). Jadi,

Merton dalam melakukan studi sosial memberikan penekanan pentingnya

melakukan ‘analisis elemen-elemen disfungsional’ dan ‘alternatif-alternatif

fungsional’ dalam kehidupan masyarakat.

4. Pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya

61

Page 62: MATERI SSBI 2012

Diantara teoritikus sosial yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori

neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy.

Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan

kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup sejak 1960-an hingga

1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri

(internal) terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas

cakupan intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti

teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan

kaku, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang

disebut ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi

oleh teori fungsional struktural yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara

lain: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4)

idealisme; dan (5) bias antiempiris.

Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori Neofungsionalisme

Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam fenomena sosial-budaya di

masyarakat, antara lain

Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’.

Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang saling

berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut diistilahkan

sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan semata

(misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya). Jadi, masyarakat

dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam).

Kedua, neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya

terhadap tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda

dengan teori fungsional struktural, yang lebih menekankan pada aspek keteraturan

sosial atau tradisional dan bersifat makro didalam memahami struktur sosial dan

budaya). Sedangkan neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga

pola tindakan individu ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan

tindakan eskpresif individu dalam proses-proses sosial di masyarakat.

Ketiga, neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi

bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan

sosial’, sedangkan dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi

atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta yang sempurna atau suatu keharusan

dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme mengakui penyimpangan dan

kontrol sosial sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan

kompleks. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang

62

Page 63: MATERI SSBI 2012

lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional

struktural keseimbangan bersifat statis.

Keempat, neofungsionalisme, tetap menerima penekanan Parsonian

tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep sistem sosial dan

organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan sehari-hari, tetapi

neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat

menghasilkan ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik.

Kelima, neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial

dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian.

Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti

pandangan teori fungsionalisme struktural), tetapi juga menimbulkan ketegangan

antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional

struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium

(keseimbangan dalam sistem). Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial

dalam masyarakat bisa membawa pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan

‘disintegrasi sosial’..

Keenam, Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan

komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan

teori berdasarkan analisis sosial-budaya pada tingkat makro dan mikro. Bagi

neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di

masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga

menggunakan pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam teori fungsional

struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat makro, oleh

karena itu cakupan analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan

dengan fungsional struktural.

Ketujuh, riset teori fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual

tunggal dan mengikat area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, bersifat

positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro) sangat menentukan realitas

internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori neofungsionalisme

diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum dan

memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak otonom pada tingkat dan domain

empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan mikro.

Jadi, teori neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya

sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap teori fungsional struktural Parsons dan

Merton, tetapi lebih sebagai ‘rekonstruksi dramatis’ terhadap teori fungsional

struktural, karena antara teori fungsional struktural dengan neofungsional pada

aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Jadi, Alexander dan

63

Page 64: MATERI SSBI 2012

Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme struktural dengan ide-ide teori

pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi. (Hamilton, 1990;

Ritzer dan Goodman, 2004).

E. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian

Beberapa sosiolog yang merupakan pendukung teori konflik antara lain: Karl

Marx; Ralf Dahrendorf; Robert Park; Vilfredo Pareto; Torstein Veblen; Jonathan Turner;

Lewis Coser; Wright Mills; dan David Reisman. Diantara tokoh tersebut yang terkenal

sebagai pengembang teori konflik atau perspektif konflik (conflict perspectives) adalah

Karl Marx dan R. Dahrendorf. Berikut ini akan dikemukakan pokok-pokok pikiran teori

konflik Marx dan Dahrendorf, dan pokok-pokok pikiran teori neo-konflik (neo-Marxian)

Lewis Coser dan David Reisman. Sedangkan latar belakang munculnya teori konflik

adalah disebabkan sebagai reaksi terhadap teori fungsionalisme struktural, tetapi

menurut Dahrendorf, munculnya teori konflik bukan bermaksud untuk mengganti teori

fungsionalisme struktural dalam proses analisis realitas sosial-budaya di masyarakat,

akan tetapi mengkritisi atau mengisi ruang analisis fenomena sosial yang tidak

tersentuh oleh teori fungsional struktural. Teori konflik bersumber dari teori Marxian

dan pemikiran konflik sosial dari George Simmel. Pada tahun 1950-an dan 1960-an

teori konflik memberikan alternatif lain bagi peneliti sosial dalam melakukan analisis

sosial-budaya selain teori fungsional struktural, tetapi akhir-akhir ini teori konflik Marx

kedudukannya digantikan oleh teori-teori neo-Marxian (Kinloch, G. C., 2005; Raho, B.,

2007).

Pembahasan perspektif / teori konflik berikut ini hanya menyinggung tentang: (1)

pokok-pokok teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial; (2)

pokok-pokok teori konflik versi R. Dahrendorf; dalam memahami fenomena sosial; (3)

Beberapa kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf; (3) pokok-pokok teori

konflik neo-konflik (neo Marxian) dan teori konflik integratif L. Coser dan D. Reisman;

dan (4) beberapa perbedaan pandangan teori fungsional struktural dengan teori konflik

dalam memahami fenomena sosial. Pertimbangan penulis menyajikan pembahasan

keempat hal tersebut adalah untuk memberikan wacana awal tentang teori konflik, dan

diharapkan para pemerhati teori-teori sosial bisa lebih memperdalam beberapa

pandangan teoritikus konflik lainnya.

1. Teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial

Dari beberapa pandangan para ahli yang mengkaji tentang teori konflik versi

Marx, dapat disimpulkan beberapa asumsi dasar atau pokok-pokok pandangan Karl

Marx dalam memahami fenomena sosial sehari-hari, antara lain:

Pertama, Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan

yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’. Dan ciri utama hubungan-hubungan

64

Page 65: MATERI SSBI 2012

sosial di masyarakat adalah pejuangan kelas. Tidak ada masyarakat tanpa konflik,

dan konflik sosial merupakan pertentangan antar segmen atau antar kelas di

masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai materi, atau konflik

disebabkan oleh cara produksi barang-barang material, sebab materi merupakan

infrastruktur kehidupan (Mutahhari, M. 1986; Cambell, 1994).

Kedua, tindakan-tindakan, sikap-sikap, ide-ide, motivasi, pandangan hidup

dan kepercayaan individu tergantung pada hubungan-hubungan sosialnya, dan

hubungan sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonomis dari

masyarakatnya. Jadi, faktor ekonomi (material) sebagai dasar atau pondasi utama

(infrastruktur) setiap aktivitas kehidupan sosial budaya di masyarakat (aktivitas

sosial merupakan suprastruktur), atau sistem materi/ benda dianggap sebagai

penentu (infrastruktur) terhadap sistem ide/ gagasan; pandangan hidup,

pengetahuan, hukum, dan kepercayaan (suprastruktur) (Mutahhari, M. 1986). Jadi,

kepentingan fisik (bendawi), keprimaan dan kepentingan kebutuhan bendawi adalah

mendahului atau memotivasi munculnya kebutuhan jiwa atau kebutuhan-kebutuhan

akal manusia.

Ketiga, eksistensi manusia sejati adalah eksistensi dimana kemampuan-

kemampuan produksi manusia dikembangkan secara memuaskan. Bagi Marx,

bahwa proses cara produksi (mode of production) barang-barang material di

masyarakat itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu: (a)

kelompok kapitalis (pemilik modal kapitalis), dan (b) kelompok proletariat (pekerja/

buruh). Kelompok kapitalis berusaha memperoleh keuntungan materi sebesar-

besarnya dengan meminimalkan upah kaum proletar, sedangkan disisi lain kaum

proletariat juga ingin mendapat upah yang tinggi karena kerja kerasnya, sehingga

konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik diperparah oleh realitas kaum buruh

(proletariat) yang ter-alienasi (‘terasing’) oleh: pekerjaannya, karena diperlakukan

sebagai bagian alat produksi yang bersifat mekanik; hasil pekerjaannya, karena

mereka hanya mendapat upah minimal; kemampuannya, karena mereka tunduk

pada mesin; dan hubungan kerja, karena terjadi persaingan yang tidak sehat

(Johnson, D.P. 1981. Ritzer, G. (ed). 2001).

Keempat, dalam masyarakat kapitalis, dominasi kelas penguasa (the ruling

class) sangat besar, sedangkan kelas proletar (buruh) terkungkung oleh kaum

kapitalis, sehingga proletar teralienasi (terasing), untuk memecahkan alienasi. Marx

menawarkan konsep dialektika (Tesis= kesadaran kelas; Antitesis = melawan

terhadap dominasi kelas penguasa; dan Sintesis = muncul dominasi baru/

masyarakat tanpa kelas/ masyarakat komunis). Jadi, dari proses hukum dialektika

tersebut, Marx meramalkan akan tercipta masyarakat tanpa kelas (Sosialisme

65

Page 66: MATERI SSBI 2012

komunis). Oleh karena itu, asumsi dasar Marx tentang perubahan sosial adalah,

masyarakat akan berevolusi dari: feodalisme ke kapitalisme dan terakhir adalah

sosialisme komunis (Surbakti, R., 1997a; Jones, PIP.2003).

Kelima, konsep kunci Marx tentang materialisme dialektika adalah: Mode of

Production/ MoP (tata cara produksi); the force of production (kekuatan produksi),

hal ini dapat menentukan struktur kelas); dan Relation of production (hubungan

produksi). Hubungan produksi oleh Marx disebut struktur kelas. MoP ini oleh Marx

dianggap sebagai substruktur yang mendasari dan menentukan kehidupan sosial di

masyarakat. Jadi, materi sebagai sumber segala persoalan hidup manusia,

sedangkan semua aspek selain materi hanyalah penunjang atau sesuatu yang tidak

begitu penting bagi kehidupan manusia (Mutahhari, M. 1986; Salim, 2002).

Keenam, kepentingan ekonomi menjadi sebab dasar terjadinya konflik

(kapitalis mengeksploitasi kaum proletar). Konflik mengarah ke pola perubahan

revolusi. Bagi Marx, satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk keluar dari sistem

kapitalis yang ‘sangat’ tidak adil itu adalah melakukan revolusi. Menurut Marx, suatu

perubahan secara revolusi bisa terwujud apabila ada dua hal, yaitu: (a) kaum

proletariat harus mempunyai kesadaran diri yang sangat kuat bahwa dia sebagai

orang yang tertindas, hal ini untuk menumbuhkan militansi gerakan untuk berubah

secara revolusi; dan (b) kaum proletariat harus mengelompokkan diri dalam satu

wadah organisasi yang disebut ‘organisasi kaum buruh’. Menurut Marx, agar

kesadaran kaum buruh (proletariat) tetap kokoh dan militan, maka diperlukan

propaganda secara terus menerus (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a)

Jadi, pandangan Karl Marx, tentang perkembangan kehidupan masyarakat

dari konsep ‘hak milik’ sampai tebentuknya ‘masyarakat komunis’ (tanpa kelas),

dapat diilustrasikan sebagai berikut:

a. Pentingnya hak milik (kelas sosial ditentukan oleh hak milik alat-alat produksi,

dan hak milik ini dikuasai kaum borjuis atau kaum kapitalis).

b. Determinisme ekonomi (kepentingan materi/ ekonomi sebagai dasar dari segala

aspek hidup: politik, ideologi, sosial, budaya). Politik, ideologi, sistem sosial

ditentukan oleh kelas borjuis, karena menguasai ekomoni atau alat produksi.

c. Polarisasi kelas (terjadi kelas radikal yang terpecah dalam masyarakat antara

kelas borjuis dan proletar secara terus menerus), hal ini sebagai reaksi dari

determinisme ekonomi.

d. Teori nilai surplus (para kapitalis terus mengeksploitasi kaum buruh, sehingga

keuntungan (profit) menumpuk pada kaum borjuis), akibat berikutnya adalah

terjadi kesenjangan sosial-ekonomi antara kelas kaya dan kelas miskin semakin

besar.

66

Page 67: MATERI SSBI 2012

e. Alienasi (keterangingan, yaitu kaum buruh terasing terhadap kerja, terasing

terhadap modal, terasing dari jiwa aman dalam bekerja, karena kaum buruh terus

dieksploitasi oleh majikan/kaum borjuis).

f. Solidaritas dan antagonisme kelas (dengan tumbuhnya kesadaran kelas, maka

terjadi kristalisasi hubungan internal masing-masing kelas (terutama dalam kelas

buruh) dan cenderung homogen secara internal, sehingga perjuangan kelas

semakin hebat).

g. Revolusi (gerakan perubahan yang mendasar, yaitu gerakan kaum proletar

meruntuhkan peran dan dominasi kaum borjuis (kapitalis), yang terus

mengeksploitasinya), sehingga kaum proletariat mampu menguasai negara,

yang akhirnya muncul diktator proletariat.

h. Terciptanya masyarakat tanpa kelas (komunis). Setelah revolusi berhasil, maka

hak milik pribadi lenyap, timbul masyarakat tanpa kelas. Sosialisme komunis

inilah oleh Marx dinilai sebagai masyarakat ideal (Rossides, D. W. 1978; Jones,

PIP.2003).

Uraian singkat tentang pokok-pokok pikiran Karl Marx tentang fenomena

sosial tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) keberadaan materi

(ekonomi) menentukan kesadaran seseorang (kesadaran sosiologi seseorang); (2)

perubahan pada aspek materi akan menentukan perubahan sosial, budaya atau

politik atau ideologi; (3) masyarakat tergantung pada kondisi-kondisi materi, dan

kesadaran sosialnya ditentukan oleh model-model produksi atau Mode of

Production/ MoP; the force of production; dan Relation of production; dan (4) tipologi

evolusi masyarakat menurut Marx adalah dari: Kesukuan → Komunalisme →

Feodalisme → Kapitalisme → Pemberontakan → Sosialisme (masyarakat komunis).

2. Teori konflik versi Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial

Dahrendorf dianggap tokoh teori konflik yang lebih baik analisisnya apabila

dibandingkan dengan Marx. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau teori konflik

Dahrendorf, dalam memahami fenomena sosial budaya, antara lain:

a. Setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen

kemasyarakatan menyumbang terhadap perubahan sosial, baik dalam bentuk

integrasi sosial maupun disintegrasi sosial.

b. Apapun keteraturan hidup yang terdapat dalam masyarakat, adalah berasal dari

pemaksaan kelompok elit (lapisan atas) kepada para anggotanya (lapisan

bawah). Jadi, teori konflik Dahrendorf lebih menekankan peran kekuasaan dalam

mempertahankan ketertiban (keteraturan) sosial di masyarakat.

67

Page 68: MATERI SSBI 2012

c. Setiap masyarakat dimanapun mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan

konsensus, oleh karena itu menurut Dahrendorf, teori sosiologi harus dibagi

menjadi dua bagian, yaitu: teori konflik dan teori konsensus.

d. Bahwa tidak ada masyarakat tanpa konsensus dan konflik. Konsensus dan

konflik merupakan dua sisi dalam satu keping mata uang, keduanya menjadi

persyaratan satu sama lain dalam mewarnai proses-proses sosial di masyarakat.

Dalam kehidupan sosial di masyrakat tidak akan terjadi konflik kecuali ada

konsensus sebelumnya, demikian juga sebaliknya, konflik yang terjadi antar

kelompok dapat menimbulkan konsensus internal (terjadinya solidaritas ingroup)

dan integrasi sosial dalam kelompok.

e. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak

optimis untuk mengembangkan satu teori tunggal untuk dua persoalan tersebut.

Oleh karena itu, untuk menghindari teori tunggal Dahrendorf membangun teori

‘konflik masyarakat’.

f. Tesis sentral Dahrendorf adalah ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu

menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’. Dahrendorf sedikit

banyak masih dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural (Abraham, 1982;

Craib, 1984). Asumsi atau tesis Dahrendorf tentang otoritas adalah, ‘bahwa

berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam, dan

otoritas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga di dalam posisi-posisi

sosial di masyarakat’.

g. Tugas pertama dalam melakukan analisis konflik di masyarakat adalah

mengidentifikasi berbagai peran otoritas sosial yang ada di dalam masyarakat,

yaitu otoritas yang ada pada struktur sosial berskala luas (makro), seperti peran-

peran otoritas. Jadi, yang dianalisis bukan mengkaji peran individu yang bersifat

mikro. Menurut Dahrendorf, otoritas yang melekat pada posisi pada struktur

sosial adalah unsur kunci dalam analisis teori konflik versi Dahrendorf. Otoritas

secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang punya

posisi otoritas makro diharapkan mengendalikan bawahan. Otoritas individu

(mikro) ini tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat, atau tunduk

pada otoritas makro. Karena otoritas makro adalah absah, sehingga sanksi dapat

dijatuhkan pada pihak yang menentang pada otoritas makro.

h. Bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut ‘asosiasi yang

dikoordinasikan secara imperatif’. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu

yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Masyarakat terdiri dari beragam posisi

(Individu dapat menempati posisi otoritas (superordinasi) disatu unit, dan

menempati posisi yang subordinasi di unit lain). Konsep kunci lain teori konflik

68

Page 69: MATERI SSBI 2012

Dahrendorf adalah ‘kepentingan’. Otoritas disetiap asosiasi bersifat dikotomi,

yaitu ada dua kelompok kepentingan, yaitu pemegang posisi otoritas/

superordinat (kelompok elit) dan kelompok subordinat (kelompok bawah) yang

saling berbeda kepentingan. Ada dua kepentingan yaitu kepentingan

tersembunyi (tidak disadari) dan kepentingan nyata (sudah disadari).

i. Individu pada posisi dominan (superordinat/ kelompok penguasa/ berpengaruh)

berupaya mempertahankan ‘status quo’, sedangkan posisi subornidat terus

mendesak untuk terjadi perubahan sosial dalam hidupnya. Individu

‘menyesuaikan diri’ dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik

antara superordinat dan subordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut

‘kepentingan tersembunyi’. Menurut Dahrendorf melihat analisis hubungan

antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu merupakan salah

satu tugas utama teori konflik.

j. Kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe kelompok,

yaitu: (1) kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan

kepentingan yang sama, kelompok semu ini adalah calon anggota kelompok

kedua, (2) kelompok kepentingan (interst group), kelompok ini adalah agen riil

dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi,

tujuan, program dan anggota yang jelas), (3) kelompok konflik (conflict group),

yaitu berbagai jenis kelompok yang secara riil (aktual) terlibat konflik kepentingan

dalam proses-proses sosial dalam kelompok. Jadi, menurut Dahrendorf, bahwa,

‘konsep kepentingan tersembunyi; kepentingan nyata; kelompok semu; kelompok

kepentingan; dan kelompok konflik adalah konsep dasar untuk menerangkan

konflik sosial yang terjadi di masyarakat’. Di bawah kondisi yang ideal tidak ada

lagi variabel lain yang diperlukan, tetapi karena kondisi tak pernah ideal, maka

banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial (inilah yang

membedakan dengan teori konfliknya Marx). Jadi, penyebab terjadinya konflik

menurut Dahrendorf adalah multiaspek, bukan hanya faktor ekonomi atau

kepentingan materiil seperti pandangan Marx.

k. Kondisi teknis seperti kualitas personil dalam kelompok; situasi politik; dan

kondisi sosial (hubungan komunikasi) ikut mewarnai kuat atau tidaknya terjadi

konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu cara merekrut anggota dalam

kelompok semu secara acak (kebetulan) dapat meredam konflik. Jadi, berbeda

dengan pandangan Marx, Dahrendorf yakin bahwa ‘lumpen proletariat’ tidak

akan membentuk konflik bila proses rekrutmennya acak, tetapi apabila rekrutmen

anggota kelompok dilakukan secara struktural (kaku dan ditetapkan/ tidak acak)

maka akan memudahkan terjadinya konflik sosial.

69

Page 70: MATERI SSBI 2012

l. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah, ‘hubungan konflik dengan

perubahan’. Disini Dahrendorf mengakui pikiran Coser, tentang ‘fungsi konflik

dalam mempertahankan status quo’. Tetapi Dahrendorf mengakui bahwa konflik

merupakan realitas sosial, dan berfungsi menyebabkan perubahan sosial dan

perkembangan kehidupan kelompok (konflik yang hebat akan membawa

perubahan dalam struktur sosial) (Rossides, D. W. 1978; Johnson, 1981; Craib,

1984; Jones, PIP.2003).

Menurut Turner (1982), teori konflik yang dikembangkan oleh para teoritikus

konflik setelah Marx, pada dasarnya berakar dari pemikiran Karl Marx dan pemikiran

Max Weber, hanya kedua tokoh ini mempunyai perbedaan sudut pandang, yaitu

Marx dari aspek materi (ekonomi), sedangkan Weber dari sudut kekuasaan

birokrasi. Ada enam proposisi yang dikemukakan Marx, dan tiga proposisi yang

dikemukakan Weber, berkaitan dengan konflik. Proposisi Karl Marx tentang konflik

antara lain:

a. Semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik kepentingan

antara kelompok atas dan kelompok bawah.

b. Semakin kuat kesadaran kelompok bawah (proletar) akan kepentingan mereka

bersama, maka akan semakin keras kaum proletar mempertanyakan keabsahan

sistem pembagian pendapatan yang ada.

c. Semakin besar kesadaran akan interest (kepentingan) kelompok mereka

(proletar) dan semakin keras pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem

pembagian pendapatan, semakin besar kecenderungan mereka untuk kerjasama

memunculkan konflik menghadapi kelompok yang menguasai sistem yang ada

(kelompok kapitalis).

d. Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah (proletar) dan

semakin kuat struktur kepemimpinan politik mereka, semakin besar

kecenderungan terjadinya polarisasi sistem yang ada.

e. Semakin meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi.

f. Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi

pada sistem (perubahan revolusi), dan perubahan secara revolusi akan semakin

member peluang terwujudnya proses pemerataan sumber-sumber ekonomis.

Sedangkan proposisi yang diajukan Weber berkaitan dengan konflik sosial, di

masyarakat antara lain:

a. Semakin besar derajat merosotnya legitimasi politik penguasa dalam birokrasi

pemerintahan, semakin besar kecenderungan timbulnya konflik social antara

kelas atas dan bawah

70

Page 71: MATERI SSBI 2012

b. Semakin karismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar kemampuan

kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem, semakin besar tekanan

kepada penguasa (lapisan atas) melalui penciptaan suatu sistem undang-undang

dan sistem administrasi pemerintahan.

c. Semakin besar atau kuat sistem perundang-undangan dan administrasi

pemerintahan dalam kehidupan kelompok, akan mendorong dan menciptakan

kondisi terjadinya hubungan antar anggota kelompok sosial.

d. Kesenjangan hirarki sosial, rendahnya mobilisasi vertikal akan semakin

mempercepat terjadinya proses kemerosotan legitimasi politik penguasa dan

semakin besar kecenderungan terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas

bawah di masyarakat (Wrong, D. (ed), 1970).

3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf

Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Karl Marx dalam

memahami fenomena sosial, antara lain:

a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya,

padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena

sosial-budaya dan politik di masyarakat yang sangat dinamik dan kompleks.

b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat

perjuangan kelas’, padahal banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosial-

budaya, tidak hanya karena perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau

aspek-aspek lain, misalnya faktor: keyakinan, ideologi, budaya, psikhologis, dan

sebagainya.

c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi

(kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dan

sebagainya) yang mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu,

antara kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas baru ini muncul bukan semata-

mata faktor material, tetapi karena ‘keahlian, kemampuan, ketrampilan atau

profesionalnya’.

d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul

diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran

kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar yang tertindas, yaitu

kaum ‘cerdik cendekia’, bahkan ada juga kesadaran dari kaum proletar yang

tertindas tersebut sifatnya adalah kesadaran palsu (false consicousness), karena

ketika sebagian kaum proletar yang berhasil naik kelas elit justru dia berjuang

untuk dirinya sendiri, bukan untuk kelasnya (palsu).

e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau tokoh agama sebagai

penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam

71

Page 72: MATERI SSBI 2012

realitasnya sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa peran tokoh agama

adalah sangat sentral untuk menjadi aktor penggerak terjadinya perubahan

sosial budaya di masyarakat

f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi di

masyarakat, tidak hanya disebabkan oleh konflik antar kelas yang berbasis

kepentingan ekonomi (materi). Disamping itu apa yang diramalkan Marx, bahwa

‘kapitalisme dunia akan runtuh dan digantikan sosialisme komunis’ (masyarakat

tanpa kelas) sampai sekarang belum terbukti. Hal ini membuktikan bahwa

pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’ atau mengingkari realitas sejarah..

g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik

sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme

pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung

integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi

dan konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar

sosial budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik.

h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji

kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang

dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak

milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern

konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer,

masyarakat, buruh (saham masyarakat).

i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya

‘spesialisasi kelas’ (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas:

kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi

ahli/ profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang

bahwa perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas

internal kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas

internal proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena

adanya un-skill labour, semi skill labour dan skill labour atau profesional

(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

Sedangkan beberapa teoritikus ilmu sosial yang mengemukakan kritik

terhadap teori konflik versi Dahrendort, antara lain: Weingart (1969), Hazelring

( 1972), dan Turner (1973). Dari beberapa kritik para ilmuwan tersebut dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti

yang ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak

memadai dari teori Marxian.

72

Page 73: MATERI SSBI 2012

b. Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural

daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan:

‘Asosiasi yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung

mengkaitkan dengan fungsionalisme struktural’.

c. Teori konflik hampir seluruhnya bersifat ‘makroskopik’ (sama dengan

fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada

kita untuk memahami pikiran, motivasi, keyakinan, pandangan dan tindakan

individu (mikroskopik).

d. Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna

untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial

(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

Menurut para ahli, ada ada beberapa sisi perbedaan antara teori konflik Marx

dengan teori konflik Dahredorf, sebagaimana dalam bagan berikut.

Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Dahrendorf:

No Teori Konflik Marx Teori Konflik Dahrendorf

01 Perubahan terjadi secara revolusi. Dan masyarakat terus dalam situasi konflik

Perubahan belum tentu terjadi karena revolusi, tetapi secara gradual, karena ada beberapa hal yang mengalami disfungsi

02 Sumber konflik adalah kepemilikan sarana produksi. Atau faktor ekonomi (materi) sebagai infra strukturnya

Sumber konflik adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi bukan hanya materi (ekonomi)

03.

Kelompok Lumpen Proletariat akan menjadi penggerak terjadinya konflik dalam kelompok,

Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan menjadi penggerak konflik bila proses rekrutmennya acak.

04. Konflik akan berakhir kalau terjadi masyarakat tanpa kelas (sosialis komunis)

Konflik berjalan terus menerus sepanjang ada masyarakat.

Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:

a. Konflik endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya

secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari

warga masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam

terhadap sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam

masyarakat yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis

lingkungan dan orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam

kelompok; (5) konflik individual dan konflik didalam masyarakat.

73

Page 74: MATERI SSBI 2012

b. Konflik eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara

analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi

kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti

kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau

banga.

c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat

disimpulkan dengan beberapa asumsi dasar perspektif konflik tentang

‘perubahan sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa

dalam proses perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat

(Spencer, M. 1982; Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat

memberikan andil untuk terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya.

Masyarakat bukanlah sebuah sistem yang berada dalam situasi equilibrium,

melainkan terbentuk karena adanya paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973;

Surbakti, R., 1997; Turner, B., 2000); (c) konflik endogenous berasal dari

kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik terjadi karena distribusi

penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak superordinat dan kurangnya

nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik adalah karena adanya

‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam kepentingan’, misalnya:

kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial (menurut Dahrendorf); (e)

masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan sosial itu terjadi di mana-

mana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial, tidak selamanya

merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat tersembunyi (latent).

Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa dihilangkan oleh siapapun

dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976; Rossides, D. W. 1978;

Turner, J., 1982).

4. Pandangan teori neo Marxian atau neo konflik

Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang teori neo-Marxian

atau neokonflik, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori

neo Marxian adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial

setelah munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada

teori konflik Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx

tentang konflik sosial dalam hubungannya dengan perubahan sosial di masyarakat;

(b) apabila perspektif konflik Marx lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai

‘pen-determinasi’ (infra-struktur) semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and

Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor

kunci konflik bukan semata-mata karena kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’

(Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori Neo Marxian atau neo-konflik ini sangat

74

Page 75: MATERI SSBI 2012

beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b) Marxisme Hegelian; (c) Teori

Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e) Marxisme Berorientasi Historis; (f)

Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-Marxis (Johnson, D.P., 1981;

Sztompka, P. 1993).

Pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu

yang sangat panjang (sejak tahun 1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh

teori konflik antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan

pendekatan ‘Sistemik konvensional’ (revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein

Veblen, yang dikenal dengan ‘Tipe naturalistik konvensional teori konflik’

(revolusionis); (c) Ralf Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut

pendekatan atau aliran ‘Sistemik modern’ (revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan

David Reisman, yang dikenal penganut model ‘Naturalistik modern’ (fungsionalis-

evolusionis) (Kinloch, 2005).

Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian atau

neokonflik, antara lain: (a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori

neo Marxian adalah berupa gagasan tentang ‘reifikasi dan kesadaran kelas’; (b)

Antonio Gramsci, dia tetap mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan

revolusi, tetapi ada juga faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi

revolusioner’, dan dalam membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada

‘tokoh intelektual’. Baik Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan

perhatian pada aspek ‘Gagasan kolektif’ daripada aspek ‘Struktur ekonomi’ sebagai

penyebab konflik, sebagaimana pandangan oleh Karl Marx; (c) Henri Lefebvre, dia

mengatakan bahwa teori Marxian (neokonflik) perlu menggeser fokusnya dari ‘cara-

cara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang berfungsi

dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur kelas di

dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus

berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis

Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik

bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup

dan terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan

menjadi fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David

Reisman, dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik

sosial. Baik L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis

atau neo konflik (teori konflik modern) yang bersifat naturalistik, makroskopik,

organik, evolusioner dan struktural (Kinloch, 2005)

Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian atau neokonflik yang diuraikan

secara singkat adalah teori neokonflik Lewis Coser, yang oleh sebagian ahli

75

Page 76: MATERI SSBI 2012

dianggap sebagai ‘teori konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’.

Hal ini bukan berarti hanya teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk

dijadikan orientasi teori dalam suatu kajian fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau asumsi teori konflik L. Coser, dalam

memahami fenomena sosial-budaya antara lain:

a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial

adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bisa bersifat fungsional dan

bisa tidak fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk

memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya dalam kehidupan sosial di

masyarakat.

b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional

struktural), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka

kehidupan kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori

konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional struktural), perpecahan dan

integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam

masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi

merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Poloma, M. M. 1979; Cambell,

1994).

c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial,

eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik

institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat,

tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat

sistem stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin

rendah institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut

kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih

lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat.

d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan

kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas

sosial. Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan

tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.

e. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah

‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang

proses-proses sosial. Menurut teoritikus neokonflik, baik teori fungsional maupun

teori konflik, adalah sama-sama teori parsial (hanya menyinggung satu sisi/

aspek kehidupan) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di

masyarakat.

76

Page 77: MATERI SSBI 2012

f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (teori fungsional),

tetapi untuk melakukan proses perubahan dan mendorong terjadinya dinamika

hidup, maka kehidupan sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau

sub sistem (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan

dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam

masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi

merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969;

Cambell, 1981).

g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas

ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok

lain; (b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi

menjadi tidak terisolasi, semula pasif menjadi aktif, semula statis menjadi

dinamik; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi (artinya fungsi, peran dan

batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas) antar anggota dalam kelompok

atau antar kelompok. Di atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi

konflik juga mempunyai ‘disfungsi’ atau fungsi negatif (Poloma, M. M. 1979;

Ritzer dan Goodman, 2004).

h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis

tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a)

terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik

dan kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi

daripada revolusi; (c) bahwa konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang

kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna

fungsional konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak

semata-mata berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga

berbasis non ekonomi (Turner, J.H. 1982; Kinloch, 2005).

5. Pandangan teori konflik integratif Collins

Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan

integratif’, adalah Randall Collins (karyanya Conflict Sociology, 1975). Sedangkan

beberapa pokok pikiran Randall Collins tentang teori ‘konflik integratif’ antara lain:

a. Teori konflik integratif Collins lebih condong berorientasi ‘mikro’, sedangkan

konflik Marx dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, Collins telah memberi

‘kontribusi penting bagi teori konflik versi Marx, khususnya dalam menambah

analisis fenomena sosial-budaya pada tingkat mikro, dan dia mengatakan,

bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’

di masyarakat.

77

Page 78: MATERI SSBI 2012

b. Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik

adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf

memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan

Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar

atau orientasi teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.

c. Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar

(eksternal), dan memaksa atau menentukan pihak aktor (individu) dalam proses-

proses sosial-budayanya, sedangkan Collins cenderung melihat struktur sosial

tidak dapat dipisahkan dari aktor (individu) yang berbuat atau membangunnya

(internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang

sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan

Dahrendorf).

d. Menurut Collins, teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan

justru lebih banyak dipengaruhi pandangan Weber, Durkheim dan terutama teori

fenomenologi dan teori etnometodologi.

e. Tentang stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial,

karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan,

bidang: ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup, sosial dan sebagainya. Jadi,

proses analisis Collins terhadap fenomena sosial adalah lebih tertuju pada

fenomena ‘mikrososiologi stratifikasi’.

f. Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, antara lain: (1) teori

fungsional struktural dan teori konflik Marx dianggap sebagai teori yang gagal

menjelaskan stratifikasi sosial; (2) teori fungsional struktural dan teori konflik

Marx, dalam penjelaskan fenomena sosial bersifat monokasual untuk kehidupan

yang multikasual (kompleks). Meskipun demikian pandangan R. Collins tetap ada

sebagian yang dipengaruhi oleh pandangan Marx.

g. Teori stratifikasi konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya dilatarbelakangi oleh

pandangan Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi konflik lebih

menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins adalah (1)

setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah berkonflik

dalam prose-proses sosial di masyarakat; (2) setiap orang dalam hidup

mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga dalam kehidupan kelompok

atau masyarakat sering terjadi beragam benturan kepentingan untuk pemenuhan

kebutuhan hidup.

h. Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi

tiga prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang

dibangun sendiri (faktor internal); (2) orang lain mempunyai kekuasaan atau

78

Page 79: MATERI SSBI 2012

pengaruh untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif sesorang

individu (faktor eksternal); dan (3) orang lain sering mencoba mengontrol orang

yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang memunculkan konflik antar

individu, dan konflik bersifat integratif.

i. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip

analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip

itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1)

bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata

ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai

gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2)

bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material

yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi,

senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masing-

masing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang

mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok

sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural

seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya

dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi

juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara

komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.

j. Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi

tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial

(konflik integratif), antara lain: (1) pengalaman memberikan dan menerima

perintah, adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu

sehari-hari; (2) makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin

bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan diri

dengan tujuan oragnisasi serta dengan mengatasnamakan organisasi dia

menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin sering orang menerima perintah, makin

ia patuh , makin fatalistis, makin terasing dari tujuan organisasi, makin

menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin

memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer dan Goodman, 2004).

k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2)

penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi

pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara

material adalah strategi yang lebih baik.

79

Page 80: MATERI SSBI 2012

6. Perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik

Menurut para ahli ada beberapa perbedaan pandangan antara teori fungsional

struktural dan teori konflik dalam memahami fenomena sosial di masyarakat.

Perbedaan tersebut dapat dilustrasikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori Konflik:

No Konsep fenomena

sosial

PerspektifFungsional Struktural

Perspektif Konflik

01 Kehidupan sosial (masyarakat)

Masyarakat cenderung untuk mempertahankan sistem kerja menuju kearah keseimbangan (equilibrium), dan relatif terintegrasi, keserasian fungsi sosial

Masyarakat cenderung untuk berada dalam konflik terus menerus antar individu/ kelompok dan terus dalam ketegangan.

02 Stratifikasi sosial

Lapisan sosial diperlukan semua orang, untuk menentukan status dan peran, hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat.Lapisan sosial dapat digunakan sebagai media selektif atas keahlian individu, media kompetisi menuju status lebih tinggiSetiap lapisan membangun pola gaya hidup dan perasaan yang berbeda.

Lapisan sosial tidak diperlukan oleh semua orang, karena menimbulkan diskriminasi hidupLapisan sosial dapat menghambat keahlian, bakat lapisan yang bawahSekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan berkembang untuk mengeksploitasi lapisan bawah

03 Diferensiasi sosial

Kondisi objektif kehidupan yang menampilkan serba keberagaman, untuk menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan norma yang disepakatiTidak dapat dihindarkan, terutama pada masyarakat yang kompleks, disebabkan beragam keahlian, profesi individu dalam masyarakat

Kondisi subjektif kehidupan, yang menunjukkan adanya lapisan elite untuk memaksakan dan melanggengkan kekuasaan/ kepentingannya pada yang lemahTidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Jadi,perlu ditempuh jalan penyusunan masyarakat sosialistis

04 Perubahan sosial

Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus menerus. Bentuk perubahan bersifat evolusi, dan selalu mengarah ke seimbangan sistem

Dipaksanakan oleh suatu kelas ke kelas lainnya untuk ke pentingan kelas elite. Atau kelas proletar melakukan gerakan revolusi untuk merubahan dominasi kelas borjuis

80

Page 81: MATERI SSBI 2012

05 Tertib Sosial (social control)

Hasil usaha tidak sadar dari anggota masyarakat untuk mengorganisir kegiatan mereka secara produktifKehidupan sosial tergantung kepada solidaritas bersama

Dihasilkan dan di pertahankan oleh pemaksa yang ter organisir oleh kelas yang dominan.Kehidupan sosial selalu menghasilkan suatu oposisi, karena ke hidupan sosial melahir kan konflik struktural

06 Nilai-nilai dalam kehidupan sosial

Konsensus atas nilai-nilai, sebagai pemersatu anggota masyarakat (norma- nilai dasar hidup)Kehidupan sosial melibatkan komitmen/ konsensus bersama untuk hidup berkelompok

Kepentingan yang bertentangan akan memecahbelah masyarakat. Konsensus nilai, hanyalan & alat kaum penindas (elite).Kehidupan sosial penuh dorongan kepentingan (dasar hidup) untuk menguasai

07 Lembaga2 sosial

Berfungsi menanamkan nilai-nilai umum (disepakati bersama) demi keserasian fungsi (integrasi).

Berfungsi menanamkan nilai dan kesetiaan yang melindungi kepentingan kaum elite yang punya hak istimewa

08 Hukum dan pemerintahan

Menjalankan peraturan yang mencerminkan kesepakatan (konsensus) nilai-nilai masyarakat

Menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelas dominan untuk melindungi hak istimewanya

09 Sistem sosial Sistem-sistem sosial diintegrasikan dalam kehidupan kelompok. Dan sistem sosial cenderung untuk bertahan lama

Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Dan sistem sosial cenderung untuk berubah

( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992).

7. Pandangan paradigma fungsional dan struktural radikal

Menurut para ahli, teori sistem, teori fungsional struktural termasuk neo-

fungsional, dan teori konflik termasuk neo-Marxian adalah teori-teori sosiologi yang

berparadigma fakta sosial (Ritzer, G., 1980), atau teori-teori yang berparadigma

fungsional dan berparadigma struktural radikal. Menurut Burrell dan Morgan (1994),

beberapa pandangan paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal antara

lain:

Pertama, pandangan paradigma fungsional, antara lain: (1) paradigma ini

dalam memahami fenomena sosial menggunakan pendekatan objektiv dan

berorientasi pada paham positivisme; (2) paradigma ini bercirikan: menjelaskan

kehidupan sosial dari dimensi status quo, order sosial, konsensus, integrasi sosial,

solidaritas kelompok. Paradigma ini melakukan kajian sosiologi dari pendekatan

makro; dan (3) paradigma ini cenderung berorientasi pada masalah dan upaya

pencarian solusi praktikal dari permasalahan yang ada. Atau pentingnya

81

Page 82: MATERI SSBI 2012

pemahaman realitas sosial ke arah order, equilibrium, stabilitas sosial, dan perlunya

nilai-norma sosial sebagai alat kontrol sosial individu (eksternal mempengaruhi

internal). Paradigma ini berpengaruh pada teori-teorinya: A. Comte; H. Spencer; T.

Parsons; E. Durkheim, dan V. Pareto.

Kedua, pandangan paradigma struktural radikal, antara lain: (1) paradigma ini

mengusulkan studi sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang objektivistis

Teori-teori yang tergolong pada paradigma ini antara lain: teori konflik dan

variannya; teori radikal organism; (2) paradigma ini berkaitan dengan perubahan

radikal, analisis emansipasi dan potensi yang lebih menekankan pada konflik

struktural, model dominasi, kontradiksi dan perampasan; dan (3) paradigma ini

berawal dari pandangan yang bersifat realis positivisme dan nomotetik (manusia

ditentukan oleh struktur sosial atau faktor eksternal). Paradigma struktural radikal

memandang bahwa perubahan radikal di masyarakat diciptakan dalam struktur

masyarakat kontemporer, dan masyarakat kontemporer banyak ditandai oleh

adanya krisis politik dan krisis ekonomi. Paradigma ini mewarnai pandangan Karl

Marx (Burrell, G. and Morgan, G. 1994; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

F. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik

Uraian tersebut di atas (teori sistem; teori fungsional struktural dan neo-

fungsional; teori konflik dan neo-Marxian) merupakan teori-teori yang tergolong pada

paradigma fakta sosial dan berorientasi pada paham positivisme, atau naturalisme,

atau saintisme (Poloma, M. M. 1979; Ritzer, G. 1980), atau teori-teori yang tergolong

pada paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal. Sedangkan teori

interaksionis simbolik dan teori fenomenologi termasuk teori yang berparadigma

definisi sosial dan berorientasi pada paham idealisme, atau konstruktivisme. Atau teori

yang berparadigma humanis radikal dan paradigma interpretif (Burrell, G. and Morgan,

G. 1994). Ditinjau dari segi orientasi filosofis, maka teori interaksionis simbolik adalah

berlandaskan pada aliran filsafat pragmatisme. Sedangkan pokok-pokok pandangan

aliran filsafat pragmatisme antara lain: (1) realitas yang sejati itu tidak pernah ada di

dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan (individu) ketika individu itu berpikir dan

bertindak di dan terhadap dunia; (2) bahwa manusia mengingat dan mendasarkan

pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka;

(3) manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui

berdasarkan manfaatnya bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) apabila

individu ingin memahami orang lain yang melakukan tindakan (aktor), maka individu

yang memahami tersebut harus mendasarkan pemahamana itu pada apa yang

sebenarnya dilakukan / dipikirkan oleh orang lain (Kattsoff, L.O., 1996; Mulyana, D.,

2002).

82

Page 83: MATERI SSBI 2012

Teori interaksionis simbolik juga telah mengilhami perkembagan teori-teori lain

yang berbasis paradigma definisi sosial, antara lain: (a) teori penamaan/ label ( labeling

theory) tentang terjadinya perilaku menyimpang; (2) teori dramaturgi oleh Erving

Goffman; dan (3) teori etnometodologi oleh Harold Garfinkel. Jadi, ketiga teori tersebut

dapat dianggap sebagai varian-varian teori interaksionis simbolik. Berikut ini akan

dijelaskan secara garis besar tentang pandangan teori interaksionis simbolik dalam

memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Pandangan teori Interaksionis Simbolik tentang fenomena sosial-budaya

Menurut para ahli tokoh-tokoh yang mengembangkan teori interaksionis simbolik

antara lain: Horton Cooley; John Dewey; William I. Thomas; Herbert Mead; Herbert

Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik

akan banyak menguraikan pandangan-pandangan George Herbert Mead dan Herbert

Blumer, karena kedua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar

teori interaksionis simbolik. Perspektif teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer

sebenarnya berada di bawah payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam

paradigma ‘definisi sosial’ (Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif

fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap

‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami

tindakan sosial-budaya’. Pandangan teori interaksionis simbolik oleh para ahli juga

sering disebut sebagai teori sosial yang tergolong dalam ‘perspektif interpretif’ dan

berorientasi pada ‘filsafat pragmatisme’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002).

Teori interaksionis simbolik George Herbert Mead

Herbert Mead adalah pemikir terpenting dalam sejarah teori interaksionis

simbolis, dan buku berjudul ‘Mind, Self, and Society’ adalah karya terpenting H. Mead.

Berikut ini beberapa pokok pandangan teori interaksionis simbolik versi H. Mead,

antara lain

Pertama, tentang Tindakan. Dalam menganalisis tindakan, Mead melakukan

pendekatan perilaku dan berfokus pada stimulus (pendorong) dan respon. Menurut

Mead, ‘stimulus sebagai kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai

paksaan atau perintah untuk bertindak’. Mead mengidentifikasi ada empat tahap dasar

yang saling berhubungan dalam bertindak, yaitu: (1) tahap impuls, yaitu tindakan yang

melibatkan ‘respon panca indera secara cepat/ langsung’. Contoh impuls, adalah rasa

lapar dan haus. Respon manusia terhadap stimulus rasa lapar tidak seperti binatang,

karena respon manusia masih melibatkan pikiran dan perasaan; (2) tahap persepsi,

dimana pelaku mencari dan bertindak terhadap stimulasi yang berhubungan dengan

impuls, pada kasus rasa lapar adalah berbagai cara dilakukan untuk meraih perasaan

puas. Orang memiliki kemampuan untuk merasakan atau menerima stimulus melalui

83

Page 84: MATERI SSBI 2012

mendengar, mencium, mengecap, melihat, meraba. Individu tidak hanya merespon

stimulasi eksternal dengan cepat (langsung/ otomatis) tetapi individu memikirkan,

menilainya, melihat pengalaman yang lalu, dan menyeleksi stimulus yang ada untuk

mencari yang terbaik; dan (3) tahap pelaksanaan, yaitu tahap mengambil suatu

tindakan yang memuaskan atau yang dianggap baik dan menyelamatkan hidupnya ke

depan. Menurut H. Mead, manusia merupakan pencipta, pelaku, pelaksana dan

pengarah diri sendiri dalam tindakan atau interaksi (Turner, J. 1982; Surbakti, R.,

1997b) .

Manusia melakukan tindakan sesuatu adalah berdasarkan ‘arti /makna’ yang

dimilikinya, sedangkan asal mula munculnya ‘arti/ makna terhadap sesuatu’ adalah dari

proses interaksi sosial. Jadi, interaksi simbolik memandang ‘arti / makna’ merupakan

produk sosial / hasil modifikasi dari interaksi sosial. Manusia adalah makhluk yang ikut

serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya

sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi selama proses interaksi

(Campbell, T. 1981; Soeprapto, R., 2002).

Dalam bertindak, individu berusaha untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang

diinginkan atau apa yang menjadi tujuannya, menggambarkan arah tingkah lakunya,

memperkirakan situasinya, mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain,

mengecek dirinya sendiri, menggambarkan apa yang akan dilakukan dengan faktor-

faktor lain. Jadi, bagi Herbert Mead, manusia adalah makhluk aktif, dinamik, dan

mampu memodifikasi dan menginterpretasi tindakan dalam proses interaksisosial

(Rossides, D. W. 1978; Abraham, F.M. 1982).

Kedua, tentang Isyarat. Menurut Herbert Mead, isyarat adalah mekanisme dasar

dalam tindakan sosial dan dalam proses-proses sosial di masyarakat. Ada dua macam

isyarat, yaitu: (a) isyarat ‘tidak signifikan’ yaitu tindakan yang muncul karena tidak

diawali dengan kesadaran tinggi; dan (b) isyarat ‘signifikan’, yaitu tindakan yang mucul

dari kesadaran yang tinggi. Isyarat vokal (bahasa) dalam interaksi sosial adalah sangat

penting untuk pengembangan isyarat ‘signifikan’. Jadi, bahasa adalah faktor terpenting

dalam kehidupan manusia, karena dengan bahasa berkembanglah ilmu pengetahuan.

Atau bahasa merupakan simbol yang signifikan dalam proses interaksi sosial. Dengan

menggunakan orientasi pragmatisnya, H. Mead juga melihat ‘fungsi’ dari isyarat pada

umumnya dan simbol signifikan pada khususnya. Fungsi isyarat adalah ‘untuk

melakukan penyesuaian diri bagi individu dan akan diwujudkan dalam tindakan sosial

tertentu sesuai dengan objek tindakan dalam interaksinya’. Simbol signifikan akan

bekerja atau berfungsi lebih baik dalam aktivitas sosial individu dibandingkan isyarat

non signifikan (Turner, J. 1982).

84

Page 85: MATERI SSBI 2012

Ketiga, tentang pikiran. H. Mead menyatakan bahwa ciri unik pikiran manusia

adalah kapasitasnya dalam hal: (1) menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di

sekitarnya; (2) melatih beberapa jalan alternatif untuk menyikapi objek tersebut; (3)

menghalangi jalan yang tidak tepat, yang dapat berakibat buruk bagi individu. Mead

menganggap proses penggunaan bahasa dan simbol sebagai sebuah pelatihan

imajinatif; dan (4) pikiran lebih merupakan ‘proses’ daripada struktur.

Sintesa George Herbert Mead: ‘Pikiran, Diri Sendiri, dan Masyarakat’. George

Herbart Mead menyatukan konsep mereka dalam sebuah teori perspektif yang

koherens yang menghubungkan munculnya pikiran manusia, rasa sosial diri sendiri,

dan struktur masyarakat dengan proses interaksi sosial. Mead mengawali sintesanya

dengan dua asumsi utama. Pertama, kelemahan biologis manusia mendorong mereka

untuk bekerja sama (berinteraksi) dengan orang lain dalam konteks kelompok sosial

agar dapat bertahan dalam hidup, dan kedua, aksi atau tindakan antar individu yang

diwarnai dengan kerja sama sesama anggota, menyebabkan pertahanan dan

penyesuaian diri pada lingkungan mereka akan tetap terjaga dengan baik. Berawal dari

asumsi ini, Mead mereorganisasi konsep mereka agar dapat menunjukkan bagaimana

pikiran, rasa sosial dan diri sendiri, dan masyarakat muncul dan didukung oleh proses

interaksi sosial.

Keempat, tentang ’diri’ (self). Konsep ‘diri’ menurut H. Mead adalah ‘suatu

proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain’. Bagi Mead,

konsep ‘diri’ terletak pada konsep ‘pengambilan peran orang lain’ (taking the role of the

other). Jadi, konsep ‘diri’ merupakan penjabaran ‘diri sosial’ (social self). Oleh karena

itu, bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta

secara sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat

diramalkan. Kesadaran individu adalah pemahaman manusia atas pengalamannya

sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya. Bagi

Mead, perilaku manusia tidak terdeterminasi (tertekan atau ditentukan secara mutlak)

oleh lingkungan (faktor eksternal) sebagaimana paham kaum positivis (teori fungsional

struktural dan teori konflik). Dengan munculnya konsepsi ‘diri’ (self) ini, tindakan

individu mengambil konsistensi, dan kapasitas untuk mendapatkan gambaran diri

sendiri sebagai objek evaluasi dalam interaksi tergantung pada proses pikiran individu.

Manusia adalah makhluk yang memiliki ‘diri sendiri’ (objek dirinya sendiri), artinya

manusia akan melakukan interaksi dengan dirinya sendiri untuk menghadapi dunia

luar, manusia akan menginterpretasi apa yang ada di dunia luar sesuai dengan

pikirannya. Menurut H. Mead, ada tiga tingkatan penting pada pengembangan diri, dan

dapat meningkatkan konsepsi diri yang lebih stabil. (1) tingkat awal, pengambilan

peran dimana gambaran diri dapat ditimbulkan orang terdekat (masa bayi). Dalam

85

Page 86: MATERI SSBI 2012

permainan, bayi hanya mampu mengenal orang-orang di sekitarnya dalam jumlah

terbatas, awalnya mungkin hanya satu atau dua orang yang terdekat. (2) tingkat

kedua, seiring dengan pertumbuhan biologis dan praktek pengambilan peran, individu

dewasa mampu mengambil peran beberapa orang ditambah orang-orang dalam

aktifitas organisasi kelompok; (3) tingkat ketiga, pada pengembangan diri ditunjukkan

saat individu dapat mengambil peran ‘penyamarataan sesama’ atau ‘komunitas tingkah

laku/ etika’ di masyarakat. Pada tingkat ini, individu terlihat mampu mengartikan

perspektif komunitas secara menyeluruh, menangkap simbol-simbol dan

menginterpretasi, nilai dan norma dalam berbagai macam interaksi di lingkungan atau

masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982)..

Kelima, tentang masyarakat. Menurut H. Mead, masyarakat, atau ‘institusi’

adalah menunjukkan proses interaksi yang terorganisasi dan berpola antar individu

dan antar kelompok yang beraneka ragam. Masyarakat juga tergantung pada

kapasitas diri individu , terutama pada proses evaluasi diri dalam penyamarataan

dengan yang lain. H. Mead memandang masyarakat selalu mengalami perubahan

secara terus-menerus, karena keberadaan masyarakat tergantung pada kapasitas ‘diri’

individu atau perkembangan pikiran individu yang bersifat sangat dinamik. Masyarakat

dapat berubah atau dibangun kembali (rekonstruksi) melalui proses yang ditunjukkan

oleh konsep pikiran dan diri sendiri melalui interaksi sosial. Bahwa kehidupan

kelompok manusia (masyarakat) adalah sebuah proses dimana objek-objek diciptakan,

dikukuhkan, ditransformasikan dan bahkan dibuang menurut pikiran individu.

Kehidupan kelompok (masyarakat) dan perilaku manusia akan selalu berubah sejalan

dengan perubahan yang terjadi didalam dunia objek mereka (Surbakti, R., 1997b;

Soeprapto, R., 2002).

Menurut H.Mead, memandang bahwa interaksi sosial dalam masyarakat terjadi

dalam dua bentuk utama, antara lain: (a) percakapan isyarat (interaksi non simbolik);

dan (b) penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Bagi Mead, interaksi

simbolik merupakan interaksi yang sangat penting, dan ada beberapa konsep penting

yang terdapat dalam interaksi simbolik, antara lain: (1) interaksi simbolis adalah

proses-proses formatif dalam haknya sendiri; (2) dalam proses interaksi individu terus

menerus melakukan pengembangan penyesuaian tingkah laku, melalui proses

dualisme definisi dan interpretasi; dan (3) dalam pembuatan proses interpretasi dan

definisi dari tindakan satu orang ke orang lain adalah berpusat pada diri individu.

Keenam, tentang metodologi. Metodologi H. Mead dalam memahami fenomena

sosial adalah seperti Max Weber, yaitu metode interpretif dan introspeksi. Tipologi

pandangan Mead antara lain: (1) interaksi sosial meliputi pemikiran, bahasa dan

kesadaran akan diri sendiri; (2) melalui bahasa individu dapat mempelajari sikap dan

86

Page 87: MATERI SSBI 2012

emosi; (3) karena individu memberikan respons yang cukup berarti, kemudian

merealisasikannya melalui komunikasi verbal dan nonverbal, kehidupan sosial itu

sendiri termasuk ‘saya’ (reaksi terhadap orang lain), dan ‘aku’ (diasumsikan sebagai

sikap); (4) kehidupan sosial itu sediri memiliki sebuah aspek kreatif, dinamik dan

spontan yang memberikan kontribusi bagi pola sosialisasi yang baru dan

mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Dinamiknya (perubahan terus menerus)

dalam kehidupan masyarakat karena masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang

dinamik dan kreatif (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982).

Menurut Kinloch, G. (2005), teori H. Mead tentang masyarakat banyak

menimbulkan beberapa perasalahan atau kelemahan antara lain: (1) sintesis analisis

antara individu dan masyarakat tidak jelas; (2) kualitas evolusi masyarakat juga sangat

umum dan tidak jelas; (3) aspek kreatif dan spontan dari sosial itu sendiri juga hanya

dijelaskan secara umum; dan (4) masalah metodologi pendekatan interpretatif-

introspektif terus berlanjut sehingga menjadi hambatan bagi para peneliti dalam

meyakinkan validasi yang dibuat.

Teori interaksionis simbolik Herbert Blumer

Beberapa asumsi dasar teori Blumer tentang realitas sosial, antara lain: (1) bagi

masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, telah disiapkan sebuah perbuatan

yang berdasarkan mana-makna, yang objeknya terdiri atas dunia mereka. Objek-objek

ini terdiri atas tiga tipe utama: fisikal, sosial, dan abstrak; (2) menggambarkan asosiasi

sebagai suatu ‘proses ketika (masyarakat) memberi petunjuk antara satu dan lainnya

dan menafsirkan indikasi-indikasi lain, seperti tingkah laku manusia yang diinterpretasi

dan dikonstruksi; (3) tindakan tindakan sosial terus menguntruksi sebuah proses yang

para pelakunya mencatat, menafsirkan dan menilai untuk menghadapi situasi mereka;

(4) hubungan secara kompleks tentang tindakan-tindakan yang terdiri atas organisasi,

institusi, pembagian tugas kerangka yang menunjukkan saling bergantung. Jadi,

asumsi dasar Blumer adalah: (1) tindakan didasarkan pada makna dan objek; (2)

tindakan diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan meliputi diri dan peran yang

diambil; dan (4) organisasi sosial (masyarakat) itu bersifat dinamik, atau terus

berubah-ubah, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang

bersifat dinamik.

Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama,

yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada

pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang

dilakukan dengan orang lain sepanjang hidupnya, dan (c) makna-makna tersebut

disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Turner, J. 1982;

87

Page 88: MATERI SSBI 2012

Soeprapto, 2002). Pada dasarnya banyak sudut pandang H. Mead dan H. Blumer

tentang fenomena sosial berada pada titik temu pemikiran yang relatif sama, oleh

karena itu berikut ini dikemukakan kesimpulan dari beberapa titik kesamaan

pandangan kedua teoritikus interaksi simbolik.

Kesamaan H.Mead dan H. Blumer dalam memahami fenomena sosial

Berikut ini merupakan pokok-pokok pandangan teori interaksionis simbolik

Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau

tindakan sosial individu dalam masyarakat, antara lain:

1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead

maupun Blumer, antara lain: (a) sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada

di dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan

terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia

tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu

sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya

adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang

dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi

hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan

‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002); dan (b) dalam pandangan teori

Interaksionis simbolik H Mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah dari waktu

ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan lingkungannya; Tujuannya;

Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan; Aturan-aturan; Peralatannya

dan sebagainya. Oleh karena itu memahami manusia harus dengan pendekatan

dinamik dan kontekstual serta menyelami pikiran atau pendangannya dalam

kehidupan sehari-hari (Rossides, D. W. 1978; Poloma, 1979).

2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun Blumer,

antara lain: (a) bahwa individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu

merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya

(tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek

tersebut; (b) ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis,

tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan fungsional

struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam

mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai dengan

kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu bersifat aktif

bukan pasif (Surbakti, R., 1997b; Ritzer, 2001); dan (c) dalam pandangan teori

Interaksionis simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial,

karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui

penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari

88

Page 89: MATERI SSBI 2012

waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan

ditemukan individu dalam proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

3. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang proses interaksi sosial. Baik

versinya Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk

menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial.

Kunci dalam proses interaksi sosial adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu

yang ‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau

antar kelompok individu dalam masyarakat adalah melibatkan suatu pertukaran

simbol. Contoh, kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut

kata mobil, maka antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran

masing-masing (jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil, dan sebagainya) walaupun

wujud mobil itu tidak terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam

proses interaksi sosial merupakan ‘pertukaran simbol’ (Rossides, D. W. 1978;

Ramlan, S., 1997).

4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran

adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan objek

di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol (Turner,J.,

1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam pandangan

fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan ‘Diri’ (self)

pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang sebagai subjek

sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya pengalaman sosial.

Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil peranan orang lain’

dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam proses interaksi sosial tidak

ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan ditentukan oleh faktor internal, yaitu:

pikirannya, motivasinya, pengetahuannya, pandangan hidupnya. Jadi, kualitas

faktor internal tersebut itulah yang membentuk objek, menilai berdasarkan makna

dan memutuskan untuk berbuat berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma,

2000).

5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Masyarakat’, baik versi Mead

maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi,

tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat.

Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan

masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu

terus berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem

sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya itu sendiri dirumuskan

individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang

berbeda (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Soekanto, 2002).

89

Page 90: MATERI SSBI 2012

6. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik H.

Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari hubungan

sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang terstruktur,

pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah sosok dinamis; (b)

Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan

sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok selalu berubah dan

tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial, adalah bersifat individu

dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk menginterpretasikan

situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri; (d) Interaksi sosial,

adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri sendiri; Interaksi sosial

mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa menciptakan pemikiran dan

kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa;

Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua di konseptualisasikan sebagai sebuah

proses dari apa yang dia amati selama interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri

memiliki aspek kreatif dan spontan (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Kinloch, 2005).

Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik

(paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simbolik (paradigma definisi sosial)

dalam memahami fenomena perubahan sosial budaya antara lain:

1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat

ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan

memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di

masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial

budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu

perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, ekonomi,

struktur sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens

diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985).

2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial

budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam

membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-budaya

melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses interaksi

sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik, posisi individu

dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif, terdeterminasi oleh struktur

norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang tidak punya kreativitas,

semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor eksternalnya’ (Rossides, D.

W. 1978; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

90

Page 91: MATERI SSBI 2012

G. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Fenomenologi

1. Fenomenologi dalam perspektif filsafat

Sebelum menjelaskan beberapa pandangan teori fenomenologi terhadap

kehidupan sosial-budaya, penulis memandang perlu untuk menguraikan secara singkat

tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat. Aliran fenomenologi juga dikenal dalam

dunia kajian filsafat, dan diantara tokoh terkenal dari metode atau aliran fenomenologi

dalam studi filsafat adalah Edmund Husserl (1859-1938). Berikut ini merupakan

beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat antara

lain:

Pertama, Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup

(gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl,

objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang

kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.

Kedua, menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung

oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas

antar individu yang ada dalam komunitas tersebut.

Ketiga, metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri

antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek

pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari

unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari

unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi

adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan

intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala.

Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa

adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi

empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun

fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’

merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui

sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh)

dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang

dirinya sendiri’.

Keempat, ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena

dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya

adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan

sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh

fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’

yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan

91

Page 92: MATERI SSBI 2012

‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam

pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas

disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam

kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2)

reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi,

aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena

aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek

adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas)

yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki.

Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus

menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten;

dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek,

atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.

Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang

menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental,

bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni

atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi

fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli

dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978; Bachtiar, W., 2006)

Kelima, tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan

bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para

fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi

(tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut

memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu

saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan

yang berpaham strukturalis, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum

menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama

tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir

yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan

hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi

filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).

2. Fenomenologi dalam perspektif teori

Menurut para ahli, teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi mempunyai

kesamaan pandangan, yang menganggap bahwa ‘kesadaran atau jiwa manusia dan

makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Oleh karena

92

Page 93: MATERI SSBI 2012

itu, baik teori fenomenologi maupun teori interaksionis simbolik adalah sering disebut

sebagai teori dalam ‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002).

Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa teori interaksionis simbolik

dan teori fenomenologi adalah teori-teori sosiologi yang berparadigma definisi sosial

atau berparadigma interpretif. Berikut ini kesimpulan sosiolog Burrell dan Morgan

(1994) tentang ciri-ciri pandangan paradigma interpretis dalam memahami fenomena

sosial-budaya, antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa adanya, atau

menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas

individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus memahami

fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu) secara terus

menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai,

motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan sosial

tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial eksternal (realitas sosial

eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Jadi, yang menentukan sesuatu itu

bermakna atau tidak adalah pikiran dan jiwa individu. Disamping itu paradigma ini

bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai

keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi); dan (4) berorientasi pada

ideologi atau aliran filsafat idealisme. Disamping itu, paradigma ini dalam studi

sosiologi bersifat mikro (studi tentang individu dan organisasi yang kecil). Teori-teori

sosiologi yang termasuk dalam paradigma ini adalah: teori interaksionis simbolik, teori

fenomenologi, teori ethnometodologi, teori tindakan rasional Weber (Soerbakti, R.,

1979b; Soeprapto, R. 2002). Fenomenologi dalam perspektif filsafat oleh Husserl

tersebut kemudian dikembangkan dalam teori sosiologi oleh Alfred Vierkandt; Alfred

Schutz; dan Harold Garfinkel. Kajian tentang teori fenomenologi berikut ini adalah

menitikberatkan beberapa pandangan teoritikus fenomenologi Alfred Schutz dan

Harold Garfinkel.

Beberapa pokok pikiran teori atau pendekatan fenomenologi versi Alfred Schutz

(1899-1959), antara lain: Pertama, Schutz menganalisis tentang fenomena sosial-

budaya di masyarakat mendasarkan pada aspek pengalaman-pengalaman individu

(hal ini bertolak belakang dengan pandangan teori-teori yang berbasis stuktural).

Pandangan Schutz banyak berorientasi pada piranti-piranti filsafat fenomenologi

Edmund Husserl. Schutz menyetujui metode atau pandangan Husserl tentang

‘memahami realitas sosial-budaya dengan menganalisis kondisi ‘batiniah individu’,

yakni beragam pengalaman individu tentang fenomena hidup, yang ia sebut ‘arus

kesadaran’. Menurut Husserl segala objek kehidupan sosial-budaya dipahami melalui

kesadaran pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu untuk

menghasilkan ‘apersepsi’ (pemberian makna secara spontan terhadap objek). Jadi,

93

Page 94: MATERI SSBI 2012

semua kesadaran adalah kesadaran akan sebuah objek, oleh karena itu realitas objek

merupakan konstruksi individu (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

Kedua, kesadaran mengkonstruksi tersebut merupakan wujud kemampuan

individu dalam merefleksi (yaitu bercermin diri untuk melihat apa sisi negatif dan positif,

lalu mengambil langkah ke depan yang terbaik) terhadap beragam fenomena

kehidupan sehari-hari. Dengan merefleksikan beragam peristiwa masa lampau dipadu

dengan pengetahuan yang ada, individu menganalisis dunia sebagaimana dunia itu

tampak pada kesadaran individu, mengidentifikasi dan memeriksa ‘beragam objek’.

Jadi, menganalisis terhadap fenomena sosial-budaya di masyarakat harus

mendasarkan kepada beragam pengalaman individu yang dihayatinya. Beragam

pengalaman individu di masa lalu dan pengetahan yang dimiliki akan menjadi landasan

untuk bertindak dan mengambil sikap terhadap ‘dunia kehidupan sehari-hari’.

Perpaduan pengalaman dan pengetahuan tersebut akan menghasilkan ‘tindakan

bermakna’, artinya individu melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kesadaran dan

terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Schutz, bahwa manusia hanya bisa

mulai memahami makna tindakan individu ketika individu itu melihat kembali pada saat

melakukan refleksi. Kemudian manusia dapat menyeleksi unsur-unsur pengalamannya

yang memungkinkan untuk melihat tindakan-tindakan dia sendiri yang bermakna

(Cambell, T., 1981).

Ketiga, pengalaman masa lalu yang banyak mewarnai tindakan individu

merupakan ‘pra-fenomenal’. Bagi Schutz pra fenomenal adalah sesuatu yang

fundamental untuk kehidupan manusia sehari-hari. Pengalaman masa lalu dan

pengetahuan yang dimiliki individu akan membangun kesadaran untuk melakukan

‘tindakan bermakna’ bagi masa depan. Oleh karena itu kehidupan sehari-hari manusia

adalah sebuah ‘orientasi pragmatis ke masa depan’. Manusia adalah makhluk yang

berpotensi memunculkan masalah dan menyelesaikan masalah, sehingga manusia

selalu membangun ‘kesadaran diri yang aktif/ dinamik’ atau ‘motivasi diri supaya lebih

baik di masa depan’. Untuk menyelamatkan atau memecahkan masalah tersebut

manusia ‘mendefinisikan’ situasinya, artinya individu harus memutuskan dan

menetapkan dalam situasi macam apakah ia berada, untuk bisa memecahkan masalah

dan meraih tujuan. Agar manusia dapat mendefinisikan situasinya, maka manusia

berbekal pengalaman dan pengetahuan untuk melakukan ‘identifikasi objek’.

Kemampuan individu dalam ‘mengidentifikasi’ sesuatu untuk ‘mendefinisikan’ objek

apapun berdasarkan ‘pengalaman dan pengetahuannya’ (misalnya, mobil, rumah,

binatang, pohon dan sebagainya), oleh Schutz disebut ‘tipifikasi’ (typification). Jadi,

apa yang dilakukan manusia (individu) adalah menyusun sebuah ‘dunia-dunia’ yang ia

94

Page 95: MATERI SSBI 2012

‘maksudkan’ dalam kesadarannya sehari-hari, dengan memakai tipifikasi-tipifikasi yang

diteruskan kepadanya oleh kelompok-kelompok sosialnya.

Keempat, pandangan Schutz tentang masyarakat antara lain: (1) pada diri

manusia ada kesadaran akan kehidupan secara bersama, hal ini merupakan

‘kesadaran sosial’. Kesadaran sosial ini berlangsung dengan dua cara, yaitu: (a)

kesadaran ‘mengandaikan’ adanya kegiatan orang lain yang dialami bersama dalam

tindakan sosial untuk saling memberi reaksi; dan (b) kesadaran memakai tipifikasi-

tipifikasi yang diciptakan dan dikomunikasikan dalam kelompok sosial (kehidupan

bersama); (2) sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas linguistik. Masyarakat

berada melalui simbol-simbol komunikasi timbal balik antar individu. Oleh karena itu

kesadaran sehari-hari juga merupakan kesadaran sosial atau kesadaran yang

diwariskan secara sosial (dibelajarkan/ disosialisasikan) mengenai masyarakat. Jadi,

dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia ‘inter-subjektif’, keberadaan kelompok

bukanlah ‘milikku’ tetapi ‘milik kita’, konsep hubungan inter subjektif merupakan

hubungan kita (we-relationship); (3) antar individu menjalin hubungan langsung (tatap

muka) dan hubungan tak langsung atau hubungan-hubungan mereka (they-

relationships) untuk membentuk totalitas masyarakat. Masyarakat adalah sebuah

konstruksi tipe-tipe ideal yang didefinisikan menurut fungsi-fungsi individu yang

bersangkutan; dan (4) masyarakat sebagai sebuah sistem peran-peran dan institusi-

institusi tempat para individu harus menyesuaikan diri. Jadi, masyarakat merupakan

produk kultural para individu. Masyarakat merupakan sebuah konsep pragmatif (nilai

guna/ manfaat) yang dipakai untuk menata beragam pengalaman individu untuk

harapan dan tujuan hidup bersama (Rossides, D. W. 1978; Cambell, T., 1981; Ritzer,

G and Smart, B. (ed). 2001).

Salah satu sosiolog yang mendapat pengaruh dari pandangan Schutz adalah

Harold Garfinkel (Bachtiar, W. 2006). Berikut ini beberapa pokok pikiran atau

pandangan teoritikus Harold Garfinkel, antara lain: Pertama, meskipun Garfinkel

mengakui pandangan atau teorinya dipengaruhi oleh pola pikir Max Weber, tetapi

pandangan-pandangan Schutz dijadikan sebagai sumber pokok dalam membangun

teorinya yang dia sebut ‘teori etnometodologi’. Jadi, Garfinkel tidak menamakan

teorinya dengan ‘teori fenomenologi’ seperti Schutz, tetapi menyebutnya ‘teori

etnometodologi’. Pada pokoknya, esensi sudut pandang teori etnometodologi tentang

fenomena sosial adalah relatif sama dengan teori fenomenologi, yaitu ‘meletakkan

aspek pikiran, jiwa, pandangan atau potensi agen (dimensi internal) sebagai penentu

dalam melakukan tindakan sosial dan proses-proses sosial, dan menolak pandangan

struktur sosial (dimensi eksternal) sebagai penentu proses-proses sosial di

masyarakat’.

95

Page 96: MATERI SSBI 2012

Kedua, kajian etnometodologi menekankan bahwa aksi-aksi sosial-budaya dan

organisasi sosial diproduksi oleh agen-agen (individu) yang dipahami mampu

mengarahkan aksinya (tindakannya) dengan mengunakan rasionalisasi pikiran sehat

(common sense) yang sesuai dengan situai atau kondisi yang dialami oleh individu

(agen) dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, Garfinkel dengan teorinya etnometdologi juga sama-sama mempunyai

pandangan seperti teori fenomenologi, yaitu menfokuskan pada makna dan bagaimana

makna tersebut secara inter-subjektif dikomunikasikan dalam kehidupan sosial.

Menurut Garfinkel, bahwa: (a) perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan

sesuatu yang lebih memiliki makna dari pada langsung kata-kata itu sendiri; (b)

perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum; (c)

pemahaman secara umum yang menyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan

tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara inter-subjektif;

dan (c) transaksi dan peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional.

Keempat, menurut Garfinkel setiap peneliti sosial-budaya dalam menganalisis

fenomena sosial-budaya harus mengamati dan mempertanyakan pada setiap agen,

bagaimana pandangan, motivasi tentang tindakan sosial sehari-hari untuk

mendapatkan penjelasan dan pengertian secara benar. Jadi, setiap peneliti harus

terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengamati dan memahami makna-

makna yang sebenarnya dari proses ‘inter-subjektif’ para agen dalam kehidupan

sehari-hari (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Bachtiar, W. 2006).

H. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Posmodern

Uraian singkat tentang pandangan teori postmodern berikut ini diawali dari

pembahasan singkat tentang dua hal, yaitu: Pertama, pengertian tentang post-

modernisme; dan Kedua, beberapa pandangan teori post-modern tentang fenomena

sosial budaya

Pengertian post-modernisme

Istilah ‘post-modern’ pertama kali muncul pada tahun 1930 yang dipakai oleh

Federico de Onis dalam bidang seni, kemudian berikutnya istilah ‘post-modernisme’

dipakai di bidang historiografi oleh sejarawan A. Toynbee pada tahun 1947 (Sugiharto,

B., 1996). Menurut para ahli, tidak ada definisi atau pengertian yang sama tentang

post-modernisme yang dikemukakan oleh para ahli, karena setiap bidang kajian

(disiplin ilmu) telah mendefinisikan post-modernisme sesuai dengan sudut pandang

bidang kajian atau keilmuan masing-masing, contoh, pengertian post-modernisme

menurut seorang seniman atau sastrawan akan berbeda sudut pandangnya dengan

96

Page 97: MATERI SSBI 2012

seorang ahli dibidang arsitektur, atau berbeda dengan sosiolog, ekonom, politikus,

filosof, dan sebagainya.

Berikut ini merupakan beberapa konsep tentang pengertian post-modernisme,

ditinjau dari beberapa bidang kehidupan, antara lain:

1. Post-modernisme, bermakna hilangnya batas antara seni dan kehidupan,

hilangnya batas budaya tinggi dan budaya rendah yang dikonsepsikan oleh

modernisme, peleburan segala batas yang diusung oleh modernisme. Hal ini

berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi seni-budaya.

2. Post-modernisme, bermakna munculnya atau berkembangnya kecenderungan pola

kehidupan yang bertolak belakang dengan segala macam gaya hidup modern,

bebasnya daya naluri setiap individu, membumbungnya kesenangan material

individu, tingginya intensitas ketegangan struktural masyarakat akibat pola hidup

modern. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi

sosial-ekonomi.

3. Post-modernisme, bermakna logika kultural yang membawa transformasi budaya

secara terus menerus disemua unsur-unsur budaya pada umumnya. Hal ini berarti

pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi kebudayaan.

4. Post-modernisme, bermakna adanya dominasi teknologi reproduksi dalam

jaringan-jaringan global kapitalisme multikultural dengan berbasis teknologi

informatika dan komunikasi. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme

dintinjau dari segi teknologi-ekonomi.

5. Post-modernisme, bermakna peleburan segala batas, wilayah dan keberagaman

budaya tinggi-rendah, penampilan dengan kenyataan, terjadinya intensifikasi

dinamisme hidup dalam segala hal, upaya tidak henti-hentinya melakukan inovasi,

eksperimentasi dan revolusi sosial secara terus menerus. Hal ini berarti pengertian

konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial.

6. Post-modernisme, bermakna ketidakpercayaan segala bentuk narasi besar

(generalisasi konsep yang diusung modernisme), penolakan filsafat metafisis,

filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang baku (mentalisasi) seperti:

Hegelianisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme dan sebagainya,

atau post-modernisme merupakan suatu paham yang menunjuk pada segala

bentuk refleksi kritis atas beragam paradigma (paham-paham) modernisme. Hal ini

berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi filsafat (Sugiharto, B.,

1996).

Diantara faktor penyebab kekaburan makna istilah ‘post-modernisme’ adalah

adanya awalan ‘post’ dan akhiran ‘isme’. Awalan ‘post’ dalam post-modernisme adalah

untuk menunjukkan pada situasi waktu dan tata sosial sebagai produk teknologi

97

Page 98: MATERI SSBI 2012

informasi, globalisasi, gaya hidup cenderung hedonis, konsumerisme yang berlebihan,

deregulasi pasar, usangnya negara-bangsa, dan penggalian kembali beragam inspirasi

tradisi lokal. Sedangkan akhiran ‘isme’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjuk

pada paham, pandangan, atau kritik-kritik filosofis, atau gambaran dunia (world view),

epistemologi dan ideologi-ideologi modern yang dianggap telah mapan.

Pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial

Menurut para ahli, ilmuwan sosial yang dapat dikategorikan sebagai tokoh dan

pendukung teori post-modern, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kelompok

teoritikus post-modern dekonstruktif, antara lain: Derrida; Lyotard; Foucault; Rorty; dan

Baudrillard; dan (2) kelompok teoritikus post-modern konstruktif (revisioner), antara

lain: Heidegger; Gadamer; Recoeur; Mary Hesse; dan Jomeson. Dalam perdebatan di

kalangan ilmuwan sosial di Indonesia, kelompok kedua (kontruktif atau revisioner) tidak

banyak disinggung dalam berbagai kegiatan, kajian, atau diskusi ilmiah, karena

pandangan kelompok post-modern konstruktif ini mempunyai kecenderungan tidak

berseberangan secara ekstrim dengan modernisme, atau tidak memposisikan tentang

perbedaan modernisme dengan post-moderinsme bagaikan langit dan bumi atau

bagaikan hitam dan putih, tetapi kelompok post-modernisme kontruktif memandang

bahwa ‘post-modernisme hanyalah kritik imanen yang hendak mengoreksi atau

merevisi beberapa kelemahan atau kekurangan dari pandangan-pandangan

modernisme yang lekat dengan kemapanan, kebakuan, keuniversalan (Sugiharto, B.,

1996). Berikut ini akan dikemukakan beberapa pokok pandangan teoritikus post-

modern Jomeson dan Baudrillard.

Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Fredric Jomeson (1984), antara

lain: Pertama, pandangan Jomeson oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada

paham teori post-modern yang bersifat ‘moderat’, artinya ‘tidak ada pemisahan waktu

secara radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas, keduanya

mempunyai hubungan atau kesinambungan dalam proses-proses kehidupan’. Oleh

karena itu Jomeson, menolak pandangan kalangan teoritikus post-modern ‘radikal’

(misalnya Lyotard dan Baudrillard), bahwa ‘teori Marxian adalah narasi besar , par-

excellence, sehingga dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan post-modernitas’.

Bagi Jomeson, teori Marxian merupakan teori yang mampu menawarkan penjelasan

terbaik tentang post-modernitas. Jomeson termasuk teoritikus Marxian, oleh karena itu

dia menilai tentang kapitalisme, bahwa ‘kapitalisme menciptakan pembebasan dan

kemajuan yang sangat berharga, tetapi pada waktu bersamaan kapitalisme

meningkatkan penindasan dan alienasi kehidupan sosial’.

Kedua, menurut Jomeson, ada tiga tahap dalam sejarah kapitalisme, yaitu: tahap

pertama adalah kapitalisme pasar (munculnya pasar nasional); tahap kedua, adalah

98

Page 99: MATERI SSBI 2012

imprialis (munculnya jaringan kapitalis global); dan tahap ketiga adalah kapitalisme

akhir (munculnya ekspansi kapital luar biasa). Analisis Jomeson tentang teori post-

modern adalah berbasis pada analisis kultur ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh

model basis konsep infrastruktur dan suprastruktur karya Karl Marx. Jadi, Jomeson

menghubungkan antara kultur realitas dengan kapitalisme pasar, kultur modernis

dengan kapitalisme monopoli (imprialis), dan kultur post-modern dengan kapitalisme

multinasional (kapitalisme akhir atau kapitalisme modern).

Ketiga, bagi Jomeson, masyarakat post-modern mempunyai beberapa ciri,

antara lain: (1) produk kultural masyarakat post-modern banyak ditandai oleh serba

dangkal dan sulit dipelajari makna kedalamannya, karena sulit dibedakan yang asli dan

palsu; (2) kehidupan masyarakat post-modern banyak ditandai oleh sikap kepura-

puraan dan kelesuan emosi. Kehidupan post-modern, alienasi telah digantikan oleh

fragmentasi, sehingga kehidupannya ‘mengambang bebas dan impersonal’; (2)

kehidupan post-modern ditandai oleh hilangnya makna kesejarahan. Hilangnya

kesejarahan ini menyebabkan ‘kanibalisasi acak semua masa lalu’. Pemikiran post-

modern bersifat pastiche, yaitu pemikiran yang kadang-kadang kontradiktif dan

membingungkan tentang makna masa lalu. Padahal realitas kehidupan membuktikan

bahwa ‘kehidupan sosial budaya masa lalu mempunyai keterkaitan erat dengan masa

kini dan masa akan datang’; (3) terdapat sejenis teknologi baru yang berkaitan erat

dengan masyarakat post-modern, yaitu teknologi reproduksi dominan, misalnya

dominannya media elektronika dan komputer yang canggih dalam segala aspek

(Ritzer, G. 2003).

Jadi, Jameson menilai, bahwa kehidupan manusia di era post-modern adalah

terkatung-katung dan tidak mampu memahami sistem kapitalis multinasional atau

pertumbuhan kultur yang meledak-ledak di tempat mereka hidup’. Oleh karena itu bagi

Jameson masalah sentral dalam kehidupan post-modern adalah ‘kehilangan

kemampuan manusia untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang (space) dimana

dia hidup dan untuk meletakkannya secara kognitif’ (Ritzer, G and Goodman, D.J.

2003).

Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Jean Boudrillard antara lain:

Pertama, pandangan Boudrillard oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham

teori post-modern yang bersifat ‘radikal’, artinya ‘terdapat pemisahan waktu secara

radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas’. Boudrillard menolak

seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu, dan dia memusatkan perhatiannya

pada upaya menganalisis masyarakat masa kini yang menurutnya tidak lagi didominasi

oleh produksi, tetapi lebih didominasi oleh ‘media, model sibernetika dan sistem

pengendalian komputer, pemrosesan oleh teknologi informasi, industri hiburan dan

99

Page 100: MATERI SSBI 2012

kemajuan ilmu pengetahuan (science)’. Menurut Boudrillard kehidupan masyarakat

modern mengalami proses diferensiasi, maka kehidupan post-modern dapat

dipandang mengalami proses de-diferensiasi (Ritzer, G. 2003).

Kedua, menurut Boudrillard kehidupan post-modern ditandai oleh simulasi atau

‘manusia hidup di abad simulasi’. Proses simulasi mengarah kepada penciptaan

reproduksi objek atau peristiwa, sehingga semakin sulit membedakan yang asli dan

yang palsu (dunia imitasi yang luar biasa di berbagai aspek). Jadi, simulasilah yang

menggambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama dan yang berkuasa.

Kehidupan manusia menjadi budak simulasi, yang membentuk sistem lingkaran yang

tidak berujung pangkal.

Ketiga, kehidupan sosial-budaya post-modern oleh Boudrillard dilukiskan sebagai

hiperrealitas, artinya informasi tentang segala aspek kehidupan didominasi oleh

teknologi informasi media (TV, Internet, Tabloid, Surat Kabar), sehingga informasi

media sering dianggap sebagai realitas sosial-budaya, bahkan isi informasi media

melebihi dari realitas itu sendiri. Sering masyarakat tidak menyadari telah disuguhkan

kebohongan dan distorsi realitas yang diusung oleh media (fenomena inilah disebut

hiperrealitas). Akibatnya adalah ‘bahwa apa yang nyata (realitas sosial-budaya)

disubordinasikan), dan terasa semakin sulit membedakan mana informasi realitas

sosial-budaya yang nyata dengan realitas yang sekedar tototan (info-komersial).

Keempat, bagi Boudrillard, era post-modern telah menyuguhkan perubahan

kultur (budaya) yang bersifat revolusi besar-besaran dan dapat dianggap sebagai

bencana besar. Revolusi kultural (revolusi budaya) itu menurut Boudrillard

menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin aktif (memberontak)

seperti pandangan Karl Marx. Massa yang pasif, ketidakacuhan, apatis merupakan

gambaran yang tepat untuk melukiskan adanya kejenuhan massa terhadap apa yang

dilakukan media, simulasi, dan hiperrealitas. Kondisi kehidupan seperti ini melukiskan

massa sebagai sebuah ‘lubang hitam’. Menurut Kellner, visi teori post-modern

Boudrillard adalah ‘ledakan makna dalam media terhadap realitas; ledakan kehidupan

sosial ke dalam massa; ledakan massa ke dalam lubang hitam nihilisme; dan

ketidakbermaknaan kehidupan’.

Uraian singkat pandangan teori post-modern Boudrillard tersebut terasa cukup

untuk memposisikan Boudrillard sebagai teoritikus post-modern radikal. Dia menolak

seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu. Dia menilai kehidupan post-modern

atau masyarakat masa kini sebagai kultur yang mati, disamping itu kehidupan

masyarakat masa kini sudah mulai kelihatan terlalu primitif. Kehidupan masyarakat

masa kini (seperti Amerika Serikat) oleh Boudrillard dianggap tidak mungkin terjadi

reformasi sosial, yang terlihat adalah malapetaka kehidupan simulasi, hiperrealitas,

100

Page 101: MATERI SSBI 2012

dan ledakan segala sesuatu ke dalam ‘lubang hitam’ yang tidak dapat dimengerti

(Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003; Ritzer, G. 2003).

Beberapa kritik terhadap teori post-modern

Beberapa kritik yang dikemukakan para ahli tentang pandangan teori post-

modern, antara lain: Pertama, diantara penyebab terjadinya pandangan negatif

terhadap post-modernisme, antara lain: (a) kecenderungan adanya pandangan umum

yang menyamakan asumsi-asumsi post-modernisme itu dengan asumsi-asumsi

kelompok post-strukturalis yang pada umumnya adalah kaum neo-Nietzschean, atau

post-modernisme diidentikkan dengan kaum dekonstruksionis, yaitu kerjanya ‘hanya

mengbongkar-bongkar segala tatanan sosial-budaya yang ada dan menihilkan segala

sesuatu yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat; (b) post-modernisme sering

dinilai atau dipandang memiliki makna yang ‘ambigu’ (pengertian yang sangat longgar

dan memungkinkan adanya multitafsir). Ambiguitas dan kelonggaran makna terhadap

post-modernisme, adalah relevan atau sesuai dengan sulitnya mendefinisikan istilah

‘modern atau kemodernan’ itu sendiri. Makna istilah ‘modern’ atau ‘kemodernan’ juga

memungkinkan adanya multitafsir di kalangan ilmuwan sosial, artinya makna atau arti

‘modern’ akan memberikan pengertian dan penafsiran yang berbeda dari sudut politik,

ekonomi, ideologi, bahasa, nilai-norma budaya, hukum, agama, pendidikan, teknologi,

dan sebagainya (Sugiharto, B., 1996). Contoh tentang terjadinya multitafsir tentang

makna ‘negara modern’, yaitu suatu negara tertentu (X) bisa dikatakan sebagai

‘negara/ masyarakat modern’ ditinjau dari segi teknologi, tetapi bisa juga negara (X)

tersebut belum bisa disebut sebagai negara modern apabila ditinjau dari segi norma

budaya dan agama.

Kedua, teori post-modern dikritik karena kegagalannya untuk berbuat sesuai

dengan standar ilmiah modern (standar saintis yang dihindari oleh post-modern). Ide-

ide post-modern tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset-riset empirik, ilmiah

(saintis), dan paradigma objektivis. Semua standar saintis modern ditolak oleh post-

modern. Ide-ide teori post-modern tidak menawarkan narasi besar, tetapi potongan-

potongan gagasan yang sering kelihatan kontadiksi satu sama lain; Ketiga, karena

pengetahuan yang dihasilkan oleh post-modern tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh

ide-ide saintis, kebenaran empirik (objektivis), melainkan subjektivis, maka ide-ide

kebenaran post-modern lebih bersifat ideologis, sehingga dibicarakan itu bukan ide-ide

itu benar atau tidak, melainkan apakah manusia percaya atau tidak terhadap ide

tersebut. Keempat, karena kerangka berpikir post-modern tidak didasarkan pada

norma dan logika saintis (logika deduktif), maka post-modern bebas untuk melakukan

apa yang mereka suka, ada yang menyebut post-modern ‘bermain-main’ dengan

berbagai macam ide. Oleh karena itu generalisasi umum (luas) yang ditawarkan post-

101

Page 102: MATERI SSBI 2012

modern sering tidak berkualitas menurut standar positivisme. Oleh karena itu asumsi-

asumsi post-modern tentang fenomena sosial-budaya sulit diterima oleh kalangan

saintis sosial; Kelima, ide-ide post-modern tentang fenomena hidup sering kali sangat

kabur dan abstrak, sehingga sulit ditangkap atau dipahami secara logis sistematis dan

objektif, karena konsep-konsep dasar ide post-modern sering berubah-ubah.

Keenam, dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern sering kali melancarkan

kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan

validitasnya, karena pada umumnya kritik mereka kekurangan basis normatif (landasan

ilmiah) untuk membuat penilaian; Ketujuh, karena pandangan teori post-modern

menolak pendekatan subjek dan subjektivitas, maka teori post-modern sering kali

kekurangan suatu teori tentang agen (subjek). Disamping itu teoritisi sosial post-

modern paling-paling bisa mengkritik masyarakat, tetapi kekurangan visi tentang

bagaimana masyarakat itu seharusnya, karena teori post-modern cenderung bersifat

sangat pesimis dalam menyikapi atau menilai proses kehidupan; dan Kedelapan,

sering teoritisi sosial post-modern menilai dirinya telah terlibat pada kajian isu-isu

sosial utama, tetapi dalam kenyataannya mereka sering mengabaikan hal-hal yang

dianggap sebagai problem penting di masa sekarang (Ritzer, G and Goodman, D.J.

2003).

Meskipun banyak sisi negatif atau titik kelemahan dari teori post-modern

sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kehadiran teori post-modern memberikan

sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi modern, antara

lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif

bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi konvensional

dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur. Hal ini tentu

dapat mendorong terjadinya dinamika pemikiran kritis dalam memahami fenomena

sosial-budaya yang sangat kompleks; (2) teori post-modern yang menolak adanya

‘narasi besar atau narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi lokal atau narasi mikro’,

secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para

teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan

(3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan,

kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah

ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi

pandangan), sehingga kehidupan mampu menyajikan diferensiasi multi aspek (Ritzer,

G. 2003).

I. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi

Pembahasan tentang perspektif teori integrasi dalam memahami fenomena

sosial budaya berikut ini, hanya menyinggung tentang tiga hal, antara lain: Pertama,

102

Page 103: MATERI SSBI 2012

embrio atau cikal bakal munculnya teori integrasi; Kedua, beberapa pandangan teori

integrasi ’mikro-makro’ Ritzers; dan Ketiga, beberapa asumsi teori integrasi ’strukturasi’

Giddens .

Embrio munculnya teori integrasi

Ditinjau dari segi ‘analisis sosial-budaya’, para ahli ilmu sosial membedakan

menjadi dua macam pendekatan kajian atau analisis terhadap fenomena sosial

budaya, yaitu: Pertama, analisis teori mikro dan; Kedua, analisis teori makro. Analisis

teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau penggerak

proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori makro,

memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek) menentukan

berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson, 1991; Salim, A.

2002). Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemuka di abad 20 adalah: (a)

teori determinisme kultural (teori fungsional-struktural) oleh Talcott Parsons (1966),

tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep

mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka atau

bebas berkreativitas; (b) teori konflik versi Karl Marx dengan pendekatan ‘ekonomi

sentris’ dan versi Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi

yang dikoordinasi secara imperatif’; (c) teori makrostrukturalisme oleh Peter Blau

(1977), yang mengaku ‘aku adalah seorang determinis struktural’; dan (d) teori jaringan

sosial oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘unit analisis dalam sosiologi

struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada

peran individu’.

Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini

adalah: (1) teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti

pemahaman teori ini adalah ‘kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses

interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan

simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’;

(2) teori fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat

unsur pokok yaitu: (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah

penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses

pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka;

(d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) teori etnometodologi

oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan

sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) teori

pertukaran sosial oleh George Homans, dan teori behavioral sosiologi oleh Skinners,

juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002). Dari uraian

tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa:

103

Page 104: MATERI SSBI 2012

a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam

memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang

pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan

mungkin sampai sekarang.

b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai

keterbatasan analisis argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara

utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing

terbatas pada lingkup paradigmanya.

c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke

depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro-makro,

dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial)

tentang suatu fenomena sosial-budaya (Creswell, J.W. 1994; Giddens, A. 1995).

Pendekatan terpadu atau integrasi dalam memahami realitas fenomena sosial-

budaya, secara implisit, sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritikus sosial

terkemuka sebelumnya. Pandangan keempat teoritikus berikut ini dapat dikatakan

sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma terpadu atau teori sosial integratif.

Sedangkan pokok pikiran para teoritukus tersebut antara lain:

1. Emille Durkheim, yaitu asumsi tentang pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas

barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non

material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan

kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif.

Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan tentang kaitan secara jelas antara unit-unit

realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Jadi, konsep Durkheim tentang

pendekatan terpadu dalam memahami fenomena sosial belum lengkap, dan

penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (lebih menekankan

pendekatan struktural). Apabila individu mempunyai kebebasan dalam bertindak,

maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur makro (faktor eksternal)

(Durkheim, E. 1974; Baal,V.J., 1987).

2. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi

analisis Marx terhadap fenomena sosial tetap memberikan tekanan yang lebih besar

kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif

dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif,

kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis.

Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat

(makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika

antara realitas sosial tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model

integrasi mikro-makro Karl Marx masih memberatkan pada struktur makro

104

Page 105: MATERI SSBI 2012

(determinisme struktural), khususnya mempersoalkan ‘kapitalisme’, yaitu analisis

Marx bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep ‘reification’ (mematerialkan barang

sesuatu). Bagi Marx ‘materi/ ekonomi’ adalah dasar dari segala sesuatu

(infrastruktur) (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, M. 1986; Surbakti, R., 1997a).

3. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’, hanya

Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia

semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makro-

objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif

adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian pada

realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep

‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada tingkat

mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran rasional dan

pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial dalam kehidupan sosial).

Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisis terpadu

mikro-makro (Wrong, D. (ed). 1970).

4. Talcott Parsons. Meskipun Parsons lebih memusatkan perhatian pada fakta sosial,

dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep

tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan

Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai

tingkat realitas sosial yang lebih mikro. Sistem tindakan kultural Parsons adalah,

paralel dengan konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep

kepribadian Parsons juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons

juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik

berat argumentasinya masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada

pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian. Individu ter-

determinasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai

masyarakat. Kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk

mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada

(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Ritzer, 2002).

Ada beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan

analisis sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif

mikro-makro’ antara lain :

a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the

Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964),

yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil)

dan teori berskala besar (makro).

105

Page 106: MATERI SSBI 2012

b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’,

dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian

kesatuan) antara teori mikro-makro’.

c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam

Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian

lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori

mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.

d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives

on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori

makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology

The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal

balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987).

Beberapa pandangan tokoh (para teoritikus) tersebut di atas dapat dikatakan

sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro

(misalnya teori interaksionis simbolis, fenomenologi, dan sebagainya) dengan teori-

teori makro (misalnya teori fungsional struktural, teori konflik dan sebagainya) dalam

melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Menurut Ritzer dan Goodman (2003),

ada dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi

yaitu: (1) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat

analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) beberapa teoritikus yang memusatkan

perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara

tingkat mikro dan makro dalam analisis sosial. Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok

pikiran teori integrasi versi George Ritzer dan versi A. Giddens.

Teori integrasi mikro-makro George Ritzer dalam memahami fenomena sosial

Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu

sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi

sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’

adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada

umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikro-

makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi

agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003).

Ada yang memandang, masalah ‘mikro-makro’ dan ‘agen- struktur’ adalah, mirip

bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya (mikro-

makro dan agen- struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa pahami

tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli, antara

lain:

106

Page 107: MATERI SSBI 2012

a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor

manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns,

bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu

atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine,

memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan

Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat

mikro’.

b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar

(tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi

baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau

makro, atau kepada kedua-duanya.

c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teori

agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teori

Behavior-Skinners).

d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro

juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin

bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau

mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.

Bagaimana melakukan analisis fenomena sosial dengan menggunakan

pendekatan atau teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model

teori integrasi mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: (1) model

integrasi paradigma sosiologi oleh George Ritzer; (2) model sosiologi multidimensional

oleh Jeffery Alexander; (3) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4)

model sosiologi figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, model

yang dipilih untuk dijelaskan adalah model pertama, yaitu model ‘integrasi paradigma

sosiologi’ atau integrasi mikro-makro G. Ritzer.

Beberapa pokok pikiran model analisis sosial-budaya integrasi mikro-makro

oleh G. Ritzer dalam karyanya yang berjudul ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science

(1975) antara lain:

Pertama, lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’,

sebagian dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk

membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta

integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2) paradigma

yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial) cenderung berat

sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau dimensi tertentu dalam

melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan pandangan, bahwa pada

dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma sosiologi. Paradigma integrasi

107

Page 108: MATERI SSBI 2012

adalah untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk

menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam realitas sosial, kehidupan sosial

sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang terpisah dari dua hal yang berbeda.

Realitas sosial paling tepat harus dilihat sebagai fenomena sosial yang beragam yang

membentuk suatu kehidupan sosial yang saling terkait (aspek makro dan aspek

mikro).

Kedua, menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial makro dan mikro adalah juga

fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya)

adalah terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis fenomena

sosial-budaya. Dan setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan

dialektik (timbal balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap

melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus

memperhatikan fokus atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya

ingin melihat dimensi objektif (aspek struktural/ aspek makro), dan hanya ingin

melihat dimensi subjektif (aspek agen/ aspek mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu

menggunakan empat tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif.

Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis fenomena sosial yang

ditawarkan Ritzer tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer (diadopsi dari Ritzer, 2002)

MIKROSKOPIK

SUBJEKTIFOBJEKTIF

IMAKRO-OBJEKTIF

Contoh: Masyarakat, Hukum, Birokrasi, Teknologi & Bahasa(Skala Luas)

IIIMIKRO-OBJEKTIF

Contoh: Pola perilaku, tindakan dan interaksi (Skala kecil kesatuan objektif)

IIMAKRO-SUBJEKTIF

Contoh: Nilai, Norma, Kebiasaan, adat(Skala Luas). Realitas non material

IVMIKRO-SUBJEKTIF

Contoh: persepsi, keyakinan, pandangan/ konstruksi sosial(Skala kecil/ mental)

108

MAKROSKOPIK

Page 109: MATERI SSBI 2012

Keterangan:1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar), misalnya:

masyarakat, birokrasi, dan teknologi.2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas, misalnya:

nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya).3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil, misalnya:

pola tindakan individu, pola interaksi sosial.4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya individu

untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya, berpendapat atau bersikap atau berpandangan.

Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting sendiri-

sendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan analisis

fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan ‘hubungan

dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang dan waktu

(rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial masyarakat Porong

Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak lumpur Lapindo’. Dalam hal ini

apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer, maka

peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan dialektik antara empat aspek

tersebut di atas (lihat gambar 2.2)

Ketiga, menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam

membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopik-

makroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif. Kontinum mikroskopik-makroskopik.

Dalam kehidupan sosial-budaya selalu tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang

berskala besar sampai yang terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum

adalah, ‘fenomena sosial-budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas

(contoh, sistem kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural

universals) dan masyarakat dunia’. Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor

individu, pikiran individu dan tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke

makro, terdapat: bentuk ‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu

‘kelompok’, kemudian lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau

budaya’, kemudian terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut

Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro, diadopsi dari Ritzer dan Goodman

( 2003)

109

Mikroskopk Makroskopik

Inter-aksi

Kelom-pok Orga-

nisasi Masy.

& Budya

Sistem

Dunia

Page 110: MATERI SSBI 2012

Disetiap ujung kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen

objektif-subjektif. Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata

terjadi hanya di dalam dunia gagasan (idea) individu. Sedangkan objektif berhubungan

dengan ‘peristiwa nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah

masyarakat tersusun dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi

dan hukum) dan fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, pandangan,

persepsi individu).

Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang mempunyai

wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi sosial; struktur

birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dan sebagainya. Sedangkan ujung

kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, persepsi, nilai yang diyakini, dan

konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma, motivasi. Kemudian

antara ujung objektif dan subjektif adalah ‘tipe campuran’ (ada unsur objektif dan ada

unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:

Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif, diadopsi dari Ritzer dan

Goodman (2003).

Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya,

seharusnya membahas hubungan antara dua kontinum tersebut (kontinum

makroskopik-mikroskopik dan kontinum objektif-subjektif), dan yang terpenting adalah

‘representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat tingkat

utama analisis sosial secara dialektif-integratif”.

Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosial-

budaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial, dan

Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu

diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan

(hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1) makro-

110

Objektif Subjektif

Aktor; Tindakan; Interaksi; Undang-undang; truktur

Birokrasi

Tipe Campuran, Kombinasi

dalam berbagai

tingkat unsur objektif-subjektif

Pandangan, Nilai, Norma, Konstruksi pikiran ttg

realitas sosial budaya

Page 111: MATERI SSBI 2012

objektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3) fenomena mikro-

objektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif, seperti proses konstruksi

pikiran individu tentang realitas sosial-budaya (pandangan individu). Di bawah ini

gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama analisis sosial-budaya dengan

keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu) menurut G. Ritzer.

Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan empat paradigma:

No. Empat Tingkat Realitas Sosial

Paradigma Sosial

1. a. Makro Subjektif

b. Makro Objektif

Fakta Sosial(Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem; Teori Sosiologi Makro) Paradigma

Terpadu(Lihat gambar 2.2)

2. c. Mikro Subjektif

d. Mikro Objektif

Definisi Sosial(Teori Aksi Weber; Teori interaksionis simbolik; Teori Fenomenologi)Perilaku Sosial (Teori Behavioral sosiologi; Teori Exchange)

(diadopsi dari Ritzer, 2002)

Keempat, teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai

Exemplar. Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami,

berkaitan dengan penggunaan ‘integrasi paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis

sosial-budaya, yaitu:

1. Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma sosiologi

yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial dan paradigma

perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis fenomena

sosial-budaya selama tidak ada anggapan bahwa satu paradigma tertentu itu dapat

menjelaskan semua fenomena sosial-budaya di masyarakat secara komprehensif.

2. Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempat tingkat

realitas sosial-budaya, yaitu: (a) tingkat makro-objektif, contohnya birokrasi, norma

hukum, bahasa; (b) tingkat makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur;

(c) tingkat mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti:

kerjasama, konflik dan pertukaran; dan (d) tingkat mikro-subjektif, contohnya proses

berpikir, merasakan, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya.

Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut

harus diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang

dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial tersebut secara

terpadu.

111

Page 112: MATERI SSBI 2012

3. Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern, yang

diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak

mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami, bahwa

keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual, bukan

menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial budaya di masyarakat

selalu tampil dalam keberagaman, kompleks dan sangat dinamik (terus menerus

berubah). Penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat

tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya, oleh karena itu setiap

peneliti sosial-budaya dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena

sosial budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu (keempat tingkat) sifatnya saling

melengkapi, hal ini memungkinkan bagi peneliti dalam proses pengumpulan data

penelitian harus menggunakan beragam cara, metode atau teknik, misalnya:

metode wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan

sebagainya.

4. Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan

keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah

(keterkaitan antara fenomena sosial-budaya masa lampau, kini dan akan datang).

Paradigma ini harus pula diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas

sosial-budaya. Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat

realitas sosial tersebut antar masyarakat bisa beragam.

5. Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara ciri

logika dialektis adalah: (a) memandang satu sisi manusia sebagai pencipta

sebagian besar struktur sosial-budaya dan disisi lain struktur sosial-budaya itu pada

gilirannya akan membatasi atau memaksa manusia untuk bertindak sesuai dengan

struktur sosial-budaya yang dicipta; (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas

tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik (eksternal) dan mikroskopik

(internal), (c) tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu

(semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat

dialektis/ empat tingkatan realitas sosial seperti pada gambar 2.2); (d) dimulai

dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu

saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya; dan (e) berpikir

dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial,

juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi. Contoh: Marx,

memusatkan perhatiannya pada kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis;

Weber, melihat adanya kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan

individual; G. Simmel, menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur

objektif; (Rossides, 1978; Ritzer, 2002; Ritzer dan Goodman, 2003).

112

Page 113: MATERI SSBI 2012

Teori integrasi strukturasi Giddens dalam memahami fenomena sosial-budaya

Para sosiolog mengatakan, bahwa pada umumnya teoritisi Eropa dalam

mencermati feomena sosial-budaya lebih perhatian pada hubungan atau integrasi

antara ‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’

dalam melakukan analisis sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony

Giddens; (b) teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori

morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori kolonisasi

kehidupan dunia oleh Habermas (Turner, B., 2000).

Menurut Bryan Tunner, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling

terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A.

Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan ‘teori integrasi agen-struktur’ berikut ini

hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur oleh A. Giddens. Giddens

dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration

(1984), mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu

menyangkut penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini

bukan berarti bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga

mengatakan ‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi,

bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu,

melainkan praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu

dan ruang (time and space)’ (Giddens, 1984).

Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya

menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2)

pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional

struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental

dari teori strukturasi adalah, untuk ‘menjelaskan hubungan dialektika dan saling

pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Faisal, S., 1998; Priyono, 2002).

Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agen-

struktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society:

Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial

budaya antara lain:

a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan

saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu

keping mata uang’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam

praktik atau aktivitas sosial-budaya sehari-hari setiap individu. ‘Tindakan pelaku

(agen) dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa

struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatan-

kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat

113

Page 114: MATERI SSBI 2012

pelaksanaan atau pengadaan (moment of production) adalah juga saat pelaksanaan

atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu Giddens

mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi relasi-relasi

sosial yang melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’

b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat

sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali jadi

oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus, mereka ciptakan berulang-ulang

melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri

mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak

semata-mata dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran

individu tentang realitas (seperti pandangan teori interaksionis simbolik dan teori

fenomenologi), juga bukan semata-mata diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori

fungsional struktural, teori konflik). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang

(rutinization) agen-struktur itulah, baik kesadaran (internal) maupun struktur

(eksternal) diciptakan.

c. Secara umum teori strukturasi memusatkan perhatian pada proses dialektika

dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Jadi, teori strukturasi

menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.

Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti

sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan

agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang terkenal

yaitu ‘proses penelitian fenomena sosial-budaya perlu menggunakan pendekatan

atau metode ‘Hermeneutika ganda’, artinya, baik agen (aktor sosial) maupun

peneliti sosial sama-sama menggunakan bahasa, yaitu: (a) aktor sosial,

menggunakan bahasanya untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan sehari-

hari, dan (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan bahasanya untuk menerangkan

tindakan aktor sosial yang ditelitinya. Jadi, perlu diperhatikan untuk

mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa

ilmiah (para peneliti).

d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang

perlu dipahami, yaitu: (1) konsep agen; (2) konsep struktur dan sistem sosial; (3)

konsep waktu-ruang (time-space); (4) konsep rutinisasi (routinization); dan (5)

konsep strukturasi (Giddens, 1984). Berikut ini akan dijelaskan singkat tentang

kelima konsep tersebut

Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan

Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran dan

aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka dalam kehidupan

114

Page 115: MATERI SSBI 2012

sehari-hari; (b) agen (pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu

tindakan dan peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau

agen merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang

dimaksud dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari

yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga

memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d)

agen atau aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa

keinginan atau hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi,

refleksivitas terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai

potensinya’.

Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan tiga

dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi tidak

sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan yang

berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2)

‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas kita

merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan melalui

hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical

consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa

diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk

memahami teori strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan

kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara

‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya.

Jadi, kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita

dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang

dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa

yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi teori

strukturasi. Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’

ke ‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu

yang sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-

peran individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang

dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dan sebagainya, peran

petani adalah membajak, menanam padi, memanen padi dan sebagainya. Giddens

sangat menekankan arti penting keagenan dalam teorinya.

Menurut Giddens, agen juga ‘sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan

semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak

diharapkan. Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan

untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens

115

Page 116: MATERI SSBI 2012

mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk

menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila ia

kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens,

kekuasaan untuk menciptakan pertentangan ini bersifat logis mendahului

subjektivitas, karena tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk

mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens, struktur

dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan sebagai

‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur hanya akan

terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur dipahami sebagai

‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasikan’ (recursively

organized sets of rules and resources). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan

dan waktu’, karena struktur ‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’.

Tidak ada struktur bila tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut

Giddens tidak sama dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional

struktural. Menurut teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah

‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa

(determinis) pada aktor dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa

yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur

itu sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen

yang juga ikut menentukan’. Jadi, struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang

terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah

benda melainkan ‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata

mirip ‘aturan’ yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’

(medium) bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat

mengekang (constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural),

tetapi bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984).

Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus besar,

yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik,

penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu yang dilakukan aktor

(agen); (2) struktur ‘dominasi’ (domination), yang mencakup skemata penguasaan

atau wewenang terhadap orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap

barang (aspek ekonomi); (3) struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup

skemata peraturan-peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum, untuk

menata proses-proses sosial di masyarakat.

Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut Giddens,

‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional (teori fungsional

116

Page 117: MATERI SSBI 2012

struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah sebagai praktik

sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi

antara aktor(egen) dan kolektivitas (kelompok) yang diorganisir sebagai praktik

sosial tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan

ciri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang

dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial

yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai ‘media’ maupun

sebagai ‘hasil tindakan aktor’ dan sistem sosial yang secara berulang-ulang

(regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial ‘merupakan

institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’ dalam kehidupan sehari-hari

(Giddens, 1984).

Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi

(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang

menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel

(unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang

dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik

subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi sosial menganggap

ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’ (environments)

tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai salah satu ‘faktor

tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang dan waktu secara

integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Sistem sosial berkembang

atau meluas menurut waktu dan ruang, sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir

pada waktu yang sama dan di ruang yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi

Giddens yang diakui oleh para ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya

mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan

Goodman, 2003).

Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman hari

demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu

pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat

dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari kantor,

berada di jalan, sampai di rumah kembali; (2) jangka hidup individual (irreversible

time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat

dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu

berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari

lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan baik

syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang terpola

dalam kontinuitas hidup sehari-hari.

117

Page 118: MATERI SSBI 2012

Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan

sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi

didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam

memudarnya waktu dan berubahnya tempat’. Bahwa tubuh manusia ‘tidaklah

menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-benda material lain

yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia paling baik

dipahami sebagai ‘tubuh aktif, kreatif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau

sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori

strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’

(point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale) yang

merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of interaction)

(Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep regionalisasi

(regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan pada penempatan

wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang dirutinisasikan

(zoning of time-space in realtion to routinized social practices), misalnya; ada ruang

kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dan sebagainya, yang hal-hal tersebut

menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.

Keempat, konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’

(routinization), karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial sehari-

hari, ‘istilah hari demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang

diperoleh kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan

merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life).

Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-

pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai

‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat

terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran

bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan cara

mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku manusia.

Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula pemanggilan

kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan persepsi-persepsi

tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan dengan gerakan tubuh

dalam ruang dan waktu. Regulation (keterulangan terus menerus), atau rutinisasi

(routinization) akan melahirkan rasa aman ontologis (ontological security)

sehubungan dengan masa depan individu. Sedangkan situasi kritis dalam

kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan

menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural sence) (Giddens, 1984;

Priyono, 2002).

118

Page 119: MATERI SSBI 2012

Kelima, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini

menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami

tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa

‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa yang

berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi meliputi

‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah

dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan.

Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga

sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari.

Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of

soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan

terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going

flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan

waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu

(biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek

maupun objek sosial. Jadi, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk

tindakan atau kegiatan sosial’. Dengan demikian dalam memahami konsep ‘teori

strukturasi’ Giddens harus memahami secara integral tentang lima komponen

(elemen) penting, yaitu: konsep agen; konsep struktur dan sistem sosial; konsep

waktu-ruang; konsep rutinisasi; dan konsep strukturasi (Faisal, 1998; Priyono,

2002).

Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu

teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi

mikro-makro atau subjektif-objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan

analisis fenomena sosial adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam

bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984)

mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya

selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal

ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya;

(2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah

pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur)

tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang,

yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space), seimbang dan saling

mengisi; (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran

individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga

bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma

objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang terus berinteraksi melintasi

119

Page 120: MATERI SSBI 2012

dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-

struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi hubungan

dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan

dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada

tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995).

Jadi, dalam pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak

mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik

apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur.

Argumentasi perlunya menggunakan pendekatan integratif

Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya

melakukan penelitian sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integratif

(kuantitatif-kualitatiuf), antara lain:

Pertama, pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan

Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya

penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial

(Giddens, 1995; Ritzer, 2002).

Kedua, setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing

mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena

keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami

fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing

pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya pendekatan memadukan

kuantitatif-kualitatif (Brannen (ed), 2002)

Ketiga, kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan

dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang

hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan

kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian,

misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan

hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuanti (Sugiyono, 2007).

Keempat, penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan

datanya, yaitu dalam penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya

adalah menggunakan angket, kemudian dari beberapa item pada angket tersebut

didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur

(ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan triangulasi dalam

pengumpulan data.

Kelima, menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa

penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian

kuantitatif dapat dicek pada penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat

120

Page 121: MATERI SSBI 2012

kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi

dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu

sebagi sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c)

penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran

hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan

masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian peneliti,

sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak.

Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e)

penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan,

sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar

ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar

variabel tersebut, hal ini akan dibantu dengan penelitian kualitatif; (f) penggabungan

akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro

(kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena

sosial.

Keenam, ada permasalahan dalam studi ilmu sosial (fenomena sosial) yang

banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan

tetapi ada juga permasalahan sosial (fenomena sosial) lain yang sulit dijelaskan

dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk

menggunakan metode penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila

ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen

praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu

sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000; Creswell, 2005).

Ketujuh, pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan

kuantitatif) seringkali belum mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik

dan makna terdalam (menukik kedalam pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu

untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya

dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan

dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih

komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan perpaduan kuantitatif-

kualitatif (Arifin, 2008).

I. Kesimpulan

Uraian singkat tentang kehidupan sosial-budaya di masyarakat dalam perspektif

teoritis di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: Pertama, dalam

pandangan teori sistem, bahwa setiap kehidupan sosial mempunyai unsur-unsur sosial

dan unsur yang satu dengan yang lain saling terkait (sebagai sistem). Demikian juga

kehidupan kebudayaan mempunyai unsur-unsur budaya yang saling kait mengkait

121

Page 122: MATERI SSBI 2012

(sebagai suatu sistem). Teori sistem sangat dipengaruhi oleh paham positivisme dan

teori organisme; Kedua, dalam pandangan teori fungsional struktural kehidupan sosial

budaya di masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial dan struktur buaya (kondisi

eksternal). Proses-proses kehidupan sosial budaya di masyarakat selalu

berkecenderungan untuk terintegrasi dan selalu menjaga terwujudnya keseimbangan

sistem (equilibrium). Individu berkembang karena dia dipengahui oleh struktur sosial

dan budaya.

Ketiga, dalam pandangan teori konflik versi Marx, kehidupan masyarakat

merupakan suatu proses perkembangan yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’,

jadi konflik menyatu dalam kehidupan. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di

masyarakat adalah pejuangan kelas yang berbasis kepentingan ekonomi, bagi bagi

Marx faktor ekonomi merupakan infrastruktur kehidupan, sedangkan semua asek non

ekonomi merupakan suprastruktur. Semua teori konflik dan neo-konflik (neo-Marxian)

adalah berbasis kepada pandangan Marx, hanya saja pandangan teori konflik

Dahrendorf dan neo konflik Coser dan sebagainya, tidak menjadikan faktor ‘ekonomi/

materi’ sebagai satu-satunya sebab terjadinya konflik, tetapi banyak faktor lain,

misalnya kekuasaan dan kondisi sosial non-material lainnya.

Keempat, fenomena sosial budaya dalam pandangan teori teori interaksionis

simbolik dan teori fenomenologi, relatif sama karena kedua teori ini ada dalam satu

paradigma yaitu paradigma definisi sosial atau berparadigma interpretif. Diantara ciri

pandangan paradigma ini antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa

adanya, atau menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran

subjektivitas individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus

memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu)

secara terus menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan,

asumsi, nilai, motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya

kehidupan sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial

eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Disamping itu

paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom,

manusia mempunyai keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi).

Paradigma ini berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme, dengan

pendekatan mikroskopik dalam melakukan analisis sosial-budaya.

Kelima, teoritikus post-modern dapat dikelompokkan menajdi dua, yaitu teori

post-modern yang bersifat moderat, dan teori post-modern yang bersifat radikal.

Meskipun banyak sisi kelemahan dari teori post-modern, kehadiran teori post-modern

memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi

modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya

122

Page 123: MATERI SSBI 2012

kritik konstruktif bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi

konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur;

(2) teori post-modern yang menolak adanya ‘narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi

mikro’, secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para

teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan

(3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan,

kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah

ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi

pandangan)..

Keenam, setiap teori atau paradigma mempunyai kelebihan dan kelemahan.

Teori yang berparadigma fakta sosial (objektivistik) dan definisi sosial (subjektivistik),

keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi

(complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan

kelemahan yang dimiliki masing-masing teori dan pendekatan itulah yang

menyebabkan perlunya memadukan beragam teori dan pendekatan dalam analisis

sosial-bidaya. Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial-budaya yang bisa

terpecahkan dengan penerapan teori dan pendekatan objektivis (Quantitative

research), akan tetapi ada juga permasalahan fenomena sosial-budaya yang sulit

dijelaskan dengan menggunakan pendekatan objektivis, sehingga mengharuskan

peneliti untuk menggunakan teori dan pendekatan subjektivis (Qualitative research).

Jadi, analisis fenomena sosial dengan menggunakan teori integrasi Ritzer atau

Giddens adalah sangat proporsional.

123