materi power point yang merah
DESCRIPTION
qwqTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit,
cacat kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan
fisik, mental dan sosial yang memungkinkan untuk hidup produktif. Manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam mememenuhi
kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, individu dituntut untuk
lebih meningkatkan kinerjanya agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi
tingkat sosial di masyrakat lebih tinggi. Hal ini merupakan dambaan setiap
manusia (Dep Kes RI . 2000).
Kesehatan mental bukan saja merupakan ketiadaan penyakit mental.
Kesehatan mental yang positif melibatkan suatu perasaan sejahtera dari sisi
psikologis, yang berjalan beriringan dengan perasaaan sehat (keyes dan
saphiro, 2004 dan singer, 1998). Perasaan subjektif akan kesejahteraan, atau
kebahagiaaan, merupakan penilaian seseorang akan kehidupannya (diener,
2002).
Gangguan kesehatan jiwa yang terjadi di era modernisasi, globalisasi,
dan persaingan bebas cenderung semakin meningkat jumlahnya. Jenis dan
karakteristik gangguan jiwa beragam ,satu diantaranya gangguan jiwa yang
sering ditemukan dan dirawat adalah Skizofrenia (Maramis, 2008).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi
penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010)
Penanganan pasien skizofrenia dapat dilakukan dengan kombinasi
psikofarmakologi dan psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga dan terapi
okupasi yang menampakkan hasil yang lebih baik.(Tirta & Putra, 008).
1
Terapi okupasi sebagai bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan
kepada individu dan atau kelompok untuk mengembalikan kemampuan
fungsional yang mengalami gangguan fisik dan atau mental yang bersifat
sementara dan atau menetap pada area aktivitas kehidupan sehari-hari
produktivitas dan leisure/pemanfaatan waktu luang. Kebutuhan masyarakat
akan pelayanan okupasi terapi ini terus meningkat sehubungan dengan adanya
interrelasi antara faktor-faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan
keturunan.
Dengan terapi okupasi ini diharapkan klien dapat mandiri secara fisik
maupun mental, dan diharapkan dengan terapi okupasi ini klien dapat
mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi
gerakan melalui aktivtas-aktivitas yang diberikan atau diajarkan. Serta terjadi
perubahan pada gejala skizofrenianya.
Berdasarkan pemaparan penulis tertarik untuk mengambil judul jurnal
“Efektivitas Terapi Okupasi Terhadap Pasien Skizofrenia” di Rumah Sakit
Jiwa.
2. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Meningkatkan kesehatan jiwa dan mencegah terjadinya masalah skizofrenia
2. Tujuan khusus
a) Mengetahui gambaran tentang masalah skizofrenia
b) Mengetahui gambaran tentang terapi okupasi
c) Mengetahui gambaran pengaruh terapi okupasi terhadap masalah
psikososial
3. Manfaat Penulisan
a. Bagi institusi pendidikan
Memberikan kontribusi perbendaharaan literature dan memperoleh
gambaran jurnal tentang terapi okupasi masalah skizofrenia.
2
b. Bagi RSJ. Provinsi Jawa Barat
Bisa dijadikan bahan referensi untuk digunakan dan diaplikasikan diruang
tenang rawat inap sebagai terapi untuk menurunkan masalah skizofrenia
c. Bagi pasien dan keluarga
Membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam mengurangi masalah
skizofrenia dengan terapi okupasi sehingga meningkatkan kinerja individu
yang lebih tinggi sesuai dambaannya sebagai makhluk sosial agar segala
kebutuhannya dapat terpenuhi ditingkatkan sosial masyarakat.
d. Bagi mahasiswa
Tinjauan jurnal ini dapat menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan
pengalaman bagi mahasiswa, serta dapat dijadikan pedoman atau sebagai
masukan untuk mahasiswa selanjutnya agar dapat mengaplikasikan terapi
okupasi untuk menangani masalah skizofrenia.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya
terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau
terpecah. (Rudyanto, 2007).
Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene
Bleuler, seorang psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan
manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan
terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya
emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi
atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini
(Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi
penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010)
2. Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang
saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
a. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak
kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi
saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia
7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar
dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendel
skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
b. Gangguan anatomik
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu:
Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating system.
Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI
4
menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal.
Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus
frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2
diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan
meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007).
c. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan
dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing,
2007).
3. Klasifikasi Skizofrenia
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di
muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok
yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi
dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a)Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
(b)Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol.
(c)Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejala katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada
pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka
5
mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai
akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan social
yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga,
kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik
dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan
regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional,
dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga,
berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat
bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-
kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam
situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Diagnosis
hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan
senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk
menentukan diagnosis. Untuk diagnosis hebefrenia yang
menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2
atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan;
Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
6
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions
and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe
terdisorganisasi.
c. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinisnya :
(a)stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara):
(b)Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c)Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
(d)Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
7
pergerakkan kearah yang berlawanan);
(e)Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari
luar); dan
(g)Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik
memerlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien
melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin
ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia,
atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
d. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan
pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic
menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk
skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
8
e. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a)Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b)Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
(c)Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam
kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih
jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai.
f. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini
harus dipenuhi semua
(a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b)Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c)Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negative” dari skizofrenia;
(d)Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
9
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang
terus menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya
kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk
memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan
social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan
pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe
residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut
tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
g. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan
perlahan dan progresif dari : gejala “negative” yang khas dari
skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham,
atau manifestasi lain dari episode psikotik, danmdisertai dengan
perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak
berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan
emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan
mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau
mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur
dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi
pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia
mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
10
4. Gejala Skizofrenia
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan
gejala negatif.
a. Gejala Negatif
Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental
atau proses perilaku (Behavior ).Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan
orang disekitarnya.
1) Gangguan afek dan emosi
Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek
dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak
acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan
keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang,
hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
(emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang
berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai
dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa
tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).
2) Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan
pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula
pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti
bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku
(Lumbantobing, 2007).
3) Avolisi
Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya
miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak
ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).
4) Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan
dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat
11
pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama
sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).
5) Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering
mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja
maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak
kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam
sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang
bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun;
hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah
(Kaplan and Sadock, 2010).
b. Gejala Positif
Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang
merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang
tidak dapat dikontrol pasien.
1) Delusi(Waham )
Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan yang
salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama
sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap
merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham
yang sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham
kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan sebagainya
(Kaplan and Sadock, 2010).
2) Halusinasi
Memdengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau malah
mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling sering
dialami penderita skizofrenia (Lumbantobing, 2007).
5. Pengertian Terapi Okupasi
Terapi okupasi merupakan salah satu bentuk psikoterapi suportif yang
penting dilakukan untuk meningkatkan kesembuhan pasien (Buchain et al,
2003).
12
Terapi okupasi (Occupational terapy) merupakan suatu ilmu dan seni
dalam mengarahkan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas
tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki,
memperkuat, meningkatkan kemampuan dan mempermudah belajar
keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam tahap penyesuaian diri dengan
lingkungan. Juga untuk meningkatkan derajat kesehatan (Budiman &
Siahaan, 2003).
Terapi okupasi adalah prosedur rehabilitasi yang di dalam aturan
medis menggunakan aktivitas-aktivitas yang membangkitkan kemandirian
secara manual, kreatif, rekreasional, edukasional, dan sosial serta industrial
untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan atas fungsi fisik dan
respon-respon mental pasien (Spackman dalam Djunaedi & Yitnarmuti,
2001)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan
terapi okupasi, merupakan suatu bentuk psikoterapi suportif berupa
aktivitas-aktivitas yang membangkitkan kemandirian secara manual, kreatif,
dan edukasional untuk penyesuaian diri dengan lingkungan dan
meningkatkan derajat kesehatan fisik dan mental pasien.
6. Tujuan Terapi Okupasi
Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009),
adalah:
a) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental
o Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan
masyarakat sekitarnya.
o Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
o Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
o Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan
terapi.
b) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak,
sendi, otot dan koordinasi gerakan.
13
o Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan
sebagainya.
o Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
o Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan
kemampuan yang dimiliki.
o Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk
mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan
bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
o Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien
kembali di lingkungan masyarakat.
7. Jenis Terapi Okupasi
Menurut Creek (2002) okupasi terapi bergerak pada tiga area, atau yang
biasa disebut dengan occupational performance yaitu, activity of daily living
(perawatan diri), productivity (kerja), dan leisure (pemanfaatan waktu luang).
Bagaimanapun setiap individu yang hidup memerlukan ketiga komponen
tersebut. Individu-individu tersebut perlu melakukan perawatan diri seperti
aktivitas makan, mandi, berpakaian, berhias, dan sebagainya tanpa memerlukan
bantuan dari orang lain. Individu juga perlu bekerja untuk bisa
mempertahankan hidup dan mendapat kepuasan atau makna dalam hidupnya.
Selain itu, penting juga dalam kegiatan refresing, penyaluran hobi, dan
pemanfaatan waktu luang untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat disela-
sela kepenatan bekerja. Semua itu terangkum dalam terapi okupasi yang
bertujuan mengembalikan fungsi individu agar menemukan kembali makna
atau arti hidup meski telah mengalami gangguan fisik atau mental.
Jenis terapi okupasi menurut Rogers & Holm (2004) dan Creek (2002)
yaitu:
1) Aktivitas Sehari-hari (Activity of Daily Living)
Aktivitas yang dituju untuk merawat diri yang juga disebut Basic Activities
of Daily Living atau Personal Activities of Daily Living terdiri dari:
kebutuhan dasar fisik (makan, cara makan, kemampuan berpindah, merawat
14
benda pribadi, tidur, buang air besar, mandi, dan menjaga kebersihan
pribadi) dan fungsi kelangsungan hidup (memasak, berpakaian, berbelanja,
dan menjaga lingkungan hidup seseorang agar tetap sehat).
2) Pekerjaan
Kerja adalah kegiatan produktif, baik dibayar atau tidak dibayar. Pekerjaan
di mana seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya biasanya
menjadi bagian penting dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya
posisinya dalam masyarakat, dan rasa nilai sendiri sebagai anggota yang
ikut berperan. Pekerjaan yang berbeda diberi nilai-nilai sosial yang berbeda
pada masyarakat. Termasuk aktivitas yang diperlukan untuk dilibatkan pada
pekerjaan yang menguntungkan/menghasilkan atau aktivitas sukarela seperti
minat pekerjaan, mencari pekerjaan dan kemahiran, tampilan pekerjaan,
persiapan pengunduran dan penyesuaian, partisipasi sukarela, relawan
sukarela. Pekerjaan secara individu memiliki banyak fungsi yaitu pekerjaan
memberikan orang peran utama dalam masyarakat dan posisi sosial,
pekerjaan sebagai sarana dari mata pencaharian, memberikan struktur untuk
pembagian waktu untuk kegiatan lain yang dapat direncanakan, dapat
memberikan rasa tujuan hidup dan nilai hidup, dapat menjadi bagian penting
dari identitas pribadi seseorang dan sumber harga diri, dapat menjadi forum
untuk bertemu orang-orang dan membangun hubungan, dan dapat menjadi
suatu kepentingan dan sumber kepuasan.
3) Waktu Luang
Aktivitas mengisi waktu luang adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu
luang yang bermotivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta
mengalihkan perhatian pasien. Aktivitas tidak wajib yang pada hakekatnya
kebebasan beraktivitas. Adapun jenis-jenis aktivitas waktu luang seperti
menjelajah waktu luang (mengidentifikasi minat, keterampilan, kesempatan,
dan aktivitas waktu luang yang sesuai) dan partisipasi waktu luang
(merencanakan dan berpatisipasi dalam aktivitas waktu luang yang sesuai,
mengatur keseimbangan waktu luang dengan kegiatan yang lainnya, dan
memperoleh, memakai, dan mengatur peralatan dan barang yang sesuai).
15
8. Tahapan Terapi Okupasi
Menurut Tirta & Putra (2008) dan Untari (2006). Adapun tahapan terapi
okupasi, antara lain:
(1)Tahap Evaluasi
evaluasi sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya. Pada tahap awal
ini mulai dibentuk hubungan kerjasama antara terapis dan pasien, yang
kemudian akan dilanjutkan selama tahap terapi okupasi. Tahap ini juga
disebut tahapan kognitif yang memfokuskan kemampuan pekerjaan yang
berorientasi pada keterampilan kognitif.
Tahap evaluasi dibagi menjadi 2 langkah. Langkah pertama adalah profil
pekerjaan (occupational profile) dimana terapis mengumpulkan informasi
mengenai riwayat dan pengalaman pekerjaan pasien, pola hidup sehari-hari,
minat, dan kebutuhannya. Dengan pendekatan “client-centered”, informasi
tersebut dikumpulkan untuk dapat memahami apa yang penting dan sangat
bermakna bagi pasien saat ini, apa yang ingin dan perlu dilakukannya, serta
mengidentifikasi pengalaman dan minat sebelumnya yang mungkin akan
membantu memahami persoalan dan masalah yang ada saat ini.
Langkah kedua adalah analisa tampilan pekerjaan (analysis of occupational
performance). Tampilan pekerjaan yang dimaksud adalah kemampuan
untuk melaksanakan aktivitas dalam kehidupan keseharian, yang meliputi
aktivitas dasar hidup sehari-hari, pendidikan, bekerja, bermain, mengisi
waktu luang, dan partisipasi sosial. Hal yang juga diperhatikan pada tahap
awal atau kognitif ini adalah membangkitkan ide saat waktu luang pasien,
mempelajari berapa banyak kemungkinan atau waktu yang dihabiskan,
membandingkan beberapa kegiatan yang menyenangkan dibanding bekerja,
mengatur waktu untuk hal yang menyenangkan (kebutuhan, pilihan,
hambatan, dan minat), dan mengatur waktu diri sendiri. Keterampilan dasar
yang diharapkan mendapatkan keterampilan, memproses keterampilan,
menyalurkan keterampilan, dan ketegasan pasien.
16
(2)Tahap Intervensi
Tahap intervensi yang terbagi dalam 3 langkah, yaitu rencana intervensi,
implementasi intervensi, dan peninjauan (review) intervensi. Rencana
intervensi adalah sebuah rencana yang dibangun berdasar pada hasil tahap
evaluasi dan menggambarkan pendekatan terapi okupasi serta jenis
intervensi yang terpilih, guna mencapai target hasil akhir yang ditentukan
oleh pasien. Rencana intervensi ini dibangun secara bersama-sama dengan
pasien (termasuk pada beberapa kasus bisa bersama keluarga atau orang lain
yang berpengaruh), dan berdasarkan tujuan serta prioritas pasien. Rencana
intervensi yang telah tersusun kemudian dilaksanakan sebagai implementasi
intervensi yang mana diartikan sebagai tahap keterampilan dalam
mempengaruhi perubahan tampilan pekerjaan pasien, membimbing
mengerjakan pekerjaan atau aktivitas untuk mendukung partisipasi.
Langkah ini adalah tahap bersama antara pasien, ahli, dan asisten terapi
okupasi.
Implementasi intervensi terapi okupasi dapat dilakukan baik secara
individual maupun berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan
terapi, dan lain-lain. Metode individual bertujuan untuk mendapatkan lebih
banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien, pada pasien yang
belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam
suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu
kelompok, dan pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan
agar terapis dapat mengevaluasi pasien lebih efektif. Sedangkan metode
kelompok dilakukan untuk pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah
atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan
tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan
baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus
mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut
pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara
memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan
tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut
17
aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis
aktivitas yang akan dilakukan dan kemampuan terapis mengawasi.
Sedangkan peninjauan intervensi diartikan sebagai suatu tahap
berkelanjutan untuk mengevaluasi dan meninjau kembali rencana intervensi
sebelumnya, efektivitas pelaksanaannya, sejauh mana perkembangan yang
telah dicapai untuk menuju target hasil akhir. Bilamana dibutuhkan, pada
langkah ini dapat dilakukan perubahan terhadap rencana intervensi.
(3)Tahap Hasil Akhir
Tahap terakhir pada terapi okupasi adalah hasil akhir (outcome). Hasil akhir
disini diartikan sebagai dimensi penting dari kesehatan yang berhubungan
dengan intervensi, termasuk kemampuan untuk berfungsi, persepsi
kesehatan, dan kepuasaan dengan penuh perhatian. Pada tahap ini
ditentukan apakah sudah berhasil mencapai target hasil akhir yang
diinginkan atau tidak. Jadi hasil akhir dalam bentuk tampilan okupasi,
kepuasaan pasien, kompetensi aturan, adaptasi, pencegahan, dan kualitas
hidup.
9. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung
dari kondisi klien dan tujuan terapi.
a. Metode
1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum
mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien lain yang sedang
menjalani persiapan aktivitas.
2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang
memiliki tujuan kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang
nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12
orang (Keliat dan Akemat, 2005).
Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001,
dalam Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams,
dan Beck (1993, dalam Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah
anggota kelompok adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu
18
besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu
kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
Johnson (dalam Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya
tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang
terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila
keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang
dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih
cemas, dan seringkali bertingkah laku irrasional.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun
kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu.
Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri
dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri
dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
10. Tahapan Terapi Okupasi Kelompok
Setiap akan melakukan terapi okupasi kelompok harus direncanakan dahulu.
Terapis melakukan kontrak kepada kelompok. Terapis dan kelompok
mempertimbangkan tempat, lokasi yang kondusif, alat, dan bahan yang harus
disiapkan.
Menurut Untari (2006) adapun tahapan aktivitas terapi okupasi kelompok,
yaitu:
a. Orientasi
Orientasi sangat membantu pasien untuk mengikuti kelompok terapi. Tujuan
orientasi adalah meyakinkan bahwa pasien mempunyai orientasi yang baik
tentang orang, tempat, dan waktu. Orientasi memerlukan waktu kurang
lebih 5 menit. Aktivitas yang dilakukan selama tahapan orientasi adalah
terapis melakukan orientasi kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok
terapi.
19
b. Tahap Pendahuluan (Introduction)
Tahap pendahuluan adalah tahap perkenalan baik dari terapis maupun
pasien. Terapis memperkenalkan diri baru kemudian masing-masing pasien
menyebutkan nama dan alamatnya. Cara yang biasa digunakan adalah
dengan melemparkan balon yaitu pasien harus menyebutkan nama apabila
mendapatkan bola yang telah dilempar. Setiap kali seorang pasien selesai
memperkenalkan diri, terapis mengajak semua pasien untuk bertepuk
tangan. Tahap pendahuluan memerlukan waktu 5-10 menit.
c. Tahap pemanasan (Warm-up activities)
Setelah melakukan proses memperkenalkan diri, terapis mengajak pasien
untuk aktivitas pemanasan (warm-up activities). Tahap ini memerlukan
waktu 5-10 menit. Aktivitas yang digunakan adalah latihan fisik sederhana
(simple physical exercise). Tujuannya adalah meningkatkan perhatian dan
minat pasien melalui gerakan dasar tubuh dan agar pasien mampu mengikuti
aturan atau instruksi sederhana seperti berputar, turunkan tangan, dan lain-
lain.
d. Tahap aktivitas terpilih (selected activities)
Tahap ini memerlukan waktu 10-20 menit. Mempertimbangkan kebutuhan
kognitif, motorik, dan interaksi yang akan dikembangkan. Biasanya
aktivitas yang dipilih adalah aktivitas dengan aturan sederhana dan aktivitas
yang dilakukan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Terapis memberikan pujian setiap kali pasien selesai melakukan terapi
okupasi dengan baik dan mengajak anggota kelompok bertepuk tangan.
e. Tahap Terminasi
Tahap ini menandakan bahwa terapi okupasi akan berakhir. Terapis dan
pasien mengumpulkan material (alat-bahan) bersama-sama dan mengadakan
diskusi kecil tentang jalannya proses terapi okupasi.
11. Indikasi Terapi Okupasi
20
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi
sebagai berikut:
a. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang
disertai dengan kesulitan berkomunikasi.
b. Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi
terhadap rangsang tidak wajar.
c. Klien yang mengalami kemunduran.
d. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian.
e. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas.
f. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada
membayangkan.
12. Karakteristik aktivitas terapi
Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari
aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti
tertentu bagi klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal,
dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan
hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.
21
BAB III
TINJAUAN JURNAL
1. TERAPI OKUPASI AKTIVITAS MENGGAMBAR TERHADAP PERUBAHAN HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIAI Wayan Candra, Ni Kadek Rikayanti, I Ketut SudiantaraJurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar Email:[email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh terapi okupasi
aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi pada pasien skizofrenia.
Jenis penelitian ini adalah Quasi experiment pendekatan One-group Pretest-
posttest Design. Teknik sampling dengan non probability sampling Quota
samplingjumlah sampel 30 orang. Setelah dilakukan pengamatan didapatkan
hasil gejala halusinasi yang dialami pasien skizofrenia sebelum diberikan
terapi okupasi aktivitas menggambar terbanyak dalam kategori sedang yaitu
15 orang (50%). Setelah diberikan terapi okupasi aktivitas menggambar
terbanyak dalam kategori ringan yaitu 21 orang (70%). Hasil uji Wilcoxon
Sign Rank didapatkan p=0,000 p<0,010 yang berarti ada pengaruh yang sangat
signifikan pemberian terapi okupasi aktivitas menggambar terhadap perubahan
gejala halusinasi pada pasien skizofrenia.
Terjadinya penurunan gejala halusinasi setelah diberikan terapi
okupasi aktivitas menggambar karena pada saat pelaksanaan terapi okupasi
aktivitas mengambar pasien dapat meminimalisasi interaksi pasien dengan
dunianya sendiri yaitu dengan mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi
yang selama ini mempengaruhi perilaku yang tidak disadarinya, memberi
motivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan perhatian
sehingga pikiran pasien tidak terfokus dengan halusinasinya. Pasien dengan
halusinasi dituntun untuk perespon pada stimulus yang diberikan.
22
Terjadinya suatu penurunan gejala halusinasi setelah diberikan terapi
okupasi aktivitas menggambar, karena pasien mampu melakukan aktivitas
dengan baik pada saat pelaksanaan terapi.
2. TERAPI OKUPASI AKTIVITAS WAKTU LUANG TERHADAP PERUBAHAN GEJALA HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN SKIZOFRENIANi Made Wijayanti, I Wayan Candra, I Dewa Made RuspawanJurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar Email: [email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi
(aktivitas waktu luang) terhadap perubahan gejala halusinasi pada pasien
skizofrenia. Janis penelitian ini adalah pra eksperimental dengan rancangan
One-group pre-test-post-test design. Teknik sampling quota sampling. Jumlah
sampel sebanyak 20 orang. Setelah dilakukan pengamatan didapatkan hasil
gejala halusinasi yang dialami pasien skizofrenia sebelum diberikan terapi
okupasi aktivitas waktu luang sebanyak 12 orang (60%) dalam kategori
sedang. Setelah diberikan terapi okupasi aktivitas waktu luang yang terbanyak
12 orang (60%) dalam kategori ringan. Hasil uji Wilcoxon sign rank test
didapatkan p=0,000 < p=0,010 yang berarti ada pengaruh yang sangat
signifikan pemberian terai okupasi ativitas waktu luang terhadap perubahan
gejala halusinasi pada pasien skizofrenia.
Terapi okupasi berpengaruh terhadap perubahan gejala halusinasi
pendengaran pada pasien skizofrenia karena proses terapi okupasi adalah
merangsang atau menstimulasikan pasien melalui aktivitas yang disukainya
dan mendiskusikan aktivitas yang telah dilakukan untuk mengalihkan
halusinasi pada dirinya.
Pemberian terapi okupasi aktivitas waktu luang dapat menurunkan
gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pemberian terapi okupasi aktivitas waktu luang dapat
menurunkan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofreniadi berbagai
tatanan pelayanan kesehatan yang ada.
23
3. MODEL TERAPI OKUPASI UNTUK SKIZOFRENIA (ROLE OF OCUPATIONAL THERAPHY FOR SCHIZOPHRENIA)M.Ramakrisman M.O.TOccupational Theraphist, Department of Pshychiatry, JIPMER Hospital, Puducherry-4, IOSR Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS) e-ISSN:2320-1959.p-ISSN:2320-1940 volume 3, Issue 6 Ver. III (Nov.-Dec.2014), PP 23-24 www.iosrjournals.org
Sebuah studi kasus deskriptif menggambarkan pengalaman laki-laki
berusia 42 tahun dengan skizofrenia, disertai berbagai gejala klinik
direhabilitasi oleh terapis okupasi menggunakan metode terapi dan teknik
dasar baik dari dalam pasien maupun luar pasien. Maksud dari terapi ini
adalah memotivasi seseorang untuk terlibat dalam mengetik dan memperbaiki
keterampilan fungsionalnya dan membuatnya mandiri di semua tempat.
Sesudah di intervensi peningkatan terlihat dalam perawatan diri, kerja dan
rekreasi.
Terapi okupasi merupakan cabang pengobatan dan sangat penting
karena membuat pasien mandiri dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Dalam
pengaturan akut dan kronis anggota tim rehabilitasi lainnya dapat membantu
dalam pemulihan pasien.
Pada pasien psikiatri kronis selain dari obat, terapi okupasi membantu
dalam mencapai kegiatan kehidupan sehari-hari secara mandiri dan perbaikan
sosial perilaku.
4. INTERVENSI TERAPI OKUPASI PADA HALUSINASI (OCCUPATIONAL THERAPY INTERVENTION IN HALLUCINATIONS)Pof. Mrs. Rajani S. KelkarThe Indian Journal of Occupational Therapy: Vol.XXXIV:No.2
Penyakit psikotik adalah fenomena kompleks dengan gejala yang
berbeda dan defisit fungsional. Oleh karena itu, seringkali sulit untuk
menentukan efektivitas strategi intervensi. Dengan berfokus pada jenis gejala
24
tertentu, seperti halusinasi, dan menentukan defisit fungsional terkait, terapis
dapat lebih baik menentukan jenis intervensi yang diperlukan. Ketika
halusinasi yang bermasalah, terapis okupasi dapat memperkenalkan tugas-
tugas tertentu untuk tujuan meminimalkan pengaruh halusinasi atau
menyediakan gangguan dari mereka. Tidak ada serangkaian kegiatan yang
ditentukan yang secara intrinsik memiliki kemampuan ini. Ini adalah tanggung
jawab terapis untuk mengeksplorasi dengan pasien yang jenis tugas mungkin
menghasilkan hasil yang diinginkan. Apapun kegiatan pasien memilih, mereka
hanya akan efektif jika ada signifikansi pribadi, kesempatan untuk kesenangan
atau kepuasan, harapan berhasil menyelesaikan. Singkatnya, penggunaan
Model defisit fungsional yang berhubungan dengan halusinasi memberikan
wawasan ke dalam jenis psikopatologi yang dialami oleh pasien dan perilaku
disfungsional yang dihasilkan. Hal ini dapat digunakan untuk
mengkategorikan dan mengklasifikasikan gejala pasien, juga membantu dalam
mengidentifikasi jenis-jenis intervensi terapi okupasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Dengan adaptasi, model dapat menjadi dasar untuk
penelitian lebih lanjut ke dalam fenomena halusinasi dan kemanjuran
intervensi terapi okupasi.
25
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Terapi okupasi adalah prosedur rehabilitasi yang di dalam aturan medis
menggunakan aktivitas-aktivitas yang membangkitkan kemandirian secara
manual, kreatif, rekreasional, edukasional, dan sosial serta industrial untuk
memperoleh keuntungan yang diharapkan atas fungsi fisik dan respon-respon
mental pasien (Spackman dalam Djunaedi & Yitnarmuti, 2001)
Kita sebagai perawat jiwa harus bisa menangani dan menggali
kemampuan penderita skizofrenia dengan cara memberikan dan mengajarkan
aktivitas-aktivitas yang dapat membangkitkan kemandirian penderita secara
kreatif sehingga klien dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
meningkatkan derajat kesehatan fisik dan mental klien.
Dengan terapi okupasi ini diharapkan klien dapat mandiri secara fisik
maupun mental. Dan diharapkan dengan terapi okupasi ini klien dapat
mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi
gerakan melalui aktivtas-aktivitas yang diberikan atau diajarkan. Serta terjadi
perubahan pada gejala skizofrenianya.
2. Saran
1. Bagi RSJ. Provinsi jawa barat
Diharapkan bisa dijadikan bahan referensi untuk digunakan dan
diaplikasikan di ruang tenang rawat inap sebagai terapi untuk menurunkan
masalah skizofrenia
2. Bagi pasien dan keluarga
Diharapkan dapat membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam
mengurangi masalah skizofrenia dengan terapi okupasi.
3. Bagi mahasiswa
Diharapkan tinjauan jurnal ini dapat menambah wawasan, ilmu pengetahuan
dan pengalaman bagi mahasiswa, serta dapat dijadikan pedoman atau
26
sebagai masukan untuk mahasiswa selanjutnya agar dapat mengaplikasikan
terapi okupasi untuk menangani masalah skizofrenia.
27
DAFTAR PUSTAKA
Creek, 2010. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Seventh Edition. New York:
Williams & Wilkins
Djunaedi & Yitnamurt, 2008. Psikoterapi Gangguan Jiwa. Jakarta: PT.Buana
Ilmu Populer
Keliat, B.A., 2005. Peran Serta Keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa.
Jakarta: EGC
Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok.
Jakarta: EGC.
Lumbantobing.(2007).Skizofrenia.Jakarta:FK UI
Maramis, W.F.,2008,Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:Airlangga
University Press.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Rudyanto,2007. Skizofrenia dan diagnosa banding.Jakarta: FK UI
Sadock, BJ. Sadock, V.A., 2010.Kaplan & Sadock.Buku Ajar Psikiatri
Klinis.Jakarta:EGC
Tirta I Gusti Rai & Putra Risdianto Eka,2008.Terapi Okupasi Pada Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada
Kongres Nasional Skizofrenia V,Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24026
Oktober 2008
Wahyuni, 2010. Pengaruh Terapi Okupasi Aktiftas menggambar Terhadap
Frekuensi Halusinasi Pasien Skzofrenia Diruang Model Praktek
Keperawatan Profesional(MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pekanbaru.Medan:Skripsi.USU
28