materi pengaruh psikoterapi spiritual
DESCRIPTION
qwertyTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
HIV/AIDS saat ini merupakan prioritas masalah kesehatan masyarakat
didunia dan perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Hal ini disebabkan
oleh penyebarannya yang cepat, dan sampai sekarang belum ditemukan
pengobatan yang memuaskan. Penyakit ini dapat mengenai siapa saja mulai
dari bayi sampai orang tua, pria atau wanita, kulit hitam maupun kulit putih.
Penularan penyakit ini dapat melalui hubungan seksual, penggunaan jarum
suntik secara bergantian diantara para pengguna narkoba. Selain itu ia juga
dapat ditularkan dari ibu yang menderita penyakit tersebut kepada janin yang
dikandungnya.
Penyakit yang disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
menyebabkan menurunnya tingkat kekebalan tubuh. Menurunnya tingkat
kekebalan tubuh akan memudahkan masuknya kuman-kuman lain kedalam
tubuh baik yang .patogen maupun yang non-patogen. Infeksi-infeksi lain yang
ditimbulkannya dikenal sebagai .”opportunistic - infection”.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. dari analisis
spesimen yang didapatkan pada orang yang meninggal sebelum tahun tersebut
(Kaplan HI, 2000) . Di Amerika kasus pertama terjadi pada musim panas tahun
1981. Pada saat itu mulai dilaporkan adanya Pneumonia Pneumocystic Carinii
dan Sarcoma Kaposi pada seorang pria muda homoseksual dengan penurunan
kekebalan (Adler MW, 1996). Meskipun demikian sebenarnya gambaran
serupa dengan gangguan ini telah ada sejak tahun 1959 (Kaplan HI, 2000). Hal
2
ini didukung adanya bukti peningkatan penyakit – penyakit yang berhubungan
dengan HIV dan AIDS, khususnya di Afrika dan Amerika, namun pada saat itu
belum dikenal. Menurut Centre for Desease Control and Prevention (CDC)
pada tahun 2001 diperkirakan 500.000 sampai 600,000 orang Amerika akan
terinfeksi virus HIV dan 320,000 lainnya dengan AIDS. Infeksi virus ini
memcapai puncaknya 150.000 pada pertengahan tahun 80 an dan berkurang
sampai 40.000 pada awal tahun 90 an dengan penggunaan Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART) (Kaplan HI, 2000). WHO memperkirakan
diseluruh dunia terdapat 2,5 juta orang dewasa dan 1 juta anak-anak menderita
AIDS, dan 30 juta telah terinfeksi HIV (Kaplan HI, 2000). Data statistik oleh
Mark Cichocki (http; \\ aids.about.com) di Amerika ada 1,2 juta orang yang
hidup dengan HIV dan 400.000 orang diantaranya didiagnosis AIDS. Jumlah
yang meninggal kira-kira sekitar 17.000 menurut data yang diambil pada tahun
2005. Kurang dari 40 kasus HIV/AIDS terjadi pada anak-anak dibawah 13
tahun pada tahun 2006. Jumlah kasus baru relatif stabil sekitar 40.000
pertahun. (http; \\ aids.about.com)
Di Indonesia.kasus ini baru dilaporkan pada tahun 1987. saat itu
ditemukan 4 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun kasus-kasus
HIV / AIDS cendrung meningkat. Dari data Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia secara kumulatif yang dilapor dari 1 April 1987 s/d 31 Desember
2011 yang bersumber dari Ditjen PP & PL (Direktur Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) Kemenkes RI secara kumulatif kasus
HIV adalah 76879 orang dan AIDS adalah 29879 orang serta jumlah yang
meninggal (angka kematian) sejumlah 5430 orang. Di RS. Wahidin sejak tahun
3
2004 sampai juni 2007 telah dirawat inap 309 orang yang terdiri dari 283
pasien laki-laki dan 26 pasien perempuan.
Menurut Pusat Pengawasan Penyakit Menular di Amerika Serikat, AIDS
adalah penyakit tanpa penyebab yang jelas, diduga merupakan defek pada
system imunitas yang diatur oleh tubuh yang menurunkan resistensi terhadap
penyakit tersebut. Namun karena pada pemeriksaan ditemukan adanya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka virus tersebut dianggap penyebabnya.
Virus ini ditularkan melalui cairan tubuh yang terinfeksi, khususnya semen dan
darah. (Barlett JG, 2007 )
Saat ini telah ditemukan dua macam virus HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Di
Negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) virus yang bertanggung
jawab adalah virus HIV-1. Test standar menilai prognosis progresi dari AIDS
adalah ditentukan dengan pengukuran peningkatan muatan virus atau “viral
load” dan penurunan hitung sel CD4. Bagi daerah dengan keterbatasan
pemeriksaan hitung sel CD4+ dapat digantikan dengan hitung total sel limfosit
atau total lymphocyte count (TLC) (Barlett JG, 2007, Kaplan HI, 1998).
Mereka yang termasuk kelompok beresiko tinggi meliputi : (1) pria
homoseksual. (2) pengguna zat adiktif intravena. (3) penerima transfusi darah.
(4) pasangan seksual dari orang-orang yang berisiko tinggi menderita
HIV/AIDS. (5) orang dengan luka terbuka yang kontak dengan darah HIV.
(petugas laboratorium, laundry). Diduga 2/3 penderita AIDS mempunyai gejala
neuropsikiatrik yang terkait sebagai gejala penampilan pertama (Menko Kesra
No. 2/Per/Menko/Kesra/ 2007).
Selain berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dengan adanya
infeksi oportunistik, virus HIV ini juga memberikan dampak pada kesehatan
4
mental. Infeksi HIV merupakan stresor psikologik (Nasronudin, 2007), yang
bermakna dan dapat menyebabkan depresi. Begitu pula sebaliknya depresi
juga mempengaruhi perkembangan progresivitas dari HIV menjadi AIDS
sebagaimana dilaporkan oleh Leserman dkk (Leserman J., Petitto J.M., Perkins
D.O., et al 2000).
Episode depresi mungkin dipicu oleh stres, peristiwa-peristiwa kesulitan
hidup, efek samping pengobatan ARV, atau pengaruh dari virus HIV terhadap
otak. Apapun penyebabnya, depresi dapat membatasi ketersediaan energi
yang dibutuhkan untuk memusatkan diri dalam mempertahankan kesehatan
tubuh. Sedangkan pengaruh depresi terhadap perkembangan progresivitas dari
HIV terjadi sebagai akibat kurangnya asupan gizi, pengobatan dengan anti
depresi dan akibat pengaruh hormonal. Depresi yang dialami oleh mereka yang
positif HIV seringkali membawa mereka terlibat dalam aktivitas – aktivitas
keagamaan / spiritualitas (Hackl, et al. 1997).
World Health Organization (WHO,1984), telah menetapkan spiritual /
agama sebagai salah satu unsur dari empat unsur kesehatan (Biologik,
Psikologik, Sosial dan Spiritual). Pendekatan atau paradigma baru tersebut
diadopsi oleh American Psychiatric Association (APA, 1992), World Psychiatric
Association (WPA, 1993) yang dikenal sebagai pendekatan "bio-psycho-social-
spiritual (BPSS)" (Hawari D, 2010).
Spritualitas ini digunakan individu untuk menghadapi penyakit, distres
psikologik dan emosional serta menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak
menentu (Simoni, Martone & Kerwin, 2002). Menurut Hawari, D (2002) terapi
psikoreligius atau psikospiritual akan membangkitkan rasa percaya diri (self-
confident) dan rasa optimisme. Dua hal ini (rasa percaya diri dan rasa
5
optimisme) penting bagi penyembuhan dari penyakit disamping terapi obat-
obatan dan tindakan medis lainnya (Hawari, D., 2002).
Penggunan psikoterapi spiritual tidak berarti mengabaikankan terapi
medik sesuai dengan batasan WHO (1984), APA (1992), WPA (1994) yang
menyatakan definisi sehat meliputi kesehatan biologik (fisik), psikologik, sosial
dan spiritual (BPSS). Dari hasil penelitian di bidang ini yang dllakukan oleh
Snyderman (1996), dihasilkan suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa
"Terapi medik saja tanpa disertai doa dan dzikir, tidak lengkap; sebaliknya doa
dan dzikir saja tanpa terapi medik, tidak efektif". Demikian pula pendapat
Christy (1996) yang menyatakan bahwa "doa dan dzikir juga sebagai obat
(prayer as medicine)" (Hawari, D. 2010).
Pada Konferensi AIDS Singapura IV 27-28 November 2004 di Suntec
City diorganisir oleh Action For AIDS (AFA) bekerja sama dengan Palang
Merah Singapura dan Tan Tock Seng Hospital. Ketua AFA Roy Chan dalam
sambutannya menggaris bawahi pentingnya spiritualitas dalam memerangi
AIDS. "Spiritualitas bisa menjadi suatu kekuatan terpenting dalam membantu
orang-orang yang terinfeksi HIV menghadapi penyakit itu secara positif. Bagi
kelompok-kelompok yang tidak terinfeksi tetapi rentan, ajaran dan praktek
spiritualitas bisa menjadi alat ampuh untuk mencegah infeksi HIV," katanya
kepada sekitar 400 dokter, perawat, dan relawan. (http://www.mirifica.net)
Dari hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan Lindenthal (1970) dan Star
(1971) menunjukkan bahwa mereka yang religius (beribadah, berdoa dan
berzikir) resiko untuk mengalami stres, cemas dan depresi jauh lebih sedikit
dari mereka yang tidak religius (Hawari,2002). Harold G. Koenig pada
penelitian pertama terhadap 87 penderita depresi menyatakan bahwa mereka
6
yang – beragama lebih cepat sembuh dari yang tidak beragama (Harold
G.Koenig.MD). Pada penelitiannya yang kedua terhadap 1700 orang lansia
menunjukkan faktor imunitas dari orang-orang yang taat beribadah secara
bermakna yang lebih baik. Sedangkan Herbert Benson dalam penelitiannya
tentang respons meditasi dalam mengurangi stres menemukan bahwa mereka
yang taat dalam menjalankan agamanya memiliki kesehatan yang lebih baik.
Suatu penelitian yang telah dilakukan selama 10 tahun dan telah dimuat dalam
American Journal of Psychiatry dan Archives of General Psychiatry,
menunjukkan bahwa 72% responden menyatakan terdapat hubungan positif
antara komitmen agama dan kesehatan jiwa; 16% menyatakan tidak ada
hubungan, 12% menyatakan hubungannya tidak bermakna. Suatu studi
banding yang dilakukan oleh Fitchett et, al, antara pasien psikiatri dan pasien
umum yang dirawap inap mengenai kebutuhan spiritualnya, diperoleh data 80%
pasien psikiatri dan 86% pasien umum menyatakan diri mereka religius. Ketika
ditanyakan sejauh mana keimanannya pada agama itu memberikan kekuatan
spiritual terhadap penyembuhan penyakitnya, 68% pasien psikiatri dan 72%
pasien umum menyatakan positif bermakna..sementara itu hanya 10% pasien
psikiatri dan 2% pasien umum menyatakan tidak bermakna (Hawari D, 2002).
Terkait dengan pasien HIV/AIDS, Woods (1999) dari Universitas of
Miami menemukan bahwa pasien HIV-positif yang aktif menjalankan ibadah
keagamaan menunjukkan jumlah CD4+ dan persentase CD4+ (T-helper
inducer cells) meningkat, yang berarti fungsi sistem kekebalan tubuh berjalan
baik. Ironson (2000) melakukan penelitian mengenai pengaruh keagamaan /
spiritualitas terhadap kekebalan tubuh penderita HIV/AIDS. Dia membagi
penderita menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 71 orang dan
7
kelompok kedua terdiri dari 121 orang. Kedua kelompok tersebut mempunyai
jumlah T-sel yang sama (jumlah sel darah putih yang berperan bagi kekebalan
tubuh). Kelompok pertama mempunyai riwayat kehidupannya banyak
menjalankan kegiatan keagamaan, sedangkan kelompok kedua tidak. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa usia kelompok pertama lebih panjang dari
kelompok kedua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama berperan penting
dalam memperpanjang usia seseorang yang menderita HIV/AIDS.
Hal ini menarik saya untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh
psikoterapi spiritual pada pasien HIV/AIDS dengan metode relaksasi – sugesti
yang dikembangkan oleh Herbert Benson.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian (pada latar belakang masalah) diatas dapat dirumuskam
pemasalahannya sebagai berikut :
1. Apakah pengaruh psikoterapi spiritual terhadap penurunan derajat
depresi?
2. Apakah psikoterapi spiritual mempengaruhi peningkatan kadar CD4
pasien HIV.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Menilai pengaruh psikoterapi spiritual terhadap penurunan skor depresi
dan peningkatan kadar CD4 pasien HIV / AIDS.
8
2. Tujuan Khusus :
a. Menilai besarnya perbedaan penurunan skor depresi pada kelompok
yang menerima pskoterapi spiritual dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
b. Menilai besarnya perbedaan peningkatan kadar CD4 pada kelompok
pasien yang menerima psikoterapi spiritual dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
D. Manfaat Penelitian
1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan :
a. Menambah kasanah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh
psikoterapi spiritual terhadap pada pasien HIV.
a. Mengetahui adanya kaitan antara ilmu pengetahuan dan Agama /
Spiritual
2. Pemanfaatan Medik
a. Terapi ini dapat digunakan sebagai terapi pelengkap bagi pasien HIV
b. Mengurangi keputusasaan pasien dalam pengobatan terhadap
penyakitnya.
c. Meningkatkan keyakinan pasien akan kekuasaan Tuhan Sang Yang
Maha Penyembuh.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. HIV /AIDS
1.1. Definisi :
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang
menyebabkan suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan fungsi sistem
kekebalan. Sindromnya disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Virus ini menyerang sel CD4 (sel T yang pada permukaannya
mengandung CD4 yang merupakan reseptor untuk peptida dan makromolekul
dan mikroba termasuk virus HIV. Biasanya disebut sebagai Sel T-helper (Th)
karena mengeluarkan sitokin yang merangsang dan membantu Sel B
menghasilkan antibodi)
1.2. Struktur Virus HIV
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan
kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua
kopi utas tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus
dan melindungi genom. Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk
sferis (spherical) hingga oval karena bentuk
selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).
Selubung virus berasal dari membran sel inang yang
sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam
selubung terdapat bagian yang disebut protein
matriks. (http://id.wikipedia.org/wiki/HIV)Gambar 1. Struktur Virus HIV
10
memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif,
vpu, vpr, tat, ref, dan nef). Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang
berukuran 9 kb. Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori
berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env),
protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx
hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef). (http://id.wikipedia.org/wiki/HIV)
1.3 Siklus Hidup Virus HIV dalam Tubuh
Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis,
vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV. Selain itu, HIV
juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di
limponodus.
Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran
sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya, enzim
transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa
RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia
Gambar 2. Siklus Hidup HIV
Seperti virus lain pada umumnya,
HIV hanya dapat bereplikasi dengan
memanfaatkan sel inang. Siklus
hidup HIV diawali dengan
penempelan partikel virus (virion)
dengan reseptor pada permukaan
sel inang, di antaranya adalah CD4,
CCR5, dan CXCR4. Sel-sel yang
menjadi target HIV adalah sel
dendritik, sel T, dan makrofag.
11
sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia. DNA virus
yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan
cukup lama di dalam sel.[ Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang
dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu
diubah menjadi mRNA. Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan
menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV. Sebagian RNA dari
provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagian genom RNA tersebut akan
dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh. Pada tahap
perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein
panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus. Apabila HIV utuh
telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi
sel berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan
(budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran
permukaan sel inang.
1.4. Deteksi HIV
. Umumnya, ada tiga tipe tes deteksi HIV, yaitu : (1) tes PCR, (2) tes
antibodi HIV, dan (3) tes antigen HIV. Tes reaksi berantai polimerase (PCR)
merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat
mendeteksi keberadaan materi genetik HIV didalam tubuh manusia. Tes ini
sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat
(HIV NAAT). PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa
mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus. Sedangkan, untuk deteksi RNA virus
dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode
kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada
11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk
12
mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada
individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan
mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes
lainnya.
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes
antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan
menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan
mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin. Sejak tahun
2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi
antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel
dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian,
kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif
maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari
alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi
kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat
digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang
memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam
jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes
antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi
yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena
sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap
HIV terbentuk.
1.3. Diagnostik
13
Diagnosa AIDS ditegakkan pada seorang pasien dengan HIV positif
dengan penurunan imunitas dan infeksi oppurtunistik (seperti : pneumonia
pneumocystic carinii) atau neoplasma (seperti : sarcoma Kaposi) sebagai
tambahan, definisi kasus pangawasan AIDS yang diperluas termasuk semua
orang yang terinfeksi oleh HIV yang mempunyai jumlah CD+4 T-limfosit kurang
dari 200/µl. atau kurang dari 14 persen CD+4 T-limfosit dari total limfosit yang
didignosis sebagai tuberculosis pulmoner, kanker servikal siinvasive, atau
pneumonia rekurentis. (Menko Kesra, 2007)
WHO memperkenalkan suatu kriteria diagnostik berdasarkan gejala
klinis yang dapat digunakan dilapangan, namun tergantung kondisi saat itu.
Sekarang ini kriteria diagnostik itu dimodifikasi dan disesuaikan dengan
serologis HIV. Seorang pengidap AIDS ditetapkan atau ditentukan dengan
adanya paling sedikit dua gejala utama yang berkaitan dengan satu gejala
minor, dan tidak adanya penyebab tertekannya system kekebalan yang telah
diketahui seperti adanya kanker atau gangguan malnutrisi yang parah atau
etiologi lainnya yang telah dikenal. (Kaplan HI, 1998. Levy D, 2004)
1.3 Stadium Klinis HIV/AIDS
Menurut WHO stadium klinis infeksi HIV dibagi dalam empat stadium,
yaitu :
1. Stadium 1, Asimtomatik dengan pembesaran kelenjar limponodi.
2. Stadium 2, Infeksi sudah sampai ke permukaan kulit
3. Stadium 3, Infeksi sudah mencapai mukosa
4. Stadium IV, Infeksi sudah mencapai organ dalam seperti paru, otak,
liver.
Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO (Levy D, 2004)
14
Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas
I 1. Asimtomatik
2. Limfadenopati generalisata
Asimtomatik
aktivitas
normal
II 3. Berat badan menurun <10%
4. Kelainan kulit dan mukosa yasng ringan
seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,
ulkus oral yang rekuren
5. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.
6. Infeksi saluran nafas bagian atas seperti :
sinusitis bacterialis
Simtomatik,
aktivitas
normal
III 7. Berat badan menurun > 10%
8. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1
bulan
9. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
10. Kandidiasis orofaringeal
11. Oral Hairy Leukoplakia
12. TB paru dalam tahun terakhir
13. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia,
piomiositis.
Pada
umumnya
lemah, aktivitas
di tempat tidur
kurang dari
50%
IV 14. HIV wasting syndrome. Seperti yang
didefinisikan oleh CDC.
15. Pneumonia Pneumocystic carinii
16. Toksoplasmosis otak
17. Diare kriptokokosis lebih dari 1 bulan
Pada
umumnya
sangat lemah,
aktivitas di
tempat tidur
15
18. Kriptokokosis diluar paru
19. Retnitis virus sitomegalo
20. Herpes simpleks mukokutan >1 bulan
21. Leukoencephalopati Multifokal Progresif
22. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
23. Kandidiasis bronki, trakea dan paru, esofagus
24. Mikobakteriosis atipikal diseminata
25. Septikemia salmonellosis non tifoid
26. Tuberkulosis di luar paru
27. Limfoma
28. Sarkoma Kaposi
29. Ensefalopati HIV
lebih dari 50%
Beratnya penyakit berhubungan dengan besarnya penurunan CD4+
1.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV perlu dilakukan secara holistik dengan
memperhatikan seluruh aspek kesehatan yang terdiri : aspek biologis, aspek
psikologis, aspek social dan aspek spiritual (WHO, 1984. Hawari, 1997.
Nasronudin, 2007).
1.4.1. Biologik
Dari aspek biologik penatalaksanaannya dengan menggunakan obat-
obatan dan zat nutrisi yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi fisik dari
penderita. Obat-obatan yang diberikan untuk menanggulangi infeksi virus HIV
dan infeksi oportunistik (OI).
16
- Obat-obatan :
Untuk mengatasi infeksi HIV digunakan antiretroviral (ARV)
Untuk infeksi oportunistik diatasi sesuai dengan penyebab infeksinya
(virus, jamur, amoeba, bakteri).
Simptomatik sesuai dengan kebutuhan
- Diet sesuai kebutuhan biasanya TKTP, berbasis makronutrien
(karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrien (multivitamin,
multimineral, trace element) (Nasronudin, 2007).
- Istirahat dan tidur yang cukup
- Senam atau latihan fisik sesuai dengan kebutuhan
1.4.2. Psikologik.
Menurut (Nasronudin, 2007), infeksi HIV merupakan stresor bagi tubuh
manusia.
1. Stressor biologis akibat infeksi HIV itu sendiri yang akan
menggerogoti berbagai jaringan tubuh penderita.
2. Stressor psikologis akibat dinyatakan menderita infeksi HIV yang
akan menyiksanya sampai mati
3. Stressor psikososial akibat stgma dan diskriminasi yang
mengucilkannya dari masyarakat karena orang-orang takut
ketularan.
4. Stressor spiritual akibat rasa berdosa yang tak akan terampuni
sehingga harus menerima hukuman yang berat.
Akibat stres ini membuat penderita putus asa dan tidak punya harapan
yang bermanifestasi sebagai gangguan mental mulai dari yang ringan (cemas,
17
depresi) sampai yang berat (psikotik, demensia). Pengobatannya sesuai
dengan manifestasi gangguannya.
1.4.3. Sosial
Dukungan social yang datang dari keluarga maupun masyarakat yang
peduli dengan HIV/AIDS akan meningkatkan rasa percaya diri dari penderita
dan mengurangi rasa frustasinya. Mereka merasa tidak ditinggalkan sendiri
menanggung penderitaannya. Mereka merasa diperhatikan dan dibantu dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hal ini penting dalam meningkatkan
kualitas dan harapan hidup penderita.
Dukungan ini sangat menentukan perkembangan penyakitnya.
Dukungan ini akan menghindarkan paham bahwa penderita HIV tidak ada
harapan hidup, dan menghilangkan stigma maupun diskriminasi yang
berkembang di masyarakat.
1.4.4. Spiritual
Penderita HIV/AIDS selain mengalami stress biologi, psikologik dan
sosial, mereka juga stress spiritual (Buck, 2004). Mereka meyakini diri mereka
mengalami hukum dan tak mungkin diampuni, untuk itu kita perlu
mengembalikan keyakinan akan sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan
Maha Pengampun dengan menunjukkan bukti-bukti yang ada disekelilingnya
dan Tuhan senantiasa mendengar doa-doa mereka meskipun harus melalui
banyak ujian. Survei mendukung kesehatan spiritual ini berhubungan dengan
rendahnya derajat depresi, rendahnya ide-ide bunuh diri, ketiadaan harapan,
dan meningkatnya dukungan social.
18
2. Depresi
Gangguan ini telah dikenal di masyarakat umum sejak zamam purbakala
(Kaplan, 1997) dan merupakan salah satu penyebab penyakit global. World
Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 depresi
akan naik dari urutan ke-4 menjadi urutan ke-2 di bawah penyakit jantung
iskemik sebagai penyebab disabilitas. Depresi juga mempengaruhi morbiditas
dan mortalitas sejumlah penyakit somatik (Manning, 2003; Jain, 2004).
Depresi dapat terjadi pada semua umur, dapat muncul dalam berbagai
tingkat keparahan, bahkan ada yang disertai gambaran psikotik, atau
berkomorbiditas baik dengan gangguan psikiatrik maupun gangguan fisik lain.
Kadang terdapat suatu predisposisi yang memfasilitasi perkembangannya,
tetapi juga kadang berkembang secara progresif (Amir, 2003). Karena
kompleksnya gangguan depresi dan tingginya angka komorbiditas dengan
penyakit medis umum, menyebabkan gangguan ini banyak yang tidak
terdiagnosis sebagaimana mestinya sehingga pasien tidak mendapatkan
pengobatan secara adekuat bahkan dapat mengarah pada pemeriksaan
berulang atau pengobatan yang sebenarnya tidak perlu (Amir, 2003;
Syamsulhadi, 2004).
Sampai saat ini masih diyakini bahwa gangguan depresi merupakan
hasil interaksi antara faktor psikogenik, faktor sosiogenik dan faktor biogenik.
Dikatakan bahwa suatu faktor dapat saling mempengaruhi dengan faktor
lainnya, sebagai contoh, faktor psikogenik dapat mempengaruhi faktor
biogenik, ataupun sosiogenik demikian pula sebaliknya. Faktor biogenik juga
dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stresor psikososial, dan
seterusnya (Amir, 2003; Sadock & Sadock, 2003).
19
2.1. Definisi :
Depresi adalah suasana hati (afek) yang sedih atau kelihangan minat
atau kesenangan dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua
minggu yang disertai dengan berapa gejala yang berhubungan,seperti
kehilangan berat badan dan kesulitan berkonsentrasi (DepKes RI, 2003 ; De
Cock KM, 1996 ; Puri. B.K, 1996)
2.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat merupakan kelainan yang umum dengan
prevalensi semua umur sekitar 15%; depresi mengenai sekitar 20% wanita dan
12% pada laki-laki. Gangguan ini juga banyak terjadi pada orang tanpa
hubungan interpersonal yang dekat atau pada mereka yang dipisahkan,
dikucilkan oleh keluarganya atau diceraikan oleh suami / istrinya. Tidak
terdapat korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat
(Silverstein, 2002; Sadock & Sadock, 2003; Amir, 2005).
Suatu survei yang dilakukan oleh Kielholz dan Polinger (1974)
menunjukkan bahwa 10% pasien yang berobat ke dokter adalah pasien depresi
dan separuhnya merupakan depresi terselubung yang gejalanya muncul
sebagai keluhan somatik. Katzestein (1998) menemukan bahwa lebih dari 70%
pasien depresi tidak terdiagnosis oleh dokter. Sartorius (1974) memperkirakan
bahwa sekitar 100 juta penduduk dunia mengalami depresi, dan Cass (1988)
menemukan bahwa 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi dalam
kehidupannya (Hawari, 2002).
20
2.3. Etiologi
Etiologi dari depresi secara pasti belum diketahui hanya ada beberapa
hipotesis yang berhubungan dengan factor biologik dan psikososial.
Faktor Biologik.
1. Biogenik Amine.
Istilah biogenic amine umumnya digunakan terhadap komponen
katekolamine, norepinephrin, epinephrine, dopamine dan serotonin. Sistem
neuronal menggunakan biogenic amine relative kecil dalam sekelompok sel
yang berada dibatang otak. Biogenik amine ini dilepaskandalam ruang sinaps
sebagai neurotransmitter. Neuro transmitter yang banyak berperan pada
depresi adalah norepinephrin dan serotonin (Sadock & Sadock, 2003) Pada
penelitian post mortem didapatkan penurunan konsentrasi serotonin dalam otak
dari penderita depresi (Sadock & Sadock, 2003). Selain itu juga ditemukan
adanya penurunan aktivitas dopaminergik (Kaplan HI,,1990; Kety SS, 1975).
2. Hormonal
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis system limbic-
hypothalamus-hypophyse-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi
kortisol . Selain itu juga ditemukan penurunan hormone yang lain seperti
Growth hormone, LH, FSH, dan testosterone (De Cock KM, 1996 ;, Puri.
B.K,1996)
3. Tidur.
Pada depresi ditemukan peningkatan dari aktivitas rapid eye movement
(REM) pada fase awal memasuki tidut dan penurunan REM pada fase latensi
(De Cock KM, 1996 ;, Puri BK, 1996)
21
4. Genetik
Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang orang tua
mempunyai riwayat depresi maka 27 % dari anaknya akan menderita
gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita depresi
maka kemungkinanya meningkat menjadi 50 – 75 %. Diduga gen dominant
yang berperan pada depresi ini terikat pada kromosom 11 (Kaplan HI,,1990,81-
95 ;. Kety SS, 1975)
5. Data biologik lain.
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya pelebaran ventrikel.
PET scan menunjukkan penurunan metabolisme otak, pengurangan cerebro
blood flow terutama sekali pada ganglia basalis (Puri. B.K, 1996)
Faktor Psikososial (De Cock KM, 1996)
1. Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan.
Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan
penting dalam terjadinya depresi. Data-data yang ada menunjukkan bahwa
kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun dan kehilangan pasangan
merupakan awal dari gangguan depresi.
2. Kepribadian premorbid
Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi
kompulsif dan histrionik mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi depresi
dibanding dengan kepribadian anti sosial dan paranoid.
3. Faktor psiko-analitik
Menurut Karl Abraham manifestasi penyakit depresi dicetuskan oleh
karena kehilangan objek libidinal yang berakhir dalam suatu proses regresi
dimana terjadi penurunan fungsi ego yang telah matang ketingkat oral sadistik
22
dari tingkat perkembangan libidinal akibat trauma infantil yang menyebabkan
proses fiksasi pada anak usia dini. Sedangkan menurut Freud, introjeksi
ambivalen terhadap kehilangan objek dalam ego membawa kepada suatu
depresi tipikal.
2.4. Diagnosis
Berdasarkan PPDGJ III diagnosa depresi dapat ditegakkan atas dasar
adanya (PPDJ III, 1993)
A. Gejala utama :
1. Suasana perasaan yang depresi / sedih atau muurung
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energiyang menuju kepada meningkatnya
keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
B. Gejala tambahan :
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau
bunuh diri
6. Gangguan tidur
7. Nafsu makan berkurang
2.5. Derajat Depresi
Depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu (De Cock KM, 1996 ;, Puri
BK, 1996: PPDGJ III, 1993, Maslim R, 2004)
23
1. Depresi ringan (mild), bila terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga
gejala utama ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan.
yang sudah berlangsung sekurang-kurangnya selama dua minggu. Dan
tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
2. Depresi sedang (moderat), bila terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga
gejala utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat) dari
gejala tambahan.
3. Depresi berat (severe), apabila terdapat tiga gejala utama ditambah
sekurang-kurangnya empat gejala tambahan, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat.
Penilaian berat ringannya depresi diukur dengan menggunakan (Dinan G T,
1985; De Cock KM, 1996)
1. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), adalah suatu skala
pengukuran depresi yang terdiri dari 21 items pernyataan dengan fokus
primer pada gejala somatik dan penilaian dilakukan oleh pemeriksa.
2. Beck’s Depression Inventory (BDI), adalah suatu skala pengukuran
depresi yang terdiri dari 21 items pernyataan yang diberikan oleh
pemeriksa, namun dapat juga digunakan oleh pasien untuk menilai derajat
depresinya sendiri.
3. Zung Self Depression Scale, adalah suatu skala depresi yang terdiri dari
20 kalimat dan penilaian derajat depresinya dilakukan oleh pasien sendiri.
2.6.Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaan pasien dengan gangguan depresi melibatkan
penegakkan diagnosis yang benar dan penerapan pengobatan yang terbukti
serta ditujukan langsung pada penyakitnya.
24
Tujuan pengobatan adalah mencapai remisi dari gejala klinik, memperbaiki
kualitas hidup dan mencegah kekambuhan. Penatalaksanaan dilakukan
dengan menggunakan obat-obatan (psikofarmaka), terapi kejang listrik (ECT)
dan psikoterapi.
2.6.1. Psikofarmaka.
Terapi psikofarma dengan menggunakan anti depresan seperti :
amitriptilin, imipramin, fluoxetin, setralin dll.
2.6.2. Psikoterapi.
a. Terapi kognitif
b. Terapi perilaku
c. Interpersonal psikoterapi.
2.6.3. Electro Convulsive Therapy (Terapi Kejang Listrik)
Terapi ini diberikan bila :
a. Pengobatan dengan antidepresi tidak
memberikan respons yang baik
b. Pasien yang tidak dapat mentoleransi efek
antidepresi.
c. Keadaan klinis yang sangat parah dan
memerlukan perbaikan segera
3. Psikoterapi spiritual
3.1. Definisi
Psikoterapi berasal dari dua kata, yaitu ”psyche” yang berarti jiwa
dan ”therapy” yang berarti pengobatan. Jadi singkatnya ”psikoterapi” berarti
”pengobatan gangguan jiwa. dengan menggunakan aspek-aspek psikologis
25
(pikiran, perasaan dan perilaku). Secara umum psikoterapi diartikan sebagai
proses formal interaksi antara dua orang atau lebih, dimana seorang sebagai
profesional ”penolong” dan yang lain sebagai ”petolong” (orang yang ditolong)
dengan catatan bahwa interaksi itu menuju kepada perubahan dan
penyembuhan. (Prawitasari JE, 2002)
26
Sedangkan Spiritualitas didefinisikan sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan atau terdiri dari atau memiliki sifat spirit (roh). Sifat spirit (roh) adalah
tidak berwujud atau tidak. Kata "spirit (roh)" dalam bahasa Inggris berasal dari
kata 'spiritus' yang dalam bahasa Latin yang berarti 'napas'. Hubungan antara
alam spiritual dengan realitas abadi dirasakan berbeda dengan mengenai sifat
utama manusia, yang bersifat sementara atau duniawi. Spiritualitas melibatkan
ajaran inti yang terhubung ke sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri,
yang mencakup pengalaman emosional terhadap agama yang dikagumi dan
dihormati. Oleh karena itu pengalaman spiritualitas individu dan hubungan
dengan aspek fundamental, nonmateri dari alam semesta yang dapat disebut
dalam banyak cara - Tuhan, Kekuatan Tertinggi, Kuasa, Misteri dan
Transenden dan membentuk cara dengan mana seorang individu menemukan
arti dan makna yang berhubungan dengan kehidupan, alam semesta dan
segalanya. Orang awam mengartikan kata “spirit” yang menurut orang awam
adalah semangat. Menurut Wayne W. Dyer (2001) spirit adalah energi tak
kasatmata dan tak berbentuk yang merupakan sumber dan nutrisi kehidupan di
Bumi. Dalam buku “There’s a Spiritual Solution to Every Problem” yang ditulis
Wayne W. Dyer, Santa Teresa menyatakan spirit adalah “jiwa Tuhan dalam
dalam diri manusia” dan menurut Ramana Maharshi “apapun yang menarik
pikiran ke dalam bersifat spiritual”. Kunci pemahaman spiritualitas adalah
konsep tentang dunia lahir dan batin yang merupakan dua aspek unik
keberadaan manusia. Bila dianalogkan dunia fisik adalah bola lampu,
sedangkan dunia spirit adalah listrik.(Dyer, 2001)
Beberapa penulis di barat mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu
karakteristik yang meliputi penyingkapan misteri, kekuatan dalam
27
(tersembunyi), keharmonisan yang saling berhubungan (Barnum, 1996).
Spiritualitas berhubungan dengan kekuatan yang baik dan berhubungan
dengan pengalaman jiwa yang tumbuh dan dengan kekuatan yang lebih tinggi
(Barnum,1996). Menurut O’Brien (2003) spiritual adalah suatu konsep pribadi
yang melibatkan sikap dan keyakinan seseorang yang berhubungan dengan
Tuhan. Betty Neuman (2002) menggambarkan spiritualitas adalah bagian dari
struktur dasar yang dibawa sejak lahir yang tidak berkembang atau dikenal dan
dari suatu keadaan istirahat dibangkit oleh beberapa katalis lingkungan.
Menurut Neuman dan Fawcett (2002), suatu kewaspadaan diri seseorang
berhubungan dengan kesejahteraan yang optimal. Menurut Ellison (1983),
kesejahteraan spiritual adalah pernyataan kehidupan dalam berhubungan
dengan Tuhan, diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan pengasuhan secara
keseluruhan. Ini adalah suatu perasaan sejahtera yang berhubungan dengan
Tuhan dan perasaan kehidupan yang merujuk kepada agama yang tidak
spesifik. Ellison membagi kesejahteraan spiritual menjadi dua subkonsep,
yaitu :
1) Subkonsep kesejahteraan eksistensial (existential well-being), adalah
demensi kesejahteraan spiritual yang menghubungkan seseorang dengan
orang lain dan tujuan hidupnya.
2) Subkonsep kesejahteraan keagamaan (religious well-being) adalah
demensi kesejahteraan spiritual yang menghubungkan antara seseorang
dengan Tuhannya.
Sedangkan di Indonesia spiritual dikait dari kata ”spirit” yang berarti
semangat, jiwa, roh, atau energi batin. Menurut Suryani (2004), spirit adalah
gabungan energi ibu, bapak dan Tuhan yang terbentuk sejak terjadinya
28
konsepsi, yang merupakan sumber kehidupan, sumber pengetahuan dan
sumber kemampuan manusia. Spirit merupakan kekuatan konstan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental manusia
sejak manusia itu tercipta dan selama ia menjalani kehidupannya di dunia.
Spirit mampu memberikan kemudahan kepada kita dalam mempelajari dan
memahami kehidupan, mampu membantu kita dalam memaksimalkan fungsi
mental dan melahirkan ide-ide baru yang berguna bagi diri, manusia dan
makhluk lainnya didunia. (Suryani LK,2004) Energi spirit ini dapat bekerja
dengan baik bila ibu dan bapak menyediakan situasi spiritual. Situasi ini tercipta
dalam keadaan tenang, dalam suasana dekat dengan Tuhan melalui
pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaan agama yang dianut.(Suryani LK,
2004)
Dalam Mosby Medical Dictionary edisi ke 8 (2009) spiritual therapy
adalah suatu bentuk konseling atau psikoterapi yang melibatkan moral,
spiritual dan agama yang berpengaruh pada perilaku dan kesehatan fisik.
Spiritual dan agama serta nilai-nilai yang diyakini digunakan untuk memperkuat
diri.
Jadi psikoterapi spiritual dapat diartikan sebagai suatu psikoterapi yang
menggunakan kekuatan spiritual yang berasal dari Tuhan melalui pelaksanaan
ajaran agama dan kepercayaan yang dianut.
3.2. Spiritual dan Agama
Spiritualitas adalah suatu konsep yang lebih luas dari pada agama
(Plevak & Rumman, 2001; Dubin & Seeman, 2003) dan mungkin berakar atau
berhubungan dengan agama (Miller & Thoresen, 2003). Spiritualitas merujuk
29
kepada suatu pertanyaan dalam kehidupan dimana kekudusan dan kesucian
(Kliewer, 2004), suatu yang luar biasa yang berhubungan dengan Tuhan atau
suatu kekuatan yang lebih tinggi (Kliewer, 2004), dan terpusat pada sesuatu
yang tak berwujud (Miller & Thoresen, 2003). Disisi lain agama berpusat pada
peraturan-peraturan kepercayaan atau keyakinan, praktek, ritual dan faktor
institusional social (Miller & Thoresen, 2003). Spiritual melampaui batasan
pribadi, batasan ilmiah (Reed, 1992) dan juga batasan fisik, sedangkan agama
didefinisikan dengan batasan tersebut (Miller & Thoresen, 2003). Spiritualitas
secara tipikal berhubungan dengan pengalaman dari keyakinan atau
kepercayaan. Bagi banyak orang spiritualitas erat kaitannya dengan agama
yang diyakininya. Sedangkan yang lain membedakan komponen hubungan
antara manusia dan komponen pengalaman terhadap agama. Martin Marty dan
Paul Tillich menyatakan bahwa jika agama dipandang sebagai aspek struktur
atau organisasi. Spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari agama. Mereka
berhubungan satu sama lainnya dan spiritualitas cendrung mengalir dari
agama. Mereka dapat dibedakan tapi tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya
(Benson H,2000)
3.3. Spiritual dan Jiwa
Ketika berbicara tentang spirit atau ruh, Allah SWT berfirman : “Dan mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah : “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Isra’
(17) : 85). Ketika berbicara tentang jiwa, Allah SWT berfirman, “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati” (QS. Al- Imran (3) : 185). Ini menunjukkan
30
bahwa ruh adalah urusan Tuhan dan sedikit sekali kita diberi pengetahuan,
sedangkan jiwa sesuatu yang akan mati. (Al-Kahil, AD. 2011)
Menurut Abdud Daim Al-Kahil (2011), Spirit atau Ruh adalah energi yang Allah
pancarkan kepada mahluk hidup yang ada di muka bumi, yang kemudian
menjadikannya bergerak, berkembang biak dan membuat sel membelah
menjadi lebih banyak. Ketika sel itu mati, maka energi penggerak ini telah
habis. Ruh bisa dibayangkan sebagai getaran yang tidak terlihat, tidak bisa
diukur apalagi dikenali dengan perangkat apapun. Namun kita bisa melihat
hasil keberadaannya. Getaran ruh inilah yang menggerakkan sel dan
memicunya untuk membelah diri dan melanjutkan kehidupannya.
Menurut Abdul Basith Muhammad as-Sayyid (2008), spirit atau ruh adalah
sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan yang Maha Tinggi dan Maha
Pencipta. Ruh manusia memiliki banyak keistimewaan, kekuatan kemampuan
yang membuatnya bisa berhubungan dengan ruh lainnya tanpa membutuhkan
perantara. Sedangkan jiwa menurut Abdul Basith Muhammad as-Sayyid adalah
hasil pertemuan ruh dengan benda materi atau perpaduan antara ruh dengan
jasad. (As-Sayid, ABM. 2008)
Sedangkan Jiwa adalah aurora yang meliputi tubuh dan menempel serta tidak
akan meninggalkannya kecuali ketika tidur atau mati. Persepsi ini berkenaan
dengan firman Allah SWT “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan di
waktu tidurnya. Dia (Allah SWT) menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia (Allah SWT) melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditetapkan. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir” (QS. Az-Zumar (39) : 42).
31
Jiwa cenderung memberi bisikan dan mendorong seseorang untuk berbuat
keburukan dan kejahatan. Allah SWT berfirman : “Karena sesungguhnya nafsu
(jiwa) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Yusuf (12) : 53). Orang yang jauh dari Allah jiwanya cendrung
membisikkan tentang keburukan atau kejahatan, sedangkan bagi orang-orang
yang beriman (mukmin) yang selalu menyucikan jiwanya dan
mengendalikannya sehingga menjadi tenang. Jiwa yang tenang ini akan
kembali kepada Allah SWT setelah meninggal. Firman : “Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-
Ku”(QS. Al-Fajr (89) ; 27-30).
3.4. Spiritual dan Kesehatan
Spiritualitas adalah suatu konsep yang lebih luas dari pada agama
(Plevak & Rumman, 2001; Dubin & Seeman, 2003) dan mungkin berakar atau
berhubungan dengan agama (Miller & Thoresen, 2003). Spiritualitas merujuk
kepada suatu pertanyaan dalam kehidupan dimana kekudusan dan kesucian
(Kliewer, 2004), sesuatu yang luar biasa yang berhubungan dengan Tuhan
atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (Kliewer, 2004), dan terpusat pada
sesuatu yang tak berwujud (Miller & Thoresen, 2003). Disisi lain agama bersifat
ortodoks berisi aturan-aturan dan kitab suci bersejarah yang dilertarikan
manusia yang berpusat pada peraturan-peraturan kepercayaan atau
keyakinan, praktek, ritual dan faktor institusional social (Miller & Thoresen,
2003, Dyer, 2001). Spiritual melampaui batasan pribadi, batasan ilmiah (Reed,
1992) dan juga batasan fisik, sedangkan agama didefinisikan dengan batasan
32
tersebut (Miller & Thoresen, 2003). Spiritualitas secara tipikal berhubungan
dengan pengalaman dari keyakinan atau kepercayaan. Bagi banyak orang
spiritualitas erat kaitannya dengan agama yang diyakininya. Sedangkan yang
lain membedakan komponen hubungan antara manusia dan komponen
pengalaman terhadap agama. Martin Marty dan Paul Tillich menyatakan bahwa
jika agama dipandang sebagai aspek struktur atau organisasi. Spiritualitas tidak
dapat dipisahkan dari agama. Mereka berhubungan satu sama lainnya dan
spiritualitas cendrung mengalir dari agama. Mereka dapat dibedakan tapi tak
bisa dipisahkan satu dengan lainnya (Benson H,2000)
33
3.5. Cara Mengakses Pengarahan Spiritual
Menurut Wayne W. Dyer ada tiga langkah untuk mengakses pengarahan
spiritual, yaitu :
1. Pengenalan : mengenali keberadaan kekuatan kasatmata yang bisa
digunakan dalam memecahkan masalah (penyembuhan).
2. Penyadaran : menyadari kehadiran kekuatan spiritual dengan
memvisualisasikan kehadirannya
3. Penghormatan : menghormati jati diri kita secara keseluruhan sebagai
bagian dari Tuhan. Melalui hening kita berinteraksi dengan spirit kita
sendiri– Tuhan.
3.6. Mekanisme Penyembuhan Melalui Spiritual / Agama
Menurut Dale A. Mathew ada beberapa kemungkinan yang
mempercepat penyembuhan, antara lain :
1. Tubuh memberi respon positif pada agama
Menurut Matthews dengan memiliki agama atau kepercayaan dan
keteraturan dalam beribadah:
a) tekanan darah dan denyut jantung cendrung menjadi lebih rendah
b) konsumsi oksigen akan lebih baik
c) pola gelombang otak melambat
d) fungsi imunitas meningkat
2. Agama membawa kedamaian pikiran.
a) Adanya agama atau kepercayaan akan menimbulkan rasa damai
dan meningkatkan kemampuan kita dalam mencari pemecahan
masalah yang sedang kita hadapi.
b) Agama mengurangi stres
34
3. Agama memelihara kebersihan dan kesehatan.
Menurut Matthews orang yang beragama dan rajin beribadah :
a) Tidak akan terjebak dengan minuman keras
b) Senantiasa menjaga kebersihan diri
c) Mengutamakan keselamatan.
4. Agama membentuk komunitas penyembuhan.
Adanya kesamaan kepercayaan/agama dan tujuan hidup akan membuat
suatu hubungan / ikatan yang kuat diantara mereka yang tak mudah
terpisahkan, sehingga terbentuk suatu komunitas yang saling membantu, saling
menjaga, dan memperbaiki diantara mereka. Ketiadaan salah seorang diantara
mereka akan mempengaruhi yang lainnya.
3.7. Mekanisme Potensial Spiritual Mengarah Kepada Kesehatan fisik
Menurut Fetzer (2003) ada banyak cara religiusitas dan spiritualitas yang
berhubungan dengan kesehatan, antara lain melalui mekanisme perilaku,
sosial, psikologik dan fisiologik
3.7.1. Mekanisme Perilaku
Spiritualitas / keagamaan mungkin melindungi tubuh dari berbagai
penyakit secara tidak langsung dihubungkan melalui gaya hidup sehat. Pada
sekte agama tertentu mendukung diet sehat dan menasihatkan anggota
kelompoknya menghindari tembakau (Cochran, Begley and Buck, 1988, Fetzer,
2003). Tak dapat dipungkiri orang yang tinggi tingkat keagamaan /
spiritualitasnya secara konsisten tidak menyukai alkohol dan obat-obatan
dibandingkan dengan dengan mereka yang kurang keagamaannya.
Keterlibatan dalam organisasi keagamaan akan memudahkan mereka
35
mendapatkan informasi perawatan kesehatan dan membuat mereka berespon
lebih cepat terhadap krisis-krisis kesehatan yang akut. Hampir semua agama
dan tradisi spiritual meyakini pentingnya pemeliharaan kesehatan pikiran,
badan dan jiwa.
3.7.2. Mekanisme Sosial
Kelompok-kelompok agama dan spiritual akan memberikan dukungan
sosial bagi anggota kelompok mereka. Anggota kelompok keagamaan
dianggap sebagai suatu bagian dari ikatan sosial yang besar bersama
keluarga, teman dan kelompok sosial yang lain. Dalam penelitian epidemiologi
ikatan yang demikian antara anggota kelompok keagamaan akan menurunkan
angka kematian seiring dengan sejumlah peningkatan ikatan. Tawaran
dukungan oleh kelompok ikatan sosial ini seringkali dikonsepsualisasikan
sebagai salah satu tawaran emosional (berbagi perasaan simpati, pemberian
semangat) atau sebagai pertolongan (tawaran untuk membantu dalam tugas,
material atau uang). Perhimpunan keagamaan merupakan sumber dukungan
potensial dari berbagai dukungan diantara anggota yang saling mengenal
ataupun yang tak mengenal. Kunjungan ke pelayanan keagamaan akan
memperluas jaringan sosial.
3.7.3. Mekanisme Psikologik
Kelompok keagamaan / spiritual menawarkan kepada para anggotanya
suatu rangkaian kompleks keyakinan mengenai Tuhan, etika, hubungan antar
manusia, hidup dan mati, serta keyakinan yang secara langsung berhubungan
dengan kesehatan. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa pengaruh keikut
sertaan dalam pelayanan keagamaan, berdoa, dan membaca kitab suci akan
memperkuat sistem keyakinan beragama. Individu yang menggambarkan diri
36
mereka mempunyai kepercayaan kepada Tuhan yang kuat dilaporkan lebih
berbahagia dan lebih puas dengan kehidupan mereka.
Agama juga memberi efek perlindungan yang bermakna bagi kesehatan
emosional dan fisik dari individu-individu yang berada dalam krisis.
Pengalaman kedamaian yang mendalam dari dunia dalam (batin atau ruhani)
yang seringkali dihubungkan dengan meditasi dan doa mungkin menandai
suatu peralihan dari bangkitan simpatis ke relaksasi parasimpatis yang akan
mengurangi reaksi-reaksi fisiologik (Fetzer, 2003).
3.7.4. Mekanisme fisiologik.
Spiritualitas menjadi mungkin dapat bantalan terhadap stresor mulai dari
yang ringan sampai yang berat secara langsung secara fisologik melalui
penghantaran neuroendokrin seperti katekolamine, serotonin dan kortisol.
Emosi-emosi negatif berhubungan dengan mekanisme kunci patogenik dari
penyakit-panyakit seperti Ischemia myocardial, arrythmia, supresi respons
imunitas (kekebalan). Praktek-praktek keagamaan / spiritual tertentu akan
merangsang “respons relaksasi” suatu penggabungan reaksi fisiologik yang
berlawanan dengan “respon stres”. Perangsangan berulang-ulang dari respons
relaksasi ini menghasilkan pengurangan ketegangan otot, berkurangnya
aktivitas simpatis dari sistem saraf otonom, berkurangnya aktivitas aksis
hipofise anterior – adrenal, rendahnya tekanan darah, denyut jantung yang
lebih rendah.
3.8. Kekuatan Penyembuhan Spiritual
Menurut Dalai Lama, ada tiga faktor yang mempengaruhi kesembuhan
Seseorang pernah berkata : "Kesehatan tubuh yang baik, sebenarnya sebagian
besar bergantung pada pikiran". Dalam bahasa arab : "Al aqlus salim fi jismis
37
salim" atau dalam bahasa latin "Mens sana in corpore sano" (Satire, X. 356) (A
healthy mind in a healthy body) didalam Bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai " Jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat".
Ilmu pengetahuan masa kini telah menemukan bahwa ungkapan tersebut
benar. Pikiran mempengaruhi setiap sel dalam tubuh, sehingga membuat
sebagian berpikir bahwa untuk menyembuhkan seorang pasien, mereka juga
harus mengobati pikirannya bersama-sama dengan tubuhnya. Beberapa
peneliti mengemukakan hasil penelitiannya menyatakan bahwa : "Dokter
sekarang ini terlalu banyak tahu soal penyakit. Tetapi terlalu sedikit tahu
tentang manusia – serta apa yang membuat mereka. Para dokter kerap gagal
memenuhi kebutuhan emosiomal pasien dengan memperlakunya sebagai
pasien, dan bukan sebagai manusia". (Sherman H, 2008)
Dr. Lauren T. Guy dalam sebuah laporan yang ditujukan kepada Medical
Society of New York, menyebutkan bahwa "kecemasan dan ketegangan dapat
menyebabkan kebutaan dan glaucoma". Selanjutnya dia menambahkan "Suatu
analisis yang dilakukan oleh pasien terhadap masalah pribadinya dapat
meringankan penyakit fisik, berdampak baik pada mata, jantung, tekanan
darah, dan penyakit yang menyerang organ tubuh lainnya"
Sherman menyatakan bahwa "Banyak penyakit disebabkan oleh cara
berpikir, emosi, dukacita, rasa terhina, dan semua itu dapat meracuni tubuh
manusia". Selain itu Sherman juga menyatakan bahwa "Kebutaan dan
kesulitan yang sering dialami oleh laki-laki dan perempuan bisa dikarenakan
mereka tidak mau menghadapi sesuatu dalam hidup ini, mereka tidak mau
melihat atau mendengar seseorang atau sesuatu". Jadi penyakit itu tidak hanya
disebabkan oleh faktor fisik semata, tetapi oleh pikiran dan emosi. Maka untuk
38
mengatasinya kita perlu memutuskan ikatan dengan pikiran dan emosi yang
mengganggu tersebut. (Sherman H, 2008)
Untuk mencapai kesembuhan yang optimal, seseorang harus memiliki
keyakinan dan kepercayaan yang penuh kepada sumber kekuatan (Tuhan)
yang mendatangkan kesembuhan sesuai yang diharapkan. Kita harus
memanfaatkan semua kekuatan, baik dari luar maupun dari dalam diri kita demi
kesehatan fisik dan mental kita.
Ingatlah, Tuhan bekerja melalui pikiran manusia. Harus ada keyakinan
bahwa apa yang kita lakukan saat itu akan berpengaruh positif dan makin
memungkinkan kesembuhan. Sumber dasar dari penyembuhan selamanya
adalah Kekuatan Tuhan. Orang-orang yang sembuh dari kanker, tumor, dll.
melihat diri mereka sembuh dalam pikiran mereka disertai dengan keyakinan
kepada Tuhan Sang Pencipta, sehingga kekuatan Penciptaan yang diberikan
Tuhan kepada mereka telah diaktifkan dan akan memberikan energy kepada
setiap sel dan bagian tubuh.
Penyebab penyembuhan adalah Kekuatan Tuhan yang bekerja dalam
diri kita yang harus kita aktifkan melalui pikiran yang bersih. Menurut Santa
Anna Kekuatan Tuhan yang bekerja dalam diri kita inilah yang disebut sebagai
Kekuatan Spiritual.
Dalai Lama menyatakan bahwa efektifitas pengobatan Buddha bergantung
pada , yaitu :
1. Kepercayaan dan keyakinan pasien
2. kepercayaan dan keyakinan dokter
3. Karma (Kekuatan spiritual yang dibangkitkan oleh rasa saling percaya)
dokter dan pasien.
39
Maka jika pasien dan dokter sama-sama berangkat pada kepercayaan
pada kekuatan nonfisik atau spiritual yang sama, hal-hal yang luar biasa
mungkin bisa terjadi. Jadi seorang dokter yang mendapatkan kepercayaan
dankeyakinan pasien memiliki peluang lebih besar untuk berhasil mengobati
penyakit daripada yang tidak mendapatkannya. (Benson H, 2000).
Singkatnya, interaksi kepercayaan dan keyakinan antara dokter dan pasien
mampu mengubah fisiologi pasien dan mempengaruhi kesembuhan atau
meringankan penyakit fisik.(Benson H, 2000)
Dr. Joan Z. Borysenko dari RS.Beth Israel Boston dan Fakultas
Kedokteran Harvard mengungkapkan bahwa para peneliti yang meneliti pasien-
pasien kanker menemukan pasien yang hidup lebih lama memiliki sejumlah
persamaan, antara lain :
Pertama, mereka yang hidup lebih lama mempunyai "keyakinan dan percaya
diri".
Kedua, mereka memiliki "semangat juang", mereka ingin sembuh dan
merencanakan untuk sembuh, mereka berjuang semampu mereka memerangi
penyakitnya.
Dr. Borysenko menyatakan bahwa "terapi perilaku bedasarkan
pembangkitan respon relaksasi merupakan upaya mempermudah mengatasi
masalah". Singkatnya, meditasi terutama yang berakar pada keyakinan yang
mendalam dapat menjadi alat yang sangat baik untuk membantu pasien tetap
bersemangat tinggi dan dapat bertahan hidup lebih lama. Cara terpenting untuk
mengaktifkan kepercayaan yang mendatangkan kesehatan dalam hidup Anda
adalah belajar bekerjasama dengan dokter dalam hubungan dokter-pasien
yang akrab.
40
3.9. Metode Terapi Spiritual Islam (Sayyid AB, 2008)
Menurut Abdul Basith Muhammad as-Sayyid metode pengobatan
spiritual Islam melalui lima cara, yaitu :
1. Membaca doa pada makanan
2. Membaca doa pada udara
3. Membacakan doa pada orang yang sakit
4. Sentuhan tangan
5. Membacakan doa pada air
3.9.1. Membaca doa pada makanan
Membaca “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kewajiban bagi setiap
orang Islam sebelum makan, lebih-lebih bagi orang yang sedang sakit, agar
makanan yang masuk kedalam perutnya terhindar dari gangguan jin. Dengan
melakukan hal tersebut berulang-ulang kali pagi, siang sore dan malam hari,
maka jin tidak lagi mempunyai tempat bernaung. Makanan yang dibacakan doa
dapat menyerap cahaya Allah dengan kuat yang dapat dilihat oleh jin.
3.9.2. Membaca doa pada udara
Caranya dengan membaca “bismillahi rahmanirrahim” sambil
menghembuskan udara di kedua telapak tangan yang terbuka, kemudian mulut
ditutup dan hiruplah udara dari telapak tangan yang telah dibacakan doa tsb.
Hal ini dilakukan berulang-ulang kali. Minimal 15 menit
Nabi Muhammad s.a.w bersabda : “Apabila kamu bangun dari tidur
maka berwudhulah, hiruplah air tiga kali, karena setan menginap di lubang
hidung”.
Setan merasa nyaman dengan adanya aliran nafas dan bau yang keluar masuk
dari lubang hidung.
41
3.9.3. Membacakan doa pada orang yang sakit
Penyembuhan dilakukan dengan membacakan surat Al-fatihah, Ayat
kursi, al –Ikhlas dan surat al-muawwidhathain kepada pasien. Allah SWT
berfirman : “Dan kami turunkan al-Qur’an menjadi pengobat dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan AlQur’an itu tidaklah menambah kepada orang
yang zalim kecuali kerugian.
3.9.4. Sentuhan tangan
Caranya adalah dengan meletakkan tangan kanan pada pasien. Hal ini
didasarkan pada riwayat Masruq dari Aisyah berkata : “Ketika Rasulullah
menjenguk orang sakit, beliau mengusapkan tangan kanannya sambil berdoa,
“hilangkan lah sakit wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah karena Engkaulah
yang memberi kedembuhan yang tidak meninggakan rasa sakit lagi”.
Dengan mengusapkan tangan kanan yang disertai doa, menyebabkan terjadi
hubungan antara doa dengan pasien-mengantarkan doa itu kepada Allah
dengan harapan akan disembuhkan olehNya. Hubungan ini akan mengalirkan
kekuatan spiritual menuju tubuh pasien dan mengembalikan keseimbangan
yang ada dalam tubuhnya. Dari hubungan itulah aliran kekuatan spiritual
(spiritual power) berjalan menuju ke tubuh pasien dan mengembalikan
keseimbangan yang ada dalam tubuh.
Melalui sentuhan tangan kanan dan ucapan (doa) menjadi penghubung antara
kekuatan orang yang sehat (terapis) dengan orang yang sakit (pasien), yang
akan mengembalikan keseimbangan kekuatan dalam tubuh pasien sehingga ia
menjadi sembuh. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki kesamaan
energi.
42
Pengobatan dengan sentuhan berfungsi melawan ketidak teraturan,
menciptakan keseimbangan dan keharmonisan yang ada dalam tubuh.
Pengobatan dengan sentuhan mengaktifkan kembali respon relaksasi yang
terbukti efektif menghilangkan rasa sakit.
Mengapa dengan menyentuhkan tangan ke bagian kepala pasien sambil
membacakan doa atau salawat dapat memberikan ketenangan ? Karena sel-
sel otak manusia bekerja sebagai pengirim getaran elektromagnetik keseluruh
tubuh dengan harmonis,
3.9.5. Membacakan doa pada air
Metode ini dilakukan dengan memasukkan cairan kedalam tubuh pasien
disertai dengan doa tertentu sehingga pasien mempunyai kekuatan untuk
mengembalikan “energy spiritual” yang telah terputus dari bagian lain
Dari uraian diatas,tampak jelas bahwa psikoterapi spiritual dalam agama Islam
berupa "dzikir dan doa". Dzikir dan doa ini berisi pujian dan permohonan
kepada Allah SWT dengan menyebutkan nama-nama-Nya. Dzikir merupakan
aktivitas pikiran bawah sadar yang bermakna "mengingat" dan "merasakan"
(Mustofa A, 2012). Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya
jika hati sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikirnya,
maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat
(Allah SWT). Dzikir memberikan kedamaian, ketentraman serta ketenangan
hati (jiwa) kepada yang melakukannya sebagaimana firman Allah SWT dalam
al-Qur'an :
�ه� الل �ر� �ذ�ك ب ه م وب ق ل �ن� �ط�م�ئ و�ت وا آم�ن �ذ�ين� �ر� ال �ذ�ك ب ال�� أ
�ق ل وب ال �ن� �ط�م�ئ ت �ه� الل
43
Artinya : "Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (QS. Ar-Rad : 28)
Menurut Mustofa (2012) dzikir bermakna "mengingat" dan "merasakan"
yang merupakan aktivitas " alam bawah sadar". Makna khusus dari dzikir
digunakan dalam kata "dzikrullah": mengingat dan merasakan kehadiran Allah,
dengan menggunakan potensi "alam bawah sadar". (Mustofa A, 2012). Makna
dzikrullah adalah membangkitkan kembali ingatan kita tentang Allah. Ini tak
bisa dipikirkan dan dianalisa, cukup dirasakan dalam kondisi yang khusyuk,
maka "Dia" akan hadir dalam kesadaran kita.
Saat berdzikir kita berada pada gelombang "alfa-theta" atau bahkan
pada gelombang "theta-delta". Pada saat itu kita menuju kepada gelombang-
gelombang imajinatif berdasarkan rasa dan sangat focus. Bahkan lebih dalam
lagi kita berada di gelombang "alam semesta" di fase delta. Gelombang
"berserah diri" kepada Sang Penguasa Jagad Raya.
Jika komposisi semua gelombang itu bisa kita hadirkan dalam fase
sadar, maka kita dapat berdzikir setiap saat secara efektif. Hal ini disebut
dalam Al-Qur'an sebagai orang yang selalu bedzikir dalam keadaan berdiri,
duduk, maupun berbaring. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an (QS, 3 :
191) :
�ه�م� وب ن ج و�ع�ل�ى" و�ق ع ود%ا �ام%ا ق�ي �ه� الل ون� ر �ذ�ك ي �ذ�ين� ل�ق�ت� ل خ� م�ا �ا �ن ب ر� ر�ض�
� و�األ� م�او�ات� الس� خ�ل�ق� ف�ي ون� �ر �ف�ك �ت و�ي�ار� الن ع�ذ�اب� �ا ف�ق�ن �ك� ان �ح� ب س �اط�ال% ب ه�"ذ�ا
Artinya : "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
44
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka". (QS, Al-Imran : 191)
Mereka tidak hanya sekedar mengucapkan kalimat-kalimat dzikir dengan
mulutnya, tetapi juga membangkitkan potensi alam bawah sadar atau bahkan
potensi alam tidak sadar ke alam sadar.
3.10. Fungsi Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar (Syatra AK, 2010)
Alam Sadar mempunyai empat fungsi utama yaitu :
1) Mengenali informasi yang masuk melalui panca indra
2) Membandingkan dengan memori yang ada
3) Menganalisis informasi tersebut
4) Memutuskan respon spesifik terhadap informasi tersebut.
Sedangkan Alam Bawah Sadar berfungsi memproses :
1) Kebiasaan
2) Perasaan
3) Persepsi
4) Memori permanen
5) Kepribadian
6) Intuisi
7) Kreativitas dan
8) Keyakinan
3.11. Alam Bawah Sadar
Aktivitas Alam Bawah Sadar bekerja pada bagian otak kanan sebagaimana
gambar dibawah.Yang paling berperan dalam pikiran alam sadar
adalah korteks serebri, sedang pada pikiran
bawah sadar adalah sistem limbik yang terdiri
dari thalamus, hypothalamus, hipokampus dan
amigdala.
45
3.12. Neurobiologi Spiritual.
atau dipersepsi sebagai hal yang positif atau negatif. Bila ia dipersepsikan
sebagai hal yang baik atau positif, maka ia akan mempengaruhi otak bagian
kanan, tapi bila ia dipersepsikan sebagai hal yang tidak baik atau negatif maka
ia akan mempengaruhi otak sebelah kiri.
Semua penelitian yang mengeksplorasi spiritualitas berkonsentrasi pada praktek
meditasi. Sebagian besar penelitian memeriksa dengan menggunakan pencitraan
fungsional sebagai alat investigasi, untuk menggambarkan mekanisme saraf yang
terlibat dalam aktivitas meditasi. Termasuk penggunaan Positron Emission
Tomography (PET) pada studi tentang Yoga, Tantra Yoga dan Yoga Nidra. (Mohandas
E.2012). Aktivasi prefrontal meningkatkan aktivitas lobus frontalis dan menurunkan
aktivitas parietal dalam aktivitas spiritualitas (meditasi, dzikir, dsb).
Gambar 3. Alam sadar vs Alam bawah Sadar
Semua rangsang sensori yang ditangkap oleh panca-
indra akan masuk melalui formasi retikularis (sistem
RAS), kemudian memasuki thalamus dan dipancarkan
ke kortex prefrontal. Di korteks prefrontal setiap
informasi akan dianalisa apakah baik atau buruk,Gambar 4. Reticular Activating System
46
Gambar 5 : Differentiation PSPL (Adapted from Newberg and Iversen, 2003)
Studi pencitraan meditasi mengungkapkan bahwa proses meditasi
membutuhkan focus perhatian yang intens, tampaknya mengaktifkan korteks
prefrontal (PFC) bilateral, tetapi lebih sering di sebelah kanan, serta girus
cingulate. Aktivasi prefrontal berhubungan dengan aspek kehendak untuk
meditasi. Prefrontal medial bersama-sama girus singulate posterior terlibat
dalam pemikiran reflektif diri, membantu seseorang untuk memiliki wawasan
tentang pengalamannya sendiri dan persepsi diri dalam hubungannya dengan
Tuhan. Keadaan mental yang terlihat selama latihan spiritual (meditasi) ini
disebut sebagai "kesadaran yang berubah" yang terjadi karena deregulasi
korteks prefrontal sementara. Kesadaran berubah adalah modifikasi perilaku
dan fungsi kognitif halus yang biasanya dianggap berasal dari korteks
prefrontalis.
Ketika PFC diaktifkan, melalui proyeksi glutamatergic dapat
mengaktifkan thalamus, terutama inti retikuler dari thalamus. Thalamus
menengahi aliran informasi ke korteks sensorik baik visual dan informasi yang
diperlukan untuk menentukan orientasi spasial tubuh melalui Lateral Geniculate
Body (LGB) dan lateral posterior nucleus (LPN). Informasi visual disampaikan
melalui LGB ke korteks striata dan informasi spasial disampaikan melalui LPN
47
ke PSPL. Ketika kita gembira inti retikuler thalamus melalui GABAergic (asam
amino gama butirat) menghambat proyeksi ke LGB dan LPN yang memotong
input korteks striata dan PSPL. Ini berarti mengganggu rangsangan yang
masuk ke korteks striata dan PSPL, yang akan meningkatkan rasa focus
selama meditasi. PSPL membantu membuat gambar tiga dimensi yang
kompleks dari tubuh dalam ruang, membantu membedakan objek dan
membantu mengidetifikasi benda-benda yang dapat dipahami dan di
manipulasi. Fungsi ini membantu membedakan diri dengan dunia eksternal dan
ini penting dalam fisiologi meditasi.
Gambar 6 :Neural circuitry of meditation post PSPL differentiation (Adapted from Newberg and Iversen, 2003)
Sistem limbik juga terlibat dalam pengalaman yang mirip dengan
meditasi hipokampus memodulasi dan merespons bangkitan kortikal melalui
hubungan ini (PSPL dan Hipokampus). Differensiasi PSPL mengstimulasi
hipokampus. Hipokampus akan mempengaruhi amigdala lateralis kanan dan
mereka saling berinteraksi satu sama lain dalam membangkitkan perhatian,
emosi dan beberapa jenis pencitraan tertentu yang merupakan bagian dari
pengalaman meditasi pada masa yang lalu. Stimulasi amigdala kanan lateral
menghasilkan stimulasi hypothalamus ventromedial dan stimulus sistem
parasimpatis perifer. Peningkatan aktivitas parasimpatis dikaitkan dengan
sensasi subjektif, pertama relaksasi kemudian menuju kepada ketenangan
48
yang lebih mendalam. Aktivasi dari sistem parasimpatis menurunkan denyut
jantung dan melambatkan pernafasan. Ketika denyut jantung menurun dan
pernafasan melambat ada penurunan persarafan dari LC (Locus cereleus) oleh
PGN (Paragigantocellular nucleus). Hal ini mengakibatkan penurunan
noradrenalin. Penurunan PGN dan stimulasi LC memotong pasokan dari LC ke
PSPL dan LPN (Lateral Posterior Nucleus). LC juga mengurangi pasokan nor
adrenalin ke hypothalamus paraventricular nucleus (PVN) dan menurunkan
produksi hormone CRH (corticotrophin hormone) dan kortisol.
Stimulasi intens sistem simpatis dan sistem parasimpatis, jika berlanjut pada
akhirnya dapat menghasilkan debit yang simultan dari kedua sistem. Praktek
spiritual didominasi oleh pengaktifan sistem parasimpatis yang ditandai dengan
penurunan denyut jantung dan perlambatan pernafasan. Stimulasi parasimpatis
terus berlanjut, akhirnya menghasilkan terobosan ke sisi yang lain yang
menghasilkan dorongan (drive) simpatis. (Gambar 7)
Gambar 7 : Sympathetic breakthrough
(Adapted from Newberg and Iversen, 2003)
49
Ada ketidakjelasan mengenai stimulasi belahan otak yang mulai urutan
kejadian saraf selama aktivitas spiritual. Model diatas menunjukkan akrivitas
spiritual dimulai dari belahan kanan otak, tetapi mungkin aktivitas ini
mengaktifkan belahan kiri pertama atau menyebabkan aktivasi bilateral.
Terobosan selanjutnya mengstimulasi struktur otak di kedua belahan otak. PFC
kiri mengaktifkan thalamus mengarah ke deferensiasi dari PSPL kiri yang
melalui hipokampus dan amgdala kiri, mengaktifkan hypothalamus lateral.
Hypothalamus lateral yang pada akhirnya mengaktifkan sistem simpatis. Selain
itu akan mengaktifkan raphe dorsalis dan kelenjar hipofise (pituitary)
melatoninergik. (Gambar 8)
3.13. Neurokimiawi Spiritualitas
Sistem dopaminergik melalui basal ganglia,terlibat dalam interaksi
kortikal- subkortikal dan pada sebuah studi PET dalam Yoga Nidra
menunjukkan paningkatan dopamine yang signifikan selama meditasi (Kjaer
T.W., et al. 2002). Hal ini diduga terkait dengan gating dari interaksi kortikal-
subkortikal.
Ada juga peningkatan kadar serotonin selama aktivitas spiritual
(meditasi), terutama melalui stimulasi hipotalamus terhadap raphae dorsalis.
Gambar 8 : Left hemispheric neural sequence (Adapted from Newberg and Iversen, 2003)
50
Serotonin mempunyai pengaruh pada depresi dan anxietas. Peningkatan
serotonin dapat berinteraksi dengan dopamin yang dapat meningkatkan
perasaan euforia. Serotonin dalam hubungannya dengan glutamat, dapat
mengakibatkan pelepasan asetilkolin dari Nucleus Basalis.
Meditasi berhubungan dengan penurunan kadar noradrenalin. Mekanisme ini
terjadi karena peningkatan aktivitas parasimpatis meredam dan mengakibatkan
penurunan dari aktivitas dari LC.
Selain itu juga ada peningkatan neurotransmitter asam amino, yaitu glutamat
dan GABA. Peningkatan aktivitas PFC menghasilkan peningkatan glutamat
bebas di sinaptik otak.
Meditasi berhubungan dengan peningkatan plasma melatonin. Stimulasi
hipofise oleh hipotalamus bertanggung jawab terhadap hal ini. Peningkatan
melatonin dapat menyebabkan ketenangan dan penurunan kesadaran nyeri.
Aktivasi parasimpatis dan penurunan rangsang LC dan PVN dari hipotalamus
dapat mengakibatkan penurunan CRH dan penurunan kadar kortisol. Aktivasi
parasimpatis juga mengstimulasi penurunan baroreseptor dan pelepasan
arginin vaso pressine (AVP) dan akan mengembalikan tekanan darah ke
normal. Peningkatan AVP selama meditasi berperan mengurangi kelelahan dan
meningkatkan gairah dan membantu mengkonsolidasikan kenangan yang baru.
Peningkatan glutamat merangsang inti arkuata di hipotalamus dan
menyebabkan pelepasan ß-Endorphin (BE), dan ini bertanggung jawab
menurunkan efek nyeri dan menimbulkan sensasi menyenang dan gembira
selama meditasi. (Newberg A.B., Iversen J., 2003),
Table 1 :Neurochemical Changes During Meditation (Adapted from Newberg and
Iversen, 2003)
51
Penelitian Hubungan Antara Doa Dan Kesehatan Jasmani (Elzaky J, 2011)
Ada sejumlah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Barat mengenai
fenomena doa dan hubungannya dengan kesehatan jasmani, antara lain :
1. Haris melakukan penelitian terhadap 990 pasien disebuah rumah sakit di
Amerika. Ia memintan sekelompok orang untuk mendoakan sebagian pasien
setiap hari selama empat minggu berturut-turut. Namun peneliti sengaja tidak
mempertemukan orang yang sakit dengan orang-orang yang mendoakan
mereka. Kelompok orang yang diminta berdoa tidak mengenali pasien yang
mereka doakan. Mereka hanya diberitahu nama-nama pasien tersebut.
Sebaliknya para pasien yang sakit tidak tahu bahwa mereka sedang didoakan
oleh sekelompok orang. Ternyata hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kelompok pasien yang didoakan oleh sekelompok orang.itu meresakan
52
kemajuan dan perbaikan kondisi badannya, karena serangan penyakit yang
mereka derita berkurang 10% dibanding kelompok pasien yang tidak didoakan.
2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Harris terhadap 393 pasien yang
menderita penyakit berat seperti penyakit jantung dan paru-paru. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pasien yang didoakan membutuhkan obat-
obatan dan alat bantu pernafasan yang lebih sedikit dari yang tidak didoakan.
Dan mereka lebih sedikit mengalami komplikasi .
3. Majalah "Psychosomatic Medicine" melakukakn penelitian yang
melibatkan dua kelompok responden, yaitu 78 orang pasien kulit hitam dan 77
orang kulit putih, yang usianya bervariasi antara 25 hingga 45 tahun. Kedua
kelompok itu dipisahkan dalam studi tersebut karena orang Afro-Amerika
dianggap cendrung lebih religious dan lebih taat menjalankan doa dan shalat
dibanding kelompok kulit putih. Para pasien itu kemudian diminta untuk
menjalankan perintah-perintah agama lebih taat dankhusyuk, terutama doa dan
shalat. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa shalat dan doa yang
banyakmereka lakukan itu dapat menurunkan tekanan darah tinggi, terutama
pada pasien kulit hitam. Penyakit yang diderita para pasien kulit putih tidak
mengalami perubahan yang berarti karena mereka lebih malas menjalankan
shalat dan doa.
4. "Natural Pharmacist" melakukan penelitian terhadap 40 pasien penderita
kanker stadium pertama. Mereka dibagi dalam dua kelompok seperti
pembagian pada penelitian sebelumnya, kemudian mereka juga diminta
menjalankan ajaran agama, terutama shalat dan doa. Enam hari dalam
seminggu selamasepuluh minggu. Para pasien menjalani terapi dan
pengobatan selama enam bulan. Dan perubahan yang jelas terlihat pada
53
kelompok pasien yang taat berdoa. para peneliti berkeyakinan bahwa orang
yang taat beribadah seperti shalat dan doa lebih kecil kemungkinannya
terserang panyakit, baik penyakit jiwa maupun panyakit badani. Mereka juga
memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menanggung rasa sakit dan
menahan penderitaan. Mereka memiliki jiwa yang lebih kuat dan stabil
sehingga terhindar dari stress, kegelisahan, dan putus asa. Tidak hanya itu,
mereka juga memiliki tubuh yang lebih sehat dan jika sakit, proses pemulihan
berjalan lebih cepat.
Dr. Mathew Dale melakukan suatu penelitian yang menyerupai
penelitian Harris dan menyimpulkan bahwa pasien yang beriman kepada
Tuhan, meyakini yang gaib, dan taat menjalankan perintah agama mengalami
proses penyembuhan yang lebih cepat dibanding pasien lainnya. Namun
menurutnya, perbedaan itu tidak dapat dijelaskan begitu saja dari sudut
pandang medis. Dan sejatinya, ilmu kedokteran tidak dapat member penjelasan
mengenai fenomena ini. Kemajuan yang dialami para pasien itu tidak dapat
dijelaskan kecuali dengan adanya kekuatan yang luar biasa (supernatural) atau
bentuk kekuatan lain yang tidak kita ketahui secara indrawi.
4. Hubungan Antara HIV/AIDS, Kadar CD4+ dan Depresi
Infeksi mulai terjadi ketika HIV masuk ke dalam sel tubuh. Melalui proses
ikatan gp120 dengan CD4 dan CCR5, HIV masuk dengan media gp41 dan
akhirnya terjadi membran fusion. Terjadi proses transkripsi RNA ke DNA dan
akhirnya terjadi infeksi permanen. Sel T4 akan dihancurkan sehingga
terbentuklah HIV baru (replikasi) untuk menginfeksi sel CD4+ yang lain
(Smeltzer and Bare. 2002.). Sejumlah penelitian menyatakan bahwa sesudah
54
infeksi inisial (permulaan), kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan
terinfeksi pula (Smeltzer and Bare. 2002).
Ketika sistem imun terstimulasi, maka replikasi virus akan terjadi dan
virus akan menyebar ke dalam plasma darah dan mengakibatkan infeksi
berikutnya pada sel-sel CD4 lainnya. Dalam respon imun, limfosit T4 berperan
dalam pengenalan antigen asing, aktifasi limfosit B untuk memproduksi
antibodi, stimulasi limfosit T sitotoksik memproduksi limfokin dan
mepertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika T4 terganggu, maka
mikroorganisme akan mudah menginvasi(Smeltzer and Bare. 2002). Infasi
tersebut akan menurunkan kadar CD4+ dalam tubuh dari jumlah normal (700-
1200/mm3) dan berefek ganda pada beberapa komponen imun yang lain,
antara lain menurunnya respon melarutkan Ag; menurunnya sekresi limphokin;
menurunnya cytotoxixity spesifik; menurunnya sel NK; produksi Ig terhambat
ketika berespon dengan Ag yang baru dan berkurangnya kemampuan
makrofag untuk cytotoxic; menurunnya chemotaxis; berkurangnya sekresi IL-1
dan lemahnya presentasi Ag.
Progresivitas AIDS dihubungkan dengan waktu terpapar HIV dan
tahapan infeksi didapatkan relative number or activity dari sel CD4+ pada awal
infeksi masih berada di atas 75% dan semakin menurun pada titik di bawah
25% 1 tahun sesudah terinfeksi, kondisi ini disebut immunodeficiency dan pada
tahun pertama ini klien sudah menunjukkan tanda-tanda simptomatik. Ketika
masa akut sudah terlampaui, klien jatuh pada fase kronik 3-8 tahun di mana
sudah mulai muncul infeksi yang berhubungan dengan AIDS antara lain
adanya carcoma kaposi; TB dan infeksi virus – jamur pada mukosa, sedangkan
angka aktifitas relatif sel CD4+ berada pada 75% pada tahun ke-3 dan sempat
55
mengalami masa plateu dan akhirnya mulai terjadi penurunan pada tahun ke-5
menjadi 50% dan bersamaan dengan menurunnya sel T memori dan sel T
reactivity yang berada pada titik di bawah 25%-0% di tahun ke-8 terinfeksi.
Saat inilah pasien jatuh pada kondisi krisis dengan infeksi oportunistik yang
meluas.
Percepatan penurunan kadar CD4+ ini akan meningkat dan terjadi
infeksi oportunistik yang berdampak pada gangguan mental klien (Dwein.
2009), klien akan stres-fisik dan psikis-dan menyebabkan terjadinya penekanan
sistem imun (Nursalam. 2009).Berdasar konsep psychoneuroimunology, stres
diposisikan sebagai stimulus yang akan menimbulkan stressor dan melalui
HPA axis stres akan mempengaruhi kelenjar adrenal untuk mensekresikan
kortisol dalam jumlah yang banyak sehingga akan menekan sistem imun
(Clancy, J. 1998), sekresi kortisol ini berbanding lurus dengan perubahan
mental (stres) pasien dan berbanding terbalik dengan imunitas tubuh, karena
kortisol akan menekan sintesis protein dan menghambat proliferasi limfosit
diantaranya dapat menurunkan jumlah subset sel T terutama CD4 (Sholeh M.
2009).
Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal sebagai
hasil dari stimulasi umpan balik negatif antara hipothalamus dan kelenjar
hipofisis anterior .(http://dok-tercantik.blogspot.com/2009).Persyarafan serabut
eferen simpatis dan efferen parasimpatis menyebabkan b-agonis dan
vasoaktive intestinal peptide mempengaruhi sekresi kortisol dan aldosteron.
Antara kelenjar adrenal dan hipothalamus terdapat jalur efferen yang
memungkinkan stres dapat merangsang sekresi ACTH. (Sholeh M. 2009) .
Sekresi kolesterol dan androgen diatur ACTH, sedangkan aldosteron oleh
56
angiotensin dan konsentrasi ion K. Selain ACTH, kortisol dipengaruhi oleh
rangsangan otak sebagai respon terhadap stres dan oleh diurnal rytme.
Sedangkan ACTH diatur oleh CRH dan neurotransmitter. Stres baik fisik dan
emosional menyebabkan terjadinya sekresi CRH dan arginin vasopressin dan
aktivasi dari system saraf simpatis. Hal ini akan meningkatkan sekresi ACTH.
(http://dok-tercantik.blogspot.com/2009).Interaksi ACTH-kortisol terjadi melalui
negative feedback, konsentrasi kortisol yang meningkat akan menghambat
sekresi ACTH dan CRH. (Sholeh M. 2009)..
Pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leukosit (PMN)
intravaskuler sumsum tulang, meningkatkan paruh waktu PMN dalam sirkulasi,
mengurangi pergerakan PMN dari pembuluh darah. Kortisol mengurangi
konsentrasi sistem pertahanan tubuh paling awal. Bila imunogen memasuki
tubuh, epitop ditangkap makrofag dan secara bersamaan menampilkannya
pada sel T. Makrofag melepaskan IL-1 (limfokin) yang dapat mengaktifkan Th.
Sekresi IL-2 oleh Th berfungsi sebagai mediator proliferasi sel T. Juga sel Th
dapat mengaktifkan limfosit B untuk memproduksi antibodi terhadap antigen
penyerang awal. Sehingga secara keseluruhan kortisol dapat menurunkan
respon sel T. (Sholeh M. 2009)
Kortisol juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi seperti labil, euforia,
iritable dan depresi. Ketika stres terjadi, maka berbagai macam stressor
menghambat proliferasi limfosit dan akhirnya menurunkan jumlah subset dari
sel T, terutama CD4. Selain itu, stres juga menurunkan IL-2 sehingga terjadi
aktifitas dan toleransi sel T meningkat serta menurunan CD8. Stres dapat
mempengaruhi hilangnya kemampuan sel T dalam mengenal imunogen
dengan tanda kadar IFN-Y rendah (Sholeh M. 2009)..
57
Pada pasien HIV-AIDS akan mengalami berbagai macam keluhan dan
komplikasi (infeksi oportunistik) dan ini akan menimbulkan stres. Stres fisik dan
psikologis membutuhkan strategi penanggulangan adaptif (coping mechanism).
Mekanisme koping yang positif dan efektif dapat menghilangkan stres,
sebaliknya, jika negatif dan tidak efektif maka akan memperburuk kesehatan
dan memperbesar potensi sakit. Stres dianggap sebagai stressor yang
menghambat proliferasi limfosit karena dapat menurunkan jumlah subset dari
sel T (CD4), IL-2 dan CD8 sehingga mempengaruhi hilangnya kemampuan sel
T mengenal imunogen, semakin banyak CD4 dihancurkan maka semakin turun
imunitas seorang pasien HIV-AIDS (Sholeh M. 2009).
5. Hubungan Antara Psikoterapi Spiritual dan, Kadar CD4+ dan
Depresi
Pengelolaan stres memiliki 2 komponen utama, 1) edukatif, dan 2)
tekhnik relaksasi, meliputi meditasi; perenungan dan biofeedback. Selain
tahajjud, dzikir mempunyai kandungan komponen yang kedua sehingga dapat
digunakan sebagai mekanisme koping menghadapi stres. Pengontrolan respon
emosi dapat dilakukan dengan 1) strategi cognitive refenition untuk melihat
masalah dari sisi pandangan yang lebih positif, dan 2) strategi cognitive
restructuring sebagai upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis dan
konstruktif tentang stressor, dan dzikir memenuhi 2 strategi tersebut, terdapat
esensi hidup realistis; optimis dan konstruktif. Sikap optimis dapat
menghindarkan diri dari depresi; cemas dan stres, dengan optimis orang akan
terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis.
Keterkaitan perilaku dengan ketahanan tubuh imunologik dalam konteks
PNI diperantarai oleh neurotransmitter; neurohormonal, hormon dan sitokin.
58
Salah satu jalur yang mudah dibahas adalah jalur ACTH-kortisol-imunitas
(Sholeh M. 2009). Dalam proses pengelolaan tersebut, sebenarnya pasien
sedang berada pada kondisi adaptasi, menyeimbangkan diri antara stimulus-
respon yang diatur dalam sistem limbik. Bagian utama sistem limbik adalah
hipothalamus yang berperan dalam mengatur perilaku; dorongan dan fungsi
vegetatif. Adanya rangsangan pada hipothalamus memimbulkan sekresi
neurohormonal melalui HPA axis. Sedangkan pengaruh emosi sendiri diperoleh
melalui amigdala, stimulasi pada amigdala menimbulkan efek diantaranya
sekresi kortikotropik dan muncul rasa senang. Selain itu terdapat hipokampus
sebagai perekam dan pemakna proses persepsi, yaitu penyedia detail ingatan
akan konteks dan pemahaman emosional. Dalam proses suatu stimulus, sinyal
akan berjalan terlebih dahulu di otak menuju thalamus, melewati sinaps tunggal
ke amigdala. Sinyal kedua dari thalamus disalurkan ke neokorteks otak yang
berfikir. Percabangan ini memungkinkan amigdala mulai memberikan respon
sebelum neokorteks merespon dan mengolah informasi melalui beberapa
lapisan jaringan otak, sebelum otak sepenuhnya memahami dan pada akhirnya
memulai respon yang telah diolah (Sholeh M. 2009).
Amigdala menghidupkan hipothalamus agar mensekresikan CRF, CRF
akan mengaktifkan hipothalamus anterior (AP) untuk mensekresi opiat
(enkephalin dan endorphin). Selain itu sekresi ACTH pada AP menurun yang
akan mengontrol korteks adrenal untuk mengendalikan sekresi kortisol.
Menurunnya ACTH dan kortisol akan menyebabkan respon imun meningkat
(Sholeh M. 2009).
Ketika terjadi multicondition seperti ini (HIV positif dan atau AIDS dan
atau peningkatan kortisol karena stress fisik dan psikis), maka pasien HIV-AIDS
59
semakin jatuh pada kondisi penurunan daya kekebalan tubuhnya. Diperlukan
berbagai penatalaksanaan yang komprehensif bio-psiko-sosio-spiritual.
Penatalaksanaan HIV-AIDS dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya
adalah pendekatan spiritual. Telah banyak ditemukan bukti yang mendukung
pada hubungan spiritual dengan peningkatan status kesehatan klien,
diantaranya: Complementary Alternative Medicine (CAM) antara lain terapi doa
(27%) berefek pada kualitas hidup pasien HIV dibanding penggunaan Anti
Retroviral Theraphy (ART) (Duggan, et all. 2001), perasaan positif; koping
konstruktif dan adaptasi yang efektif akan berkontribusi terhadap kesejahteraan
psikospiritual pasien kanker yang akhirnya meningkatkan status kesehatannya
(Lin, et all. 2003), dan kepercayaan dan doa akan menurunkan rasa nyeri
(Palmer, et all. 2004). Ditemukan pula jumlah sel CD4+ pada pasien remaja
dengan HIV tidak berkaitan dengan coping style (Stein, et all. 2004.), keterlibatan
dan hubungan dengan Tuhan-kekuatan tertinggi-dan keterlibatan keluarga akan
menghasilkan aspek positif dan kekuatan berjuang pada pasien HIV
(Tarakeshwar, et all. 2006), mantram akan meningkatkan kesejahteraan hidup
dan kesehatan fisik pada pasien HIV/AIDS (Bormann, et all. 2006). Bukti lain
mengatakan sebagian besar wanita HIV+ menggunakan pendekatan spiritual
untuk mengatasi masalah hidup dengan HIV+ dan berefek pada kemampuan
bertahan/kelangsungan hidup (Dalmida, et all.2006), spiritualitas pada pasien
HIV+ berkulit hitam tidak berhubungan dengan depresi (Braxton, et all. 2007) .,
depresi akan menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit karena terjadi
perubahan kimia sistem imun tubuh dan perbaikan kualitas hidup pasien setelah
didiagnosa HIV dipengaruhi oleh nilai spiritual yang tinggi dan nilai positif
terhadap agama(Tsevat, et all. 2009).
60
Dalam kisah nyata, seorang gay mengatakan bahwa doa memberikan
kemampuan fokus pada pertahanan diri di saat T-cell, harapan yang meningkat
pada klien HIV-AIDS akan meningkatkan status fungsional tubuh dan kualitas
hidupnya (Chammas G.1999).. Evidance lain menjelaskan bahwa tidak ada
perbedaan antara pengguna dan non-pengguna terapi komplementer terhadap
perubahan CD4 dan beban virus yang ada (Chang, et all. 2003)., doa dan zikir
dapat menjadi unsur penyembuh penyakit (Hawari Dadang. 2003)., ketaatan
beragama akan meningkatkan daya tahan hidup pasien kanker dan HIV-AIDS
(Djauzi. (2004). Terapi Spiritual. Yayasan Spiritia: Jakarta), serta respon
relaksasi dengan menyebutkan kalimat spiritual akan menghilangkan nyeri;
insomnia dan kecemasan pada pasien kanker dan HIV-AIDS (Duggan, et all.
2001). Selain itu efek dukungan spiritual pada PHIV memberikan hasil yang
signifikan, kesejahteraan spiritual berhubungan dengan perubahan status
kesehatan fisik (Palmer, et all. 2004)., menurut Taylor stres dan depresi: akan
berpengaruh negatif pada sistem kekebalan tubuh dan dalam hal ini individu
yang tidak menjalankan agama akan mengalami stres (Yahya Harun. (2008).
Frayback menemukan bahwa spiritualitas adalah komponen yang sangat
penting untuk seseorang merasa sehat dan sejahtera (Fryback, et all. 1999),
dan pada penelitian terakhir tahajjud perkuat sistem imun tubuh
(http://www.klik-brc.com. 2010)., salat tahajjud yang dilakukan dengan tepat;
khusyuk; ihlas dan kontinyu dapat meningkatkan perubahan respon ketahanan
tubuh imunologik (http://www.klik-brc.com. 2010). Salah satu upaya/aktifitas
spiritual yang sangat mudah dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh
adalah dengan dzikir. Dzikir secara etimologi berasal dari bahasa Arab dzakara
yang berarti mengingat, dan secara terminologi dimaknai sebagai suatu amalan
61
ucapan melalui bacaan-bacaan tertentu untuk mengingat Allah. Dari sekian
banyak pengertian tentang dzikir dapat diambil pengertian mendasar bahwa
dzikir merupakan setiap kegiatan fisik dan psikis yang membentuk akselerasi
mulai dari renungan; sikap; aktualisasi sampai kepada kegiatan proses hidup
yang dapat mengantarkan kita untuk teringat dan mengingat Allah, The Great
Power (Amin dan Al-Fandi. 2008). Dzikir merupakan ibadah sunnah yang paling
baik dan paling disukai oleh Allah, paling ringan dan mudah untuk dikerjakan
karena tidak dituntut dengan syarat dan rukun tertentu, dapat dilakukan
kapanpun; di manapun dan dalam kondisi apapun (Saleh A. Yurisaldi. 2010).
Walaupun tidak terbatas ruang dan waktu, tetapi ada waktu-waktu tertentu
yang sangat baik untuk dilakukan yaitu malam hari terutama sepertiga malam,
saat sholat, mendapatkan musibah, dan ketika lupa Allah (Amin dan Al-Fandi.
(2008).
Banyak sekali jenis dzikir yang dapat dilakukan, baik dalam bentuk tafakkur
(dzikir pikir, merenung dan berfikir tentang keagungan Allah), dzikir qouliyyah
(dzikir lisan, mengucapkan bacaan-bacaan tertentu dan dapat didengar oleh
telinga), dzikir qolbu (mengingat Allah dalam hati) dan dzikir amal/fi’liyyah
(mengingat Allah dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan-Nya). Salah
satu dzikir yang paling utama adalah dzikir lisan, ada beberapa bacaan yang
bisa digunakan kapanpun dan dimanapun, yaitu kalimat tasbih, tahmid, takbir,
tahlil dan alhauqolah, selain istighfar, basmalah, dan isti’adzah (Amin dan Al-
Fandi. 2008), selain dzikir yang paling utama yaitu laa Ilaaha illallah.
Salah satu jenis bacaan yang biasa dibaca orang sakit adalah istighfar, karena
di dalamnya mengandung pemahaman kepasrahan diri; permohonan maaf dan
berserah diri pada-Nya. Kondisi ini akan memberikan kenyamanan dan dapat
62
dilakukan kapanpun dimanapun dengan bacaan yang tidak sulit karena hanya
berbentuk kalimat Astaghfirullah. Tidak ada aturan khusus berapa kali; kapan
dan bagaimana istighfar itu dibaca, akan tetapi terdapat koridor saat akan
membaca yaitu diusahakan hati dan badan bersih; benar-benar berpasrah dan
memahami arti pemohonan maaf yang sesungguhnya dan bisa dibaca 100 kali
tiap pagi (Saleh A. Yurisaldi. 2010).
Korelasi dzikir dengan peningkatan kekebalan tubuh dapat dibuktikan sebagai
berikut : Dzikir merupakan ibadah sarat muatan psikologis dan mempengaruhi
kognisi dengan memperbaiki persepsi; motivasi positif dan coping efektif. Pada
teori gate control dikatakan bahwa stres dapat dikendalikan oleh biokimiawi
juga motivasi-proses kognisi, sehingga dengan sikap optimis, orang akan
terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis (Saleh A. Yurisaldi. 2010). Dzikir
pada klien HIV-AIDS adalah membaca istighfar yang sangat mudah dilakukan;
tidak ada batasan waktu dan tempat; kalimat pendek; tidak menimbulkan
kepayahan dan kebosanan serta sesuai kondisi (Amin dan Al-Fandi. 2008).
Pasien dikondisikan memahami esensi kalimat istighfar; konsentrasi dan
penyerahan diri kepada Allah; dan ditekankan pada keihlasan serta kontinuitas.
Dzikir minimal 30 menit/hari dengan frekuensi 5-6 menit/selesai sholat (waktu
datang sholat), dengan cara di atas maka dzikir akan dapat memodulasi sistem
imun. Dzikir mendatangkan persepsi positif, amigdala akan mengirimkan
informasi kepada Locus Coeruleus (LC) yang mengaktifkan reaksi syaraf
otonom, lewat hipothalamus, mensekresikan neurotransmitter; endorpin dan
enkefalin yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi
CRF secara berlebihan. Akibatnya HPA axis dalam mensekresi ACTH juga
stabil terkendali, begitu juga kortisol; adrenalin dan nor adrenalin serta
63
katekolamin yang mempunyai reseptor alfa (Ra) dan beta (Rb), sehingga
sistem imun menjadi positif. Alurnya sebagai berikut:
Emosional kognitif yang positif (dzikir) ditransmisikan ke sistem limbik dan
kortex serebral dengan tingkat koneksitas kompleks antara batang otak-
thalamus-hypothalamus-pre frontal kiri dan kanan-hipokampus-amigdala.
Terjadi keseimbangan sintesis dan sekresi neurotransmitter; GABA dan
antagonis GABA oleh hipokampus dan amigdala, dopamin; serotonin dan
norepineprin oleh prefrontal serta asetilkolin; endorpin dan enkepalin oleh
hipothalamus. Sifat inhibisi dan eksitasi tersebut akan mempengaruhi sekresi
CRF oleh PVN di hipothalamus, pengendalian ini akan mengendalikan sekresi
ACHT oleh HPA-A sehingga terjadi keseimbangan korteks adrenal dalam
mensekresikan kortisol dan beberapa neurotransmitter; adrenalin-nor epineprin
dan katekolamin dengan reseptor alfa maupun beta (Sholeh M. 2009).
Normalitas kortisol menstimulasi respon ketahanan tubuh imunologik, baik
spesifik non-spesifik; seluler maupun humoral yaitu kortisol normal akan
menstimulasi limfosit (T, B) yang dapat memproduksi antibodi. Secara spesifik
pada klien HIV-AIDS, kortisol menstimulasi makrofag/monosit untuk
mensekresi IL-1 yang dapat menstimuli differensiasi sel T menjadi Th-1; Th-2;
Tc; basofil; eosinofil; neutrofil dan berpengaruh langsung pda sek NK.
Makrofag/monosit dapat dirangsang oleh produk bakteri dan sitokin; IFNg;
TNF dan IL-1 untuk mengahsilkan NO. Pada satu sisi, Th-2 menstimulasi
differensiasi sel B untuk menjadi sel plasma, sementara sel T sitotoksik
berikatan dengan IL-1 untuk mngaktifkan kembali sel T-helper (Sholeh M.
2009).
64
Sel CD4+ mencakup monosit; makrofag dan limfosit T helper, limfosit T helper
merupakan sel yang paling banyak. Ketika semua komponen ini akan
terstimulasi oleh normalitas kortisol, maka terjadi peningkatan sistem imun
tubuh; peningkatan kemampuan mengenal benda asing; mengaktifkan limfosit
B yang memproduksi antibodi; menstimulasi sel sitotoksik; memproduksi
limfokin dan memperthankan tubuh terhadap infeksi parasit. Pada akhirnya
cadangan CD4 pada klien HIV-AIDS meningkat, yang artinya ketika sistem
imun meningkat maka terjadi perlambatan produksi HIV dalam tubuh dan
percepatan munculnya infeksi opportunistik akan menurun dan akhirnya status
kesehatan pasien meningkat atau minimal tidak jatuh pada kondisi terburuk.
BAB III
KERANGKA KERJA
A. Kerangka Teori
A.1. Hubungan Infeksi HIV – CD4 – Depresi
Infeksi HIV
Persepsi Negatif
Hipotalamus
CRH
Stress BiologikStress psikologik
Stress socialStress spiritual
Locus Ceruleus
Korteks Prefrontal
65
Hipofise
ACTH
Kel. Adrenal
Kortisol
Sintesis Protein
CD 4 +
Proliferasi Limfosit T
Skor Depresi
LimfokimSel NK, MakrofagIL-1, IL-2, INF-Y
AIDS
Nor-epnephrin
66
A.2. Pengaruh Psikoterapi Spiritual terhadap depresi dan CD4
.
Psikoterapi Spiritual
Reticular Activating System (RAS)
Aktivasi Retikuler Thalamus Anterior Kanan
Aktivasi Korteks Prefrontalis
Lobus Parietal Posterior Superior Kanan
Hipokampus Kanan
Amigdala kanan
Hipotalamus Ventromedial
Glutamat
GABA
Glutamat
Glutamat
Glutamat
Hipotalamus Lateral
ParasimpatisSimpatis
CRH Locus Sereleus
Hipofise
ACTH
Noradrenalin
Kortex Adrenal
Kortisol
Sintesis Protein
Limfosit T
Kadar CD4+
Relaksasi
Tenang , Tentram, Damai dan Sejahtera
Raphe Dorsalis
Serotonin
Inti Arkuata Hipotalamus
ß- Endorfin
Skor Depresi
Skor Depresi
Noradrenalin
67
B. Kerangka Konsep
Identifikasi Variabel
: Variabel Bebas
: Variabel Antara
:
: Variabel Tergantung
: Variabel Random
Psikoterapi Spiritual
Mekanisme BiologikNeurotransmitter
Mekanisme PsikologikStrategi Koping
Umur
Pendidikann
Kepribadian
Pekerjaan
Persepsi
Kadar CD4+
Skor Depresi
68
C. Definisi Operasional Variabel
1. Pasien HIV adalah orang dengan hasil rapid tes positif terinfeksi virus
HIV dan hasil pemeriksaan elisa menunjukkan penurunan imunitas (kadar CD4
antara 200 s/d 500 sel/mm3 )
2. Skor depresi : adalah hasil penjumlahan dari Skala depresi Beck
Depression Inventory (BDI).
3. Relaksasi : metode relaksasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kombinasi relaksasi otot dan pernapasan.
4. Psikoterapi Spiritual adalah suatu bentuk pendekatan / pengobatan
dengan menggunakan tehnik relaksasi sederhana yang digabungkan dengan
kekuatan keyakinan terdalam seseorang (keyakinan akan kekuasaan Tuhan).
(Herbert Benson).
5. CD4+ adalah subset limfosit yang merupakan indikator perkembangan
progresif dari infeksi HIV (kadar normal = 600 - 1200 sel/mm3
D. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara Psikoterapi spiritual dengan penurunan
derajat depresi pada pasien HIV/AIDS.
2. Terdapat hubungan antara psikoterapi spiritual dengan peningkatan
kadar CD4 pada pasien HIV/AIDS.
3. Terdapat hubungan antara peningkatan skor spiritual dengan
penurunan skor depresi dan peningkatan kadar CD4+.
69
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Design Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah studi rancangan experimental randomized pretest-
post-test control group design mengenai pengaruh psikoterapi spiritual
terhadap penurunan skor sindrom depresi dan peningkatan kadar CD4+ pada
pasien HIV. Penelitian ini dilakukan secara prospektif menilai kemajuan
penyembuhan pasien HIV dan sindrom depresi. Kemajuan penyembuhan HIV
dinilai dengan kenaikan kadar CD4 darah. Sedangkan skor depresinya dinilai
dengan mempergunakan Beck’s Depression Inventory (BDI). Untuk menilai
tingkat Spiritualitas digunakan Skala Spiritual dari Fetzer yang telah
dimodifikasi dan divalidasi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo oleh
Muhammad Fanani dkk.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini rencananya akan dilakukan di di Poli Metadon dan bangsal rawat
inap pasien HIV/AIDS BLU RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,
Puskesmas Jumpandang Baru, Puskesmas Kassi-kassi. Direncanakan mulai
tanggal 1 Maret s/d 1 Mei 2011.
C. Populasi Penelitian
70
Populasi penelitian adalah pasien HIV yang berobat di poliklinik penyakit
tropis, poliklinik Metadon dan rawat inap RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo serta
poliklinik metadon Puskesmas Jumpandang Baru dan Puskesmas Kassi-kassi,
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Sampel adalah pasien penderita HIV (+) dibuktikan dengan hasil rapid test
reaktif dan berobat poliklinik tropis, poliklinik metadon dan pasien rawat inap di
RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo serta poliklinik metadon Puskesmas
Jumpandang Baru dan Puskesmas Kassi-kassi. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara purposive sampling, artinya dilakukan pengambilan sampel
dengan pertimbangan bahwa subjek tersebut dapat memberikan informasi
yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian (Sastroasmoro & Ismael,
2002).
E. Perkiraan Besar Sampel Penelitian
Untuk perhitungan besar sampel digunakan analitik-numerik tidak berpasangan
(Dahlan MS, 2009)
2
n1 = n2 = 2 (Z + Z β). S D
(Xt - Xc)
Keterangan:
Z = deviat baku alfa yaitu 1,96
Zβ = deviat baku beta yaitu 0,842
S = standar deviasi perkiraan perbedaan
(Xt - Xc) = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
71
Bila (Xt - Xc) = efek sebesar 1 SD, maka
n1 = n2 = 2 (Z + Z β)2
n1 = n2 = 2 (1,96 + 0,842)2
n1 = n2 = 2 (2,802)2
n1 = n2 = 2 (7,851)
n1 = n2 = 15.702 = 16
Bila angka drop out diperkirakan 25% berarti f25 = 0,25, maka :
n1 = n2 = 1 X 16 = 4/3 X 16 = 21.33 = 21
1 – 0,25
Jadi jumlah sampel minimun adalah 21 orang
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi, yaitu :
- Pasien yang terinfeksi virus HIV dinyatakan dengan hasil rapid tes
positif
- Usia 15 - 50 tahun
- Bersedia mengikuti penelitian yang dibuktikan dengan membuat
informed consent tertulis.
- Pendidikan minimal tamat SD
- Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
Kriteria Eksklusi
- Mengalami gangguan mental berat (psikotik), yang penilaiannya
dilakukan melalui metode wawancara
72
- Mengalami gangguan pendengaran sehingga mengganggu komunikasi
verbal.
- Gangguan kesadaran.
G. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas adalah jenis perlakuan berupa psikoterapi spiritual
dengan metode relaksasi dan sugesti
2. Variabel luar yang mempengaruhi hasil penelitian adalah : faktor jenis
kelamin, pendidikan, diagnostik penyakit medik umum dan neurologik,
komorbiditas dengan gangguan psikiatrik, penggunaan terapi farmakologik /
non farmakologik.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Pasien HIV adalah orang dengan hasil rapid tes positif terinfeksi virus
HIV dan hasil pemeriksaan elisa menunjukkan penurunan imunitas (kadar CD4
antara 200 s/d 500 sel/mm3 )
2. Skor depresi : adalah hasil penjumlahan dari Skala depresi Beck
Depression Inventory (BDI).
3. Relaksasi : metode relaksasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kombinasi relaksasi otot dan pernapasan.
4. Psikoterapi Spiritual adalah suatu bentuk pendekatan / pengobatan
dengan menggunakan tehnik relaksasi sederhana yang digabungkan dengan
kekuatan keyakinan terdalam seseorang (keyakinan akan kekuasaan Tuhan).
(Herbert Benson).
5. CD4+ adalah subset limfosit yang merupakan indikator perkembangan
progresif dari infeksi HIV (kadar normal = 600 - 1200 sel/mm3
I. PENGOLAHAN DAN ANALISIS SERTA PENYAJIAN HASIL
73
Data dari subjek dikumpulkan dari :
- Status rawat jalan di poliklinik dan rawat inap pasien HIV/AIDS yang
dirawat dibangsal.
- Pemeriksaan depresi dengan menggunakan Beck’s Inventory for
Depression untuk menilai skor depresinya.
- CD4+ untuk menilai tingkat imunitas pasien terhadap HIV/AIDS
Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Chi
Square test karena jumlah sampelnya kecil. Penyajian hasil dalam bentuk tabel
secara deskriptif dan diuraikan secara linier dengan prosentase.
J. Prosedur kerja. :
1. Terhadap semua subjek dijelaskan tujuan dari penelitian ini dan
dimohonkan kesediaannya untuk ikut dalam penelitian tersebut dengan
menanda tangani informed consent sebelum dilakukan pemeriksaan dan
perlakuan.
2. Terhadap semua subjek dilakukan pemeriksaan skoring depresinya
dengan menggunakan Beck’s Inventory for Depression dan untuk menilai
derajat depresinya dan CD4 untuk menilai tingkat imunitasnya. .
3. Berikan psikoterapi spiritual dengan menggunakan tehnik relaksasi
yang digabungkan dengan doa sesuai keyakinan pasien selama lima sampai
sepuluh menit.
4. Dilakukan pemeriksaan kembali derajat depresi Beck’s Inventory for
Depression untuk menilai skoring depresinya dinilai setelah tiga bulan
perlakuan, sedangkan untuk menilai tingkat imunitasnya dilakukan dengan
pemeriksaan CD4 setelah tiga bulan perlakuan
74
K. Alur Penelitian :
Pengumpulan Data
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Penempatan Populasi
Randomisasi
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Pre-tesPemeriksaan CD4Tes Skala Depresi(BDI)Tes Skala Spiritual
Pre-tesPemeriksaan CD4Tes Skala Depresi(BDI)Tes Skala Spiritual
Terapi Standar + Psikoterapi Spiritual Terapi Standar
Post-tesPemeriksaan CD4Tes Skala Depresi(BDI)Tes Skala Spiritual
Post-tesPemeriksaan CD4Tes Skala Depresi(BDI)Tes Skala Spiritual
75
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1. Karakteristik Sampel
Variabel
Kelompok
Total X2Perlakuan
(n = 20)
Kontrol
(n =20)
Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
17
3
15
5
32
8
p = 0,695
Umur
- 20 - 29
- 30 - 39
- 40 – 49
7
11
2
10
10
0
17
21
2
p = 0,276
Pendidikan
- SD
- SMP
- SMU/SMK
- PT
0
4
15
1
2
2
12
4
2
6
27
5
p = 0,187
Pekerjaan
- Tidak Bekerja
- Wiraswasta
- PNS
12
8
0
2
17
1
14
25
1
p = 0,003
Hasil Analisa
76
Status Rawat
- Rawat Inap
- Rawat Jalan
- Lapas
8
3
9
8
12
0
16
15
9
p = 0,001
Diperoleh 40 orang penderita HIV/AIDS yang memenuhi kriteria sampel. Terdiri
dari 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok kontrol
Adapun distribusi karakteristik sampel pada kedua kelompok dapat dilihat pada
tabel 5.1.
Tabel 5.1. menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin,
kelompok umur, dan tingkat pendidikan.
Distribusi penderita berdasarkan pekerjaan dan status rawat ditemukan
perbedaan bermakna (p < 0,05) dimana pada kelompok perlakuan lebih banyak
diikuti oleh penderita yang tidak bekerja, sedangkan kelompok kontrol lebih
banyak dari kelompok wiraswasta.
Penderita yang dilapas semuanya mengikuti dzikir (kelompok perlakuan).
Kelompok rawat jalan lebih banyak menjadi kelompok kontrol (80%). Sebagian
penderita rawat inap ikut kelompok perlakuan (dzikir), sebagian yang lain
mejadi kelompok kontrol.
Tabel 5.2. Perubahan Skor BDI, Skor Skala Spiritual Fetzer, Kadar CD4,
sebelum dan sesudah perlakuan.
Variabel
Kelompok
X2Perlakuan
(n = 20)
Kontrol
(n = 20)
BDI (1) 21,50 (11,52) 17,80 (12,52) p = 0,327
BDI (2) 15,95 (10,16) 24.30 (13..28) p = 0,052
77
SSF (1) 77.050 (9.14) 78.93 (8.30) p = 0,718
SSF (2) 80.30 (6.21) 72.63 (10.79) p = 0,020
CD4+ (1) 266.80 (204.89) 438.80 (325.41) p = 0,091
CD4+ (2) 289.10 (154.52) 278.05 (232.92) p = 0,512
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa skor BDI antara kelompok perlakuan dan
kontrol tidak bermakna (p > 0,05) sebelum perlakuan. Setelah perlakuan
selama 3 bulan, maka kelompok perlakuan skor BDI menurun dari 21,50
(11,52) menjadi 15,95 (10,16). Sedangkan kelompok kontrol malah terjadi
peingkatan skor dari 17,80 (12,52) menjadi 24,30 (13,28) setelah 3 bulan
kemudian.
Pada skala SSF, tidak ditemukan perbedaan bermakna (p > 0,05)
sebelum perlakuan. Skor SSF pada kelompok perlakuan 77,050 (9,14), sedang
pada kelompok kontrol skor SSF adalah 78,93 (8,30). Setelah 3 bulan skor SSF
meningkat menjadi 80,30 (6,21) pada kelompok perlakuan, sedangkan pada
kelompok kontrol turun menjadi 72.63 (10.79).
Hasil analisis CD4+ serum berbeda secara bermakna (p < 0,05) antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan kadar
CD4+ serum lebih rendah (266,80 (294,89)) dari kelompok kontrol (438.80
(325.41)). Setelah perlakuan 3 bulan pada kelompok perlakuan meningkat
menjadi 289.10 (154.52), sedangkan pada kelompok kontrol justru menurun
menjadi 278.05 (232.92).
Bila dilakukan analisis katagorial dengan cara mengkatagorikan perbedaan
CD4+ serum sebelum dan sesudah perlakuan selama 3 bulan pada setiap
sampel diperoleh hasil sebagaimana yang tertera pada tabel 5.3.
78
Tabel 5.3 Distribusi Frekwensi Sampel yang mengalami perubahan skor BDI, SSF,
dan CD4+ setelah 3 bulan pada kedua kelompok.
Variabel
Kelompok
RR
95%
Confidence
Interval for OR
Perlakuan
(n =20)
Kontrol
(n = 20)
Perubahan BDI
Membaik
Memburuk
12
8
2
18
6.00 (1,1536–
23,438)
Perubahan
SSF
Meningkat
Tidak
Meningkat
12
8
1
19
12,00 (1.718–
83.803)
Perubahan
CD4
Meningkat
Tidak
Meningkat
15
5
1
19
15.000 (2.184–
103.035)
79
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan (Dzikir) terjadi
perbaikan BID sebayak 12 orang dari 20 (60 % ) sedangkan pada kelompok
kontrol sebelum hanya 2 diantara 20 (10 %) dengan RR = 6.00 (1,1536 –
23,438) artinya kelompok perlakuan 6 kali lebih mungkin BID membaik
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pada kelompok perilaku skor SSF meningkat sebanyak 12 dari 20 orang (60 %)
sedangkan pada kelompok kontrol hanya 1diantara 20 orang (5%) dengan RR
= 12,00 (11.718– 83.803). Sedangkan kelompok perlakuan 12 kali lebih
mungkin mengalami peningkatan/perbaikan SSF dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Terjadi peningkatan CD4 sebanyak 15 orang dari 20 orang (25 %) pada
kelompok perlakuan,sedangkan pada kelompok kontrol hanya 1 orang diantara
20 orang (5 %) , dengan RR sebesar 15,00 (2,184-103,035) artiya kelompok
perlakuan 15 kali lebih mungkin mengalami peningkatan kadar CD4 dibanding
kelompok kontrol.
B. PEMBAHASAN
Pada awal penelitian tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol baik skor skala depresi, skala
spiritual Fetzer dan kadar CD4+ serum. Namun setelah penelitian selama 3
bulan didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan
terjadi penurunan skor skala depresi BDI dari 21,50 (11,52) menjadi 15,95
(10,16), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi kenaikan skor skala depresi
BDI dari 17,80 (12,52) menjadi 24,30 (13,28). Dengan menurunnya skor skala
80
depresi berarti psikoterapi spiritual mempunyai pengaruh yang baik terhadap
depresi atau membantu penyembuhan gangguan depresi.
Pengaruh psikoterapi spiritual terhadap CD4+, dapat dilihat pada tabel 5.2 yang
menunjukkan adanya peningkatan kadar CD4 pada kelompok perlakuan dari
266,80 (294,89) menjadi 289.10 (154.52). sedangkan pada kelompok terjadi
penurunan kadar CD4+ dari 438.80 (325.41) menjadi 278.05 (232.92).
Peningkatan kadar CD4+ ini menunjukkan bahwa psikoterapi spiritual
memberikan pengaruh yang baik terhadap kesehatan penderita dengan
peningkatan aktivitas dari sistem imunitas mereka.
Dari hasil wawancara dengan penderita HIV/AIDS, keluarga dan petugas lapas
didapatkan informasi bahwa mereka yang mengalami penurunan skor depresi
dan peningkatan kadar CD4+ serum adalah mereka yang tekun beribadah dan
bersungguh-sungguh dalam berdzikir serta bagi mereka yang di lapas adalah
yang sering dijenguk oleh keluarga. Sedang mereka yang meningkat skor
depresinya dan menurun kadar CD4+ adalah mereka yang berdzikir hanya ikut-
ikutan, masih menggunakan zat psikoaktif dan jarang dijenguk oleh
keluarganya baik yang diperawatan maupun yang di lapas.
Pada kelompok kontrol didapatkan 1 orang yang mengalami peningkatan kadar
CD4+. Hasil wawancara dengannya didapatkan informasi bahwa dia mendapat
infeksi HIV dari suaminya yang telah meninggal dan telah dua kali dirawat di
rumah sakit karena drop dengan CD4+ 4 ul. Pasien telah mencoba berbagai
macam pengobatan antara lain dengan minum susu beruang, rebusan daun
sirsak dll. Setiap dia mendapat informasi mengenai pengobatan HIV/AIDS dia
coba menerapkannya. Selain itu sejak dia dirawat dia sering shalat tahajud dan
shalat dhuha. Dia berjuang melawan penyakitnya demi kedua anaknya.
81
KETERBATASAN
Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan, antara lain :
1. Pada umumnya penderita yang masuk rawat inap adalah dalam stadium
lanjut dengan berbagai infeksi opportunistik (TBC, tumor otak, meningitis dll)
dan dalam keadaan lemah sehingga tidak dapat mengisi kuesner yang
diberikan.
2. Kebanyakan penderita HIV/AIDS yang dirawat berasal dari luar daerah
seperti Palu (Sulteng), Kendari (Sultra), Ambon (Maluku), dan Papua.sehingga
setelah mereka kembali ke daerahnya sulit dihubungi kembali
82
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Psikoterapi Spiritual mempengaruhi penurunan skor depresi BDI secara
bermakna, pada kelompok perlakuan.
2. Psikoterapi Spiritual mempengaruhi peningkatan kadar CD4+ serum
secara permakna pada kelompok perlakuan.
3. Psikoterapi Spiritual meningkatkan nilai skala spiritual secara bermakna.
SARAN
1. Disaran agar Psikoterapi spiritual ini dapat dimanfaatkan sebagai terapi
penunjang dalam pengobatan penyakit-penyakit fisik dan mental dalam stadium
terminal.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana pengaruh psikoterapi
spiritual terhadap penurunan dari viral load.
3. .