materi haki buku

132
Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH BAB I HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Istilah Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril, benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara simultan. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual. Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai hak atas kekayaan intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan 1

Upload: joke-punuhsingon

Post on 02-Jan-2016

184 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB IHAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

A. Istilah Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril, benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara simultan.

Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.

Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai hak atas kekayaan intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis, dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri.

Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, ratio, intellectual) secara maksimal. Karena itu tidak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan hak atas kekayaan intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia dimulai dari kerja otak itu.

Jika ditelusuri lebih jauh Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu diantara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Hal ini dapat dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.

1

Page 2: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak gunan bangunan, hak guna usaha hak atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan lain sebagainya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan Intelektual (intellectual property rights).

Kata ‘hak milik’ (hak atas kekayaan) atau ‘property’ yang digunakan dalam istilah tersebut diatas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Karena kata harta benda/property mengisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak Atas Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik materil maupun immateril. Bukan bentuk penjelmaan yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan dari ketiga-tiganya.

Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata ‘intelektual’ itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (invensi) dalam bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:1. Hak Cipta (Copy Rights)2. Hak Milik (hak kekayaan) Perindustrian (industrial property rights).

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:1. Hak Cipta dan2. Hak yang berkaitan (bersepadan) dengan Hak Cipta (neighboring rights).

2

Page 3: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Istilah Neighboring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan istilah hak bertetangga dengan Hak Cipta, ada pula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan Hak Cipta, seperti yang termaktub dalam Bab V A UU No. 12 Tahun 1997, atau Hak Terkait seperti yang tercantum dalam Bab VII UU No. 19 Tahun 2002.

Neighboring Rights, dalam hukum di Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut Neighboring Rights itu lahir dari adanya Hak Cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju, Live Show artis penyanyi adalah Hak Cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa hak siaran adalah Neighboring Rights. Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara Hak Cipta lagu dengan hak penyiaran. Yang pertama merupakan Hak Cipta, sedangkan hak yang disebutkan terakhir adalah Neighboring Rights. Itulah alasannya menggunakan istilah yang bersepadan dengan Hak Cipta untuk terjemahan Neighboring Rights. Kedua hak itu saling melekat, menempel tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighboring Rights selalu diikuti dengan adanya Hak Cipta, namun sebaliknya adanya Hak Cipta tidak mengharuskan adanya Neighboring Rights.

Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:1. Patent (Paten)2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukun Indonesia

dikenal dengan istilah Paten sederhana (simple Patent).3. Industrial Design (Desain Industri)4. Trade Mark (Merek Dagang)5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)6. Indication of Source Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal).

Pengelompokan hak atas kekayaan seperti tertera diatas didasarkan pada Convention Establising The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literatur, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping yang tersebut diatas ditambah lagi beberapa bidang lain, yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1. Patent (Paten)2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun)3. Industrial Designs (Desain Industrial)4. Trade Secrets (Rahasia Dagang)5. Trade Marks (Merek Dagang)6. Service Marks (Merek Jasa)7. Appelations of Origin (Sebutan Asal Barang)

3

Page 4: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

8. Trade Names of Commercial Names (Nama Dagang atau Nama Niaga)9. Indication of Origin (Indikasi Asal Barang)10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persaingan Curang)

Berdasarkan kerangka World Trade Organization / Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (WTO/TRIPs) ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan, yakni:1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu).

SKEMA HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUALMateri (Benda Berwujud) → Hak Cipta (Copy Rights)

Hak CiptaBENDA → Hak Yang Bersepadanan Dengan

Hak Cipta atau Hak TerkaitImmaterial HAKI(Benda Tidak → PatentBerwujud) → Utility Models

Hak Atas → Industrial DesaignsKekayaan → Trade SecretsPerindustrian → Trade Marks

→ Service Marks→ Trade Names or Commercial Names→ Appelation of Origin→ Indications of Origin→ Unfair Competition Protection→ New Varietas of Plants Protection→ Integrated Circuits

Dalam perundang-undangan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan intellectual property rights tidak semuanya diatur dalam UU tersendiri, ada pengaturannya digabungkan dalam satu Undang-Undang. Misalnya, pengaturan tentang Neighbbouring Rights diatur dalam UU Hak Cipta, demikian pula pengaturan tentang Utility Models (UU kita tak mengenal istilah ini tetapi menggunakan istilah Paten Sederhana) diatur dalam UU Paten, begitu juga tentang Trade Mark, Service Mark, Trade Names of Commercial Names Appelations of Origin dan Indication of Origin) diatur dalam UU Merek.

Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual, kita temukan dalam UU Indonesia yaitu tentang Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002, tentang Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 dan tentang Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001.

Pada Tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya UU Paten dan Merek yang baru, Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan baru yang tercakup dalam bidang perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual disamping Paten dan merek yang sudah lebih dulu disahkan yaitu UU No. 29 Tahun 2000 tentang perlindungan

4

Page 5: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Dengan demikian saat ini derdapat perangkat UU Hak Atas Kekayaan Intelektual Indonesia, yakni:1. Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 20022. Paten, UU No. 14 Tahun 20013. Merek, UU No. 15 Tahun 20014. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, UU No. 29 Tahun 20005. Rahasia Dagang, UU No. 30 Tahun 20006. Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000, dan7. Desain `Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 32 Tahun 2000.8. Serah-Simpan Karya Cetak Dan Karya Rekam UU No. 4 Tahun 1990

B. Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka Hukum Nasional

Khusus mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual, dalam bidang Hak Cipta iklim budaya Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya hukum ‘barat’. Para pencipta Indonesia sangat ‘berbesar hati’ bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Misalnya para pemahat dan pematung di Bali.

Memberikan penjelasan, memperkenankan menggunakan tustel atau kamera vidio, bahkan sampai pada bagian-bagian yang spesifik, di dunia Barat termasuk dalam Trade Secrets atau Undisclosed Informatian. Mereka sudah lama memperkenalkan sistem perlindunan yang demikian sehingga jika berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya menggunakan tustel, camera vidio dan lain-lain.

Kiranya sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem.

C. Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka Hukum Internasional

Norma hukum yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan masyarakat dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada tuntutan perkembangan peradaban dunia.

Negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang dalam kerangka

5

Page 6: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

General Agreement on Tarif and Trade / World Trade Organization (GATT/WTO 1994) adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral Trade Negosiation, yang ditandatangani di Marakesh pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.

Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-teritorial yang menyengkut perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual serta semua isu yang terdapat dalam kerangka World Trade Organization (WTO) harus diakomodir paling tidak harus memenuhi (pengaturan) Standard minimum. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.

BAB IITINJAUAN TERHADAP UU HAK CIPTA INDONESIA

Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku sekarang di Indonesia adalah UU No. 19 Tahun 2002, Lemabaran negara RI Tahun 2002 Nomor 85. Sebelum UU ini berawal dari UU No. 6 Tahun 1982 yang menggantikan Auteurswet 1912. Jadi dapat dilihat UU Hak Cipta dimulai pada Auteurswet 1912.

UU Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 diundangkan pada Tanggal 12 April 1982 dan dimuat dalam Lembaran negara RI No. 15 Tahun 1982. UU ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk merombak sistem hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda sekaligus mengakhiri berlakunya Auteurswet 1912 Stb. 600. Peraturan perundang-undangan yang disebut terakhir ini baru 5 tahun diberlakukan yang menurut terminologi UHC 1982, atas desakan masyarakat internasional terutama Amerika Serikat dan kebutuhan perlindungan hak cipta dalam negeri, UHC 1982 direvisi dengan UU No. 7 Tahun 1987, kemudian disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1997, terakhir disempurnakan lagi dengan UU No. 19 Tahun 2002.

6

Page 7: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

A. Hak Cipta Sebagai Hak Kebendaan

Dalam bahasa Belanda hak kebendaan ini disebut zakelijk reght. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, dalam bukunya Hukum Perdata: Hukum Benda (Liberty, Yogyakarta, 1981), memberikan rumusan tentang hak kebendaan, yakni: “hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga”.

Rumusan bahwa hak kebendaan itu adalah hak mutlak yang juga berarti nisbi atau biasanya disebut juga persoonlijk atau hak perorangan. Hak yang disebutkan terakhir ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu, tidak terhadap semua orang seperti pada hak kebendaan.

Ada beberapa ciri yang membedakan hak kebendaan dengan hak relatif atau hak perorangan, yaitu:

1. Merupakan hak yang mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.2. Mempunyai Zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya hak

itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) benda itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.

3. Sistem yang dianut dalam hak kebendaan dimana terhadap yang lebih dahulu terjadi mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi dari pada yang terjadi kemudian. Misalnya seorang eigenar menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah itu diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka disini hak hipotik itu masih ada pada tanah yang dibebani hak memungut hasil itu. Dan mempunyai derajat dan tingkat yang lebih tinggi dari pada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian.

4. Mempunyai sifat droit de preference (hak yang didahulukan).5. Adanya apa yang dinamakan gugat kebendaan.6. Kemungkinan untuk dapat menggunakan hak kebendaan itu dapat secara

sepenuhnya dilakukan.

Demikian ciri-ciri hak kebendaan itu meskipun dalam praktek ciri-ciri itu kelihatannya tidak tajam lagi jika dihadapkan dengan hak perorangan. Artinya perbedaan semacam itu tidak begitu penting lagi dalam praktek. Sebab dalam kenyataan ada hak perorangan yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana ciri-ciri yang terdapat pada hak kebendaan. Hal ini dapat kita lihat sifat absolut terhadap hak sewa, yang dilindungi berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. Juga hak sewa ini mempunyai sifat mengikuti bendanya (droit de suite). Hak sewa itu akan terus mengikuti bendanya meskipun berpindahnya atau dijualnya barang yang disewa, perjanjian sewa tidak akan putus. Demikian juga halnya sifat droit de preference.

Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, dalam bukunya Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (Alumni Bandung, 1983), mengenai hak kebendaan ini dibaginya atas dua bagian, yakni: “hak kebendaan sempurna dan hak kebendaan

7

Page 8: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

yang terbatas. Hak Kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikian dinamakannya hak kemilikan. Sedangkan hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda, jika dibandingkan dengan hak milik. Artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurnanya jika dibandingkan dengan hak milik”.

Jika disimpulkan pandangannya, maka yang dimaksudkan dengan hak kebendaan yang sempurna itu adalah hanya hak milik, sedangkan selebihnya termasuk dalam kategori hak kebendaan yang terbatas.

Bila dikaitkan dengan Hak Cipta, dapatlah dikatakan Hak Cipta itu sebagai hak kebendaan. Pandangan ini dapat disimpulkan dari rumusan pasal 1 UHC Indonesia yang mengatakan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa Hak Cipta itu hanya dapat dimiliki oleh pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususlah yang boleh menggunakan Hak Cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subyek lain yang mengganggu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.Mengenai rumusan tentang ketentuan pidana, disini ada rumusan mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta, suatu bukti bahwa hak itu dapat dipertahankan terhadap siapa saja yang mencoba untuk mengganggu keberadaannya. Pidana yang diancam ialah penjara dan denda. Tindak pidana ini juga digolongkan dalam tindak pidana kejahatan dan masuk dalam kategori delik biasa. Kesemuanya ini memberikan kesan pertanda adanya hak absolut. Sifat absolut ini lebih jelas lagi jika kita lihat rumusan pasal-pasal tentang pemindahan Hak Cipta, pendaftarannya dan yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa menurut UHC Indonesia. Menurut pandangan Prof. Mahadi, ia mengatakan bahwa: “Hak Cipta memberikan hak untuk menyita benda yang diumumkan bertentangan dengan Hak Cipta serta perbanyakan yang tidak diperbolehkan, dengan cara dan dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan untuk penyitaan benda bergerak baik untuk menuntut penyerahan benda tersebut menjadi miliknya ataupun untuk menuntut suatu benda itu untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipakai lagi. Hak Cipta tersebut juga memberikan hak yang sama untuk penyitaan dan penuntutan terhadap jumlah uang tanda masuk yang dipungut untuk menghadiri ceramah, pertunjukan atau pameran yang melanggar Hak Cipta”.

Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa Hak Cipta itu termasuk dalam ruang lingkup hak kebendaan. Sebab disamping mempunyai sifat mutlak juga hadirnya sifat droit de suite. Sifat droit de suite itupun tidak hilang dalam hal Hak Cipta itu dibajak di luar negeri, dimana negara si pencipta atau si pemegang hak tidak turut dalam Konvensi Internasional. Hal ini disebabkan karena sifat droit de suite itu tidak

8

Page 9: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

hilang disebabkan adanya ketentuan tentang perjanjian Internasional, oleh karena perjanjian internasional itu gunanya untuk melindungi, jadi kalau tidak menjadi anggota Konvensi Internasional, negara lain tidak wajib melindungi. Ini telah menjadi kebiasaan Internasional.

Tidak dilindunginya Hak Cipta di luar negeri bukanlah berarti hilangnya sifat droit de suite, tetapi pencipta atau si pemegang hak, undang-undang tidak memberikan jaminan terhadap pelaggaran haknya yang mungkin akan terjadi di negara-negara yang tidak menjadi anggota konvensi. Justru kesulitan yang dihadapi pencipta adalah dalam hak penuntutan haknya.

B. Hak Cipta Sebagai Kekayaan Immateril

Yang dimaksud dengan hak kekayaan immateril adalah suatu hak kekayaan yang obyek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Dalam hal ini banyak dapat dijadikan obyek hak kekayaan yang termasuk dalam cakupan benda tidak bertubuh. Misalnya, hak tagihan, hak yang ditimbulkan dari penerbitan surat-surat berharga, hak sewa dan lain-lain sebagainya. Hak kekayaan immateril dapat dirumuskan bahwa, semua benda yang tidak dapat dilihat, atau diraba dan dapat dijadikan obyek hak kekayaan adalah merupakan hak kekayaan imateril.

Pasal 499 KUH Perdata memberikan batasan tentang rumusan benda, ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai menjadi obyek kekayaan (property) atau hak milik.Rumusan ini menempatkan Hak Cipta sebagai hak yang merupakan bagian dari benda Hak Cipta menurut rumusan ini dapat dijadikan obyek hak milik, oleh karena itu ia memenuhi kriteria pasal 499 KUH Perdata. Si pemegang Hak Cipta dapat menguasai Hak Cipta sebagai hak milik.

Intellectual Property Rights dibagi atas dua bagian, yaitu:1. Hak Cipta (copy rights)2. Hak milik industri (industrial property rights)

Sedangkan hak kekayaan perindustrian, dibagi atas:1. Patent (Paten)2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun)3. Industrial Design (Desain Industrial)4. Trade Secrets (Rahasia Dagang)5. Trade Marks (Merek Dagang)6. Service Marks (Merek Jasa)7. Trade Names or Commercial Names (nama Dagang atau Nama Niaga)8. Appelation of Origin (Sebutan asal Barang)9. Indications of Origin ( Indikasi asal Barang)10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persainagan Curang)11. New Varieties of Plants Protection (Perlindungan Varietas Baru Tanaman)

9

Page 10: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

12. Integrated Circuits (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu).

Jadi, Hak Cipta itu berdiri sendiri yang dibedakan dengan hak atas kekayaan perindustrian. UHC Indonesia sendiri, membedakan antara Hak Cipta dengan hak atas kekayaan perindustrian. Dalam UHC Indonesia dikatakan bahwa, istilah ciptaan diberi arti sebagai hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.Rumusan pasal 12 UHC Indonesia, dapat kita turunkan sebagai berikut:

(1) Dalam Undang-Undang ini yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:a. buku, program komputer, pamflet, susunan

perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;e. drama dan drama musikal, tari koreografi,

pewayangan dan pantomim;f. seni rupa dalam segala bentuk sepertiseni lukis,

gambar, seni ukir, seni kaligrafi seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. arsitektur;h. peta;i. seni batik;j. fotografi;k. sinematografi;l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database

dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi

sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan asli.

(3) Dalam perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.

Yang termasuk dalam cakupan hak kekayaan perindustrian tidak termasuk dalam rumusan pasal tersebut diatas, meskipun yang disebut terakhir ini juga merupakan hak kekayaan immateril.

Satu hal yang perlu dicermati bahwa yang dilindungi dalam Hak Cipta ini adalah haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut. Jadi, bukan

10

Page 11: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

buku, bukan patung, bukan lukisan, tetapi hak untuk menerbitkan, atau memperbanyak atau mengumumkan buku, patung atau lukisan tersebut. Buku, patung, kain batik, kepingan VCD, program komputer yang terekam dalam kepingan CD Room, dilindungi sebagai hak atas benda berwujud, benda materil yang dalam terminologi pasal 499 KUH Perdata dirumuskan sebagai ‘barang’. Dengan demikian semakin jelas bahwa benda yang dilindungi dalam Hak Cipta ini adalah benda immateril (benda tidak berwujud) yaitu dalam bentuk hak.

C. Pengertian Hak Cipta

Menurut Auteurswet 1912 dalam pasal 1 menyebutkan, “Hak Cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusastraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang”.

Kemudian Universal Copyrights Convention dalam pasal V menyatakan sebagai berikut: “Hak Cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini”.Dalam Auteurswet 1912 maupun Universal Copyrights Convention menggunakan istilah ‘hak tunggal’ sedangkan UHC Indonesia menggunakan istilah ‘hak khusus’ bagi pencipta. Jika dilihat penjelasan pasal 2 UHC Indonesia yang dimaksud dengan hak eksklusif dari pencipta ialah tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin pencipta.

Menurut M. Hutauruk, dalam bukunya Peraturan Hak Cipta Nasional (Erlangga,1982) menyatakan ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian Hak Cipta yang termuat dalam ketentuan UHC Indonesia, yaitu:

1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak

dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritannya).

Di bagian akhir redaksi UHC Indonesia pasal 2 disebutkan bahwa dalam penggunaan hak tersebut diberikan ketentuan harus sesuai dan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peratutan perundang-undangan yang berlaku. Setiap sisi dari hak berpadanan dengan itu terdapat kewajiban. Hukum berperan menyeimbangkannya. Abus de droit atau misbruik van Rechts adalah pelanggaran hak atau penyalahgunaan yang menyebabkan orang lain dirampas haknya. Kasus cerobong asap yang diputus Pengadilan Tinggi Colmar di Perancis Tanggal 2 Mei 1855 adalah contoh klasik tentang penyalahgunaan hak. Sekalipun kita berhak atas

11

Page 12: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

sesuatu, tetapi penggunaannya tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain apalagi menyebabkan orang lain itu menderita kerugian.

D. Fungsi dan Sifat Hak Cipta

Pasal 2 UHC Indonesia secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbayak ciptaan, harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatasan dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memfungsikan Hak Cipta harus sesuai dengan tujuannya.

Setiap perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum selalu diletakkan syarat-syarat tertentu. Menurut Vollmar, dalam bukunya Pengantar Studi Hukum Perdata, yang diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta (Jakarta, 1983), mengatakan bahwa penggunaan wewenang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang sudah pasti tidak memperoleh perlindungan hukum. Jadi yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap Hak Cipta ini adalah agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang, walaupun pasal 2 UHC Indonesia menyatakan Hak Cipta itu adalah hak sksklusif yang berarti selain pencipta, orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin pencipta.

Hak Cipta tidak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat yang manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud vide penjelasan pasal 4 ayat (1) UHC Indonesia.

Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan Hak Cipta tidak dapat digadaikan karena jika ia digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur. Berbeda dengan hipotik yang hanya dapat dilakukan terhadap benda-benda tidak bergerak, bendanya tetap berada di tangan debitur bilamana benda tersebut dijadikan obyek hipotik.

Melihat kenyataan bahwa Hak Cipta yang mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya ia hanya dapat dijadikan obyek hipotik dan tidak mungkin dijadikan obyek gadai. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Cipta lebih mendekati kepada sifat benda tidak bergerak.Selanjutnya secara tersirat ketentuan pasal 41 UHC Indonesia mengenai pemindahan hak atas ciptaan yang terdaftar, diharuskan untuk dicatat dalam daftar umum ciptaan, dan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak, memberi kesan bahwa Hak Cipta itu dalam pengalihan haknya sama dengan pengalihan hak milik atas tanah. Dan ini dikuatkan lagi dengan penjelasan umum UHC Indonesia yang mengatakan bahwa ‘Sistem pendaftaran yang dianut oleh UU ini sama dengan yang dipergunakan dalam pendaftaran Merek dan Tanah.

12

Page 13: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

E. Pemegang Hak Cipta

Yang dimaksud dengan pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 1 butir (4) UHC Indonesia.

Selanjutnya siapa saja yang dimaksud dengan pencipta itu, dalam hal ini pasal 5 sampai dengan pasal 9 UHC Indonesia memberikan jawaban sebagai berikut: Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah a). orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; b). orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan, pasal 5 (1).

Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan yang tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya maka orang yang berceramah dianggap sebagai pencipta ceramah tersebut , pasal 5 ayat (2).

Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu, pasal 6.

Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu, pasal 7. Sedangkan jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Cipta adalah pihak yang dalam dan untuk dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas, pasal 8 ayat (1).

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas, pasal 8 ayat (2). Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali diperjanjikan lain antara kedua pihak, pasal 8 ayat (3).

Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian antara pegawai negeri dengan instansinya, sedangkan yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan kerja dilembaga swasta, penjelasan pasal 8. Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak

13

Page 14: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

menyebut seseorang sebagai penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya, pasal 9.

Selanjutnya mengenai negara sebagai pemegang Hak Cipta, dalam hal ini ketentuan pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian, karena:a. pewarisanb. hibahc. wasiatd. perjanjian tertulis, ataue. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Pasal 10 ayat (4) yang menyebutkan, Hak Cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 11 UHC Indonesia menyebutkan lagi satu sebab Hak Cipta itu dipegang oleh negara sebagai subyeknya yakni apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan ini belum diterbitkan (belum dipublikasikan). Namun negara dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai ‘pelindung’ terhadap hak yang dimiliki oleh penciptanya. Manakala pencipta diketahui di kemudian hari negara akan menyerahkannya kembali. Ketentuan ini adalah penyesuaian dengan article 15 (4) Konvensi Bern. Namun khusus terhadap suatu ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya, atau pada ciptaan tersebut terdapat nama samaran penciptanya maka penerbitlah yang memegang Hak Cipta tersebut, tetapi tetap untuk kepentingan hukum pidananya. Hal ini bisa saja terjadi, khususnya pada masa perang, yang merahasiakan namanya. Di Indonesiapun banyak ditemui lagu-lagu (khususnya lagu daerah) yang tidak diketahui dengan jelas penciptanya. Kesulitan dalam praktek penegakan hukum justru ada pihak tertentu yang mengklaim sebagai penciptanya. Akhirnya terjadi proses saling mengklaim dan sulit menunjukkan bukti autentik dan bukti fisik. Sehubungan dengan hal itu maka negaralah yang yang akan mengklaim untuk kepentingan pencipta yang sesungguhnya walaupun pada akhirnya bisa saja pencipta yang sesungguhnya itu tidak pernah dapat ditemukan oleh sesuatu sebab, yang dalam ketentuan sebelumnya, Hak Cipta itu diambil alih oleh negara.

Ternyata kemudian, redaksi seperti itu tidak lagi ditemukan dalam UU No. 7 Tahun 1987 dan diteruskan dalam UU No. 12 Tahun 1997 dan UU sekarang yakni UU No. 19 Tahun 2002. Adapun alasan penghapusannya adalah:1. Sesuai dengan sifat Hak Cipta sebagai hak perorangan yang lebih bersifat

pribadi dan tidak berwujud seyogyanya memang tidak perlu ada ketentuan serupa itu.

2. Sekiranya memang memerlukan, cukup ditempuh dengan cara mekanisme yang lasim dikenal dengan Compulsory Lisensing yang dianut dan diatur dalam UHC Indonesia terakhir.

14

Page 15: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

3. Apabila sesuatu ciptaan memang memiliki arti penting antara lain bagi atau dari segi kebijaksanaan di bidang pertahanan dan keamanan negara, untuk itu dapat ditentukan pelarangan untuk mengumumkan ciptaan tersebut.

F. Pembatasan Hak Ciptaan

UHC Indonesia menyebutkan bahwa ciptaan-ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu, sastra dan seni, yang diperinci lagi secara detail yaitu, meliputi:a. buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan (lay out) karya

tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;b. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan

pantomim;f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,

seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;g. arsitektur;h. peta;i. seni batik;j. fitografi;k. senamatografi;l. terjemahan, tafsir saduran, bunga rampai database, dan karya lain

dari hasil pengalihwujudan.

Pada bagian lain UHC Indonesia juga telah menentukan ciptaan-ciptaan yang tidak dilindungi Hak Ciptanya. Dalam pasal 13 UHC Indonesia menyebutkan tidak ada Hak Cipta atas:a. hasil rapat terbuka Lembaga-lembaga negara;b. peraturan perundang-undangan;c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;d. putusan pengadilan atau penetapan Hakim, ataue. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan

sejenis lainnya.

Terhadap pasal 13 ini, setiap orang dapat memperbanyak, mengumumkan atau menyiarkan tanpa memerlukan izin dan ini tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Dalam penjelasan pasal ini disebut pula yang dimaksud dengan keputusan sejenis lainnya adalah keputusan seperti Keputusan Mahkamah Pelayaran, Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Keputusan Badan Urusan Piutang Negara, dan lain-lain.

15

Page 16: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Selanjutnya juga tidak ada Hak Cipta terhadap ciptaan yang sudah lewat masa berlakunya, yaitu selama hidup si pencipta ditambah 50 Tahun setelah meninggalnya si pencipta, pasal 29 untuk Indonesia.

Ada dua pembatasan menurut UHC Indonesia, yaitu pembatasan tanpa syarat dan pembatasan bersyarat. Pembatasan tanpa syarat terdapat dalam pasal 14 yang menyatakan, ‘Tidak dianggap sebagai pelanggarana Hak Cipta; pengumuman dan perbanyakan dari lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli.Sedangkan pembatasan bersyarat terdapat juga dalam pasal 14 tersebut yaitu, “Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta; pengumuman dan atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan, dan atau diperbanyak atau pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebut secara lengkap”.

Syarat untuk tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, disamping sumbernya disebutkan atau atau dicantumkan secara lengkap, ada syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 15 UHC Indonesia, yaitu:a. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan

pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

b. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan.

c. Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya mapun sebagian guna keperluan:1. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan, atau;2. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan

ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.d. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu

pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali perbanyakan itu bersifat komersial.

e. Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non komersial, semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.

f. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan.

16

Page 17: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

g. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

G. Pendaftaran Hak Cipta

Dalam sistem pendaftaran Hak Cipta menurut perundang-undangan Hak Cipta Indonesia bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlelu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran Hak Cipta. Sikap pasif inilah yang membuktikan bahwa UHC Indonesia menganut sistem pendaftaran deklaratif. Hal ini dikuatkan oleh pasal 36 UHC Indonesia yang menentukan, ‘Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan.

Dalam pasal 5 ayat (1), menyatakan bahwa “Keculi terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah adalah orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual atau yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan”. Hal yang penting lagi bahwa dengan pendaftaran ini diharapkan dapat memberikan semacam kepastian hukum serta lebih memudahkan dalam prosedur pengalihan hak.

Permohonan pendaftaran ciptaan dapat diajukan oleh pencipta atau si pemegang hak kepada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan surat rangkap dua dan ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai biaya pendaftaran dan contoh ciptaana atau penggantinya (pasal 37 ayat (2) UHC Indonesia). Sesuai dengan sifatnya, Hak Cipta itu dapat beralih dan dialihkan maka pemilik Hak Cipta itu juga dapat berubah-ubah atau berpindah. Hal ini akan menyebabkan dalam daftar umum ciptaan akan berubah nama, alamat dan sebagainya. Perubahan ini akan dicatat dalam Berita Resmi Ciptaan (pasal 41 dan 43 UHC Indonesia).

Selanjutnya pasal 44 UHC Indonesia menyebutkan tentang hapusnya kekuatan hukum pendaftaran Hak Cipta disebabkan tiga hal, yakni pertama, atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta atau pemegang Hak Cipta. Kedua, karena lampau waktu yaitu setelah 50 Tahun meninggalnya si pencipta terhitung sejak tanggal ciptaan itu diumumkan. Ketiga, karena dinyatakan batal oleh putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

H. Prosedur Pendaftaran Hak Cipta

Permohonan pendafataran diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan surat rangkap dua, diitulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas polio berganda. Dalam surat tersebut tertera:

17

Page 18: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

1. Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta;

2. Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang Hak Cipta;

3. Nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa;

4. Jenis dan judul ciptaan;5. Tanggal dan tempat ciptaan

diumumkan untuk pertaman kali;6. Uraian ciptaan rangkap tiga.Jenis dan judul ciptaan harus sesuai dengan ketentuan pasal 12 UHC Indonesia, misalnya buku, program komputer, ceramah, alat peraga, lagu, musik, drama, karya pertunjukan dan lain sebagainya yang tercakup dalam karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

I. Hak Moral (Moral Rights)

Mengenai Hak Moral (Moral Rights) pengaturannya dalam pasal 24 dan 25 UHC Indonesia. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa:1. Pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang Hak

Cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.2. a. Tidak diperbolehkan mengadakan perubahan suatu ciptaan kecuali dengan

persetujuan pencipta atau ahli warisnya.b. Dalam hal pencipta telah menyerahkan ciptaannya kepada orang lain,

selama penciptanya masih hidup diperlukan persetujuannya untuk mengadakan perubahan termaksud dan apabila pencipta telah meninggal dunia, izin harus diperoleh dari ahli waris.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran pencipta.

4. Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.

Untuk pelindungan Hak Moral (Moral Rights), telah tercantum ketentuan normatifnya pada pasal 56 UHC Indonesia, yang berbunyi:Penyerahan Hak Cipta atas seluruh ciptaan kepada orang atau badan lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya, telah melakukan:Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu.Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya.Mengganti atau mengubah judul ciptaan itu.Mengubah isi ciptaan itu.

J. Jangka Waktu Pemilikan Hak Cipta

18

Page 19: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Sejarah perkembangan Hak Cipta di Indonesia sama seperti di luar negeri yakni dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan (sciences) dan teknologi, namun landasan berpijaknya tetap dipengaruhi oleh landasan filosofi dan budaya suatu negara. Jika kita lihat dalam Auteurswet 1912 Hak Cipta hanya dibatasi jangka waktunya sampai 50 Tahun, tetapi UHC No. 7 Tahun 1987 dan UHC No. 12 Tahun 1997 kembali dimajukan menjadi selama hidup pencipta dan 50 Tahun mengikuti ketentuan Berne Convention (sebelum direvisi) Tahun 1967, yang kita ketahui diadopsi oleh Auteurswet 1912. Ketika UHC 1982 dilahirkan banyak alasan yang dikemukakan menyangkut filosofis fungsi sosial hak milik, dan disepakatilah jangka waktu Hak Cipta selama hidup si pencipta ditambah dengan 25 Tahun setelah meninggalnya si pencipta. Dalam UHC Indonesia yang terakhir jangka waktu pemilikan Hak Cipta ditetapkan selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 Tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Dengan berakhirnya jangka waktu pemilikan tersebut maka jadilah karya cipta itu sebagai milik umum, suatu kuasa umum (publik domein).

K. Perlindungan Hak Cipta Sebagai Hak Milik

Jika kita cermati perlindungan Hak Cipta sebagai hak kebendaan yang immateril maka kita akan teringat kepada hak milik. Hak milik ini menjamin kepada pemilik untuk menikmati dengan bebas dan boleh pula melakukan tindakan hukum dengan bebas terhadap miliknya itu. Terhadap Hak Cipta, si pencipta atau si pemegang hak dapat mengalihkan untuk seluruhnya atau sebagian Hak Cipta itu kepada orang lain dengan jalan pewarisan, hibah atau wasiat atau dengan cara lain (pasal 3 UHC Indonesia).

Lahirnya ciptaan baru atau ciptaan yang sudah ada sebelumnya harus didukung dan dilindungi oleh hukum. Wujud perlindungan itu dikukuhkan dalam undang-undang dengan menempatkan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar Hak Cipta dengan cara melawan hukum. UHC Indonesia menempatkan tindak pidana Hak Cipta sebagai delik biasa, dimaksudkan untuk menjamin perlindungan yang lebih baik dari sebelumnya dimana tindak pidana Hak Cipta dikategorikan sebagai delik aduan. Perubahan sifat delik ini adalah merupakan kesepakatan masyarakat yang menyebabkan suatu pelanggaran bisa diperkarakan ke pengadilan secara cepat dan tidak perlu menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang Hak Cipta. Tantangan ke depan adalah menyiapkan tenaga penyidik (termasuk para jaksa, penasehat/konsultan hukum dan hakim) yang selain memiliki keahlian dalam bidang hukum Hak Cipta, juga harus mengetahui pula seluk beluk pembajakan Hak Cipta melalui program komputer dan fasilitas e-book (teknologi komputer).

L. Tugas Penyidikan

19

Page 20: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Terhadap tindak pidana Hak Cipta, penyidikan dapat dilakukan oleh pejabat penyidik, yakni:1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berada di lingkungan Departemen

yang lingkup tugas atau memiliki tanggungjawab dalam bidang pembinaan Hak Cipta.

Penyidik dari POLRI melakukan tugas dan wewenang penyidikan sesuai dengan ketentuan pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang meliputi:a. memenrima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tidak pidana.b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka.d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi.h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.i. Mengadakan penghentian penyidikan.j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Sedangkan tugas dan wewenang penyidik yang berasal dari pejabat pegawai negeri sipil, meliputi:a. melakukan penelitian atas kebenaran

laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.b. Melakukan penelitian terhadap orang atau

badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta.c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari

orang dan badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta.

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

M. Ketentuan Pidana

20

Page 21: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

UHC Indonesia pasal 72 menyebutkan ketentuan pidana yang berkaitan dengan Hak Cipta, adalah sebagai:(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang haril pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

(6) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak melanggar pasal 24 dan pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

(7) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak melanggar pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

(8) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

(9) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000 (seratus miliar lima ratus juta rupiah).

N. Lisensi

Istilah lisensi dalam pengalihan Hak Cipta kepada pihak lain baru dijumpai dalam perundang-undangan Hak Cipta Tahun 1997. Masuknya terminologi hukum ‘lisensi’ tersebut didasarkan pada ketentuan Article 6 bis (1) Konvensi Bern. Prinsip dasar yang dianut adalah, kecuali diperjanjikan lain, lisensi selalu bersifat non eksklusif. Artinya, jika tidak diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan

21

Page 22: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan hukum mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.

UHC Indonesia pasal 45 menyebutkan ketentuan lisensi yang berkaitan dengan Hak Cipta, adalah sebagai:(1) Pem

egang Hak Cipta memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

(2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah negara RI.

(3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.

(4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Kemudian dalam pasal 47 UHC Indonesia menyatakan, bahwa:(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang

menimbulkan kerugian perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian Lisensi wajib dicatat di Direktorat Jenderal.

(3) Dirjen wajib menolak pencatatan Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur dengan Keputusan Presiden.

O. Dewan Hak Cipta

Dewan Hak Cipta diatur dalam pasal tersendiri yakni pasal 48 UHC Indonesia. Latar belakang pembentukan institusi (lembaga) Dewan Hak Cipta didasarkan pada pemikiran bahwa tema perlindungan hukum hak cipta belum tersosialisasi di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam pasal 48 UHC Indonesia, disebutkan bahwa:(1) untuk membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan

serta pembinaan Hak Cipta dibentuk Dewan Hak Cipta.(2) Keanggotaan Dewan Hak Cipta terdiri atas wakil pemerintah, wakil

organisasi profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi dibidang Hak Cipta, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan, tata kerja, pembiayaan, masa bakti Dewan Hak Cipta ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Biaya untuk Dewan Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan kepada anggaran belanja departemen yang melakukan pembinaan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual.

22

Page 23: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Keanggotaan Dewan Hak Cipta selain melibatkan personil dari lembaga atau Departemen terkait seperti Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan lain-lain, juga melibatkan asosiasi-asosiasi pencipta, penerbit, produser rekaman dan produser film, sinematografi, sastrawan, budayawan, ilmuwan baik secara kelembagaan maupun perorangan.

Oleh karena perlindungan hak cipta ini berada di bawah Departemen Kahakiman, maka selaku Ketua dapat ditunjuk atau dipegang oleh Menteri Kehakiman. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi pelaksanaan tugas dewan. Wakil Ketua dapat diangkat dari Departemen terkait, misalnya Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perdagangan dan Perindustrian atau dari unsur asosiasi-asosiasi pencipta, penerbit, produser rekaman dan produser film, sinematografi. Demikian pula susunan Sekretaris dan Wakil Sekretaris, selain melibatkan institusi di atas juga personil yang terdapat dalam instansi Kejaksaan, Kepolisian dan Ikatan Advokat/Penasehat Hukum serta lembaga-lembaga lain misalnya LIPI, Perpustakaan Nasional, dan lain-lain. Sedangkan unsur keanggotaan dapat ditarik dari perorangan dari lembaga-lembaga misalnya Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga Penelitian, kalangan LSM, dan lain-lain.

Pelaksana Harian Dewan Hak CiptaUntuk kelancaran pelaksanaan tugas dewan sehari-hari ditetapkan adanya Pelaksana Harian, yang terdiri dari:a. Ketua: Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan,

Departemen Kehakiman;b. Sekretaris: Direktur Paten dan Hak Cipta, Direktorat Jenderal

Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM;c. Beberapa anggota sesuai dengan kebutuhan yang dipilih di

antara anggota Dewan.

Dewan ini sudah selayaknya tidak dimasuki atau jangan sampai digiring ke arena politik dan tidak pula dimaksudkan untuk memihak kepada kepentingan kelompok birokrat tertentu.

Fungsi Dewan Hak CiptaDalam melaksanakan tugasnya, Dewan mempunyai fungsi:a. Membantu pemerintah dalam penyiapan dan pengolahan bahan-bahan yang

diperlukan baik dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta ataupun perumusan kebijaksanaan pemerintah tentang tindakan atau langkah-langkah yang diperlukan dalam usaha memberikan perlindungan hak cipta.

b. Memberikan pertimbangan dan pendapat kepada Presiden baik diminta maupun tidak diminta mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta.

c. Memberikan pertimbangan dan pendapat mengenai hak cipta atas permintaan pengadilan atau instansi pemerintah lainnya.

d. Memberikan pertimbangan dan pendapat kepada pencipta dan masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta.

e. Memberikan pertimbangan dan pendapat dalam rangka penyelesaian perselisihan atas permintaan para pihak yang berselisih.

23

Page 24: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB IIINEIGHBORING RIGHTS

A. Definisi dan Ruang Lingkup

Neighboring Rights adalah sebuah ungkapan singkat (abbreviated expression) untuk sebutan yang lebih panjang yang lebih tepat yakni “Rights Neighboring on Copyrights”. Dalam terminologi lain Neighboring Rights dirumuskan juga sebagai Rights Related to, or “neighboring on” copyrights (hak yang ada kaitannya dengan, yang ada hubungannya dengan atau “berdampingan dengan” hak cipta.

Dalam Neighboring Rights, terdapat 3 hak, yaitu:1. the rights of performing artist in their performances (hak penampilan artis atas

tampilannya).2. the rights producer of phonograms in their phonograms (hak produser rekaman

suara atau fiksasi suara atas karya rekaman suara tersebut).3. the rights of broadcasting organizations in their radio and television broadcasts

(hak lembaga penyiaran atas karya siarannya melalui radio dan televisi).

Dalam pasal 49 UHC Indonesia secara rinci diuraikan tentang ruang lingkup atau cakupan Neighboring Rights, yang meliputi:(1) Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang

pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

(2) Produser rekaman suara memiliki hak aksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.

(3) Lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan/atau menyiarkan ulang siaran karyanya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan neighboring rights meliputi:1. Hak pertunjukan terhadap penampilan.2. Hak produser rekaman terhadap rekaman yang dihasilkannya.3. Hak lembaga penyiaran terhadap karya siarannya.

Kemudian dalam pasal 50 UHC Indonesia merinci tentang jangka waktu perlindungan Neighboring Rights. Untuk jelasnya, bunyi pasal 50 UHC Indonesia adalah sebagai beriktu:(1) Jangka waktu perlindungan bagi:

a. Pelaku, berlaku selama 50 Tahun sejak karya tersebut pertama kali dipertunjukkan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audiovisual;

b. Produser Rekaman Suara berlaku selama 50 Tahun sejak karya tersebut selesai direkam;

24

Page 25: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

c. Lembaga Penyiaran berlaku 20 (dua puluh) Tahun sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.

(2) Perhitungan jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Tanggal 1 Januari Tahun berikutnya setelah:a. karya pertunjukan selesai dipertunjukkan atau

dimasukkan ke dalam media audio atau media audiovisual;b. karya rekaman suara selesai direkam;c. karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali.

B. Perlindungan Hukum Neighboring Rights

Perlindungan Neighboring Rights selain diatur dalam UU Indonesia, saat ini pengaturannya terdapat juga dalam kaedah hukum Internasional, yakni:1. Rome Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms

and Broadcasting Organization (1961).2. Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms againts

Unauthorized Duplication of Their Phonograms.3. Brussels Convention Relative to the Distribution of Programme Carring Signal

Transmitted by Satellite.

Sedangkan dalam hukum Indonesia pengaturannya tidak disebutkan secara rinci dalam satu peraturan khusus tetapi dimuat dalam UU No. 19 Tahun 2002.

Rome Convention (1961) secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum Neighboring Rights, sedangkan Konvensi Jenewa (Geneva Convention) mengatur tentang hak produser rekaman dan Brussel Convention menitikberatkan pada pengaturan tentang distribusi program siaran yang menggunakan jaringan transmisi satelit. Menuurut ketentuan pasal 3 Rome Convention, yang tercakup dalam pengertian pelakon (performers) adalah para aktor, penyanyi, musisi, penari dan orang lain yang beraksi dalam sebuah tampilan lagu, penyampai berita, atau orang yang tampil dalam kegiatan seni dan sastra lainnya. Mereka-mereka ini yang secara hukum didudukkan sebagai subyek hukum hak atas Neighboring Rights, disamping para produser rekaman suara dan lembaga penyiaran.

Produser rekaman suara (producer of phonograms) berarti orang yang menurut ketentuan hukum (the legal entity) untuk pertama kalinya memfiksasikan suara orang lain dalam bentuk karya Rekaman Suara.Seorang produser berhak untuk mendapat perlindungan hukum terhadap karya rekaman suara orang lain yang merupakan hasil kerjanya, bilamana hasil karya rekaman itu ditayangkan ulang oleh pihak lain untuk tujuan komersil. Sebut saja misalnya sebuah hotel atau restoran mengumandangkan lagu-lagu karya rekaman suara yang bertujuan untuk menarik minat para tamu untuk hadir, maka pemilik hotel atau restoran tersebut berkewajiban untuk membayar Royalti kepada produser rekaman tersebut.

25

Page 26: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Demikian pula halnya dengan karya rekaman suara itu disiarkan melalui Radio atau Televisi yang menyuguhkan sarana hiburan namun disisi lain mereka juga memiliki tujuan komersil dari penjualan iklan, maka sudah sepantasnya hak produser rekaman turut menjadi perhatian para penyelenggara atau pemilik siaran radio atau televisi.

Dalam sebuah pagelaran musik dan lagu yang menampilkan penyanyi atau musisi terkenal, peranan penari latar sering tenggelam karena kebesaran sang penyanyi atau sang musisi. Tampilan penyanyi, musisi dan penari sama andilnya dalam keberhasilan sebuah pagelaran musik dan lagu. Dalam terminologi hukum neighboring rights ketiga-tiganya (penyanyi, musisi dan penari) memiliki hak yang sama.

BAB IVP A T E N

A. Paten Sebagai Benda Immaterial

Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Rights). Hak kekayaan intelektual itu sendiri adalah merupakan bagian dari benda tidak berwujud (benda immateril).

Dalam Undang-Undang/Hukum Perdata Jerman (1900) digunakan istilah sache untuk menyebut barang atau benda berwujud. Sedangkan UU Perdata Austria

26

Page 27: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(1811) kata sache digunakan dalam arti yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang bukan personal dan dipergunakan oleh manusia.

Dipergunakan istilah zaak dalam KUH Perdata Indonesia dan dipakai tidak hanya menyebutkan barang yang berwujud saja (misalnya pasal 580), tetapi juga dipergunakan untuk menyebutkan benda tidak berwujud yang sering pula diterjemahkan menjadi hak. Dalam pasal 511 KUH Perdata menyebutkan beberapa benda tak berwujud, yaitu bunga uang, perutangan dan penagihan sebagai benda bergerak.

Pasal 1 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, menyebutkan bahwa:1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas

hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

2. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.

Invensi yang dapat diberi Paten adalah sesuai Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2001, yakni:(1) Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah

inventif serta dapat diterapkan dalam industri.(2) Suatu Invensi mangandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi

seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(3) Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Pemohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.

Selanjutnya dalam pasal 3 dikatakan bahwa:(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, invensi tersebut

tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peraga, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:a. Tanggal penerimaan; ataub. Tanggal prioritas.

27

Page 28: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pasa ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

B. Paten Sebagai Bagian Hak Kekayaan Perindustrian

Hak kekayaan perindustrian (industrial property rights) merupakan bagaian dari hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Termasuk ke dalam hak atas kekayaan industrial ini adalah Paten, Merek, Desain Produk dan lain-lain (lihat skema Hak Atas Kekayaan Intelektual).

Paten merupakan suatu hak khusus berdasarkan Undang-Undang diberikan kepada si pendapat / si penemu atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya, atas permintaannya yang diajukannya kepada pihak penguasa bagi temuan baru di bidang teknologi, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau menemukan suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industri.

Temuan baru di bidang teknologi, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, yang kesemuanya disebut invensi harus mengandung langkah inventif (inventive step), yaitu langkah pemikiran kreatif yang lebih maju dari hasil penemuan sebelumnya.

Unsur teknologi dan industri mendapat tempat yang penting di sini. Invensi itu haruslah dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam aktivitas industri, baik itu industri otomotif, industri tekstil atau industri pariwisata.

Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya (berapapun besarnya misalnya dalam kegiatan penelitian), maka teknologi memiliki nilai atau suatu yang bernilai ekonomi yang dapat menjadi obyek harta kekayaan (property). Dalam ilmu hukum yang secara luas dianut oleh bangsa-bangsa lain, hak atas daya pikir intelektual dalam bidang teknologi tersebut diakui sebagai hak kekayaan yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti inilah yang dikenal sebagai hak Paten.

C. Sejarah dan Pengertian Paten

Paten atau oktroi telah ada sejak abad XIV dan XV, contohnya di negara Italia dan Inggris. Tetapi sifat pemberian hak ini pada waktu itu bukan ditujukan atas suatu temuan atau invensi (uitvinding) namun diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri agar dapat mengembangkan keahliannya. Jadi Paten atau oktroi itu bersifat sebagai semacam “izin menetap” bagi sang inventor atas keahlian dalam

28

Page 29: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

bidang tertentu dan ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah Paten dewasa ini. Royaltinya, ia boleh tinggal di negara itu dengan perlakuan khusus karena dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan negeri tersebut.

Nanti pada abad XVI diadakan peraturan pemberian hak-hak Paten/oktroi terhadap hasil temuan (uitvinding) yaitu di negara-negara Venesia, Inggris, Belanda, lalu di Jerman, Australia dan lain sebagainya.

Dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad XX, pemberian Paten/oktroi bukan lagi suatu hadiah, melainkan pemberian hak atas suatu temuan, seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kemudian di Amerika Serikat terbentuk undang-undang Paten yang tegas mengubah sifat pemberian hak Paten/oktroi. Lalu diikuti oleh negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Saat ini peraturan perundangan lembaga Paten hampir meliputi semua negara termasuk kawasan Asia.

Di Indonesia pengaturan Paten ini sebelum keluarnya UU No. 6 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten adalah berdasarkan Octroiwet 1910 hingga dikeluarkannya pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 No. J.S.5/41/4 tentang pendaftar sementara oktroi, dan pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 19 Oktober 1953 No. J.G.1/2/17 tentang permohonan sementara oktroi dari luar negeri.

Mengenai pengertian Paten menurut Octroiwet 1910 adalah: “Paten ialah hak khusus yang diberi kepada seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang menciptakan sebuah produk baru atau dari cara kerja baru atau perbaikan baru dari produk atau dari cara kerja baru”.

Pengertian Paten menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh W.J.S. Poerwadarminta, menyebutkan: “Kata Paten berasal dari bahasa Eropa (Paten/oktroi) yang mempunyai arti suatu surat perniagaan atau izin dari pemerintah yang menyatakan bahwa orang atau perusahaan oleh membuat barang pendapatannya sendiri (orang lain tidak boleh membuatnya)”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Paten adalah merupakan hak bagi seseorang yang telah mendapat penemuan baru atau cara kerja baru dan perbaikannya, yang kesemua istilah itu tercakup dalam satu kata, yakni ‘invensi’ dalam bidang teknologi yang diberikan oleh pemerintah, dan kepada pemegang haknya diperkenankan untuk menggunakan sendiri atau atas izinnya mengalihkan penggunaan hak itu kepada orang lain.

D. Obyek Paten

29

Page 30: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dalam bukunya ”Aneka Hak Milik Perindustrian”, R.M. Suryodiningrat menuliskan: Sebagaimana berdasarkan UU Merek 1961 pasal 4 ayat 2 b ada klasifikasi barang-barang untuk mana merek dipergunakan, maka demi kepentingan pendaftaran Paten juga diadakan Persetujuan Internasional Klasifikasi Subyek untuk Paten di Strasbourg tanggal 24 Maret 1971 (Strasbourg Agreement). Menurut persetujuan Strasbourg, obyek tersebut dibagi dalam 8 seksi, dan 7 seksi diataranya masih terbagi dalam sub seksi, sebagai berikut:Seksi A – Kebutuhan manusia (human necessities) Sub Seksi – agrarian (agriculture) bahan-bahan makanan dan tembakau

(foodstuffs and tobako);– bahan-bahan makanan dan tembakau (foodstuffs and tabaco);– barang-barang perseorangan dan rumah tangga (personal and

domestic articles);– kesehatan dan hiburan (healt and

amusement) Seksi B – Melaksanakan karya (performing operations)Sub Seksi – memisahkan dan mencampurkan (separating and mixing);

– Pembentukan (shaping); – Pencetakan (printing);

– Pengangkutan (transporting);Seksi C – Kimia dan perlogaman (chemistry and metallurgy) Sub Seksi – Kimia (chemistry)

– Perlogaman (metallurgy).Seksi D – Pertekstilan dan perkertasan (textile and paper).Sub Seksi – pertekstilan dan bahan-bahan yang mudah melentur dan sejenis

(textile and flexible materials and ather-wise provided for) – perkertasan (paper)

Seksi E – Konstruksi tetap (fixed constructions).Sub Seksi – pembangunan gedung (building)

– pertambangan (mining) Seksi F – Permesinan (mechanical engineering) Sub Seksi – Mesin-mesin dan pompa-pompa (engines and pumps);

– pembuatan mesin pada umumnya (engineering in general); – penerangan dan pemanasan (lighting and heating).

Seksi G – Fisika (Phisics) Sub Seksi – intrumentalia (instruments);

– kenukliran (nucleonics). Seksi H – Perlistrikan (electricity).

Sesuai dengan kutipan diatas, nampak jelas bahwa cakupan Paten itu begitu luas, sejalan dengan luasnya cakrawala daya pikir manusia. Kreasi apa saja yang dilahirkan oleh manusia dapat menjadi obyek Paten sepanjang temuan itu dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam bidang industri termasuk pengembangannya.

30

Page 31: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

E. Subyek Paten

Mengenai subyek Paten pasal 10 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001 menyebutkan: (1). Yang berhak memperoleh Paten adalah inventor atau yang menerima lebih

lanjut hak inventor yang bersangkutan. (2). Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak

atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.

Dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 2001 disebutkan: “Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam permohonan”.

Selanjutnya dalam Pasal 12 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001 disebutkan: (1). Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu invensi yang dihasilkan dalam

suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data/atau sarana tersedia dalam pekerjaan sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menhasilkan invensi.

(3). Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut.

(4). Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan:a. dalam jumlah tertentu dan sekaligus;b. presentase;c. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;

atau e. bentuk lain yang disepakati para pihak,

yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. (5). Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan

penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga.

(6). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten.

Dari ketentuan diatas dapat dijelaskan bahwa ketentuan ini memberi penegasan bahwa hanya inventor, atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan, yang berhak memperoleh Paten atas invensi yang bersangkutan. Penerimaan lebih lanjut hak inventor tersebut dapat terjadi karena pewarisan, hibah, wasiat atau perjanjian, sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.

31

Page 32: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

F. Sistem Pendaftaran Paten

Ada dua sistem pendaftaran Paten yang dikenal di dunia yaitu: sistem registrasi dan sistem ujian.

Manurut sistem registrasi setiap permohonan pendaftaran Paten diberi Paten oleh kantor Paten secara otomatis. Spesifikasi dari permohonan tersebut hanya memuat uraian dan monopoli yang diminta dan tidak diberi penjelasan secara rinci. Karenanya batas-batas monopili tidak dapat diketahui sampai pada saat timbul sengketa yang yang dikemukakan di sidang pengadilan yang untuk pertama kali akan menetapkan luasnya monopoli yang diperbolehkan. Itu pula sebabnya Paten-Paten yang terdaftar menurut sistem registrasi tanpa penyelidikan dan pemeriksaan lebih dahulu dianggap bernilai rendah atau Paten-Paten yang memiliki status lemah.

Jumlah negara-negara yang menganut sistem tersebut sedikit sekali, antara lain Belgia, Afrika Selatan dan Perancis. Pada mulanya sistem pendaftaran Paten yang banyak dipakai adalah sistem registrasi, namun karena jumlah permohonan semakin bertambah, maka beberapa sistem registrasi lambat laun berubah menjadi sistem ujian (examining sistem). Dengan pertimbangan bahwa Paten seharusnya lebih jelas menyatakan monopoli yang dituntut dan selayaknya sejauh mungkin monopoli-monopoli yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak akan diberi Paten. Sebuah syarat telah ditetapkan bahwa semua spesifikasi Paten harus meliputi “claim-claim” yang dengan jelas menerangkan monopoli yang akan dipertahankan, sehingga pihak lain secara mudah dapat mengetahui mana yang dilarang oleh monopoli dan mana yang tidak dilarang.

Fungsi kantor-kantor Paten dalam suatu negara dengan sistem ujian adalah lebih luas daripada dalam negara-negara yang menganut sisten registrasi. Dengan sistem ujian, seluruh instansi terkait diwajibkan untuk menguji setiap permohonan pendaftaran dan bila perlu mendesak pemohon agar mengadakan perubahan (amendement) sebelum hak atas Paten tersebut diberikan. Pada umumnya ada tiga unsur (kriteria) pokok yang diuji, yaitu:a. invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak

atas Paten menurut Undang-Undang Paten,b. invensi baru harus mengandung sifat kebaruan, c. invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu

yang bersifat kemajuan (invention step) dari apa yang telah diketahui.

Dalam berbagai literatur ditemukan pula uraian-uraian dan istilah-istilah lain mengenai sistem pendaftaran Paten yaitu:

1. Sistem Konstitutif

32

Page 33: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Menurut sistem ini, invensi terlebih dahulu diselidiki terutama tentang langkah inventif serta kebaruannya, kalau ternyata benar barulah kemudian penemuan itu diberi hak Paten. negara-negara yang menganut sistem ini mula-mula, Amerika Serikat dan Inggris.

Pada stelsel konstitutif yang menjadi titik beratnya adalah hak atas Paten diberikan atas dasar pendaftaran setelah melalui tahapan permohonan dan pemeriksaan. Sistem ini disebut juga sistem ujian (examination sistem).

2. Sistem DeklaratifMenurut sistem ini praktis semua permintaan Paten yang menenuhi syarat yang telah ditetapkan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang diberikan hak Paten dengan tidak diselidiki kebaruan invensi tersebut dan kalau ternyata tidak terdapat unsur kebaruan, maka ini akan dijadikan alasan pembatalan hak Paten melalui pengadilan. Jadi semua permohonan Paten diterima. Kalau ada pihak lain keberatan dapat mengajukan gugatan pengadilan. negara dalam hal ini hanya “memberi persangkaan atau anggapan” bahwa si pendaftar itu adalah pemilik hak atas Paten, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, maka hak yang telah diberikan itu gugur (batal) dan pihak terakhir yang dapat membuktikan menjadi pemegang hak. negara-negara yang menganut sistem ini adalah Belgia, Perancis sebelum Perang Dunia II.

Dalam sistem deklaratif pendaftaran hanya memberi dugaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang mendaftarkan Patennya itu adalah orang yang berhak dari Paten yang didaftarkan. Sedang pada sistem konstitutif, bahwa hak atas invensi dalam bidang Paten baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunya kekuatan.

Pada sistem konstitutif dikenal dua cara sistem pemeriksaan yaitu sistem pemeriksaan ditunda (defered examination sistem) dan sistem pemeriksaan langsung (prompt examination sistem).

Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 menggunakan sistem pemriksaan yang ditunda. Pemilihan sistem pemeriksaan ditunda ini karena sistem ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemeriksaan Paten dan dapat dikatakan sistem ini lebih demokratis. Sistem ini melonggarkan tekanan berupa beban pemeriksaan yang sangat besar pada Kantor Paten.

Adapun syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi untuk mengajukan permintaan Paten dapat dilihat dalam Pasal 24 UU No. 14 Tahun 2001, yang berbunyi sebagai berikut:(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada

Direktorat Jenderal.(2) Permohonan harus memuat:

33

Page 34: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

a. tanggal, bulan dan tahun permohonan;b. alamat lengkap dan alamat jelas pemohon;c. nama lengkap dan kewarganegaraan inventor;d. nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan

melalui kuasa;e. surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa;f. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten;g. judul invensi;h. klaim yang terkandung dalam invensi;i. deskripsi tentang invensi yang secara lengkap memuat

keterangan tentang cara pelaksanakan invensi;j. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk

memperjelas invensi; dank. abstraksi invensi.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

G. Pengalihan Paten

Prinsip ideal perlindungan Paten adalah sama dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual lainnya sepanjang kesemuanya bermaksud untuk melindungi seseorang yang menemukan sesuatu agar supaya buah pikiran dan pekerjaannya tidak dipergunakan begitu saja oleh orang lain dan menikmati hasilnya dengan melupakan jeri payah mereka yang telah bekerja keras, berpikir dan mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Jika dibandingkan antara hak cipta dengan Paten, perdebatan antara keduanya adalah wujud hak cipta oleh hukum dalam prinsipnya diakui sejak saat semula, dan hukum hanya mengatur dalam hal perlindungannya. Sedangkan Paten adalah hak yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang menemukan sesuatu hal (invensi) dalam bidang teknologi yang dapat diterapkan dalam bidang industri, terhadap satu-satunya orang (ekslusif) yang menemukannya melalui buah pikiran atau buah pekerjaan, dan orang lain dilarang mempergunakannya, kecuali atas izinnya.

Oleh karena itu, lahirnya Paten tergantung dari pemberian negara. Dalam hal ini Wirjono Projodikoro menulis: “Perkataan Oktroi atau Paten berarti juga suatu privilege, suatu pemberian instimnewa, seolah-oleh hak yang diberikan itu bukan hak azasi, sedangkan sebetulnya hak ini adalah hak azasi, tidak berbeda dari hak cipta”.

Dalam pandangannya ini benar jika dilihat dari bentuknya tidak ada perbedaan yang mendasar antara Paten dengan hak cipta. Sebab dalam Paten terkandung pula unsur hak cipta. Kedua-duanya mengandung unsur temuan (invensi) yang semula merujuk pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri dilindungi melalui hak cipta. JIka diklasifikasikan lebih lanjut sebenarnya Paten itu dapat dikatakan sebagai bagian dari hak cipta atau hak cipta dalam arti sempit. Tetapi karena hak

34

Page 35: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

cipta sudah dibatasi hanya berupa temuan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dan dibatasi pula hanya sepanjang untuk mengumumkan atau memperbanyak hak tersebut, maka ada juga perbedaannya dengan Paten. Paten membatasi dirinya hanya sepanjang komposisi temuannya, cara serta proses. Misalnya berapa presentase kadar zat-zat kimia tertentu untuk sebuah produk obat batuk dan itu akan membedakannya dengan obat batuk yang lain. Demikian juga misalnya untuk satu produk minyak pelumas. Komposisi zat-zat kimia dalam produk Pertamina dengan merek Mesran (hak merek) itu berbeda dengan minyak pelumas produk British Petrolium dengan merek BP. Perbedaan pada komposisi itu adalah Paten. Tetapi perbedaan komposisi tidak dilakukan begitu saja. Itu dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, melalui penelitian-penelitian. Temuan penelitian itu adalah hak cipta yaitu berupa temuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Itu sebabnya untuk mengobati berbagai jenis batuk tidak dapat digunakan untuk semua jenis obat batuk. Batuk kering, batuk berdahak, batuk disebabkan masuk angina itu berbeda jenis obat batuk yang digunakan, tergantung pada komposisi zat kimia yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu landasan ilmu pengetahuan untuk satu produk itu adalah hak cipta, sedangkan komposisi dalam satu produk itu adalah hak Paten, jika kemudian temuan itu diberi merek, misalnya Laserin, OBB, Benadril maka yang terakhir ini disebut hak merek. Ini kalau kita ambil contohnya produk obat-obatan. Akan tetapi Paten juga meliputi invensi bidang teknologi otomotif, pesawat terbang, peralatan rumah tangga. tekstil, konstruksi dan lain-lain.

H. Jangka Waktu Paten

Hak Paten haruslah menjalankan fungsi sosialnya, karena itu sewaktu-waktu ia dapat menjadi milik publik, melalui ketentuan masa berlakunya. Selain hak yang diberikan kepada pemegang Paten, juga kepadanya diberikan kewajiban untuk melaksanakan Patennya dalam industri. Hal ini merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Adanya kewajiban ini juga dimaksudkan untuk memberikan makna dan fungsi sosial dan mencegah penyalahgunaan hak yang diberikan. Mengenai hal ini diatur dalam Bab VI Pasal 88 – 98 UU Paten No. 14 Tahun 2001 yang mengatur pembatalan Paten dengan tiga cara, yaitu Paten yang dibatalkan demi hukum, atas permintaan pemegang Paten dan pembatalan karena gugatan.

Pasal 88 UU Paten No. 14 Tahun 2001, menyatakan bahwa Paten dinyatakan batal demi hukum apabila pemegang Paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam waktu yang ditentukan dalam UU ini.

Batalnya Paten demi hukum ini diberitahu secara tertulis oleh Kantor Paten kepada pemegang Paten dan pemegang lisensi Paten, dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut. Paten yang batal demi hukum tersebut dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

35

Page 36: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Sedangkan pembatalan Paten atas permintaan pemegang Paten diatur dalam Pasal 89 UU Paten No. 14 Tahun 2001. Menurut ketentuan ini Paten dapat dibatalkan oleh Kantor Paten untuk seluruhnya atau sebagian atas permintaan pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Kantor Paten.

Menurut Pasal 8 ayat (1) UU Paten No. 14 Tahun 2001 menyatakan jangka waktu Paten selama 20 Tahun dapat pula dikatakan sebagai jangka waktu perlindungan hukum atas Paten yang bersangkutan. Jangka waktu itu dihitung sejak tanggal penerimaan permintaan Paten (filing date). Tanggal tersebut dinyatakan dalam Surat Paten (Letter of Patent) yang diberikan oleh Kantor Paten. Tanggal Mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten di catat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Beritas Resmi Paten.

Mengenai masa berlakunya Paten tergantung pada ketentuan undang-undang Paten masing-masing negara, tetapi pada umumnya berkisar antara 8 sampai 20 Tahun, misalnya di Columbia 8 Tahun setelah tanggal pendaftarannya, di Peru 10 Tahun setelah tanggal pendaftarannya, di Nigeria 20 Tahun setelah tanggal masuknya permohonan pendaftaran Paten.

I. Ruang Lingkup Perlindungan Paten

Penemuan yang dapat diberikan Paten, Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2001 menegaskan sebagai berikut:1. Paten diberikan untuk invensi yang baru dan

mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.2. Suatu invensi mengandung langkah inventif jika

invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan suatu hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

3. Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas.

Jadi, Paten diberikan bagi penemuan yang dapat diterapkan dalam bidang industri. Dan untuk dapat diterapkan dalam industri, penemuan tersebut harus dapat diproduksi atau dapat digunakan dalam berbagai jenis industri.

Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan;

b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau

36

Page 37: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologi.

Pada huruf (b) dapat dijelaskan bahwa metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan tidak dapat diberikan Paten, karena menyangkut metode yang didalamnya terkait ilmu pengetahuan yang termasuk dalam cakupan hak cipta.

J. Permintaan Paten

Pasal 20 UU Paten No. 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa “Paten diberikan atas dasar permohonan”. Paten merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Diberikan oleh negara, bermakna bahwa negara bersifat pasif, yang aktif adalah inventornya, dengan mengajukan permintaan atau permohonan.

Invensi itu harus mengandung langkah invensi (inventive step) yaitu langkah pemikiran kreatif yang lebih maju dari harsil invensi sebelumnya, dimana langkah baru itu tidak dapat diduga sebelumnya (non obious) oleh seorang ahli atau awam. Suatu invensi harus mempunyai dua ciri khas yaitu harus inventif, yakni sebagai hasil daya kreasi dan harus nyata bedanya dengan yang sudah ada dan dapat diterapkan dalam bidang industri. Artinya tidak hanya teori tapi dapat diproduk atau digunakan dengan tujuan praktis dan mempunyai kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia.

Di Indonesia yang memberikan Paten itu adalah Departemen Hukum dan HAM dalam hal ini Direktorat Jenderal HAKI. Pasal 30 s.d 41 UU Paten No. 14 Tahun 2001, menyebutkan:Pasal 30: (1) Tanggal penerimaan adalag tanggal Direktorat Jenderal menerima surat

permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf f, huruf h dan huruf l, serta huruf j jika permohonan tersebut dilampiri gambar, serta setelah dibayarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

(2) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf h dan l ditulis dalam bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 harisejak hari tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 31: Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), tanggal penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Direktorat Jenderal .Pasal 32:

37

Page 38: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(1) Apabila ternyata syarat-syarat sebagimana dimaksud dalam Pasal 30 telah dipenuhi, tetapi ketentuan-ketentuan lain dalam pasal 24 belum dipenuhi, Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan tersebut dipenuhi palin g lama 3 bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut oleh Direktorat Jenderal .

(2) Berdasarkanalasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal , jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 bulan atas permintaan pemohon.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa pemohon dikenai biaya.

Pasal 33: Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 tidak dipenuhi, Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pemohon bahwa permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 34:(1) Apabila untuk satu invensi yang sama ternyata diajukan oleh lebih dari satu

Permohonan oleh pemohon yang berbeda, Permohonan yang diajukan pertama yang dapat diterima.

(2) Apabila beberapa permohonan untuk invensi yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan pada tanggal yang sama, Direktorat Jenderal dapat memberitahukan secara tertulis kepada para pemohon untuk berunding guna memutuskan permohonan mana yang diajukan dan menyampaikan hasil keputusan itu kepada Direktorat Jenderal paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal pengiriman pemberitahuan tersebut.

(3) Apabila tidak tercapai persetujuan atau keputusan di antara para pemohon, tidak dimungkinkan dilakukannya perundingan atau hasil perundingan tidak disampaiakan kepada Direktorat Jenderal dalam waktu yang ditentukan pada ayat (2), permohonan itu ditolak dan Direktorat Jenderal memberitahukan penolakan tersebut secara tertulis kepada para pemohon.

Pasal 35: Permohonan dapat diubah dengan cara mengubah deskripsi dan/atau klaim dengan ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas lingkup invensi yang telah diajukan dalam permohonan semual.

Pasal 36:(1) Pemohon dapat mengajukan pemecahan permohonan semula apabila suatu

permohonan terdiri atas beberapa invensi yang tidak merupakan satu kesatuan invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(2) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telaj diajukan dalam permohonan semual.

38

Page 39: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(3) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum permohonan semual tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 ayat (1).

(4) Permohonan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan pasal 24, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan semula.

(5) Dalam hal pemohon tidak mengajukan permohonan pemecahan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksaan substantif atas permohonan hanya dilakukan terhadap invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam permohonan semual.

Pasal 37: Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten sederhana atau sebaliknya oleh pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam undang-undang ini.

Pasal 38: Ketentuan lebih lanjt mengenai perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 39:(1) Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon dengan mengajukan secara

tertulis kepada Direktorat Jenderal .(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali Permohonan diatur

dengan Keputusan Presiden.

Pasal 40: Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apapun dari Direktorat Jenderal , pegawai Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan atas nama Direktorat Jenderal dilarang mengajukan Permohonan memperoleh Paten atau dengan cara apapun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan.

Pasal 41: Terhitung sejak tanggal penerimaan, seluruh aparat Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya terkait dengan tugas Direktorat Jenderal wajib menjaga kerahasiaan invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan.

Setelah 18 bulan permintaan Paten diajukan Direktorat Jenderal HAKI wajib mengumumkan permohonan Paten tersebut, yang dilaksanakan selama:a. 6 bulan terhitung sejak diumumkannya permohonan Paten;b. 3 bulan terhitung sejak diumumkannya permohonan Paten sederhana;

Pengumuman dilakukan dengan mencantumkan:a. nama dan kewarganegaraan inventor;

39

Page 40: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

b. nama dan alamat lengkap pemohon dan kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa;

c. judul invensi;d. tanggal penerimaan, dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas,

tanggal prioritas, nomor dan negara tempat permohonan yang pertama kali diajukan;

e. abstrak;f. klasifikasi invensi;g. gambar, jika ada;h. nomor pengumuman; dani. nomor permohonan.

K. Pemeriksaan Permintaan Paten

Pasal-pasal dari UU No. 14 Tahun 2001 berikut ini menyebutkan mengenai pemeriksaan permintaan Paten, yakni Pasal 48 yang bunyinya:(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada

Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya.(2) Tata cara dan syarat-syarat Permohonan pemeriksaan substantif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Penjelasan dalam ayat (1) dinyatakan bahwa untuk menentukan apakah permintaan Paten untuk suatu penemuan dapat dikabulkan atau ditolak, diperlukan pemeriksaan yang bersifat substantif. Tetapi untuk diadakannya pemeriksaan tersebut, harus diajukan permintaan secara tertulis yang diajukan ke Kantor Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bila orang yang mengajukan permintaan Paten tidak meminta diadakannya pemeriksaan substantif, pada prinsipnya tidak akan dilakukan pemeriksaan. Dengan demikian tidak akan diberikan Paten. Permintaan pemeriksaan harus disertai pembayaran biaya yang ditentukan.

Penjelasan dalam ayat (2) dikatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keseragaman tentang bentuk permintaan. Selain memudahkan pihak yang meminta, juga mempercepat proses yang harus dilakukan oleh Kantor Paten.

L. Linsensi Paten

Dalam praktek permintaan Paten di Indonesia secara kuantitatif dapat dijelaskan bahwa permintaan Paten hanya sedkit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Ini menunjukkan bahwa kemampuan orang Indonesia untuk menghasilkan penemuan baru yang dapat diperoleh hak Paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan. Dalam hal demikian, Perjanjian Lisensi menjadi sangat penting artinya. Masuknya Paten dan lahirnya berbagai perjanjian Lisensi merupakan konsekuensi logis dari diundangkannya

40

Page 41: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

undang-undang paten. Lebih dari itu merupakan bagian dari globalisasi perekonomian dunia. negara Indonesia yang berambisi menjadi negara industri sudah seharusnya melakukan perjanjian Lisensi ini semaksimal mungkin. Dalam UU Paten No. 14 Tahun 2001, Perjanjian Lisensi diatur dalam Pasal 69 s.d Pasal 73, yakni Pasal 69 menyebutkan:(1) Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Repbublik Indonesia.

Dalam pasal 70 berbunyi: Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Ketentuan-ketentuan Lisensi akan sangat berperan penting dalam pembangunan industri selama kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan penemuan baru yang berhak untuk diberikan paten belum memadai. Dalam Pasal 73 disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Lisensi diatur dengan peraturan Pemerintah. Dalam hal ini timbul pertanyaan: Peraturan Pemerintah tentang Lisensi yang bagaimanakah yang akan ditetapkan oleh Pemerintah ? Bagaimanakah perlindungan terhadap pihak-pihak industri dalam negeri (yang akan menjadi penerima Lisensi) dan konsumennya ? Bagaimanakah alih teknologi dilaksanakan, dan apakah terdapat sanksi-sanksi ?

Yang jelas peraturan tersebut harus dapat melindungi bangsa Indonesia yang dalam banyak hal akan bertindak sebagai penerima Lisensi, namun tidak menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia dalam persaingannya dengan bangsa-bangsa lain. Terutama pada era persaingan bebas, pasca GATT (General Agreement on Tariff and Trade) saat ini karena kecenderungan selama ini para investor asing memilih negara lain yang lebih menjamin hak atas temuannya untuk tempat menanam investasinya. Jika segi ini tidak diperhatikan, justru investasi yang ada sekarang akan mereka larikan ke negara lain yang lebih memiliki kepastian dalam perlindungan hukum.

Pasal 71 menyatakan:(1) Perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak

langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi paten tersebut pada khususnya.

(2) Permohonan pencatatan Lisensi yang memuat ketentuan sebagiman dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal .

41

Page 42: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dari Pasal 71 ayat (1), dapat dilihat ada larangan, yaitu:a. Perjanjian Lisensi yang membawa akibat yang merugikan perekonomian

Indonesia.b. Perjanjian Lisensi yang dilarang memuat ketentuan pembatasan-pembatasan

yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan yang diberi paten tersebut pada khususnya.

Di Jepang, setiap perjanjian Internasional harus memberitahukan Kosei Torihiki Iinkai/Fair Trade Commisson. Pasal 6 dan 33 UU Anti Monopoli Jepang mewajibkan pendaftaran lisensi agar dapat diketahui apakah perjanjian tersebut mengandung monopoli atau tidak. Selain itu dengan mendaftarkan, akan dapat diketahui bentuk atau macam teknologi serta royalti yang dikeluarkan. Jadi di Jepang satu badan yang turut berperan dalam pendaftaran perjanjian Lisensi yaitu sebagai Bank Teknologi.

Dalam Pasal 72 UU Paten No. 14 Tahun 2001, berbunyi:(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.(2) Dalam hal Perjanjian Lisensi tidak dicatat di Direktorat Jenderal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

M. Pembatalan Paten

Berikut ini akan dikemukakan tentang pembatalan paten, antara lain paten batal demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten dan pembatalan paten karena gugatan.

1. Paten yang batal demi hukum dapat dilihat pada Pasal 88, yang berbunyi sebagai berikut: Paten dinyatakan batal demi hukum apabila pemegang paten tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Demikian juga paten batal demi hukum apabila dalam tempo 48 bulan paten tersebut tidak digunakan atau tidak menghasilkan produk. Dalam Pasal 89 menyebutkan:(1) Paten batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat

Jenderal kepada pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.

(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dicatat dan diumumkan.

2. Pembatalan Paten atas permintaan pemegang paten, pasal 90 menyebutkan:(1) Paten dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal untuk seluruh atau

sebagian atas permohonan pemegang paten yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal .

42

Page 43: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.

(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal kepada penerima Lisensi.

(4) Keputusan pembatalan Paten karenaalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan.

(5) Pembatalan Paten berlaku sejak ditetapkannya keputusan Direktorat Jenderal mengenai pembatalan tersebut.

3. Pembatalan Paten karena gugatan, Pasal 91 menyebutkan:(1) Gugatan pembatalan Paten dapat dilakukan apabila:

a. paten tersebut menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6, atau Pasal 7 seharusnya tidak diberikan;

b. paten tersebut sama dengan paten lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk invensi yang sama berdasarkan undang-undang ini.

c. Pemberian Lisensi Wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 Tahun sejak tanggal pemberian Lisensi Wajib pertama dalam diberikan beberapa Lisensi Wajib.

(2) Gugatan pembatalan karenaalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh pihak ketiga kepada Pemegang Paten melalui Pengadilan niaga.

(3) Gugatan pembatalan karenaalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf dapat diajukan oleh pemegang paten atau penerima Lisensi kepada Pengadilan Niaga agar paten lain yang sama dengan patennya dibatalkan.

(4) Gugatan pembatalan karenaalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diajukan oleh Jaksa terhadap pemegang Paten atau penerima Lisensi Wajib kepada Pengadilan niaga.

N. Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

Apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan, Pasal 99 ayat (1).Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengar keterangan Menteri dan Menteri atau pimpinan instansi yang bertanggungjawab di bidang terkait, Pasal 99 ayat (2).Dalam Pasal 101, disebutkan:(1) Dalam hal pemerintah bermaksud melaksanakan suatu Paten yang penting

artinya bagi pertahanan keamanan negara dan bagi kebutuhan sangat

43

Page 44: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

mendesak untuk kepentingan masyarakat, pemerintah memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten, dengan mencantumkan:a. Paten yang dimaksud disertai nama Pemegang Paten dan nomornya;b. Alas an;c. Jangka waktu pelaksanaan;d. Hal-hal lain yang dianggap penting.

(2) Pelaksanaan Paten oleh pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan yang wajar kepada pemegang Paten.

Dalam pemegang Paten tidak setuju dengan terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diajukan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga, Pasal 102 ayat (2). Proses pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan pelaksanaan Paten oleh pemerintah, ayat (3) Pasal 102. Ini termasuk dalam pengertian bersifat final meski ada gugatan, karena gugatan adalah mengenai besarnya imbalan bukan boleh tidaknya hak paten itu dilaksanakan oleh negara.

O. Paten Sederhana

Mengenai Paten Sederhana, disebutkan dalam pasal-pasal berikut:Pasal 104: Semua ketentuan yang diatur dalam UU ini berlaku secar mutatis mutandis untuk Paten Sederhana, kecuali yang secara tegas tidak berkaitan dengan Paten Sederhana. Ketentuan Pasal 104 ini haruslah diartikan sebagai ketentuan yang bersifat khusus yang dapat mengenyampingkan ketentuan-ketentuan umum yang diatur dalam UU Paten. Disini berlaku berlaku azas lex specialis derogate lex generalis (ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum).

Kaharusan mematuhi ketentuan umum itu misalnya ditemukan pada Pasal 105, khusus mengenai syarat kelengkapan permintaan paten, yakni:(1) Paten Sederhana hanya diberikan untuk satu invensi.(2) Permohonan pemeriksaan substantif atas Paten Sederhana dapat dilakukan

bersamaan dengan pengajuan permohonan paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan dengan dikenai biaya.

(3) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya untuk itu tidak dibayar, permohonan dianggap ditarik kembali.

(4) Terhadap permohonan Paten Sederhana, pemeriksaan substantif dilakukan setelah berakhir jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b.

(5) Dalam melakukan pemeriksaan substantif, Direktorat Jenderal hanya memeriksa keharusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan keterterapannya dalam industri (industrial applicability) sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5.

44

Page 45: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Pada ayat (1) diatas, karena proses penemuannya berlangsung sederhana dan hasil yang diperoleh juga bersifat sederhana, maka penemuan yang dihasilkan hanya berisikan satu klaim. Sedangkan ayat (2) bermaksud bahwa dengan ketentuan ini maka terhadap setiap permintaan Paten Sederhana secara langsung dilakukan pemeriksaan substantif tanpa perlu adanya pengumuman. Sekalipun demikian syarat kelengkapan sebagimana lazimnya permintaan paten pada dasarnya tetap harus dipenuhi.

Kemudian Pasal 106 berbunyi:(1) Paten sederhana yang diberikan oleh Direktorat Jenderal dicatat dan

diumumkan.(2) Sebagai bukti hak, kepada pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat

Paten Sederhana.

Pasal 106 ini karena paten sedrhana menyangkut teknologi yang proses penemuannya berlangsung sederhana, maka tidak diperlukan adanya mekanisme banding seperti halnya terhadap paten pada umumnya.

Mengenai jangka waktu Paten Sederhana, Pasal 107 menyebutkan: Paten Sederhana tidak dapat dimintakan Lisensi Wajib.

Untuk lebih lengkapnya tentang Paten Sederhana ini dapat dilihat dalam SK Menteri Kehakiman No. M.01.hc.02.10 tertanggal 31 Juli 1991.

P. Biaya, Pengelolaan Paten

Mengenai biaya pengajuan permintaan Paten, disebutkaqn dalam Pasal 113 yakni:(1) Semua biaya yang wajib dibiayai dalam undang-undang ini ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu dan tata cara

pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

(3) Dirjen dengan persetujuan Menetri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Biaya yang dibayarkan seperti dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) di atas dan biaya lainnya yang ditentukan dalam UU ini merupakan penerimaan negara.

Pasal 114 menyebutkan tentang pembayaran biaya tahunan paten sebagai berikut:(1) Pembayaran biaya tahunan untuk pertama kali harus dilakukan paling lambat

setahun terhitung sejak tanggal pemberian paten.(2) Untuk pembayaran tahun-tahun berikutnya, selama paten itu berlaku harus

dilakukan paling lambat pada tanggal yang sama dengan tanggal pemberian paten atau pencatatan Lisensi yang bersangkutan.

45

Page 46: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(3) Pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tahun pertama permohonan.

Yang dimaksud dengan biaya tahunan untuk pertama kali adalah biaya tahunan sebelum paten diberikan. Untuk keperluan penghitungan, tahun pertama permohonan sejak tanggal penerimaan. Contoh perhitungan biaya diajukan pada tanggal 1 April 1997 dinyatakan dapat diberi paten pada tanggal 5 Januari 2000. Kewajiban pemegang paten untuk membayar biaya tahunan pertama kali tersebut paling lambat harus dilakukan pada tanggal 4 Januari 2001. Adapun besar biaya yang harus dibayarkan untuk pertama kali, yang terutama dimaksudkan untuk membayar biaya tahunan sebelum diberikannya paten adalah sebagai berikut:

Tahun Periode Biaya (Rupiah)I 1 April 1997 – 30 Maret 1998 AII 1 April 1998 – 30 Maret 1999 B

III 1 April 1999 – 30 Maret 2000 C

Untuk 3 tahun pertama (sejak 1 April 1997 s/d 30 Maret 2000) adalah sebesar A+B+C rupiah. Pembayaran tahunan berikutnya diperhitungkan sebagai berikut: Untuk biaya tahunan IV (1 April 2000 – 30 Maret 2001) sebesar D rupiah dapat dibayarkan paling lambat tanggal 5 Januari 2002 dan untuk biaya tahunan V (1 April 2001 – 30 Maret 2002) sebesar E rupiah dapat dibayarkan paling lambat tanggal 5 Januari 2003 dan seterusnya.

Contoh pembayaran tahunan seperti dimaksud dalam Pasal 114 di atas adalah misalnya: A memperoleh Paten pada tanggal 1 Januari 1980 maka kewajiban pembayaran biaya tahunan yang pertama harus dipenuhi selambat-lambatnya tangga 31 Desember 1980 tersebut. Untuk biaya tahunan untuk tiap-tiap tahun berikutnya harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 1 Januari setiap tahun.

Khusus biaya-biaya yang disebutkan dalam ketentuan di atas sebaiknya pemerintah mengaitkan dengan UU Perpajakan, agar terdapat sinkronisasi. Ini dimaksudkan pula untuk menghindari pungutan-pungutan di luar pajak, sekaligus untuk menghindari pungutan berganda untuk obyek yang sama. Seharusnya untuk pungutan-pungutan semacam ini dimasukkan saja ke dalam pungutan pajak, lalu kemudian untuk persyaratannya ditentukan bahwa pajak untuk itu haruslah dilunasi, misalnya ditetapkan bunyinya seperti ketentuan Pasal 114 tersebut. Ini juga dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem pemasukan negara dari sector pajak. Keberatan wajib pajak selama ini bukanlah membayar pajak, tetapi membayar pungutan-pungutan non pajak baik resmi seperti ketentuan Pasal 113 dan 114 di atas, maupun pungutan yang tidak resmi.

Mengenai pemegang paten yang tidak membayar biaya tahunan, konsekwensinya diatur dalam Pasal 115, yang menyebutkan:

46

Page 47: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(1) Apabila selama 3 tahun berturut-turut pemegang paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, maka paten dianggap batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut.

(2) Apabila kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut untuk tahun ke 18 dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, paten dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut.

(3) Batalnya paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dan diumumkan.

Dari Pasal 115 ayat (1) dan ayat (2) dapat dijelaskan bahwa jangka waktu 3 tahun tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk memberikan kesempatan yang cukup kepada pemegang paten untuk mempertimbangkan sendiri kelangsungan patennya. Pembatalan paten karena tidak membayar biaya tahuna diberitahukan oleh Direktorat Jenderal kepada pemegang paten secara tertulis, yang memuat tanggal berakhirnya paten yang bersangkutan sesuai dengan pasal ini, biaya yang tidak dibayar selama 3 tahun tersebut merupakan utang yang harus tetap dibayar/dilunasi oleh pemegang paten yang bersangkutan.

Untuk biaya tahun ke 8, pembayarannya harus dilakukan paling lambat pada akhir tahun ke 8 tersebut. Uraian ini melanjutkan contoh penjelasan Pasal 114. Pembayaran biaya tahun ke 8 (1 April 2014 – 30 Maret 2015) harus dilakukan paling lambat tanggal 5 Januari 2016. Permbayaran biaya tahun ke 9 (1 April 2015 – 30 Maret 2016) hatus dilakukan paling lambat tanggal 5 Januari 2017. Pembayaran biaya tahun ke 10 (1April 2016 – 30 Maret 2017) harus dilakukan paling lambat tanggal 5 Januari 2018. Pembayaran biaya tahun ke 18 harus dibayarkan pada tanggal 5 Januai 1016 mengakibatkan paten yang bersangkutan dinyatakan batal demi hukum terhitungh sejak tanggal 5 Januari 2016. Walaupun demikian, biaya tidak dibayar selama 1 tahun tersebut merupakan utang yang harus tetap dibayar/dilunasi oleh pemegang paten yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan pembayaran biaya tahunan pada tahun-tahun berikutnya.Untuk pembayaran tahunan yang terlambat, diberlakukan Pasal 116, yang menyebutkan:(1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal

115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas waktu yang ditentukan dalam UU ini dikenai biaya tambahan sebesar 2,5 % untuk setiap bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan.

(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal kepada pemegang paten yang bersangkutan paling lama 7 hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan.

(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

47

Page 48: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dalam hal biaya tahunan dilakukan setelah tanggal 4 Januari 2001 (misalnya pada 1 Mei 2001), maka besar total biaya yang harus dibayar pada saat itu oleh pemegang paten adalah (A+B+C) + 2,5% x (A+B+C). Dalam hal keterlambatan pembayaran biaya tahunan pada tahun-tahun berikutnya (misalnya biaya tahunan ke 5 yang baru dibayar pada 1 Juni 2003) setelah biaya tahunan pada tahun-tahun sebelumnya (A+B+C+D) dibayar secara tepat waktu, maka total biaya yang harus dibayarkan adalah E (2,5% x 5 x E).

Ayat (1) di atas bermaksud bahwa pengenaan biaya tambahan sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) untuk tiap tahun tersebut dimaksudkan agar pemegang paten benar-benar memperhatikan kewajibannya.

Ketentuan Pasal 116 ini adalah merupakan sanksi yang serta-merta. Namun sudah barang tentu menimbulkan kesulitan dalam mendekteksi dalam hal paten yang dinyatakan berakhir dengan cara ini, tetapi pihak pemegang patennya terus saja memproduksi hasil temuannya. Sedangkan temuan yang tidak terdaftar sajapun dapat dilaksanakan. Oleh karena sanksi yang demikian tidak efektif dan tidak cukup untuk menangkal kepentingan pihak pemerintah. Persoalan lain lagi, bagaimana pula jika paten yang berakhir dengan cara yang demikian lalu kemudian ada pihak lain yang mendaftarkannya kemudian apakah pemerintah memberikannya juga ? Lalu kemudian pihak yang lain itu mengulangi lagi tidak membayar kewajiban yang dimaksudkan, bagaimana akibatnya ?Oleh karena itu cukup beralasan jika ketentuan semacam ini tidak perlu dicantumkan tetapi ditempatkan dalam ketentuan perpajakan. Sanksi dalam hukum pajak lebih bersifat memaksa karena ketentuan pajak adalah ketentuan hukum publik yang tidak dapat dikesampingkan.

Q. Hak Menuntut, Ketentuan Pidana dan Penyidikan Dalam Paten

Jika seseorang pemegang Paten atau pemegang Lisensi menemui hak atas paten yang dimilikinya dipakai atau diberikan kepada orang lain maka ia berhak mengajukan tuntutan ke pengadilan seperti yang disebutkan dalam Pasal 117:(1) Jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak

berdasarkan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, pihak yang berhak atas paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.

(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak tanggal penerimaan.

(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga 14 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.

(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan diumumkan oleh Direktorat Jenderal .

48

Page 49: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Maksud Pasal 117 ayat (1) di atas adalah bahwa dalam hal orang merasa berdasarkan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 13 sebenarnya berhak atas suatu paten namun ada pihak lain yang melaksanakan atau menggunakan/memperoleh paten maka ia berhak menuntut orang lain tersebut. Penentuan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa tuntutan serupa didasarkan atas pertimbangan antara lain:a. Kemudahan untuk memperoleh data termasuk dokumen yang

diperlukan dalam pembuktian;b. Adanya faktor internasional dalam pelaksanaan sistem paten.

Selanjutnya Pasal 118 menyebutkan pula bahwa:(1) Pemegang paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi

kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada aayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau prose situ terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi paten.

(3) Isi Putusan pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal paling lama 14 hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan diumumkan.

Ini menunjukkan suatu bukti bahwa hak paten itu adalah suatu hak kebendaan. Terhadap orang lain yang tidak berhak, hak tersebut dapat dipertahankan bahkan terhadap siapa saja. Hak itu akan terus mengikuti dimanapun benda (immaterial) itu berada (asas deroit de suite).

Dalam Pasal 119 menentukan bahwa:(1) Dalam hal pemeriksaan terhadap paten-proses, kewajiban pembuktian bahwa suatu

produk tidak dihasilkan dengan menggunakan paten-proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dibebankan kepada pihak tergugat apabila:a. Produk yang dihasilkan melalui paten-proses tersebut merupakan produk

baru.b. Produk terebut diduga merupakan hasil dari paten-proses dan sekalipun telah

dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu, Pemegang Paten tetap tidak dapat meenntukan proses apa yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.

(2) Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan berwenang:a. memerintahkan kepada pemegang paten untuk terlebih dahulu

menyempaikan salinan Sertifikat paten bagi proses yang bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya; dan

b. memerintah kepada pihak yang tergugat untuk membuktikan bahwa produk yang dihasilkannya tidak menggunakan paten-proses tersebut.

(3) Dalam pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan.

49

Page 50: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Ketentuan dalam ayat (1) pasal di atas berlaku pula dalam hal adanya tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (1).Maksud dari pasal ini, sekalipun paten merupakan hak milik perorangan, tetapi pelaksanaannya memiliki dampak yang sangat luas dalam segi lain terutama di bidang tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Agar pelaksanaan tersebut dapat berlangsung dengan tertib, negara juga mengancam dengan pidana atas pelanggaran tertentu terhadap undang-undang.

Ancaman pidana dimaksudkan untuk mengingatkan kepada publik bahwa negara turut melindungi “property” yang secara yuridis berada di bawah kekuasaan warganya.

Selanjutnya Pasal 122, menentukan bahwa: Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi.

Mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran hak paten diatur dalam Pasal 130: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)”.

Ancaman pidana menurut pasal ini, adalah ancaman pidana kumulatif. Artinya si pelaku tidak hanya diancam membayar denda saja tapi juga secara bersamaan harus menjalani pidana penjara. Jadi bukan bersifat alternatif. Si pelaku tidak boleh memilih bayar denda saja, atau penjara saja.

Pasal 131: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Pasal 132: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) Pasal 40 dan Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun”.

Namun sebuah perubahan yang mendasar dari delik ini adalah, perubahan status delik yang semula delik biasa, dalam UU yang lama, dalam UU baru sekarang ini ditetapkan sebagai delik aduan.

Pasal 134, disebutkan: “Dalam hal terbukti adanya pelanggaran, hakim dapat memerintahkan agar barang-barang hasil pelanggaran paten tersebut disita oleh negara untuk dimusnahkan”.

Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud adalah:a. Mengimpor suatu produk farmasi yasng dilindungi paten di Indonesia dan

produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh pemegang paten yang sah dengan syarat itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Memproduksi produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 2 tahun sebelum berakhirnya perlindungan paten dengan tujuan untuk

50

Page 51: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan paten tersebut berakhir.

Perlu diperhatikan, dengan ditempatkannya delik ini sebagai delik kejahatan maka percobaan untuk melakukan delik ini akan dikenakan hukuman (vide Pasal 53 KUHP).

Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indinesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan Paten, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang paten (Pasal 129 ayat (1)).

Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (1) di atas, berwenang:a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak

pidana di bidang Paten;b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga

melakukan tindak pidana di bidang Paten;c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana di bidang Paten;d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya

yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Paten;e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang

bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan atau barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Paten;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Paten. (Pasal 132 ayat (2)).

Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) di atas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 129 ayat (3)).

Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indinesia dengan mengingat ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

R. Ketentuan Peralihan, Ketentuan Lain dan Ketentuan Penutup

Tentang ketentuan peralihan diatur dalam Pasal 136 UU Paten No. 14 Tahun 2001, yang menyatakan: “Dengan berlakunya UU ini segala peraturan perundang-undangan di bidang paten yang telah ada pada tanggal berlakunya UU ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan UU ini”.

51

Page 52: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Yang dimaksud dengan ketentuan lain dalam bagian tulisan ini dapat dilihat dalam Pasal 137, yang berbunyi: “Terhadap permohonan yang belum diberlakukannya UU ini, tetap diberlakukan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten”.

BAB VPERLINDUNGAN PATEN SECARA INTERNASIONAL

A. Perlindungan Paten dan Alih Teknologi

Persoalan yang saat ini menjadi perhatian dunia Internasional mengenai paten adalah menyangkut perlindungan hukum yang diberikan oleh masing-masing negara di dunia. Perlindungan yang demikian menjadi lebih penting lagi setelah adanya kebijakan berbagai-bagai negara tersebut (khususnya negara yang sedang berkembang) mengenai alih teknologi. Teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju cenderung menarik perhatian negara-negara berkembang untuk dapat diambil alih, yang tentunya pengambilalihan itu tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya.

Bahkan kecenderungan proteksi oleh negara-negara maju sudah mulai jelas untuk bidang perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu dengan adanya kerangka WTO sebagai kelangsungan GATT, terlihat jelas bahwa alih teknologi tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan aspek yuridisnya.

Kata ‘alih teknologi’ berasal dari kata ‘transfer of technology’ (bahasa Inggris). Arti kata ini belum ada kesepkatan. Ada yang mengartikan: pengalihan teknologi, pemindahan teknologi, pelimpahan teknologi dan alih teknologi.

Terhadap arti kata “teknologi”, para sarjana masih memberikan pengetian yang berbeda-beda. Menurut Dr. Alhamra, Teknologi adalah ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang disusun dengan cara-cara sistematika tertentu dari suatu pengamatan, studi pemeriksaan atau percobaan-percobaan.

Sedangkan Ibrahim Idham memberikan rumusan sebagai berikut:Teknologi diartikan suatu komposisi cara terdiri atas keterampilan merancang dan melaksanakan (mengelas, membentuk dan merakit), terutama memerlukan panca indera, keterampilan yang berencana (pengetahuan dan informasi) seperti mengerjakan data, rancang bangun dan rekayasa, konstruksi, produksi dan pemeliharaannya.

Dalam batasan teknologi yang dikemukakan oleh Ibrahim Idham, di dalamnya tersirat makna perlindungan hukum hak atas kekayaan intelektual.

Kemudian dalam Naskah Akademis Rancangan UU Perlindungan Teknologi, teknologi diartikan sebagai berikut:

52

Page 53: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

1. seluruh know-how, pengetahuan (knowledge), pengalaman dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat (manufacturing), suatu produk atau produk-produk dan untuk pendirian perusahaan untuk tujuan tersebut.

2. Dapat diartikan sebagai kumpulan atau gabungan unsur-unsur yang mencakup peralatan mesin-mesin proses paten dan juga pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan peralatan, mesin proses dan sebagainyauntuk mendapatkan hasil tertentu baik berupa barang-barang maupun berupa jasa.

3. Penggunaan ilmu pengetahuan untuk sesuai dengan kebutuhan manusia.

4. Ilmu tentang penerapan ilmu pengetahuan.

Dari uraian diatas, kata ‘teknologi’ mempunyai arti yang luas, mencakup semua kemampuan untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Ini menyebabkan pengertian Transfer of Technology mencakup pengertian yang luas.

Hilman Surawiguna memberi arti Transfer of Tecgnology adalah “proses mentransfer dari suatu unit produksi kepada unit lainnya dari persyaratan-persyaratan pengetahuan (knowledge-how) untuk memungkinkan penggunaan teknologi tersebut.

Ibrahim Idham mengatakan “alih teknologi adalah perbuatan yang mengizinkan dua hal secara serentak yaitu mengizinkan masuknya secara langsung alat produksi yang maju dan penguasaan atas penambahan barang”.

Selain itu rumusan yang diperoleh dari hasil pertemuan UNCTAD menyebutkan tentang makna alih teknologi itu, sebagai berikut: Meliputi setiap cara pengalihan hak-hak teknologi baik yang berbentuk hak milik maupun tidak, tidak mempersoalkan bentuk hukum cara pengalihannya termasuk transaksi teknologi yang dilakukan oleh subsidary afiliasi yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh perusahaan transnasional dan perusahaan asing lainnya serta perusahaan patungan (joint venture) yang bagian dari saham-sahamnya dimiliki orang asing.

Jadi yang pasti alih teknologi adalah meliputi setiap cara pengalihan hak-hak yang lahir dari sebuah invensi dalam bidang teknologi. Oleh karenanya sisi yuridis alih teknologi tetap mendapat tempat yang penting. Cara pengalihan suatu teknologi haruslah dilakukan dengan landasan hukum yang kuat. Karena pengalihan teknologi itu menyangkut aspek yang melintasi batas-batas negara maka peraturan hukum yang mengaturnya juga bersifat internasional yang dituangkan dalam konvensi internasional.

53

Page 54: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

B. Beberapa Konvensi Internasional Tentang Paten

1. Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property)Konvensi Paris mengatur tentang hak milik perindustian yang ditandatangani di Paris pada tanggal 20 Maret 1883 dan telah dilakukan beberapa kali revisi dan penyempurnaan- penyempurnaan.Revisi pertama dilakukan di Brusel, 14 Desember 1900, revisi di Washington, 2 Juni 1911, di Den Haag, 6 November 1925. Selanjutnya berturut-turut di Lisabon, 31 Oktober 1958, di Stockholm, 14 Juli 1967, dan terakhir juga di Stockholm, 2 Oktober 1986.

Sampai pada tanggal 1 Januari 1988, sebanyak 97 negara menjadi anggota konvensi ini, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi (mengesahkan) berdasarkan Keppres No. 24 Tahun 1979 pada tanggal 10 Mei 1979 dan juga berdasarkan Keppres ini telah diratifikasi “Convention Establising the World Intellectual Property Oragnization (WIPO)”.

Yang menjadi obyek perlindungan hak milik perindustrian menurut Konvensi ini adalah: Paten, Utility Models (Model dan Rancang Bangun), Industrial Design (Desain Industrial), trade mark (merek dagang), trade names (nama niaga/dagang), indication of source or appellation of origin (indikasi dan sebutan asal).

Isi Konvensi Paris dapat dibagi dalam 3 bagian penting, yaitu:1. perihal prosedur.2. prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman wajib bagi negara-

negara anggota.3. ketentuan-ketentuan perihal patennya sendiri.

Sedangkan prinsip-prinsip yang dianut oleh konvensi yaitu prinsip persamaan hak nasional (National Treatment).

2. Perjanjian Kerjasama Paten (Paten Cooperation Treaty = PCT)

Paten Cooperation Treaty (PCT), didirikan pada tanggal 19 Juni 1970 di Washington dalam suatu Konperensi diplomat dari 78 negara dan 22 organisasi internasional.

PCT telah diubah 2 kali yaitu pada tahun 1979 dan tahun 1984. Terhitung sejak 1 Januari 1988 sebanyak 40 negara telah menyatakan tunduk kepada PCT.

Tujuan permohonan internasional paten adalah agar paten tersebut mendapat perlindungan di beberapa negara. Untuk itu si pemohon harus mengajukannya

54

Page 55: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

di setiap negara di mana perlindungan itu dikehendaki. Sehingga setiap kantor paten nasional masing-masing negara harus melaksanakan penelitian terhadap permohonan paten tersebut. Sistem ini tentu memerlukan banyak pekerjaan, waktu dan biaya yang diperlukan. Pemecahan permasalahan inilah yang merupakan tujuan Paten Cooperation Treaty (PCT).

Adapun sistem permohonan internasional menurut PCT adalah sebagai berikut: Dengan kemungkinan untuk meminta hak prioritas berdasarkan Konvensi Paris, setiap warga negara dari negara-negara yang mengadakan perjanjian berhak untuk mengajukan permohonan kepada PCT.

PCT akan membuat suatu badan penelitian internasional, akan tetapi karena badan tersebut belum ada, maka untuk sementara PCT menunjuk kantor urusan paten yang telah memenuhi syarat untuk melakukan penelitian, yaitu Kantor Paten di Rusia, Jepang, Swedia dan Amerika Serikat.

3. Konvensi Strasbourg

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian sesuatu yang baru, sejumlah negara merasa perlu untuk mendapatkan suatu sistem klasifikasi yang diterima secara internasional untuk paten, model utilitas dan sertifikat penemuan.

Pada tahun 1954 Dewan Eropa membuat suatu Konvensi yang berhubungan dengan klasifikasi tersebut, dan telah diterima dengan baik, akan tetapi tidak mempunyai sarana yang cukup untuk menjaga klasifikasi ini agar tetap mutahir. Karena itu klasifikasi itu sebaiknya diatur oleh WIPO.

Konvensi ini dibuat pada tahun 1971 dan kemudian diubah pada tahun 1979. Perjanjian ini dipatuhi oleh 27 negara pada tanggal 1 Januari 1988. Menurut Konvensi ini, semua anggota Konvensi Paris dapat tunduk kepada Konvensi ini.

4. Konvensi Budapest

Konvensi ini dibuat pada tahun 1977 dan kemudian diubah pada tahun 1980. Konvensi ini berkaitan dengan paten-paten yang mecakup penggunaan jasad renik baru.

Persoalan bagi seorang penemu adalah jika ingin mendapatkan perlindungan internasional ia harus memasukkan dari jasad renik yang bersangkutan di negara yang dimintakan perlindungan.

Masalah inilah yang dipecahkan oleh Konvensi Budapaest yang memberikan kemungkinan untuk melakukan pemasukan (deposit) tunggal jasad renik tersebut kepada badan penyimpanan (depositry) internasional.

55

Page 56: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Negara-negara yang mengadakan perjanjian dari kantor-kantor wilayah seperti Kantor urusan paten Eropa diwajibkan untuk melakukan itu untuk kepentingan UU Paten Nasional mereka. Pada saat ini terdapat 18 badan penerima dimaksud, misalnya Central Bureau voor Schimmelcultures Belanda.

5. Konvensi Paten Eropa

Konvensi ini dibuat pada tahun 1973 dan berlaku di 13 negara. Tujuannya adalah menciptakan paten Eropa yang dapat diperoleh berdasarkan sebuah permohonan dan berlaku dengan menerapkan persyaratan yang sama seperti paten nasional di negara di mana perlindungan itu dimintakan. Hal ini berarti paten Eropa merupakan himpunan paten nasional. Permohonan harus diajukan kepada kantor paten Eropa di Munich atau cabangnya di Den Haag.

Menurut konvensi ini, jangka waktu paten selama 20 tahun. Paten ini dapat dicabut tetapi hanya atas dasar alasan yang tercantum dalam konvensi tanpa menghiraukan UU nasional.Konvensi menentukan penemuan-penemuan yang tidak dapat diberi paten yaitu: teori-teori ilmiah, temuan-temuan dan metode matematika, ciptaan estetis, pola, peraturan dan metode untuk melaksanakan tindakan kejiwaan murni, melakukan permainan atau melakukan usaha dan program untuk komputer, penyajian informasi.

Syarat-syarat untuk diberikan paten atas suatu penemuan menurut konvensi ini adalah bahwa suatu penemuan baru yakni yang tidak merupakan bagian dari bentuk seni. Kemudian suatu penemuan harus mengandung langkah inventif dan suatu penemuan haruslah rentan terhadap penerapan dalam industri yang berarti bahwa ia dapat dibuat atau digunakan dalam jenis industri apapun termasuk pertanian.

C. Paten, Penanaman Modal Asing dan Alih Teknologi

Paten mempunyai peranan vital dalam bidang kemajuan teknologi setiap negara. Karenanya, perlindungan hukum bagi penemuan di bidang teknologi adalah mutlak demi penggunaannya yang bermanfaat.

Perlindungan dan pengalihan teknologi melalui sistem paten telah menjadi perhatian dunia internasional, terutama bagi negara-negara berkembang yang teknologinya jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara maju.

Yang menjadi masalah bagi negara berkembang adalah keperluan teknologi untuk pembangunan ekonominya, sedangkan bagi negara-negara maju merupakan kepentingan dalam perluasan pasar dari teknologi atau hasil-hasil industrinya.

56

Page 57: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Perlindungan hukum dan pengalihan teknologi dalam sistem paten pertama kali dikemukakan dalam forum internasional oleh Brazilia di Sidang Umum PBB pada bulan November 1961, yang mengajukan usul resolusi dengan judul “The Role of Patents in the Transfer of Technology to development Countries” (Peranan paten dalam alih teknologi ke negara-negara berkembang).

BAB VITINJAUAN UNDANG-UNDANG MEREK TAHUN 2001

A. Pengertian Merek

Dalam Pasal 1 butir 1 UU Merek 2001 diberikan suatu definisi tentang merek yaitu: “Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.

57

Page 58: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Selain menurut batasan yuridis, beberapa sarjana juga memberikan pendapatnya tentang Merek, yaitu:

1. H.M.N. Purwo Sutjipto, SH., memberikan rumusan bahwa: “Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.

2. Prof. R. Soekardono, SH., memberikan rumusan bahwa: “Merek adalah sebuah tanda (Jawa: cirri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitet barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain”.

3. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, memberikan rumusan bahwa, “Suatu merek pabrik atau perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas pembungkusnya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya”.

4. Drs. Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari aspek fungsinya, yaitu; “Suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya”

5. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberi komentar bahwa:No complete definition can be given for a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or arrangement of words in the form of a lebel adopted and used by a manufacturer of distributor to designate his particular good, and whitch no other person has the legal right to us it. Originally, the sign or trade mark, indicated origin, but to day it is used more as an advertising mechanism.(Tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seseorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya disain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan).

6. HarsonoAdisumarto, SH.MPA, merumuskan bahwa: Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberikan tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari mana pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan.

7. Philip S. James MA, Sarjana Inggris, menyatakan bahwa: A trade mark is a mark used in conection with goods which a trader uses in order to tignity that a certain type of good are his trade need not the actual manufacture of goods, in

58

Page 59: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

order to give im the right to use a trade mark, it will suffice if they marely pass through his band is the course of trade.(Merek dagang adalah suatu tanda yang dipakai oleh seorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau pedagang tersebut tidak penghasilan sebenarnya dari barang-barang itu, untuk memberikan kepadanya hak untuk memakai sesuatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu ada ditanganya dalam lalulintas perdagangan).

Dari pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari peraturan merek itu sendiri, secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

B. Jenis Merek

Undang-Undang Merek Tahun 2001 ada mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Butir 2 dan 3 UU Merek Tahun 2001 yaitu merek dagang dan merek jasa.

Khusus untuk merek kolektif sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai jenis merek yang baru oleh karena merek kolektif ini sebenarnya juga terdiri dari merek dagang dan jasa. Hanya saja merek kolektif ini pemekaiannya digunakan secara kolektif. Mengenai pengertian merek dagang Pasal 1 butir 2 merumuskan sebagai berikut: merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Pengklasifikasian merek semacam ini kelihatannya diambil alih dari Konvensi Paris yang dimuat dalam Article 6 sexies.

Disamping jenis merek sebagaimana ditentukan di atas ada juga pengklasifikasian lain yang didasarkan kepada bentuk atau wujudnya. Bentuk atau wujud merek itu menurut Suryatin dimaksudkan untuk membedakan dari barang sejenis milik orang lain. Oleh karena adanya pembedaan itu, maka terdapat beberapa jenis merek yakni:1. Merek lukisan (bell merek)2. Merek kata (word merek)3. Merek bentuk (form merek)4. Merek bunyi-bunyian (klank merek)5. Merek judul (title merek)

59

Page 60: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Beliau berpendapat bahwa jenis merek yang paling baik untuk Indonesia adalah merek lukisan. Adapun jenis merek lainnya, terutama merek kata dan merek judul kurang tepat untuk Indonesia, mengingat bahwa abjad Indonesia tidak mengenal beberapa huruf ph, sh. Dalam hal ini merek kata dapat juga menyesatkan masyarakat hanya umpamanya: “Sphinx” dapat ditulis secara fonetis (menurut pendengaran), menjadi “Sfinks” atau “Svinks”.

Selanjutnya R.M. Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam tiga jenis yaitu:1. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja.

Misalnya: Good Year, Dunlop, sebagai merek untuk ban mobil dan ban sepeda.2. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak

pernah, setidak- tidaknya jarang sekali dipergunakan.3. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.

Misalnya: Rokok putih merek “Escort” yang terdiri dari lukisan iring-iringan kapal laut dengan tulisan di bawahnya “Escort”; Teh wangi merek “Pendawa” yang terdiri dari lukisan wayang kulit pendawa dengan perkataan di bawahnya “Pendawa Lima”.Lebih lanjut Prof. R. Soekardono, SH mengemukakan pendapatnya bahwa, bentuk atau wujud dari merek itu undang-undang tidak memerintahkan apa-apa, melainkan harus berdaya pembeda, yang diwujudkan dengan:a. Cara yang oleh siapapun mudah dapat dilihat (beel mark)b. Merek dengan perkataan (word mark)c. Kombinasi dari merek atas penglihatan dan merek

perkataan.

Disamping itu saat ini dikenal pula merek dalam bentuk tiga dimensi (three dimensional trademark) seperti merek pada produk minuman Coca Cola dan Kentucky Fried Chicken.

Di Australia dan Inggris, definisi merek telah berkembang luas dengan mengikutsertakan bentuk dan aspek tampilan produk di dalamnya. Di Inggris, perusahaan Coca-cola telah mendaftarkan bentuk botol merek sebagai suatu merek. Perkembangan ini makin mengindikasikan kesulitan membedakan perlindungan merek dengan perlindungan desain produk. Selain itu, kesulitan juga muncul karena selama ini terdapat perbedaan antara merek dengan barang-barang yang ditempeli merek tersebut. Menurut acuan selama ini,gambaran produk yang direpresentasikan oleh bentuk, ukuran dan warna tidaklah dapat dikategorikan sebagai merek. Misalnya, “rumah biru kecil” (small blue house) tidak dapat didaftarkan sebagai suatu merek karena menggambarkan bentuk rumah. Kemungkinan untuk mendaftarkan merek dengan mempertimbangkan bentuk barang telah menjadi bahan pemikiran pada contoh di atas. Tampilan produk mungkin juga tidak dapat didaftarkan sebagai suatu merek tapi ini dapat menjadi bahan pertimbangan jika ada produk lain yang mungkin memiliki tampilan serupa. Di beberapa Negara, suara, baud an warna dapat didaftarkan sebagai merek.

60

Page 61: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

C. Persyaratan Merek

Adapun syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun badan hukum yang ingin memakai suatu merek, agar supaaya merek itu dapat diterima dan dipakai sebagai merek atau cap dagang, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembedaan yang cukup. Dengan lain perkataan, tanda yang dipakai ini haruslah demikian rupa, sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan (perdagangan) atau jasa dari produksi seseorang dengan barang-barang atau jasa yang diproduksi oleh orang lain. Karena adanya merek itu barang-barang atau jasa yang diproduksi menjadi dapat dibedakan.

Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama mengemukakan bahwa: “Merek ini harus merupakan suatu tanda. tanda ini dapat dicantumkan pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang itu. Jika suatu barang hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek. Musalnya: Bentuk, warna atau cirri lain dari barang atau pembungkusnua. Bentuk yang khas atau warna, warna dari sepotong sabun atau suatu doos, tube dan botol. Semua ini tidak cukup mempunyai daya pembedaan untuk dianggap sebagai suatu merek, tetapi dalam prakteknya kita saksikan bahwa warna-warna tertentu yang dipakai dengan suatu kombinasi yang khusus dapat dianggap sebagai suatu merek”

Dengan demikian, disamping hal-hal yang tersebut di atas, perlu diuraikan lebih lanjut, tentang merek sebagaimana yang tidak diperbolehkan untuk suatu merek atau yang tidak dapat didaftarkan sebagai suatu merek. Ketentuan Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 mengatur lebih lanjut, apa saja yang tidak dapat dijadikan suatu merek atau yang tidak dapat didaftarkan sebagai suatu merek.

Menurut Pasal 5 UUM Tahun 2001 merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini:a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;b. tidak memiliki daya pembeda;c. telah menjadi milik umum; ataud. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang

dinohonkan pendaftaran.

Untuk lebih jelasnya, Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama mengemukakan ketika membahas undang-undang merek 1961, masih relevan untuk uraian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

61

Page 62: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Tanda-tanda yang bertentang dengan kesusilaan dan ketertiban umum tidak dapat diterima sebagai merek. Dalam merek bersangkutan tidak boleh terdapat lukisan-lukisan atau kata-kata yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.Di dalam lukisan-lukisan ini kiranya tidak dapat dimasukkan juga berbagai gambaran-gambaran yang dari segi keamanan atau segi penguasa tidak dapat diterima karena dilihat dari segi kesusilaan maupun dari segi politis dan ketertiban umum. Lukisan-lukisan yang tidak memenuhi norma-norma susila, juga tidak dapat digunakan sebagai merek jika tanda-tanda atau kata-kata yang terdapat dalam sesuatu yang diperkenankan sebagai ”merek” dapat menyinggung atau melanggar perasaan, kesopanan, ketentraman atau keagamaan baik dari khalayak umumnya maupun suatu golongan masyarakat tertentu.

2. Tanda-tanda yang tidak mempunyai daya pembedaanTanda-tanda yang tidak mempunyai daya pembeda atau yang dianggap kurang kuat dalam pembedaannya tidak dapat dianggapsebagai merek. Sebagai contoh misalnya dapat diberitahukan disini; lukisan suatu sepeda untuk barang-barang sepeda atau kata-kata yang menunjukkan suatu sifat barang, seperti misalnya: “istimewa”, “super”, “sempurna”. Semua ini menunjukkan pada kualitas sesuatu barang. Juga nama barang itu sendiri tidak dipakai sebagai merek. Misalnya “kecap” untuk barang kecap, merek “sabun” untuk sabun dan sebagainya.

3. Tanda milik umum“Tanda-tanda yang karena telah dikenal dan dipakai secara luas serta bebas dikalangan masyarakat tidak lagi cukup untuk dipakai sebagai tanda pengenal bagi keperluan pribadi dari orang-orang tertentu. Misalnya disimpulkan didalam kategori ini tanda lukisan mengenai “tengkorak manusia dengan dibawahnya ditaruhnya tulang bersilang”, yang secara umum dikenal dan juga dalam dunia internasional sebagai tanda bahaya racun. Kemudian juga tidak dapat misalnya dipakai kerek suatu lukisan tentang “tangan yang dikepal dan ibu jari ke atas”, yang umum dikenal sebagai suatu tanda pujian atau “jempol”. Kemudian juga dapat dianggapsebagai milik umum misalnya perkataan “Pancasila” dan sebagainya.

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaranYang dimaksudkan dengan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran, seperti merek “kopi atau gambar kopi” untuk produk kopi. Contoh lain misalnya merek “mobil atau gambar mobil” untuk produk mobil. Ini maksudnya agar pihak konsumen tidak keliru, sebab jika hal itu dibenarkan ada kemungkinan orang lain akan menggunakan merek yang sama oleh karena bendanya, produknya atau gambarnya sama dengan mereknya.

62

Page 63: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Selanjutnya Pasal 6 UU Merek 2001 memuat juga ketentuan mengenai penolakan pendaftaran merek yaitu:(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek

tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhannya

dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal,

foto, atau nama badan hukum yang memiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simpol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internsional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lembaga pemerintah, kecuali atau persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

Pemakaian sesuatu merek dalam praktek juga membawa pengaruh. Jika suatu merek sudah cukup dikenal dalam masyarakat, maka merek tersebut dianggap telah mempunyai daya pembedaan yang cukup hingga diterima sebagai merek.

Begitu sering juga kita saksikan terhadap suatu merek yang sudah begitu terkenal, justru melemahkankedudukannya dan kekuatannya sebagai merek karena semua orang menamakan barangnya dengan merek tersebut sehingga kesan terhadap merek itu menjadi hilang dan nama barang sejenis itu berubah dengan nama merek yang terkenal itu, padahal sesungguhnya mereknya sudah lain. Sebagai contoh dapatlah disebutkan misalnya merek Tipp ex sejenis alat mengoreksi tulisan yang salah. Bahkan pekerjaan untuk mengoreksi tulisan yang salah itupun berubah menjadi menip-eks. Padahal kemungkinan besar produk barang yang digunakan bukan bermerek Tipp-ex, tetapi mungkin Re-Type atau Stipo.

63

Page 64: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Jadi ada pergeseran, semula suatu merek tetapi kemudian sudah menjadi umum diterima sebagai nama jenis barang, maka lunturlah sudah kekuatan perbedaannya.

Untuk dapat mempunyai cukup daya pembedaan merek harus sederhana. Tidak boleh terlalu ruwet, karena dengan terlalu ruwetnya suatu merek maka, daya perbedaannya akan menjadi lemah. Satu kalimat yang terlau panjang suatu ”Motto” tidak dapat dipakai sebagai merek. Misalnya apa yang seringkali di waktu akhir-akhir ini kita baca: “Lebih indah dari warna aslinya” untuk mempropagandakan rol film potret tertentu, tidak dapat dipakai sebagai merek. Pernah juga dalam hal ini diajukan keberatan terhadap permohonan pedaftaran merek yang ternyata terlalu ruwet karena terdiri dari berbagai bagian dari bungkusan suatu benda dengan rupa-rupa gambar serta kata-kata yang terlalu panjang.

Demikian juga suatu “serie” dari etiket-etiket yang dipakai, tidak dapat dipergunakan sebagai suatu merek, karena daya pembedaannya sukar diterima. Demikian juga halnya dengan “sajak” tidak dapat dipakai sebagai suatu merek.

Diatas telah dikemukakan bahwa untuk mempunyai cukup daya pembedaan suatu merek tidak boleh terlalu ruwet. Sebaliknya juga tidak dapat dipergunakan tanda-tanda yang terlalu mudah, karena juga hal ini tidak dapat memberi kesan pembeda atas suatu merek. Agar supaya dapat memberikan individualitas (cirri pribadi) kepada sesuatu benda, maka merek bersangkutan itu sendiri harus memiliki kekuatan-kekuatan individualitas. Misalnya tidak dapat diterima suatu tanda yang hanya merupakan suatu garis atau suatu titikatau hanya merupakan suatu lingkaran atau hanya suatu huruf dan juga hanya terlalu sederhana. Selanjutnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, mengemukakan bahwa: “Akan tetapi bisa juga kita terima sebagai merek, kombinasi-kombinasi yang terdiri dari dari tanda-tanda yang disertai dengan pembedaan karena warna atau cara memberikan lukisan bersangkutan. Misalnya suatu “segitiga” dapat dipakai sebagai merek, misalnya segitiga yang berwarna biru (blauwe drieboek). Tetapi tidak cukup misalnya hanya-garis-garis merah yang dikitari pada pembungkusan dari suatu bungkusan untuk benda-benda tertentu”.

D. Persamaan Keseluruhan Dan Persamaan Pada

Pokoknya

Pada Pasal 6 UU Merek No. 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa:(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila

Merek tersebut:

64

Page 65: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa sejenis;

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan

hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Penolakan permohonan yang mempunyau persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Tentang terkenal atau tidaknya suatu merek, perlu diukur berdasarkan reputasi merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, invensi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa Negara. Apabila hal-hal ini dianggap belum cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan.

Berbicara mengenai masalah merek erat kaitannya dengan persaingan tidak jujur (unfair competition). Mengenai persaiangan tidak jujur ini dalam Pasal 10 bis dari Konvensi Paris memuat ketentuan bahwa Negara peserta Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan tidak jujur. Dalam ayat keduanya ditentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan “honest practices industrial and commercial matters” dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Sedangkan ayat ketiganya menetukan tentang pelanggaran semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal usul atau yang berkenaan dengan usaha-usaha industrial

65

Page 66: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

dan komersial dari seseorang penguhasa yang mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal usul dari suatu barang termasuk peniruan merek.

Praktek perdagangan tidak jujur meliputi cara-cara sebagai berikut:

1. Praktek Peniruan Merek DagangPengusaha yang beritikad tidak baik dalam hal persaingan tidak jujur, menggunakan upaya-upaya atau ikhtiar-ikhtiar meniru merek terkenal (well know mark) yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek barang atau jasa yang sudah terkenal (barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produk barang atau jasa yang sudah terkenal itu. Sebagai contoh, bahwa dalam masyarakat sudah dikenal dengan baik sabun mandi merek “Lux”, kemudian ada pengusaha yang memproduksi sabun mandi merek “Lax”. Tentu pengusaha ini berharap bahwa dengan adanya kemiripan tersebut ia dapat memperoleh keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan biaya besar untuk promosi produknya.

2. Praktek Pemalsuan Merek DagangDalam hal ini pengusaha yang beritikad tidak baik, meproduksi barang-barang yang sudah dikenal oleh masyarakat luas yang bukan merupakan haknya. Sebagai contoh, seorang pengusaha berbelanja ke luar negeri membeli produk “Cartier”, kemudian kembali ke Indonesia dan memproduksi barang-barang tas, dompet yang diberi merek “Cartier”. Ia berharap memperoleh keuntungan besar tanpa mengeluarkan biaya untuk memperkenalkan kepada masyarakat karena merek tersebut sudah dikenal masyarakat dan memberi kekuatan simbolik yang memberi kesan mewah dan bergengsi sehingga banyak konsumen yang membeli.

3. Perbuatan-perbuatan yang Dapat Mengacaukan Publik Berkenaan Dengan Sifat dan Asal Usul Merek.Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu Negara yang dapat menjadi kekuaatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah atau Negara penghasil jenis barang bermutu. Misalnya mencantumkan keterangan “made in England”, Made in Japan, Made in Germany, dan lain-lain.

Pelanggaran terhadap hak atas merek sangat merugikan konsumen karena konsumen akan memperoleh barang atau jasa yang biasanya mutunya lebih rendah disbanding merek asli, bahkan produk palsu tersebut membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen.

Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek itu ada tiga, yakni:

66

Page 67: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

1. Fungsi indicator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatau unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara professional.

2. Fungsi indicator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi.

3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor produk tersebut.

E. Pendaftaran Merek

Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). UU Merek Tahun 2001 menganut sistem konstitutif, sama dengan UU sebelumnya yakni UU No. 19 1992 dan UU No. 14 Tahun 1997. Ini adalah perubahan yang mendasar dalam UU Merek Indonesia, yang semula menganut sistem deklaratif (UU No. 12 Tahun 1961).Secara Internasional, menurut Soegondo Soemodiredjo, dikenal ada 4 sistem pendaftaran merek yaitu:1. Pendaftaran merek tanpa memeriksa merek terlebih dahulu. Menurut sistem ini

merek yang dimohonkan pendaftarannya segera didaftarkan asal srayat-syarat permohonannya telah dipenuhi antara lain pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan dan pendaftaran. Tidak diperiksa apakah merek tersebut memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan dalam UU, misalnya tidak diperiksa apakah merek tersebut pada keseluruhan atau pada pokoknya ada persamaan dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang sejenis atas nama orang lain. Sistem ini dipergunakan misalnya oleh Negara Perancis, Belgia, Luxemburg dan Rumania.

2. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu. Sebelum didaftarkan merek yang bersangkutan terlebih dahulu diperiksa mengenai syarat-syarat permohonannya maupun syarat-syarat mengenai merek itu sendiri. Hanya merek yang memenuhi syarat dan tidak mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang sejenis atas nama orang lain dapat didaftarkan. Sistem ini dianut oleh antara lain Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Jepang dan Indonesia.

3. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. Sebelum merek yang bersangkutan didaftarkan, merek itu diumumkan lebih dahulu untuk memberi kesempatan kepada pihak lain mengajukan keberatan-keberatan tentang pendaftaran merek tersebut. Sistem ini dianut oleh antara lain Negara Spanyol, Colombia, Mexico, Brazil dan Australia.

4. Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. Pemohon mendaftarkan merek diberitahu bahwa mereknya mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan terlebih dahulu untuk barang sejenis atas nama orang lain. Walaupun demikian jika pemohon

67

Page 68: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

menghendaki pendaftaran mereknya, maka mereknya itu didaftarkan juga. Sistem ini misalnya dipakai oleh Negara Swiss.

Pendaftaran merek dalam hal ini adalah untuk memberikan status bahwa pendaftar dianggap sebagai pemakai pertama sampai ada orang lain yang membuktikan sebaliknya.

Berbeda dengan sistem deklaratif, sistem konstitutif baru akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si pemegang. Oleh karena itu dalam sistem ini pendaftaran adalah merupakan suatu keharusan.

Dalam Sistem deklaratif titik berat diletakkan atas pemakaian pertama. Siapa pemakai pertama suatu merek dialah yang dianggap berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek, bukan pendaftaran. Pendaftaran dipandang hanya memberikan suatu hak prasangka menurut hukum, dugaan hukum (rechsvermoeden) bahwa orang yang mendaftar adalah si pemakai pertama, yaitu adalah yang berhak atas merek yang bersangkutan.Tetapi apabila lain orangdapat mebuktikan bahwa ialah yang memakai pertama hak tersebut, maka pendaftarannya bisa dibatalkan oleh pengadilan dan hal ini seringkali terjadi. Misalnya dalam perkara “Tancho” yang terkenal, kita saksikan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia, karena dipandang sebagai telah bertindak tidak dengan iktikad baik, telah dibatalkan oleh pengadilan. Dinyatakan bahwa perusahaan Jepang adalah yang sebenarnya pertama-tama memakai merek tersebut dan yang berhak. Pendaftaran dari pihak pengusaha Indonesia telah dibatalkan dan dicoret dari Daftar Kantor Merek. Inilah yang dipandang sebagai kurang memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan sistem konstitutif, yaitu bahwa pendaftaranlah yang menciptakan hak atas merek. Siapa ayang pertama mendaftarkan dialah yang berhak atas merek dan dialah secara ekslusif dapat memakai merek tersebut. Orang lain tidak dapat memakainya. Hak atas merek tidak ada tanpa pendaftaran. Inilah membawa lebih banyak kepastian! Karena jika seorang dapat membuktikan ia telah mendaftarkan sesuatu merek dan mengenai ini dia diberikan suatu Sertifikat Merek yang merupakan bukti daripada hak miliknya atas sesuatu merek (Pasal 27 UUM 2001), maka orang lain tidak dapat mempergunakannya dan orang lain itu tidak berhak untuk memakai merek yang sama untuk barang-barang yang sejenis pula. Jadi sistem konstitutif ini memberikan lebih banyak kepastian.

Untuk sistem stelsel deklaratif ini, dapat pula dikemukakan kelemahan dan keuntungannya. Pada sitem deklaratif orang yang berhak atas merek bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya tetapi haruslah orang-orang yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut tidak dapat menghentikan pemakainya oleh orang lain secara begitu saja, meskipun orang yang disebut terakhir ini dikemudian mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif orang yang tidak mendaftarkan mereknyapun tetap dilindungi.

68

Page 69: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Namun kelemahan sistem ini adalah kurang terjaminnya rasa kepastian hukum. Karena orang yang telah mendaftarkan mereknyanya tetapi sewaktu-waktu masih dapat dibatalkan oleh pihak lain yang mengaku sebagai pemakai pertama. Gambaran tentang kelemahan dan keuntungan stelsel penaftaran ini mengundang polemik dari kalangan ahli hukum.

Pada seminar hukum atas merek di Jakarta yang diprakarsai oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai pendaftaran merek ini menimbulkan perbincangan dari para sarjana.

Hartono Prodjomardjono, SH dalam prasarannya yang berjudul Undang-Undang Merek 1961 dan Permasalahan-permasalahannya, mengemukakan sebagai berikut: “Mengingat bahwa wilayah Republik Indonesia itu sangat luas sedang perhubungan dari daerah yang satu ke daerah yang lain belum semudah dan secepat yang diperlukan untuk melaksanakan pendaftaran merek, maka melihat keuntungan dan keberatan masing-masing stelsel pendaftaran tadi, maka untuk Indonesia stelsel deklaratif adalah stelsel yang cocok dengan keadaan di Indonesia, sehingga stelsel deklaratif di Indonesia tidak perlu diganti dengan stelsel konstitutif.

Dalam kaitan ini Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH yang juga dalam pembahasan dalam seminar tersebut lebih cenderung kepada sistem konstitutif denganalasan bahwa sistem ini lebih memberi kepastian hukum mengenai hak atas merek kepada seseorang yang telah mendaftarkan mereknya itu.Dalam pandangan pro dan kontra terhadap sistem pendaftaran merek itu, Sudargo Gautama telah menganjurkan agar sebaiknya kita beralih pada sitem kontitutif. Alasan utamanya adalah demi kepastian hukum. Hal ini juga dikemukakannya pada Seminar hak merek yang diadakan di Jakarta bulan Desember 1976. Dan dalam Model law for developing countries on Marks Trade name and acts unfair competition”, ternyata telah dipilih juga sistem konstitutif ini sebagai yang terbaik.

Dalam section 4 daripada Model Law tersebut dinyatakan bahwa hak exclutive atas suatu merek menurut pengertian Undang-undang bersangkutan ini, akan diperoleh karena pendaftaran (the exclusive right to a mark conferred by this law shall be acquire, subject to the following provisions, by registration). Jadi ditegaskan bahwa karena pendaftaranlah tercipta hak atas merek. Hak ini adalah suatu hak yang ekslusif, artinya orang lain tidak dapat memakai merek yang sama itu untuk jenis barang yang serupa. Pasal 3 dari UU tentang merek yang baru berbunyi sebagai berikut: “Hak atas merek adalah Hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.Jadi yang ditekankan di sini adalah bahwa hak atas merek tercipta karena pendaftaran dan bukan karean pemekaian pertama. Jelas di sini dipakai sistem konstitutif. Di antara Negara-negara yang berbeda sistemnya dengan hak atas merek yaitu yang deklaratif atau kontitutif; undang-undang baru, berlainan daripada

69

Page 70: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Undang-undang 1961 No 21 yang lama, mengutamakan terciptanya hak ats merek ini karena pendaftara. Dalam Memori Penjelasan dicantumkan sebagaialasan untuk memilih prinsip konstitutif ini ialah bahwa salah satu pertimbangan adalah, lebih terwujudnya kepastian hukum

Dijelaskan pula bahwa sistem deklaratif yang selama ini digunakan, pada dasarnya lebih bertumpu pada semacam anggapan hukum saja, bahwa barang siapa memakai merek untuk pertama kali di Indonesia pantas dianggab sebagai pihak yang berhak atas merek bersangkutan atau bahkan sebagai pemiliknya. Mereka yang mendaftarkan merek juga dianggab sebagai pemakai yang pertama. Dan ditambahkan dalam memori Penjelasan: Anggapan hukum seperti itu bukab saja dalam praktek telah menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga telah melahirkan banyak persoalan, dan hambatan dalam dunia usaha.

Dijelaskan pula bahwa, “dari segi hukum” persoalan diatas juga menimbulkan kesulitan yang tidak sederhana. Maka itu Undang-undang yang baru ini memakai sistem konstitutif. “Dalam sistem yang baru ini dianut prinsip bahwa perlindungan hukum atas merek hanya akan berlangsung apabila hal tersebut perlindungan hukum atas merek hanya akan berlangsung apabila hal tersebut dimintakan pendaftaran”. Jadi pendaftaran adalah mutlak untuk terjadinya hak atas merek. Tanpa pendaftaran tidak ada hak atas merek, juga tidak ada perlindungan! Tetapi sekali telah didaftarkan dan memperoleh Sertifikat Merek, maka ia akan dilindungi dan orang lain tidak dapat memakai merek yang sama. Dengan lain perkataan, hanya dianggap sebagai “hak khusus” atau “hak eksklusif”.

Hanya orang yang didaftarkan sebagai pemilik yang dapat memakai dan memberikan orang lain hak untuk memakai (dengan sistem lisensi). Tetapi tidak mungkin orang lain memakainya. Dan jika tidak didaftar, tidak ada perlindungan sama sekali karena tidak ada hak atas merek.

Oleh karena itu kiranya semakin jelas bahwa sitem deklaratif tidak dapat lagi dipertahankan sebab tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi kita saat ini. Sistem deklaratif yang dianut oleh Undang-undang Merek 1961, ternyata kurang menjamin adanya kepastian hukum atas merek, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Merek 1961 yang menyatakan bahwa yang berhak atas suatu jaminan atas hak merek adalah orang yang memakai pertama merek tersebut, dan bukanlah suatu jaminan atas hak merek. Pendaftaran merek hanyalah merupakan suatu status anggapan bahwa mereka yang telah mendaftarkan mereknya adalah yang memakai pertama merek tersebut sehingga sewaktu-waktu merek yang telah didaftarkan oleh seseorang dapat saja diganggu gugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas merek tersebut.Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan hukum, dimana ciri Negara hukum salah satu adalah adanya kepastian hukum. Maka sudah sewajarnyalah Negara Indonesia juga mengusahakan kepastian hukum dalam hal pendaftaran merek, yaitu dengan mengganti sistem pendaftaran

70

Page 71: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

merek yang dianut oleh Undang-Undang Merek Tahun 1961 yaitu sistem deklaratif kepada sitim konstitutif (atributif) sebab dengan sistem ini kepastian hukum akan lebih terjamin. Oleh karena orang yang mereknya sudah didaftar tidak dapat diganggu gugat lagi oleh orang lain. Dengan perkataan lain, orang yang telah mendaftarkan mereknya tidak akan merasa was-was lagi terhadap tuntutan dari orang lain, sebab dengan pendaftaran mereknya itu ia telah dilindungi oleh Undang-Undang. Sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 3 UU Merek 2001

Selanjutnya Pasal 4 UU Merek 2001 menyebutkan pula bahwa: “Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik”. Dari ketentuan pasal ini dapat dinyatakan bahwa dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001, meskipun menganut sistem konstitutif, tetapi tetap azasnya melindungi pemilik yang beriktikad baik. Hanya permintaan yang diajukan oleh pemilik merek yang beriktikad baik saja yang dapat diterima untuk didaftarkan. Dengan demikian aspek perlindungan hukum tetap diberikan kepada mereka yang beriktikad baik.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai pendaftaran merek yang dianut oleh UU Merek yaitu mengenai tempat pendaftaran merek. Hal itu adalah penting mengingat wilayah Indonesia sangat luas. Adalah lebih baik apabila tempat pendaftaran itu diadakan perwakilannya di daerah (Propinsi). Tujuannya adalah untuk mempermudah seseorang dalam mendaftarkan mereknya.

Dengan sistem on line/otomatisasi dengan menggunakan teknologi komputer yang serba modern ini, cara ini dapat diterapkan.

F. Prosedur Pendaftaran Merek

Tentang tata cara pendaftaran merek di Indonesia menurut UU merek Tahun 2001 diatur dalam Pasal 7, yang menentukan bahwa:(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada

Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:a. tanggal, bulan dan tahun;b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;c. nama lengkap dan alamat kuasa apabila pemohon diajukan melalui

kuasa;d. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya

menggunakan unsure-unsur warna;e. nama Negara dan tangga permintaan merek yang pertama kali dalam

hal permohonan diajukan dengan hak prioritas.(2) Permohonan ditanda tangani pemohon atau kuasanya.(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang

atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.(4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.

71

Page 72: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(5) Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.

(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan.

(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut.

(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultas Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.

Surat permohonan diatas juga harus dilengkapi dengan:a. Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya

adalah miliknya;b. Dua puluh hari etiket merek yang bersangkutan;c. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hokum

atau salinan yang sah akta pendirian badan hokum, apabila pemilik merek adalah badan hokum;

d. Surat kuasa apabila permintaan pendaftaran merek diajukan oleh kuasa; dan

e. Pembayaran seluruh biaya dalam rangka permintaan pendaftaran merek yang jenis dan besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri, Pasal 10 ayat (1).

G. Penyelesaian Sengketa

Dalam UU Merek Tahun 2001 disebutkan tentang gugatan ganti rugi. Dalam Pasal 76 dikatakan bahwa:(1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:a. Gugatan ganti rugi; dan/ataub. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan

merek tersebut.(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan

Niaga.

Jika pelanggaran hak itu semata-mata terhadap hak yang telah tercantum dalam UUM 2001, maka gugatannya dapat dikategorikan sebagai peristiwa perbuatan melawan hokum (ocreghtsmatige daad), (vide Pasal 1365 KUH Perdata), tetapi jika

72

Page 73: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

pelanggaran itu menyangkut perjanjian lisensi, dimana para pihak dalam perjanjian itu tidak memenuhi isi perjanjian itu baik seluruhnya atau sebagian, maka gugatannya dapat dikategorikan sebagai gugatan dalam peristiwa wan prestasi (vide Pasal 1234 KUH Perdata).

H. Tuntutan Pidana

Ancaman pidana termuat dalam Pasal 90 dan Pasal 91 UUM 2001, yakni Pasal 90: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.

Sedangkan Pasal 91 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah)”.

Harus diperhatikan pula bahwa ancaman pidana itu bersifat kumulatif bukan alternative. Jadi disamping dikenakan ancaman penjara kepada pelaku juga dikenakan ancaman hukuman berupa denda. Hal ini dimaksudkan untuk membuat si pelaku menjadi jera (tujuan preventif) dan orang lain tidak mengikuti perbuatannya.

Untuk delik yang dikategorikan dalam delik pelanggaran dimuat dalam Pasal 94 ayat (1), yang berbunyi: Barang siapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 Tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”. Ancaman hukuman yang dimuat dalam pasal ini bersifat alternative, dapat berupa hokum kurungan saja atau membayar denda saja.

Untuk penyidik dalam tindak pidana ini Pasal 89 UUM 2001 menentukan pula bahwa:(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai

Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang:

73

Page 74: Materi Haki Buku

Hukum HAKI oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;

c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Merek;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan atau barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek.

(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan mengingat ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Dengan demikian ketentuan KUHAP tetap berlaku dalam hal penyidikan, penuntutan dan segala proses yang berkenaan dengan peristiwa pidana.

74