materi bahruddin, s.sos, m.sc

25
Mengarusutamakan isu sosial dalam bisnis; Refleksi Advokasi melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan(Proper) 1 Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Oleh Bahruddin 2 Pendahuluan Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) telah jamak dilakukan oleh berbagai perusahaan. Sementara ini, CSR disepakati menjadi salah satu bentuk perwujudan relasi antara perusahaan, masyarakat dan negara. Meminjam istilah Savitz (2006), fenomena CSR merupakan titik perjumpaan yang manis (sweet spot) antara tiga pihak tersebut. Melalui CSR, perusahaan berkomitmen untuk meningkatkan nilai positif kehadirannya di masyarakat. Perusahaan menyadari bahwa eksistensinya tidak hanya ditentukan atas ijin dari pemerintah, melainkan juga ijin masyarakat (social license to operate). Signifikansi social license to operate semakin meningkat seiring dengan suburnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terbingkai dalam suasana politik demokrasi. Ada berbagai macam wujud ekspresi kehadiran CSR di masyarakat seperti program pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan dan 1 Disampaikan dalam seminar Dies Natalis Jurusan PSDK ke 57 tahun, Jogjakarta 13 September 2014 2 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM - Koordinator Program Penilaian Peringkat Perusahaan (Proper) Kementrian Lingkungan Hidup, Aspek Pengembangan Masyarakat (Comdev) 2011-2014 1

Upload: lyphuc

Post on 14-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Mengarusutamakan isu sosial dalam bisnis;Refleksi Advokasi melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja

Perusahaan(Proper)1 Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Oleh Bahruddin2

Pendahuluan

Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) telah jamak dilakukan

oleh berbagai perusahaan. Sementara ini, CSR disepakati menjadi salah satu

bentuk perwujudan relasi antara perusahaan, masyarakat dan negara.

Meminjam istilah Savitz (2006), fenomena CSR merupakan titik perjumpaan

yang manis (sweet spot) antara tiga pihak tersebut. Melalui CSR, perusahaan

berkomitmen untuk meningkatkan nilai positif kehadirannya di masyarakat.

Perusahaan menyadari bahwa eksistensinya tidak hanya ditentukan atas ijin

dari pemerintah, melainkan juga ijin masyarakat (social license to operate).

Signifikansi social license to operate semakin meningkat seiring dengan

suburnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terbingkai dalam

suasana politik demokrasi.

Ada berbagai macam wujud ekspresi kehadiran CSR di masyarakat

seperti program pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pelestarian

lingkungan dan kepedulian terhadap bancana alam. Perusahaan senantiasa

memberi tanda partisipasinya dalam program melalui situs-situs yang

dibangunnya. Penegasan kontribusi perusahaan dalam pengembangan

masyarakat juga melampaui batas-batas wilayah implementasi program.

Terlalu sempit apabila peran baik ini hanya diketahui oleh masyarakat yang

terlibat dalam program. Oleh sebab itu, berbagai perusahaan mulai

menggunakan program-program CSR sebagai konten iklan untuk menjadi

pemenang di pasar yang kian kompetitif. Fenomena iklan baru ini

1 Disampaikan dalam seminar Dies Natalis Jurusan PSDK ke 57 tahun, Jogjakarta 13 September 20142 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM- Koordinator Program Penilaian Peringkat Perusahaan (Proper) Kementrian Lingkungan Hidup, Aspek Pengembangan Masyarakat (Comdev) 2011-2014

1

Page 2: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

menandakan bahwa perusahaan sedang merespon perubahan trend pasar

dunia dari World Consumer menuju Global Citizen (Elkington,1997:151).

Munculnya iklan-iklan bertema CSR di berbagai media merupakan

penanda perubahan paradigma tata kelola perusahaan dari single bottom

yang berporos pada keuntungan menuju triple bottom yang mengakomodir

isu lingkungan dan masyarakat (sosial). Namun demikian, asumsi baik ini

mulai terusik karena ada berbagai fenomena yang membuktikan bahwa iklan

berkonten CSR tidak representatif menjadi teropong hubungan perusahaan

dan masyarakat. Di balik iklan-iklan yang sungguh humanis ini tersimpan

rapat praktik-praktik dehumanisasi dan degradasi lingkungan yang

dilakukan secara sistematis oleh perusahaan.

Perbedaan yang tajam antara realitas dalam iklan dengan realitas di

sekeliling perusahaan inilah yang memunculkan keraguan-keraguan besar

terhadap komitmen CSR. Tawaran-tawaran konsep ideal yang terkandung

dalam CSR menjadi “hipokrit”. Bahkan tidak sedikit kalangan yang sudah

mengambil posisi bahwa CSR tidak akan menciptakan perubahan yang

signifikan untuk kesejahteraan umum. CSR hanya sebatas alat “pencitraan”

yang bertujuan hanya untuk memperkuat pundi-pundi keuntungan

perusahaan. Oleh sebab itu, penganut teori fundamentalis menyebut bahwa

fenomena CSR tidak lebih dari upaya membangun propaganda yang akan

merusak sendi-sendi tatanan masyarakat layaknya benalu pada tanaman

(from proganda to parasite) (Fleming dan Jones,2013:80).

Kontestasi kedua fenomena inilah yang menginspirasi Jurusan

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) untuk turut aktif membentuk

wajah tata kelola CSR di Indonesia. Masing-masing kontestan memiliki

argumentasi yang dibangun atas kajian empiriknya. Dalam posisi inilah,

Jurusan PSDK tidak ingin terjebak dalam pemihakan salah satu kontestan.

Sebagai entitas akademik, Jurusan PSDK menyediakan ruang apresiasi dan

kritisi terhadap fenomena CSR melalui kurikulum yang seimbang. Selain

kajian-kajian akademis, PSDK juga berperan aktif mengintervensi hadirnya

tata kelola CSR yang baik melalui keterlibatanya dalam penyusunan

2

Page 3: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

indikator, edukasi perusahaan dan penilaian program pengembangan

masyarakat melalui sertifikasi Proper dari Kementrian Lingkungan Hidup.

Sekilas Proper

Program Penilaian Peringkat Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup

(Proper) merupakan evolusi dari program pengendalian pencemaran air

yang dilaksanakan pada tahun 1989. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan

Program Kali Bersih (Prokasih). Lahirnya prokasih merupakan bentuk

keprihatinan terhadap kualitas air sungai di Indonesia. Entitas industri

menjadi salah satu penyumbang pencemaran air sungai. Data KLH

menunjukkan bahwa pada saat itu kurang dari 50 persen industri yang

benar-benar tidak turut mencemari air sungai di sekelilingnya (KLH,2014).

Menguatnya isu penataan tata kelola limbah perusahaan inilah yang

menginspirasi pembaharuan sistem Prokasih menjadi (Surat Pernyataan Kali

Bersih (Superkasih). Superkasih mulai efektif tahun 2003. Perusahaan-

perusahaan diminta membuat surat pernyataan kali bersih yang disaksikan

oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.

Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup melalui Prokasih -yang

saat ini berevolusi menjadi Proper-mengubah pola relasi antara perusahaan

dan pemerintah dari bersifat command and control menjadi sistem pasar.

Pendekatan command and control system menempatkan relasi antara

pemerintah dan perusahaan hanya dalam konteks regulasi yang bersifat

memaksa. Pendekatan ini terbukti kurang efektif untuk mendorong status

penataan perusahaan terhadap lingkungan hidup. Keterbatasan sumberdaya

manusia dan juga pendanaan menjadikan pengawasan standar baku mutu

lingkungan tidak berjalan dengan baik.

Di sisi lain, sistem pasar melalui kerangka sertifikasi menawarkan

kelebihan-kelebihan yang memungkinkan menjadi solusi berbagai

keterbatasan pemerintah. Sertifikasi yang terwujud dalam bahasa warna

hitam, merah, biru, hijau dan emas menjadikan semua pihak berkesempatan

untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan lingkungan. Bagi perusahaan-

perusahaan yang dinyatakan sudah layak biru, hijau dan emas memiliki

tanggungjawab untuk senantiasa menjaga sistem produksinya karena

3

Page 4: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

masyarakat juga turut mengawasi kesesuaian antara warna dan realitas.

Sedangkan perusahaan yang mendapat hitam atau merah akan dihukum oleh

pasar karena tidak mencerminkan sebagai perusahaan yang memperhatikan

kualitas lingkungan dalam sistem produksinya.

Saat ini, Proper merupakan salah satu program unggulan Kementrian

Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Pada periode penilaian 2012-2013,

Proper diikuti oleh 1812 perusahaan. Dimana 1792 perusahaan mendapat

sertifikasi yang terbagi dalam lima kategori yakni hitam sejumlah 17

perusahaan, merah sejumlah 611 perusahaan, biru sejumlah 1039

perusahaan, hijau sejumlah 113 perusahaan dan peringkat terbaik yakni

label emas sejumlah 12 perusahaan. Selain perusahaan-perusahaan yang

diumumkan tersebut, Proper periode 2012-2013 juga tidak mengumumkan

sejumlah 20 perusahaan dengan pertimbangan 12 penegakan hukum dan 8

tidak beroperasi kembali.

Tabel. 1. Deskripsi Kategori Peringkat Proper

No Kategori Deskripsi1 Emas Emas  adalah  untuk  usaha  dan/atau  kegiatan yang telah

secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.

2 Hijau Hijau usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan melakukan upaya tanggungjawab sosial dengan baik.

3 Biru Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang  dipersyaratkan  sesuai  dengan  ketentuan atau   peraturan  perundang-undangan yang berlaku.

4 Merah Merah adalah upaya pengelolaan lingkungan belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

5 Hitam Hitam adalah usaha dan/atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Sumber: KLH, 2013.

4

Page 5: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Sistem penilaian Proper yang saat ini berlaku sesuai dengan Permen

LH Nomor 3 tahun 2014. Peraturan ini memperbaharui Permen LH nomor 5

tahun 2011 dan Permen LH nomor 6 tahun 2013. Dalam ketentuan tersebut,

penilaian proper berdasarkan prinsip ketaatan (compliance) terhadap baku

mutu lingkungan hidup dan beyond compliance yang mencakup tiga aspek

yakni sistem pengelolaan lingkungan hidup, efisiensi pemanfaatan

sumberdaya dan pengembangan masyarakat (community development).

Sertifikasi proper melihat bahwa aspek lingkungan dan masyarakat

merupakan satu kesatuan. “Tidak ada masyarakat yang sehat di lingkungan

yang sakit, atau sebaliknya”. Atas pemikiran inilah, Proper mengintegrasikan

aspek lingkungan dan masyarakat untuk mengukur kinerja perusahaan.

Proper memberi jaminan bahwa penilaian masyarakat menjadi bagian dari

pengukuran kinerja perusahaan.

Keluar dari Pendekatan “Command and Control”

Sebagai fenomena empirik, hampir sebagian besar perusahaan dari

multinational corporation hingga usaha kecil menengah (UMKM) telah

melaksanakan kegiatan CSR sesuai minat dan kapasitasnya. Secara umum, isu

pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya

menjadi sektor yang disasar oleh perusahaan.

Di balik maraknya partisipasi perusahaan dalam pengembangan

masyarakat memunculkan pertanyaan kedudukan CSR dalam relasi antara

perusahaan masyarakat dan negara? Apakah CSR merupakan sebuah

komitmen yang bersifat kesukarelaan atau kewajiban yang diatur dalam

regulasi-regulasi negara? Dalam perspektif akademis, debat pertanyaan ini

masih tersisa sampai saat ini sehingga membelah pandangan pada dua kutub

yakni penganut volunterism (kesukarelaan) dan pendukung kewajiban. Bagi

pendukung pandangan kewajiban melihat bahwa perusahaan merupakan

makhluk hukum yang berorientasi pada profit. Dengan demikian, hanya

kekuatan hukum yang memungkinkan memaksa perusahaan melakukan

kegiatan yang bersifat sosial (Shaw, 2009).

5

Page 6: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Di Indonesia kedudukan CSR dalam relasi tiga pihak (masyarakat,

bisnis dan Negara) sudah diputuskan melalui serangkaian regulasi

pemerintah. Pemerintah telah memilih opsi yang akomodatif. Pemerintah

tidak ingin menjadi partisan salah satu pihak. Pemerintah memutuskan

bahwa kedudukan CSR menjadi suatu kewajiban atau kesukarelaan yang

ditentukan oleh jenis produksi dan status kepemilikan industri. Berikut

beberapa regulasi yang menempatkan CSR sebagai kewajiban bagi Industri di

Indonesia.

Pertama, Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan

gas bumi. Undang-undang ini mengatur kegiatan badan usaha yang

mengelola kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi. Pada pasal 40 ayat 5

ditegaskan bahwa ;

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat”

Dalam pasal tersebut disampaikan dengan jelas bahwa Kontraktor Kontrak

Kerjasama (KKKS) wajib berkontribusi dalam pengembangan masyarakat.

Kewajiban tersebut juga diperkuat dalam ketentuan kontrak antara

perusahaan dan pemerintah. Pasal 11 yang mengatur mekanisme kontrak

mewajibkan adanya klausul pengembangan masyarakat dan jaminan hak-hak

masyarakat adat. Pasal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengakuan

hak-hak masyarakat adat dan komitmen pengembangan masyarakat sudah

ada sejak proses kesepakatan kontrak.

Kedua, Undang–Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman

Modal Asing. Dalam regulasi tersebut, perusahaan yang kepemilikannya

sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh asing wajib melaksanakan

tanggungjawab sosial perusahaan. Kewajiban tersebut termuat pada pasal 15

huruf b. Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan

adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman

modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai

dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Terlihat

6

Page 7: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

jelas bahwa tujuan dari regulasi ini masih sebatas membangun social lisence

to operate dari masyarakat setempat.

Kontribusi perusahaan asing dalam pengembangan masyarakat di

Indonesia penting di tengah keterbatasan keuangan negara. Pada tahun

2014, dunia internasional masih menempatkan Indonesia sebagai wilayah

yang diminati untuk investasi. Lembaga pemeringkat dunia Standard and

Poor’s tetap menetapkan Indonesia sebagai lokasi strategis untuk investasi

jangka panjang.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan

terbatas. Pasal 74 ayat 1 memandatkan bahwa Perseroan yang menjalankan

kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam

wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung

jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud adalah komitmen Perseroan

untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi

Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Dalam pasal tersebut, secara jelas bahwa hanya perseroan yang berkaitan

dengan lingkungan yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial.

Keempat, Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan

Bina Lingkungan. Generasi terakhir peraturan ini tertuang dalam per

08/MBU/2013. Regulasi ini hanya berlaku bagi perusahan yang statusnya

badan usaha milik Negara. Dibandingkan dengan regulasi-regulasi lainnya,

peraturan yang diterbitkan Kementrian BUMN ini memiliki substansi lebih

detail yakni mencakup program dan sistem pendanaanya.

Adanya berbagai regulasi CSR di atas menunjukkan bahwa paradigma

pemerintah dalam membangun hubungan dengan bisnis masih bersifat

“command and control” sistem. Paradigma ini menempatkan pemerintah

sebagai satu-satunya institusi yang berwenang untuk mengatur dan

mengawasi kinerja perusahaan. Regulasi merupakan representasi hadirnya

negara dalam pelayanan dan pembatasan (mengatur).

Berbagai regulasi di atas berkontribusi dalam akselerasi partisipasi

sektor bisnis dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Tentunya dengan

7

Page 8: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

bentuk dan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang

mengelola isu-isu sosial dengan sangat sistematis. Ada pula perusahaan yang

terlalu dini mengklaim telah berkomitmen melaksanakan program CSR.

Dengan demikian, potret implementasi CSR terbelah di antara kutub yakni

penuh kebermanfaatan kepada masyarakat, di sisi lain kutub klaim sepihak

yang sebatas alat pencitraan diri.

Fenomena dualistik CSR ini terjadi karena ada beberapa persoalan

menyangkut regulasi CSR. Pertama, regulasi hanya mewajibkan perusahaan

untuk berperan aktif dalam pengembangan masyarakat sekitar tanpa aturan

penjelasan lebih lanjut. Kekosongan acuan ini memberi peluang perusahaan

untuk mendefinisikan CSR sesuai dengan versinya sendiri. Kedua,

ketidakjelasan peran dan fungsi negara dalam program CSR perusahaan. Apa

institusi negara yang berkewenangan untuk melakukan pengawasan

ketaatan perusahaan dalam melaksanakan CSR? Apa substansi yang menjadi

objek pengawasan? Bagaimana metode pengawasan? Pertanyaan-pertanyaan

tersebut belum terjawab jelas hingga saat ini sehingga sinergi pemerintah

dan perusahaan masih menemui banyak hambatan.

Problema di atas tidak hanya terjadi dalam isu CSR, melainkan sudah

jamak terjadi dalam regulasi lainnya yang bersifat command and control

system. Bangunan relasi antara negara dan bisnis dalam bentuk command and

control ini tidak sejalan lagi dengan konteks kekinian (Tiettenberg, 1998).

Negara perlu menyadari berbagai keterbatasan yang dimilikinya dalam

menegakkan regulasi. Negara juga perlu membuka kesempatan pihak-pihak

lain untuk turut berpartisipasi untuk mencapai tujuan regulasi. Inclusivitas

kebijakan ini penting karena aktor lain, salah satunya “pasar” memiliki

kekuatan untuk turut menegakkan regulasi. Tentunya dengan mekanisme

yang sesuai dengan sistem pasar. Mekanisme inilah yang dikenal dengan

sistem sertifikasi.

Saat ini, kekuatan pasar yang terwujud dalam sistem sertifikasi sangat

efektif memaksa perusahaan. Lembaga-lembaga sertifikasi berskala dunia

seperti International Organization for Standarization (ISO) sangat dipercaya

oleh perusahaan dan konsumen. Sampai akhir Desember 2013, ISO telah

8

Page 9: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

menerbitkan 19.977 standardisasi internasional (ISO,2014). Sertifikasi

menjadi “standaruang pertemuan” antara produsen dengan konsumen. Bagi

produsen, sertifikasi merupakan “etalase” yang mengkomunikasikan

bagaimana proses produksi dilakukan. Sedangkan bagi konsumen, sertifikasi

menjadi sumber informasi yang menjamin bahwa produk yang dibeli

berkualitas, aman serta merupakan bagian dari kontribusi positif terhadap

pembangunan berkelanjutan.

Sistem sertifikasi lahir sebagai respon atas pergeseran trend “pasar”

dunia. Trend pasar telah bergeser dari “world consumer” menuju “global

citizen”. Dalam era global citizen, mengkonsumsi barang atau jasa tidak

sebatas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan, melainkan juga bentuk

partisipasi dalam mewujudkan nilai-nilai tertentu, salah satunya adalah nilai

pembangunan berkelanjutan.

Tabel. Tujuh nilai dalam revolusi pembangunan berkelanjutan.

Focus Old Paradigm New Paradigm

Market Compliance Competition

Value Hard Soft

Transparency Closed Open

Lifecycle technology Product Function

Partnership Subversion Symbiosis

Time Wider Longer

Corporate Governance Exclusive Inclusive

Sumber : Elkington, 1997:3

Tujuh revolusi nilai inilah yang terinternalisasi dalam sistem pasar

modern. Ekspektasi pasar yang tercermin dalam nilai pembangunan

berkelanjutan ini “memaksa” perusahaan untuk melakukan perubahan

paradigma pengelolaan bisnis. Orientasi perusahaan yang hanya

menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan tidak relevan. Produk

yang dihasilkan harus memiliki nilai lebih selain fungsi dasar yang

ditawarkan. Salah satu nilai lebih dari sebuah produk adalah ruang

partisipasi konsumen dalam menjaga lingkungan dan membantu sesama

manusia.

9

Page 10: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Kementrian Lingkungan Hidup melihat bahwa kekuatan pasar modern

ini sebagai peluang untuk mendorong tingkat ketaatan perusahaan terhadap

ketentuan lingkungan hidup intervensi tata kelola CSR. Oleh sebab itu,

mekanisme penilaian Proper menggunakan sistem kombinasi antara

compliance and beyond compliance. Sistem compliance dilakukan pada

tingkat penilaian hitam, merah dan biru. Perusahaan yang mendapat

sertifikat biru bermakna telah memenuhi regulasi baku mutu lingkungan

hidup. Sedangkan sistem penilaian beyond compliance digunakan untuk

menentukan peringkat perusahaan hijau dan emas.

Aspek pengembangan masyarakat (comdev) menjadi salah satu

indikator penilaian dalam peringkat hijau. Aspek comdev menyumbang

12,5% dari keseluruhan nilai peringkat hijau. Namun demikian, kontribusi

comdev semakin meningkat pada penilaian emas. Aspek Comdev menjadi

indikator dominan untuk menentukan perusahaan yang layak mendapatkan

emas. Salah satu contoh program yang menghantarkan perusahaan

mendapat sertifikat emas tiga kali berturut-turut adalah pengembangan

sistem pertanian organik. Program ini memiliki roh pelestarian lingkungan

yang kuat. Pertanian organik menjadi gerakan untuk menolak pengerusakan

tanah secara sistematis melalui pupuk-pupuk kimia. Sistem pertanian

organik mengajarkan petani untuk mandiri dengan pupuk dan pestisida

secara alami. Selain untuk kepentingan lingkungan, sistem organik juga

bertujuan memutus ketergantungan dengan pupuk sehingga pendapatan

petani semakin meningkat.

Memasukkan aspek comdev dalam ketentuan penilaian beyond

compliance merupakan bentuk advokasi mengarusutamakan isu sosial dalam

bisnis. Untuk menjadi perusahaan yang terbaik (kategori emas) tidak hanya

berdasarkan kinerja ekonomi dan lingkungan, melainkan juga kinerja

program pengembangan masyarakat.

Pendekatan berbasis sistem

10

Page 11: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa CSR merupakan “ruang

perjumpaan” antara perusahaan dan masyarakat. Indikator-indikator untuk

menilai keberhasilan program juga dilihat berdasarkan kebermanfaatan

untuk kedua belah pihak. Berdasarkan indikator kebermanfaatan ini, peta

kegiatan CSR dapat dikategorisasikan dalam empat kuadran yakni

pathologies, public good, corporate social irresponsibility dan enlightened self

interest (Fleming and Jones, 2013:100).

Kuadran pathologies terjadi ketika program CSR memberi

kebermanfaatan yang kecil kepada masyarakat dan perusahaan. Sedangkan

kuadran public good terjadi ketika perusahaan berperan menggantikan peran

pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan. Bahkan kebutuhan yang

mungkin tidak relevan dengan sistem produksi perusahaan. Kuadran public

good ini berkebalikan dengan kuadran corporate social irresponsibilty.

Kuadran corporate social irresponsibilty berisikan program-program yang

menggunakan isu sosial sebagai bagian dari strategi peningkatan

keuntungan. Salah satu contohnya adalah program bantuan beasiswa anak

yatim sebesar 100 juta sedangkan biaya lounching program tersebut

membutuhkan dana 400 juta. Kuadran yang ideal dalam CSR adalah

enlightened self interest. Kuadran ini berisikan program CSR yang

memberikan kebermanfaatan yang tinggi untuk perusahaan dan masyarakat.

Kuadran tipologi CSR

(-)

Impa

ct o

n So

ciet

y (+

)

ii. Public goods iv. enlightened self interest

i. Pathologiesiii. corporate social

irresponsibility

(-) Impact on firm (+)

11

Page 12: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Sumber :Fleming and Jones, 2013:100.

Mewujudkan CSR untuk memberikan kebermanfaatan yang optimal

bagi perusahaan dan masyarakat tidak mungkin dilakukan ketika paradigma

pengelolaan CSR masih bersifat insendental. CSR dilihat sebagai bentuk

kedermawanan semata. Mekanisme dan prosedur tata kelola tidak dibangun

sesuai dengan prinsip-prinsip managemen modern. Pelaksana program

ditentukan atas dasar prinsip “siapa yang mau” bukan sebagai

tanggungjawab yang melekat pada jabatan.

Fenomena tata kelola CSR yang bersifat insendental terkuak dalam

riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian PIRAC. Studi PIRAC terhadap

226 perusahaan menunjukkan bahwa 60 persen perusahaan masih

melakukan kegiatan CSR secata insendental, 31 persen secara berkala dan

insendental, dan hanya 9 persen perusahaan yang melakukan secara

terencana (Ibrahim, 2005).

Data tersebut merupakan gambaran bagaimana organisasi

implementasi CSR di perusahaan- perusahaan di Indonesia. Dominasi

perusahaan-perusahaan di Indonesia melaksanakan program-program CSR

secara insendental. Implementasi secara insendental dapat menjadi indikator

bahwa CSR tidak ada perencanaan dalam pengelolaan program CSR. Dalam

konteks pengembangan masyarakat (community development), pengelolaan

CSR yang tidak disertai perencanaan yang baik akan menimbulkan persoalan

di kemudian hari.

Atas dasar fenomena-fenomena inilah, Jurusan Pembangunan Sosial

memilih jalur pengembangan sistem untuk membangun CSR di Indonesia

melalui sertifikasi Proper. Proper memberi ruang bagi jurusan Pembangunan

Sosial untuk membangun sistem tata kelola pengembangan masyarakat

sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan. Sistem tata kelola

pengembangan masyarakat ini tercantum dalam Peraturan Menteri

12

Page 13: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Lingkungan Hidup Nomor 3 tahun 2014. Adapun aspek-aspek yang

disyaratkan dalam proper mencakup ;

1. Komitmen top level management dan panduan tata kelola

Komitmen pimpinan perusahaan menjadi titik yang krusial dalam upaya

pengarusutamaan isu sosial dalam bisnis (Swanson, 2008:227). Sebagian

besar pimpinan perusahaan berasal dari luar disiplin ilmu-ilmu sosial.

Oleh sebab itu sering terjadi perbedaan pemahaman dasar-dasar

pengelolaan program sosial. Perbedaan inilah yang menyebabkan staf

tidak mampu mewujudkan gagasan-gagasan ideal karena terbentur

kewenangan pimpinan perusahaan.

Untuk memastikan adanya komitmen pimpinan perusahaan, Proper

mewajibkan adanya kebijakan tertulis mengenai CSR yang

ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. Selain itu, kebijakan juga

dituangkan dalam dokumen yang menjadi panduan tata kelola

pengembangan masyarakat perusahaan.

2. Struktur Organisasi pengembangan masyarakat

Struktur organisasi merupakan “etalase” komitmen pengembangan

masyarakat di perusahaan. Perusahaan yang berkomitmen terhadap

pengembangan masyarakat tentunya memiliki perangkat organisasi yang

memadai. Proper mensyaratkan perusahaan memiliki struktur organisasi

khusus untuk pengembangan masyarakat. Penataan struktur organisasi

dapat berbasis geografi, sektoral maupun kombinasi keduanya.

3. Sistem pendanaan program pengembangan masyarakat

Proper melihat daya dukung pendanaan program pengembangan

masyarakat tidak hanya berbasis jumlah, melainkan juga tata alokasi

program. Proper mensyaratkan pelaporan keuangan dilakukan

berdasarkan jenis program yakni; donasi/charity, infrastruktur,

pengembangan kapasitas dan pemberdayaan.

4. Basis data (social mapping)

Perencanaan yang baik merupakan salah satu syarat menghasilkan

kinerja yang baik. Kualitas perencanaan ditentukan oleh data-data yang

digunakan. Proper mewajibkan perusahaan memiliki basis perencanaan

13

Page 14: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

pengembangan masyarakat yang terwujud dalam dokumen social

mapping atau social based line study. Pemetaan sosial merupakan

kegiatan untuk memahami secara lebih mendalam kondisi masyarakat di

sekitar perusahaan. Aspek-aspek yang penting ada dalam pemetaan

sosial mencakup isu aktor-aktor strategis, potensi penghidupan

berkelanjutan, masalah sosial, institusi sosial, dan rekomendasi program.

5. Perencanaan

Proper mendefinisikan perencanaan dalam dua tahap yakni perencanaan

jangka menengah dan jangka pendek. Perencanaan jangka menengah

terwujud dalam dokumen rencana strategis lima tahun. Dokumen

renstra ini memuat visi, misi, tujuan dan program yang akan

dilaksanakan dalam lima tahun. Sedangkan perencanaan jangka pendek

diwujudkan dalam bentuk rencana kerja tahunan. Proper mensyaratkan

rencana kerja tahunan mencakup aspek nama program, indikator,

anggaran, jadwal dan penerima program.

6. Implementasi

Proper mendorong implementasi program pengembangan masyarakat

dilakukan dengan prinsip kemitraan. Perusahaan diminta untuk

berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM dalam melaksanakan

program. Ketentuan ini diharapkan merubah relasi perusahaan dengan

LSM yang cenderung bersifat konflik menuju kolaboratif (Yaziji, 2009).

Kolaborasi antar pihak ini penting untuk memastikan keberlanjutan

program pengembangan masyarakat.

7. Monitoring dan evaluasi

Program pengembangan masyarakat merupakan kegiatan yang dapat

diukur sesuai dengan kaidah-kaidah metode penelitian. Pemahaman

inilah yang ingin disampaikan melalui kriteria monitoring dan evaluasi

Proper. Proper mewajibkan setiap perusahaan untuk melakukan

monitoring dan evaluasi program tidak hanya pada aspek pendanaan,

melainkan juga aspek indikator, ketepatan sasaran dan jadwal

implementasi.

14

Page 15: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Selain aspek-aspek di atas, Proper juga mendorong perusahaan

melaksanakan pemantauan pasca program “care after program”.

Pemantauan ini mencakup implementasi pengetahuan dan atau

ketrampilan yang sudah diberikan melalui program comdev.

Pemantauan ini diharapkan menemukan “local hero” yang sukses

menerapkan pengetahuan dan atau ketrampilan oleh dirinya sendiri

serta mampu mengajarkan ke orang lain.

8. Publikasi dan penghargaan

Banyak kisah sukses kolaborasi perusahaan dan masyarakat berlalu

sebatas pengalaman saja. Padahal kisah-kisah sukses ini potensial

menginspirasi orang-orang untuk menciptakan perubahan bagi

lingkunganya. Dalam konteks inilah, Proper mendorong perusahaan

untuk menerbitkan buku-buku terkait dengan program pengembangan

masyarakat. Buku merupakan jendela inspirasi dunia. Semakin banyak

buku yang diterbitkan semakin memperluas inspirasi-inspirasi untuk

pengembangan masyarakat.

Selain buku, proper juga menghargai perusahaan-perusahaan yang

memperoleh penghargaan atas kinerja program pengembangan

masyarakat dari institusi pemerintah dan non pemerintah.

Penutup

Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi bagian penting

dalam relasi perusahaan, masyarakat dan negara. Pemerintah Indonesia

memilih menggunakan pendekatan command and control dalam mengelola

CSR. Konsekuensinya adalah lahirnya beberapa regulasi yang menjadikan

CSR sebagai bentuk kewajiban terhadap perusahaan-perusahaan tertentu.

Regulasi yang bersifat memaksa ini sukses untuk menghadirkan program-

program CSR di tengah masyarakat. Namun belum optimal untuk

membangun sistem CSR yang sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang

baik dan sejalan dengan nilai-nilai pemberdayaan. Hal ini terjadi karena

regulasi-regulasi yang ada tidak cukup menjadi acuan bagi perusahaan-

perusahaan untuk membangun sistem CSR.

15

Page 16: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Kekosongan acuan inilah yang menginspirasi Jurusan Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan untuk turut mewarnai pengembangan sistem CSR

di Indonesia. Upaya pengembangan sistem CSR tidak cukup hanya dilakukan

melalui kajian-kajian akademis di kampus, melainkan juga dibutuhkan

strategi advokasi kebijakan. Program penilaian peringkat kinerja perusahaan

(Proper) yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup menjadi sarana

yang strategis untuk membangun sistem CSR di Indonesia. Pada tahun 2013,

sistem CSR yang dibangun PSDK diikuti oleh 1812 perusahaan yang

mengikuti sertifikasi proper.

Pengembangan sistem ini merupakan salah satu bentuk advokasi

pengembangan sistem CSR di Indonesia. Tentunya sistem CSR yang memberi

kebermanfaatan optimal bagi masyarakat, perusahaan dan negara.

Daftar Pustaka.

Fleming Peter and Marc T Jones. (2013). The end of Corporate Social

Responsibility; Crisis and Critique. London. Sage Publication.

Ibrahim, Rustam. 2005. Bukan Sekedar Berbisnis; Keterlibatan Perusahaan

dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal PIRAC edisi Juli 2005.

Peraturan Menteri LIngkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program

Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup.

Savitz, Andrew, W (2006). The Triple Bottom Line. New Jersey: John Wiley &

Sons. Inc.

Shaw, William. (2009). Marxism, Business Ethics, and Corporate Social

Responsibility. Journal of Business Ethics.

Swanson, Diane. (2008). Top Managers as Drivers for Corporate Social

Responsibility. Dalam Andrew (eds). The Oxford Handbook of

Corporate Social Responsibility. Oxford. Oxford University Press.

Yaziji, M and Jonathan. (2009). NGOs and Corporations; Conflict and

Collaboration. Cambridge. Cambridge University Press.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing

16

Page 17: Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

17