masalah bebas nilai ilmu pengetahuan dan tanggung jawab pendidikan tinggi

42
MASALAH BEBAS NILAI ILMU PENGETAHUAN DAN TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN TINGGI A. LATAR BELAKANG Ilmu pengetahun dan teknologi berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Etika adalah ilmu yang mempelajari “kebaikan dan keburukan” yang merupakan cabang dari teori nilai. Teori nilai atau yang dikenal dengan Aksiologi dalam Filsafat Ilmu diorientasikan pada nilai kehidupan itu sendiri. Sementara nilai kehidupan itu sendiri menyangkut bagaimana manusia bertindak dalam kehidupannya, melahirkan etika dan estetika. Proses pemerolehan ilmu pengetahuan dari dahulu sampai sekarang dilakukan tanpa nilai etika. Meskipun menurut para ahli sendiri terdapat pro dan kontra mengenai “Ilmu yang Bebas Nilai dan Ilmu yang Terikat Nilai”. Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak mengorbankan nyawa makhluk hidup lain, bahkan nyawa manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran. Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak, monyet, dan sebagainya adalah hewan yang paling banyak dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan sebagainya. Tetapi yang paling menggelitik adalah nyawa makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya mempertahankan hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu pengetahuan.

Upload: ummu-imarah

Post on 14-Dec-2014

129 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

kuliah

TRANSCRIPT

MASALAH BEBAS NILAI ILMU PENGETAHUAN

DAN

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN TINGGI

A. LATAR BELAKANG

Ilmu pengetahun dan teknologi berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Etika

adalah ilmu yang mempelajari “kebaikan dan keburukan” yang merupakan cabang dari teori

nilai. Teori nilai atau yang dikenal dengan Aksiologi dalam Filsafat Ilmu diorientasikan pada

nilai kehidupan itu sendiri. Sementara nilai kehidupan itu sendiri menyangkut bagaimana

manusia bertindak dalam kehidupannya, melahirkan etika dan estetika.

Proses pemerolehan ilmu pengetahuan dari dahulu sampai sekarang dilakukan tanpa nilai

etika. Meskipun menurut para ahli sendiri terdapat pro dan kontra mengenai “Ilmu yang

Bebas Nilai dan Ilmu yang Terikat Nilai”.

Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak mengorbankan nyawa makhluk hidup

lain, bahkan nyawa manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran.

Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak, monyet, dan sebagainya adalah

hewan yang paling banyak dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang

menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan sebagainya. Tetapi yang paling

menggelitik adalah nyawa makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya mempertahankan

hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu pengetahuan.

B. Masalah

1. Apa yang dimaksud masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan?

2. Apa saja kecenderungan dasar dalam pengetahuan bebas nilai?

3. Apa saja jalan keluar untuk mengatasi masalah bebas nilai?

C. Pembahasan

1. Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang

dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.

Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah

dibakukan secara sistematis (A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001:22).

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek

tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan

yang diketahui oleh manusia (Jujun S. Suriasumantri, 2009:104).

Masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan adalah masalah besar sepanjang sejarah ilmu

pengetahuan. Masalah ini terutama berkaitan dengan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap

kehidupan manusia.

Kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada kekuasaan pemerintah, hanya demi menjaga

keutuhan masyarakat misalnya, ada bahaya bahwa kebenaran dikorbankan. Demikian pula,

kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada nilai-nilai religius dan moral, ada bahaya yang

sangat besar bahwa kebenaran dikalahkan demi menjaga keluhuran nilai religius dan moral

itu. Akibatnya kita tidak pernah sampai pada kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional.

Ilmu pengetahuan lalu berubah menjadi ideologi yang hanya berfungsi untuk melayani

kepentingan pihak tertentu dan demi itu rela mengorbankan kebenaran. Itu berarti ilmu

pengetahuan berhenti menjadi dirinya.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, memang sangat sulit untuk menciptakan suatu ilmu

pengetahuan yang benar-benar bebas nilai. Namun, kesulitan inilah yang menjadi tantangan

bagi setiap ilmuwan. Bagaimana mereka harus bisa menciptakan suatu ilmu pengetahuan

yang benar-benar ilmiah dan mengandung kebenaran secara utuh. Ilmu pengetahuan itu pun

juga hendaknya bersifat universal yang dapat diakui kebenarannya di mana pun oleh semua

orang. Nilai dari ilmu itu juga hendaknya dapat berguna bagi selunih masyarakat. Jadi ilmu

pengetahuan yang diciptakan tidak sekedar hanya dapat berlaku bagi semua pihak saja, tapi

juga harus bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

Tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi

kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk kepada nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu

pengetahuan.

Pengertian Bebas Nilai

Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan

dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar ilmu

pengetahuan (A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001:149). Tuntutan dasarnya adalah agar

ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, oleh karena itu ilmu

pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain di luar

ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan

pertimbangan ilmiah murni.

Maksud dasar tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk pada pertimbangan lain

di luar ilmu pengetahuan. Asumsinya, selama ilmu pengetahuan, dalam seluruh prosesnya,

tunduk kepada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik,

religius, maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Itu berarti,

ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,

ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan

menjadi tidak murni sama sekali.

2. Dua Kecenderungan Dasar

Bahwa ilmu pengetahuan harus tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah saja, tidak boleh tunduk

pada nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus bebas nilai

dan harus lepas dari nilai-nilai di luar ilmu pengetahuan.

Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah mencari dan memberi penjelasan dan pemahaman

tentang masalah dan fenomena alam semesta.

Berikut terdapat dua kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan :

a. Kecenderungan puritan-elitis

Kecenderungan ini beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah demi ilmu

pengetahuan. Bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah hanya dipertahankan demi

kebenaran murni saja.

Kepuasan seorang ilmuan disini terletak dalam menemukan teori-teori besar yang mampu

menjelaskan segala persoalan, teka-teki, dan gejala alam terlepas dari apakah ilmu

pengetahuan itu berguna atau tidak bagi kehidupan praktis manusia. Oleh karena itu, bagi

kecenderungan puritan-elitis tidak ada yang disebut link and match karena ilmu pengetahuan

memang hanya bertujuan untuk mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-

masalah dalam alam ini dan tidak mempersoalkan aplikasinya bagi kehidupan konkret.

Posisi dasar dari kecenderungan puritan-elitis adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas

nilai, ilmu pengetahuan harus lepas dari segala pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.

b. Kecenderungan pragmatis

Kecenderungan ini beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan

memperoleh penjelasan tentang berbagai alam semesta ini. Bagi kelompok ini, yang penting

adalah bahwa ilmu pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia untuk

memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.

Bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan sangat membantu kehidupan

manusia untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang menyenangkan dan benar-

benar melayani kepentingan manusia dan bukan demi pengetahuan semata. Kecenderungan

ini tidak bisa bebas nilai dan diliputi oleh nilai.

3. Jalan Keluar Mengatasi Masalah Bebas Nilai

a. Context of Discovery

Menyangkut konteks dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak

terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan

dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan tidak

muncul secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak

dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus

sangat mempengaruhinya.

b. Context of Justification

Menyangkut konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori

dan kriteria yang murni ilmiah. Bahwa dalam konteks pembuktian sebuah hipotesis atau teori,

semua faktor ekstra ilmiah harus ditinggalkan dan yang diperhitungkan adalah bukti empiris

dan penalaran logis-rasional. Satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai

kebenaran.

D. Penutup

Kesimpulan

Bahwa agar ilmu pengetahuan bisa sampai pada kebenaran objektif, ilmu pengetahuan harus

dibebaskan dari tujuan kemanusiaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi manusia karena

selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi membantu manusia, kebenaran bisa

dikalahkan oleh pertimbangan lain.

Masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan adalah masalah besar sepanjang sejarah ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap kehidupan

manusia.

Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan

dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di luar ilmu

pengetahuan.

Terdapat dua kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan :

a. Kecenderungan puritan-elitis

b. Kecenderungan pragmatis

Terdapat dua jalan keluar untuk mengatasi masalah bebas nilai :

a. Context of Dicovery

b. Context of Justific

DAFTAR PUSTAKA

Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis.

Yogyakarta : Kanisius

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan

Kompas.com. 2011. “Kritik terhadap Ilmu yang Bebas Nilai”

Enos Rudy Jovan

Thursday, June 2, 2011

Ilmu pengetahuan vs bebas nilai ????

Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan

Masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan adalah masalah besar sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Masalah ini terutama berkaitan dengan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia.

1. Pengertian Bebas Nilai

Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar pengetahuan.

Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.

Maksud dasar dari tuntutan ini adalah selama ilmu pengetahuan tunduk pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik, religius, maupun moral, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.

Yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk kepada nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.

Latar belakangnya adalah kekhawatiran bahwa kebenaran sangat mungkin dikorbankan demi nilai lain. Kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada kekuasaan pemerintah, hanya demi menjaga keutuhan masyarakat misalnya, ada bahaya bahwa kebenaran dikorbankan. Ada bahaya bahwa kita terpaksa berbohong demi menjaga keutuhan masyarakat. Demikian pula, kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada nilai-nilai religius dan moral, ada bahaya yang sangat besar bahwa kebenaran dikalahkan demi menjaga keluhuran nilai religius dan moral itu. Akibatnya, kita tidak pernah sampai pada kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional. Ilmu pengetahuan lalu berubah menjadi ideologi yang hanya berfungsi untuk melayani pihak tertentu dan demi itu rela mengorbankan kebenaran.

2. Dua kecenderungan Dasar

Kita sepakat bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi dirinya sendiri, harus otonom, harus tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah saja, dan tidak boleh tunduk kepada otoritas dan nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Maka, ilmu pengetahuan harus bebas nilai, harus lepas dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan.

Tetapi, apakah ilmu pengetahuan mempunyai otonomi yang sedemikian mutlak lepas dari dari campur tangan pihak lain? Kalau begitu, apa sesungguhnya tujuan dari ilmu pengetahuan itu?

Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang masalah dari fenomena dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan bertujuan memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah dan fenomena dalam hidup ini. Tetapi, untuk apa penjelasan itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita membedakan dua macam kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan:

1. Kecenderungan Puritan-elitis Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan menemukan penjelasan, yaitu

penjelasan yang benar tentang segala sesuatu. Tetapi bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan ini hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja, terutama hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Maka, ilmu pengetahuan bagi mereka dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan.

Kepuasan seorang ilmuwan terletak dalam menemukan teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki, dan gejala alam ini, terlepas dari apakah ilmu pengetahuan itu berguna atau tidak bagi kehidupan praktis manusia. Oleh karena itu, bagi kecenderungan puritan dan elitis, pembicaraan mengenai link and match tidak kena. Tidak ada yang disebut link and match karena ilmu pengetahuan memang hanya bertujuan untuk mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-masalah dalam alam ini. Mereka tidak mempersoalkan aplikasinya bagi kehidupan konkret.

Konsekuensinya, ilmu pengetahuan menjadi bidang yang sangat elitis. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu yang mewah, jauh dari kehidupan real manusia.

Posisi dasar dari kecenderungan puritan-elitis adalah bahwa ilmu harus bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus lepas dari segala pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, termasuk pertimbangan nilai guna dari pengetahuan. Kebenaran harus ditegakkan apapun konsekuensinya dan kegunaan praktis dari ilmu pengetahuan. Karena, tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu pengetahuan.

Bagi kecenderungan puritan-elitis, ilmu pengetahuan mempunyai otonomi yang mutlak. Ilmu pengetahuan tidak boleh kalah dan mengalah terhadap terhadap pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Supaya ilmu pengetahuan bisa sampai pada kebenaran objektif, ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari segala macam nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari tujuan kemanusiaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi manusia karena selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi membantu manusia, demi memecahkan berbagai persoalan hidup manusia, kebenaran bisa dikalahkan oleh pertimbangan lain tersebut.

Contoh: Kasus Busang. Demi meningkatkan nilai saham perusahaan Bre-X, perusahaan itu tega mengorbankan

2. Kecenderungan Pragmatis

Kecenderungan pragmatis pun beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang bertujuan untuk menemukan kebenaran. Tetapi bagi mereka, ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja. Yang juga penting adalah bahwa ilmu pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu bahwa ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan

dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup manusia.

Ilmu pengetahuan menjadi menarik justru karena ia berguna membantu manusia. Tanpa itu, ilmu pengetahuan tidak ada artinya sama sekali. Kebenaran dan penjelasan punya arti justru karena ia berguna bagi kehidupan manusia. Yaitu, membuat hidup manusia lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih bahagia karena dengan ilmu pengetahuan, manusia lebih mampu memahami banyak hal, dan dengan demikian bisa mengatur hidupnya secara lebih baik. Karena dengan ilmu pengetahuan juga manusia bisa memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.

Karena itulah, yang disebut pengetahuan manusia itu tidak hanya ”tahu bahwa”, ”tahu akan”, dan ”tahu mengapa”, melainkan juga ”tahu bagaimana”.

Yang disebut kebenaran ilmiah itu tidak hanya bersifat logis-rasional dan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Contoh: kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi dsb. Oleh karena itu pula manusia modern sedemikian bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan sekarang ini.

Bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan betul sangat membantu untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang lebih manusiawi, adil, bahagia, sehat, dan menyenangkan. Jadi, yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan, aspek kegunaan.

Berbeda dengan kecenderungan puritan-elitis, bagi kecenderungan pragmatis ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai. Ilmu pengetahuan terbebani dengan nilai. Ilmu pengetahuan, karena punya kecenderungan pragmatis yang kuat, diliputi oleh nilai; ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli atas persoalan penderitaan manusia, ia peduli akan keselamatan manusia, akan harkat dan martabat manusia.

3. Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification

Pertanyaan sekarang adalah manakah posisi yang benar? Salah satu jawaban sekaligus jalan keluar adalah dengan membedakan antara context of discovery dan context of justification

A . Context of discovery Context of discovery menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Ilmu pengetahuan

tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Karena itulah, manusia melakukan kegiatan ilmiah.

Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Ada perasaan, keinginan, kepentingan pribadi, sosial, budaya, politik yang ikut mewarnai dan mendorong penelitian dan kegiatan ilmiah. Ada pandangan religius, moral, tradisi, dan macam-macam hal lain lagi di luar ilmu pengetahuan yang ikut mewarnai lahirnya ilmu pengetahuan. Jadi, harus diakui ilmu pengetahuan berkembang dan berlangsung dalam suatu masyarakat.

Penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan hasil dari berbagai faktor berikut: (i) Keputusan masing-masing ilmuwan tentang masalah mana yang ingin mereka teliti atau pecahkan, sangat ditentukan oleh keunikan setiap ilmuwan, oleh kepentingan, nilai, latar belakang etnis-religius, minat, dan sebagainya dari ilmuwan yang bersangkutan. (ii) Keputusan dari berbagai lembaga penelitian tentang jenis penelitian yang mereka lakukan, jelas dipengaruhi oleh nilai, kepentingan, bidang kegiatan lembaga tersebut, dan orang-orang di dalamnya. Setiap lembaga akan mempunyai keunikan masing-masing dan itu mau tidak mau akan mempengaruhi hasil penelitian lembaga tersebut. (iii) Keputusan lembaga penyandang dana pun dipengaruhi oleh minat, nilai, ideologi, dari lembaga tersebut. (iv) Keputusan dan kebijaksanaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat mempunyai penghargaan dan perhatian yang berbeda terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

Context of Justification Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan

ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu.

Dalam konteks pembuktian sebuah hipotesis atau teori, yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria ilmiah. Semua faktor ekstra ilmiah haruslah ditinggalkan. Satu-satunya yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Dengan kata lain, satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran.

Dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Tetapi, dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai.

Tujuan dari pembedaan ini adalah untuk melindungi objektivitas dari hasil akhir kegiatan ilmiah. Yaitu, kendati dalam proses penemuan sebuah hukum ilmiah atau teori ada berbagai nilai, faktor dan pertimbangan ekstra ilmiah yang ikut menentukan, ketika sampai pada tahap pengujiannya, kebenaran hukum atau teori itu tidak boleh ditentukan oleh faktor di luar ilmu pengetahuan.

Pertanyaan relevan yang menggelitik adalah: Bagaimana dengan hasil penelitian yang telah terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria ilmiah murni, tetapi, ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral religius tertentu?

Contohnya adalah cloning. Dari segi context of justification, dari segi kriteria kebenarannya tidak bisa dibantah. Dari segi ilmiah hasil ini tidak bisa ditolak, sah secara ilmiah. Tetapi, dari segi context of discovery, pertanyaannya adalah apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut berguna? Kalau ternyata tidak berguna, kalau ternyata merendahkan martabat manusia, hasil tersebut perlu ditolak. Tetapi, ditolaknya hasil ini bukan karena tidak benar, melainkan karena tidak ada gunanya bagi hidup manusia. Pada titik ini, ilmuwan yang punya perasaan moral, dipersilahkan untuk memutuskan sendiri apakah ia akan tetap mengembangkan ilmunya yang merugikan masyarakat itu, kendati benar, atau justru menghentikannya.

20 nov 2012

MASALAH BEBAS NILAI DALAM ILMU PENGETAHUAN

Faiz Akbar Leksananda / 121112035,  Bayu Prakasa                 / 121112045

Firly Fadhila Izzaty        / 121112012, Mohammad Herza TM / 121112006

Yusuf Arif Witoko         / 121112029, Dwi Mega Arianto        / 121112018

 

BAB I: PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

            Perkembangan ilmu pengetahuan telah mencapai sebuah titik di mana jarak, ukuran, dan kompleksitas bukanlah menjadi sebuah kendala dalam mencapai kemajuan berpikir maupun penemuan baru. Hampir segala hal dapat dicapai hanya dengan sebuah alat bernama ilmu pengetahuan. Keadaan ini sangatlah menguntungkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dapat mempermudah pekerjaan, meningkatkan taraf hidup, dan pada akhirnya akan memajukan peradaban manusia.

            Masalah muncul ketika banyak ilmuwan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan haruslah dikembangkan tanpa adanya intervensi dari aspek lain, khususnya nilai-nilai moral dan agama. Mereka beranggapan bahwa nilai akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan karena adanya persepsi baik-buruk, sehingga akan membatasi mana penerapan ilmu pengetahuan yang bernilai baik dan boleh dilakukan, serta mana yang buruk sehingga tidak boleh dilakukan. Yang menjadi masalah bukanlah karena ilmu pengetahuan bersifat tanpa batas dan harus terus dikembangkan, namun terletak pada sifat dasar manusia yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan yang pada akhirnya justru mengakibatkan keburukan bagi kaum manusia itu sendiri. Tidak setiap manusia memiliki

misi yang mulia untuk memajukan peradaban. Ada pula manusia yang hanya ingin memenuhi ambisi pribadi demi memuaskan hawa nafsunya. Tidak jarang akhirnya mereka menggunakan segala cara meskipun cara itu dapat berakibat pada keburukan bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Kita telah melihat beberapa bukti konkrit seperti pembuatan senjata pemusnah massal, penyebaran wabah penyakit demi mengurangi populasi, dan lain sebagainya.

            Mengingat pentingnya bahasan tentang masalah bebas-nilai dalam ilmu pengetahuan, Penulis melalui makalah ini mencoba mengkajinya dengan harapan dapat memberikan wawasan keilmuan bagi penulis secara khusus serta masyarakat secara umum, sehingga hasilnya dapat dijadikan landasan dalam menykapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan ranah etika ataupun moral di dalam bahasan ilmu pengetahuan.

 

B. Masalah

Apakah ilmu pengetahuan bersifat bebas-nilai atau tidak?

 

D. Tujuan

Untuk mengetahui apakah ilmu pengetahuan bersifat bebas-nilai atau tidak

 

E. Manfaat

Bagi Penulis

Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi Penulis, yang dimana kedudukannya sebagai akademisi, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menentukan sikap dalam dinamika dunia pendidikan. Pembahasan masalah nilai dalam ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat mendasar karena akan menentukan sikap kita terhadap ilmu pengetahuan.

 

Bagi Masyarakat Luas

Sebagai tambahan wawasan keilmuan, sehingga dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat luas tentang paradigma yang benar mengenai kebebas-nilaian dalam ranah ilmu pengetahuan.

 

BAB II: PENGERTIAN

 

1. ILMU

Makna Etimologis

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya. (Wahid, Ramli Abdul, 1996)

 

Makna Istilah

Seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. (Van Peursen, C.A, 2008)

 

Rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. (Gie, The Liang, 2000)

 

Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan, metodis dan empirik. (Pandin, Moses GR, 2012)

 

Klarifikasi Istilah “Ilmu”, “Ilmu pengetahuan” dan “Pengetahuan”

            Dalam ranah akademis, “ilmu” dan “ilmu pengetahuan” memiliki makna yang sama. Sehingga, ketika disebutkan istilah “ilmu pengetahuan”, maka yang dimaksud adalah “ilmu” sebagaimana adanya.

            Namun, “ilmu” tidaklah sama dengan “pengetahuan”. Pengetahuan adalah segala hal yang diketahui manusia, biasa disebut knowledge dalam Bahasa Inggris. Sedangkan ilmu hanyalah sebagian kecil dari pengetahuan, yaitu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu yakni ciri ilmiah. Dalam bahasa Inggris biasa disebut science. Sehingga tidak setiap pengetahuan merupakan ilmu. Namun, setiap ilmu merupakan sebuah pengetahuan.

(Suriasumantri. Jujun 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik)

 

Sinonim

Ilmu = Ilmu Pengetahuan = Science = Pengetahuan yang berciri ilmiah

Pengetahuan = Knowledge = Segala hal yang diketahui manusia

 

1. NILAI

Makna Etimologis

“Nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian:

 1 harga (dl arti taksiran harga); 2 harga uang (dibandingkan dengan harga yang lain); 3 angka kepandaian; 4 banyak sedikitnya isi, kadar, mutu; 5 sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan            

 

Dilihat dari kemungkinan pengertiannya, nilai bisa mengarah pada arti:

1. Sebuah harga, mutu, kualitas dari barang, atau1. Sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan

 

Makna Istilah

Nilai adalah suatu patokan kualitas yang dimiliki suatu realitas. Nilai sangat sulit didefinisikan tanpa melibatkan contoh konkrit. Contohnya adalah nilai keadilan dan nilai kemanusiaan, yang menjadi sangat konkrit maknanya dan lebih mudah dihayati dibanding pengertian nilai yang berdiri sendiri.

 

 Nilai itu abstrak, objektif, dan subjektif

Nilai merupakan hal yang sangat abstrak. Namun, menjadi sangat konkrit ketika dalam kondisi dan situasi tertentu,

Nilai bersifat Objektif dimana nilai itu melekat pada objeknya atau pengembannya

Nilai bersifat Subjektif dimana nilai itu diberikan oleh subjek untuk menilai suatu objek

(Pandin, Moses GR, 2012)

 

1. PARADIGMA “ILMU BERSIFAT BEBAS-NILAI”

Dalam Bahasa Inggris sering disebut dengan istilah value free, yaitu paradigma yang memandang ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Ilmu terlepas dari segala kepentingan apapun. Ia harus dikembangkan tanpa batasan-batasan, sehingga akan dapat secara optimal mengalami perkembangan yang pesat. Belenggu aturan-

aturan seperti nilai moral dan agama hanya akan menghambat perkembangan ilmu. Dalam bahasa yang sederhana, dapat dikatakan bahwa tujuan ilmu adalah untuk ilmu.

Salah satu pencetus pemikiran ini adalah ilmuwan Josep Situmorang, yang berpendapat bahwa ilmu bersifat bebas nilai melalui tiga proposisi berikut:

Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social.

Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.

Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

 

Konsekuensi Logis

Dilihat dari prinsipnya terhadap perkembangan ilmu, paham ini memandang bahwa eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan selama hal tersebut berpengaruh positif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Penggunaan gas CFC misalnya, yang terdapat pada lemari es dan AC, dianggap sebagai hal yang benar meskipun menimbulkan dampak-dampak ekologis berupa pemanasan global, disebabkan penemuan CFC merupakan suatu perkembangan ilmu pengetahuan, dimana gas ini dapat menghasilkan suhu dingin sehingga tercipta sebuah teknologi baru berupa lemari es dan AC. Titik tekan dari paham ini adalah pada seberapa jauh perkembangan ilmu dan teknologi, bukan pada dampak yang ditimbulkan.

 

1. PARADIGMA “ILMU BERSIFAT TIDAK BEBAS-NILAI”

Dalam Bahasa Inggris sering disebut dengan istilah value-bond, yaitu paradigma yang memandang bahwa ilmu selalu terikat dengan nilai. Ilmu dilandasi dan diawasi oleh nilai.

Dilandasi berarti ilmu diciptakan karena adanya tuntutan dari suatu nilai, entah nilai kemanusiaan, keadilan, maupun kepraktisan. Misalnya, dilandasi dari kebutuhan akan nilai keadilan, maka diciptakanlah ilmu hukum, dimana di dalam ilmu tersebut dibahas bagaimana suatu keadilan dapat diciptakan melalui pertimbangan yang matang.

Diawasi berarti ilmu diberi batas-batas penjelajahan sehingga tidak merusak tatanan hidup lainnya. Misalnya, dalam ilmu farmasi terdapat kode etik di mana ilmuwan tidak boleh melakukan eksperimen pemberian obat tertentu kepada manusia langsung, melainkan harus menggunakan hewan, karena dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi manusia. Di sini, ilmu farmasi tersebut diawasi oleh nilai kemanusiaan, sehingga memberikan batasan bahwa dalam eksperimen bahan kimia, tidak boleh menggunakan sampel manusia.

Seorang ilmuwan Jerman, Jurgen Habermas, mengatakan bahwa seluruh ilmu, sekalipun ilmu alam, tidak mungkin bebas nilai karena setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia membagi kepentingan-kepentingan itu ke dalam tiga macam;

Kepentingan Teknis Ilmu-ilmu Empiris-Analitis Kepentingan Praktis Ilmu-ilmu Historis

Kepentingan Emansipatoris Ilmu-ilmu Kritis

(Hardiman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas)

 

Konsekuensi Logis

            Dilihat dari prinsipnya terhadap perkembangan ilmu, paham ini memandang bahwa setiap ilmu pasti memiliki kepentingan-kepentingan di belakangnya. Di samping itu, ilmu juga diberi batas-batas penjelajahan sehingga tidak mengganggu tatanan nilai kehidupan selainnya. Konsekuensinya, ilmu dikembangkan harus didasarkan atas adanya kepentingan dan harus mau dibatasi sehingga tidak mengganggu tatanan nilai lain di kehidupan manusia. Misalkan, seseorang sedang mendalami Ilmu Sastra. Menurut paham ini, orang itu mendalami sastra harus karena memang adanya kebutuhan akan pemecahan masalah di bidang itu, misalnya orang pada zaman ini masih perlu suatu hiburan di bidang sastra. Dan konsekuensi lainnya adalah orang itu harus mau dibatasi dalam upaya pengembangan ilmunya agar tidak merusak tatanan nilai lainnya. Misalnya, dalam menulis sastra dia dilarang membuat karya yang bermuatan penghinaan terhadap SARA, karena akan merusak nilai-nilai kesatuan dan persudaraan antar sesama.

 

BAB III:PEMBAHASAN 

1. 1.      Apakah ilmu bersifat-bebas nilai atau tidak?

Tinjauan Logika

Dalam sub-bab ini, Penulis mencoba berdialektika mengenai masalah bebas-nilai menggunakan asumsi-asumsi mengenai realitas ilmu dan nilai.

Pertama, Penulis mencoba memberikan sebuah premis awal mengenai ilmu. Kebenaran premis ini diasumsikan benar karena sudah pasti menjadi kesepakatan umum, sehingga bisa dijadikan sebuah premis. Berikut premis yang Penulis bangun:

Ilmu adalah hasil olah manusia terhadap suatu pengetahuan, sehingga dari ilmu tersebut manusia bisa memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai, seperti nilai keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain.

Begitu pula sebaliknya, karena adanya kebutuhan atas nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan lain-lain, maka manusia mengembangkan ilmu sehingga dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Premis di atas dapat diempiriskan dengan contoh;

1. Ilmu kedokteran ditemukan untuk menyelesaikan masalah tentang kesehatan manusia. (Ilmu à Nilai)

2. Karena adanya masalah tentang keterbatasan sumber daya alam di tengah kebutuhan manusia yang tidak terbatas, maka dikembangkanlah Ilmu Ekonomi. (Nilai à Ilmu)

 

Penjelasan:

Dari sini, sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa kemunculan suatu ilmu itu tidak dapat dipisahkan kehadirannya dari kebutuhan manusia akan terpenuhinya nilai-nilai kehidupan. Manusia mengembangkan ilmu sebenarnya dilandasi akan adanya kepentingan-kepentingan yang ingin dipenuhi.

Mustahil kiranya ketika ada ilmuwan yang mengembangkan suatu ilmu tanpa dilandasi adanya kepentingan untuk memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai. Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison membuat teknologi bola lampu tidak serta-merta karena sekedar iseng ingin membuat sebuah teknologi yang dapat menghasilkan cahaya, namun di balik itu, pastilah dia memiliki sebuah pertimbangan, bahwa pada masa itu, kebutuhan akan suatu penerangan sangatlah tinggi. Maka, beliau berusaha untuk menemukan suatu teknologi yang bisa menjawab permasalahan manusia pada masa itu. Dengan ditemukannya bola lampu, maka kebutuhan akan sebuah nilai berupa penerangan telah terpenuhi. Berawal dari keinginannya untuk memenuhi nilai-nilai kenyamanan, dia melakukan perkembangan ilmu pada bidang tersebut. Ini adalah contoh bagaimana ilmu dikembangkan tidak serta-merta untuk ilmu itu sendiri, melainkan selalu ada kepentingan di belakangnya yang selalu menyertai.

 

Lalu bagaimana menjelaskan nilai yang harus selalu mengawasi perkembangan ilmu? Bukankah ilmu bebas menjelajah bidang kajiannya tanpa batasan-batasan tertentu?

 

Penjelasan:

Manusia hidup di dunia pasti mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan bisa didapat dengan diciptakannya nilai-nilai atau aturan, sehingga bisa menampung dan mengatur kebutuhan manusia supaya bisa mencapai kebahagiaan. Nilai satu dengan lainnya berhubungan secara sistemik, di mana ketika satu nilai terganggu, maka nilai lain akan terpengaruh. Nilai yang seharusnya menjadi alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan, akan tidak bekerja sebagaimana mestinya jika ada pihak yang berusaha melanggar atau keluar dari aturan.

Ilmu, yang memiliki wilayah penjelajahan tersendiri, pun dilarang melanggar nilai-nilai yang ada di masyarakat, karena hakikat kehidupan manusia sebenarnya adalah mencari kebahagiaan. Sehingga, nilai yang berfungsi sebagai pengatur agar manusia bisa mencapai kebahagiaan seharusnya tidak boleh dilanggar sekalipun itu oleh ilmu. Konsekuensinya, ilmu dalam pengembangannya akan selalu dibatasi oleh nilai-nilai yang bersifat universal, misalnya tidak boleh melanggar nilai-nilai kemanusiaan (seperti pada contoh tidak dibolehkannya menggunakan sampel manusia dalam ilmu farmasi).

 

Tinjauan Empiris

Contoh-contoh berikut dapat memberikan tambahan pertimbangan bahwa ilmu tidak bebas-nilai dalam penerapannya di kehidupan manusia:

1. Fenomena Ilmu Sosiologi

Sosiologi sebagai ilmu yang terkenal akan prinsipnya yang bebas-nilai sebenarnya memiliki kepentingan-kepentingan. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu.

            http://lebihcerdasdarienstein.blogspot.com

 

1. Surat Einstein kepada Presiden Roosevelt

Einstein, penemu rumus E=mc2 yang menjadi cikal bakal terbentuknya bom atom, mengirimkan surat kepada Roosevelt, presiden AS pada masa itu. Dalam suratnya, ia meyakinkan kepada presiden untuk secepatnya mengembangkan senjata bom atom sebelum Jerman berhasil mendahului, disebabkan ia khawatir Jerman yang pada masa itu dipimpin oleh NAZI menggunakan senjata itu untuk kepentingannya yang tidak berperikemanusiaan. Kita tahu bahwa NAZI memiliki ideologi yang kuat di mana mereka tidak mengakui ras lain sebagai manusia. Sehingga jika mereka dapat menguasai senjata bom atom terlebih dahulu, dikhawatirkan kekuasaan NAZI atas dunia akan semakin menjadi-jadi.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa ilmu selalu menyandarkan dirinya kepada kepentingan-kepentingan manusia. Dengan kata lain, ilmu bukanlah sebuah realita yang bebas nilai dalam penerapannya di kehidupan manusia, dengan bukti bahwa ilmuwan sekelas Albert Einstein pun memiliki kepentingan di balik penemuan atomnya, Berikut adalah gambar naskah surat Einstein kepada Roosevelt:

 

Gambar 1. : Naskah surat Einstein kepada Roosevelt

http://www.mediaindonesia.com/

 

 

BAB IV: KESIMPULAN

 Ilmu bersifat tidak bebas-nilai

Kesimpulan ini mengandung arti bahwa ilmu tidak bebas nilai dalam penerapannya di kehidupan manusia. Manusia tidak mungkin membiarkan kedua aspek (ilmu dan nilai) berjalan sendiri-sendiri dikarenakan akan merusak tatanan hidup yang dibuat manusia dalam upaya mendapatkan kebahagiaan.

Namun sebenarnya jika dilihat dari substansinya, kedua aspek ini merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Ilmu dan nilai memiliki hakikat dan wilayah penjelajahannya sendiri. Inilah yang sering disalah-artikan oleh beberapa ilmuwan untuk bisa melegitimasi kebenaran paham ilmu yang bebas-nilai.

 

Konsekuensi

Adanya kesimpulan dari paham ini menyebabkan munculnya konsekuensi yang harus dipenuhi, khususnya oleh para ilmuwan yang bersinggungan langsung dengan perkembangan ilmu:

Tanggung Jawab Profesional

Tanggung jawab ilmuwan terhadap dirinya sendiri, sesama ilmuwan, dan masyarakat. Ilmuwan bertanggung jawab terhadap pernyataan ilmiahnya agar selalu benar dan sebisa mungkin memberi pemecahan masalah dalam kehidupan.

 

Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral dan etika. Pengalaman Perang Dunia I (perang kuman) dan II (perang atom) membuktikan bahwa ilmu telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif. Ilmuwan diharapkan menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana

Surajiyo. 2007. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi aksara.

Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara wacana.

Hardiman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Habemas. Yogyakarta: Buku Baik

Suriasumantri. Jujun. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: Gramedia

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara

Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Eight Sun 66

Minggu, 19 Februari 2012

Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai

A.    Ilmu Pengetahuan

Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan

meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini

dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan

membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan

berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat

metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk

karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu

pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah

lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa

meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari

perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan

tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi

sesuai untuk menjadi perawat.

Adapun syarat-syarat dari ilmu yakni Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan

pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada

persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak

terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.

1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama

sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat

ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang

dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya

disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek

penunjang penelitian.

2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya

penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat

cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani

“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang

digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.

3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu

harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk

suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian

sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam

rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum

(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal

merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-

umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat

objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam

ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

B`  .     Bebas Nilai

Bebas nilai merupakan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu

pengetahuan dan karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada

pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.

Namun tuntutan bebas nilai ini tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai lain di luar

nilai yang menjadi taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan harus

tetap peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.

C.    Teori Tentang Nilai

Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru

karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas

pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai

atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas

pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?

Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan

akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam

memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.

Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi

sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.

Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata

melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana

membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi

manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan

Faust-lah yang melahirkan Goethe”.

D.    ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang

didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi

atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan permasalahan di luar

objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang berbau mitologi. Dengan

demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.

Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Hal

ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan

yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan)

terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa

kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak

berkesudahan. Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-

hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad

raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh

pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil

penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada

dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu

objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.

Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang

mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan dikenal

sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan

kata lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan

lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah

yang menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka

ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan

karena ilmuwan berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa

interpretasi, melainkan dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun

paradigma.

Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara otomatis

tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena disibukkan

dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika

ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka

dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang

didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang dikemukakan diuji

kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan

penemuan yang baru. Kemudian di mana letak kenetralan ilmu?

Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering menimbulkan

permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error

sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangannya. Dalam

konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan

kebijakan moral.

Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai (valuebond)

memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan

mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa

terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius,

ekologis dsb.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.inilahjalanku.com/ilmu-antara-bebas-atau-terikat-nilai/

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1872677-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar-populer/

http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2003335-ilmu-bebas-nilai-atau-tidak/

http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu

http://kelikwardiono.wordpress.com/2010/12/21/ilmu-pengetahuan-yang-bebas-nilai/

1. Susanto Semester IV Reguler2. Istianah Semester IV Reguler

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)AL-KHAIRIYAH CILEGON2010

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Kepribadian dan Pengukurannya”. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam, Ibu Eti Sobariah, M.Pd yang telah banyak memberikan kepada kami berbagai ilmu tentang Ilmu Pendidikan Islam khusunya kepada mahasiswa semester IV Reguler. Semoga apa yang beliau ajarkan kepada kami menjadi manfaat dan menjadi amal jariyah bagi beliau di Akherat kelak. Amiin.Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pembahasan mengenai definisi Pendidikan, wewenang dan tanggung jawab.Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Cilegon, 25 februari 2010

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………..……………………………………iDaftar Isi…………………………………………………………………………..iiBab I : A) Pendahuluan……………………………………………………………1B) Tujuan Penulisan……………………………………………………….2C) Rumusan Masalah……………………………………………………...2D) Sistematika Penulisan………………………………………………….2Bab II : Pembahasan A) Pendidikan……….…...……..…………………………………………3a) Sekilas Tentang Pendidikan……..………………………………...3b) Makna Pendidikan Islam…………………………………………..3B) Wewenang…………………………………………..…………...........5C) Tanggung Jawab……………..………………………………………..6a) Sekilas Tentang Tanggung Jawab.………………………………...6b) Pengertian Tanggung Jawab…..…………………………………..7Bab III : PenutupA) Kesimpulan…………………………………………………………..10B) Saran…………………………………………..…………………..….10Referensi…………………………………………………………………………11

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPendidikan adalah suatu yang sakral, karena jika orang tua, guru atau pendidik lainnya salah dalam mendidik anak didiknya, maka hal semacam itu sangat mempengaruhi pada masa depan anak didik tersebut. Maka oleh karenanya dalam pendidikan khususnya pendidikan Islam ada yang namanya Wewenang dan Tanggung Jawab yang harus diketahui oleh para pendidik agar supaya bisa dikatakan sukses dalam mendidik anak didiknya. Sehingga masa depan mereka bagus.Banyak orang mengelak bertanggung jawab, karena memang lebih mudah menggeser tanggung jawabnya, daripada berdiri dengan berani dan menyatakan dengan tegas bahwa, “Ini tanggung jawab saya!” Banyak orang yang sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain.Oleh karena itulah muncul satu peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri,

sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari “kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang merugikan orang lain.Sebagian orang, karena tidak bisa memahami arti dari sebuah tanggung jawab; seringkali dalam kehidupannya sangat menyukai pembelaan diri dengan kata-kata, “Itu bukan salahku!” Sudah terlalu banyak orang yang dengan sia-sia, menghabiskan waktunya untuk menghindari tanggung jawab dengan jalan menyalahkan orang lain, daripada mau menerima tanggung jawab, dan dengan gagah berani menghadapi tantangan apapun di depannya.Banyak kejadian di negara kita ini, yang disebabkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, malah sering dimenangkan atau diberikan bantuan berlebihan oleh lingkungannya dengan sangat tidak masuk akal. Sungguh sangat menyedihkan. Di masa kini, kita memiliki banyak orang yang mengelak bertanggung jawab; karena mereka ini mendapatkan keuntungan dari sikapnya itu.

B. Tujuan PenulisanAdapun tujuan penulisan makalah ini adalah:1. Untuk mempelajari tentang Pendidikan, Wewenang dan Tanggung Jawab.2. Untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang Pendidikan, Wewenang dan Tanggung Jawab3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam.

C. Rumusan MasalahDengan segala keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah kami tidak begitu rinci dalam menjelaskan tentang kepribadian. Adapun yang kami jelaskan di sini rumusan masalahnya sebagai berikut:1. Apa yang dimaksud Pendidikan itu?2. Apa Wwenang itu?3. Bagaimana Tanggung Jawab itu?

D. Sistematika PenulisanMakalah ini disusun dengna sistematika pembahasan yang meliputi: BAB I : PENDAHULUAN Menyajikan latar belakang masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan; BAB II : PEMBAHASAN Membahas tentang Pendidikan, Wewenang dan Tanggung Jawab. BAB II : PENUTUP menyajikan kesimpulan dan saran.

BAB IIPEMBAHASANPENDIDIKAN, WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

A. PENDIDIKANa) Sekilah Tentang PendidikanKata “Pendidikan” adalah kata yang sangat populer dibicarakan banyak orang, sampai-sampai pemerintah Indonesia sekarang menganggarkan dua puluh persen dari APBN dialokasikan untuk pendidikan. Dengan melihat anggaran pendidikan yang besar itu kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah benar-benar memperhatikan yang namanya pendidikan. Tentunya pemerintah berbuat demikian tidak hanya kehendak para penguasa baik yang duduk di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif

semata, akan tetapi hal itu karena kemauan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan sangat tinggi.Jika pemerintah dan masyarakat tidak pernah berhenti membicarakan tentang pendidikan, apalagi kita sebagai mahasiswa di STIT Al-Khairiyah ini. Namanya juga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, otomatis yang selalu dibahas adalah Tarbiyah atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-nya adalah Pendidikan. Jadi semua apa yang diajarkan di sini adalah tentang pendidikan.b) Makna Pendidikan IslamBilamana pendidikan kita artikan seabagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggun jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yan berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia. Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karenanya maka perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam.Sebagai landasan seorang Muslim disebutkan dalam ayat Al-Qur’an : • Artinya :“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron : 19)

Oleh karena itu, bila manusia yang berperedikat Muslim, benar-benar menjadi penganut agama yang baik ia harus mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, mengkhayati dan mengamalkan ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah.Untuk tujuan itulah, manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam. Berdasarkan pandangan di atas, maka pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.Dengan istilah lain, manusia Muslim yang telah mendapatkan pendidikan Islam itu harus mampu di dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagai yang diharapkan oleh cita-cita Islam.Pengertian pendidikan Islam dengan sendirinya adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia Muslim baik duniawi maupun ukhrawi.Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang secara materil bukan Islamis, termasuk ruang lingkup Pendidikan Islam juga, sekurang-kurangnya menjadi bagian yang menunjang.Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh Pendidikan Islam, maka Pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan itu semakin meluas sejalan dengan meluasnya tuntutan hidup manusia itu sendiri.Oleh karena itu, ditinjau dari aspek penamalannya, Pendidikan Islam berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang ruang lingkupnya berada di dalam kerangka acuan norma-norma kehidupan Islam. Hal demikian akan nampak jelas dan teorisasi Pendidikan Islam yang

dikembangkan. Ilmu Pendidikan Islam studi tentang sistem dan proses kependidikan yang berdasarkan Islam untuk mencapai produk atau tujuannya, baik studi secara teoritis maupun praktis.

B. WEWENANGa) Pengertian WewenangMenurut, Lubis Secara etimologis, istilah kewenangan berasal dari kata wewenang. Sedang menurut Bagir Manan istilah wewenang dengan kekuasaan Macht itu berbeda. Kekuasaan menurutnya hanya digambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan wewenang memiliki pengertian yang lebih luas meliputi hak dan kewajiban. Secara teoritik, mengenai kewenangan dapat dilihat pendapat H.D. Stout (Ridwan HR 2006 : mengatakan : ”Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelasakan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum public”Menurut F.P.C.L Tonnaer dalam Ridwan HR:”Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga Negara). Dalam Negara hukum, wewenang itu berasal dari peraturan pemerintah.”Menurut R.J.H.M. Huisman :”Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenangn pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintah tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, ispektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).Pandangan yang melihat lebih jauh pada sisi tindakan yaitu ungkapan P. Nicolai dalam Ridwan HR (2006 : 102)”Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-tindakan yang dilakuakn untuk mengakibatkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tindakan melakukan tindakan tertentu, atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tetentu”Sebagaimana diungkapkan F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan meyebutkan sebagai inti Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi bahwa Kewenangan yang didalamnya terkandung hak dan kewajiban). Dalam hal ini dibagi atas dua cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu dengan cara atributif dan delegasi; bahwa atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.C. TANGGUNG JAWABa) Sekilah Tentang Tanggung JawabAnda tentunya seringkali mendengar istilah Tanggung Jawab, bukan? Makna dari istilah “tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan

orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.Banyak orang mengelak bertanggung jawab, karena memang lebih mudah menggeser tanggung jawabnya, daripada berdiri dengan berani dan menyatakan dengan tegas bahwa, “Ini tanggung jawab saya!” Banyak orang yang sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain.

Oleh karena itulah muncul satu peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari “kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang merugikan orang lain.Sebagian orang, karena tidak bisa memahami arti dari sebuah tanggung jawab; seringkali dalam kehidupannya sangat menyukai pembelaan diri dengan kata-kata, “Itu bukan salahku!” Sudah terlalu banyak orang yang dengan sia-sia, menghabiskan waktunya untuk menghindari tanggung jawab dengan jalan menyalahkan orang lain, daripada mau menerima tanggung jawab, dan dengan gagah berani menghadapi tantangan apapun di depannya.Banyak kejadian di negara kita ini, yang disebabkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, malah sering dimenangkan atau diberikan bantuan berlebihan oleh lingkungannya dengan sangat tidak masuk akal. Sungguh sangat menyedihkan. Di masa kini, kita memiliki banyak orang yang mengelak bertanggung jawab; karena mereka ini mendapatkan keuntungan dari sikapnya itu.b) Pengertian Tanggung JawabPertanggungjawaban bukanlah satu paham Barat, melainkan satu paham yang Islami. Ada sebagian orang yang gemar mengaitkan apapun yang disukainya kepada Barat dan menganggapnya sebagai produk pemikiran Barat. Tanggung jawab adalah bagian dari ajaran Islam yang disebut mas'uliyyah. Tanggung jawab artinya ialah bahwa setiap manusia apapun statusnya pertama harus bertanya kepada dirinya sendiri apa yang mendorongnya dalam berperilaku, bertutur kata, dan merencanakan sesuatu. Apakah perilaku itu berlandaskan akal sehat dan ketakwaan, atau malah dipicu oleh pemujaan diri, hawa nafsu, dan ambisi pribadi. Jika manusia dapat menentramkan hati nuraninya dan merespon panggilan jiwanya yang paling dalam, maka dia pasti bisa bertanggungjawab kepada yang lain. Allah SWT berfirman; • “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’ : 36)Mata yang Anda miliki sehingga Anda dapat melihat dan mengindentifikasi sesuatu, kemudian telinga yang Anda miliki sehingga Anda dapat mendengarkan kebaikan untuk ditransformasikan ke dalam hati dan fisik Anda, serta kalbu yang Anda miliki sehingga Anda dapat merasakan, memutuskan, dan menjatuhkan pilihan dimana esensi manusia terletak pada kalbunya, semua ini adalah sarana yang telah dianugerahkan Allah SWT dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Kita semua harus bertanggungjawab atas apa yang telah kita lihat dengan mata kita; apakah kita melihat? Apakah kita cermat? Apakah kita ingin untuk melihat? Apakah kita ingin untuk mendengar? Apakah kita berniat mengambil keputusan dan mengimplementasikannya? Semua ini adalah tanggung jawab.

Rasulullah SAW bersabda;

�ْم� �ُك �ُّل اٍع� ُك �ْم� َو� َر� �ُك �ُّل ُؤ�َو�ٌل� ُك �ِه� َع�ْن� َم�ْس� �ِت َّي َع� َر�"Kamu semua adalah pemelihara, dan setiap kamu bertanggungjawab atas peliharaannya."Kita semua bertanggungjawab. Hanya saja, semakin luas pengaruh pena, kata-kata, dan keputusan seseorang pada kehidupan manusia, semakin besar tanggung jawab yang dipikulnya. Sebab itu, para pejabat tinggi negara, para pimpinan tiga lembaga tinggi negara, begitu pula pemimpin tertinggi revolusi Islam (Rahbar) hingga seluruh eselon pejabat dan jajaran direksi memiliki tanggung jawab besar atas segala tindakan, keputusan, dan statemen masing-masing. Inilah tanggung jawab dalam ajaran Islam dimana kita semua harus menaruh komitmen padanya. Perkataan orang yang bertanggungjawab berbeda dengan perkataan orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Keputusan orang yang penuh rasa tanggung jawab juga berbeda dengan keputusan orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Sebagai pejabat, kita semua harus berhati-hati atas pernyataan dan keputusan kita. Rasa tanggung jawab inilah yang membuat jabatan layak dihormati. Pejabat dihormati oleh masyarakat adalah karena setiap tindakan dan keputusannya harus terdorong oleh tanggung jawab yang diembannya. Orang yang memiliki rasa tanggung jawab memang patut untuk dihormati. Dan segala sesuatu akan menjadi pelik jika dipegang oleh orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanBilamana pendidikan kita artikan seabagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggun jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yan berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karenanya maka perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran Iistilah kewenangan berasal dari kata wewenang. Sedang menurut Bagir Manan istilah wewenang dengan kekuasaan Macht itu berbeda. Kekuasaan menurutnya hanya digambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan wewenang memiliki pengertian yang lebih luas meliputi hak dan kewajiban.

B. SaranDari penjelasan tentang Masa Dewasa Madya di atas tadi, setidaknya kita sudah mengetahui sedikit tentang keadaan manusia di usia itu. Kita bisa mengukur bagaimana kepribadian diri kita dan kepribadian orang-orang yang ada di sekitar kita. Semoga dengan sedikit pengetahuan tentang kepribadian ini kita bisa merubah kepribadian kita yang kurang baik dan bisa mengingatkan orang yang kepribadiannya kurang baik dalam rangka fastabiqul khoirot.

REFERENSI

Dra. Hj. Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam (IPI) untuk UIN-STAI-PTAIS Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1997.Dra. Hj. Enung K Rukiati. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2006.Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 107- 108