manifestasi klinis nu

36
A. Manifestasi Klinis Gejala utama yang ditemukan adalah ) ( Gunawan, 2006 ): 7, 13 1. Proteinuria masif. Proteinuria > 40 mg/m 2 /jam atau > 50 mg/kg/24 jam atau > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak. Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain. 2. Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua pada sindrom nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin serum < 2,5 g/dl. 3. Edema anasarka. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura. 4. Hiperlipidemia umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Upload: dzaki-luqmanulhakim

Post on 10-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nu

TRANSCRIPT

A. Manifestasi Klinis

Gejala utama yang ditemukan adalah ) ( Gunawan, 2006 ):7, 13

1. Proteinuria masif.

Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam atau > 3,5

g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.

Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM

biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-

pasien dengan tipe yang lain.

2. Hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua pada sindrom

nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin serum

< 2,5 g/dl.

3. Edema anasarka.

Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura.

4. Hiperlipidemia

umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol LDL

dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL

menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi

sempurna dari proteinuria.

5. Hiperkoagulabilitas

yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.

Manifestasi klinik utama sindrom nefrotik adalah sembab, yang

tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali

sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira anak bertambah

gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten. Biasanya

awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan

yang rendah seperti daerah periorbita, skrotum atau labia. Akhirnya

sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka/generalisata) )

( Gunawan, 2006 ).7

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai

sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan kemudian menjadi

sembab pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat

lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita

dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.7

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit

sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang

disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis

albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa

pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom

nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau

pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan

terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien

sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia

umbilikalis dan prolaps ani ) ( Gunawan, 2006 )..7

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura

atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang

menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin

dan diuretik ) ( Gunawan, 2006 ).7

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada

penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik

terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan

merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua

pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta

perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan

dunia sosial anak menjadi terganggu ) ( Gunawan, 2006 ).7

Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe

kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada

daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah

periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan

pitting.  Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak

dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi

berupa takipnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat )

( Gunawan, 2006 ).7

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.

Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC)

menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan

diastolik lebih dari ke-90 persentil umur ) ( Gunawan, 2006 ).7

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal

penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan

kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik

yang bukan SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada

pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang

ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara

langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar

albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering

terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari

kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal ) ( Gunawan, 2006 ).

B. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak

mata,  perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin

yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin

berwarna kemerahan (Prodjosudjadi, 2007)..ped.com

2. Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di

kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema

skrotum/labia. Kadang-kadang  ditemukan hipertensi (Prodjosudjadi,

2007).ped.com

3. Pemeriksaan penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat

disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan

hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap

darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum

dan kreatinin umumnya  normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Urin

a.       Protein

Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein  0,05 –

0,1 gr/kgBB/hr. Proteinuria bisa selektif, yang hanya terdiri dari

albumin saja dengan berat molekul rendah atau non selektif dimana

proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang berberat molekul

rendah sampai yang berberat molekul tinggi yaitu  IgG (Brady HR et al,

2012)

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++ (positif 3).

b.      Sedimen 

Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk adanya

kelainan glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria mikroskopik di

dapatkan pada 25 % kasus SN sensitive-steroid tipe kelainan minimal.

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat sediment yaitu leukosit 2 – 4/

LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel penuh/ LPK (Brady HR et al,

2012)

.

c.       Elektrolit

Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan

dengan retensi natrium dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi

sesuai intake.

2. Darah

a. Protein

Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya meningkat.

Kadar albumin biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan bahkan dapat < 1

gr / dl. Elektroforesis menunjukkan tidak hanya terjadi penurunan

kadar albumin saja, tetapi juga terjadi peningkatan 2-globulin dan

peningkatan ringan -globulin serta penurunan -globulin.IgG

menurun bermakna, IgA menurun sedikit, IgM meningkat, sementara

IgE normal atau meningkat. Tidak selalu didapatkan kelainan kadar

komplemen C3 dan C4. Biasanya kadar komplemen C3 menurun pada

tipe bukan kelainan minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun

oleh karena terbuang melalui urin, merupakan salah satu penyebab

hiperkoagulobilitas pada anak dengan sindrom nefrotik. Kadar

beberapa komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat,

sehingga menimbulkan risiko trombosis .

Pada kasus ini didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan

albumin 2,0 mg/100 mL (Brady HR et al, 2012)

.

b.      Lemak

Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :

-   Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan

lipoprotein.

- Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan aktivitas

lipase lipoprotein.

- Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan lepasnya HDL

melalui urin.

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total 361 mg/100 mL.

c.       Urea, Kreatinin, Elektrolit

Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal,

tetapi pada beberapa kasus dapat meningkat. Elektrolit serum

biasanya tetap dalam batas normal.

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan

creatinin 0,16 mg/100 mL.

d.      Hematologi

 Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat dalam

korelasi terbalik dengan volume plasma. Dapat terjadi anemia. Umumnya

terjadi peningkatan jumlah trombosit.3 Pada kasus ini didapatkan hasil

laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit 591.000/mm3, Ht 35%, leukosit

13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.

D. PATOGENESIS

1. Permeabilitas Glomerulus

Pada orang sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma melewati barier

filtrasi glomerulus. Hingga saat ini, masih ada perdebatan mengenai

saringan yang dilewati albumin pada barier filtrasi glomerulus.

Perdebatan tersebut mengenai albumin yang terus-menerus berada di

dalam urin yang ekuivalen dengan uptake albumin di glomerulus.

Hasilnya, jumlah albumin di urin kurang lebih 80 mg atau kurang

setiap hari. Perdebatan ini didasarkan pada studi yang dilakukan pada

binatang percobaan. Namun, studi yang dilakukan pada manusia

dengan defek transport tubular mengesankan bahwa jumlah

konsentrasi albumin di urin adalah 3,5 mg/l. Dengan jumlah sebesar

ini, dan glomerular filtration rate (GFR) per hari 150 liter,

diperkirakan tidak lebih dari 525 mg albumin yang ada di urin per hari.

Jumlah di atas merupakan batas nilai albumin yang mengarah ke

glomerular diseases (ISKDC, 2012).12

Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang

menduduki membran basement glomerulus dan ditutupi oleh epitel

glomerulus atau podosit. Podosit merupakan selubung kapiler dengan

perpanjangan seluler yang disebut foot processes. Diantara foot

processes merupakan celah filtrasi. Barier filtrasi glomerulus terdiri

atas 3 struktur, yaitu endotelium fenestrasi, podosit, dan epitel

glomerulus. Gambar 1 merupakan gambaran skematik dari barier

filtrasi glomerulus (ISKDC, 2012).12

Gambar 4. Gambaran skematik barier filtrasi glomerulus. Podo = podosit; GBM = glomerular basement membrane; Endo =

fenestrated endothelial cells; ESL = endothelial cell surface layer (sering disebut juga glycocalyx). Urin primer dibentuk melalui filtrasi cairan plasma melewati barier filtrasi glomerulus (tanda panah). Glomerular filtration rate (GFR) pada manusia adalah

125 ml/menit. Plasma flow rate Qp = 700 ml/menit, dengan fraksi filtrasi mencapai 20%. Konsentrasi albumin serum = 40 g/l, sedangkan perkiraan konsentrasi albumin dalam urin primer adalah 4 mg/l, atau 0,1% dari konsentrasi di plasma (ISKDC,

2012).12

2. Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian

besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular)

dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria

tubular). Perubahan integritas membran basalisglomerulus

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap

protein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin

adalah albumin. Derajat proteinuria tidak berhubungan dengan

langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Lewatnya

protein plasma yang berukuran lebih dari 70 kD melalui

membrana basalais glomrulus normalnya dibatasi oleh charge

selective barrier dan size selective barrier. Charge selective

barrier merupakan suatu polyanionic glycosaminoglycan. Pada

nefropati lesi minimal, proteinuria disebabakan terutama oleh

hilangnya charge selective barrier, sedangkan pada nefropati

membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya charge

selective barrier (ISKDC, 2012).1,8

3. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui

urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis

protein di hati biasanya meningkat. Namun, masih tidak

memadai untuk menggantikan kehilangan albumin dalam urin

(ISKDC, 2012).1,8

4. Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low

density lipoprotein, trigliserida meningkat, sedangkan high

density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau

menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar

dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran

lipoprotein, VLDL, kilomikron, dan intermediate density

lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid

distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan

tekanan onkotik (ISKDC, 2012).8

5. Edema

Menurut teori underfill, edema pada sindrom nefrotik disebabkan

oleh penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia

dan retensi natrium. Hipovolemia menyebabkan peningkatan

renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin serta

penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus

albumin akan meningkatkan volume, meningkat laju filtrasi

glomerulus dan eksresi fraksional NaCl dan air yang

menyebabkan edema berkurang (ISKDC, 2012).1,8

Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi

volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah

serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha

menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa

pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan

bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat

pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis

(ISKDC, 2012)1,8

6. Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen

urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui

membrana basalis glomerulus yang permeable ( Gunawan,

2006 ).6

7. Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,

protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan

meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,

peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel

serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI) ( Gunawan,

2006 ).6

8. Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan

lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme

menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri

berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella,

Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang

diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis

( Gunawan, 2006 ).6

E. PENATAKLASANAAN

1. Penatalaksanaan non Farmakologi

a. Penatalaksanaan Diet

Belum ada konsensus yang mengatur diet yang optimal bagi pasien SN.

Diet tinggi protein untuk mencegah malnutrisi protein tidaklah

membantu. Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila dijumpai

bukti defisiensi vitamin D.3

Pada SN dilakukan restriksi protein dengan diet protein 0,8

gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin dalam 24 jam. Bila fungsi

ginjal menurun, diet disesuaikan hingga 0,6 mg/kgBB ideal/hari +

ekskresi protein urin 24 jam. Diet rendah garam dan restriksi cairan pada

edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pasien diharuskan berhenti

merokok.

2. Penatalaksanaan Farmakologi Terapi Lama

a. Penatalaksanaan Edema

Pemberian diuretik ditujukan untuk menekan edema dengan

memobilisasi cairan dari sirkulasi. Dosis perlu dipertimbangkan agar

pasien dapat mengalami reduksi edema dengan penurunan berat badan 1-

2 pon setiap harinya bahkan pada pasien dengan edema masif karena

hipotensi dapat terjadi bila cairan hilang terlalu cepat. 11 Beberapa

diuretika yang sering dipakai ialah

1) Furosemide (loop diuretic) dapat dipakai sebagai diuretika tunggal.

Dosis dinaikkan sampai timbul diuresis. Diperlukan suplementasi

kalium 15 Pemberian furosemid direkomendasikan 40 mg sehari. Bila

tidak ada respon dosis dinaikkan menjadi 40 mg setiap 12 jam hingga

dosis maksimal 160 mg tercapai. Jika masih tidak memberikan

respon maka ditambahkan diuretik lainnya seperti metolazon yang

bersifat potensiasi terhadap diuretik loop. Hampir semua pasien

memberikan respon terhadap terapi oral walaupun beberapa

memerlukan furosemide 160 mg plus metolazone 10 mg dua kali

sehari untuk mencapai efek yang diinginkan (Yogiantoro M, 2012)

.11

2) Spironolakton, sebaiknya dihindari jika kadar kalium serum tinggi

atau pasien mengalami gangguan fungsi ginjal

3) Klortiazid memiliki kerja sinergistik dengan furosemide dan

spironolakton.

Gambar 1. Proses terbentuknya pada sindrom nefrotik (Yogiantoro M, 2012) 9

Penderita SN kadang menunjukkan resistensi terhadap diuretika

yang sering digunakan dan sering memerlukan pengobatan dengan dosis

tinggi diuretika loop (misalnya furosemide, torsemide, bumetanide).

Resistensi diuretika loop dapat diterangkan melalui ikatannya terhadap

albumin dan protein yang lain. Obat-obatan ini masuk ke dalam lumen

nefron melalui sekresi aktif lewat sel-sel tubulus proksimal. Jika terjadi

proteinuria berat, obat yang disekresikan terikat protein di lumen tubulus,

membatasi kemungkinannya untuk berikatan dengan reseptor-reseptor

pada bagian nefron yang lebih jauh. Resistensi ini diatasi dengan

meningkatkan dosis obat. Untuk mendapatkan diuresis yang cukup sering

diperlukan kombinasi diuretika loop dan diuretika mirip thiazide

(Yogiantoro M, 2012) . 12

Diuretika yang berlebihan dapat mempercepat kekurangan volume

dan gagal ginjal akut-suatu fenomena yang sering dijumpai pada penderita-

penderita dengan minimal change disease. Dalam penatalaksanaan edema

jarang sekali diberikan diuretik intravena atau infus albumin untuk

menekan edema tetapi kombinasi infus albumin dan diuretika loop

mungkin diperlukan untuk mencapai diuresis pada penderita-

penderita dengan hipoalbuminemia berat (Yogiantoro M, 2012) .11

b. Penatalaksanaan Proteinuria dan hipertensi

Proteinuria adalah petanda utama penyakit ginjal. Proteinuria dapat juga

digunakan sebagai penentu prognosis. Penderita glomerulonefritis yang

mengalami ekskresi protein urin lebih dari 1 gram perhari, biopsi

ginjalnya sangat mungkin menunjukkan glomerulosklerosis atau scarring.

Sedang mereka yang proteinurianya lebih dari 2 gram sehari, follow up

jangka panjangnya menunjukkan insiden untuk mengalami gagal ginjal

yang lebih tinggi. Dulu dipercaya proteinura adalah akibat kerusakan

ginjal, tetapi akhir-akhir ini bukti-bukti menunjukkan bahwa

kebalikannya juga benar; yaitu proteinuria dapat langsung menyebabkan

kerusakan ginjal (Yogiantoro M, 2012) . 12,13

Gambar 2. Proses kerusakan ginjal akibat proteinuria12

Jika ada kebocoran protein yang berlebihan dalam tubulus ginjal,

sel-sel tubulus proksimal (Proximal Tubular Cells - PTC) menjadi

kelebihan beban protein. Lysosome PTC akan membengkak jika menelan

protein ini, kemudian pecah dan melepaskan enzym-enzym lysosome,

sehingga timbul kerusakan tubulo-interstitiel disertai fibrosis yang

memicu gagal ginjal. Kelebihan protein pada PTC juga mendorong

pelepasan faktor pertumbuhan seperti PDGF dan transforming growth

factor-beta (TGF-β) yang mitogenik pada PTC. Materi ini memicu

produksi kolagen berlebihan serta proliferasi sel-sel interstitiel yang

menimbulkan fibrosis dan gagal ginjal. Beban protein PTC juga

menyebabkan aktivasi gen-gen transkriptase, pelepasan bahan vasoaktif

pengkode gen-gen dan mediator peradangan. Pelepasan ini memicu

vasokonstriksi dan peradangan jaringan ginjal sehingga akhirnya teradi

kerusakan dan gagal ginjal (Gambar 2) (Yogiantoro M, 2012) .12

Saat ini pengobatan untuk mengurangi proteinuria pada penyakit

ginjal dianggap penting seperti halnya penurunan tekanah darah pada

penderita hipertensi karena keduanya penting untuk memelihara fungsi

ginjal. Dalam keadaan normal, setiap hari kedua ginjal mengeksresi

kurang dari 150 mg protein dalam urin. Proteinuria pada penderita-

penderita di atas harus diturunkan serendah mungkin hingga mencapai

batas di bawah 0,5 gram sehari. Salah satu cara terbaik melindungi ginjal

dari kerusakan akibat proteinuria ialah menggunakan ACE Inhibitor

(Yogiantoro M, 2012) . 12

Pada kondisi sesungguhnya yang dihubungkan dengan

proteinuria, ada fenomena hiperfiltrasi glomerulus (Glomerular

Hyperfiltration - HF) yang menginduksi proteinuria disamping efek

imunologis langsung dari glomerulonefritis yang juga menyebabkan

kerusakan ginjal dengan kebocoran protein ke dalam urin. HF adalah

kondisi akiba glomerulus rusak atau sklerosis. Glomerulus disekitarnya

yang masih normal kemudian menjadi sasaran aliran darah berlebihan

dengan vasodilatasi arteriol glomerulus aferen (Yogiantoro M, 2012) . 12

Gambar 3. Fungsi glomerulus dan penghambatan ACE menurut Lewis15

Pada arteriol glomerulus eferen, terjadi vasokonstriksi dimediasi

Angiotensin II (ATII). Aliran darah meningkat saat masuk dari arteriol

aferen dan menurun saat keluar dari arteriol eferen memicu kelebihan

darah glomerulus dan meningkatkan tekanan darah

intraglomerulus(Intraglomerular Hypertension,IG-HPT). Pada awalnya

IG-HPT dihubungkan dengan peningkatan GFR satu nefron disertai

kebocoran protein dalam urin. Seiring berjalannya waktu, timbul

kerusakan ginjal disertai sklerosis ginjal akibat IG-HPT dan akhirnya

terjadi gagal ginjal (Yogiantoro M, 2012) . 12

Penghambatan kerja AT-II dengan ACE inhibitor pada arteriol

glomerulus eferen memicu vasodilatasi sehingga menurunkan IG-HPT dan

mempertahankan fungsi ginjal (Gambar 3). Sekitar 20 - 30% pasien yang

mendapat ACE Inhibitor akan mengalami efek samping batuk kering dan

menjadi lebih berat jika ada infeksi saluran napas. Pada pasien ini, dianjurkan

ARB yang tidak memiliki efek samping batuk. ARB bersaing dengan

reseptor angiotensin dan karena itu menghambat kerja angiotensin. Obat ini

sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam menurunkan proteinuria dan

memelihara fungsi ginjal (Yogiantoro M, 2012) . 12

Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat

memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis

interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi

molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI

dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada

glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.

Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati

membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan

sintesis prostaglandin (Yogiantoro M, 2012) 1.

Dengan menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, target awal

penurunan proteinuria adalah 50%. Dengan kata lain, dosis ACE

Inhibitor atau ARB kalau perlu harus dinaikkan secara bertahap sampai

mecapai dosis maksimum untuk mencapai penurunan proteinuria yang

efektif (Yogiantoro M, 2012) . 12,14

Penggunaan ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor

Antagonist (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB) Non

Dehydropiridine (DHPP) (antagonis kalsium juga mempunyai sifat

antiproteinuria) ditujukan untuk menekan GFR dan membatasi

kehilangan protein dalam urin (Roth et al, 2011) (Yogiantoro M, 2012) . 12

OAINS dapat menekan proteinuria melalui reduksi GFR. Efek

samping akibat inhibisi prostaglandin seperti efek dinamik perfusi ginjal,

pembentukan efema, hiperkalemia dan oksisitas renal telah membatasi

pemakaian obat ini. Demikian pula dengan inhibitor selektif

siklooksigenase II (COX-II) yang juga menunjukkan manfaatnya dalam

menekan proteinuria (Roth et al, 2011). 5

Pemberian heparin jangka pendek juga dapat menekan

proteinuria dan memperbaiki insufisiensi ginjal. Walaupun demikian,

glikosaminoglikan, bagian membran basal glomerulus, seperti halnya

heparin bekerja sebagai polianion dan antagonis efek merusak polikation

seperti protamin sehingga turnover sel mesangial menurun. Pada kasus

diabetes melitus akibat gangguan degradasi matriks ekstraseluler,

glikosaminoglikan dapat memodulasi defek ini pada glomerulus dan

retina dengan menghambat kaskade TGF-β. Saat ini glikosaminoglikan

tersedia sebagai medikasi oral non antikoagulan (Roth et al, 2011).5,14

Pemberian antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan

proteinuria, atau dengan kadar albumin dibawah 20 g/l atau keduanya

mengingat risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Pada SN, trombosis

arterial lebih jarang dijumpai daripada trombosis vena tetapi komplikasi

serius ini menyebabkan morbiditas penting. Pasien SN dengan trombosis

arteri plmonal dan tromboemboli saat ini dapat diterapi dengan

trombolitik seperti pemberian urokinase intravena atau streptokinase

yang diinfuskan dalam arteri pulmonalis (Roth et al, 2011).3

Bila pasien memiliki komplikasi tromboemboli simptomatis

maka heparin harus diberikan walaupun efeknya cukup kuat karena kadar

anti trombin III menurun. Fungsi trombosit meningkat, akibatnya perlu

diberikan inhibitor agregasi trombosit misalnya aspirin dosis rendah

sebagai pilihan yang rasional walaupun belum ada studi terkontrol yang

mendukung (Roth et al, 2011) 3

c. Penatalaksanaan dislipidemia

Sindrom nefrotik menyebabkan lipiduria : sedimen urin dalam cahaya

terpolarisasi memberikan gambaran ”Maltese crosses” ang merupakan

ester kolesterol yang terikat pada protein. Sindrom nefrotik juga

menyebabkan hiperlipidemia (Roth et al, 2011). 11

Pada sebuah penelitian di Amerika Serikat ditemukan sekitar

87% pasien SN memiliki kadar kolesterol diatas 200 mg/dl, 53% diatas

300 mg/dl dan 25% diatas 400 mg/dl. Kadar kolesterol diatas 600 mg/dl

jarang dijumpai (Roth et al, 2011). 11

Pada penelitian yang sama, dijumpai peningkatan LDL dimana

77% kasus menunjukkan kadar LDL diatas 130 mg/dl dan 65% kasus

menunjukkan kadar LDL diatas 160 mg/dl (Roth et al, 2011). 11

Mekanisme hiperlipidemia tidak diketahui. Kadar albumin

rendah dan tekanan osmotik rendah dapat memicu hati meningkatkan

sintesis lipoprotein untuk mengikat kolesterol. Teori lain menyatakan

hilangnya protein regulator dalam urin memberikan umpan balik dan

meningkatkan produksi lipid elevating lipoprotein dalam hati. Walaupun

hati pada SN menghasilkan lipoprotein tetapi kadar HDL tidak

meningkat. Kadar HDL-2 sebagai faktor protektif aterosklerosis

seringkali rendah (Roth et al, 2011) . 11

Penatalaksanaan hiperlipidemia ini ditujukan untuk menekan

kadar kolesterol hingga berada dibawah 200 mg/dl dan kadar LDL

dibawah 100 mg/dl. Beberapa obat yang dapat diberikan pada

penatalaksanaan hiperlipidemia ialah :

3. Golongan statin ; lovastatin dapat menekan kolesterol total, LDL dan

trigliserida. Makin poten obat statin ini maka efek reduksinya juga makin

tinggi. Statin dapat memperbaiki fungsi endotel dan memperlambat

progresivitas penyakit ginjal serta menekan albuminuria pada beberapa

kasus (Yogiantoro M, 2012). 11

a. Hydroxymethylglutrayl coenzyme A reductase inhibitors memiliki

efek menekan lipid yang kuat terutama pada dislipoproteinemia

akibat SN, berperan menekan aterosklerosis dan progresivitas

ginja(Yogiantoro M, 2012) l.5

b. Torcetrapib merupakan obat yang sedang dikembangkan. Mekanisme

kerjanya melalui blok protein transfer ester kolesterol sehingga dapat

meningkatkan kadar HDL (Yogiantoro M, 2012).11

4. Penatalaksanaan kausal

1. Pemberian kortikosteroid

a. Pada MCD dapat diberikan serial prednisolon dimulai dosis 60 mg

atau 1 mg/kgBB.hari dan diturunkan secara bertahap dalam periode 3

bulan. Bila dijumpai kegagalan maka dipertimbnagkan

siklosfosfamid

b. Pada glomerulonefritis proliferatif mesangial difus ringan, pemberian

prednisolon juga dapat memberikan hasil yang baik

c. Pada glomerulonefritis membranosa biasanya memberikan respon

pada pemberian prednisolon selama 3 bulan

d. Pada FSGN, respon yang baik dapat tercapai dengan pemberian

prednisolon dan siklosfosfamid selama 6 bulan, bila gagal

dipertimbangkan siklosporin (Yogiantoro M, 2012) 12

Efek samping dari pemberian kortikosteroid sangat banyak dan

memiliki korelasi dengan dosis kumulatif. Efek samping seperti obesitas,

hirsutisme, hipertensi arterial dan gangguan psikologi biasanya bersifat

reversibel setelah terapi dihentikan, namun striae dan katarak tidak

reversibel. Disamping itu gangguan pertumbuhan terjadi pada pasien

yang mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang setiap harinya,

sedangkan pada pasein yang mendapat terapi kortikosteroid jangka

panjang dengan pemberian selang sehari tidak dijumpai gangguan

pertumbuhan (Yogiantoro M, 2012).3

2. Penggunaan obat sitotoksik

Beberapa obat sitotoksik yang digunakan sebagai obat immunosupresif

pada sindrom nefrotik ialah :

1) Siklofosfamid

Siklofosfamid diberikan untuk induksi remisi pada

a. MCD dan nefritis lupus yang tidak memberikan respon

terhadap prednison dan sering mengalami kekambuhan.

Siklofosfamid yang dianjurkan ialah 2 mg/kgBB selama 3

bulan. Bila gagal dengan siklofosfamid maka diberikan

siklosporin. 12

b. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus yang gagal

memberikan respon terhadap prednison

c. Glomerulonefritis membranosa yang gagal memberikan

respon terhadap prednisolon selama 3 bulan

d. FSGS primer, diberikan bersama prednison selama 6 bulan.

Jika gagal dapat diberikan siklosporin (Yogiantoro M, 2012) 12

2) Siklosporin. Siklosporin bekerja dengan menghambat produksi

interleukin 2 dan telah digunakan dalam transplantasi sejak tahun

1980. Penggunaannya dalam glomerulonefritis diuji-coba mulai

tahun 1986. Mekanisme kerjanya pada glomerulonefritis tidak

diketahui. Siklosporin memberikan efek samping hipertensi dan

nefropati.7 Beberapa indikasi siklosporin ialah :

a. MCD dan nefritis lupus yang gagal terhadap terapi

siklofosfamid, diberikan serial siklosporin 5 mg/kgBB

selama 3 bulan dan diturunkan dalam 3 bulan berikutnya

(Yogiantoro M, 2012).12

b. FSGS yang tidak memberikan respon terhadap prednison dan

siklofosfamid 12

Klorambucil A. Pemberian klorambucil dapat menginduksi

remisi bebas steroid yang lebih lama terutama pada anak

dengan FRNS dan SDNS dan efeknya setara dengan

siklosfosfamid atau bahkan lebih baik. Dosis yang diberikan

sekitar 0,2 mg/kgBB selama 8 hingga 12 minggu.

Kemungkinan risiko terjadinya keganasan hematologi lebih

tinggi pada klorambucil dibandingkan dengan siklosfosfamid

(Schwarz A, 2011).. 12

3) Takrolimus, bekerja dengan memblok aktivasi interleukin-2 dalam

sel T dan digunakan pada beberapa kasus resistensi seperti halnya

siklosporin (Schwarz A, 2011).. 5

4) Mizoribine (MZR). Penelitian di Jepang memunculkan Mizoribine

(MZR) sebagai agen imunosupresan novel dengan kemampuan

inhibisi ioosin monofosfat dehidrogenase yang memicu efek inhibisi

proliferasi sel T dan sel B. MZR digunakan tanpa efek samping

serius pada kasus tranplantasi ginjal dan semua kasus SN. Walaupun

demikian pemakaian MZR ini masih terbatas dalam SN dan belum

seluas agen lainnya seperti siklosfosfamid maupun siklosporin.

Namun pemakaian terapi MZR oral pada pasien SRNS dengan

kombinasi prednison memberikan efek anti proteinurik yang kurang

adekuat (Schwarz A, 2011).5

5) Mycophenolate Mofetil (MMF) bekerja menghambat sintesis purin

de novo sehingga menekan proliferasi sel B dan T, demikian pula

dengan proliferasi sel otot polos dan fibroblas sehingga dapat

melindungi ginjal dari penyakit yang progresif.5 Bersama FK 506,

dosis 0,1-0,2 mg/kgBB/hari, MMF diberikan pada dosis 0,75-1 g

dua kali sehari selama 3 bulan (Yogiantoro M, 2012) . 12

A. Tindak Lanjut

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,

remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<

200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis

lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin

serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih

edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan

perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid )

( Gunawan, 2006 ).. 1

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati

lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa

dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek

samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik,

katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus (Gunawan, 2006).

3. Penataklaksanaan Terapi Farmakologis Terbaru

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah

tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi

pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam

waktu 10-14 hari (ISKDC, 2012).

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan

sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut:

Tabel 2.  Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom

nefrotik

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau

proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari

berturut-turut

Kambuh Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40

mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut,

dimana sebelumnya pernah mengalami remisi

Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4

kali dalam periode 12 bulan

Kambuh sering Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama

setelah respons awal,  atau  ³ 4 kali kambuh

pada setiap periode 12 bulan

Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid

saja

Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama

masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu

14 hari setelah terapi steroid dihentikan

Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah

diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari

selama 4 minggu

Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi

prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan

terapi lain

Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal

Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang

sebelumnya responsif-steroid

PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan

untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60

mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian

dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari

dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan

dihentikan (ISKDC, 2012)..

A. Sindrom nefrotik serangan pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita (ISKDC, 2012).

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak.

Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama

pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium

sampai ± 1 gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam

secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3

gram/kgBB/hari.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi

plasma atau albumin konsentrat

c. Berantas infeksi

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi

e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema

anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau

mengganggu aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali,

bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila

edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari).

Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan

hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan

intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat

antihipertensi (ISKDC, 2012).

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari

setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah

penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari

terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam

waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan

prednison tanpa menunggu waktu  14 hari (ISKDC, 2012).

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis

relapse ditegakkan

2. Perbaiki keadaan umum penderita

a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau

< 4 kali dalam masa 12 bulan (ISKDC, 2012)..

1.     Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal

80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3

minggu

2.     Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,

diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4

minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

b. Sindrom nefrotik kambuh sering

adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau

> 4 kali dalam masa 12 bulan

1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal

80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3

minggu (ISKDC, 2012).

2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam,

diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4

minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40

mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48

jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,

akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison

dihentikan (ISKDC, 2012).

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3

mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu

siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi

anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen,

terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid,  atau untuk biopsi ginjal

(ISKDC, 2012)..

1. Gunawan C. Sindrom Nefrotik : Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran

2. Yogiantoro M. The Management of Nephrotic Syndrome. Dalam : Adi S, Setiawan PB, Yogiantoro M, Pranawa, Tjokroprawiro, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVI. Surabaya 18-19 Agustus 2012. h.95-111

3. Schwarz A. New Aspect of Treatment of Nephrotic Syndrome. J Am Soc Nephrol 2011;12:544-47

4. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic Syndrome : Pathogenesis and Management. Pediatr Rev 2002;23:237-44

5. International Study of Kidney Disease in Children, 2012. Nephrotic

syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and

laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int. 13:159.

6. Brady HR, O’Meare Y, Brenner BM. The Major Glomerulopathies. Dalam : Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-15. Mc Graw Hill 2012. h 1584-88

7.