maman abdul rahman 108043200013repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27945...maman...
TRANSCRIPT
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Maman Abdul Rahman
108043200013
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iv
ABSTRAK
MAMAN ABDUL RAHMAN : 108043200013. PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK , Skripsi. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. 1 x 82 halaman + 75 Lampiran
Masalah pidana anak yang bermula dari kenakalan anak dewasa ini
merupakan persoalan yang aktual, hampir disemua negara-negara di dunia
termasuk Indonesia. Pidana anak diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan
yang dianggap sebagai kenakalan anak (juvenile delinquency). penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan seseorang yang termasuk dalam kategori anak menurut hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia.
Penelitian ini merupakan kajian literatur dengan pendekatan normatif
yang dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka (library research),
yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak dan elektronik atau bahan bacaan
lain yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana anak. Dalam
pada ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Dalam Hukum Islam pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan
kepada anak yang telah baligh, adapun ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan oleh
ulil amri sebagai bentuk pendidikan, pengajaran dan perbaikan diri yang
disesuaikan dengan kondisi psikologi anak.
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan diatas, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana anak menurut UU
No. 11 Tahun 2012 dengan hukum Islam sama-sama menitik beratkan kepada
pengurangan hukuman kepada anak dan hukuman yang diberikan sifatnya adalah
mendidik. Sedangkan perbedaannya terletak pada ketentuan kategorisasi anak dan
hukuman yang dijatuhkan.
Kata kunci : pertanggungjawaban pidana, pidana anak, peradilan anak.
Pembimbing : Dr. Asmawi, M.Ag
Daftar Pustaka : tahun 2001 s/d tahun 2012
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحـن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik,
sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UU NO. 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK “ disusun sebagai salah
satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum dan Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Sekretaris Program
Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang
selalu memberikan arahan, saran, dan motivasi selama penulisan skripsi
ini.
4. Bapak Dr. H. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A., selaku Dosen
Penasehat Akademik.
5. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis
mendapatkan referensi dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam
mengadakan studi perpustakaan.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan berbagai wawasan ilmu pengetahuan dari awal hingga
akhir masa studi ini.
7. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta ayahanda H. Kamaludin dan
ibunda Nyai Rusmiati yang rela memberikan segala pengorbanannya baik
harta maupun jiwa demi membesarkan penulis agar dapat tumbuh bahagia,
serta saudara-saudariku tersayang kakanda Daden Ahmad Ridwan, Dasep
Ahmad Rukbi, S.Pd.I, Jamaludin, Cucu Syamsul Romli, adinda Empay
Ja’far Sidik, S.Kom, Anwar Fauzi, Ahmad Hasan Sajili, Hilyatul Millah,
dan Ari Asy’ari yang selalu memberikan doa dan semangat untuk penulis.
8. Pendiri sekaligus Pengasuh PP Daar El-Hikam Ciputat Abi K.H. Bahrudin,
S.Ag dan Umi Tuti Rosmaya, A.Md. yang telah memberikan ilmu dan
keberkahannya kepada Penulis, serta keluarga Besar ISDAH (Ikatan Santri
vii
Daar El-Hikam). Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan
ridho-Nya.
9. Teman-Teman kelas Perbandingan Hukum Tahun 2008, Rizki Syafa’at
Nur Rahim, S.Sy., Imron Rosyadi, S.Sy., Robbi Chahyadi S.Sy.,
Muhammad Syafe’i, S.Sy., Fandi Ahmad, S.Sy, Septianto Purnomo
Akhsan, S.Sy., H. Imam Taufik, S.Sy., Rian Badruzzaman, S.Sy., Hayyu
Arrafika, Rudi Haryanto, Sigit Budiyono, Nawa-ul Hurriyah dan Gesa
Romadhona Aulia serta kawan-kawan PMH angkatan 2008 yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih kawan untuk masa-masa
yang menyenangkan di kampus.
Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat
memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap
orang yang membaca.
Bogor, 10 Nopember 2014
Penulis
MAMAN ABDUL RAHMAN
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................................................
PENGESAHAN TIM PENGUJI ..........................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11
D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu ................................. 12
E. Metode Penelitian .................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM
PIDANA POSITIF
A. Pengertian Anak dan Batasannya ............................................ 19
B. Anak Menurut Perspektif Psikologi ........................................ 23
C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif ................. 27
D. Kesalahan ................................................................................ 28
E. Kemampuan Bertanggungjawab ............................................. 30
F. Alasan Penghapusan Pidana .................................................... 32
G. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Dalam KUHP… 33
ix
H. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Luar KUHP ...... 35
BAB III : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Anak Menurut Hukum Islam ................................................... 37
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam .................. 46
C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ................................... 50
1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbâb al-Ibâhah) .............. 50
2. Disebabkan Hapusnya Hukuman (Asbâb Raf’i al-‘Uqâbah) 53
BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UU NO.
11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK
A. Segi Hukum Pidana Nasional Tentang Anak Sebagai Pelaku
Kejahatan.................................................................................. 59
B. Ketentuan Batas Umur Anak ....................................................... 61
C. Jenis Pidana Anak ............................................................................ 67
D. Penjatuhan Pidana dan Tindakan ............................................. 68
E. Sanksi Pidana Bagi Anak ......................................................... 71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 78
B. Saran ........................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir kedunia dalam fitrah
atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang
anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat. Anak nakal itu merupakan anak
yang wajar-wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki
kenakalan anaknya berlebihan hingga menjurus ke tindak pidana. Pada
kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika
ditelusuri, seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak
bermasalah yang hidup ditengah keluarga atau pergaulan sosial yang tidak
sehat.1
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah amanah dan karunia
Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang
wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara.2
Keberadaan anak yang ada dilingkungan kita memang perlu mendapat
perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya
kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas
1 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia,( Bandung :
Mandar Maju, 2005), h. 1 2 Jufri Bulian Ababil, Raju Yang Diburu Buruknya Peradilan Anak Di Indonesia,
(Jogjakarta:Pondok edukasi), 2006, h.1
2
kontrol, ia melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan
orang lain atau merugikan diri sendiri.
Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa
pertubuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari
lingkungan pergaulannya. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali,
kenakalan anak sudah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga
perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan kejahatan
harus berhadapan dengan dengan aparat hukum untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya.3
Pada akhir abad ke-19 keprihatinan mulai melanda negara-negara
Eropa dan Amerika, kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda
jumlahnya meningkat. Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu
perlakuan terhadap perilaku kriminal disamakan terhadap anak maupun orang
dewasa, sehingga diberbagai negara dilakukan usaha-usaha ke arah
perlindungan anak. Termasuk dalam upaya ini yaitu dengan dibentuknya
pengadilan anak (Juvenile Court) pertama di Minos, Amerika Serikat tahun
1889, dimana undang-undangnya didasarkan pada azas parent patrie, yang
berarti ”penguasa harus bertindak apabila anak-anak yang membutuhkan
pertolongan”, sedangkan anak dan pemuda yang melakukan kejahatan
sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.
Demikian pula halnya di Inggris, disini dikenal dengan apa yang
dikatakan hak preogratif Raja sebagai Parens patriae (untuk melindungi
3 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta:Djambatan, 2007), h. 1
3
rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuannya). Dengan demikian,
dalam sejarah ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak senatiasa
ditujukan guna menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bahkan
cenderung membahayakan bagi anak, eksploitasi terhadap anak dan
kriminalisasi terhadap anak.4
Lalu bagaimana halnya di Indonesia sendiri, kurang lebih sejak tahun
1954 di Indonesia terutama di Jakarta, sebagai ibukota negara, sudah terbentuk
hakim khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai
prayuwana, tetapi penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orang-
orang dewasa. Tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap kenakalan remaja
semakin membaik, terbukti dengan dikirimnya beberapa ahli dari berbagai
departemen ke luar negeri untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut
junevile delinquency, terutama sejak penyelidikannya sampai cara
penyelesaianya di muka pengadilan. Adapun departemen yang dimaksud
adalah kejaksaan, kepolisian dan kehakiman. Sekembalinya dari luar negeri,
maka dibentuklah agrement secara lisan antara ketiga instansi diatas untuk
mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana.
Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum
merupakan salah satu usaha penting dalam rangka menciptakan tata tertib
ketentraman dalam masyarakat, baik yang bersifat preventif maupun represif,
setelah terjadinya pelanggaran hukum. Oleh karena itu sangat diperlukan
4 Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak,(Bandung:Refika Aditama, 2006), h.1
4
adanya kesatuan gerak, langkah dan pandangan dalam rangka penegakan
hukum sehingga dicapai sasaran semaksimal mungkin.
Pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berupa terganggunya rasa
keadilan yang dirasakan sedemikian rupa mendalam, maka reaksi yang
ditekankan adalah berupa reaksi yang ditentukan oleh pemegang kedaulatan
hukum yaitu penguasa atau negara.
Pengadilan adalah tiang teratas dan landasan negara hukum. Peraturan
yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri
kokoh/kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan
kekuatan kepada kaedah-kaedah hukum yang diletakkan dalam Undang-
Undang dan peraturan lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang
merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan
persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.5
Berbicara tentang anak adalah sangat penting karena anak merupakan
potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan
sejarah bangsa sekaligus cermin bangsa pada masa mendatang. Anak sebagai
bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan
sebagai sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin
serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik
Indonesia yang Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
5 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3S,
1983), h.143
5
Proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga
yang damai dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasarnya kesejahteraan anak
tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Seperti di
negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya
harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan,
pedidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan
akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan anak. 6
Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (LNRI Tahun 2002 Nomor
109; TLNRI Nomor 4235) (selanjutnya disingkat UU No. 23/2002) adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”. 7
Sebagai seorang anak yang berarti belum mampu untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri, padahal anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya, dan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-
cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan.
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
6 Ibid.,h.145
7 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
6
mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Anak yang belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka
dalam segala hal anak perlu mendapatkan perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran sebagaimana Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002.8
Ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002 mengenai anak yang
mendapatkan perlindungan khusus, yaitu anak yang berhadapan dengan
hukum, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hukum yang
dihadapi oleh anak tersebut, apakah hukum perdata atau hukum pidana. Anak
yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup hukum pidana, anak tersebut
disebut anak nakal atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik
8 Pasal 1 angka 15 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(selanjutnya disebut UU No. 11/2012).
Anak meskipun nakal masih perlu mendapatkan perlindungan khusus
yang tidak diberikan kepada pelaku tindak pidana orang dewasa. Terhadap
anak nakal menurut Pasal 69 UU No. 11/2012 “hanya dapat dijatuhkan pidana
atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”.
Kata “hanya dapat” menunjukkan bahwa setiap anak nakal, maka ada
dua kemungkinan sanksi yang dijatuhkan yaitu sanksi pidana penjara atau
berupa tindakan. Pidana pada umumnya dibedakan antara pidana pokok dan
pidana tambahan sebagaimana pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Pidana pokok di antaranya pidana mati; pidana penjara; pidana
kurungan; pidana denda; pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas
pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang-barang tertentu;
pengumuman putusan hakim.
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal menurut pasal 82
UU No. 11 Tahun 2012 ialah a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau
orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial,
atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.9
Dalam perspektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah
pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak perbuatan)
9 Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Ank
8
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-
maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Dengan dasar ini, maka
sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas tiga hal yakni (1) adanya
perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3)
pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut. Ketiga hal di atas merupakan
ratio logis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana.10
Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa yang berakal dan
berkemauan sendiri berlaku pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak
ada pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu,
orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang berada dalam kapasitas
terpaksa ataupun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan
jelas melalui sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,:
ن ع مهل ق ال ع ف رهم ل س و و ي ل ع ىاللهل ص الل لهو سهر ال :ق ت ال اق ه ن ع اللهي ض ر ة ش ائ ع ن ع ل قهع ي ىت ح ن و ن هج م ال ن ع و م ل ت ح ىي ت ح ي ب الص ن ع و ظ ق ي ت س ىي ت ح م ائ الن ن ع ث ل ث 11(والنسائيالترمذيالبخاريو)رواه
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda
;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu
orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh
dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-
Tirmidzi, dan an-Nasai‟)
Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anak-
anak terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka
dalam status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.80 11
Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.),
h.1339
9
Islam disebut sebagai laysa min ahli al-,uqubah ( bukan termasuk kelompok
yang mendapatkan hukuman ).12
Namun demikan penting ditegaskan bahwa persoalan tentang statusnya
dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri. Di
antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di
kalangan anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan
informasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian
membuat batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada
dasarnya dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat
perkembangan dan sikap yang di tampilkan oleh mereka yang berada dalam
usia yang disebut anak-anak.
Dibahasnya mengenai anak nakal ini ada kaitannya dengan kasus
kecelakaan maut pada tahun 2013 yang menewaskan 6 orang, dimana seorang
anak yang bernama Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul
putra dari seorang musisi ternama Ahmad Dhani mengendarai sebuah mobil
sedan Lancer pada malam hari di Jalan Tol Jagorawi dengan kecepatan tinggi
yang kemudian lepas kendali dan menabrak kendaraan lain yaitu Toyota
Avanza dan Daihatsu Grand Max di KM 8 Tol Jagorawi, Dul diketahui saat
itu berumur 13 tahun. Kecelakaan tersebut menyebabkan korban 5 orang
tewas ditempat dan 1 orang tewas di rumah sakit.
12
Ibid., h.81
10
Dari uraian permasalahan tersebut diatas, penyusun tertarik untuk
mengkaji lebih dalam tentang :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Dengan bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pemilihan judul
sebagaimana tersebut diatas, maka pembahasan selanjutnya bertumpu pada
identifikasi masalah yaitu:
1. Bagaimana UU No. 11 Tahun 2012 memposisikan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak?
2. Bagaimana Hukum Pidana Islam memposisikan tindak pidana yang dilakukan
oleh anak?
3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan
usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU
No.11 Tahun 2012?
Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi masalah mengenai
ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dan penulis memfokuskan
pembahasan pada Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yaitu:
- Pasal 20 yang mengatur tentang batas umur seorang anak yang
melakukan tindak pidana dapat diajukan ke sidang pengadilan anak;
11
- Pasal 24 yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana
bersama-sama dengan orang dewasa;
- pasal 69 yang mengatur tentang penjatuhan pidana atau tindakan terhadap
anak; dan
- pasal 71 mengenai sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
anak.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut UU No.11
Tahun 2012.
2. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum
pidana Islam.
3. Menjelaskan pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan
usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU
No.11 Tahun 2012.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tentang pertanggungjawaban pidana anak menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
2. Memberikan informasi tentang pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh seorang anak menurut Hukum Pidana Islam.
12
3. Memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari‟ah di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka
diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan kajian yang telah
dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan
yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Penulis lebih memfokuskan masalah
yang terjadi tentang pertanggungjawaban pidana anak persfektif Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan
menurut hukum Islam .
Adapun review yang digunakan oleh penulis adalah karya ilmiah yang
berkenaan dengan penelitian;
Pertama skripsi oleh Fahrul Rozi Tahun 2005 dengan judul “Sanksi
Pidana Bagi Anak-Anak yang melakukan Tindak Pidana Ditinjau dari Hukum
Pidana Islam dan Hukum Positif”, Jurusan Pidana Islam, Fakultas Syari‟ah
dan Hukum. Dalam skripsi ini membahas tentang sanksi pidana bagi anak-
anak yang melakukan tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia yaitu
Undang-Undang Pengadilan Anak dan ditinjau dari persfektif Hukum Islam
yaitu fiqh jinayah.
Kedua skripsi oleh Ibnu Abbas Tahun 2011 dengan judul “Batas
Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak Ditinjau dari Persfektif Hukum Islam”, Jurusan
Perbandingan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Dalam skripsi ini
13
membahas tentang membahas tentang batasan usia minimal cakap hukum bagi
seorang anak dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak dan dalam pandangan Hukum Islam.
Sebuah tesis yang berjudul Pidana Anak dalam persfektif Undang-
Undang Pengadilan Anak dan Hukum Islam karya Ahmad Gunaldi. Dalam
tesis ini membahas tentang sanksi pidana bagi anak nakal yang melakukan
tindak pidana menurut undang-undang pengadilan anak dan ditinjau dari
hukum Islam.
Dalam buku Hukum Pidana Anak karya Wagianti Soetodjo. Buku ini
menguraikan dengan lugas mulai dari gejala dan timbulnya kenakalan anak
serta prosedur pemeriksaan serta batas pemidanaan anak hingga hak-hak anak
atas perlindungan hokum. Buku ini juga menguraikan tentang hasil penelitian
yang membahas tentang sebuah studi singkat di Lembaga Permasyarakatan
(LP) Anak Tangerang.
Sebuah buku karya Moch. Faisal Salam yang berjudul Hukum Acara
Peradilan Anak di Indonesia. Dalam buku ini dibahas tentang tata cara dan
prosedur persidangan anak yang melakukan tindak pidana dari sisi hokum
pidana positif di Indonesia dan bukan dari sisi Hukum Islam.
Dalam buku yang berjudul Hukum Acara Pengadilan Anak yang
ditulis oleh Gatot Supranomo. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan
sistem peradilan anak yang ada di Indonesia serta perlindungan yang diberikan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana dari masa penangkapan sampai
dengan waktu berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP).
14
Dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Pengantar dan
Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah. Pada buku tersebut dibahas tentang
teori-teori tentang hokum pidana islam dan asas-asas hokum pidana islam
termasuk juga sanksi bagi orang yang melakukan tindak pidana dalam hokum
Islam.
Demikian beberapa karya yang telah penyusun telaah dan masih ada
lagi beberapa karya tulis baik buku-buku, jurnal maupun skripsi yang belum
terjangkau dari pengamatan, terutama seputar pembahasan tentang
pemidanaan anak dibawah umur dan dari sekian banyak studi terdahulu yang
penulis paparkan diatas semuanya mengenai pidana anak, akan tetapi ada
perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, yakni penulis
mencoba mencari suatu jawaban bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh anak ditinjau dari pandangan hokum pidana
Islam dan hokum pidana positif Indonesia dalam hal ini UU No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
E. Metode Penelitian
Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategi yang utama
dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode
adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.13
Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap kajian yang dibahas maka
untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:
13
Bambamg Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997),
h. 27-28
15
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian data yang digunakan di sini adalah penelitian kualitatif,
selanjutnya digunakan pembahasan analysis deskriptif. Kemudian dalam
penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library reseach)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji data primer yang
bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits dan Peraturan Perundang-Undangan
yang bertujuan untuk mengeksporasi dan memahami berbagai konsep yang
berkaitan dengan tema penulis sehingga diperoleh data-data seluas
mungkin dengan mengacu pada kepada teori yang sudah dijelaskan yang
berkaitan dalam penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan studi
literatur atau kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji dan menelaah buku-
buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini baik berupa perundang-
undangan maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Sedangkan sumber data yang diperoleh untuk penelitian ini dibagi menjadi
dua macam yaitu data primer yaitu Perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia dalam hal ini peraturan hukum yang berkaitan dengan topik
yang dibahas dalam penelitian ini. yakni Undang-Undang No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang terdapat
dalam Al-Qur‟an dan Hadits. Selanjutnya data sekunder adalah data-data
pendukung yang diperolah dari literatur-literatur atau dokumen-dokumen,
16
dan buku-buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang diperoleh oleh penulis adalah menggunakan
pengolahan data secara analisis kualitatif.14
Yakni pendekatan content
analysis yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang
bersifat deskriptif dan deduktif. Metode analisa data dalam penelitian yang
dilakukan penulis adalah kajian isi (content analysis). Analisa data adalah
proses mengatur data.15
Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan
dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutya
ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan
relevan mengenai data tersebut. Analisis yang ingin dituangkan dalam
penelitian ini adalah analisis dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang bersumber dari
Hukum Islam. Setelah itu hasil penelitian dituangkan ke dalam tulisan
untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis, sehingga memperoleh
kesimpulan tentang topik yang sedang dibahas. Adapun teknik penulisan
dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet.
Ke-3, h. 11-13
15
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Roda Karya,
2004), h. 6
17
F. Sistematika Penulisan
Sistematika merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk
bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu
kebulatan dari masalah yang sedang diteliti. Dan untuk mempermudah dalam
mempertimbangkan penulisan skripsi ini, saya membagi menjadi 5 (lima) bab
yaitu:
Pada Bab I merupakan bagian pendahuluan, pada pertama ini akan
memberikan gambaran secara obyektif untuk dapat melanjutkan kemateri
selanjutnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi dasar, dan menjelaskan
tentang tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang digunakan dalam
penulisan ini serta sistematika penulisannya.
Pada Bab II adalah kajian teoritis yang berdasarkan tinjauan pustaka akan
memaparkan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak
dibawah umur dari sisi pandangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi istilah dan pengertian
serta unsur-unsurnya, teori-teori terhadap pidana dan pemidanaan, sistem
perumusan sanksi pidana, setra pemidanaan terhadap anak.
Pada Bab III berisi tentang persfektif hukum Islam tentang
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang
meliputi dasar hukum pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana atau
jarimah.
18
Pada Bab IV merupakan bab analisi perbandingan yang didalamnya
terdapat persamaan dan perbedaan antara persfektif Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Hukum Islam baik
dari segi pengertian dan sanksi yang diberikan terhadap anak yang melakukan
tindak pidana.
Pada Bab V adalah Penutup, yaitu berisikan tentang kesimpulan dan
saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan itu sendiri adalah
kesimpulan dari jawaban rumusan masalah. Dan saran merupakan masukan dari
penulis terkait dengan ilmu pengetahuan khususnya dalam masalah hukum
pidana. Terakhir penutup.
19
BAB II
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Anak dan Batasannya
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Pasal 330 ayat (1)
memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa
(meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum
berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer) Pasal
ini senada dengan Pasal 1 Angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan
secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada
Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun dan Pasal 283
yang memberi batasan 17 tahun.1
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara eksplisit mengatur
tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi
wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17
tahun untuk menghadiri sidang.2
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1
1 Lihat KUHP
2 Pasal 153 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
20
Tahun 1974, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18
(delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979, maka anak adalah
seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin.3
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan, menurut pasal 1 angka 8 huruf a,b, dan c UU 12/1995 bahwa
anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak sipil
untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia
yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak bagi anak yang mempunyai masalah, menurut ketentuan
3 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
21
ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum
pernah kawin.
Hukum adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia,
dalam hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat
Pluralistik, dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi
disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya: telah
“kuat gawe”, “akil balig”,menek bajang”, dan sebagainya.4
Dilihat dari tingkatan usia, batasan seseorang dikategorikan sebagai anak
dapat dillihat pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara dunia
tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak, seperti:
1. Amerika Serikat, terdapat 27 negara bagian yang memiliki batas umur
maksimal 18 tahun, 6 negara bagian memiliki batas usia maksimal 17
tahun, dan Negara bagian lainnya batas usia maksimalnya 16 tahun,
sedangkan batas usia minimum rata-rata 8 tahun.
2. Inggris, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum
12 tahun.
3. Australia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia
minimum 8 tahun.
4. Belanda, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum
12 tahun.
4 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2011), h. 7
22
5. Kamboja, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia
minimum 12 tahun.
6. Srilangka, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia
minimum 8 tahun.
7. Taiwan, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum
14 tahun.
8. Jepang dan Korea, batas usia maksimalnya adalah 20 tahun dan batas usia
minimum 14 tahun.
9. Iran, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 7
tahun.
10. Philipina, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia
minimum 7 tahun.
11. Malaysia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia
minimum 7 tahun.
12. Singapura, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia
minimum 7 tahun.5
Penentuan batas usia minimum dan maksimum itu diperlukan karena di
Negara-negara tersebut dibedakan antara delinquent child (anak yang melakukan
pelanggaran) dengan dependant. Alasan membedakan kedua istilah ini karena
5 Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES,
1983), h. 11.
23
delinquent child mengenal batas usia minimum, sedangkan neglected child
(dependant) tidak mengenal minors. 6
Batasan usia juga dapat dilihat pada Dokumen-dokumen Internasional,
seperti:
1. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa
seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak
dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah
10 tahun dan batas atas antara 16 – 18 tahun.
2. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the
Administrasion of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan
anak yaitu seseorang yang berusia 7 – 18 tahun.
3. Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak
adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun.7
B. Anak Menurut Perspektif Psikologi
Pengertian anak dalam persfektif lain penting untuk diketahui karena pada
fase mana akan timbul kecenderungan kenakalan pada anak. Jika dilihat dari segi
biologis, maka terdapat istilah bayi/balita, anak, remaja, pemuda, dan dewasa.
Departemen Kesehatan menggolongkan anak menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Usia 0 tahun sampai dengan 5 tahun disebut dengan usia bayi/balita;
2. Usia 5 tahun sampai dengan 10 tahun disebut dengan usia anak-anak;
6 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h.
57. 7 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2011), h. 9
24
3. Usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun disebut dengan usia remaja
(teenager atau juvenile);
4. Usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun disebut dengan usia menjelang
dewasa.8
Secara khusus Psikologi anak dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1)
psikologi perkembangan anak tiga tahun tahun pertama (atitima), (2) anak
psikologi perkembangan anak lima tahun pertama (alitima), dan (3) psikologi
perkembangan anak tengah (6-12 tahun).9 Sedangkan Psikologi Perkembangan
Remaja terbagi menjadi dua periode yaitu periode remaja awal (early childhood),
dan periode remaja akhir (Late Adolescent).10
Berbeda dengan perspektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai
individu berusia di bawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah
individu yang berusia antara 3 – 12 tahun. Diatas usia 12 tahun individu dianggap
sudah memasuki usia remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda perkembangan
fisik, yang memang sangat membedakan anak dengan individu yang sudah
memasuki masa remaja, perbedaan juga berdasarkan perkembangan kognisi dan
moral individu.
8 Muhammad Thohir, Seminar Kesehatan Anak, (Rumah Sakit Islam Surabaya, 1993), h.
6 9 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Usia Tiga Tahun Pertama (Psikologi
Atitima), (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.8 10
Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam,
( Jakarta: UIN Jakarta Press), h.106
25
1. Pada usia 2 – 7 tahun anak memasuki tahap kognisi yang disebut sebagai
tahap pre–operasional, dimana anak belum mampu berpikir menggunakan
logika.
2. Pada usia 7 – 11 tahun, individu memasuki tahap perkembangan kognitif
yang disebut tahap konkrit operasional. Ciri utama pada tahap ini adalah
kemampuan untuk membandingkan antar peristiwa, dan anak mulai
mampu menggunakan logika meskipun masih didalam tahap yang terbatas
dan sederhana.
3. Pada usia 11 tahun ke atas, individu memasuki tahap perkembangan
kognitif yang disebut tahap operasional dimana kemampuan berpikirnya
sepenuhnya menggunakan logika. Pada tahap ini anak mulai bisa berpikir
lebih fleksibel karena anak mulai bisa melihat lebih dari satu sudut
pandang, meskipun pihak autoritas (orang tua) masih memegang peranan
penting dalam mengarahkan perilaku anak. 11
Anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun sedang
berada dalam pertumbuhan yang mengalami masa remaja. Masa remaja termasuk
masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak
perubahan pada psikis dan fisiknya. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan
kebingungan di kalangan remaja sebabnya karena mereka mengalami penuh
gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan
norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat.12
11
Penney Upton,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga,2012), h.198 12
Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 64
26
Apabila dilihat batasan usia anak dari sudut Psikososial, Singgih Gunarso
dalam makalahnya yang berjudul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat yang
disampaikan dalam Seminar “Keluarga dan Budaya Remaja Perkotaan” yang
dilakukan di Jakarta, mengemukakan bahwa klasifikasi perkembangan anak
hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya,
menurut Singih Gunarso terbagi menjadi lima tahap, yaitu:
1. Anak, seseorang yang berusia dibawah 12 tahun;
2. Remaja dini, yaitu seseorang yang berusia antara 12 – 15 tahun
3. Remaja penuh, yaitu seseorang yang berusia antara 15 – 17 tahun;
4. Dewasa muda, yaitu seseorang yang berusia antara 17 – 21 tahun; dan
5. Dewasa, seseorang yang berusia diatas 21 tahun.13
Lebih lanjut Singgih Gunarso dengan mensitir pendapat dari J. Pikunas
dan R.J. Havighurts menjelaskan bahwa masing-masing tingkatan usia
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Sebagai Contoh:
Kategori remaja dini (usia 12 – 15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan:
1. Sibuk menguasai tubuhnya, karena faktor ketidakseimbangan postur
tubuhnya, atau kekurangnyamanan tubuhnya.
2. Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat
egosentris, pada pihak lain ia belum dapat sepenuhnya diserahi tanggung
jawab, sehingga masih sangat memerlukan dukungan keluarga.
13
Ibid. h. 12
27
3. Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman tinggi, dan besar
kecenderungannya mencari popularitas. Dalam fase ini, ia sibuk
mengorganisasikan dirinya dan mulai mengalami perubahan sikap, minat,
pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul
dengan lain jenis.
4. Minat keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk “Trial and error” tinggi,
dan kemauan untuk belajar dari pengalaman tinggi.
5. Mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah,
sekolah, klub olah raga, kesenian, dan lingkungan pergaulan pada
umumnya.14
Di dalam kategori inilah, anak membawa pengaruh pada sikap kearah yang
lebih agresif sehingga pada periode ini banyak tindakan anak-anak yang dapat
mengarah kepada gejala kenakalan anak. Kenakalan anak ini timbul karena anak
sedang mengalami perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Selain itu,
pengaruh lingkungan (terutama lingkungan di luar rumah) juga turut
mempengaruhi.
Kategori remaja penuh, mempunyai kecenderungan kejiwaan:
1. Sudah mulai menampakan dirinya mampu dan bisa menerima menerima
kondisi fisiknya;
2. Mulai bisa menikmati kebebasan emosionalnya;
3. Mulai lebih mampu bergaul;
14
Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam,
( Jakarta: UIN Jakarta Press), h.112
28
4. Sudah menemukan identitas dirinya;
5. Mulai memperkuat penguasaan dirinya dan menyesuaikan perilakunya
dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatn;
6. Mulai secara perlahan-lahan meninggalkan reaksi-reaksi dan sikap-sikap
kekanak-kanakan.15
C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif
Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan
yang objektif yang ada pada perbuatan pidana yang secara subjektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. 16
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut criminal
responsibility artinya : ”orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu
belum belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas
pebuatannya yang telah dilakukan.” Mempertanggungjawaban atas suatu
perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak.17
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai
“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang di lakukanya itu.18
15
Ibid., h.113 16
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 17
Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.106 18
S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, ( Jakarta
:Alumni Ahaem-Peteheam,1996),h .245
29
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat
yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatanya.19
Sebagaimana telah diketahui, untuk adanya pertanggungjawaban pidana,
suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab,
dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat.
Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari
dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT).20
D. Kesalahan (geen straf zonder schuld).
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana
seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maka
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”
(geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental
dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap
dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi
19
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,h.75 20
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38
30
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.21
Jadi disamping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan
kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi “Tiada pidana
tanpa kesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan
dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah tidak
dijatuhi hukuman. Kesalahan adalah suatu keadaan psychologisch yang oleh
penilaian hukum pidana ditentukan sebagai keliru dan dapat dicela. Dengan
adanya kesalahan, orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya untuk dapat
ia jatuhi pidana. Karena ajaran tentang kesalahan juga disebut “pertanggung
jawaban pidana” atau dengan istilah criminal responsibility.22
. Menurut Moeljatno, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa,
hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. geen straf zonder
schuld, no punishment without fault, actus non facit reum nisi mens sist rea, an
act does not make a person guilty unless his mind is guilty. Adagium “tiada
pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti: tiada
pidana dicela. Tetapi sesungguhnya, pasti dalam hukum pidana, orang tidak dapat
berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Karena itu
asas kesalahan disini diartikan sebagai: tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut
21
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 22
Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.106
31
yang objektif, yang dapat dicelakakan kepada pelakunya, dengan lain perkataan,
kesalahan adalah perilaku alasan pemidanaan yang sah (menurut undang-
undang).23
E. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin
yang normal atau sehat dan mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan
hal-hal yang baik dan yang buruk. Atau dengan kata lain, mampu untuk
menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan
keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada
umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur
ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Demikian halnya
dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang berbunyi:
“1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-
jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana.
2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.”24
23
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38 24
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20
32
Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan
bertanggung jawab pidana. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang
keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar
tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari
kemampuan bertanggung jawab. Dua keadaan jiwa yang tidak mampu
bertanggung jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 (1) KUHP,
yakni:
1. Karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau
2. Jiwanya terganggu karena penyakit.25
Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari
dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT). Simons mengatakan,
“kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis
sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya peniadaan, baik
dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.26
F. Alasan Penghapusan Pidana
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar
dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.
Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai
fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas
25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h.143 26
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38
33
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan
pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum. 27
Dalam hukum pidana yang termasuk kedalam alasan penghapus kesalahan
atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksaan perintah jabatan tanpa
wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan:
“perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam
lingkungan pekerjaannya.”28
G. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Dalam KUHP
Hukum Pidana Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber
pada KUHP Belanda yang diangkat dari Keputusan Raja tanggal 15 Oktober 1915
No. 33, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Materi yang diatur dalam
KUHP ini, pada prinsipnya merupakan warisan (turunana) dari KUHP Belanda
(Straf wetboek) yang dibuat pada tahun 1881 dan mulai diberlakukan pada tahun
1886.29
Pada waktu KUHP dinyatakan berlaku di Indonesia belum memilki hukum
pidana yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya
27
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.37 28
Ibid., h.20 29
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), h. 39
34
terdapat Pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap
mereka yang belum berumur 16 tahun.
Pasal 46 tidak bersangkut-paut dengan hal apakah seseorang yang masih
muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi
hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil
keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak
pidana. Dikatakan di dalamnya bahwa dalam hal demikian hakim dapat
memerintahkan agar:
1. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana.
2. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk
kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada
orang tua atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (pasal 46
KUHP).
3. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi sepertiga
dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati; juga dalam hal diputuskan pidana
tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana tambahan perampasan barang-
barang tertentu.30
Bertalian dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap anak dibawah
umur tersebut, dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, sebelum dicabut telah
ditegaskan secara alternatif dan pemecahannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 tahun sampai 13 tahun,
disarankan kepada Hakim untuk mengembalikan anak tersebut kepada
orang tua atau walinya dengan tanpa pidana;
2. Jika tindak pidan tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13
sampai 15 tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat pelanggaran
sebagaimana diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514,
30
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2012), h. 93
35
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 KUHP, Hakim dapat
memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah atau
badan hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18 tahun. (Pasal 46
KUHP).
3. Jika Hakim menghukum sitersalah, maka maksimal hukuman utama
dikurangi sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, maka
ddijatuhi pidana selama-lamanya 15 tahun dan hukuman tambahan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 huruf (b) 1e dan 3e tidak
dijatuhkan (Pasal 47 KUHP).31
H. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Luar KUHP
Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan
pada hokum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut
ketentuan hukumnya tidak saja bersifat konvensional, tetapi juga karena perilaku
dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan perkembangannya jauh
lebih cepat daripada aturan yang ada. Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP,
masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut Undang-Undang selain
KUHP dapat dipidana sepanjang Undang-Undang tersebut bertalian dengan
masalah anak dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP berdasarkan asas
(Lex Specialis Derogat Legi Generali).32
Adapun Undang-Undang lain di luar KUHP yang bertalian dengan
masalah hukum pidana anak seperti:
31
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), h. 48 32
Ibid., h. 49
36
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
8. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Tempat Umum .
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.dan
Instrumen Hukum lain yang bertalian dengan masalah anak.33
33
Ibid., h. 50
37
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Seperti dikemukakan oleh para pakar hukum, dewasa ini ada lima sistem
hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat hukum dunia.
Kelima sistem hukum itu adalah: Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem
Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, dan Sistem
Hukum Sosialis-Komunis. Kecuali yang terakhir, keempat sistem hukum tadi
telah lama dan masih tetap berlaku di Negara Hukum Indonesia.1
A. Anak Menurut Hukum Islam
Dalam bahasa Arab sebutan untuk anak ada bermacam-macam, ada sebutan
anak yang merupakan perubahan dari bentuk fisik yang dikenal dengan istilah
shabiy (sebutan sangat umum untuk anak), sebutan untuk anak pecahan dari
shabiy adalah walad (sebutan untuk anak laki-laki dan wanita)2, dârijun (anak
kecil yang berjalan berjalan),3 thiflun (anak yang mendapatkan keringanan
hukuman dan sebutan bagi orang sejak lahir hingga mendapatkan mimpi),4
ghulâm (manusia sejak lahir hingga remaja, dipakai untuk sebutan anak laki-laki
dan wanita)5.
Kemudian ada sebutan anak yang merupakan perubahan secara kejiwaan
yang berhubungan dengan kecerdasan/intelektualitas (tamyîz). Sedangkan
1 M. Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.11 2 Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5, h. 4914
3 Ahmad Warson Al-Munawir, al-Munawir, (Jakarta: Penerbit tidak ditemukan, 1984),
h.427 4 Jamaludin Muhammad bin Mukram al-Anshari, Lisan al-Arab, (Kairo: Muassasah al-
Misriyah, t.t.), Jilid 13, h. 426. 5 Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5, h. 3289
38
perubahan anak secara kombinasi baik dari segi fisik maupun kejiwaan dikenal
dengan dewasa (baligh). Baligh terdiri atas dua macam yaitu:
Pertama, baligh bi thaba‟i yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah
lakunya atau tanda-tanda, jadi dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui dari
penglihatan.
Kedua, baligh bi sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur
apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka ukuran baligh ini
ditentukan dengan menetapkan umur baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas baligh. Berikut
adalah pendapat dari sebagian para ulama’ madzhab :
1. Menurut ulama’ Hanafiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah ihtilâm
(mimpi keluar mani) dan menghamili perempuan. Sedangkan untuk
perempuan ditandai dengan haidh dan hamil. Apabila tidak dijumpai
tanda-tanda tersebut, maka balighnya diketahui dengan umurnya.
Menurutnya umur baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi
perempuan 17 tahun. 6
2. Menurut ulama’ Malikiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah keluar mani
secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi. Dan
bagi perempuan adalah haidh dan hamil.
3. Menurut ulama’ Syafi’iyyah, batasan baligh bagi laki-laki maupun
perempuan dengan sempurnanya usia 15 tahun dan keluar mani, apabila
6 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al- Arbaah, (Al-Maktabah Al-Tijariyah
Al-Kubra, Beirut, 1972), h. 350
39
keluar mani sebelum usia itu maka mani yang keluar itu adalah penyakit
bukan dari baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haidh bagi perempuan
dimungkinkan mencapai umur 9 tahun.
4. Menurut ulama’ Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun perempuan
ada tiga hal yaitu :
a. Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi, dengan
bersetubuh.
b. Mencapai usia genap 15 tahun.
c. Bagi perempuan ditambahkan adanya tanda haidh dan hamil. Dan bagi
banci (khuntsa) diberi batasan usia 15 tahun. 7
Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan fase-fase yang ditempatkan oleh
seorang sejak lahir sampai dewasa. Ada tiga fase yaitu :
1. Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Marhalah In „Idâm al-Idrâk)
Fase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun
dengan kesepakatan para fuqahâ‟. Dalam masa marhalah ini seorang anak
dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir dan ditetapkan belum
mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang anak dalam marhalah ini disebut
anak belum mampu berpikir (ghoiru mumayyîz).
Sebenarnya kemampuan berpikir dan kemampuan bisa membedakan,
(tamyîz) seorang anak itu tidak terbatas pada usia tertentu dan tidak dapat
dipastikan dengan tercapainya umur ini, sebab kemampuan berpikir kadang-
kadang bisa timbul sebelum usia 7 tahun dan kadang-kadang terlambat, menurut
7 Ibid., h. 353
40
perbedaan orang, lingkungan, keadaan dan mentalnya. mengingat kondisi jasmani
dan iklim daerah tempat anak itu berada. Namun demikian para fuqaha‟
menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyîzan seorang anak demi
keseragaman hakim.
Para fuqaha‟ berpedoman dengan usia dalam menentukan batas-batas
kemampuan berpikir, agar bisa berlaku untuk semua orang, dengan mendasarkan
kepada keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan tersebut
diperlukan untuk jangan sampai terjadi kekacauan hukum dan agar mudah bagi
seseorang untuk meneliti apakah kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum,
sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah.
Boleh jadi, seorang anak yang berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan
berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah.
Boleh jadi, seorang anak yang belum berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan
berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyîz, karena yang menjadi ukuran
adalah kebanyakan orang, bukan perseorangan.8
Perbuatan jarîmah yang dilakukan oleh anak dibawah usia tujuh tahun
tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran.
Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban perdata, yang
dibebankan atas harta milik pribadi, yakni memberikan ganti kerugian terhadap
kerugian yang diderita oleh harta milik atau diri orang lain (wujûd ad-dhaman fî
8 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
390
41
mâlihi).9walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari
padanya, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Amidi.10
Mengenai tidak
berlakunya hukum qishâsh bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di
tegaskan juga oleh Syarbani Khatib11
dan Imam ar- Ramli.12
2. Masa Kemampuan Berpikir Lemah (Marhalah al-Idrâk al-Dha‟îf )
Fase ini dimulai sejak seseorang anak berumur 7 tahun sampai berumur 15
tahun. Anak dalam masalah ini disebut anak mumayyiz. Anak mumayyiz tidak
dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi anak yang munayyiz berarti
seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk,
tetapi ia belum mampu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang
ia lakukan. Akan tetapi ia dapat dijatuhi pidana pengajaran. Dalam soal perdata ia
disamakan dengan anak belum tamyîz.
Masa ini dimulai sejak usia tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan
(baligh), dan kebanyakan fuqahâ‟ membatasinya dengan usia lima belas tahun.
Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia dianggap dewasa,
meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.
Imam Abu Hanifah sendiri membataskan kedewasaan kepada usia delapan
belas tahun, dan menurut suatu riwayat sembilan belas tahun. Pendapat yang
terkenal dalam madzhab Maliki sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
9 Ibid., h. 397
10 Al-Amidi, Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- Hikam fi Usul al-Ahkam , juz
I, ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), h. 78 11
Khatib, Muhammad Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila –Ma‟rifat , Ma‟ani Alfadz Minhaj
„ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), h . 279 12
Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin , Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –Minhaj, juz V
(Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) h.246
42
Pada masa tersebut seseorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban
pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi ia bisa dijatuhi
pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan
tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran, bukan sebagai hukuman
pidana, dan oleh karena itu kalau anak tersebut berkali-kali memperbuat jarîmah
dan berkali-kali pula dijatuhi pengajaran, namun ia dianggap pengulang kejahatan
(recidivist). Mengenai pertanggungjawaban perdata, maka ia dikenakan, meskipun
bebas dari pertanggungjawaban pidana.13
3. Masa Kemampuan Berpikir Penuh (Marhalah al-Idrâk al-Tâmm)
Masa ini dimulai sejak seseorang anak mencapai usia kecerdikan (sinnur-
rusydi), atau dengan perkataan lain, fase ini dimulai sejak seorang berumur 15
tahun sampai delapan belas tahun, menurut perbedaan pendapat dikalangan
fuqahâ sampai meninggal dunia. Pada masa ini seseorang dikenakan
pertangungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanapun
juga macamnya Maka ia telah dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai
pertanggungjawaban penuh, baik dalam lapangan hukum perdata, pidana dan
dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.14
Dalam Islam seorang akan dikenakan pembebanan hukum apabila
seseorang itu mukallaf. Dengan demikian segala perbuatan itu akan dikenakan
13
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397 14
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
601
43
hukum seperti yang berhubungan dengan kewajiban, larangan, makruh dan
Ibahah. Orang mukallaf menurut ulama‟ ushuliyyin disebut mahkûm „alaîh. 15
Dalam hal ini, ada beberapa syarat bagi mukallaf untuk dapat dikenakan
pembebanan hukum yaitu :
1. Mukallaf dapat memahami taklîf, seperti mampu memahami nash-nash
yang dibebankan dari Al Qur’an dan Al Sunah secara atau perantaraan.
Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklîf dia tidak dapat
mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak tahu apa yang
menjadi tujuannya. Akal orang yang belum bisa memahami baik itu orang
yang lupa, tidur, gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban hukum,
sebagai mana sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
ن عملقال عفرمل سووي لعىاللل صالللو سرال:قت الاقهن عالليضرةشائعن علقع ىي ت حنو ن ج مال نعوملتح ىيت حي بالص نعوظقي ت س ىيت حمائالن نعثلث16(والنسائيرمذيالتوالبخاري)رواه
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda
;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu
orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh
dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-
Tirmidzi, dan an-Nasai‟)
Syarat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Khudlori Beik,
sebagai berikut :
15
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), h. 50 16
Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.),
h.1339
44
لا يانعم رو صتابطخال مه ف ى ف وي لا دجو ي ن م ةرد ق في لك الت وي جو ت طو رشن م17في لك الت اهب ي تال اظفل
Artinya : “Diantara syarat taklif adalah mampu memahami nash-
nash (khithob) dalam arti memahami arti bentuk lafadl yang menunjukkan
pembebanan.”
2. Mukallaf adalah orang yang ahli (cakap) dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. pengertian ahli/ahliyah menurut bahasa adalah : ( الصلحية )
yang berarti (kecakapan). Sedangkan pengertian ahliyah menurut Abu
Zahrah adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban.18
Menurut Ulama‟ Ushul, ahliyah itu terbagi menjadi dua macam yaitu :
a. Aḥliyyah al-Wujûb (Kecakapan dalam menerima kewajiban hukum)
Pada dasarnya dapat ditetapkan sebagai ahli wajib karena keadaannya
(wujudnya) sebagai manusia. Keahlian manusia sebagai ahli wajib ini
sejak permulaan manusia, mulai/sejak janin sampai meninggal dunia.
Ketika masih dalam bentuk janin (dalam kandungan) ahli wajib itu
berkurang karena baginya hanya ditetapkan hak-haknya saja. Kalau
janin itu lahir maka dikatakan sebagai ahliyyah dan bila lahir dengan
keadaan mati dianggap tidak pernah ada.
b. Aḥliyyah al-Adâ‟ (kecakapan dalam bertindak secara hukum)
Pada dasarnya ditetapkannya ahli melaksanakan bukan karena
wujudnya sebagai manusia, akan tetapi ditetapkannya ahli
17
Khudlari Beik, Ushul Fiqh, (Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979), h. 110 18
Muh. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Dar Al-Fikr, Beirut, t.th.), h. 229
45
melaksanakan adalah bisa membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Ahli melaksanakan ialah layaknya mukallaf untuk
diperhitungkan menurut syara‟, ucapan dan perbuatannya. Keahlian
melaksanakan ini melihat kadar akalnya karena akal itulah yang
dijadikan sebagai asas. Ahliyyah ada‟ yang sempurna adalah ketika
sempurnanya akal karena baligh yang sudah dibebani syara‟ dan
baligh itu disertai dengan sehatnya akal. Sedang ahliyyah ada‟ yang
kurang yaitu anak kecil yang sudah mumayiz dan yang
menyerupainya.19
Menurut Wahbah Az-zuhaili sanksi di dunia bermacam-macam sesuai
dengan jenis perbuatan yang dilanggarnya, misalnya perbuatan pidana Islam
memberikan sanksi di dunia berupa ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam
Al-qur’an, yaitu Qishâsh, had, diyat, dan kafarat. Sedangkan perbuatan pidana
yang secara tidak tegas ditentukan sanksinya dalam Al-qur’an dan As-Sunah
diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan sanksinya, yakni dengan
hukuman ta‟zîr.20
Dalam kitab subul al-salam disebutkan hukuman ta‟zîr selain oleh hakim
dapat dilakukan oleh tiga orang:
1. Ayah, ia boleh menjatuhkan ta‟zîr terhadap anaknya yang masih kecil
dengan tujuan edukatif dan mencegah dari akhlak yang jelek. Menurut
19
Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Majlis A’la Indonesia, Jakarta), h. 135 20
Wahbah az-Zuhaily, al-fiqh al-Islamy wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), VI, h. 197
46
pendapat yang kuat bahwa sang ibu pun boleh berbuat serupa selagi anak
masih berada dalam asuhannya.
2. Majikan, sang majikan diperbolehkan menta‟zîr hambanya baik yang
bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah.
3. Suami, sang suami diperbolehkan menta‟zîr isterinya dalam masalah
nusyûz yang dilakukan isteri, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an. 21
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu.22
Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana dikenal dengan istilah al-
mas‟ûliyyah al-jinâiyyah itu didasarkan kepada tiga hal:
1. Adanya perbuatan yang dilarang,
2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan
3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya itu.23
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban.
Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan
21
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), Jilid 10, Cet ke-3, h. 165 22
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
197
23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.74
47
demikian orang gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan orang yang
terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban
pada mereka itu tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban pada mereka ini
didasarkan kepada Hadits Nabi dan Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:
ن عملقال عفرمل سووي لعىاللل صالللو سرال:قت الاقهن عالليضرةشائعن علقع ىي ت حنو ن ج مال نعوملتح ىيت حي بالص نعوظقي ت س ىيت حمائالن نعثلث24(والنسائيالترمذيالبخاريو)رواه
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda
;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu
orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh
dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-
Tirmidzi, dan an-Nasai‟)
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam
juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya di jatuhkan bagi
orang dewasa kecuali ia ialah baligh.25
Hal ini di dasarkan pada dalil Al-Qur’an:
كذلكي ب ي ن تأ ذنال ذينمنق ب لهم كمااس تأ ذنوا ط فالمنكمال حلمف ل يس وإذاب لغال الل ولكم آياتووالل وعليمحكيم
Artinya:” Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur baligh, Maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. An-Nur:59)
24
Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.), h.1339 25
Ibid., h. 75
48
Menurut Syari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua
perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (irâdah dan ikhtiyar). Oleh karena itu
kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilaluinya
hidupnya, mulai dari waktu kelahirannya sampai masa memiliki kedua perkara
tersebut. Hasil penyelidikan para fuqahâ‟ mengatakan bahwa masa tersebut ada
tiga: yaitu: masa tidak adanya kemampuan berpikir, masa kemampuan berpikir
lemah, dan masa kemampuan berpikir penuh.
Konsep yang dikemukakan oleh Syariat Islam tentang pertanggungj
awaban anak belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali, dan meskipun
telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru dikalangan hukum positif.
Hukum Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa
turunnya Syari’at Islam dan yang menjadi dasar Hukum-hukum Eropa modern
mengadakan pemisahan antara pertanggungjawaban anak-anak dengan
pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang sempit sekali, yaitu usia 7
tahun. Jadi apabila anak-anak telah berumur 7 tahun keatas, maka ia dikenakan
pertanggungjawaban pidana sedang kalau belum mencapai usia tersebut maka
tidak dikenakan, kecuali kalau ketika memperbuat jarimah ia mempunyai niatan
untuk merugikan orang lain, maka dalam hal ini dikenakan pertanggungjawaban
pidana.26
Hukum Islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di
paksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya
mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah dilakukannya
26
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397
49
dan tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain.27 Orang yang
harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal ini didasarkan kepada firman Allah
dalam Al-Qur’an.
سو عملصالحافلن ف هامن أساءف علي ومن
Artinya :”Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan
barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas dirinya”.(QS.
Fushilat:46)
C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Tidak semua tindak pidana dapat dikenai sanksi atau pidana. Ada beberapa
alasan yang menyebabkan pelakunya terbebas dari sanksi. Dalam Hukum pidana
Islam mengenai beberapa alasan yang dapat menghapuskan tindak pidana dikenal
dengan istilah asbâb al-ibâhah dan asbâb raf‟i al-uqûbah. 28
1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbâb al-Ibâhah)
Asbâb al-ibâhah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada
umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan
mendapatkan sanksi setelah ia melakukan perbuatan tertentu yang merupakan
perbuatan pidana, yaitu apabila ada dasar pembenar. Dasar pembenar adalah
alasan yang dapat menjadikan hilangnya sifat melawan hukum, sehingga
27
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam,;Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Modernitas, Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001) , h. 16 28
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.90
50
perbuatan yang semula tidak boleh dilakukan menjadi boleh, dan pelakunya tidak
disebut sebagai pelaku tindak pidana serta tidak dikenai sanksi.
Alasan-alasan yang bisa dijadikan sebagai dasar pembenar dalam hukum
pidana Islam, sekaligus alasan tersebut akan menghapuskan sansi pidana adalah
sebagai berikut.
a. Karena menggunakan hak,
b. Karena menjalankan kewajiban,
c. Karena membela diri.29
Ahmad Wardi Muslich mengutip Abdul Qadir ‘Audah mengemukakan
bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu:
a. Pembelaan yang sah
Islam membolehkan seseorang membela diri ketika ada penjahat
yang ingin membunuhnya, dengan syarat harus ada keseimbangan dan
tidak ada jalan lain.
b. Pendidikan dan pengajaran
Orang tua dalam mendidik anaknya diperkenankan memukul tanpa
melampaui batas sebagai tindakan persuasif. Atau seorang suami boleh
memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti sebagai bentuk
pelajaran.
29
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 87
51
c. Pengobatan
Seorang dokter ia harus melukai pasiennya yang hendak dioperasi,
karena hal itu memang perlu dilakukan. Padahal seseorang yang melukai
orang lain ada sanksinya, tetapi tidak berlaku dalam kasus tersebut.
d. Permainan olahraga
Permainan olahraga atau kesatrian terkadang menimbulkan cedera
atau luka-luka, baik yang menimpa pemain maupun orang lain, jika dalam
permainan olahraga tersebut kecelakaan yang berakibat luka-luka maka
hukum islam akan berlaku umum. Kalau luka tersebut terjadi akibat
menggunakan kekerasan dengan kesengajaan, akan tetapi permainan
olahraga atau kekesatrian yang sifatnya menggunakan kekuatan badan
dalam menghadapi lawan seperti gulat , tinjau dan sejenisnya maka tidak
dikenai hukuman asal tidak melampui batas-batas tertentu yang telah di
tetapkan.
e. Hapusnya jaminan keselamatan
Di maksudkan dengan hapusnya jaminan adalah boleh di ambil
tindakan terhadap jiwa atau anggota badan seseorang untuk di lukai atau di
bunuh bahkan terhadap hartanya sekalipun , dalam istilah agama hapusnya
jaminan keselamatan di sebut dengan „ismah.30
f. Menggunakan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Dalam hukum Islam ada suatu kewajiban yang harus dipikul dan
dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin untuk mewujudkan suatu
30
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.95
52
kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya. orang-orang yang
melaksanakan kewajiban tersebut merupakan orang-orang yang memang
bertugas sebagai pelayan publik/masyarakat pada umumnya. Islam
meletakkan dasar terhadap tanggungjawab bagi pemimpin atau penguasa.
Kaedah hukum Islam menetapkan bahwa petugas pemerintah tidak dapat
dikenai pertanggungjawaban pidana apabila menunaikan tugasnya
/kewajibannya sesuai denagan batas-batas kewenanganya. Apabila terjadi
pelanggaran dalam menunaikan kewajibanya tersebut maka
bertanggungjawab secara pidana jika dia tahu bahwa itu adalah bukan
hanya atau itu adalah pelanggaran. 31
2. Disebabkan Hapusnya Hukuman (Asbâb Raf’i al-Uqûbah)
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan
itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan si pelaku tidak mungkin dilaksanakannya hukuman maka ia di
bebaskan dari hukuman. Dalam Islam ada beberapa sebab yang dapat
menghapuskan hukuman:32
a. Lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan dan
tercabutnya rasa ingat dari hatinya, baik karena kelalaian atau kesengajaan.
Dalam syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru, seperti pada ayat 286
Surat Al-Baqarah:
31
Ali Yafie , Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana
Islam, Edisi Indonesia , hlm. 220 32
ibid , h. 225
53
طأ نا أخ ناإنن سيناأو ت ؤاخذ رب نال
Artinya :”Ya Tuhan kami janganlah Engkau menuntut kami apabila kami
lupa atau keliru. (QS. Al-Baqarah:286)
Juga seperti dalam hadis:
33)رواهابنماجووالبيهقي(وي لاعو ىرك تااس موانيس الن واءطخل اي تم ان ععفر
Artinya :”Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang
dipaksakan atasnya. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)”
Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha
terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan
bahwa lupa adalah yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan
pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa
orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tidak
berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian ia tetap
dikenakan pertanggungjawaban perdata, apabila perbuatannya itu
menimbulkan kerugian kepada orang lain.34
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi
alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas
kesengajaan, sedangkan pada orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak
ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan
33
Tajuddin ‘Abdul Wahab ibn ‘Ali al-Subki, Thabaqat as-Syafi‟iyah al-Kubro, (Mesir:
Dar el-Salam ). h. 218 34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.97
54
hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan
dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan
perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.
Lupa kelompok kedua ini terdiri atas dua macam; pertama, lupa
yang dimaklumi dan tidak berdosa. Lupa jenis ini terjadi karena kelalaian
atau tidak sengaja, misalnya orang yang terlambat shalat karena ia
ketiduran. Namun, hal ini pun perlu diperhatikan, apakah ketiduran yang
menyebabkan ia terlambat shalat terjadi berulang kali atau baru sekali. Jika
ketidurannya belum pernah terjadi sebelumnya atau bukan merupakan
suatu kebiasaan, maka hal ini bisa dimaklumi.
Kedua, lupa yang tidak bisa dimaklumi dan pelakunya
mendapatkan dosa. Lupa jenis ini terjadi karena kesengajaan, baik dalam
bentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh,
seseorang sudah mengetahui bahwa ketika azan bergema hendaknya ia
bersegera mengambil air wudhu untuk menunaikan salat. Akan tetapi. Ia
sengaja menunda dengan alasan bahwa waktu salatnya masih panjang. Ia
lebih memilih bermain atau mengerjakan sesuatu yang mubah. Kemudian
Allah menakdirkan ia lupa akan shalatnya, dan baru ingat setelah masuk
waktu salat berikutnya.35
35
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 88
55
Meskipun demikian, pengakuan lupa semata-mata dari pelaku tidak
bisa membebaskannya dari hukuman, sebab pelaku harus dapat
membuktikan kelupaannya dalam hal ini sangat sukar dilakukan.36
b. Keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam
jarîmah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan
tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian
dan kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru
dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara‟. Hanya
saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja
sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan
dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melenggar ketentuan
syara‟ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-
hati.
Keliru dapat menghapuskan pidana, tetapi tidak bagi tindak pidana
jinâyat. Dalam tindak pidana, syariat telah menentukan bahwa pelaku
tindak pidana jinâyat harus dijatuhi sanksi, meskipun perbuatannya
dilakukan karena keliru. Dengan kata lain, unsur kekeliruan dapat
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.80
56
mengahapuskan hukuman bagi pelaku tindak pidana selain jinâyat, karena
hapusnya unsur kesengajaan.37
Apabila melihat dasar-dasar yang ada dalam syara‟ maka
sebenarnya pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada perbuatan
sengaja yang diharamkan oleh syara‟ dan tidak dikenakan terhadap
kekeliruan. Dalam surah Al-Ahzab ayat 5 disebutkan:
ق لوبكم ولي سعلي ك طأ تمبوولكنم ات عم دت م جناحفيماأخ
Artinya:”Dan tidak ada dosa atasmu tentang apa yang kamu kerjakan
karena keliru, tetapi tentang apa yang disengajakan oleh
hatimu.”(QS. Al-Ahzab:5)
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara‟ membolehkan
dijatuhkannya hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari
ketentuan pokok tersebut. Misalnya tindak pidana pembunuhan,
sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 93.
من كانلمؤ منةوديةوما ريررق بةم ؤ مناخطئاف تح خطئاومنق تلمؤ مناإل تلمؤ أني ق لو م سل مةإلىأى
Artinya :”Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh
mukmin yang lain kecuali karena keliru. Barangsiapa yang
membunuh orang mukmin karena keliru maka hukumannya
memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar diat kepada
keluarganya…” (QS. An-Nisa:93)
37
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 89
57
Dengan adanya dua ketentuan tersebut diatas, yang satu merupakan
ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari
ketentuan pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas
perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari
syara‟. Dengan demikian, apabila syara‟ tidak menentukan hukuman
untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan
pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.38
c. Pelakunya Orang gila
Keadaan gila adalah hilangnya akal untuk mempertimbangkan
suatu tindakan secara logis. Gila menghalangi seseorang untuk berbicara
dan bertindak secara wajar. Keadaan gila pada diri seseorang dapat
dibedakan dari segi waktu, yaitu sebagai berikut:
1) Gila yang berlansung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan (al-
junûn al-muabbad). Keadaan gila ini membebaskan seseorang dari
pertanggungjawaban hukum, baik dalam hal ibadah, muamalah
maupun jinâyah.
2) Gila yang berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan (al-junûn al-
muaqqat). Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklîf padanya.39
d. Pelakunya adalah anak-anak
Anak-anak adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas
perbuatannya, karena bukan termasuk orang yang mampu untuk
38
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.81 39
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), h. 102
58
bertanggung jawab. Jika anak-anak melakukan suatu perbuatan pidana,
maka perbuatannya dimaafkan.40
Pertanggungjawaban pidana dibebankan pada seseorang yang mukallaf,
yaitu yang memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua
faktor tersebut tidak dimiliki oleh seorang maka tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban. Kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang
karena suatu bawaan sejak lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari
luar. Manusia ketika mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang
menggunakan kekuatan berpikirnya, akan tetapi karena adanya suatu gangguan
atau karena serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam berpikirnya
hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa ada waktu tertentu. Hilangnya
kemampuan berpikir (akal sehat) dalam kehidupan sehari-hari dapat dinamakan
dengan gila. Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus
menerus maka itu dinamakan dengan gila terus menerus, artinya hilangnya
kekuatan berpikir hanya beberapa saat (gila kambuhan/berselang).41
40
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397 41
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri‟ al jian‟iy al- islamy, muqaranan bil-Qammil Wadhi‟iy,
Juz Awal ,(Beirut : Muasasah Riasalah , 1996), h.127
59
BAB IV
PERSFEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK
A. Segi Hukum Pidana Nasional Tentang Anak Sebagai Pelaku Kejahatan
Konsep hukum pidana positif (KUHP) tentang pelaku kejahatan meliputi 4
(empat) kategori sebagai berikut:
1. Mereka yang melakukan perbuatan.
2. Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan.
3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan.
4. Mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan dengan
empat cara atau daya (dengan janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan/
martabat, dengan kekerasan/ancaman, kekerasan/penyesatan, dan dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan).1
Keempat kategori pelaku tersebut diatas tidak berlaku sepenuhnya bagi
seorang anak karena dilihat dari segi usia dan perkembangan fisiknya, hanya
perbuatan yang termasuk kategori pertama dan ketiga yang dapat menempatkan
anak sebagi subjek kejahatan. Pernyataan ini dapat diterima secara akal sehat akan
1 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 2005), h. 6
60
tetapi kemungkinan seorang anak dapat melakukan perbuatan kategori dua dan
empat bukanlah sesuatu yang mustahil.2
Pembentuk undang-undang pidana ini tidak membedakan secara sosiologis-
psikologis seorang anak, kecuali hanya menetapkan keempat kategori tersebut
diatas dan dengan asumsi bahwa, seorang anak memiliki kemampuan untuk
melakukan salah satu dari keempat kategori perbuatan tersebut. Pembentuk
Undang-Undang ini hanya memberikan pengecualian tentang pertanggung
jawaban seorang anak yang melakukan kejahatan atau pertanggungjawaban
pidananya.
Pengecualian ini dimasukkan dalam Pasal 45-47 KUHP. Dibawah judul,
“hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana”. Pasal 45
KUHP menetapkan pengecualian pertanggungjawaban pidana pada mereka yang
belum berusia 16 tahun dengan langkah-langkah baik yang bersifat pemidanaan
atau tindakan dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana, diserahkan
kepada pemerintah, atau dipidana dengan pengurangan sepertiga dari ancaman
maksimum pidana pokok atau dijatuhi pidana maksimum 15 tahun jika kejahatan
yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 46 KUHP menetapkan tempat-tempat penampungan bagi seorang anak
yang telah dijatuhi putusan, diserahkan kepada pemerintah. Pasal 47 KUHP
ketentuan tentang lamanya pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana.
2 Ibid., h.7
61
Ketiga Pasal tersebut diatas sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 3
Januari 1997 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak.
Pada Pasal 67 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dinyatakan bahwa “pada
saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.3
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah dengan pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara
komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.4
B. Ketentuan Batas Umur Anak
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak,
karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan
kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam sutau
peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi
para petugas dilapangan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah sidik,
salah tuntut maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi seseorang.
3 Ibid., h.8
4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
62
Mengenai batasan umur anak dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012,
tampaknya ketentuan Pasal 1 ayat 3 sejalan dengan Pasal 20, karena ketentuan
yang belakangan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjabarkan lebih lanjut.
Pasal 1 ayat 3: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.5
Ketentuan dalam pasal ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara
anak yang berkonflik dengan Hukum saja, tanpa membedakan jenis kelamin laki-
laki atau perempuan dengan umur dibatasi secara minimal yaitu 12 (dua belas)
tahun dan maksimal 18 (delapan belas) tahun.
Pada ayat sebelumnya yaitu pada Pasal 1 ayat (2) dikatakan bahwa anak
yang berhadapan dengan Hukum dibagi menjadi tiga, yaitu anak yang berkonflik
dengan Hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi
saksi tindak pidana.
Pasal 20 : Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur
18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.
Batasan umur dalam kedua ketentuan diatas, menunjukkan bahwa yang
disebut anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan dalam hal ini
5 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
63
diperkarakan secara pidana ketika berumur antara 18 – 21 tahun. Apabila anak
telah mencapai umur 21 tahun harus dianggap sudah dewasa bukan sebagai
kategori anak lagi. Dengan demikian tidak diproses berdasarkan Undang- Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, tetapi berdasarkan
KUHP dan KUHAP.
Disini tampak bahwa pembentuk Undang-Undang mempunyai ketegasan
tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak dibawah umur sehingga
berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus
bagi kepentingan psikologi anak.
Bagaimana menentukan seseorang itu termasuk anak? Dalam menangani
perkara anak, petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada
hubungannya dengan kelahiran di anak, seperti akta kelahiran. Kalau anak tidak
mempunyai akta tersebut, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya Surat
Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran. Hal yang
demikian diperlukan biasanyan terjadi apabila seorang anak memiliki badan yang
bongsor (besar), sehingga secara kasad mata agak meragukan umurnya, apakah
benar yang bersangkutan belum mencapai umur 18 tahun.6
Surat-surat itu hanya sekedar untuk mengetahui saja, bukan dipakai
sebagai surat bukti untuk dipersidangan, karena bukti surat untuk perkara pidana
dengan bukti surat untuk perkara perdata syaratnya berbeda. Pada bukti surat
6 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007), h.19
64
dalam perkara pidana dipersyaratkan ada hubungannya dengan sumpah,
sedangkan untuk perkara perdata tidak demikian.7
Batasan umur anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
dibandingkan dengan batasan dalam Pasal 45 KUHP (yang sudah tidak berlaku),
tampak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak batasannya lebih
tinggi karena dalam Pasal 45 KUHP hanya membatasi umur sampai sebelum 16
tahun dan tidak ada batasan minimal.
Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia
anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
dalam Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Namun lain halnya menurut
Hukum Islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas hitungan usia tetapi
dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniyyah, baik pria maupun
wanita.8
Khusus dalam konteks pertanggungjawaban pidana, hukum Islam
mensyaratkan kebalighan (dewasa).9 Maka, anak-anak tidak dikenakan kewajiban
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Menurut syariat Islam,
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yakni pertama kekuatan
7 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007), h.20
8 Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h.26
9 Kata baligh terambil dari akar kata balagha yang atrinya menerima, tiba (sampai),
mencapai pubertas dan tahap usia dewasa. Usia baligh adalah usia yang di pandang tepat sebagai
batas di mulainya kewajiban-kewajiban agama.
65
berpikir dan kedua pilihan ( irâdah dan ikhtiyar). ketentuan ini berdasarkan pada
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
ن ع مهل ق ال ع ف رهم ل س و و ي ل ع ىاللهل ص الل لهو سهر ال :ق ت ال اق ه ن ع اللهي ض ر ة ش ائ ع ن ع ل قهع ىي ت ح ن و ن هج م ال ن ع و م ل ت ح ىي ت ح ي ب الص ن ع و ظ ق ي ت س ىي ت ح م ائ الن ن ع ث ل ث 10(والنسائيالترمذيالبخاريو)رواه
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda
;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu
orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh
dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, at-
Tirmidzi, dan an-Nasai‟)
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam dapat ditegakkan atas 3 hal yaitu
pertama adanya perbuatan kejahatan yang dilakukannya. Kedua, pelaku atau
pembuatnya mengetahui akibat dari perbuatan tersebut. Ketiga, bahwa perbuatan
yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah
menjelaskan :
11لافعالالعقلءقبلورودالنصلاحكم
Artinya: “Tiada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum
adanya Nash.”
Kecakapan berbuat hukum dalam batas minimal seorang anak adalah saat
memasuki periode baligh, karena baligh menjadi tanda seorang dalam
perkembangan kecerdasan akalnya dan mampu untuk membedakan perbuatan
baik dan buruk dan sempurna pikirannya.
Mengenai kedewasaan (baligh) sebagai pembebanan kewajiban agama
(taklîf) ada beberapa pendapat ulama. Baligh terdiri atas dua macam :
10
Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.),
h.1339 11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.74
66
Pertama, baligh bi thabi‟i yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah
lakunya atau tanda-tanda, dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui melalui
tanda-tanda yang tampak dan jelas terlihat yaitu:
1. Mimpi senggama bagi laki-laki,
2. Menstruasi atau datangnya masa haidh bagi perempuan,
3. Berubahnya suara,
4. Tumbuh bulu ketiak,
5. Tumbuh rambut disekitar kemaluan.
Kedua, baligh bi sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur
apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka demi kepastian hukum
baligh ini ditentukan dengan menetapkan umur. Adapun penentuan kedewasaan
dengan umur ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, antara lain:
1. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah serta jumhur ulama berpendapat bahwa
usia baligh anak baik laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.12
Hal ini
didasarkan pada sebuah riwayat Ibnu Umar:
ع ب ر ا نهب اا ن ا و د حهاهم و ي م ل س و و ي ل ع ىاللهل ص ي ب ىالن ل ع تهض ر ع ال ق ر م عهن ب ا ن ع ة ر ش ع س م خ نهب اا ن ا ,و ق د ن خ ال م و ي تهض ر ع و ال ت ق ال ي ف ي ن ز ج ي م ل و ي ن د ر ف ة ن س ة ر ش ع 13 ()رواهمسلمي ن ز اج ا ف ة ن س
12
Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala al-Madzahib al-„Arba‟ah, (Beirut:Daar al-Fikr,
Juz II, 1985.), h.349 13
Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Syarh al-Nawawi ala Muslim, juz I (Mesir: Dar al-
Khoir, 1996), h.868
67
Artinya: “Dari Ibnu Umar berkata: Aku datang kepada Rasulullah untuk
ikut berperang Uhud ketika usiaku 14 tahun lalu Rasulullah tidak
mengizinkan, setahun kemudian aku datang kepada Rasulullah
untuk ikut perang Khandak lalu Rasulullah mengizinkan ketika
usiaku 15 tahun.”(HR. Bukhari)
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia 19
tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
3. Imam Malik menetapkan umur dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki dan
perempuan.
4. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berusia
21 tahun.14
5. Menurut pendapat Hadawiyah yang dikutip oleh Kahlani, seorang
perempuan dianggap telah cukup apabila telah mencapai usia 15 tahun,
dan telah menampakkan pertumbuhan biologis kedewasaanya.15
Sebelum batas kedewasaan tersebut dicapai seseorang, maka belum dapat di
katakan mukallaf (orang yang mendapatkan kewajiban agama), dan karenanya,
berdasarkan ketentuan hadis di atas, maka kepada orang itu tidak dapat di
pertanggungjawabkan tindak pidana yang di perbuatanya, dan karenanya ia tidak
dapat dihukum atas perbuatan tersebut.16
C. Jenis Tindak Pidana Anak
Apabila diteliti dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, ternyata tidak ditemukan jenis pidana anak apakah
14
Ibid.,h.350 15
Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail, Subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III
(Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), hal 180 16
Ibid, h.185
68
dilakukan sendiri atau bersama-sama. Namun dalam Pasal 24 dapat diindikasikan
pembagian pidana dan penanganannya.
Pasal 24 : Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang
dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak,
sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke
pengadilan yang berwenang.17
Ketentuan ini dalam penjelasan Pasal 24 dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa Undang-Undang ini memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam
arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan perlakuan terhadap orang
dewasa atau terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara
koneksitas.
D. Penjatuhan Pidana dan Tindakan
Apa saja yang menjadi sanksi hukum yang dapat dijatuhkan terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum. Mengenai sanksi hukumnya Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengaturnya sebagaimana ditetapkan dalam
Bab V dan secara garis besar sanksi tersebut ada 2 (dua) macam yaitu berupa
pidana dan tindakan (Pasal 69).
Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
17
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
69
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan.
Dalam penjelasan Pasal ini cukup jelas dan secara tegas bahwa anak yang
berhadapan dengan hukum hanya dapat diproses hukum berdasarkan ketentuan
yang ada dalam Undang-Undang ini.18
Pada Pasal 69 ayat (2) dijelaskan bahwa pidana tidak dapat dijatuhkan
pada anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berumur 14 tahun dan
hanya dapat dikenai tindakan.
Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua
perkara, yaitu ketentuan berpikir dan pilihan (iradâh dan ikhtiyar),19
oleh karena
itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa hidupnya.
Setidaknya fuqahâ‟ memberikan batasan masa kanak-kanak sebagai berikut :
1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir
Masa ini di mulai sejak dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun.
Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan
berpikir, atau biasa disebut dengan anak belum mumayyiz. Sebenarnya
kemampuan berpikir (bisa membedakan, tamyîz) tidak terbatas pada usia tertentu,
sebab kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia tujuh tahun
dianggap paling lazim dan memadai bagi seorang anak bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. jika pada usia tersebut mereka melakukan
perbuatan pidana, maka tidak di jatuhi hukuman, baik sebagai hukum pidana, atau
18
Maksud dari pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak 19
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.73
70
sebagai pengajaran. Akan tetapi, anak tersebut di kenakan pertanggungjawaban
perdata, yang di bebankan kepada orang tua, yaitu memberikan ganti kerugian
terhadap kerugian yang di derita oleh diri dan harta milik orang lain.walaupun
demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Amidi.20
mengenai tidak berlakunya hukum
qishash bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di tegaskan juga oleh
Syurbaini Khatib.21
dan Imam ar- Ramli.22
2. Masa kemampuan berpikir lemah
Masa ini di mulai sejak usia 7 (tujuh) tahun sampai mencapai kedewasaan
( baligh ), dan kebanyakan fuqahâ membatasinya dengan usia 15 (lima belas)
tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia di anggap
dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.
Menurut A. Hanafi, pada masa tersebut seorang anak tidak dikenankan
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, melainkan
anak tersebut mendapat hukuman dalam bentuk pengawasan, bukan hukuman
pidana. Kalau pun anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara
berulang-ulang, hal itu tidak di kategorikan sebagai pengulang kejahatan
(recidivist). hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari
hukuman ganti rugi sebgai bentuk pertanggungjawaban perdata.
20
Al – amidi , saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul al-Ahkam ,
juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), h. 78 21
Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma‟rifat , Ma‟ani Alfadz Minhaj
„ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), h. 279 22
Ar-Ramli , Muhammad Syihabuddin , nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –minaj, juz V (
Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) h. 246
71
3. Masa kemampuan berpikir penuh
Masa ini di mulai sejak seseorang mencapai usia kecerdikan (sinnur-
rusydi), atau dengan kata lain, setelah mencapai usia lima belas tahun atau
delapan belas tahun. Jika pada usia tersebut melakukan perbutan pidana, maka
berlaku pertanggungjawaban pidana atasnya dari seluruh jenis jarîmah yang
dilakukannya tanpa terkecuali.23
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban
pidana atas delik pidana yang dilakukan anak-anak mendapatkan tempat
pembahasan khusus dalam lingkup hukum pidana Islam. Dalam konteks ini maka
dapat dikatakan bahwa komunitas usia anak mendapatkan perhatian tersendiri
dalam hukum Islam.
Sebagaimana ditegaskan, dalam pandangan Islam, komunitas usia anak
belum dipandang sebagai mukallaf, maka dalam konteks perbuatan hukumannya
pun dipandang belum sempurna, usia anak-anak, baik dalam ibadah maupun di
luar ibadah Islam tidak dikategorikan sebagai perintah wajib. Dengan kata lain,
perbuatan anak-anak, tepatnya, masih dalam kategori anjuran, ajakan dan
pembinaan.
E. Sanksi Pidana Bagi Anak
Sanksi hukum yang berupa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana
tambahan. Untuk pidana pokok ada lima macam, sebagaimana ditetapkan pada
Pasal 71 ayat (1), yaitu:
23
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet.II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397
72
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.24
Apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa
hukuman pokok juga ada empat macam, berupa:
- pidana mati
- pidana penjara
- pidana kurungan
- pidana denda25
Dari perbandingan tersebut tampak bahwa dalam Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak, tidak menghendaki seorang anak dijatuhi pidana pokok
yaitu berupa pidana mati. Sebagaimana diketahui dalam memeriksa dan mengadili
perkara anak, harus memperhatikan kepentingan anak.
Anak merupakan generasi muda yang berpotensi sebagai penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
24
Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak 25
Lihat Pasal 10 KUHP
73
menjamin pertumbuhan perkembangan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu kalau
seorang anak dijatuhi pidana mati, nantinya tidak mungkin terpidana akan
mendapat pembinaan ke masa depan dan tidak mungkin akan memperbaiki
dirinya dari kesalahan yang telah lalu. Demikian pula dengan pidana seumur
hidup, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tidak menginginkannya sama sekali.
Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) ada
dua macam, yaitu:
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.26
Kemudian tentang hukuman tambahan dalam Pasal 10 KUHP terdapat tiga
macam, yaitu berupa:
- Pencabutan beberapa hak yang tertentu.
- Perampasan barang tertentu.
- Pengumuman keputusan hakim.27
Dari perbandingan pidana tambahan diatas, tampak Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak tidak menghendaki adanya ketentuan pencabutan hak yang
dimikili seorang anak. Pada umumnya anak pekerjaannya atau kegiatannya adalah
sekolah, kalau ini merupakan hak seorang anak, maka kalau ada anak terlibat
kejahatan dan kemudian oleh hakim dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
26
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak 27
Lihat Pasal 10 KUHP
74
hak untuk menjadi siswa sekolah, malah nantinya hukuman ini mengakibatkan
keadaan buruk bagi anak yang bersangkutan.28
Anak yang dicabut haknya sebagai siswa sekolah, akibat praktis tidak dapat
sekolah. Ia dikeluarkan sekolah dan tidak dapat masuk sekolah lagi meskipun
disekolah lain. Akibat selanjutnya ia akan frustasi dan menjadi anak bodoh. Hal
yang demikian tidak sejalan dengan tujuan negara yang hendak mencerdaskan
kehidupan bangsa. Padahal meskipun anak dijatuhi hukuman pidana, masih
mungkin untuk memperbaiki dirinya dan meneruskan sekolah sampai sarjana serta
masih dapat diharapkan untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi
bangsa dan negara.29
Dalam Hukum Islam sanksi pidana atau hukuman dikenal dengan istilah
“uqûbah”. Pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah adalah:
نامرالشارعاعلىعصيرلمصلحةالجماعةالعقوبةىىالجزاءمقر
Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-
ketentuan syara‟.30
Allah SWT telah menatapkan hukum-hukum „uqûbah (pidana, sanksi, dan
pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”.31
Para
28
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 2005), h. 7 29
Ibid., h.8 30
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
80 31
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h.9
75
ulama atau para ahli hukum Islam membagi jenis-jenis atau bentuk-bentuk hukum
pidana Islam menjadi hudûd, qishash, diyat, dan ta‟zîr.
1. Hudûd
Hudûd adalah hukuman kejahatan yang telah ditetukan kadarnya sebagai
hak Allah, baik kualitas maupun kuantitasnya telah ditentukan dan tidak
mengenal tingkatan. Kejahatan yang diancam dengan hukuman had ini
adalah zina, tuduhan palsu zina, minum khamar, pencurian, perampokan,
pemberontakan, dan murtad.
2. Qishâsh
Jenis dan hukuman pidana qishâsh telah ditentukan, sama halnya dengan
pidana hudûd, hanya saja qishâsh menjadi hak adamiy yang membuka
kesempatan pemaafan bagi pelaku oleh orang yang menjadi korban, wali,
atau ahli warisnya. Jadi, dalam qishâsh korban atau ahli warisnya dapat
memaafkan pelaku dengan meniadakan qishâsh dan menggantinya dengan
diyat (denda/ganti rugi) atau bahkan meniadakan diyat sama sekali.
Contoh dari hukuman qishsâsh adalah pembunuhan sengaja (qatl al-
„amdi), pelukaan sengaja (jarh al-„amdi), dan menghilangkan anggota
tubuh dengan sengaja.
3. Diyat
Diyat atau ganti rugi merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok
(qishâsh) yang apabila pelakunya dimaafkan atau adanya suatu sebab
syar‟i yang menghalangi atau mencegah qishâsh. oleh karena itu diyat dan
qishâsh mempunyai hubungan yang sangat erat. Contoh dari hukum diyat
76
adalah pembunuhan semi sengaja (qatl sibh al-„amdi), pembunuhan tidak
sengaja, pelukaan tidak sengaja, dan menghilangkan anggota badan yang
tidak disengaja.
4. Ta‟zîr
Ta‟zîr merupakan bentuk hukuman yang tidak ditentukan kadar
batasannya oleh syara‟ sebagaimana had, qishâsh, dan diyat, dan yang
menetukan hukumannya adalah hakim dan menjadi kekuasaan waliyul
amri.32
Dalam hukuman ta‟zîr, hakim dapat memilih hukuman yang lebih
tepat bagi pelaku, sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat
kejahatan.33
Bentuk pidana ta‟zîr merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan
pemidaan dalam Alqur‟an dan Sunnah, khusunya terhadap bentuk-bentuk tindak
pidana yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber hukum itu, tetapi
kenyataannya memerlukan pengaturan tertentu yang bersifat pidana. Hal ini
dimungkinkan, karena ketentuan-ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam
Al-Qur‟an dan cotoh-contoh dari Nabi memang masih terbatas kepada kenyataan
empiris di zaman Nabi, sedangkan kebutuhan masyarakat semakin hari semakin
kompleks dan berkembang, karena bentuk-bentuk dan jenis-jenis kejahatan
semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu adanya pidana ta‟zîr ini sebagai
32
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
81 33
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi,
1966), h.273
77
produk ijtihad para ahli hukum dan hakim, sangat perlu untuk dikaji dan
dijabarkan secara lebih luas.34
Dalam persepektif hukum pidana Islam, jenis hukuman yang dijatuhkan
kepada anak yang melakukan tindak pidana, sebagaimana ditegaskan dalam
pembahasan sebelumnya, sangat tergantung kepada kemampuanya untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanya. Adapun jenis hukuman yang diberikan
adalah hukuman pokok dalam tindak pidana qishâsh-diyat, yakni hukuman
qishâsh dan hukuman pengganti, yakni membayar diyat ( denda).
Penting ditegaskan bahwa hukuman qishâsh dan diyat sangat terkait
dengan jenis perbuatan pidana. Sebagaimana dimaklumi bahwa kategori usia
anak-anak (ash-shobiyyun) tidaklah sama dengan kategori dewasa (mukallafun).
Kategori anak-anak dalam hukum Islam tidak termasuk kategori yang diwajibkan
hukum padanya (laysa lahu khilabun).35
Maka, kalaupun mereka melakukan tindak pidana, hal itu tidak disebut
sebagai perbuatan pidana sempurna. Maksudnya, terdapat pengecualian hukuman
bagi mereka. Hukuman bagi kategori shobiyyun adalah wujûd ad-dhaman fî
mâlihi (kewajiban membayar ganti rugi dari hartanya). Begitupun hakim memiliki
kekuasaan untuk melihat secara jernih dan proporsional tingkat intensitas
perbuatan dan kematangan pola pikir anak. Hakim dapat saja berpandangan lain,
manakala terdapat indikator kuat bahwa kematangan pola pikir anak tercermin
dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Di sinilah hukuman ta‟zîr atau dapat
34
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet.II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
398 35
Ibid., h.399
78
pula diartikan sebagai ta‟dîb atau pelajaran dapat pula dikenakan kepada
mereka.36
Sedangkan untuk kategori tindak pidana ta‟zîr, hakim memiliki
kewenangan penuh untuk menjatuhkan hukuman termasuk jenis hukuman kepada
anak sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan dalam hukum Islam hanya
menyebutkan bahwa melalui pertimbangan hakim tersebut, maka batasan
hukuman tidak tertentu, dari hukuman yang terendah sampai hukuman yang
tertinggi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas
tindak pidana yang dilakukan anak-anak tidaklah semat-mata sebagai persoalan
yuridis, tetapi juga persoalan psikologis, sosiologis, pedagogis, dan faktor
kemaslahatan bagi anak. Kaum anak dalam batasan umur yang disebutkan di atas,
wajib mendapatkan perlindungan hukum, sekalipun mereka harus
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan.
36
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
80
79
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka akhir dari penulisan
skripsi ini dapat di tarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan :
1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak-anak
dalam persepktif hukum pidana positif di kenal dengan criminal responsibility
berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana
tersebut di golongkan kepada perilaku anak-anak, sehingga anak sebagai
pelaku pidana teresebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. UU
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur
tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum materil
maupun hukum formil.
2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak-anak
dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas’ûliyyah
al-jinâiyyah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja
terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan
kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan
adalah adanya unsur irâdah ( keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
3. Persamaan antara hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam adalah
bahwa kondisi masa anak-anak merupakan alasan pembenar untuk
mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua sistem hukum juga sama
dalam memandang adanya batasan tentang usia yang termasuk kategori anak-
anak. Akan tetapi ditemukan perbedaan antara hukum pidana positif dan
80
hukum pidana Islam bahwa dalam hukum pidana positif, khususnya dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
telah menggariskan batas usia seseorang dalam kategori anak, yakni minimal
12 (dua belas) tahun maksimal 18 (delapan belas) tahun. Pertimbangan-
pertimbangan lain seperti pertimbangan psikologis, sosiologis dan pedadogis
ini patut diberikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang dilakukan
oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah usia pertanggungjawaban
anak, penjatuhan hukuman tindakan untuk anak yang berusia dibawah 14
(empat belas) tahun dan penjatuhan pidana untuk anak telah mencapai usia 14
(empat belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini
muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat
kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut perspektif
hukum pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak
serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan
pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam
mengkualifikasi status sebagai anak.
B. Saran
1. Pertanggungjawaban pidana merupakan elemen penting dalam upaya
penegakan dan kepastian hukum. Maka dalam konteks pelaku pidana dalam
kategori usia anak-anak dibutuhkan sebuah kepastian hukum dalam rangka
penegakan hukum yang adil dan beradab. Maka, diharapkan kepada penegak
hukum agar menerapkan prinsip kemaslahatan terbesar bagi anak.
2. Bagi aparatur hukum diharapkan memiliki pengetahuan psikologi hukum
yang dapat menopang ketajaman dan pertimbangan hukum sehingga kasus-
81
kasus pidana yang dilakukan anak-anak, tidak saja memenuhi unsur
formalitas yuridis, tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian
hukum di tengah-tengah masyarakat.
3. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian
terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan. Telah
menjadi keyakinan dan konsensus nasional terpenting bersama dengan sistem
hukum nasional. Maka kepada para sarjana hukum dan sarjana hukum Islam
agar dapat menjadikan kedua sistem hukum pidana ini sebagai kajian
akademik unuk melahirkan seperangkat sistem hukum pidana nasional yang
kuat dan tangguh.
82
DAFTAR PUSTAKA
Ababil,Jufri Bulian. Raju Yang Diburu Buruknya Peradilan Anak Di Indonesia,
(Jogjakarta:Pondok Edukasi), 2006
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Usia Tiga Tahun Pertama
(Psikologi Atitima), (Bandung: Refika Aditama, 2007)
Al -Amidi , Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul al-
Ahkam , juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt)
Al Faruk, Assadulloh.Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009)
Al-Anshari, Jamaludin Muhammad bin Mukram. Lisan al-Arab, (Kairo:
Muassasah al-Misriyah, t.t.), Jilid 13
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011)
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh Ala Mazahib Al- Arbaah, (Al-Maktabah Al-
Tijariyah Al-Kubra, Beirut, 1972)
Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail, Subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz
III (Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960)
Al-Mawardi, Abu Hasan.al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-
Halabi, 1966)
Al-Munawir, Ahmad Warson.al-Munawir, (Jakarta: Penerbit tidak ditemukan,
1984)
Aqsa, Al-Ghiffari dan Muhammad Isnur, Mengawal Perlindungan Anak
Berhadapan Dengan Hukum, (Jakarta: LBH Jakarta, 2012)
Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin.Nihayat al-Muhtaj ‘ala Syarh al –minhaj, juz
V ( Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt)
Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah,
t.th.)
Az-Zuhaily, Wahbah, al-fiqh al-Islamy wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989),
VI
Beik, Khudlari.Ushul Fiqh, (Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979)
83
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010)
Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
Hidayat, Bunadi, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni,
2010)
Khalaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Majlis A’la Indonesia, Jakarta)
Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz
Minhaj ‘ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958)
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Roda Karya,
2004)
Mundhir, Ibnu, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5
Muslich, Ahmad Wardi.Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2011)
Penney Upton,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga,2012
Prakoso, Djoko.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, (
Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1987 )
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2012)
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, (
Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996)
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), Jilid 10, Cet ke-3
Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia,(Bandung :
Mandar Maju, 2005)
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam,;Penerapan Syariat Islam
Dalam Konteks Modernitas, Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press
&Grafika,2001)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet.
Ke-3
84
Soekito, Sri Widowati Wiratmo, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta:
LP3ES, 1983)
Suharto, R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002)
Suma, M. Amin dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan
Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997)
Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007)
Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006)
Thohir, Muhammad.Seminar Kesehatan Anak, (Rumah Sakit Islam Surabaya,
1993)
Widyana, I Made, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010)
Yafie, Ali, Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum
Pidana Islam, Edisi Indonesia
Zahrah, Muh. Abu.Ushul Fiqh, (Dar Al-Fikr, Beirut, t.th.)
Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan
Islam, ( Jakarta: UIN Jakarta Press)
Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak
berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama
pelindungan hukum dalam sistem peradilan;
c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap
anak mempunyai kewajiban untuk memberikan
pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat
karena belum secara komprehensif memberikan
pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang
baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28B ayat (2), Pasal
28G, dan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang- . . .
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan
proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan
dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.
2. Anak . . .
- 3 -
2. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi
tindak pidana.
3. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
4. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang
selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.
5. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang
selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
6. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.
8. Penyidik adalah penyidik Anak.
9. Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak.
10. Hakim adalah hakim Anak.
11. Hakim Banding adalah hakim banding Anak.
12. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak.
13. Pembimbing . . .
- 4 -
13. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat
fungsional penegak hukum yang melaksanakan
penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di
dalam dan di luar proses peradilan pidana.
14. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang
bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun
swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi
pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan
sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial Anak.
15. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang
dididik dan dilatih secara profesional untuk
melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan
masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja,
baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang
ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan
sosial Anak.
16. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah,
ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya
oleh Anak.
17. Wali adalah orang atau badan yang dalam
kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai
orang tua terhadap anak.
18. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak
untuk mendampinginya selama proses peradilan
pidana berlangsung.
19. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
20. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya
disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak
menjalani masa pidananya.
21. Lembaga . . .
- 5 -
21. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang
selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara
bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
22. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang
selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau
tempat pelayanan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.
23. Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam
pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.
24. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan
yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian
kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan.
Pasal 2
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan
asas:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai
upaya terakhir; dan
j. penghindaran pembalasan.
Pasal 3
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan . . .
- 6 -
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang
yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:
a. mendapat pengurangan masa pidana;
b. memperoleh asimilasi;
c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. memperoleh pembebasan bersyarat;
e. memperoleh cuti menjelang bebas;
f. memperoleh cuti bersyarat; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Hak . . .
- 7 -
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Anak yang memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan
pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan
di lingkungan peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan,
dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah
menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib
diupayakan Diversi.
BAB II
DIVERSI
Pasal 6
Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pasal 7 . . .
- 8 -
Pasal 7
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 8
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pasal 9
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan . . .
- 9 -
(2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan
korban dan/atau keluarga Anak Korban serta
kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
minimum provinsi setempat.
Pasal 10
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak
pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana
ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik
bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi
Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 11
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan . . .
- 10 -
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
Pasal 12
(1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan
Diversi.
(2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung
pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan
daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh
penetapan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan,
Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
(5) Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan
penghentian penyidikan atau Penuntut Umum
menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 13
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
Pasal 14 . . .
- 11 -
Pasal 14
(1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan
kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan
langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap
tingkat pemeriksaan.
(2) Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan
kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing
Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan,
pembimbingan, dan pengawasan.
(3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan
dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing
Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada
pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti
laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Pasal 15
Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III ACARA PERADILAN PIDANA ANAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 17 . . .
- 12 -
Pasal 17
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib
memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang
diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya
dalam situasi darurat.
(2) Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi
tanpa pemberatan.
Pasal 18
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan
suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Pasal 19
(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi
wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak
ataupun elektronik.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak
Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain
yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak
Korban, dan/atau Anak Saksi.
Pasal 20
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum
genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke
sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan
melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak
tetap diajukan ke sidang Anak.
Pasal 21 . . .
- 13 -
Pasal 21
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana,
Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang
tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6
(enam) bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan
laporan perkembangan anak kepada Bapas secara
berkala setiap bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan keputusan serta program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 22 . . .
- 14 -
Pasal 22
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing
Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak,
Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga
atau atribut kedinasan.
Pasal 23
(1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib
diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau
Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau
orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau
Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
(3) Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa
perkara yang sedang diperiksa, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
bagi orang tua.
Pasal 24
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama
dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional
Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan orang
dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan
ke pengadilan yang berwenang.
Pasal 25
(1) Register perkara Anak dan Anak Korban wajib dibuat
secara khusus oleh lembaga yang menangani perkara
Anak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register
perkara anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua . . .
- 15 -
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 26
(1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh
Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi
dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
Anak.
(4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang
melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 27
(1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak,
Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari
Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan.
(2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan,
psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan
tenaga ahli lainnya.
(3) Dalam . . .
- 16 -
(3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak
Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta
laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau
Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan.
Pasal 28
Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh
Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan
penyidik diterima.
Pasal 29
(1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.
(2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
dimulainya Diversi.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara
Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua
pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan
penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut
Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan
laporan penelitian kemasyarakatan.
Bagian Ketiga
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 30
(1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna
kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh
empat) jam.
(2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang
pelayanan khusus Anak.
(3) Dalam . . .
- 17 -
(3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada
di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di
LPKS.
(4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara
manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya.
(5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS
dibebankan pada anggaran kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial.
Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik
berkoordinasi dengan Penuntut Umum.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam waktu paling lama 1 X 24 (satu kali
dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan.
Pasal 32
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan
dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang
tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan
melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau tidak akan
mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan
dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau
lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih.
(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat
perintah penahanan.
(4) Selama . . .
- 18 -
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani,
dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.
(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan
penempatan Anak di LPKS.
Pasal 33
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama
7 (tujuh) hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8
(delapan) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.
(4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
(5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat
dilakukan di LPKS setempat.
Pasal 34
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan
penahanan paling lama 5 (lima) hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat
diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling
lama 5 (lima) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.
Pasal 35 . . .
- 19 -
Pasal 35
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat
melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas)
hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan
putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
Pasal 36
Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti
dalam perkara Anak harus ditetapkan paling lama 2 (dua)
hari.
Pasal 37
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding
dapat melakukan penahanan paling lama 10
(sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima
belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim
Banding belum memberikan putusan, Anak wajib
dikeluarkan demi hukum.
Pasal 38 . . .
- 20 -
Pasal 38
(1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim
Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15
(lima belas) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua
puluh) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi
belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan
demi hukum.
Pasal 39
Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal
35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah
berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera
mengeluarkan Anak demi hukum.
Pasal 40
(1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau
penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan
orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan
atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum.
Bagian Keempat . . .
- 21 -
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 41
(1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh
Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut
Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh
penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan
bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa.
Pasal 42
(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara
dari Penyidik.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita
acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib
menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan
perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan
hasil penelitian kemasyarakatan.
Bagian Kelima . .
.
- 22 -
Bagian Kelima
Hakim Pengadilan Anak
Paragraf 1
Hakim Tingkat Pertama
Pasal 43
(1) Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara
Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam
lingkungan peradilan umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan
memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh
hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 44
(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dalam
tingkat pertama dengan hakim tunggal.
(2) Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis
dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit
pembuktiannya.
(3) Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh
seorang panitera atau panitera pengganti.
Paragraf 2 . . .
- 23 -
Paragraf 2
Hakim Banding
Pasal 45
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi yang
bersangkutan.
Pasal 46
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Banding, berlaku
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
Pasal 47
(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara
Anak dalam tingkat banding dengan hakim tunggal.
(2) Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan
pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis
dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit
pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Banding
dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera
pengganti.
Paragraf 3
Hakim Kasasi
Pasal 48
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 49
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Kasasi, berlaku
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
Pasal 50 . . .
- 24 -
Pasal 50
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara Anak
dalam tingkat kasasi dengan hakim tunggal.
(2) Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan
pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis
dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit
pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Kasasi dibantu
oleh seorang panitera atau seorang panitera
pengganti.
Paragraf 4
Peninjauan Kembali
Pasal 51
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
dimohonkan peninjauan kembali oleh Anak, orang
tua/Wali, dan/atau Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 52
(1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau
majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling
lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara
dari Penuntut Umum.
(2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7
(tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan
negeri sebagai Hakim.
(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Proses . . .
- 25 -
(4) Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi
pengadilan negeri.
(5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara
Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua
pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(6) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan,
perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Pasal 53
(1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak.
(2) Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang
tunggu sidang orang dewasa.
(3) Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang
orang dewasa.
Pasal 54
Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang
dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan
putusan.
Pasal 55
(1) Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan
orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing
Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak.
(2) Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping
tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan
didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sidang Anak
batal demi hukum.
Pasal 56 . . .
- 26 -
Pasal 56
Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan
sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk
beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
(1) Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim
memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan
membacakan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan
tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat
lain.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:
a. data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan
kehidupan sosial;
b. latar belakang dilakukannya tindak pidana;
c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam
tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;
d. hal lain yang dianggap perlu;
e. berita acara Diversi; dan
f. kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak
Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak
dibawa keluar ruang sidang.
(2) Pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak
Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang
tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap
hadir.
(3) Dalam . . .
- 27 -
(3) Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak
dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan
sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan
Anak Korban dan/atau Anak Saksi didengar
keterangannya:
a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut
Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau
b. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan
alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing
Kemasyarakatan atau pendamping lainnya.
Pasal 59
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh Anak
Korban dan/atau Anak Saksi pada saat Anak berada di luar ruang sidang pengadilan.
Pasal 60
(1) Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan
kesempatan kepada orang tua/Wali dan/atau
pendamping untuk mengemukakan hal yang
bermanfaat bagi Anak.
(2) Dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan
oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang
perkara yang bersangkutan.
(3) Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan
sebelum menjatuhkan putusan perkara.
(4) Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan
batal demi hukum.
Pasal 61 . . .
- 28 -
Pasal 61
(1) Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam
sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak
dihadiri oleh Anak.
(2) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi
tetap harus dirahasiakan oleh media massa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya
menggunakan inisial tanpa gambar.
Pasal 62
(1) Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada
hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.
(2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling
lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada
Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut
Umum.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 63
Petugas kemasyarakatan terdiri atas:
a. Pembimbing Kemasyarakatan;
b. Pekerja Sosial Profesional; dan
c. Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Bagian Kedua . . .
- 29 -
Bagian Kedua
Pembimbing Kemasyarakatan
Pasal 64
(1) Penelitian kemasyarakatan, pendampingan,
pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing
Kemasyarakatan sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang
ilmu sosial atau yang setara atau telah
berpengalaman bekerja sebagai pembantu
Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan:
1) sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan
sosial berpengalaman paling singkat 1 (satu)
tahun; atau
2) sekolah menengah atas dan berpengalaman di
bidang pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga)
tahun.
b. sehat jasmani dan rohani;
c. pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur
Muda Tingkat I/ II/b;
d. mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi di
bidang pelayanan dan pembimbingan
pemasyarakatan serta pelindungan anak; dan
e. telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing
Kemasyarakatan dan memiliki sertifikat.
(3) Dalam hal belum terdapat Pembimbing
Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan
fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dilaksanakan
oleh petugas LPKA atau LPAS atau belum
terbentuknya LPKA atau LPAS dilaksanakan oleh
petugas rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan.
Pasal 65 . . .
- 30 -
Pasal 65
Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk
kepentingan Diversi, melakukan pendampingan,
pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan,
termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila
Diversi tidak dilaksanakan;
b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam
maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan
LPKA;
c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan
pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas
pemasyarakatan lainnya;
d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan
pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan
e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan terhadap Anak yang memperoleh
asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang
bebas, dan cuti bersyarat.
Bagian Ketiga
Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Pasal 66
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial
Profesional sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma
empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau
kesejahteraan sosial;
b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di
bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
c. mempunyai . . .
- 31 -
c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus
dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk
membina, membimbing, dan membantu Anak demi
kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental,
sosial, dan pelindungan terhadap Anak; dan
d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial
Profesional oleh organisasi profesi di bidang
kesejahteraan sosial.
Pasal 67
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Tenaga
Kesejahteraan Sosial sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah sekolah menengah atas
pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau
sarjana nonpekerja sosial atau kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan pelatihan bidang pekerjaan sosial;
c. berpengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun di
bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial; dan
d. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus
dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk
membina, membimbing, dan membantu Anak demi
kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental,
sosial, dan pelindungan terhadap Anak.
Pasal 68
(1) Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial bertugas:
a. membimbing, membantu, melindungi, dan
mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi
sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak;
b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial;
c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan
pendapat Anak dan menciptakan suasana
kondusif;
d. membantu proses pemulihan dan perubahan
perilaku Anak;
e. membuat . . .
- 32 -
e. membuat dan menyampaikan laporan kepada
Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil
bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan
dijatuhi pidana atau tindakan;
f. memberikan pertimbangan kepada aparat
penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi
sosial Anak;
g. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua,
lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat;
dan
h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar
bersedia menerima kembali Anak di lingkungan
sosialnya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan
Pembimbing Kemasyarakatan.
BAB V
PIDANA DAN TINDAKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai
tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun
hanya dapat dikenai tindakan.
Pasal 70
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau
keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan
hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan.
Bagian Kedua . . .
- 33 -
Bagian Kedua
Pidana
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana
kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda
diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang
melanggar harkat dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 72
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak
mengakibatkan pembatasan kebebasan anak.
Pasal 73
(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim
dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling
lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat . . .
- 34 -
(3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi
selama menjalani masa pidana dengan syarat.
(4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim
dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.
(5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama
daripada masa pidana dengan syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3
(tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana dengan syarat,
Penuntut Umum melakukan pengawasan dan
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan
pembimbingan agar Anak menempati persyaratan
yang telah ditetapkan.
(8) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus
mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun.
Pasal 74
Dalam hal Hakim memutuskan bahwa Anak dibina di luar
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
huruf b angka 1, lembaga tempat pendidikan dan
pembinaan ditentukan dalam putusannya.
Pasal 75
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa
keharusan:
a. mengikuti program pembimbingan dan
penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat
pembina;
b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
(2) Jika . . .
- 35 -
(2) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(4), pejabat pembina dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memperpanjang masa
pembinaan yang lamanya tidak melampaui
maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum
dilaksanakan.
Pasal 76
(1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana
yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan
meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan
kemasyarakatan yang positif.
(2) Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian
kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan
masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina
dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh
atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang
dikenakan terhadapnya.
(3) Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan
paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120
(seratus dua puluh) jam.
Pasal 77
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada
Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
huruf b angka 3 paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak
ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum
dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 78 . . .
- 36 -
Pasal 78
(1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) huruf c dilaksanakan di lembaga
yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai
dengan usia Anak.
(2) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 79
(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam
hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak
pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan
terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum pidana penjara yang diancamkan
terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
terhadap Anak.
(4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP
berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 80
(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di
tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang
diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun
swasta.
(2) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan
apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak
membahayakan masyarakat.
(3) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
(4) Anak . . .
- 37 -
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari
lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak
kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat.
Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila
keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan
masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak
paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak
berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari
lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik
berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak
merupakan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
Bagian Ketiga
Tindakan
Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak
meliputi:
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban . . .
- 38 -
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau
badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1
(satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya,
kecuali tindak pidana diancam dengan pidana
penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 83
(1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang
dilakukan untuk kepentingan Anak yang
bersangkutan.
(2) Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan
untuk membantu orang tua/Wali dalam mendidik
dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang
bersangkutan.
BAB VI PELAYANAN, PERAWATAN, PENDIDIKAN,
PEMBINAAN ANAK, DAN PEMBIMBINGAN KLIEN ANAK
Pasal 84
(1) Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak
memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan
pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta
hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) LPAS . . .
- 39 -
(3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan
keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian
kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan
program pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
Pasal 85
(1) Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di
LPKA.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak
memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan,
pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan
keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian
kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan
program pendidikan dan pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
Pasal 86
(1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA
dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
(2) Dalam . . .
- 40 -
(2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana,
Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan
dewasa dengan memperhatikan kesinambungan
pembinaan Anak.
(3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan
pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke
lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan
rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 87
(1) Anak yang berstatus Klien Anak menjadi tanggung
jawab Bapas.
(2) Klien Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berhak mendapatkan pembimbingan, pengawasan
dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Bapas wajib menyelenggarakan pembimbingan,
pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan
hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Bapas wajib melakukan evaluasi pelaksanaan
pembimbingan, pengawasan dan pendampingan,
serta pemenuhan hak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 88
Pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS, dan LPKA
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VII . . .
- 41 -
BAB VII
ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI
Pasal 89
Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua
pelindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 90
(1) Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak
Saksi berhak atas:
a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
c. kemudahan dalam mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak
Anak Korban dan Anak Saksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 91
(1) Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau
Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat
merujuk Anak, Anak Korban, atau Anak Saksi ke
instansi atau lembaga yang menangani pelindungan
anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak.
(2) Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan
pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial
dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung
merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau lembaga
yang menangani pelindungan anak sesuai dengan
kondisi Anak Korban.
(3) Berdasarkan . . .
- 42 -
(3) Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari
Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan
Sosial, Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi
berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi
sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau
instansi yang menangani pelindungan anak.
(4) Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang memerlukan
pelindungan dapat memperoleh pelindungan dari
lembaga yang menangani pelindungan saksi dan
korban atau rumah perlindungan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pasal 92
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait
secara terpadu.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling singkat 120 (seratus
dua puluh) jam.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 93
Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak
mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial
Anak dengan cara:
a. menyampaikan . . .
- 43 -
a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak
Anak kepada pihak yang berwenang;
b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan
kebijakan yang berkaitan dengan Anak;
c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak;
d. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak
melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif;
e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial
Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi melalui
organisasi kemasyarakatan;
f. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat
penegak hukum dalam penanganan perkara Anak;
atau
g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta
peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Anak.
BAB X
KOORDINASI, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI
Pasal 94
(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan di
bidang perlindungan anak melakukan koordinasi
lintas sektoral dengan lembaga terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka sinkronisasi perumusan
kebijakan mengenai langkah pencegahan,
penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan
reintegrasi sosial.
(3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh
kementerian dan komisi yang menyelenggarakan
urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan . . .
- 44 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 95
Pejabat atau petugas yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 14
ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (3), Pasal 27
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 39, Pasal 42
ayat (1) dan ayat (4), Pasal 55 ayat (1), serta Pasal 62
dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 96
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan
sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 97
Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98 . . .
- 45 -
Pasal 98
Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.
Pasal 99
Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.
Pasal 100
Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3),
Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 101
Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perkara
anak yang:
a. masih dalam proses penyidikan dan penuntutan
atau yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri,
tetapi belum disidang harus dilaksanakan berdasarkan
hukum acara Undang-Undang ini; dan
b. sedang . . .
- 46 -
b. sedang dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan
dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang diatur
dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.
Pasal 103
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, anak
negara dan/atau anak sipil yang masih berada di
lembaga pemasyarakatan anak diserahkan kepada:
a. orang tua/Wali;
b. LPKS/keagamaan; atau
c. kementerian atau dinas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
Pasal 104
Setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan
perubahan sistem menjadi LPKA sesuai dengan Undang-
Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 105
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah
diberlakukannya Undang-Undang ini:
a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik;
b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum;
c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim;
d. kementerian . . .
- 47 -
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum wajib membangun
Bapas di kabupaten/kota;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum wajib membangun
LPKA dan LPAS di provinsi; dan
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial wajib membangun
LPKS.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan kantor Bapas dan
LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf f dikecualikan dalam hal letak provinsi dan
kabupaten/kota berdekatan.
(3) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum tidak
memiliki lahan untuk membangun kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
huruf e, pemerintah daerah setempat menyiapkan
lahan yang dibutuhkan.
Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3668), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diberlakukan.
Pasal 108
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 48 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 153 52
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
I. UMUM
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah
bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki
peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara
menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat
manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti
dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi
Anak.
Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua
yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam
kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan
perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain,
disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang
berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta
pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif semakin meningkat.
Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai
dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of
the Child . . .
- 2 -
the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-Hak Anak).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang
berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada
Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk
menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna
bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan
perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum
cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam
masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan
pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam
penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain
didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan
lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan
pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian
terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang
dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang
benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap
Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan
Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini
merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum.
Adapun . . .
- 3 -
Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini,
antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan
Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan
Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan
Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh
karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam
rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada
terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi
korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu
semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu
kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati
yang tidak berdasarkan pembalasan.
Dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam
status saksi dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau
Anak Saksi juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus
mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan
umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12
(dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak
yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18
(delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi
pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan
hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada
di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak
sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan
oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun,
sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga,
dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar
jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif.
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini
mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak
yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
II. PASAL . . .
- 4 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang
bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang
membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap
penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa
keadilan bagi Anak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak
adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta
kondisi fisik dan/atau mental.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak”
adalah segala pengambilan keputusan harus selalu
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat
Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang
memengaruhi kehidupan Anak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi
Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua.
Huruf g . . .
- 5 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan
rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan
pidana.
Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian
tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,
pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani
dan rohani klien pemasyarakatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala
perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas
keperluan, umur, dan kondisi Anak.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan
merupakan upaya terakhir” adalah pada dasarnya Anak
tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa
guna kepentingan penyelesaian perkara.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah
prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses
peradilan pidana.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebutuhan sesuai dengan umurnya”
meliputi melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya, mendapat kunjungan dari keluarga
dan/atau pendamping, mendapat perawatan rohani dan
jasmani, mendapat pendidikan dan pengajaran, mendapat
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapat
bahan bacaan, menyampaikan keluhan, serta mengikuti
siaran media massa.
Huruf b . . .
- 6 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rekreasional” adalah kegiatan
latihan fisik bebas sehari-hari di udara terbuka dan Anak
harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan
harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “merendahkan derajat dan
martabatnya” misalnya Anak disuruh membuka baju dan
lari berkeliling, Anak digunduli rambutnya, Anak diborgol,
Anak disuruh membersihkan WC, serta Anak perempuan
disuruh memijat Penyidik laki-laki.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Selama menjalani proses peradilan, Anak berhak menikmati
kehidupan pribadi, antara lain Anak diperbolehkan
membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti
mainan, dan jika anak ditahan atau ditempatkan di LPKA,
Anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal,
pakaian sendiri, dan diberikan tempat tidur yang terpisah.
Huruf m . . .
- 7 -
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun”
mengacu pada hukum pidana.
Huruf b . . .
- 8 -
Huruf b
Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak,
baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis,
termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui
Diversi.
Pasal 8
Ayat (1)
Orang tua dan Wali korban dilibatkan dalam proses Diversi
dalam hal korban adalah anak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain tokoh
agama, guru, dan tokoh masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin
rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.
Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap
pelaku tindak pidana yang serius, misalnya
pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan
terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.
Huruf b
Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk
menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin
muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 9 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai “Persetujuan keluarga Anak Korban”
dimaksudkan dalam hal korban adalah Anak di bawah umur.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Kesepakatan Diversi dalam ketentuan ini ditandatangani oleh
para pihak yang terlibat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 10 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud “atasan langsung” antara lain kepala
kepolisian, kepala kejaksaan, dan ketua pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan tersebut sekaligus berisi rekomendasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”situasi darurat” antara lain situasi
pengungsian, kerusuhan, bencana alam, dan konflik
bersenjata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 11 -
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “pemberi bantuan hukum lainnya” adalah
paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum sesuai dengan
Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak
nyaman, ramah Anak, serta tidak menimbulkan ketakutan dan
tekanan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang
sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas)
tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai
orang dewasa.
Pasal 21
Ayat (1)
Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat
diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan
sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap
Anak dilakukan bukan dalam rangka proses peradilan pidana,
melainkan digunakan sebagai dasar mengambil keputusan
oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional.
Dalam ketentuan ini, pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan berupa laporan penelitian kemasyarakatan
yang merupakan persyaratan wajib sebelum Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
mengambil keputusan.
Huruf a . . .
- 12 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Keikutsertaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam ketentuan ini termasuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial.
Dalam ketentuan ini, Anak yang masih sekolah tetap
dapat mengikuti pendidikan formal, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta.
Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat melibatkan dinas pendidikan,
dinas sosial, Pembimbing Kemasyarakatan atau lembaga pendidikan, dan LPKS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-Undang ini memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan
perlakuan terhadap orang dewasa atau terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara koneksitas.
Pasal 25 . . .
- 13 -
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami masalah Anak” adalah
memahami:
1) pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga,
pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta
melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan
simpatik;
2) pertumbuhan dan perkembangan Anak; dan
3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang
memengaruhi kehidupan Anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat
dilaksanakan walaupun di daerah yang bersangkutan belum
ada penunjukan Penyidik.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas. Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar pemeriksa pada tahap
selanjutnya mengetahui ada tidaknya upaya Diversi dan sebab
gagalnya Diversi.
Pasal 30
Ayat (1)
Penghitungan 24 (dua puluh empat) jam masa penangkapan
oleh Penyidik dihitung berdasarkan waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi dilakukan dengan memberi petunjuk dan visi agar
kelengkapan berkas dapat segera terpenuhi secara formal dan
materiil.
Pasal 32 . . .
- 15 -
Pasal 32
Ayat (1)
Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan
pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus pula
memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut
pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental,
maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah
lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di bidang
kesejahteraan sosial Anak, antara lain panti asuhan, dan
panti rehabilitasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kebutuhan rohani Anak termasuk kebutuhan intelektual
Anak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup Jelas.
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 16 -
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang
Bantuan Hukum.
Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali apabila Anak dan orang tua/Wali tidak dapat membaca, pemberitahuan dilakukan
secara lisan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penuntut umum yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami masalah Anak.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hakim yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami
masalah Anak.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 . . .
- 17 -
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Pemeriksaan perkara Anak harus dilakukan secara tertutup di
ruang sidang khusus Anak. Walaupun demikian, dalam hal
tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan
pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa
mengurangi hak Anak.
Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena
sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu
sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara
pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara,
misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.
Pasal 55 . . .
- 18 -
Pasal 55
Ayat (1)
Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan
tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini
terdakwanya adalah Anak, Anak tidak dapat dipisahkan
dengan kehadiran orang tua/Wali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Ketentuan “tanpa kehadiran Anak“ dimaksudkan untuk
menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak Korban
dan/atau Anak Saksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 19 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Batal demi hukum dalam ketentuan ini adalah tanpa
dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71 . . .
- 20 -
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda
atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan
fisik dan mental Anak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Jangka waktu dalam ketentuan ini merupakan masa
percobaan.
Ayat (7) . . .
- 21 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pejabat pembina” adalah
petugas yang mempunyai kompetensi di bidang yang
dibutuhkan oleh Anak sesuai dengan asesmen
Pembimbing Kemasyarakatan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelayanan masyarakat” adalah
kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau
lembaga kesejahteraan sosial.
Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia,
orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu
administrasi ringan di kantor kelurahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77 . . .
- 22 -
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana
yang khusus dikenakan untuk Anak, yakni pengawasan yang
dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku Anak
dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak dan pemberian
bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang melaksanakan
pelatihan kerja” antara lain balai latihan kerja, lembaga
pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana
penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
undang-undang lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 80 . . .
- 23 -
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”penyerahan kepada seseorang”
adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai
cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh
Hakim serta dipercaya oleh Anak.
Huruf c
Tindakan ini diberikan kepada Anak yang pada waktu
melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau
penyakit jiwa.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”perbaikan akibat tindak
pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang
disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan
keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak
pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 24 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang
penempatannya terpisah dari orang dewasa.
Ayat (2)
Hak yang diperoleh Anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang
Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi Anak yang bersangkutan, antara
lain mengenai pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan
dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai dengan
umur 21 (dua puluh satu) tahun.
Ayat (3) . . .
- 25 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-
undangan” antara lain Undang-Undang tentang Perlindungan
Anak, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara
lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memerlukan tindakan pertolongan
segera” adalah kondisi anak yang mengalami penderitaan,
baik fisik maupun psikis, sehingga harus segera diatasi.
Ayat (3) . . .
- 26 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi medis” adalah proses
kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan
kondisi fisik Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” adalah proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental
maupun sosial, agar Anak, Anak Korban, dan/atau Anak
Saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan di masyarakat.
Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah proses
penyiapan Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi untuk
dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 92 Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100 . . .
- 27 -
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102 Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menyiapkan” adalah memberikan dan menyerahkan hak kepemilikan lahan kepada kementerian
yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum.
Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5332