makalah_soskelfix.docx

36
MAKALAH PENYAJI SOSIOLOGI KELUARGA “PERCERAIAN” Disusun Oleh: Andi Alaika | 1006692505 Cici Baedirini | 1006772626 Klara Puspita | 1006692783 Yosafat Timmoty G.| 106692972 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA Depok, Jawa Barat

Upload: sarnilita-muhammad

Post on 15-Jul-2016

213 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MAKALAH PENYAJI SOSIOLOGI KELUARGA

“PERCERAIAN”

Disusun Oleh:

Andi Alaika | 1006692505

Cici Baedirini | 1006772626

Klara Puspita | 1006692783

Yosafat Timmoty G.| 106692972

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

Depok, Jawa Barat

BAB I

PENDAHULUAN

Tingkat perceraian di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Badan Lembaga Keagamaan, tingkat perceraian di tahun 2010 sudah terjadi sekitar 285.184 perkara perceraian (kurun waktu 5 tahun). Angka ini meningkat dari tahun ke tahun, dan dikhawatirkan akan terus meningkat jika melihat kecenderungan yang ada. Penyebab perceraian utama menurut Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga, dimana ada salah satu pihak yang tidak menjalankan perannya sebagai suami/istri dengan baik.

Fenomena meningkatnya pereraian di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari sudut pandang sosiologis. Sebab, ikatan sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia terkenal kuat berakar pada norma agama yang sangat tidak menganjurkan terjadinya perceraian dalam keluarga. Ikatan sosial dan kuatnya masyarakat berpegang pada norma-norma agama merupakan penghalang (barriers) yang dapat menekan tingginya angka perceraian.

Apakah hal ini menandakan semakin melemahnya ikatan sosial dan semakin lunturnya norma-norma agama yang dipegang oleh masyarakat Indonesia? Hal ini merupakan simpulan yang terlalu dini, sebab untuk menganalisis lebih lanjut fenomena perceraian di Indonesia, perlu diperhatikan pula faktor-faktor penyebab lain yang juga cukup signifikant seperti faktor ekonomi, maupun faktor kecemburuan, dan lain-lain. Faktor ekonomi menjadi penyebab perceraian yang cukup berpengaruh dalam masyarakat Indonesia, sebab kondisi perekonomian negara Indonesia yang belum membaik sejak masa reformasi. Selain kedua penyebab perceraian yang paling berpengaruh diatas, masih banyak fenomena perceraian yang menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Untuk itu dalam makalah ini, kami akan mengkaji fenomena perceraian pada keluarga di Indonesia lebih mendalam dengan sudut pandang sosiologis. Makalah ini akan membahas penyebab-penyebab perceraian dari faktor sosial-psikologis, akibat-akibat dari perceraian, kondisi empiris perceraian di Indonesia, perbandingan fenomena perceraian di Indonesia dan Amerika, dan kondisi serta analisis dari berbagai kasus perceraian yang berhasil dihimpun oleh kelompok kami sebagai gambaran empiris mengenai fenomena perceraian di Indonesia.

BAB II

KOMPLEKSITAS PERCERAIAN

Hubungan perkawianan antara suami dan istri tidak selamanya berjalan dengan baik. Kesepakatan, konflik, kerja sama mewarnai hubungan perkawianan itu sendiri. Ketika dalam hubungan perkawinan, konflik sudah tidak dapat dihindari dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, perceraian menjadi jalan keluar. Perceraian adalah proses yang kompleks. Ketika pasangan suami istri bercerai, tidak semua permasalahan rumah tangga yang ada terselesaikan. Kerapakali setelah bercerai terjadi permasalahan-permasalahan baru, seperti hak asuh anak, harta gono-gini dan lain sebaganya. Perceraian terjadi karena berbagai hal. Adapun faktor-faktor yang menyebakan perceraian antara lain:

1. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi erat kaitannya dengan pendapatan yang dihasilkan oleh suatu keluarga. Dahulu, keluarga dipandang sebagai unit yang mampu memberikan kepuasan batin dan kepastian bagi seorang anggota keluarga untuk bergantung secara ekonomi. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana anggota keluarga telah memiliki pendapatan sendiri dan tidak bergantung pada anggota keluarga lain, maka kemandirian yang mereka miliki memberikan kebebasan lebih untuk bercerai. Namun, hal ini tetap bergantung pada konteks dan kondisi suatu masyarakat atau keluarga tertentu. Berikut ini beberapa faktor yang berhubungan dengan perceraian tersebut:

Kelas Sosial

Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kelas sosial (kelas sosial disini dilihat dari indikator pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan rumah), maka kecenderungan pasangan untuk bercerai semakin berkurang. Pendapat tersebut merupakan alasan yang rasional, sebab hilangnya/berkurangnya pendapatan suatu keluarga dapat menyebabkan seseorang mengalami stres. Stres ini dapat disebabkan baik karena tidak adanya kecukupan ekonomi, juga tidak terpenuhinya harapan dalam mencapai kemakmuran ekonomi dan pendidikan. Kedua situasi yang disebut terakhir ditambah adanya kecenderungan dari kelompok dengan pendapatan rendah yang menikah pada usia relatif muda, menjelaskan penyebab mengapa keluarga yang “kurang baik secara finansial” memiliki angka yang tinggi pada gangguan pernikahan seperti perceraian, perpisahan dan lain-lain.

Peran Istri di Dunia Kerja

Semakin terbukanya dunia kerja untuk perempuan membuat banyak istri-istri memutuskan untuk ikut bekerja. Hal ini tentu mengurangi waktu perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga untuk mengurusi pekerjaan domestik. Sedangkan, bagi masyarakat dengan adat

patriarki menekankan peran perempuan untuk mengurusi pekerjaan domestik. Menurut teori konflik, bahwa konflik pernikahan dapat meningkat jika perempuan memutuskan untuk bekerja tetapi suami mereka tidak mengerjakan pembagian kerja yang adil dalam mengurusi pekerjaan domestik. Meskipun peran istri-istri yang bekerja tersebut mungkin tidak mengurangi kualitas pernikahan, pekerjaan yang dimiliki istri dapat berkontribusi menimbulkan perceraian dengan memberi kekuatan ekonomi pada perempuan yang tidak bahagia dalam pernikahan, meningkatkan kemandirian, dan kepercayaan diri yang dapat membantunya untuk menentukan perceraian – disebut independence effect.

Beberapa ekonom dan sosiolog mengatakan bahwa pernikahan akan menjadi sangat stabil jika suami dan istri memiliki perbedaan tugas dan peran yang saling melengkapi—misal suami sebagai pencari nafkah utama, dan istri menjaga dan mengasuh anak-anak serta mengurusi pekerjaan domestik. Teori pertukaran menyatakan bahwa ketergantungan ekonomi dalam pernikahan adalah ikatan yang menguatkan dan mempertahankan hubungan pernikahan. Tetapi, penelitian terakhir tidak mendukung premis teori pertukaran tersebut. Contohnya pada pasangan dengan pendapatan rendah, dimana pendapatan istri sesungguhnya dapat membantu mempertahankan pernikahan dengan meniadakan efek negatif kemiskinan dan kerentanan ekonomi dalam pernikahan.

Efek dari perempuan bekerja dalam pernikahan mungkin tergantung pada ideologi gender. Namun, bagi pasangan modern saat ini, harapan untuk berbagi peran dan tugas bersama adalah hal yang biasa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sayer dan Bianchi (dimana variabel gender dan variabel lain yang berhubungan dimasukkan) menunjukkan bahwa tidak ada efek langsung antara wanita bekerja dan perceraian.

2. Tingginya Harapan dalam Pernikahan

Beberapa peneliti menyatakan bahwa tingginya angka perceraian yang terjadi di Amerika mencerminkan cara pandang orang Amerika pada pernikahan yang terlalu tinggi. Harapan orang-orang yang semakin meningkat tentang pernikahan yang dapat memberikan kebahagiaan, hubungan emosional yang saling mendukung. Ini merupakan fungsi penting keluarga, meskipun harapan yang terlalu tinggi untuk memiliki hubungan yang intim diantara pasangan suami istri dapat mendorong tingginya tingkat perceraian.

3. Penurunan Tekanan Sosial, Legal, dan Moral

Rintangan dalam perceraian (barriers to divorce) berfungsi untuk menjaga pernikahan tetap utuh meskipun ketika hubungan pernikahan tersebut sudah tidak harmonis lagi. Tetapi, tekanan sosial yang menjaga pasangan yang tidak bahagia untuk tidak berpisah, saat ini tidak terlalu kuat sifatnya. Banyak lembaga resmi agama di Amerika, menjadi tidak terlalu mengkritik masalah perceraian. Hukum/aturan perceraian-bukan hal yang salah , telah menghapus konsep legal tentang dosa bercerai dan menjadi representasi simbolis dari bagaimana masyarakat kita

saat ini memandang suatu perceraian. Tetapi hal tersebut tidak menunjukkan bahwa perubahan hukum/aturan mengarahkan mereka pada perceraian.

Namun, untuk mengatakan bahwa tekanan masyarakat untuk menentang perceraian tidak lagi ada merupakan pernyataan yang berlebihan, meskipun halangan bercerai telah melemah.

Sikap Terhadap Pernikahan

Tidak ada satu pun responden dalam penelitian tentang kohevisitas pernikahan mengatakan bahwa stigma atau penolakan masyarakat sebagai penghalang perceraian. Terlalu memperhatikan aspek hubungan emosional lebih besar dibanding aspek keuntungan institusional yang didapat dari pernikahan merupakan hal yang sangat tidak perlu. Perubahan sifat pernikahan merupakan fenomena diseluruh dunia sebagaimana halnya industrialisasi.

Self-fulfilling Prophecy

Menurut Joshua Goldstein, professor sosiologi dari Pricenton, mendefinikan sebuah pernikahan dengan setengah hati dapat menjadi self-fulfilling propechy. Jika pasangan bertingkah laku seolah-olah pernikahan mereka akan berakhir, maka hal tersebut akan cenderung terjadi.

4. Perceraian Antar-Generasi

Memiliki orang tua yang bercerai, akan meningkatkan kemungkinan anak untuk melakukan perceraian juga. Hal tersebut memungkinkan, karena (1) orang tua yang bercerai merupakan contoh dimana perceraian menjadi solusi menyelesaikan masalah pernikahan, (2) anak yang orang tuanya bercerai cenderung akan menunjukkan kepribadian yang suka mengganggu pernikahan yang bahagia. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa anak yang orang tuanya bercerai menikah pada usia muda, dan cenderung akan melakukan kohabitasi dan kelahiran sebelum pernikahan.

5. Faktor Lain yang Berhubungan dengan Perceraian

1) Pasangan yang telah menikah lagi untuk yang kesekian kalinya cenderung lebih mudah bercerai lagi.

2) Seks dan kohabitasi sebelum pernikahan meningkatkan kemungkinan perceraian, tetapi hal ini lebih cederung terjadi hanya pada orang lain dibanding orang yang akan menjadi pasangan pernikahannya dimasa depan.

3) Kehamilan sebelum pernikahan dan pengasuhan anak biasanya meningkatkan risiko perceraian dalam pernikahan selanjutnya.

4) Anak-anak dalam sebuah keluarga dapat mempertahankan pernikahan ,oleh karena itu, menetapkan untuk tidak memiliki anak berkaitan dengan tingginya kecenderungan untuk melakukan perceraian.

5) Ras dan etnisitas secara berbeda berkaitan dengan kesempatan untuk melakukan perceraian.

6) Ketika pasangan yang menikah secara emosional telah memiliki sifat yang dewasa dan memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik, mereka lebih mampu mempertahankan pernikahan dan menyelesaikan masalah-masalah selama pernikahan.

Jenis Perceraian

Anthony Paul Bohannan menganalisa bahwa pengalaman bercerai dilihat dari enam segi yaitu emotional divorce, legal divorces, community divorces, psychic,the economis, co-parental divorces , komunitas, fisik,ekonomi, co parental divorce. Keenam hal ini bisa menggambarkan bagaimana kompleksitas dari fenomena perceraian.Namun, dalam makalah ini hanya dibahas tiga dari enam hal.

1. Emotional divorces

Dalam Emotional divorces sudah tidak adanya emosi positif dan komunikasi antar suami dan istri (Vaigan 1986) dan digantikan dengan tindakan yang tidak menyenangkan. Partner (pasangan) tidak memperkuat hubungan positif tetapi malah melemahkan respek terhadap partnernya. Semakin intensif emotional divorces, penghianatan yang dilakukan semakin besar. Dalam keadaan seperti ini terdapat kekecewaan dari suami atau istri, ketidakmengertian satu sama lain, dan merasa ditolak ditolak oleh pasangannya.

Namun demikian, beberapa pasangan yang memilih untuk melanjutkan pernikahan disebabkan oleh beberapa alasan seperti cinta, ketakutan hidup sendiri, kewajiban terhadap anak(mengasuh anak), menepati janji pernikahan dan lain-lain. Konflik yang terjadi seringkali karena pembagian pekerjaan domestic: ketidaksetiaan, physical, emosi, perbedaan politik, anak dan lain sebagainya.Penelitian menunjukan bahwa tingkat trauma dari perpisahan terrgantung pada pasangan yang tidak menemukan soslusi karena adanya pengalaman ‘kecewa ‘yang besar. Percekcokan antara suami dan istri adalah salah satu contoh dari emotional devorces.

2. Legal Divorces

Legal divorces adalah pemutusan hubungan pernikahan oleh negara melalui peraturan yang ada di pengadilalan, dan perceraian secara legal merupakan jalan terakhir yang ditempuh ketika kompromi sudah tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Adapun dua aspek dari legal divorces yang membuat perceraian itu menyakitkan adalah

Kesakralan dalam perkawainan hilang seketika, karena perceraian yang terkesan sebagai tindakan rasional.

Legal divorces memperburuk keadaan karena menimbukan permusuhan. Perceraian akan selalu berdampak pada hubungan yang tidak equal antara mantan suami-istri. Perceraian mengakibatkan sseorang (baik oatri ataupun suami) labih untung dari yang lain(pasangannya).

Seiring dengan berjalannya waktu terjadi oerubahan dalam proses pengajuan kasus perceraian ke pengadilan. Dahulu, orang dapat mengajukan kasus ke pengadilan apabila ada pihak yang bersalah, atau dirugikan . Inilah yang disebut dengan fault devorces . Perceraian yang demikian mengakibatkan dampak negatif seperti hubungan yang tidak baik setelah bercerai dengan anak atau mantan suami, dan menimbulkan ‘permusuhan’ setelah bercerai. Saat ini seseorang dapat mengajukan gugaatan cerai kepengadilan tanpa perlu ada pihak yang bersalah atau dirugikan. Ketidakcocokan dapat menjadi alasan seseorang mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Inialah yang dimaksud dengan no fault divorce, atau sering disebut dengan Unilateral divorces. Maksudanya iala seseorang dapat mengajukan perceraian, walaupunsalah satu pihak masih menginginkan hubungan pernikahan berlanjut.

Dalam legal divorces : perceraian didefinisikan kembali sebagai pemutusah hubungan pernikahan. unilateral divorces karena salah seorang inigin melanjutkan pernikahan dan yang lain menginginkan perceraian. No fault divorce itu sendori adalah perceraian yang dilakukan tanpa harus ada pihak yang bersalah atau dipersalahkan. Ketika pasangan sudah merasakan ketidakcocokan, bisa langsung bercerai.

Legal divorce hanya dilakukan oleh pasangan yang menikah resmi (dalam negara). Pasangan yang hidup bersama(homoseksual ataupun heteroseksual ) mungkin berpisah, tapi tidak dapat mengajukan gugatan cerai kepengadilan karena tidak ada ketentuan yang mengatur perceraian pada pasangan yang tidak menikah secara hukum. Beberapa pasangan tidak mau menika secara legal(dalam konteks Amerika) karena menganggap hubungan pernikahan hubungan pribadi yang tidak perlu diatur ole negara. Mereka tidak mau menikah secara resmi karena menghindari proses perceraian yang rumit. Namun demikian, untuk pasangan yang tidak meresmikan hubungannya akan menimbulkan permasalahan baru.

Divorce Mediation

Solusi dari perselisihan antara suami –istri adalah melalui pihak ketiga sebagai mediator(seperti lawyers) yang menegosiasikan kepentingan permasalahan, dan jika dimungkinkan terjadi mengenai hak asuh , property, dukungan, dan diharapkan dapat mempelajari pola penyelesaian yang dapatt menyelesaikan permasalahan percekcokan dikemudian hari. Dengan adanya mediator kerap kali, permasalahan terselesaikan lebih baik. Penelitian menyebutkan bahwa pasangan yang menggunakan divorces mediation lebih puas dengan proses dan hasilnya dan memiliki hubungan yang lebih baik dengna mantan suami, atau istri dan anak.

Community Divorcing

Pernikahan adalah keputusan dari dua individu untuk hidup bersama dipublikasikan terutama kepada orang terdekat seperti keluarga, dan teman. Menikah juga menggabungkan kedua belah pihak keluarga besar mereka. Community divorces maksudnya adalah putusya hubungan komunitas setelah perceraian. Ketika sepasang suami istri bercerai hubungan keluarga besar tidak berpisah bgitu saja. Terdapat ikatan batin dalam keluarga besar. Misalnya antara cucu dan kakek.ketika terjadi perceraian, hubungan kakek dan cucu tidak dengan mudah putus.

Dalam hubungan pertemanan, ketika terjadi perubahan status seseorang dari status suami/ istri menjadi janda atau duda, akan mengubah pertemanan. Seseorang yang sudah bercerai mungkin merasa tidak nyaman dengan teman-temannya yang masih menikah. Orang yang baru bercerai memiliki perasaan yang lebi sensitive, dan akan lebih baik jika seseorang yang sudah bercerai mencari teman baru yang memiliki status yang sama sehingga individu tersebut dapat berbagi pengalaman.

Konsekuaensi Ekonomi dari Perceraian

Konsekuensi ekonomi yang dimaksugkan akbat perceraian adalah konsekuensi ekonomi baik untuk anak,pasangan yang sudah bercerai. Penelitian menyebutka bahhwa anak yang hidup dalam kemiskinan di tahun 2003 berdasarkan ras ataupuu tipe keluarga, 42% anak yang hidup dalam kemiskinan adalah anak yang diasuh oleh ibu atau orang tua tunggalnya saja. Hubungan antara tipe keluarga dengan kemiskinan berhubungan dengan ras/ etnisitas.

Lenore Weitzman membandingkan kehidupan perempuan dengan anak paska becerai dengan mantan suaminya. Disebutkan bahwa rasio kebutuhan pendapatan. perempuan setelah bercerai menurun 20 hingga 36 persen. Adanya penurunan pendapatan diantara mantan suami dan istri setelah bercerai. Biasanya mantan istri yang mendapatkan hak asuh atas anak mengalami penurunan dalam standar hidup.

Dalam perkawinan terdapat economic partenership antara suami dan istri, ketika becerai terjadi pembagian harta antara suami dan istri dan anak.

Dukungan Anak

Dukungan terhadap anak termasuk juga pemenuhan kebutuhan ekonomi anak oleh orang tua yang mendapat hak asuh anakdari semenjak orang tua bercerai hingga anak dikategorikan sudah ‘dewasa’ .Seringkali ibulah yang mengasuh anak dan mantan suami memberikan dukungan dana. Namun demikian, kerap kali dukungan terhadap orangtua yang mendapat hak asuh anak tidak terbayarkan. Maka, adanya kebijakan yang mengatur mengenai kemiskinan anak, konsekuensi ekonomi perempuan dan kesejahteraan.

Factor yang menyebabkan orang tua tidak membiayai anak setelah ia bercerai adalah rang tua yang tidak bekerja atau berpenghasilan minim dari orang tua.Maka dari itu, untuk menguruangi

kemiskinan adalah dengan menyelesaikan permasalahan pengangguran atau minimnya penghasilan orang tua.

Adapula orang tua(tidak mendapatkan hak asuh anak) yang mendukung bukan hanya dengan uang, tetapi dengan memberikan perhatian kepada anak. Namun demikian, untuk pemenuhan kebutuhan anak, kerap kali yang dilakukan adalah penggabungan pengasuhan anak antara suami dan istri.

PERCERAIAN DAN ANAK-ANAK

Penelitian Amato tentang “Polemical Nature of Disvorce Scholarship” berbicara mengenai efek yang diterima anak sebelum dan sesudah perceraian. Dalam banyak kasusnya perceraian ini amat tidak menguntungkan bagi anak. Tinggal dilingkungan keluarga yang pecah atau mengalami konflik yang tidak terselesaikan dapat menimbulkan stress yang berkepanjangan dan mengurangi rasa kepedulian terhadap anak dibandingkan hidup dengan keluarga yang single-parent.

Kemudian pada penelitian Wallerstein dan Kellly tentang keadaan anak setelah perceraian. Penelitian yang dilakukan oleh Wallerstein tersebut didapat bahwa keseimbangan dalam keluarga akan kembali baik pasca perceraian setelah 5 tahun. Itu dilihat dari jumlah 131 anak-anak yang secara umum memiliki pengalaman cukup baik. Sebesar 34 persen sudah dirasa baik, 29 persen berada di ranah cukup baik, dan 37 persen dirasa masih belum cukup baik. Jika pada kelompok menengah bisa dirasa cukup baik penyesuaiannya dapat dikatakan bahwa 2 sampai 3 anak mulai bangkit dari keadaan perceraian yang sudah dialami.

Meskipun demikian menurut Mc Lanahan dan Sandefur perceraian akan menimbulkan efek deprivasi ekonomi. Pasalnya orang tua yang bercerai akan berimbas pada sedikitnya ketersediaan uang yang dibutuhkan. Perceraian pada kelas menengah menurut Wallerstein menyebabkan orang tua agak tidak memperhatikan pendidikan pada anak. Dalam penemuan Wallerstein tersebut didapat sebagian besar anak kurang menerima perhatian pendidikan dari ayah dibandingkan dengan ibu. Selain itu Wallerstein dan Kelly dalam lanjutan penelitian tentang perceraian selama sepuluh tahun. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang kehilangan peran dari orang tua akibat perceraian terutama laki-laki akan kesulitan menentukan pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan nantinya.

EFEK BURUK DARI PERCERAIAN TERHADAP ANAK

Amato membagi 5 prespektif terkait dengan alasan negatif perceraian yakni :

1. Life Stress Perspective --- Perceraian memang berujung pada perasaan stress bagi orang dewasa, namun anak-anak juga ikut merasakan hal tersebut. Jadi menurut prespektif ini perceraian akan menimbulkan dampak stress yang buruk terhadap anak, misalnya : perceraian membuat

anak-anak akan berpindah tempat (sekolah,rumah, teman bermain, atau sebagainya), dan kehilangan kontak terhadap keluarga dekat.

2. Parental Loss Perspective--- Dalam prespektif ini lebih melihat bahwa akibat perceraian akan menimbulkan kurangnya peran orang tua terhadap tumbuh kembang anak (sosialisasi nilai terhadap anak).

3. Parental Adjusment Perspective ---- Prespektif ini lebih melihat bahwa akibat dari perceraian ini akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam memelihara atau menjaga pertumbuhan anak. Orang tua yang bercerai akan kehilangan waktu untuk mengurus anak sehingga anak tidak diawasi dan cenderung untuk tidak disiplin bahkan bisa saja anak konflik dengan orang tua.

4. The Economical Hardship Perspective---- Perspektif ini melihat bahwa perceraian mengakibatkan kesulitan ekonomi terutama bagi anak.

5. The Interparental Conflict perspective--- Perceraian dalam perspektif ini akan mengakibatkan masalah rendahnya tanggung jawab orang tua terhadap anak.

Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami-Isteri

Menurut Erna Karim masalah utama pada pasangan suami isteri yang baru bercerai ialah masalah penyesuaian peran masing-masing dan hubungan dengan lingkungan sosial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Goode yang melihat bahwa terjadi perubahan peran dan hubungan sosial ketika telah bercerai. Perubahan peran sendiri dirasa saat perceraian itu membuat tidak ada peran lagi sebagai suami atau isteri (memiliki peran yang baru). Selain itu hubungan sosial yang terjadi berubah mengarah kepada penyesuaian untuk menemukan hak dan kewajiban individu.

Sedangkan menurut Met Krantzler perceraian merupakan berakhirnya hubungan antara suami isteri yang pernah tinggal hidup bersama. Hal itu berdampak pada aspek psikologis keduanya yang dirasa terdapat masa transisi atau dimana terdapat rasa kesedihan akibat dari perceraian. Namun hal itu menjadi tantangan untuk menyesuaikan kehidupan mereka masing-masing. eka. Itulah yang disebut keadaan yang “ambivalen”.

Kemudian menurut Krantzler perceraian merupakan peluang kepada seseorang untuk mendapatkan pengalaman dan memiliki kreativitas baru untuk mengisi hidup yang lebih baik daripada sebelumnya.

Selain itu, meskipun perceraian itu menandai berakhirnya hubungan suatu pasangan suami isteri bukan berarti itu mengakibatkan hilangnya ikatan antara keduanya terutama bagi pasangan yang memiliki anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Constance Ahrons ikatan yang dibentuk ketika pasangan suami-isteri tidak lagi tinggal serumah (bercerai)

dinamakan “ Binocular family system”. Sistem ini terdiri dari dua keluarga batih yang tidak lain merupakan keluarga orientasi dari anak dan masih berhubungan satu sama lain. Anak akan diasuh oleh masing-masing keluarga orientasi dah hal tersebut tergantung dari kesepakatan antara mantan pasangan suami-isteri.

Penelitian tentang dampak perceraian juga dilakukan oleh Ahrons dengan mengambil sampel sebanyak 41 orang tua yang bercerai. Dari hasil penelitiannya tersebut didapat adanya rangakain kesatuan interaksi yang berlangsung setelah perceraian yang disebut “rational style” yang memiliki 3 kategori :

1. Katergori pertama ialah mantan pasangan suami-isteri setelah perceraian menganggap satu sama lain ialah sahabat atau teman. Hal tersebut ditandai oleh adanya rasa tanggung jawab mantan pasangan tersebut terhadap anak mereka supaya anak mereka masih bisa menceritakan pengalaman orang tuanya kepada teman-temannya. Tak jarang mantan pasangan suami-isteri tersebut berkumpul bersama, bermain, berdiskusi, maupun berlibur dengan anak mereka.

2. Kategori yang kedua ialah mantan pasangan suami-isteri yang mengangap satu sama lain itu bukan teman dan bukan musuh. Biasanya mereka minim sekali untuk saling berinteraksi satu sama lain atau dibilang terlalu kaku. Sebagai orang tua pasangan pada kategori ini lebih suka untuk datang ke acara yang memang khusus untuk anaknya seperti ulang tahun, aktifitas sekolah anak, maupun pernikahann anak.

3. Kategori yang ketiga ialah mantan pasangan suami isteri yang menganggap diri mereka merupakan musuh. Biasanya ditandai dengan tidak ada interaksi antara keduanya. Walaupun harus menghadiri acara anak, keduanya pun berusaha untuk tidak saling menegur. Dan menurut Ahrons sendiri akan mengarah kepada pola pengasuhan anak pasca perceraian yang hanya diasuh oleh satu pihak orang tua saja.

Dampak Perceraian terhadap Anak

Dampak perceraian terhadap anak menurut Leslie (1967) tergantung dari penilaian mereka terhadap perkawinan orang tua mereka. Ia menyatakan bahwa separuh anak yang berasal dari keluarga tidak bahagia cenderung menunjukan perceraian merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah keluarga. Dan separuh yang lainnya merupakan anak yang berasal dari orang tua yang hidup bahagia merasa bahwa perceraian akan menimbulkan kesedihan dan kebingungan. Hal itu berkaitan dengan kualitas hubungan sebelum perceraian. Menurut Leslie apabila anak merasakan kebahagian dalam keluarga da tiba-tiba harus ada perceraian akan membuat anak mengalami trauma yang amat berat. Sebaliknya anak yang merasakan konflik yang berkepanjangan antara orang tuanya akan menganggap bahwa perceraian adalah jalan terbaik.

Selain masalah trauma, dengan adanya perceraian ini anak merasa “dimafaatkan”. Dimanfaatkannya anak ini lebih kepada untuk membocorkan informasi tentang kelakuan buruk

mantan pasangan yang menurut Ahrons merupakan ketegori ketiga hubunga mantan pasangan yang bercerai.

Studi lain juga menemukan bahwa dampak perceraian terhadap anak akan menimbulkan penderitaan bagi si anak terutama dalam hal ekonomi, pendidikan, maupun emosional (perasaan kehilangan). Terkait dengan masalah ekonomi dan pendidikan pada si anak menurut Bumpass dan Rindfuss (1979) lebih menunjukan pada anak-anak yang orang tuanya berada dikalangan kelas “bawah”.

Menurut Landis (1960) perceraian akan menimbulkan adanya rasa kedekatan anak kepada ibu dan menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Namun, hal tersebut dipengaruhi apabila anak berada dalam asuhan ibu setelah perceraian. Selain itu, perceraian juga menimbulkan efek malu bagi si anak terhadap teman-temannya (takut diejek).

Pengaruh Perceraian dan Hubungan Tidak Terjaga terhadap Pertumbuhan Anak

Terdapat fakta yang menerangkan bahwa anak sudah dewasa dari korban perceraian memiliki kemungkinan sulit untuk membina hubungan dalam keluarga yang ada. ( Ahron 2004; Amato and Booth 1991). Sangat besar peluang keretakan ataupun kerenggangan antara anak dengan orang tua ketika sudah terjadi perceraian ( Aquilino 1994; L. With 1994). Pada umumnya anak korban perceraian mengganggap tidak harus berkomunikasi dengan orangtuanya ataupun meminta bantuan kepada orangtuanya. Ini di ungkapkan oleh (Lye Etal;1995) :

1. Anak korban perceraian pada umumnya memiliki dukungannya yang lebih sedikit di banding anak yang memiliki keluarga utuh.

2. Ketengangan yang terjadi di antara single parents terjadi karena masalah ekonomi yang menimpa keluarga yang ada sekarang. Itu membuat anak menganggap orang tua kurang peduli terhadap keluarganya.

3. Anak yang di besarkan dalam keluarga yang tidak utuh merasa bahwa orang tuanya lalai membangun rumah tangga yang harmoni

4. Hubungan timbal balik dengan generasi keluarga yang lain sangat jarang terjadi karena kecewa akan keluarga yang sudah ada.

Apakah Anggapan Perceraian selalu Berakhir Buruk terhadap Anak?

Sosiolog Paul Amato & Alan Booth melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa anak yang memiliki keluarga utuh dan bahagia adalah yang sukses juga dalam membangun rumah tangga. Di banding anak korban perceraian yang kessulitan dalam pembentukan rumah tangga

nanti. Ini juga di karenakan rumah tangga yang harus nya di jalani dengan baik mengalami masalah yang tentu akan memberikan dampak buruk terhadap anak karena merupakan bagian penting dalam keluarga.

Perceraian yang ‘Baik’

Apakah ada perceraian yang ‘baik’ ? itu bisa tergantung dari ekspetasi masing-masing. Tidak selamanya perceraian selalu memutus komunikasi yang ada. Hal itu bisa terjadi karena anak. Membesarkan anak secara bersama adalah sebagai jalan agar anak tetap merasa keluarga tetap ada meski tanpa orang tua yang bersama. Contohnya lewat liburan bersama. Tetap memberi dukungan kepada anak secara rutin dapat mengembangkan suatu hal positif bagi anak tersebut.

BAB III

STUDI KASUS DAN ANALISA

3.1 Hasil Wawancara dengan Informan :

3.1.1 Infoman 1

Informan pertama yang kami wawancarai bukanlah ‘orang yang sudah bercerai’ melainkan tetangga yang adalah tokoh masyarakat di RT setempat yang mengerti permasalahan’ salah seorang tetanggganya yang bercerai’. Tetangganya yang bercerai ini(seorang ibu rumah tangga), berinisial ibu C. Kami tidak wawancarai langsung ibu C karena adanya kesulitan untuk mewawancarai beliau. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan pikun. Hal ini yang menjadi kekhawatiran ketika menggali informasi dari ibu C Tidak hanya itu, salah satu anggota kelompok kami yang adalah tetangga dari ibu C, menyatakan bahwa berbicara dengan ibu C tidaklah mudah karena kerap kali beliau tidak nyambung ketka diajak berbicara. Kami khawatir informasi tidak tergali. Oleh karena itu, kami memutuskan mewawancarai tetangga ibu C yang adalah tokoh masyarakat setempat dan orang tua dari salah satu anggota dari kelompok kami.

Meskipun baru tinggal di RT tersebut selama hampir 20 tahun, Ibu informan pertama mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat.Beliau juga aktif didalam kegiatan kemasyarakatan baik ditingkat RT ataupun kelurahan. Karena perannya sebagai tokoh masyarakat dan tetangga dekat dari ibu C, informasi mengenai ibu C dapat tergali.

Dari hasil wawancara dengan informan pertama, diketahui bahwa ibu C berusia 50 tahun. Ia sama sekali tidak bersekolah sehingga buta huruf dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Suku dari mantan suami-dan ibu C ialah Jawa dan Betawi. Ibu C menikah dengan suami ketika berusia 36 tahun (pernikahan yang kedua). Usia pernikahan hanya 10 tahun lamanya. Ketika menikah ibu C dan mantan suaminya tinggal di rumah milik informan. Namun ketika bercerai ibu C tetap tinggal di rumahnya sendiri sedangkan mantan suami pergi. Dan lama bercerai sudah 4 tahun yang lalu. Alasan perceraian dikarenakan sudah tidak ada lagi kecocokan anatara keduannya, apalagi terdapat konflik antara mantan suami dengan anak pertama (anak tiri). Untuk itulah mereka memutuskan untuk bercerai.

Perceraian yang dialami ibu C tidak terlalu berpengaruh kepada kondisinya saat ini.Ia termasuk orang yang cuek, sehingga masalah tersebut tidak menjadi persoalan. Meskipun bercerai suami tak jarang membantu kehidupan ekonominya (adanya tanggung jawab dari mantan suami). Kini ibu C tinggal bersama 1 anaknya sedangkan mantan suami membawa 2 orang anaknya.

3.1.2 Informan 2

Informasi mengenai informan kedua didapatkan melalui via telepon. Informan kedua ini tinggal di desa Semondo, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah. Kami

memilih informan kedua karena kami ingin melihat fenomena bagaiamana kasus perceraian yang terjadi di pedesaan, dan pada masyarakat kalangan bawah. Karena jarak yang jauh, dalam mendapatkan informasi kami menggunakan via telelpon. Informan kedua adalah tetangga dari salah satu anggota kelompok kami, dan memiliki hubungan yang cukup dekat sehingga informasi dapat tergali.

Informan kedua adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 53 tahun. Mantan suami informan bekerja di pabrik di Jakarta. Baik informan maupun suaminya beretnis Jawa dan beragama islam. Pendidikan terakhir yang ditempuh informan adalah lulus SD, dan mantan suaminya adalah lulus SMP. Ia tinggal di desa Semondo, Kecamatan Gombong,Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah.

Awalnya, informan menikah dengan mantan suaminya karena hamil terlebih dahulu. Namun, informan tidak dihamili oleh mantan suami informan, tetapi oleh kaka ipar mantan suami informan. Mantan suami informan mau menikahi informan karena kaka ipar suami infoman sudah membiayai sekolah mantan suami informan. Pada akhirnya berdasarkan kesepakatanantara kaka ipar suami informan dan suami informan menyepakati bahwa mantan suami informanlah yang diminta untuk menihahi informan. Awalnya pernikahan mereka berdua tidak disetujui oleh orang tua informan, namun karena sudah terlanjur hamil pernikahan tetap dilangsungkan. Selama pernikahan, informans dan suaminya tinggal di ruamah orang tua informan, padahal orang tua inforan tidak suka dengan suami informan.Karena hal itulah, pernikahan mereka berdua hanya berlangsung selama lima tahun.

Dengan mantan suaminya, informan dikaruniai satu orang anak. Jadi dari pernikahan pertamanya, informan memiliki dua orang anak(anka dari mantan suami informan dan anak dari kaka ipar mantan suami informan) yang kedua hak asuhnya jatuh ditangan informan. Namun demikian, setelah perceraian, suami informan tetap bertanggung jawab dengan mengirimi sejumlah uang kepada informan untuk anak mereka. Permasalahan utama yang dialami informan setelah bercerai adalah permasalahan ekonomi. Setelah bercerai, informan bekerja sebagai buruh serabutan(kadang jadi pembantu harian, buruh tani, dan lain sebagainya).

Informan akhirnya menikah lagi dan dengan suaminya saat ini. dengan suaminya saat ini, ia memiliki dua orang anak. Suami informan bekerja di salah satu bengkel sepeda. Informan dan suaminya pun tinggal di rumah orang tua informan.

3.1.3 Informan 3

Informan ketiga berumur 46 tahun dan sudah 15 tahun bercerai dengan suaminya. Informan tersebut memiliki 2 orang anak. Pekerjaan sehari-hari yaitu wiraswasta. Dan beretnis sunda.

Awalnya mereka tinggal di kota Sukabumi namun kemudian pindah ke Jakarta dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik. Tetapi apa yang di harapkan tidak kunjung datang.

Bermodal menjual tanah di kampungnya untuk membeli rumah di Jakarta, keluarga informan tetap mengalami kesulitan ekonomi akibat kurangnya keahlian yang di miliki. Suami informan yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Karena beban hidup yang semakin berat akhirnya yang terjadi adalah pertikaian dalam rumah tangga. Suami informan mulai sering melakukan kekerasan fisik di depan anak-anaknya. Kejadian tersebut terus terjadi selama kurang lebih 2 tahun. Karena tidak kuat sering mengalami kekerasan fisik. Akhirnya, informan menggugat cerai suaminya dengan bantuan sanak keluarga yang ada di Sukabumi. Setelah kejadian tersebut anak-anak memilih untuk ikut bersama ibunya. Informan memilih untuk kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang cuci keliling di sekitar rumahnya di daerah Cililitan. Dan dengan kerja kerasnya ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga SMA dan semua telah bekerja. Yang dia harapkan ada kelak anaknya tidak mengalami kejadian seperti yang dia alami.

3.1.4 Informan 4

Informan yang keempat adalah tetangga pewawancara sehingga perkenalan pewawancara dengan informan terjadi secara layaknya masyarakat yang hidup bertetangga. Informan telah diketahui oleh masyarakat sekitar sebagai istri tidak resmi yang menikah secara siri. Suami informan (sekarang mantan suami) datang menjenguk informan sekali waktu, dan juga diketahui oleh tetangga, bahkan suami informan telah mengenal beberapa tetangga dekat informan. Informan diketahui telah bercerai setelah semakin jarangnya bahkan hampir tidak pernah suami informan datang menjenguk informan. Berita telah bercerainya informan berasal dari masyarakat sekitar, juga diperkuat oleh pengakuan informan sendiri setelah pewawancara tanyakan melalui percakapan sehari-hari layaknya percakapan antar tetangga.

Informan keempat adalah perempuan berusia 42 tahun yang sudah selama 6 tahun menjadi janda. Informan bekerja sebagai wirausaha dengan membuka warung kecil-kecilan di rumahnya yang juga sekaligus menjadi tempat usahanya tersebut. Mantan suami informan bekerja sebagai karyawan swasta dan berasal dari Padang, Sumatera Barat. Sedangkan informan berasal dari Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Nganjuk. Namun, informan telah lama tinggal di Jakarta sejak ia lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan pergi mencari pekerjaan di Jakarta.

Pernikahan informan dengan mantan suaminya tidak dilegalkan di pengadilan agama, alias nikah siri. Hal ini informan lakukan karena status mantan suaminya tersebut masih menjadi istri orang lain, bahkan informan mengaku bahwa istri sah dari mantan suaminya tersebut adalah majikannya dulu ketika ia bekerja menjaga sebuah toko. Dari rutinitas sehari-harinya sebagai penjaga toko tersebut, ia kenal dengan mantan suaminya. Dan mantan suaminya tersebut tertarik dan ingin menikahi informan, namun pernikahan tersebut tidak pernah dilegalkan di pengadilan agama. Menurut mantan suaminya, ia tidak mau mendaftarkan pernikahannya karena dipastikan tidak akan mendapat izin dari istrinya. Informan menerima alasan tersebut, selain karena ia sudah terlanjur cinta, ia juga merasa tidak enak jika menjadi istri kedua.

Jika sebagian perempuan menginginkan sebuah pernikahan (baik itu pernikahan legal maupun siri) dikarenakan agar dapat menggantungkan kehidupan ekonominya kepada suami pada khususnya dan unit keluarga pada umumnya, tidak halnya pada informan. Infroman telah memiliki kemandirian ekonomi dengan berwirausaha dengan sedikit modal dari mantan suaminya. Bahkan selama belasan tahun ia menafkahi kebutuhannya dirinya sendiri dan anaknya. Namun, untuk urusan pendiidikan anak, mantan suami informanlah yang membiayai anaknya hingga lulus SMA.

Hubungan emosional antara suami istri yang biasanya dibangun dari hari ke hari tidak selalu ia dapatkan, sebab mantan suami informan lebih sering tinggal dengan istri pertamanya. Mantan suami informan hanya mengunjunginya satu atau dua hari saja, bahkan terkadang hanya satu atau dua jam saja. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan keinginan informan untuk tetap mempertahankan rumah tanggnya. Perceraian yang dialami informan justru disebabkan karena hubungan antara informan dan suami menjadi semakin tidak harmonis setelah informan diketahui sebagai istri kedua dari mantan suaminya oleh istri pertamanya. Informan merasa kesal karena kejadian tersebut, namun hanya disimpannya dalam hati. Mantan suami informan menjadi semakin berkurang mengunjungi informan dan semakin jarang menengok anaknya dan tidak lagi membiayai pendidikan anaknya. Hubungan yang kurang harmonis ini berlansung cukup lama hingga akhirnya informan mendesak mantan suaminya untuk menentukan apakah ia masih serius membina rumah tangga dengannya. Mantan suaminya ternyata lebih memilih istri pertamanya hingga ia diceraikan oleh suaminya tersebut. Perceraian itu membuat statusnya sebagai janda menjadi kurang berkenan bagi lingkungan sekitar rumahnya dikarenakan seringnya warung informan menjadi tempat berkumpul oleh pembeli laki-laki. Namun, informan tidak mau menanggapinya dengan serius, karena merasa tidak seperti yang dituduhkan oleh tetangga sekitarnya. Setelah perceraian, informan tidak mendapat kesulitan ekonomi sebab selain ia memang perempuan yang mandiri, anak informan dari hasil pernikahannya dahulu telah lulus SMA dan telah bekerja membantu ibunya.

Tabel Perbandingan Keempat Informan

KATEGORI

INFORMAN

INFORMAN 1 INFORMAN 2 INFORMAN 3 INFORMAN 4

JENIS KELAMIN

PEREMPUAN PEREMPUAN PEREMPUAN PEREMPUAN

PENDIDIKAN TERAKHIR

TIDAK SEKOLAH

SD SMA SMP

USIA 50 TAHUN 53 TAHUN 46 TAHUN 42 TAHUNPEKERJAAN IBU RUMAH

TANGGABURUH SERABUTAN

WIRASWASTA WIRASWASTA

SUKU JAWA DAN JAWA SUNDA PADANG DAN

MANTAN SUAMI DAN MANTAN ISTERI

BETAWI JAWA

AGAMA MANTAN SUAMI DAN MANTAN ISTERI

ISLAM ISLAM ISLAM ISLAM

JUMLAH ANAK SELAMA PERKAWINAN

3 ANAK 2 ANAK 2 ANAK 1 ANAK

USIA KETIKA MENIKAH

36 TAHUN 16 TAHUN 25 TAHUN 21 TAHUN

LAMA BERCERAI

4 TAHUN 25 TAHUN 15 TAHUN 6 TAHUN

USIA PERKAWINAN

10 TAHUN 5 TAHUN 10 TAHUN 15 TAHUN

SEBAB PERCERAIAN

SUDAH TIDAK ADA KECOCOKAN LAGI ANTARA KEDUANNYA (MASALAH MANTAN SUAMI DENGAN ANAK TIRINYA)

TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN ORANG TUA

KARENA KDRT YANG DIALAMI OLEH INFORMAN

KONFLIK DENGAN SUAMI (KARENA LEBIH MEMILIH ISTERI PERTAMA)

TEMPAT TINGGAL SEBELUM BERCERAI

RUMAH MANTAN ISTERI

RUMAH ORANG TUA INFORMAN

RUMAH BERSAMA

RUMAH INFORMAN

TEMPAT TINGGAL SESUDAH BERCERAI

RUMAH MANTAN ISTERI

RUMAH ORANG TUA INFORMAN

RUMAH INFORMAN

RUMAH INFORMAN

ANAK-ANAK TINGGAL DENGAN SIAPA SAAT INI

1 ANAK TINGGAL DENGAN MANTAN ISTERI DAN 2 ANAK TINGGAL

TINGGAL BERSAMA INFORMAN

TINGGAL BERSAMA INFORMAN

TINGGAL BERSAMA INFORMAN

DENGAN MANTAN SUAMI

MASALAH BERAT SETELAH BERCERAI

EKONOMI MASALAH EKONOMI

MASALAH EKONOMI

MASALAH EKONOMI

CARA MENGATASI HAL TERSEBUT

MANTAN SUAMI TURUT MEMBANTU DALAM KEHIDUPAN EKONOMI

BEKERJA DAN MENIKAH LAGI

BEKERJA DIBANTU OLEH ANAK INFORMAN

Perbandingan Data Presentase Lamanna dengan Kasus Perceraian di Indonesia

Berdasarkan data-data dari tulisan Lamanna dan Riedman “MARRIAGES AND FAMILIES” bab 16 tentang angka perceraian sejak tahun 1950 sampai 2005 didapat bahwa angka perceraian mulai cenderung tinggi ketika mencapai tahun 1980. Meskipun setelah itu mulai menurun, akan tetapi hingga 2005 terlihat kembali tinggi. Selain itu Lamanna juga menyebutkan tentang resiko perceraian wanita dengan menyatakan bahwa sekitar 25 persen wanita yang pendidikan terakhirnya berada di perkuliahan dan menikah di tahun 1990an cenderung lebih kecil dibandingkan dengan wanita yang pendidikannya lebih rendah dari itu yakni sekitar 50 persen. Kemudian dari data yang kami temukan bahwa perceraian yang terjadi cenderung berasal dari pernikahan yang memiliki umur sekitar 8 tahun.

Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan berita dari www.detik.com dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pada tahun 2010 menurut Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA) sudah terjadi sekitar 285.184 perkara perceraian (kurun waktu 5 tahun). Perceraian yang terjadi dipicu sebagian besar 91.841 kasus karena ketidakharmonisan rumah tangga, 10.029 kasus karena faktor cemburu, sekitar 67.891 kasus karena masalah ekonomi, dan ada pula sekitar 344 kasus perceraian yang diakibatkan oleh masalah politik. Kemudian didapat pula hasil data berupa presentase yang adadi bawah ini :

NO MSY.PROP/PTA CERAI TALAK

CERAI GUGAT

PERKARA LAIN

1 Aceh 17.23% 41.22% 41.55%2 M e d a n 24.77% 58.35% 16.88%3 Padang 20.54% 42.62% 36.85%4 Pekanbaru 25.12% 59.60% 15.28%5 Jambi 22.07% 65.95% 11.98%

6 Palembang 25.02% 63.52% 11.46%7 Bangka Belitung 26.13% 63.52% 10.35%8 Bengkulu 31.92% 58.80% 9.27%9 Bandar Lampung 23.95% 65.02% 11.03%10 Jakarta 26.21% 58.16% 15.63%11 Banten 21.89% 47.72% 30.39%12 Bandung 28.07% 56.75% 15.17%13 Semarang 29.97% 61.37% 8.66%14 Yogyakarta 26.11% 59.53% 14.36%15 Surabaya 31.65% 56.65% 11.70%16 Pontianak 22.68% 59.52% 17.79%17 Palangkaraya 23.89% 65.31% 10.80%18 Banjarmasin 17.68% 59.84% 22.48%19 Samarinda 19.91% 48.66% 31.43%20 Manado 22.69% 62.42% 14.90%21 Gorontalo 20.97% 56.14% 22.89%22 P a l u 27.48% 58.95% 13.57%23 Kendari 24.98% 59.17% 15.84%24 Makassar 20.12% 57.85% 22.03%25 Mataram 19.28 % 54.12 % 26.05 %26 Kupang 30.23% 46.12% 23.64%27 Ambon 28.77% 37.74% 33.49%28 Maluku Utara 35.32% 50.67% 14.01%29 Jayapura 27.30% 60.71% 11.99%

JUMLAH 27.58% 57.40% 15.01%

100 %* TABEL III.A TENTANG DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS YURISDIKSI MAHKAMAH SYARI'AH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2010

3.2 Analisa

Dalam dinamika pernikahan terdapat kerjasama, konsensus, dan juga konflik. Ketiga hal tersebut mewarnai jalanya suatu pernikahan. Permasalahan dalam hubungan pernikahan adalah hal yang wajar sebagai proses pengdaptasian diri dengan pasangannya. Pengadaptasian diri ini penting supaya konsesus dan kesepakatan dalam menjalin hubungan rumah tangga dapat berjalan dengan baik. Permasalahan menjadi tidak wajar mana kala permasalahan dalam hubungan pernikahan mendorong adanya emotional divorce. Dari keempat informan yang kami wawancarai, emotional divorce selalu mengawali legal divorce(kecuali pada informan keempat yang memang hanya menikah sirri dengan mantan suaminya). Emotional divorce pada akhirnya tidak bisa diminimalisasi karena informan sudah tidak memiliki respect dan tidak ada emosi yang positif diantara informan dan pasangannya. Kekecewaan, penolakan, ketidakmengertian adalah sebagian kecil dari contoh emotional divorce tersebut. Oleh karena tidak dapat terselesaikannya emotional divorces, akan mendrorng adanya legal divorces. kecenderungan

perceraian terjadi pada pernikahan yang berusia 5-10 tahun,sesuai dengan tulisan dari Lamanna dan Riedman yang mengatakan bahwa perceraian yang terjadi pada pernikahan yang berusia sekitar 8 tahun.

Dari keempat informan, ternyata permasahan ekonomi, dan anak adalah pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan akan bercerai atau tidak. Permasalahan ekonomi menjadi ketakutan ketika informan menjadi seorang single parent. Pranata agama sebagai salah satu agen yang menjadi control social kuranglah berperan dalam mencegah perceraian. Dari keempat informan, tidak ditemukan bahwa institusi agama, ataupun adat telah menjadi control social dalam pengambilan keputusan untuk bercerai. Alasan ekonomilah yang justru sangat dominan dalam pertimbangan pengambilan keputusan bercerai. Tanggungan ekonomi yang dirasa berat ketika harus menghidupi anak seorang diri adalah pertimbangan utama. Untuk itulah kebanyakan dari informan bekerja atau menikah kembali untuk menyelesaikan permaslahan ekonomi. Namun tidak jarang suami yang mau menanggung kehidupan mantan istrinya seperti yang ditunjukan oleh informan pertama. Kemudian masalah ekonomi yang diterima setelah bercerai membuat menurunnya standar hidup setelah perceraian karena menambah beban hidup dengan harus menanggung biaya hidup dirinya dan anaknya .

Teori pertukaran menjadi cock apabila menganalisa kasus perceraian. Pada informan kedua dan ibuC (yang diceritakan oleh informan pertama) permasalahan ada karena adanya permasalahan dengan anggota keluarga yang lain(permasalahan yang diceritakan informan pertama terjadi akibat ketidakcocokan dan adanya konflik dengan anak tiri, sedangkan pada informan kedua perceraian terjadi karena adanya konflik dengan orang tua informan). Ini menunjukan bahwa kehadiran dan campur tangan keluarga(dalam hal ini anak tiri dan orang tua) mempengaruhi hubungan antara suami dan istri . Emotional divorce dipicu oleh adanya kehadiran keluarga yang lain(anak tiri dan orang tua) . Oleh karena itu dalam suatu rumah tangga(kehadiran keluarga yang lain (extended family, anak tiri) menentukan pula harmonisasi suatu rumah tangga.

Pada informan ketiga masalah ekonomi menjadi salah satu penyebab perceraian yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Tingkat persaingan kehidupan yang tinggi di ibukota membuat banyak orang yang tidak mendapat pekerjaan yang layak. Akhirnya beban hidup yang berat membuat individu di dalamnya menjadi tertekan dan mudah stress. Suami informan sebagai kepala rumah tangga akhirnya meluapkan emosi kepada istri yang tidak lain adalah orang yang di kasihinya. KDRT menjadi akibat dari adanya permasalahan ekonomi keluarga. Karena tidak tahan dengan perbuatan yang dilakukan oleh suami informan, akhirnya informan menggugat cerai suaminya. Menjadi single parent adalah perjuangan yang tidak muda karena dirinya harus menghidupi dan menyekolahkan anaknya. Perceraian merupakan tindakan rasional pada kepentingan pribadi dan bukan kepentingan bersama. Cost dan reward yang didapat tergantung dari situasi yang dialami. Misalnya isteri yang menggugat cerai suaminya karena melakukan

tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan hasil keputusan hakim menyatakan bahwa hak asuh diambil alih oleh isteri (seperti informan ketiga). Hal itu menurut teori pertukaran isteri yang mendapat hak asuh telah mendapatkan reward yang semestinya, meskipun isteri memiliki tanggungan ekonomi terhadap anak-anaknya, namun terdapat keuntungan emosional yang didapat dengan kehadiran anak-anaknya.

Khusus pada informan keempat hubungan emosional diantara informan dan mantan suaminya yang kurang intens sejak awal pernikahan mereka. Hal tersebut dikarenakan pernikahan mereka yang memang tidak dilegalkan dan terkesan ‘disembunyikan’ karena status mantan suami informan saat itu masih menjadi suami orang lain. Hubungan emosional yang tidak harmonis itu semakin terguncang ketika status informan sebagai istri ‘simpanan’ diketahui oleh istri sah mantan suami. Sehingga menyebabkan hubungan emosional diantara keduanya menjadi semakin tidak harmonis.

Dari hubungan yang kurang harmonis dengan ditandai tidak adanya komunikasi yang baik dan emosi positif dari pasangan informan dan suaminya yang menyebabkan perceraian dapat dikategorikan sebagai emotional divorce. Emotional divorce lebih menekankan pada aspek emosi dari pasangan menikah yang kurang bahagia. Mantan suaminya tidak memperkuat hubungan positif tetapi justru melemahkan respek terhadap pasangannya dengan semakin mengurangi intensitas komunikasi dan dukungan finansial paska insiden ‘terbongkarnya’ status istri kedua informan. Keadaan seperti ini menimbulkan keadaan seperti kekecewaaan dari suami atau istri, merasa saling tidak mengerti satu sama lain, dan merasa ditolak oleh pasangannya, seperti yang dialami oleh informan yang merasa ditolak oleh mantan suami karena ternyata mantan suaminya lebih memilih istri pertamanya.

Namun, perceraian yang dialami oleh informan tidak sampai pada legal divorce, sebab pernikahan mereka tidak pernah dilegalkan di Pengadilan Agama. Perceraian dari jenis pernikahan seperti ini cenderung lebih merugikan pihak perempuan terutama dari segi ekonomi karena perempuan akan kehilangan dan tidak memiliki jaminan akan tersedianya sumber ekonomi baginya dimasa depan. Namun, hal ini tidak dialami oleh informan, karena kemandiriannya secara ekonomi membuatnya tidak terlalu bergantung kepada suami. Gambaran perceraian yang dialami oleh informan ini pas apabila dianalisa dengan teori pertukaran. Teori pertukaran menyatakan bahwa ketergantungan ekonomi dalam pernikahan adalah ikatan yang menguatkan dan mempertahankan hubungan pernikahan. Hal ini sesuai dengan gambaran pola relasi informan dengan suaminya, dimana dengan tidak bergantungnya informan kepada suaminya membuat ia lebih bebas menentukan pilihan bercerai atau tidak tanpa adanya halangan perceraian berupa masalah ekonomi.

Perceraian yang dilakukan oleh keempat informan merupakan salah satu dari tindakan yang rasional individu, yang mana individu sudah mempertimbangkan cost dan reward apabila individu bercerai. Perceraian menjadi jalan alternative terakhir yang dipiih ketika permasalahan suami dan istri tidak dapat terselesaikan dan tidak terjadi kesepakatan diantara kedua belah

pihak. Artinya perceraian adalah tindakan yang paling rasional ketika tidakan lain tidak dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai. Sebelum memutuskan bercerai informan sudah mempertimbangkan akibat dari perceraiannya seperti dampak ekonomi, hak asuh anak, ataupun beban social dengan menyandang status sebagai ‘janda’ atas pilihannya. Namun, informan menyadari ketika sudah tidak ditemukan lagi jalan keluar dalam menyelesaikan masalah pernikahan, memeprtahankan hubungan pernikahan dengan sudah tidak ada emosi positif diantara kedua belah pihak belum tentu akan memperbaiki keadaan. Cost yang dikorbankan seperti adanya penurunan standar kehidupan karena harus menanggung biaya hidup (dirinya dan anakanya seorang diri), stigma negative masyarakat atas status yang disandangnya sebagai janda, dan lain sebagainya. Adapun reward yang diterima adalah perceraian menjadi solusi atas permasalahan informan yang sudah tidak dapat lagi diselesaikan oleh kedua belah pihak dalam ikatan permikahan. Berpisah dapat menjadi reward karena dalam hubungan pernikahan. Namun demikian, tidak semua kasus perceraian, reward dan cost yang didapat adalah seperti pada analisa diatas, tergantung pada permasahan dan konteks social yang ada.

3. CATATAN KRITIS

Pada tulisan Lamanna dan Riedman tentang masalah perceraian, kelompok 5 menemukan terdapat kekurangan atau dapat menjadi catatan kritis pada tulisan tersebut, diantaranya :

1. Pada tulisan tersebut kurang dijelaskan tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal KDRT kerap kali menjadi pemicu terjadinya perceraian.

2. Pada tulisan tersebut pula terlalu menekankan pada aspek ekonomi,ketimbang social dan kultural.

3. Kurang menjelaskan tentang pola relasi suami isteri secara jelas setelah perceraian.

Kami melihat baik dari tulisan Lamanna dan Riedman dan studi kasus yang kami lakukan bahwa anak selalu menjadi korban di dalam perceraian yang ada. Tulisan dari Lamanna dan Riedman tidak semuanya bisa dikaitkan dengan konteks masyarakat Indonesia, seperti di Indonesia tidak diperbolehkan tinggal bersama tanpa menikah secara resmi(baik dari negara atau agama), atau tidak diperbolehkan berhubungan dengan pasangan jenis kelamin yang sama. Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia sangat memegang teguh norma-norma agama yang ada. Hal ini sangat berbeda dengan artikel yang ada, yaitu pada keluarga di Amerika Serikat. Institusi agama kurang berperan dalam pengambilan keputusan untuk bercerai atau tidak.

BAB IV

KESIMPULAN

KESIMPULAN

Perceraian merupakan sebuah keputusan yang dimana terdapat aspek ataupun penyebab didalamya. Perceraian tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang negatif saja, negatif disini berakhir dengan kesedihan. Aspek positif mungkin lebih dipertimbangkan atas dasar kenyamanan sesama (adanya rasa aman). Perceraian dirasa amat buruk bagi kelangsungan anak karena berdampak pada kondisi emosional si anak. Adapun masalah ekonomi, kurangnya keharmonisan, hingga perpecahan yang berujung konflik menjadi penyebab perceraian terjadi. Dilihat dari analisis diketahui bahwa faktor ekonomi amat dekat dengan perceraian yang dialami oleh kalangn kelas menengah ke bawah. Karena apabila mendapat hak asuh anak maka harus menanggung semua kebutuhan anak sesuai kesepakatan ataupun keputusan yang ada dipengadilan. Selain itu perceraian juga menimbulkan permasalahan dalam kehidupan sosial yakni adanya anggapan “duda” atau “janda”. Emotional divorce dan legal divorce menjadi sebuah persoalan dalam perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Klein, David M., dan James M. White. Family Theories: An Introduction. London: SAGE Publications, Inc, 1996.

Lamanna and Riedmann. Marriages and Families: Making Choices in a diverse society. 10 th

Edition. Belmont, USA. 2009. Chapter 16: “Divorce : Before and After.”

Erna Karim. “Perceraian” dalam Sosiologi Keluarga (ed), T.O hromi. Jakarta: Yayasan Obor.

http://news.detik.com/read/2011/08/04/124446/1696402/10/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat (diunduh pada 29 April 2012 pukul 09.00 WIB)

TABEL III.A TENTANG DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS YURISDIKSI MAHKAMAH SYARI'AH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2010