makalah_aftina nurul husna_fak.psi undip
TRANSCRIPT
INTEGRASI TAWAKAL DALAM COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY
Aftina Nurul Husna1)
1)Fak. Psikologi Universitas Diponegoro
Abstrak
Cognitive behavioral therapy adalah jenis psikoterapi yang luas penggunaannya dan efektif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan psikologis. Cognitive behavioral therapy merupakan suatu treatment psikologis yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara bagaimana seseorang berpikir, merasa dan berperilaku. Dalam perkembangannya, terbuka kesempatan bagi dimensi religius untuk berperan dalam aktivitas psikoterapi.
Islam sebagai agama menyajikan ajaran-ajaran yang mendukung kesehatan mental manusia. Salah satunya adalah ajaran untuk bertawakal yang merupakan penyerahan diri kepada Allah dengan kepercayaan yang sepenuh hati dalam menjalani kehidupan. Tawakal adalah wujud ketahanan diri seseorang dalam menghadapi berbagai tekanan hidup dan merupakan ciri keimanan seseorang.
Pada dasarnya, tawakal mengandung suatu rekonstruksi kognitif. Seseorang yang bertawakal akan meyakini tiga hal bahwa: 1) Tawakal adalah berserah diri kepada Allah setelah berusaha maksimal, 2) segala daya dan upaya adalah atas kuasa Allah, dan 3) hanya Allah yang mengetahui baik dan buruknya sesuatu bagi manusia. Jika demikian, maka konsep-konsep pengembangan diri muslim yang berusaha dibentuk melalui tawakal dapat melengkapi cognitive behavioral therapy, terutama untuk diterapkan dalam masyarakat muslim. Mengintegrasikan tawakal ke dalam cognitive behavioral therapy diharapkan tidak hanya meningkatkan kualitas terapi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga membantu orang-orang yang menjalani terapi untuk meningkatkan keimanan ketakwaan (berakhlak mulia) kepada Allah.
Kata kunci: tawakal, terapi kognitif behavioral
Pendahuluan
Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Berbagai
permasalahan datang silih berganti mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pada
awalnya manusia bertahan dan menyelesaikan masalahnya dengan mengandalkan
kemampuannya sendiri. Jika ia tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendirian, ia
akan meminta bantuan orang lain yang lebih mampu. Jika orang lain tersebut juga
1
tidak berhasil membantu, siapa lagi yang akan dimintai bantuan kecuali orang lain
lagi yang lebih mampu. Pada titik inilah manusia sering dihinggapi keputusasaan dan
rasa tidak berdaya jika ia tidak dapat menemukan pertolongan yang dibutuhkannya.
Inilah mengapa manusia pada abad ini mudah terkena berbagai gangguan psikologis
yang menjadi akar berbagai permasalahan lainnya.
Ketika manusia merasa tidak berdaya, ia akan kembali kepada agama dan
Tuhannya. Fenomena inilah yang kemudian diejek oleh Freud (dalam Pargament,
1997) berdasarkan pandangannya bahwa agama adalah respon yang kekanak-kanakan
terhadap perasaan ketidakamanan dan ketidakberdayaan. Jika dihubungkan dengan
keimanan yang mantap, sesungguhnya kembalinya seseorang kepada agama dan
Tuhannya bukanlah suatu defense, tetapi sesuatu yang diperintahkan untuk
dilaksanakan sebagai bukti keimanan kepada Tuhan. Manusia diciptakan dengan
kapasitas untuk berusaha yang terbatas di mana di luar batas itu ada kekuasaan yang
lebih besar yang dimiliki oleh Tuhan yang Mahakuasa. Inilah realita yang mungkin
tidak disadari bahkan oleh Robert Ellis, pencipta rational-emotive therapy, yang
mengatakan bahwa agama mendukung setiap bentuk-bentuk utama irasionalitas
(dalam Pargament, 1997). Ketidaksadaran akan batas inilah yang sesungguhnya
mengantarkan manusia pada berbagai masalah psikologis.
Kembalinya manusia pada agama dan Tuhan sebagai tempat bergantung
ketika sadar atas ketidakberdayaan diri digambarkan Islam melalui tawakal. Tawakal
adalah tuntutan iman sehingga siapa yang beriman dia harus menyerahkan semua
persoalannya kepada siapa yang dia imani, yakni Allah Swt. Tawakal adalah
penyerahan secara mutlak kepada Allah, tetapi harus didahului dengan usaha
manusiawi.
Bukan hal yang tidak mungkin mengintegrasikan aspek spiritualitas dalam
praktik psikoterapi. Hal tersebut terutama didasari oleh hakikat perilaku manusia
bahwa perilaku manusia adalah interaksi dari aspek biologis, psikologi dan
sosiospiritualnya. Dalam mengintegrasikan tawakal dalam cognitive behavioral
therapy (CBT), diharapkan komponen rekonstruksi kognitif tidak hanya berkisar pada
2
pengubahan kognisi negatif, maladaptif dan disfungsional menjadi kognisi positif dan
adaptif menyangkut masalah yang sedang dihadapi, tetapi juga menjadi positif dan
adaptif menyangkut Tuhan yang Mahakuasa dalam Menetapkan sesuatu, Maha
Mengetahui, dan Mahabijaksana beserta pengaruh-pengaruh psikologis yang muncul
karena tawakal.
Konsep Tawakal dalam Al Quran
Tawakal merupakan bentuk akhlak terhadap Allah Swt (Shihab, 1999).
Akhlak memiliki makna yang luas, baik yang bersifat lahiriah maupun yang tidak.
Akhlak yang bersifat lahiriah diwujudkan dalam bentuk perbuatan, sedangkan akhlak
yang bersifat tidak lahirian berupa sikap batin maupun pikiran. Dapat disimpulkan
bahwa tawakal sebagai akhlak memiliki dua aspek, yakni aspek lahiriah dan aspek
nonlahiriah.
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Allah Memiliki sifat-sifat terpuji yang demikian agung
sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menjangkau hakikat-Nya. Allah
memiliki kesempurnaan yang karena kesempurnaan itulah segala makhluk
bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Al Quran memerintahkan manusia untuk
berserah diri kepada Allah dengan menjadikannya sebagai wakil atau pelindung (QS
Al Muzzamil [73]: 9 “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan
Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung)”) sebagai wujud keimanan
manusia terhadap Allah berserta sifat-sifat-Nya.
Kata tawakal memiliki akar kata yang sama dengan wakil, yakni wakala yang
pada dasarnya bermakna pengandalan pihak lain dalam hal urusan yang seharusnya
ditangani oleh satu pihak (Shihab, 2009b). Akar kata wakalu juga diartikan sebagai
“menyerahkan, membiarkan serta merasa cukup” (Shihab, 2009a). Pihak yang
menjadi wakil tentu adalah pihak yang mampu, dapat diandalkan dan diharapkan.
Maka dari itu, Al Quran memerintahkan agar bertawakal hanya kepada Allah (QS
Yunus [10]: 84 “ … jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-
3
Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.”) dengan berlandaskan
keimanan kepada-Nya.
Yusuf Qardhawi (2005) mengartikan tawakal sebagai bekerja dan
mengusahakan sebab-sebab yang wajar, setelah itu menyerahkan hasilnya kepada
Allah. Pendapat tersebut berdasar pada fakta bahwa ayat-ayat Al Quran yang
mengandung perintah tawakal kepada Allah selalu didahului dengan perintah
melakukan sesuatu. Bertawakal bukan anjuran untuk tidak berusaha atau
mengabaikan hukum-hukum sebab akibat. Hal tersebut dikarenakan manusia hidup
dalam realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha harapan tak mungkin terpenuhi.
Jika manusia mengimani kesempurnaan Allah, maka ia juga perlu meyakini
bahwa Allah telah memberinya kemampuan untuk berusaha sesuai dengan
kemampuannya (Shihab, 1999). Dalam bertawakal, hendaknya manusia
menggunakan segala daya dan kemampuan yang Allah nikmatkan kepadanya, yaitu
akal pikiran, hati nurani, dan kemampuan fisik, sesuai kesanggupannya. Hal-hal yang
ada di luar kesanggupan itulah yang diserahkan kepada Allah.
Tawakal: Usaha dan Keimanan kepada Allah
Tawakal kepada Allah secara ringkas didefinisikan sebagai berserah diri
kepada Allah setelah usaha maksimal (Shihab, 2009a). Penyerahan diri secara total
kepada Allah atas segala persoalan yang dimiliki membutuhkan keimanan yang kuat
bahwa tiada Tuhan selain Allah dengan segala sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya.
Sementara itu, usaha yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
penyerahan diri merupakan penggunaan segala daya dan kemampuan dalam batas
kemampuan untuk menyelesaikan suatu persoalan (ikhtiar). Hal-hal yang masih dapat
dilakukan dalam batas kesanggupan menjadi tanggung jawab manusia, sedangkan
hal-hal yang berada di luar itu menjadi urusan Allah Swt.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan terdapat dua
aspek tawakal kepada Allah, yaitu: 1) Aspek lahiriah, berupa perilaku berusaha
4
manusiawi yang maksimal, dan 2) Aspek nonlahiriah, berupa penyerahan total
kepada Allah berdasarkan keimanan (Lihat Tabel 1).
Tawakal adalah tuntutan iman sehingga orang-orang yang mengaku dirinya
beriman kepada Allah diperintahkan tawakal kepada-Nya. Dengan keimanan kepada
Allah, seorang mukmin memperoleh kekuatan jiwa yang membuatnya menjadi
manusia yang kuat dalam menghadapi berbagai tekanan dalam hidup. Kekuatan itu
bersumber dari kepercayaan kepada Allah yang senantiasa menyertai hamba-Nya,
memberikan pertolongan dan membelanya dari keburukan orang lain.
Tawakal juga merupakan buah dari iman karena orang yang beriman pasti
akan bertawakal. Tawakal yang benar tidak menimbulkan kepasrahan, tetapi daya
juang, gairah kerja, ketekunan, dan semangat untuk hidup (Qardhawi, 2005). Orang
yang bertawakal tidak akan berputus asa, tetapi ketenangan hidup karena urusannya
ia serahkan kepada Allah yang memiliki kesempurnaan, yang mengetahui yang
maslahat, dan memberikan balasan yang baik atas usaha hamba-Nya.
Religiusitas dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah suatu treatment psikologis yang
memperhatikan interaksi-interaksi antara bagaimana seseorang berpikir, merasakan
dan berperilaku. CBT adalah proses mengajarkan, melatih dan menguatkan perilaku-
perilaku positif serta membantu seseorang untuk mengidentifikasi pola-pola kognitif
atau pikiran dan emosi yang dihubungkan dengan perilaku (Somers & Querée, 2007).
Kognisi manusia terdiri atas pikiran-pikiran yang terdiri atas keyakinan,
asumsi, ekspektasi, atribusi dan sikap-sikap. Fokus CBT adalah proses berpikir
seseorang yang diwujudkan dalam bentuk percakapan batin (inner speech) (Spiegler
& Guevremont, 2003). CBT berusaha membantu seseorang untuk menyadari inner
speech yang maladaptif sebelum, selama dan sesudah suatu perilaku dan mengubah
kognisi yang maladaptif itu menjadi kognisi yang adaptif.
5
Tabel 1. Aspek lahiriah dan nonlahiriah tawakal kepada Allah Swt.
Aspek Lahiriah Aspek Nonlahiriah
- Merencanakan (QS 5: 23)
- Mengambil keputusan dan bertindak
berdasarkan pertimbangan tindakan
orang lain (QS 5: 23; 8: 61)
- Berdoa (QS 10: 85)
- Bersabar atas masalah(QS 14: 12)
- Membulatkan tekad (QS 3: 159)
- Berpaling dari masalah yang sudah
berada di luar pengetahuan dan
kemampuan manusia (QS 8: 41)
- Bertaubat kepada Allah (QS 13: 30)
- Tidak mempersekutukan Allah (QS
16: 99 – 100)
- Yakin pada pilihan yang benar dan
kembali pada Al Quran (QS 27: 77,
79)
- Bekerja/berusaha sesuai kemampuan/
keadaan diri (QS 39: 39)
- Bersyukur (QS 42: 36)
- Menegaskan kembali pengakuan
keimanan (QS 13: 30)
- Menyadari diri adalah manusia (QS
14: 11)
- Tidak berputus asa dari rahmat Allah
(QS 39: 53)
- Allah Mahaperkasa dan Bijaksana
(QS 8: 49)
- Allah Memegang ubun-ubun
(menguasai) setiap makhluk (QS 11:
56)
- Allah tempat kembali dan meminta
pertolongan (QS 11: 88; 3: 160)
- Allah Maha Mengetahui dan Pemberi
keputusan yang terbaik (QS 7: 89; 42:
10)
- Allah Menyukai orang-orang yang
bertawakal (QS 3: 159)
- Allah Memiliki rencana dan Maha
Melindungi (QS 4: 81)
- Allah Maha Menetapkan (QS 9: 51)
- Allah Maha Memiliki, tempat segala
urusan kembali, dan tidak lalai atas
usaha hamba-Nya (QS 11: 123)
- Allah Maha Berkehendak atas
kemudharatan dan rahmat (QS 39:
38)
- Kemudharatan terjadi atas izin Allah
(QS 58: 10)
- Balasan sabar dan tawakal adalah
surga (QS 29: 58 – 59)
6
CBT menekankan pula tentang perubahan perilaku. Apa yang dilakukan
seseorang mempengaruhi bagaimana ia merasakan dan berpikir.CBT berusaha
membantu seseorang untuk mempelajari perilaku baru dan cara baru melakukan
coping terhadap suatu peristiwa, misalnya dengan mengajari kemampuan atau
keterampilan baru (Somers & Querée, 2007).
Pengaruh religiusitas terhadap keefektifan terapi, terutama CBT, mengandung
pro dan kontra. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai dimensi religi dalam
praktik CBT, diketahui bahwa religiusitas dapat meningkatkan keefektifan terapi
(Spiegler & Guevremont, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nielsen
(2001) dan Robb (2001), keyakinan agama dapat meningkatkan pendirian untuk
menantang keyakinan irasional dan meningkatkan penggunaan pikiran yang adaptif
(dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Keyakinan agama juga dapat menjadi bahan
berargumen melawan keyakinan irasional yang dimiliki seseorang (Propst, dalam
Spiegler & Guevremont, 2003).
Penelitian lain yang membandingkan antara terapi yang mengakomodasi
agama dengan yang tidak, sebaliknya menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam
hal efektifitas (dalam Pargament, 2007). Pargament (2007) menanggapi perbedaan
hasil ini dengan mengatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi
keefektifan terapi yang menganduk aspek spiritual. Faktor pertama ada pada konsep
penelitian dan kedua ada pada kenyataan bahwa secara umum terapi yang
mengandung aspek spiritual tidak lebih efektif dibandingkan terapi “sekuler”.
Keefektifan CBT yang menfasilitasi aspek spiritual religius kembali pada
siapa yang menjadi terapis dan siapa kliennya. Terapis yang religius belum tentu
bekerja lebih efektif daripada terapis yang tidak religius, bahkan yang terjadi bisa
kebalikannya (Propst, dalam Pargament, 2007). Pargament (2007) menekankan
bahwa:
“… personal religiousness or spirituality does not necessarily equip a therapist to conduct spiritually integrated psychotherapy. Evon more
7
important are the therapist’s openess, sensitivity, and willingness to learn about the part that spirituality plays in the life of client.”
Disimpulkan bahwa keefektifan terapi mengintegrasikan spiritualitas
dipengaruhi oleh kemampuan terapis untuk peka terhadap spiritualitas atau
religiusitas kliennya. CBT tampak kurang efektif bagi klien yang sangat teguh
(bahkan kaku) memegang keyakinan budaya atau agamanya dan ingin dimengerti
bahwa memang begitulah keyakinannya sehingga tidak dapat diubah lagi sekalipun
keyakinan itu mengganggunya. CBT dilakukan bukan untuk menantang keyakinan
budaya atau agama seseorang, tetapi mengenai memahami perspektif untuk
meringankan distres yang berhubungan dengan gangguan psikologis. (Turkington et
al, 2009).
Mengintegrasikan Tawakal dalam Cognitive Behavioral Therapy
Setiap orang membawa aspek spiritual dan religiusnya dalam setiap gerak
kehidupannya. Hal tersebut yang mendasari mengapa dimensi agama perlu
diperhatikan dalam proses psikoterapi. Agama telah jauh lebih lama daripada
psikologi dalam upaya menjaga kesejahteraan jiwa umat manusia. Agama sebagai
pedoman hidup mempengaruhi manusia, salah satunya dengan menganjurkan cara-
cara menghadapi dan mengatasi permasalahan hidup (Pargament, 1997). Pelaksanaan
psikoterapi tentu perlu memperhatikan latar belakang dari pengguna jasa psikoterapi.
Latar belakang agama menjadi sangat penting terutama karena agama yang dianut
seseorang mempengaruhi pembentukan kepribadian, cara berpikir dan berperilaku.
Psikoterapi yang diterapkan pada masyarakat muslim perlu memperhatikan
kesesuaian antara dasar teori dan metode dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan
bahwa kekuatan jiwa seorang muslim tergantung pada kekuatan keimanannya
(Qardhawi, 2005). Berdasarkan hal ini, diharapkan pelaksanaan psikoterapi secara
islami tidak hanya bertujuan menyembuhkan masalah psikologis, tetapi
meningkatkan keimanan seorang klien muslim kepada Tuhannya. Seorang terapis
8
juga perlu menyadari bahwa keimanan yang benar kepada Allah selalu berpangkal
kepada jiwa yang sehat.
Mengintegrasikan tawakal dalam CBT merupakan upaya membaurkan konsep
tawakal dalam CBT menjadi suatu kesatuan yang utuh dan dapat diterapkan bagi
masyarakat muslim. CBT berangkat dari asumsi bahwa kognisi seseorang
mempengaruhi bagaimana ia berperasaan dan bertindak, dan sebaliknya sehingga
kontrol terhadap pikiran menjadi sangat penting. Kontrol pikiran inilah yang
diharapkan dapat diarahkan menuju tawakal kepada Allah.
CBT yang berlandaskan psikologi sekuler menekankan pada perubahan
kognisi yang maladaptif menjadi adaptif berkaitan yang menyebabkan masalah.
Ketika tawakal menjadi bagian dari proses terapi, penekanan terapi tidak hanya pada
pikiran-pikiran yang menyebabkan masalah dan solusi perilakunya, tetapi juga pada
pemahaman hakikat masalah (sebab, tujuan, dan hikmah), pembentukan kognisi
positif terhadap kemutlakan dan kesempurnaan Allah dan keterbatasan kemampuan
manusia dalam berusaha.
Al Quran mengenalkan tiga konsep dalam bertawakal, yaitu:
1. Tawakal adalah berserah diri kepada Allah setelah usaha maksimal. Tawakal
adalah tindakan rasional yang dilakukan setelah seseorang berusaha
maksimal. Pada hal ini, seseorang diharap mampu mengenal keterbatasan
kemampuannya dan berkata “cukup, saya sudah melakukan yang terbaik yang
bisa saya lakukan” dalam hal usaha lahiriah. Hal-hal di luar pengetahuan dan
kemampuan manusia adalah urusan Allah dan tak ada gunanya manusia
memaksakan diri melampaui batas dirinya karena akan merugikan diri sendiri.
Manusia memang diciptakan dengan keterbatasan.
2. Segala daya dan upaya adalah atas kuasa Allah. Dalam hal berusaha, kapasitas
diri manusia untuk mampu mengetahui dan mengatasi masalah adalah
anugrah dari Allah. Anugrah ini perlu disyukuri apapun bentuknya. Manusia
sesungguhnya tidak berdaya apa-apa dan selalu meminta pertolongan pada
yang mampu menolong. Allah adalah tempat meminta pertolongan. Meminta
9
pertolongan di saat-saat sulit bukanlah sesuatu yang aneh (seperti yang
diungkapkan Freud), tetapi merupakan tindakan yang Allah Sukai, terutama
jika diiringi dengan meningkatkan ketaatan kepada-Nya.
3. Hanya Allah yang mengetahui baik dan buruknya sesuatu bagi manusia. Allah
dengan segala kesempurnaan-Nya mengetahui keadaan setiap manusia. Apa
yang Allah putuskan kepada manusia berdasar bahwa Allah mengetahui
sesuatu yang baik dan yang buruk bagi hamba-Nya. Setiap keputusan Allah
atas usaha kita, yang baik maupun buruk semuanya mengandung hikmah.
Seseorang perlu didorong untuk menemukan hikmah tersebut. Sekalipun
hikmah suatu kejadian tersembunyi, seseorang diharapkan tetap yakin bahwa
yang diputuskan adalah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.
Dalam pelaksanaan terapi, konsep tawakal kepada Allah dapat dijalankan
dengan menggunakan metode-metode dalam CBT. Konsep tawakal, baik dalam hal
aspek lahiriah dan nonlahiriah (Lihat Tabel 1) dapat diintegrasikan dalam CBT
dengan proses rekonstruksi kognitif (metode thought stopping, rational-emotive
behavior therapy, dan cognitive therapy) dan menjadi bagian dalam terapi coping
skill (Spiegler & Guevremont, 2003) Konsep tawakal yang diintegrasikan dalam
terapi dapat berperan sebagai peneguh pendirian dan bahan argumen untuk melawan
kognisi irasional atas suatu masalah.
Seorang terapis perlu mengakomodasi dimensi religi dan spiritual dalam
praktik psikoterapi. Dimensi religi dan spiritual adalah dimensi yang sama
terintegrasinya dalam diri seseorang seperti dimensi biologis, psikologis dan
sosiokultural. Dalam hal penyembuhan masalah kejiwaan atau dalam menghadapi
masalah yang sulit, kebanyakan orang menemukan bahwa dukungan yang diperoleh
dari keimanan sangat bermanfaat, terutama dalam menghadapi masalah-masalah yang
signifikan, seperti sakit, kecelakaan, konflik interpersonal, perceraian, pemecatan
kerja, dan kematian (Pargament, 2007). Di samping itu, penerimaan dimensi religi
10
dan spiritual dalam psikoterapi memungkinkan hubungan kemitraan antara seorang
psikoterapist dengan rohaniawan (Hawari, 2005).
Optimisme pengintegrasian tawakal dalam CBT berdasar pada berbagai
penelitian psikologi (Pargament, 2007). Disimpulkan bahwa keyakinan, ibadah,
hubungan ketuhanan, dan pengalaman religius dan spiritual berkorelasi dengan:
- Kesejahteraan mental, kebahagiaan, dan kepuasan hidup
- Harapan dan optimisme
- Tujuan dan makna kehidupan
- Self-esteem yang lebih tinggi
- Dukungan sosial yang lebih tinggi dan kesepian yang lebih rendah
- Tingkat depresi, bunuh diri, kecemasan, penggunaan alkohol dan obat, delikuensi,
perilaku kriminal,dan psikosis yang lebih rendah
- Stabilitas dan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi
Rejeksionisme Agama dalam CBT
Rejeksionisme agama dalam CBT terjadi berdasarkan perspektif searah (dari
sisi negatif) bahwa keyakinan agama juga memiliki andil dalam terbentuknya kognisi
yang irasional (Ellis, dalam Pargament, 1997). Hal itu ada benarnya karena dimensi
agama dan spiritual, sama seperti dimensi-dimensi yang lain dalam diri manusia, juga
dapat manimbulkan masalah psikologis karena kualitas keagamaan dan spiritualitas
seseorang tak selalu berkembang dengan baik.
Pargament (2007) membedakan kualitas spiritual menjadi dua, yaitu yang
terintegrasi dengan baik dan yang terintegrasi dengan buruk. Spiritualitas yang
terintegrasi dengan baik tampak dari diri seseorang yang secara spiritual didukung
oleh sistem sosialnya, menggunakan spiritual coping method yang sesuai dengan
masalahnya, dan mencari keseimbangan dalam pencapaian tujuan (contoh,
bertawakal). Sebaliknya, spiritualitas yang terintegrasi dengan buruk tampak pada
orang yang menghadapi konflik spiritual dengan sistem sosialnya, menggunakan
spiritual coping method yang malah memperburuk masalah, dan mencari tujuan-
11
tujuan yang sakral dan sekuler yang di luar keseimbangan (contoh, berserah diri pada
Tuhan, tetapi tidak mau berusaha).
Berbagai masalah psikologis yang berkaitan dengan spiritualitas juga
dingungkapkan oleh Pargament (2007). Terdapat dua macam disintegrasi
spiritualitas, yaitu problems of spiritual destinations dan problems of spiritual
pathways. Masalah-masalah ini mengandung kognisi-kognisi irasional yang
mengakibatkan suatu masalah psikologis. Jika kognisi spiritual yang terdisintegrasi
ini tidak disadari dan diubah agar menjadi terintegrasi, tentu CBT tidak efektif
dilakukan.
Tabel 2. Disintegrasi Spiritual (Pargament, 2007)
Problems of Spiritual Destinations Problems of Spiritual Pathways
- Masalah small gods
- Masalah false gods
- Masalah pertentangan hal yang
sakral: 1) ambivalensi, 2) self-
degradation dalam berhubugan
dengan hal yang sakral, 3)
demonization diri dan orang lain, dan
4) konflik internal.
- Masalah kedalaman dan keluasan
pengetahuan dan pengalaman
- Masalah kesesuaian: 1) antara tujuan
dengan pedoman, seperti
ekstremisme dan hipokrisi, 2) antara
pedoman dengan situasi, dan 3)
antara individu dan konteks sosial.
- Masalah dalam kontinuitas dan
perubahan.
Masalah psikologis yang bersumber pada masalah agama dan spiritualitas
memiliki dasar kognisi yang maladaptif. CBT dapat berperan dalam hal ini dengan
tidak mengabaikan dimensi religius-spiritual dalam praktek, tetapi
mengakomodasikannya. Proses akomodasi membutuhkan terapis yang mampu
mengarahkan kliennya pada kognisi yang benar mengenai agama dan spiritualitas
untuk membantunya mengatasi distres psikologis yang ada dengan pengetahuan
agama yang tepat.
12
Penutup
Mengislamisasikan psikoterapi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan
ajaran Islam ke dalam praktik psikoterapi. Salah satunya adalah mengintegrasikan
tawakal kepada Allah dalam CBT yang merupakan psikoterapi sekuler. Tujuan
mengintegrasikan dimensi religius-spiritual dalam CBT adalah agar psikoterapi yang
diterapkan sesuai dengan kepribadian masyarakat Islam yang beriman kepada Allah
Swt.
Tawakal sebagai tuntutan keimanan kepada Allah sesungguhnya memiliki
efek psikoterapis. Tawakal adalah cara yang diperintahkan dilakukan oleh orang-
orang yang beriman dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Tawakal
merupakan bentuk spiritualitas yang menyeimbangkan konsep makhluk dan Pencipta;
sesuatu yang berada dalam kontrol manusia dan tidak, keterbatasan manusia dan
kemutlakan kekuasaan Tuhan.
Integrasi tawakal dalam CBT dilakukan berdasarkan konsep tawakal dalam Al
Quran. Pelaksanaannya bertujuan menyadari kognisi maladaptif (khususnya berkaitan
dengan keyakinan agama dan spiritual yang salah) dan mengubahnya menjadi adaptif
dalam upaya mengatasi masalah psikologis. Keyakinan pada Allah yang ditumbuhkan
akan membantu meneguhkan pendirian untuk berpikir positif dan argumen untuk
melawan pikiran yang negatif.
Pelaksanaan CBT yang mengintegrasikan tawakal di dalamnya perlu
memperhatikan beberapa hal: 1) terapis tidak hanya perlu memiliki religiusitas dan
spiritualitas personal yang baik, tetapi juga mampu memahami cara berpikir, agama
dan spiritualitas kliennya, 2) penggunaan terapi disesuaikan dengan masalah yang
dialami klien, dan 3) dimensi religi, sama seperti dimensi-dimensi manusia yang lain,
mampu menjadi baik solusi maupun sebab dari masalah psikologis.
Keyakinan agama yang terdisintegrasi menunjukkan bahwa seseorang
memiliki kognisi yang tidak tepat atas agamanya. Kesalahan kognisi ini perlu disadari
13
dan kemudian diubah menjadi kognisi yang tepat melalui metode-metode CBT yang
berlandaskan ajaran Islam, terutama tentang tawakal yang dibahas dalam tulisan ini
Daftar Pustaka
Al Quran Al Karim.
Hawari, D. 2005. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pergament, K.I. 1997. The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research and Practice. New York: The Guilford Press.
____________. 2007. Spiritually Integrated Psychotherapy. New York: The Guilford Press.
Shihab, M. Q. 2009a. Tafsir Al-Mishbah Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati.
___________. 2009b. Tafsir Al-Mishbah Vol. 9. Jakarta: Lentera Hati.
___________. 1999. Wawasan Al Quran. Bandung: Penerbit Mizan.
Somers, J. & Querée, M. 2007. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)-Core Information Document. Vancouver: Centre of Applied Research in Mental Health and Addictions (CARMHA) Simon Fraser University.
Spiegler, M.D. & Guevremont, D.C. 2003. Contemporary Behavior Therapy. Victoria: Thomson Wadsworth.
Turkington, D., Kingdon, D., Rathod, S., Wilcock, S.K.J., Brabban, A., Cromarty, P., Dudley, R., Gray, R., Perton, J., Siddle, R., & Weiden, P. 2009. Back to Life, Back to Normality: Cognitive Therapy, Recovery, and Psychosis. Cambridge: Cambridge University Press.
Qardhawi, Y. 2005. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
14