makalah ushul fiqh

18
MAKALAH TAKHSIS  Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh  Disusun Oleh : DETRI SAPUTRA HAMDI NIM. 1071338  DOSEN PEMB IMBING : PROF.DR. H. NASRUN HAROEN, MA PA SCA SARJ ANA UNI VERSI TA S MUHAMMADIYA H SUMAT ERA BARAT 14322011 0

Upload: mas-adi

Post on 09-Oct-2015

326 views

Category:

Documents


44 download

TRANSCRIPT

K A T A P E N G A N T A R

MAKALAHTAKHSISDipresentasikan Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh :DETRI SAPUTRA HAMDI

NIM. 1071338DOSEN PEMBIMBING : PROF.DR. H. NASRUN HAROEN, MAPASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT 1432/2011BAB I

PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan pedoman yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Untuk dapat memahami kandungan hukum yang terdapat dalam al-Quran dibutuhkan usaha sungguh-sungguh dari pada mujtahid. Khusus untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan masalah hukum, para ulama merumuskan ushul fiqh untuk memahaminya.

Dalam ushul fiqh salah satu usaha penggalian dan perumusan hukum ini dapat dilakukan melalui pemahaman secara langsung terhadap teks al-Quran. Diantara bahasan ushul fiqh yang berkaitan dengan kaidah kebahasan adalah tinjauan lafaz dari segi kandungan pengertiannya, diantaranya lafaz am dan khas. Dalam al-Quran ditemukan sejumlah ayat yang mengandung lafaz am sedangkan pada ayat lainnya terdapat ayat yang mengandung lafaz khas. Dan terkadang terjadi perbenturan di antara lafaz am dan khas tersebut secara zahir, sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan takhsis.

Makalah ini akan membahas Takhsis yang meliputi: pengertian takhsis, Hakikat Takhsis, dan Dalil Takhsis. Maka dari itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada teman-teman, Dosen pembimbing dan handai tolan yang telah membantu penyelesaian makalah ini.

BAB II

PEMBAHASANA. Pengertian TakhsisSecara etimologi, lafaz takhsis merupakan masdar dari - dengan arti menentukan atau mengkhususkan. Sedangkan secara terminologi ada beberapa defenisi yang diajukan ulama ushul mengenai takhsis,sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, diantaranya :1. Menurut al-Khudhari Beik Menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz am hanyalah sebagian dari yang diatur oleh lafaz itu.

2. Abdul Wahab Khalaf Takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh SyarI (pembuat hukum) tentang lafaz am pada mulanya adalah sebagian afradnya.

3. Qadhi al-Baidhawi memberikan defenisi : Mengeluarkan apa-apa yang dikandung oleh suatu lafaz.

4. Ibn Subki juga mengemukaka lafaz am kepada sebagian afradnya. Takhsis adalah membatasi lafaz am kepada sebagian afradnya.

Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa takhsis adalah penjelasan tentang hukum pada lafaz am atau mengeluarkan sebagian cakupan lafaz umum berdasarkan dalil khusus.B. Hakikat TakhsisJumhur ulama berpendapat bahwa takhsis pada dasarnya adalah sebagian bayan (penjelasan dan penafsiran) bagi dalil yang umum, bukan disebabkan karena terjadinya pertentangan antara dalil khusus dengan dalil umum. Dengan kata lain bahwa takhsis adalah pembatasan terhadap sebagian cakupan dalil yang umum.

Sedangkan ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa takhsis merupakan salah satu bentuk al-bayan, tetapi mengandung pengertian terjadinya pertentangan. Karena antara dalil umum dan dalil khusus memiliki kualitas hukum yang sama qadhI, namun hanya sebatas makna yang dikandung oleh dalil khusus tersebut.

Dengan demikian menurut ulama Mazhab Hanafi suatu dalil yang digunakan untuk mengkhususkan hukum yang umum harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

1. Dalil khusus itu berdiri sendiri2. Dalil khusus bersamaan datangnya dengan dalil umum ketika disyariatkan, jika tidak bersamaan, maka dalil khusus menasakhkan hukum umum.3. Kualitas dalil khusus itu sama dengan kualitas dalil umum.

C. Dalil Takhsis (Mukhashshis)Mukhasihsish dalah dalil-dalil yang mengeluarkan lafaz am dari keumumannya kepada makna khusus, baik dalil yang mengkhususkan tersebut berupa nash atau yang lainnya. Dengan demikian mukhassis ada dua ; (1) berbentk nash (teks) dan (2) bukan dalam bentuk nash.

Jumhur ulama ushul fiqh membagi dalil yang boleh dijadikan takhsis sebagai berikut :

1. Mukhashshis al-Muttasil / Al-Dalil Ghair al-MustaqilYaitu setiap dalil yang datangnya berbarebgan dengan persoalan (hukum) yang akan dikhususkan menyatu dengan lafaz am. Mukhashshish Muttasil ada lima macam, yaitu :

a. Istisna (pengecualian)

Yaitu suatu lafaz yang menujukkan adanya perbedaan antara ungkapan sebelumnya dan ungkapan sesudahnya atau mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan yang sama dengan menggunakan kata illa, ghaira, siwa.

Umpanya firman Allah dalam surat Al-Ashr ayat 2-3 :(((( (((((((((( ((((( (((((( ((( (((( ((((((((( (((((((((( ((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( ((( Artinya :

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Lafaz al-Insan dalam ayat di atas adalah am yang berarti semua manusia akan merugi. Keumuman lafaz ini kemudian ditakhsis oleh istisna yang terdapatnpada ayat sesudahnya.

Syarat istisna untuk dapat menjadi mukhashis :

1. Mustatsna harus bersambung dengan ungkapan yang dikecualikan.2. Mustatsna tidak mencakup seluruh satuan atau tidak menghabisi afrad yang dikandung ungkapan yang dikecualikan.3. Mustatsna termasuk ke dalam lingkup yang dkecualikan secara sengaja.b. Syarat, yaitu suatu lafaz yang padanya tergantung keberadaan suatu hukum syarI, apabila lafaz tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada.

Contoh Surat an-Nisa ayat 12 :

( (((((((( (((((( ((( (((((( ((((((((((((( ((( (((( ((((( (((((( (((((( ( ((((( ((((( (((((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((( (((((( (((((((( (((((((( (((((( (((( (((((( ( (((((((( ((((((((( ((((( (((((((((( ((( (((( ((((( (((((( (((((( ( ((((( ((((( (((((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((( ((((((((( ( ((((( (((((( (((((((( (((((((( (((((( (((( (((((( ( ((((( ((((( (((((( ((((((( ((((((((( (((( (((((((((( (((((((( (((( (((( (((((( ((((((((( ((((((( (((((((((( ((((((((( ( ((((( ((((((((( (((((((( ((( ((((((( (((((( (((((((((( ((( ((((((((( ( (((( (((((( (((((((( ((((((( (((((( (((( (((((( (((((( ((((((((( ( (((((((( ((((( (((( ( (((((( ((((((( ((((((( (((( Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa suami mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan istrinya dengan syarat isteri tidak meninggalkan anak.

c. As-Sifah, yaitu suatu lafaz yang berfungsi untuk membatasi apa yang datang sebelumnya atau suatu hal yang menjelaskan keadaan suatu zat. Sifat biasanya menggunakan kata jika. Misanya firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 25 :

((((( (((( (((((((((( ((((((( (((((( ((( ((((((( ((((((((((((((( ((((((((((((((( ((((( ((( (((((((( (((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((((((((((((( ( (((((( (((((((( ((((((((((((( ( ((((((((( ((((( (((((( ( (((((((((((((( (((((((( (((((((((( (((((((((((( ((((((((((( ((((((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( (((( ((((((((((( ((((((((( ( (((((((( (((((((( (((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((((( (((((( ((( ((((( ((((((((((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((( (((((( (((((( (((((((((( ((((((( ( ((((( ((((((((((( (((((( (((((( ( (((((( ((((((( ((((((( ((((

Artinya :

Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lafaz budak dalam ayat di atas bersifat umm, namun kemudian Allah mengemukakan sifat budak yang boleh dinikahi yaitu beriman. Dengan demikian keumuman budak tersebut dibatasi oleh sifat beriman.

d. Al-Ghayah, yaitu lafaz yang menandai akhir atau batas dari sesuatu yang menghendaki ditetapkannya hukum yang diungkapkan sebelumnya dan menafikan apa yang ada sesudahnya, Ghayah biasanya diketahui melalui lafaz hatta dan ila.Contoh dalam firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 6 :

((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((( (((((((( ((((( ((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( (((((((((((((( ((((( ((((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( (((((((((((((( ((((( (((((((((((((( ( ((((( ((((((( ((((((( ((((((((((((( ( ((((( (((((( (((((((( (((( (((((( (((((( (((( (((((( (((((( ((((((( ((((( (((((((((((( (((( ((((((((((( (((((((((((( (((((( ((((((((( (((((( ((((((((((((( (((((((( (((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( (((((((((((( ((((((( ( ((( ((((((( (((( (((((((((( ((((((((( ((((( (((((( (((((((( ((((((( ((((((((((((((( (((((((((( ((((((((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((((( (((

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Lafaz sampai pada ayat ini menunjukkan batas akhir dari membasuh tangan yang semula bermakna umm tanpa batasan kemudian dibatasi dengan lafaz yang terdapat setelah ila.e. Badl bada min kul (bagian sebagian pengganti keseluruhan)Misalnya firman Allah dalam Surat Ali-Imran ayat 97 :

((((( (((((((( (((((((((( ((((((( (((((((((((( ( ((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((( ((((( (((((((( (((( (((((((((( (((( ((((((((((( (((((((( ((((((( ( ((((( (((((( (((((( (((( (((((( (((( (((((((((((((( ((((

Artinya :

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Lafaz man adalah badal dari lafaz al-nas yang disebutkan sebelumnya. Keumuman kata al-nas sebagai orang yang diwajibkan untuk menunaikan haji. Kemudian ditakhsish dengan kalimat sesudahnya yaitu orang yang mampu melakukannya. Sehingga dengan adanya Mukhasish tersebut tidak semua orang wajib mengerjakan haji, hanya orang yang mampu saja.

2. Mukhashshis al-Munfashil/ Al-Dalil al-Mustaqil (berdiri sendiri)Mukhashshis al-Munfashil adalah sesuatu yang akan dijadikan sebagai mukhashis tersebut tidak terdapat dalam satu rangkaian kalimat lafaz am, tetapi keduanya berpisah dan berdiri sendiri.

Dalil takhsis yang berdiri sendiri terdiri atas : a. Al-Hiss (Kenyataan/actual)

Dalil al-Hiss adalah mengeluarkan atau membatasi sebagian kandungan dalil yang umum berdasarkan kenyataan actual.

Misalnya firman Allah dalam surat Al-Ahqaf ayat 25:

((((((((( (((( (((((( (((((((( (((((((( ((((((((((((( (( (((((( (((( ((((((((((((( ( ((((((((( ((((((( (((((((((( ((((((((((((((( ((((

Artinya :

Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.

Lafaz segala sesuatu dalam ayat diatas bersifat umum yang berarti keseluruhan. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa yang dihancurkan oleh angin topan hanyalah kaum Ad. Dengan demikian kenyataan actual yang mengkhususkan ungkapan Allah tersebut.

b. Akal.Dalil akal adalah setiap yang dikehendaki dan diyakini akal. Pada dasarnya hukum-hukum syara diturunkan sejalan dengan akal manusia. Dengan kata lain bahwa apa yang disyariatkan Allah sesuai dan dapat diterima oleh akal. Oleh karena itu pengkhususan sebagian dalil syara dapat dilakukan melalui kehendak dan keyakinan akal.

Misalnya firman Allah dalam Surat Ar-Radu ayat 16 :

(((( ((( (((( ((((((((((((( (((((((((( (((( (((( ( (((( ((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((((((( (( ((((((((((( ((((((((((( ((((((( (((( ((((( ( (((( (((( ((((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((( (((( ((((((((( (((((((((((( (((((((((( ( (((( ((((((((( (( (((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((((((( (((((((((( ( (((( (((( ((((((( ((((( (((((( (((((( ((((((((((( ((((((((((( ((((

Artinya :

Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".

Ayat ini mengandung pengertian umum bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu termasuk zat dan sifatnya-Nya sendiri. Akan tetapi menurut hukum akal tidak mungkin Allah menciptakan sifat dan zat-Nya karena semua itu merupakan sesuatu yang wajib ada pada Allah. Dengan demikian akal menentukan bahwa yang dimaksud dengan segala sesuatu tersebut adalah segala sesuatu yang berada di luar diri-Nya.c. UrfDalil Urf erupakan perkataan (Urf qauli) atau perbuatan (Urf amali) yang telah menjadi adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Misalnya, apabila seseorang menyatakan bahwa ia kan membeli daging di pasar. Lafaz daging bersifat umum, bisa daging sapi, daging kambing atau daging kerbau. Sementara itu menurut kebiasaan masyarakat setempat, istilah daging dimaksud untuk menyebutkan daging sapi. Menurut kesepakatan ulama ushul fiqh, Urf qauli dapat dijadikan sebagai takhsis hukum yang umum.Akan tetapi sebagian ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menggunakan Urf amali sebagai takhsis terhadap dalil yang umum. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa urf amali dapat dijadikan takhsis sesuatu yang umum. Sedangkan ulama mazhab SyafiI berpendapat bahwa urf amali tidak boleh dijadikan sebagai takhsis hukum yang umum. Misalnya firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 :( (((((((((((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((((((((( ((((((((((( ( (((((( ((((((( ((( (((((( (((((((((((( ( ((((((( ((((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((( ((((((((((((((( ( (( (((((((( (((((( (((( ((((((((( ( (( (((((((( ((((((((( ((((((((((( (((( ((((((((( ((((( ((((((((((( ( ((((((( ((((((((((( (((((( ((((((( ( (((((( (((((((( ((((((( ((( ((((((( (((((((((( ((((((((((( (((( ((((((( ((((((((((( ( (((((( ((((((((( ((( (((((((((((((((( ((((((((((((( (((( ((((((( (((((((((( ((((( ((((((((( (((( (((((((((( ((((((((((((((( ( ((((((((((( (((( (((((((((((((( (((( (((( ((((( ((((((((((( ((((((( (((((

Artinya :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Lafaz pada ibu berlaku umum, akan tetapi mazhab Maliki berpendirian bahwa sesuai dengan adat kebiasaan di Madinah, para ibu dari keturunan bangsawan tidak wajib menyusukan anaknya. Hal ini telah terjadi turun temurun sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh sebab itu keumuman lafaz ibu pada ayat tersebut dibatasi oleh adat kebiasaan yang telah berlangsung selama di Madinah.d. Nash

1. Takhsis al-Quran dengan al-Quran

Menurut jumhur ulama ushul fiqh, ayat al-Quran yang khusus dapat dijadikan takhsis ayat yang umum, baik ayat yang khusus itu turun bersamaan dengan ayat yang umum maupun terpisah.

Contoh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 :

((((((((((( (((((((((((( ((((((( ((((((((((( (((((((((( (((((((((((( ((((((((((((( (((((((((( (((((((( ((((((((( ( ((((((( (((((((( (((((((((( (((( ((((((( (((((((((( (((((( (((((((( (((( ((((((((((( ((((((((((((((( ( (((((( ((((( ((((((((((( ((((((( (((((

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Ayat ini bersifat umum tentang iddah para istri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu selama 4 bulan 10 hari tanpa membedakan apakah wanita hamil atau tidak. Kemudian datang ayat khusus tentang iddah istri yang hamil, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 4 :

((((((((((( (((((((( (((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( (((( (((((((((((( (((((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( (((( (((((((( ( ((((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((( (((((((( (((((((((( ( ((((( (((((( (((( ((((((( ((((( (((( ((((((((( ((((((( (((

Artinya :

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Dengan demikian iddah istri yang sedang hamil mengkhususkan hukum iddah istri yang ditinggal mati suaminya bukan 4 bulan 10 hari, tetapi sampai ia melahirkan.

Namun menurut sebagian ulama mazhab Hanafi dan Abu Bakar Muhammad al-Baqillani dan Abu al-Maali al-juwaini (ulama mazhab SyafiI) ayat al-quran yang dapat dijadikan takhsis ayat yang umum harus bersamaan dengan ayat yang umum. Jika ayat yang khuus itu berdiri sendiri dan terpisah dengan ayat umum, maka tidak bias dilakukan takhsis, akan tetapi termasuk kedalam hukum nasakh.2. Takhsis al-Quran dengan SunnahUlama sepakat tentang kebolehan mentakhis al-Quran dengan sunnah yang mutawatir. Akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap kebolehan hadits ahad sebagai takhsis al-Quran :

a. Imam mazhab yang empat membolehkan mentakhsis al-Quran dengan khabar ahad.b. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa sunnah hanya boleh mentakhsis hukum umum yang ada pada dalam sunnah dan harus berada pada kualitas yang sama. Di samping itu dali khusus itu harus berdiri sendiri dan bersamaan datangnya dengan dalil yang umum.

c. Isa Ibnu Abbas (Hanafiyah) berpendapat bila am telah ditakhsis dengan dalil qathI maka untuk selanjutnya boleh ditakhsis dengan khabar ahad.

d. Al-Karakhi (Hanafiyah) berpendapat bila am telah ditakhsis sebelumnya dengan dalil terpisah, selanjutnya boleh ditakhsis dengan khabar ahad.3. Takhsis Sunnah dengan Al-QuranMayoritas ulama membolehkan takhsis sunnah dengan al-Quran karena al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dan beliau yang memberikan penjelasan kepada umat. Akan tetapi sebagian ulama menolak mentakhsis sunnah dengan al-Quran sebab jika al-Quran sebagai mukhashsis terhadap sunnah berarti sunnah sebagai asal dan al-Quran sebagai pengikut. Hal ini akan mengurangi nilai al-Quran.

4. Takhsis Sunnah dengan Sunnah

Mayoritas ulama membolehkan takhsis sunnah dengan sunnah. Misalnya hadits mengenai kewajiban berzakat untuk lahan pertanian yang di aliri secara alami, zakatnya sepersepuluh. Hadits ini kemudian ditakhsis dengan hadits lain bahwa apabila hasil pertanian tersebut belum mencukupi 5 wasaq belum wajib dikeluarkan zakatnya.

Akan tetapi sebagian ulama menolak takhsis sunnah dengan sunnah karena yang akan dijelaskan oleh Rasul adalah al-Quran bukan sunnah.

5. Takhsis dengan ijma

Ulama ushul fiqh membolehkan mentakhsis nash dengan ijma. Misalnya perintah Allah untuk meninggalkan jual beli apabila pada hari jumat apabila telah masuk waktu shalat. Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kaum muslimin laki-laki dan perempuan. Kemudian ayat ini ditakhsis bahwa perempuan tidak termasuk orang yang dipanggil untuk melaksanakan shalat jumat.

6. Takhsis dengan Qiyas

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan takhsis dengan qiyas diantaranya adalah :

a. Ulama Zahiri menolak takhsis dengan qiyas secara mutlak

b. Imam mazhab yang empat membolehkan takhsis dengan qiyas secara mutlak. Misalnya tentang hukuman bagi pezina laki-laki yang tidak merdeka 50 kali pukulan diqiyaskan pada hukuman bagi budak perempuan yang berzina.

c. Segolongan ulama berpendapat bahwa ada beberapa bentuk qiyas yang dapat menjadi mukhashsis dan ada yang tidak bisa dijadikan sebagai mukhashsis.7. Takhsis dengan Mafhum

Ulama berbda pendapat mengenai kebolehan mentakhsis dengan mafhum sebagai berikut :

a. Jumhur membolehkan takhsis dengan mafhum, baik mafhum muwafaqah maupun mafhum mukhalafahb. Sebagian ulama tidak membolehkan dengan alasan mantuq harus diutamakan dari pada mafhum. BAB III

KESIMPULANDalam memahami kandungan al-Quran ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah yang dubutuhkan untuk itu. Diantaranya kaidah kebahasaan yang terdapat di dalamnya bahasan mengenai lafaz am dank has. Dalalah lafaz khas bersifat qathI dan diamalkan sesuai dengan kekhasan lafaz tersebut.

Sedangkan takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan yang terkandung dalil yang khusus. Hal ini ditujukan untuk menghindari pertentangan yang secara lahir terdapat dalam nash.

DAFTAR KEPUSTAKAANAhmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta, tpn,tt)Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Edisi Pertama, Cetakan K-5, (Jakarta: Kencana, 2008)Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Rineka cipta, Alih Bahasa Halimuddin,1996), hal. 237

Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta, tpn,tt), hal 371

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, edisi pertama, cetakan k-5, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 2 hal. 90

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)Jilid 3, hal. 905

Ibid

Amir Syarifuddin, op. cit, hal. 87

Abdul Aziz Dahlan, hal. 906

Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Rineka Cipta, Alih Bahasa Halimuddin,1996), hal. 237

PAGE 9