makalah tugas
TRANSCRIPT
TUGAS
MAKALAH MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
“PERANAN EPISTIMOLOGI DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PENDIDIKAN”
OLEH
ANDI TAUFIQ YUSUF
G2G1 15 045
JURUSAAN PENDIDIKAN IPSPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah “Epistemologi”. Yang
merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan
pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-
sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran.
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan
mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban.
Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang
bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan
cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan
manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia
untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk
mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu
manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan epistemologi ?
2. Bagaimana hubungan epistemologi dengan ilmu pengetahuan ?
3. Bagaimana peranan epistemologi terhadap perkembangan pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Secara linguistik kata
“Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan
kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai
hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya
seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-
pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia
mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk
menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam
epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara
satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
2. KEDUDUKAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU FILSAFAF
Ruang lingkup filsafat ada 3 macam, yaitu: Ontologi atau metafisika yang merupakan filsafat
tentang realita, Epistemologi, yaiutu filsafat tentang ilmu pengetahuan, dan Axiologi, yaitu
filsafat tentang nilai. Secara luas dapat dikatan bahwa epistimologi adalah bagian filsafat yang
membahas masalah-masalah pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti
katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam
Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology
is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its
limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode
dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang
dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya
Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah
pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya
epistemology itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja. Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat
pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmun pengetahuan kefilsafatan yang secara
khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas
dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemology adalah
pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita
sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang
mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa
epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
(Surajiyo, 2008, hal. 25). Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki
pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode,
dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan
objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
3. DEFINISI PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang
mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri dari
unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin
diketahuinya.
Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran
untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai
hal ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap
sesuatu. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri
maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan
fakta yang mendukung tindakan seseorang.Pengetahuan itu hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran maka
pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dan pikiran
sesuatu yang kodrati. (Surajiyo, 2008, hal. 26).
4. TERJADINYA PENGETAHUAN
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yanag sangat ungen untuk dibahas di dalam
Epistemologi, sebab orang akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan. Terjadinya
pengetahuan dapat bersifat apriori dan aposteriori. Apriori yaitu pengetahuan yang terjadi tanpa
adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Aposteriori
adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Sebagai alat untuk mengetahui
terjadinya pengetahuan menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical
Analysis mengemukakan ada enam hal, (Surajiyo. 2008. Hal. 28) diantaranya:
a. Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling vital dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang
berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indera.
Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn Sina
mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang
kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan
demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal
yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato
yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-
indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks
pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak
menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna,
punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.
b. Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau
lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham
ini adalah Plato, seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato berpendapat
bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah dengan mengingat
kembali.
c. Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya
memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam
pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi,
karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibaan tertentu.
d. Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa proses kejiwaan
tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika
atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih
dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa intuisi
adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanmpa ada
dipelajari terlebih dahulu dan berasal dari hati.
e. Wahyu (Revelation)
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber
ilmu, Karena diyakini bahwa wahyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan
Yang Maha Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya
untuk kepentingan ummatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada
kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah
satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.
f. Keyakinan (Faith) .
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh
melalui kepercayaan. Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang
akurat dan cocok untuk kepercay
5. JENIS-JENIS PENGETAHUAN
Pengetahuan Menurut Soejono Soemargono dapat dibagi atas Pengetahuan Non-Ilmiah dan
Pengetahuan Ilmiah.
a. Pengetahuan Non-Ilmiah, yang mana pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah.
Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang meskipun dalam babak terakhir
direncanakan untuk diolah lebih lanjut menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya
disebut pengetahuan pra-ilmiah. Misalnya, pengetahuan orang tentang manfaat rebusan
daun jambu biji untuk mengurangi gejala diare. Secara umum yang dimaksud dengan
pengetahuan non-ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia mengenai sesuatu objek
tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah
hasil penglihatan dengan mata, hasil pendengaran telinga, hasil penciuman hidung, hasil
pengecapan lidah dan hasil perabaan kulit. Disamping itu, sering kali di dalamnya juga
termasuk hasil-hasil pemahaman yang merupakan campuran dari hasil inderawi dengan
hasil pemikiran secara akali. Juga pemahaman manusia yang berupa tangkapan-
tangkapan terhadap hal-hal yang biasanya disebut ghaib, misalnya pengetahuan orang
tertentu tentang jin atau makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan pusaka, dan lain-
lain. Pengetahuan non-ilmiah mempunyai ciri-ciri penelitian tidak sistematik, data yang
dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan
muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu pengetahuan non-ilmiah
adalah pengetahuan yang coraknya subyektif.
b. Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh degan
menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah lebih
sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara
berfikir yang khas, yaitu Metode ilmiah. Jujun S. Suriasumantri menambahkan bahwa
metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah. Tidak semua
pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum di dalam apa yang
dinamakan metode ilmiah. (Jujun S. Surisumantri. 1996. Hal. 119).
Secara etimologi metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta
(menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata
methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode
ialah cara bertindak menurut sistem/ aturan tertentu. (Surajiyo. 2008. Hal. 35). Jadi, Metode
ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains
dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi.
Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan
metode wawancara dan pengamatan. Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi enam tahap, yaitu:
1) Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.
2) Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada
pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
3) Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan
data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
4) Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.
5) Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan
kesimpulan. Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi
subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan
memberikan hasil yang sama).
6) Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu
dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu
bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap
penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :
1) Rasa ingin tahu
2) Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
3) Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4) Tekun (tidak putus asa)
5) Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
6) Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang
6. ASAL-USUL PENGETAHUAN
Asal-usul pengetahuan adalah hal yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui
asal-usul pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal munculnya
pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi
juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan
asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu
menjadi salah satu tema utama Epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang. Untuk
mendapatkan dari mana pengetahuan itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam
pengetahuan.
Aliran-aliran dalam pengetahuan, diantaranya adalah:
a. RasionalismeRasionalisme adalah aliran yang memandang bahwa yang menjadi dasar pengetahuan adalah
akal fikiran manusia. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal 68). Pengalaman hanya dapat dipakai
untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Salah satu tokoh aliran aini adalah
Rene Descartes. Beliau memebedakan 3 ide yang ada di dalam diri manusia, yaitu: 1.
Inneate ideas (bawaan yang dibawa manusia sejak lahir), 2. Adventitious ideas (ide-ide yang
berasal dari luar diri manusia), dan 3. Factitious ideas (ide-ide yang dihasilkan oleh fikiran
itu sendiri).b. Empirisme
Empirisme tercipta dalam himpunan sosial pada masyarakat Inggris dan Amerika, sekalipun
pandangan ini sebetulnya sudah ada sejak Aristoteles. Pempirisme tertuju kepada
keduniawian. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal. 77). Aliran ini berpendapat bahwa empiris
atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukan menjadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat peran sebagai yang mengolah bahan-bahan yang
diperoleh oleh pengalaman.c. Kritisisme
Aliran yang dikenal dengan kritisisme adalah aliran diintrodusir oleh Iummanuel Kant,
seorang filosof Jerman yang dilahirkan di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Aliran ini
memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia. (Juhaya S. Praja. 2005. Hal. 114). Pertentangan antara Rasionalisme
dan Empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant dengan kritisismenya. Salah satu
ciri dari kritisisme adalah menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh
atas perpeduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa
ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman.d. Positivismee. Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita pernah boleh
melebihi fakta-fakta. Dengan denikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
terbaik dalam bidang pengetahuan. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan
apa yang dicita-citakan oleh empirisme.
f. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKANEpistemologi pendidikan adalah filsafat tentang sumber-sumber pendidikan dan seluk-beluk
pendidikan. Secara epistemologi, landasan pendidikan mengacu pada fitrah sebagai dasar
pengembangan dan inovasi pendidikan yang berkarakter, karena pendidikan yang berkarakter
selalu bertolak dari aspek-aspek kemanusiaan. Epistemologi diperlukan dalam pendidikan antara
lain dalam hubungannya dengan dasar kurikulum yaitu menyangkut materi yang bagaimana serta
bagaimana cara menyampaikan pengetahuan kepada anak didik disekolah. Pertanyaan mengenai
mengapa salah satu mata pelajaran dijadikan pelajaran wajib dan mengapa pelajaran lain
dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan juga merupakan penerapan epistemologi dalam bidang
pendidikan. Beberapa contoh lain adalah menyangkut pertanyaan berikut: metode mana yang
paling tepat digunakan dalam proses pendidikan? Dengan sistem pendidikan yang mana kegiatan
pendidikan dilaksanakan untuk mendapatkan nilai pendidikan yang benar?
B. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum
dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal,
indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1. Metode induktifInduksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume (1711-1716),
pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak
dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.2. Metode Deduktif
Deduksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau
persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu
teologis, metofisis, dan positif.
4. Metode KontemplatifMetode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan
suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.5. Metode Dialektis
Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini
telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah
pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah
keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn
pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles,
karena dirintis oleh Aristoteles
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik
menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada
pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar
berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan
premis minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan
deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam
menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman
bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling
meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria
penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang benar menurut alur
pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi
belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-
teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar.
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran
empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat
kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mengumpulkan fakta melalui pengamatan
langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi
implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak
didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.
C. OBYEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan
dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat,
sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan
hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki
hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.
Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu
sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi
tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain
mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita
puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk
memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif,
sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
D. PENGARUH EPISTEMOLOGI
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang
terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan
ilmu pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-
teori yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat
membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang
diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban
sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan
sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa
pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi
jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan
epistemologi.
E. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah
satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan,sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan,metode atau caraa memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari sudut pandang
mengapa dan bagai mana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan pengetahuan adalah untuk mengembangkan ilmu
secara produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum
mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan.
F. PENERAPAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge)
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata
Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”,
dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika,
pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?” sedangkan dalam epistemologi pertanyaan
pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah :
a) Apakah pengetahuan itu ?
b) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?
c) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
d) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?
e) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan
pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) ?
f) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian?
Untuk membahas, apa itu pengetahuan, apa saja yang diisebut pengetahuan ilmiah,
dengan pengetahuan tidak ilmiah. Apakah filsafat juga disebut pengatahuan dan bagaimana
filsafat ilmu masuk dalam klasifikasi filsafat atau klasifikasi ilmu ? secara mendalam ditulis pada
Bab tersendiri oleh Martini Djamaris.
Epistemologi dalam tulisan ini dibatasi pada aspek epistemologi ilmu yang sering disebut
dengan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalm mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode
ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ini secara filsafat termasuk dalam apa
yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang
lingkup pengetahuan ? apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? sampai
tahap mana pengetahuan yang mungin untuk ditangkap manusia ? ( Jujun, S. Suriasumantri :
2000).
Sebagaimana halnya berpikir yang selalu dilakukan kita sebagai kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan, maka metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja pikiran.
Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai
karakteristik–karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan
teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang
dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba membangun tubuh
pengetahuannya,( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induktif. Berpikir
deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka
ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus
penelaahan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak
memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang
bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek
pemikiran tertentu.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa manusia mulai
mengamati sesuatu ? Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau
kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang
menimbulkan pertanyaan. Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia
dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa “ ada masalah” baru ada proses kegiatan berpikir dan berpikir baru
dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut
diarahkan pada pengamatan objek empiris.
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala
empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari objek
disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, dimana semua objek berada
dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya.
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga teori
yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual
dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori
ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya.
Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris sebagai langkah-
langkah yang sempuna yang dapat mengkonstruksi pengetahuan ilmiah. Langlah-langkah inilah
yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut metode ilmiah. Secara rasional maka
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan antara pengetahuan ynag sesuai dengan fakta atau tidak. Secara sederhana maka hal
ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni : (1) harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam
teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori
yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika
deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Oleh
sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang
diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut
hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang sedang
kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang
ilmuwan seakan-akan melakukan suatu “interograsi terhadap alam”. Hipotesis dalam hubungan
ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban,
karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita
sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu
kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman dimana analisis ilmiah
berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis
ini benar atau tidak. Kecenderugan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh
paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari
rasionalisme dan empirisme.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut
dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kita
harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji
dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut.
Proses pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis Yang
diajukan. Fakta -fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara
langsung dengan panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu
pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa
langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut :
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-
batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya;(2) Penyusunan kerangka berpikir dlam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan; dan(3) Perumusan hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipoesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian
tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipoteis maka hipotesis itu ditolak (Jujun, S.
Suriasumantri : 2000).
Namun menurut Conny R. Semiawan:2007: 152, bahwa Konteks peradaban dunia yang
melampaui batas-batas nasional juga ditandai oleh ciri-ciri reseptualidsasi masyarakat. Apabila
peradaban global mengalami era agraris (gelombang ke 1), era industri (gelombang ke 2), era
informatika (gelombang ke 3), maka era ke empat juga diiringi oleh suatu peradaban baru yang
ditandai oleh respiritualisasi masyarakat (gelombang ke 4). Kecenderungan global yang
mengakibatkan suasana sekuler telah juga menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Visi
yang dikedepankan, dalam era ini adalah a deep inner reflection yang ditandai oleh suatu Mind
shift yang bersumber dari suatu authority form within. Ternyata juga bahwa wawasan dunia yang
berubah, yang dilandasi pada disertai kesadaran bahwa bukan rasio dan logika saja yang
menjadi landasan intelektual, melainkan juga inspirirasi, kreativitas, moral dan intuisi.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah.
Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersususun dalam urutan yang teratur, dimana
langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun dalam praktiknya
sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang
lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah
yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering
terjadi bahwa langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya
namun sekaligus juga merupakan landasan-landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan
jalan ini diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-
pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai
pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang
mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah dimana penemuan
individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan-lainnya (Jujun, S.
Suriasumantri : 2000: 119-133).
BAB III
PENUTUP
Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam
bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “segenap proses yang terlibat
dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan
epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang
utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-
syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara
kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Epistemologi juga membekali daya kritik yang
tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Cognition , DC: American Psychological Association. Washintong
Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice . NewYork: Teachers College.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer , (Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 1990), h. 105
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 1990), h. 105
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari metode rasional hingga metode kritik,
( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 10
Mujammil Qomar, epistemologi pendidikan islam: dari metode rasional hingga metode kritik,
( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 53
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.