makalah toksikologi aku

22
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Penggunaan pestisida organofosfat secara luas berdampak pada meningkatnya kasus keracunan, yakni sebanyak 80% kasus keracunan pestisida merupakan keracunan pestisida organofosfat. Menurut World Health Organization (WHO), satu juta kasus keracunan berat dan dua juta kasus bunuh diri menggunakan organofosfat terjadi di seluruh dunia, 200.000 diantaranya meninggal, terutama di negara sedang berkembang. Pajanan pestisida cenderung lebih banyak terjadi di negara- negara sedang berkembang dibanding negara-negara maju dikarenakan oleh tiga faktor utama : iklim, penggunan alat pelindung diri yang tidak tepat, dan kurangnya pelatihan keamanan. Keracunan organofosfat dalam pertanian merupakan kasus yang paling sering terjadi dikarenakan penggunaan pestisida yang salah dengan pemakaian alat pelindung diri yang tidak lengkap. Penyemprotan pestisida yang sejatinya diindikasikan untuk pengendalian hama, namun pada kenyataannya penyemprotan pestisida tetap dilakukan meskipun tidak terdapat hama pada tanaman pertanian. Organofosfat memiliki efek toksik terhadap banyak bagian tubuh sehingga dapat terjadi berbagai macam gangguan, diantaranya terjadi gangguan sistem respirasi, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, ketidakseimbangan hormonal, kerusakan ginjal serta stres oksidatif. Karena luasnya efek

Upload: nilam-eka-putri

Post on 17-Sep-2015

114 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Bab IPendahuluanA. Latar BelakangPenggunaan pestisida organofosfat secara luas berdampak pada meningkatnya kasus keracunan, yakni sebanyak 80% kasus keracunan pestisida merupakan keracunan pestisida organofosfat. Menurut World Health Organization (WHO), satu juta kasus keracunan berat dan dua juta kasus bunuh diri menggunakan organofosfat terjadi di seluruh dunia, 200.000 diantaranya meninggal, terutama di negara sedang berkembang. Pajanan pestisida cenderung lebih banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang dibanding negara-negara maju dikarenakan oleh tiga faktor utama : iklim, penggunan alat pelindung diri yang tidak tepat, dan kurangnya pelatihan keamanan. Keracunan organofosfat dalam pertanian merupakan kasus yang paling sering terjadi dikarenakan penggunaan pestisida yang salah dengan pemakaian alat pelindung diri yang tidak lengkap. Penyemprotan pestisida yang sejatinya diindikasikan untuk pengendalian hama, namun pada kenyataannya penyemprotan pestisida tetap dilakukan meskipun tidak terdapat hama pada tanaman pertanian. Organofosfat memiliki efek toksik terhadap banyak bagian tubuh sehingga dapat terjadi berbagai macam gangguan, diantaranya terjadi gangguan sistem respirasi, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, ketidakseimbangan hormonal, kerusakan ginjal serta stres oksidatif. Karena luasnya efek yang ditimbulkan organofosfat dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang berat. Manifestasi yang paling sering timbul meliputi mual, muntah, diare, miosis pupil, hipersalivasi, lakrimasi, penurunan kesadaran, nyeri perut, fasikulasi otot, dan yang paling fatal adalah gagal nafas. Seperti yang dibahas oleh Catalina Lionte dkk, telah diketahui bahwa perubahan kelistrikan jantung yang ditunjukkan dengan perubahan elektrokardiogram dapat disebabkan oleh karena overdosis obat atau racun, meskipun pada pasien tanpa riwayat kelainan patologis jantung.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah :Bagaimana mekanisme pestisida organofosfat menyebabkan keracunan dan cara penanggulangannya?.

C. Tujuan MakalahSecara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pestisida organofosfat dalam menimbulkan efek toksik dan cara untuk menanggulangi efek toksik tersebut.

BAB IIISI

A. Pengertian Organofosfat dan Sumber OrganofosfatOrganofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Pada tahun 1930an organofostat digunakan sebagai insektisida, namun pihak militer jerman mengembangkan senyawa ini sebagai neurotoksin selama perang dunia kedua. Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkolin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH, atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothiat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Organofosfat umumnya bersumber dari Pestisida. Pestisida adalah adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama. Menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act (Green,1979) :a. Semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas, mencegah atau menangkis gangguan dari pada serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya. b. Semua zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1350/MENKES/SK/XII/2001, Pestisida kesehatan masyarakat meliputi semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan masyarakat untuk:a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yangmerusak tanaman, bagian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.b. Memberantas rerumputan. c. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk d. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak. f. Memberantas atau mencegah hama-hama air. g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan. h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman tanah atau air.

B. Penggolongan PestisidaPestisida berdasarkan struktur kimianya dapat dibedakan menjadi berapa macam yaitu :1. Golongan Organofosfat Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur phosphat, carbon,dan hidrogen. Pestisida ini terdiri dari satu gugus atau lebih fosfor yang terkait pada molekul organik. Organophosphat dibuat dari suatu molekul organik yang direaksikan dengan fosforilat. Contohnya : Parathion, Malathion dan Tetra Ethyl Pyro Phosphat (TEPP). Di Indonesia yang paling banyak dipakai adalah Diazinon dan Dursband. 2. Golongan Karbamat Karbamat adalah jenis pestisida yang mengandung gugus karbamat. Contoh pestisida yang mengandung gugus karbamat adalah Sevin, Baygon dan Isolan. Sevin dibuat dari alpha napthol yang dikondensaai dengan fosgen dan direaksikan dengan metilamin.3. Golongan Organochlorin Organochlor adalah pestisida yang mengandung unsur-unsur karbon, hydrogen dan chlorine. Atom-atom chlor dalam komposisinya terikat pada atom hidrokarbon, misal DDT (Dichloro Diphenil Trichloretane), yang dibuat dengan mengkondensasi klorobenzen dan klorat (trichloro asetal dehida). Contahnya Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endosulfan.

Senyawa organofosfat dapat bersumber dari pestisida yang sering digunakan dalam kehidupan sehari hari. Misalnya ins

C. Mekanisme Kerja Pestisida Organofosfat Dalam TubuhPestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah persenyawaan yang tergolong antikholinesterase seperti physostigmin, prostigmin, diisopropylfluoropphosphat dan karbamat. Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem syaraf. Di seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat pusat-pusat pengalihan elektro kemikel yang dinamakan synapses, getaran-getaran impuls syaraf elektrokemis (electrochemical nerve impulse), dibawa menyeberangi kesenjangan antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke neuron. Karena getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu sypapse, sinyal itu merangang pembebasan asetilkolin.Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta. Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkholin dari pada fungsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkholin dapat dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah merah, telah dicatat bahwa enzim kholin asetilase tidak aktif baik karena pengahambatan oleh obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel akan kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis. Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuhmenerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan) melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat cepat. Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian.Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Adapun reaksi yang terjadi yaitu :

Gangguan ini selanjutnya akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan. Asetilkholin mudah dihidrolisis menjadi kholin dan asam asetat oleh kerjaenzim asetilkholinesterase, ditemukan tidak hanya pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut syaraf, kerja asetilkholin dalam tubuh diatur oleh efek penginaktifan asetilkholinesterase. Pemecahan asetilkholin adalah suatu reaksi eksenergik karena diperlukan energi untuk sintesisnya kembali. Asetat aktif (Asetil KoA) bertindak sebagai donor untuk asetilasi kholin. Enzim kholinesterase yang diaktifkan oleh ionion kalium dan magnesium mengatalisis transfer asetil dari asetil KoA ke kholin. Antikholinesterase, pengambat asetilkholinesterase dengan akibat pemanjangan aktifitas parasimpatis dipengaruhi oleh fisostigmin (eserin), kerja ini adalah reversibel.Neostigmin (prostigmin) adalah suatu alkaloid yang diduga berfungsi juga sebagai inhibitor kholinesterase dan dengan demikian memanjangkan kerja asetilkholin atau kerja parasimpatis. Ini telah dipakai dalam pengobatan myasthenia gravis, suatu kelemahan otot dengan atrofi yang kronik dan prodresif. Senyawa sintetik, diisopropilflurofosfat pada gambar berikut ini, juga menghambat aktifitas esterase tetapi dengan cara ireversibel.

D. Gejala keracunanGejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos. Racun pestisida golongan organofosfat masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Masuknya pestisida golongan orgaofosfat segera diikuti oleh gejala-gejala khas yang tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan lain. Gejala keracunan pestisida yang muncul setelah enam jam dari paparan pestisida yang terakhir, dipastikan bukan keracunan golongan organofasfat. Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine.Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah :1. Gejala awalGejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan.

2. Gejala LanjutanGejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.3. Gejala SentralGelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnya reflek, kejang dan koma.4. KematianApabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan.Gejala-gejala tersebut akan muncul kurang dari 6 jam, bila lebih dari itu maka dipastikan penyebabnya bukan golongan Organofosfat. Pestisida organofosfat dan karbamat dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut dengan gejala (keluhan) sebagai berikut : leher seperti tercekik, pusing-pusing, badan terasa sangat lemah, sempoyongan, pupil atau celah iris mata menyempit, pandangan kabur, tremor, terkadang kejang pada otot, gelisah dan menurunnya kesadaran, mual, muntah, kejang pada perut, mencret, mengeluakan keringat yang berlebihan, sesak dan rasa penuh di dada, pilek, batuk yang disertai dahak, mengeluarkan air liur berlebihan. Sebab baru biasanya terjadi 12 jam setelah keracunan, denyut jantung menjadi lambat dan ketidakmampuan mengendalikan buang air kecil maupun besar.

E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya KeracunanHasil pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah dapat digunakan sebagai penegas (konfirmasi) terjadinya keracuan pestisida pada seseorang. Sehingga dengan demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya aktifitas kholenisterase darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah :1. Faktor di dalam tubuh (internal) antara lain :a. Usia, usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia maka kadar rata-rata cholinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.b. Status gizi, buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahan dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk, protein yang ada tubuh sangat terbatas dan enzim kholinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzim kholinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung miliki kadar rata-rata kholinesterase lebih besar.c. Jenis Kelamin, kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4 g/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi akatifitas enzim kholinestrase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kholinesterase cenderung turun.d. Tingkat Pendidikan, pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika di bandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik.e. Pengetahuan, sikap dan praktek (tindakan), seseorang telah setuju terhadap objek, maka akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek yang sama. Apabila sikap positif terhadap suatu program atau obyek telah terbentuk, maka diharapkan akan terbentuk niat untuk melakukan program tersebut. Bila niat itu betul-betul dilakukan, hal ini sangat bergantung dari beberapa aspek seperti tersediannya sarana dan prasarana serta kemudahan-kemudahan lainnya, serta pandangan orang lain disekitarnya. Niat untuk melakukan tindakan, misalnya menggunakan alat pelindung diri secara baik dan benar pada saat melakukan penyemproan pestisida, seharusnya sudah tersedia dan praktis sehingga petani mau menggunakannya. Hal ini merupakan dorongan untuk melakukan tindakan secara tepat sesuai aturan kesehatan sehingga risiko terjadinya keacunan pestisida dapat dicegah atau dikurangi.2. Faktor di luar tubuh (eksternal)a. Dosis, semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini di tentukan dengan lama pemajanan. Untuk dosis penyempotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 1,5 kg/ha3,13).b. Lama kerja sebagai petani, semakin lama bekerja menjadi petani akan semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktifitas kholinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.c. Tindakan penyemprotan pada arah angin, arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot yang melawan arah angin akan mempunyai risiko lebih besar bila dibanding dengan petani yang saat menyemprot tanaman searah dengan arah angin.d. Waktu penyemprotan, perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida, hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu penyemprotan semakin siang akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit.e. Frekuensi Penyemprotan, semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakan tinggi pula risiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam perhari.f. Jumlah jenis pestisida yang digunakan, jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar bila dibanding dengan pengunaan satu jenis pestisida karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar.

F. Penanganan Keracunan PestisidaUntuk mengatasi keracunan karena toksikan, tindakan yang perlu dilakukan adalah stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. 1. Stabilisasi pasien Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinrgik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitory jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum.

2. Dekontaminasi Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera dibersihkan dengan sabun. Proses permbersihan ini harus dilakukan pada ruanagan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi sekunder dari udara.Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik nasogastrik, jika toksikan dihapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah.Arang aktif 18/KgBB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gannguan paru kronik.3. Pemberian Antidotuma. Agen AntimuskarinikAgen Antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak anak dosis awalnya 0,02mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan orgnaofosfat dengan Atropin.b. Oxime Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropin tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kolinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.Pralidoxime adalah satu satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (2 g ivload diikuti 1 g/Jam selama 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan atropine total dan mengurangi jumlah pengguna ventilator. Dosis yang direkomendasikan WHO, minimal 30mg/kg iv bolus diikuti >8mg/kg/jam dengan infus.Efek samping yang dapat ditimbulkan darena pemakaian pralidoxime meliputi dizzines, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penuruna fungsi renal, dan nyeri pada teman injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.

Bab IIIPenutup

Kesimpulan Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim kolinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime.

Daftar Pustaka

Darmansyah I dan Gan sulistia, 1987. Kolinergik dalam Farmakologi dan Terapi edisi III. Farmaologi FKUI : Jakarta

Lu F.C., 1995. Toksikologi Dasar edisi II. UI press : Jakarta.

Raini M., 2001. Sikap dan Perilaku Buruh Penyemprot yang Keracunan Pestisida Organofosfat di Kecamatan Pacet-Jawa Barat. Media penelitian dan Pengembangan Kesehatan.