makalah tetanus neonatorum
DESCRIPTION
tetanus neonatorumTRANSCRIPT
TETANUS NEONATORUM
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak 4 abad sebelum masehi, hippokrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus
pada manusia. Pada tahun 1882, dokter ahli penyakit dalam Jerman yaitu Nicolier dan
Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian pada tahun 1889
kuman Clostridium tetani dan toksinnya dapat diisolasi oleh nicolaier dan kitasato seorang ahli
bakteriologi Jerman.1
Selanjutnya pada tahun 1890 Kitasato dan Von behring yang juga seorang ahli
bakteriologi Jerman melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin menggunakan
antiserum spesifik, yang merupakan dasar metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan
pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 seorang ahli bakteriologi Prancis bernama
Ramon, memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.1
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus diseluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya
580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, dimana 210.000 kematian di Asia Tenggara dan
152.000 di afrika.2
Neonatus (bayi berumur 0 sampai 28 hari) merupakan populasi yang rentan terserang
tetanus atau dikenal dengan istilah tetanus neonatorum. Hal ini selain disebabkan karena
imunitas neonatus yang masih rendah, terutama disebabkan oleh pelayanan persalinan yang tidak
memenuhi standar khususnya perawatan tali pusat yang merupakan port d’entree bakteri
Clostridium tetani seperti pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting yang tidak steril,
atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya.3
Di Indonesia tetanus neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian
neonatal, dimana berdasarkan SKRT 2001 penyebab kematian neonatal dini adalah asfiksia
neonatorum (33,6%) dan tetanus neonatorum (4,2%), sedangkan penyebab kematian neonatal
lambat adalah asfiksia neonatorum (27%) dan tetanus neonatorum (9,5%) dan angka kematian
neonatal yang teserang tetanus masih sangat tinggi yaitu 50% atau lebih yang menunjukkan
TETANUS NEONATORUM
2
prognosa tetanus neonatorum yang sangat buruk dan permasalahan dalam penanganan tetanus
neonatorum.4
1.2 Tujuan
Dalam panduan standar kompetensi dokter indonesia, penanganan penyakit tetanus
neonatorum termasuk dalam tingkat kemampuan 3b yang artinya dokter umum harus mampu
membuat diagnosa klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan atau kecacatan pada paseien. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan selanjutnya dan juga
mampu menindaklanjuti sesudah pesien kembali dari rujukan.
Maka dari itu makalah ini dibuat selain sebagai tugas referat kepaniteraan klinik senior
pada bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Langsa, juga untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan
dokter muda khususnya penulis tentang penyakit tetanus neonatorum mengingat tingginya angka
kejadian dan kematian tetanus neonatorum. Malakah ini mencakup Definisi, gejala, penyebab,
penatalaksanaan dan pencegahan tetanus neonatorum.
TETANUS NEONATORUM
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk klinis tetanus infeksius yang berat dan terjadi
selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti tindakan
perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau kekurangan imunisasi maternal.5
Definisi tetanus sendiri adalah gangguan neurologis akut yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus memiliki 4 bentuk klinis yaitu
tetanus generalized, tetanus localized, tetanus cephalic dan tetanus neonatorum. 1,2,6
Pada referensi lain diterangkan bahwa tetanus adalah penyakit dengan tanda utama
kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman
Clostridium tetani. Sedangkan definisi neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28
hari.3,5,7
2.2 Epidemiologi Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum menyerang seluruh dunia dengan angka kesakitan dan kematian
yang masih tinggi terutama di negara berkembang. Di indonesia, angka insiden tetanus di daerah
perkotaan sekitar 6-7/1000 kelahiran hidup, sedangkan di pedesaan angkanya lebih tinggi sekitar
2-3 kalinya yaitu 11-23/1000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian kira-kira 60.000 bayi
setiap tahunnya. Alasan yang paling mungkin adalah karena adanya perbedaan kemudahan
menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan, tingkat pengetahuan, dan kesadaran masyarakat untuk
cepat merujuk anak ke puskesmas, serta kesulitan geografis antara perkotaan dan pedesaan.7
Menurut SKRT 1995, angka kematian bayi (AKB) di indonesia masih cukup tinggi yaitu
58/1000 kelahiran hidup. Tetanus menyumbang 50% kematian bayi baru lahir dan sekitar 20%
kematian bayi, serta menempati urutan ke-5 penyakit penyebab kematian bayi di Indonesia.7
Sedangkan pada tahun 2007, menurut SKDI 2007 AKB indonesia telah menurun menjadi
34/1000 kelahiran hidup, namun tetanus neonatorum masih merupakan penyebab utama
TETANUS NEONATORUM
4
kematian bayi. Karena kontribusinya yang besar pada AKB, maka penyakit ini masih merupakan
masalah besar bagi dunia kesehatan.8
Pada tahun 2008 WHO Memperkirakan 59.000 bayi baru lahir meninggal akibat tetanus
neonatorum, terdapat penurunan 92% dari situasi pada akhir 1980 an dan awal 1990 an. WHO
dan UNICEF mengajak seluruh negara anggotanya untuk mengeliminasi tetanus neonatorum
sejak tahun 2000 namun pada tahun 2008 masih terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi
tetanus neonatorum di seluruh kabupaten, salah satunya adalah indonesia. Eliminasi tetanus
tercapai bila kasus tetanus neonatorum di tiap kabupaten atau kota adalah <1/1000 bayi lahir
hidup.8
Di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tahun 2008 terdapat 2 kasus tetanus
neonatorum dan keduanya meninggal, pada kedua kasus penolong persalinan dilakukan dukun
bersalin, satu kasus ibu semasa hamil telah mengikuti ante natal care dengan bidan dan ibu telah
memperoleh imunisasi TT2, sedangkan pada kasus yang lain sama sekali ibu semasa hamil tidak
pernah mengikuti ante natal care maupun imunisasi. Sedangkan pada tahun 2011 kasus tetanus
neonatorum malah bertambah menjadi 3 kasus.8.9
Gambar 1. Insidensi Tetanus Neonatorum per provinsi di Indonesia tahun 2011
Sumber : Subdit surveilans, Ditjen P2&PL
TETANUS NEONATORUM
5
2.3 Etiologi dan Patogenesis Tetanus Neonatorum
2.3.1 Clostridium Tetani
Tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri clostridium tetani. Bakteri ini terdapat
banyak di alam, di tanah, di feses kuda, dan binatang lainnya, adapun sifat-sifat dari bakteri ini
antara lain2,6,7,10
:
1. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
2. Obligat anaerob yaitu berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella serta menghasilkan eksotoksin
berupa tetanospasmin dan tetanolisin.
3. Pada lingkungan yang tidak kondusif, mampu membentuk spora (terminal spore) yang
mampu bertahan dalam suhu tinggi , kekeringan dan desinfektans. Namun hancur pada
pemanasan dengan autoklav pada tekanan 1 atm dan 120 c selama 15 menit.
Clostridium Tetani tidak bersifat invasif, kuman ini tetap berada di luka, bila keadaan
lingkungan anaerob seperti pada jaringan nekrotik, adanya garam kalsium dan adanya kuman
piogenik lainnya maka spora akan menjadi bentuk vegetatif dan membentuk eksotoksin.
Tetanospasmin akan menjalar menuju SSP, melalui jaringan perineural, pembuluh darah atau
pembuluh limfe dan menimbulkan manifestasi klinis tetanus.6,10
Gambar 2. Morfologi dan Daur Hidup Clostridium Tetani
TETANUS NEONATORUM
6
2.3.2 Patogenesis
Spora Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke
dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),
sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan
oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani bersifat
sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-jaringan yang belum
nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga
menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai
neurotoksin kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.
10,11
Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf, yaitu11,12
:
1. Motor end plate di otot rangka
2. Medula spinalis
3. Otak
4. Pada beberapa kasus pada sistem saraf simpatis
Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal (aktif
potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel neuron akan
bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmitter dan dikeluarkan
menggunakan suatu protein membrane (synaptobrevin) menuju saraf motorik. Neurotransmiter
tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan merangsang serat otot
untuk bereaksi.2,6,11
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter (cth:
Asetilkolin) untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang merangsang otot
untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan menghasilkan neurotransmitter
(cth: GABA) untuk membatasi dan memodulasi kontraksi yang terjadi, di mana pada saat satu
bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang relaksasi (antagonis
refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal mengeluarkan
neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot
yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan tidak
TETANUS NEONATORUM
7
terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang menjadi gambaaran khas pada tetanus.2,6,11,12
Dapat disimpulkan dampak toksin antara lain2,6,11,12
:
1. Dampak pada ganglion pre sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin
membloks sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls
sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri
diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan
gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart
block dan takikardi.
Gambar 3. Dampak Tetanospasmin Pada Tubuh
TETANUS NEONATORUM
8
2.4 Faktor Resiko Terjadinya Tetanus Neonatorum
Kuman tetanus masuk kedalam tubuh manusia biasanya melalui luka yang dalam dengan
suasana anaerob, sebagai akibat dari 7,13,14
:
1. Kecelakaan
2. Luka tusuk
3. Luka operasi
4. Karies gigi
5. Radang telinga tengah
6. Pemotongan tali pusat
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan dengan
rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan pasca persalinan yang tidak
adekuat dan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi vaksin tetanus toxoid di berbagai negara
miskin dan kurang berkembang. Faktor-faktor resiko tersebut mencakup faktor medis dan faktor
non medis.13,14
Faktor medis meliputi kurangnya standard perawatan prenatal yaitu kurangnya perawatan
antenatal pada ibu hamil, kurangnya edukasi ibu hamil tentang pentingnya vaksinasi tetanus
toxoid sehingga Ibu tidak mendapatkan tetanus toksoid pada waktu kehamilannya, kurang
tersedianya fasilitas persalinan dan tenaga medis sehingga banyak persalinan dilakukan di rumah
oleh dukun yang tidak terlatih dan penggunaan alat-alat yang tidak steril, termasuk dalam
penanganan tali pusat. Selain itu juga perawatan neonatal dimana neonatus lahir dalam keadaan
tidak steril serta tingginya prematuritas.13,14
Faktor non medis sering kali berhubungan dengan adat istiadat setempat seperti
penggunaan bahan yang mengandung tepung atau abu untuk perawatan tali pusat.13,14
Gambar 4. Kondisi Tali Pusat Pada Tetanus Neonatorum
TETANUS NEONATORUM
9
2.5 Manifestasi Klinis Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum merupakan salah satu bentuk klinis dari tetanus, selain tetanus
neonatorum bentuk klinis lain tetanus antara lain generalized tetanus, localized tetanus dan
cephalic tetanus. Tetanus neonatorum merupakan bentuk infantil dari tetanus generalisata.2,6
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi
malas minum dan menangis yang terus menerus, suhu tubuh bayi normal atau bisa meningkat
atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya
mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan
rahang atau trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya
berhenti. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa,
karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan
mulut justru agak membuka dan kaku sehingga bentukan mulut menjadi mecucu seperti mulut
ikan karper. Kemudian terjadi kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik kearah lateral, dan alis
tertarik ke atas yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan
mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.
2,4,6,7,14
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsangan-
rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara
spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih baik namun spasme dan kejang
berulang atau terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga
terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal
ini merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum.2,4,6,7,14
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada siku
dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan mengalami
hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur
panah atau disebut opisthotonos. 2,4,6,7,14
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya pada kasus
tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam menentukan
prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset ini, semakin buruk prognosisnya. Periode
onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak atau dewasa dimana lebih ke
arah beberapa jam dari pada beberapa hari seperti pada dewasa, hal ini mungkin disebabkan
TETANUS NEONATORUM
10
jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf pusat. 2,4,6,7,14
Masa inkubasi tetanus pada bayi (tetanus neonatorum) lebih cepat dibanding tetanus tipe
lain yaitu berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau
awal minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh
(disease of the seventh day). 2,4,6,7,14
Gambar 5. Gambaran Klinis Tetanus Neonatorum
Berdasarkan onset, masa inkubasi dan manifestasi klinis yang dijumpai pada bayi, dapat
ditentukan berat ringannya tetanus neonatorum, seperti tertera pada tabel dibawah ini14,15
:
Tabel. 1 Perbandingan Tetanus Neonatorum Sedang dan Berat
Kategori Tetanus Neonatorum
Sedang Tetanus Neonatorum Berat
Umur >7 hari 0-7 hari
Frekuensi kejang Kadang-kadang Sering
Bentuk kejang
Mulut mencucu, trismus
kadang-kadang, kejang
rangsang(+)
Mulut mencucu, trismus terus-
menerus, kejang rangsang (+)
Posisi Badan
Opistotonus kadang-kadang
Selalu Opistotonus
Kesadaran Masih sadar Masih sadar
Tanda infeksi Tali pusat kotor, lubang
telinga bersih/kotor
Tali pusat kotor, lubang telinga
bersih/kotor
TETANUS NEONATORUM
11
2.6 Diagnosa Tetanus Neonatorum
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat tanda dan gejala klinis
yang ada sebagaimana yang telah dibahas pada bagian manifestasi klinis. Tali pusat bayi dapat
ditemui dalam kondisi kotor dan berbau merupakan tanda port d’entree clostridium tetani.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini penyakit ini. Hasil
positif ditunjukan ketika spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi spasme pada otot maseter
dan bayi menggigit spatula lidah. Uji spatula memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
(94%).2,11
Gambar 6. Uji Spatula
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil
pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara lain11,12
:
1. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus, namun
demikian, kuman Clostridium tetani dapat ditemukan di luka pada orang yang tidak
mengalami tetanus dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
2. Nilai hitung leukosit dapat tinggi
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal
4. Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi
bukan tetanus.
5. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
6. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
7. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
TETANUS NEONATORUM
12
2.7 Komplikasi Tetanus Neonatorum
Komplikasi yang ditemui pada tetanus neonatorum dapat ditemui saat terjadinya tetanus
dan memperburuk keadaan bayi atau dapat pula berupa komplikasi jangka panjang, adapun
komplikasi yang dapat ditemui pada tetanus neonatorum antara lain2,6,11
:
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan menyebabkan
gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanus
neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan
yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan
tulang masih belum sempurna
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti
jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah
distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun minuman
yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.
Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada sebagian penderita
tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa cerebral palsy, gangguan
perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku. Gejala tersebut didapatkan pada anak-
anak berusia 7-12 tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoksia yang terjadi semasa kejang
yang terjadi. Namun demikian presentasi terjadinya sequalae pada penyakit ini belum dapat
dipastikan.2,6,11
TETANUS NEONATORUM
13
2.8 Diagnosa Banding Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum memilki ciri khas, namun demikian, beberapa kelainan lainnya
dapat menyebabkan kejang pada neonatus dan harus dapat dibedakan dari tetanus neonatorum.
Secara umum penyebab kejang pada neonatus dapat dibagi menjadi 3 kategori11,12
:
1. Kongenital (anomaly cerebral)
2. Perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal, anoxia, perdarahan intracranial).
3. Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme)
Kerusakan otak oleh karena gangguan kongenital atau perinatal dapat menyebabkan
spasticity, gerakan tubuh yang jerky, dan kejang. Cerebral contusion, umumnya berhubungan
dengan trauma pada saat persalinan atau kesulitan obstetrik lainnya, dan terjadi pada bayi cukup
bulan. Sindrom kerusakan otak sering menyebabkan laxness of mouth and tongue; refleks hisap
hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak lahir. Tidak ada kondisi yang menyebabkan trismus
seperti tetanus.11,12
Infeksi terpenting saat neonatus adalah meningitis, umumnya berhubungan dengan
septicemia. Meningitis neonatorum dapat disebabkan oleh Streptococcus grup B, Escherichia
coli, Lysteria monocytogenes, atau Klebsiella-Enterobacter-Serratia. Dua infeksi pertama
mencakup 70% penyebab infeksi sistemik oleh bakteri pada neonatus. Bayi dengan meningitis
datang dengan letargi, kejang, episode apneu, sulit minum, hipotermi atau hipertermi, dan,
kadang, respiratory distress pada minggu pertama. Gejala yang sering ditemukan adalah ubun-
ubun besar yang tegang.11,12
Infeksi streptococcus grup B dapat mengenai bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Onset gejala dapat awal, dalam 48 jam pertama kehidupan, atau telat, antara 10 hari
sampai 4 bulan. Apneu merupakan gejala pertama yang sering ditemukan dan pneumonia dengan
gagal napas dapat terjadi. Trismus tidak terdapat pada penyakit-penyakit di atas, dan sifat kejang
berbeda dengan yang disebabkan oleh tetanus. Kejang pada kondisi di atas umumnya terjadi
dengan gerakan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih singkat dan umumnya hanya
mengenai satu bagian tubuh. Pada tetanus neonatorum, tidak ditemukan ubun-ubun tegang.11,12
Gangguan metabolik meliputi hipoglikemi terutama pada bayi BBLR atau bayi dari ibu
dengan diabetes dan hipokalsemi. Insidens hipokalsemi pada neonatus tinggi pada hari pertama,
kedua, atau ketiga kehidupan, dan akhir minggu pertama. Hypocalcemic tetany pada bayi baru
lahir dapat menimbulkan kejang dan laringospasme. Kejang berbeda dengan yang disebabkan
TETANUS NEONATORUM
14
oleh tetanus, dan umumnya disertai tremor dan muscle twitching, sedangkan hipokalsemi tidak
menimbulkan trismus atau rigiditas seluruh tubuh yang dilihat pada tetanus. Bayi dengan
hypocalcemic tetany kelihatan normal di antara episode kejang.11,12
Tabel 2. Diagnosa Banding Tetanus
TETANUS NEONATORUM
15
2.9 Penatalaksanaan Tetanus Neonatorum
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus lainnya, yaitu
meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama tubuh berusaha memetabolisme
neurotoxin, menetralisir atau mencegah bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha
membunuh kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi tetanospasmin
yang berkelanjutan. Perawatan di NICU mutlak diperlukan. Adapun tindakan atau pengobatan
pada pasien tetanus neonatorum sebagai berikut4,16
:
1. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan
2. Berikan diazepam 10mg/kgbb/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan bolus IV
setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1 – 0,2 mg/kgbb/kali pemberian), maksimum 40
mg/kgbb/hari.
- Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan beri diazepam melalui
pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan dosis IV)
- Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kgbb tiap 6 jam
- Bila frekuensi nafas kurang dari 20 kali/ menit dan tidak tersedia fasilitas
penunjang nafas dengan ventilator, diazepam dihentikan meskipun bayi masih
mengalami spasme.
- Bila bayi mengalami henti nafas selama spasme atau sianosis sentral setelah
spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila belum bernafas
lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai
fasilitas NICU.
- Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10 mg/hari
dan diberikan melalui rute orogastrik.
- Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan ventilasi
mekanik untuk mengontrol spasme.
3. Berikan bayi Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau antitoksin tetanus (equine
serum) 5000 U IM sebelumnya dilakukan tes kulit terlebih dahulu.
4. Tetanus toksoid 0,5 ml IM diberikan pada tempat yang berbeda dengan tempat
pemberian antitoksin.
5. Pemberian antibiotik
- Lini 1: Metronidazol 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap 6 jam
(oral/parenteral) selama 7-10 hari.
- Lini 2 : Penisilin Procain 100.000 U/kgbb/hari IV dosis tunggal 7-10 hari.
TETANUS NEONATORUM
16
- Jika terdapat sepsis atau bronkopneumonia, berikan antibiotik yang sesuai.
6. Bila terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat,
atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat,
berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
7. Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 ml untuk melindungi ibu dan bayi yang
dikandung berikutnya dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk
pemberian dosis kedua
8. Perawatan lanjut bayi tetanus neonatorum:
- Rawat bayi di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi rangsangan
yang tidak perlu, tetapi harus yakin bayi tidak terlantar.
- Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan dan antibiotik
dilanjutkan
- Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI perah diantara
periode spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan perhari dan
naikkan secara perlahan hingga mencapai kebutuhan penuh dalam dua hari.
- Nilai kemampuan minum dua kali sehari, dan anjurkan untuk menyusu ASI
secepatnya begitu terlihat bayi siap untuk menghisap
- Bila sudah tidak terjadi spasme dalam 2 hari, bayi dapat minum baik, dan
tidak ada lagi masalah yang memerlukan perawatan dirumah sakit, maka bayi
dapat dipulangkan.
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus. Pemberian muscle-relaxant atau sedative dengan tujuan
mengurangi spasme otot sekaligus melebarkan jalan napas. Obat yang terbukti cukup efektif
adalah benzodiazepine (cth: diazepam, midazolam). Diazepam memiliki efek pelemas otot, anti
anxietas dan sedasi. Hal itu menyebabkan diazepam efektif digunakan dalam penanganan tetanus
neonatorum, terlebih lagi diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan
dipergunakan secara luas. Namun perlu diperhatikan bahwa hasil metabolit dari diazepam
(oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan.2,6,11
Pemberian Human tetanus imunoglobulin (HTIG) atau antitoksin tetanus (ATS)
bertujuan untuk menetralisir tetanospasmin yang dihasilkan Clostridium Tetani. Pemberian
HTIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya yaitu maksimal 24 jam setelah didiagnosis,
karena toksin tidak dapat lagi dinetralisir oleh HTIG atau ATS apabila sudah mencapai medula
spinalis. Maka dari itu faktor yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan terapi tetanus
TETANUS NEONATORUM
17
adalah kecepatan pemberian terapi netralisasi toksin.2,6,11
Tidak banyak studi yang membahas perbandingan penggunaan ATS dan HTIG. ATS
berasal dari serum kuda sedangkan HTIG berasal dari serum manusia. Beberapa penelitian
menggambarkan bahwa angka kematian pada penggunaan HTIG sama atau lebih rendah
dibandingkan ATS. Pemberian HTIG juga memberikan resiko efek samping reaksi hipersensitif
sistemik dan reaksi lokal yang lebih kecil dibandingkan ATS.17
Maka pada kasus tetanus disarankan untuk memberikan HTIG sebagai pilihan utama
terapi netralisasi toksin pada kasus tetanus. Pemberian ATS dilakukan hanya apabila HTIG tidak
dapat diberikan pada pasien tersebut. Pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid pada pasien
tetanus neonatorum mungkin perlu ditunda hingga 4-6 minggu setelah pemberian tetanus
imunoglobulin.4,11,17
Pada literatur lain dapat berbeda tentang dosis dan cara pemberian ATS maupun HTIG,
dimana dalam buku HTA Depkes tentang Penatalaksaan tetanus pada anak, tertulis pemberian
ATS pada Tetanus neonatorum adalah 10000 U dan diberikan secara Intravena.11
Pemberian antibiotik bertujuan untuk membunuh kuman Clostridium Tetani sehingga
produksi Tetanospasmin dapat dihentikan. Studi terbaru menemukan bahwa penicillin
merupakan suatu antagonis GABA sehingga dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh
karenanya saat ini antibiotik pilihan adalah Metronidazole.2,6,11
Tabel 3. Perbandingan Penisilin dan Metronidazol
Penisilin Metronidazol
Spektrum Spektrum luas, bakteri Gram (+),
anaerob
Spektrum sempit, obligat
anaerob, tidak dapat
menginduksi superinfeksi
Mekanisme Kerja Menghambat sintesis dinding sel Menghambat sintesis DNA
Stabilitas Tidak stabil Stabil
Reaksi Alergi Sering Jarang
Resistensi Sering Jarang
Penetrasi ke abses Rendah Baik
TETANUS NEONATORUM
18
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit. Pemberian
makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh karena itu, nutrisi
diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT). Pada kasus neonatus dengan jalan
napas yang tidak berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat
dilakukan.2,6,11
Bayi yang dapat bertahan hidup perlu pemantauan tumbuh kembang, terutama untuk
asupan gizi yang seimbang dan stimulasi mental, bayi juga mungkin membutuhkan penanganan
rehabilitasi medik seperti fisioterapi terdapat kekakuan atau spastisitas yang menetap.4
TETANUS NEONATORUM
19
2.10 Pencegahan Tetanus Neonatorum
Pencegahan terjadinya tetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan meliputi hal-
hal berikut ini 11,12,14
;
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis yang
mendukung
2. Perawatan tali pusat yang benar, jangan membungkus tali pusat atau mengoleskan cairan
atau bahan apapun ke dalam tali pusat. Mengoleskan alkohol atau povidon iodine
diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
3. Perawatan luka, dilakukan dengan pemberian hidrogen peroksida untuk oksigenasi luka
di jaringan tubuh.
4. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan sosialisasi
vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat vaksinasi atau dengan
riwayat vaksinasi yang belum jelas.
5. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus neonatorum
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai
antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein spesifik. Pemberian
vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat vaksin tidak diketahui atau
kurang dari 3 kali imunisasi TT.11,12,14
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun) atau
sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang paling mudah dan
efektif. Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap infeksi tetanus mencapai lebih dari
90%. Dimana imunisasi dikatakan lengkap apabila Wanita usia subur (WUS) sudah
mendapatkan suntikan toksoid sebanyak 5 kali sebelum ia hamil, yang akan memberikan
perlindungan terhadap tetanus selama 25 tahun atau dapat dikatakan semua bayi yang akan
dilahirkan terlindungi dari tetanus neonatorum.11,12,14
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan minimal dua dosis tetanus
toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus) dengan jarak antar
dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan kemudian, dosis ke 4 satu tahun
sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.11,12,14
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi telah memperoleh 3-4 dosis TT/Td/DPT
pada masa anak-anak, cukup diberikan 2 dosis vaksin , pertama secepatnya dan disusuli oleh
TETANUS NEONATORUM
20
dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum melahirkan.11
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya harus diberikan
dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat memberikan perlindungan hingga 5
tahun.11
Tabel 4. Rekomendasi Jadwal Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan Tetanus Difteri Toxoid
(Td) untuk Wanita Usia Subur yang Belum Divaksinasi
Dosis Jadwal Pemberian
TT1 atau Td1 Pada kontak pertama atau sedini mungkin
saat kehamilan
TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis
pertama
TT3 atau Td3 6-12 bulan setelah dosis kedua atau pada
kehamilan berikutnya
TT4 atau Td4 1-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat
kehamilan berikutnya
TT5 atau Td5 1-10 tahun setelah dosis keempat atau saat
kehamilan berikutnya
Tabel 5. Efikasi Vaksin Tetanus Toxoid Berdasarkan Dosis
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi, tanpa
perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus
immunoglobulin atau pemberian 750 U serum anti tetanus terhadap bayi beresiko tinggi dapat
memberikan perlindungan, dan pada ibu juga harus diberikan imunisasi aktif dan pasif .11,14
Dosis Interval minimum
antar dosis
Percent protected Durasi proteksi
TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur
hidup
TETANUS NEONATORUM
21
Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara signifikan dapat
menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya tetanus neonatorum. Persalinan
yang bersih didefinisikan sebagai suatu persalinan yang dibantu oleh tenaga medis di dalam
suatu institusi medis atau dilakukan di rumah dengan bantuan bidan dengan prosedur persalinan
yang higienis (memastikan kebersihan tangan, tali pusat, perineum, dan semua substans yang
digunakan).11,18
Tali pusat merupakan port d’entree kuman clostridium tetani maka dari itu petugas
kesehatan harus menjelaskan cara perawatan tali pusat yang benar kepada ibu yang baru
melahirkan. Cara perawatan tali pusat yang benar adalah 11,18
:
1. Jangan membungkus pusar atau perut ataupun mengoleskan bahan atau ramuan
apapun ke puntung tali pusat, nasehati keluarga untuk tidak memberikan apapun pada
tali pusat bayinya.
2. Menutup luka tali pusat dengan dibalut kassa steril dan kering
3. Beri nasehat pada keluarganya sebelum penolong meninggalkan bayinya, yaitu lihat
popok dibawah puntung tali pusat. Jika puntung tali pusat kotor, cuci secara hati-hati
dengan air matang (DTT/Desinfeksi Tingkat Tinggi) dan sabun. Keringkan secara
seksama dengan air bersih. Jelaskan pada ibu bahwa ia harus mencari bantuan
perawatan jika tali pusat menjadi merah atau mengeluarkan nanah atau darah. Jika
pusat menjadi merah atau keluar nanah maupun darah, segera rujuk bayi tersebut ke
fasilitas yang mampu untuk menangani dan memberikan asuhan pada bayi baru lahir
secara lengkap.
Menurut rekomendasi WHO, cara merawat tali pusat yaitu cukup membersihkan pangkal
tali pusat menggunakan air dan sabun, lalu kering anginkan hingga benar-benar kering.
Penelitian menunjukkan bahwa tali pusat yang dibersihkan dengan air dan sabun cenderung lebih
cepat puput (lepas) dari pada tali pusat yang dibersihkan menggunakan alkohol. Meski demikian,
praktek membersihkan tali pusat dengan alkohol juga tidak sepenuhnya dilarang karena bahkan
di beberapa negara maju pun masih diterapkan. Pertimbanganya, tali pusat yang dirawat tanpa
menggunakan alkohol terkadang menimbulkan aroma yang menyengat.11,18
TETANUS NEONATORUM
22
2.11 Prognosis Tetanus Neonatorum
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi spora
hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga spasme tetanik yang
pertama. Statistik terbaru menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai
6%. Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%.2,11,12,15
Pada tabel dibawah ini terdapat suatu sistem penilaian untuk menilai prognosis dari
tetanus. Semakin tinggi nilai yang didapat, semakin buruk prognosisnya.
15
Tabel 6. Sistem Score Bleck untuk Menentukan Prognosis Tetanus
Nomor Faktor Prognosis 1 point 0 point
1 Masa Inkubasi < 7 hari >7 hari
2 Masa Onset < 2 hari >2hari
3 Situs masuk kuman (port of entry) Umbilikus, uterus,
luka bakar, fraktur
terbuka, injeksi
intramuskular
Situs lain atau tidak
diketahui
4 Spasme yang muncul mendadak,
dan bertambah buruk (paroxysm)
Ya Tidak
5 Suhu (diukur melalui rectal) >38,4o C ≤38,4
o C
6 Nadi : pada dewasa :
pada neonatus :
> 120x/menit
> 150x/ menit
<120x/menit
<150x/menit
Prognosa tetanus neonaturum dikatakan jelek bila umur bayi kurang dari 7 hari, masa
inkubasi 7 hari atau kurang, periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam dan dijumpai muscular
spasm.12
TETANUS NEONATORUM
23
BAB III
STATUS PASIEN
3.1 Identitas Pasien
Nama : Bayi Nuryana
Umur : 7 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Perlak
Nama Ibu : Nuryana
Nama Ayah : Andika
3.2 Anamnesa Pasien
Alloanamnesa : Ibu pasien
Keluhan Utama : Kejang rangsang
Telaah :
Pasien dibawa oleh ibunya ke RSUD Langsa pada tanggal
27/11/2013 jam 12.55 WIB, pasien rujukan dari RSUD Idi dan telah
dirawat 1 hari.
Dari anamnesa terhadap ibu pasien di ketahui pasien kejang-kejang
sejak 4 hari yang lalu. Awalnya pasien sangat rewel sering menangis
namun tangisannya lemah dan juga tidak mau menghisap puting susu.
Kejang awalnya muncul sesekali dan semakin lama semakin sering,
begitu pula lamanya kejang awalnya hanya sekitar 30 detik hingga saat
ini bisa 15-30 menit. Saat kejang terkadang pasien menangis, Kejang
lebih sering muncul bila pasien di tempat yang lebih banyak orang,
bising atau diluar rumah. Saat kejang tubuh pasien melengkung dan
kepala tertarik kebelakang, kedua tangan, kaki dan seluruh tubuh
menegang dan bergetar. Ibu pasien juga merasa tubuh pasien menjadi
lebih kaku, sulit digendong dan perut pasien mengeras. pada awal
muncul kejang, tubuh pasien tidak terasa panas, namun sejak hari
kemarin terasa panas. Wajah pasien terlihat semakin lama semakin pucat.
TETANUS NEONATORUM
24
Riwayat Kehamilan :
Pasien anak pertama, Selama kehamilan ibu 1 kali memeriksakan
diri pada bidan dan 1 kali pada dukun bersalin. Ibu tidak ingat HPHT.
Selama hamil ibu tidak pernah mengalami demam (-), kejang (-), cacar
(-), campak (-), hiperemesis gravidarum (-), riwayat DM (-), penggunaan
obat anti kejang (-), penggunaan narkotika (-), penyakit lain (-).
Riwayat Kelahiran :
Dari anamnesa terhadap ibu pasien diketahui lahir pada tanggal
20/11/2013 di rumah, persalinan normal dan ditangani oleh dukun
bersalin. Saat lahir bayi segera menangis, tali pusat di potong dengan
gunting, diikat dengan tali dan dibungkus dengan kasa. Ibu tidak tahu
apakah gunting, tali dan kasa telah steril atau tidak dan ibu tidak ingat
warna air ketuban.
Pada hari kedua pasien dibawa ke bidan, pasien ditimbang; BB:
3500 gr dan memperoleh 1 suntikan pada paha kiri bayi dan tetes mata
(ibu tidak tahu nama obat yang diberikan), dan tali pusat dibersihkan dan
dibungkus dengan kain kasa, namun ibu tidak tahu dengan cairan apa tali
pusat dibersihkan.
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi Paseien : HB0 (-), Polio 1 (-)
Imunisasi Ibu : ibu tidak pernah imunisasi TT atau Td atau DPT
baik selama hamil maupun sebelum hamil. Dan
tidak ingat imunisasi saat usia anak-anak.
RPO : Pasien telah mendapat pengobatan di RSUD Idi, yaitu:
- IVFD D 5% NaCl 0,225%
- Inj cefotaxime 180 mg/12 jam IV
- Inj gentamicin 18 mg
- Diazepam
RPK : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien .
TETANUS NEONATORUM
25
3.3 Status Present
Keadaan Umum : Tampak lemah
Sensorium : Compos mentis
HR : 132 x/m
RR : 32 x/m
Temp : 38 C
BB : 3500 gram
3.4 Pemeriksaan Fisik
1. Kepala - Normochepalli : Lingkar kepala 36 cm
- Ubun ubun Belum Menutup (+), menonjol (-), tegang (-)
2. Wajah - Kulit wajah Ikterik (-), Anemis (+), oedem (-)
- Otot wajah kaku (+), Paralisis (-)
- Wajah rhisus sardonicus (+)
3. Mata - Periorbital Cekung (-)
- Konjungtiva palpebra Anemis (-)
- Sklera ikterik (-)
4. Hidung - NCH (-)
- Sekret (-)
5. Telinga - Normotia (+)
- Lubang telinga: Radang (-), Serumen (-), darah (-), nanah (-)
6. Mulut - Mulut mencucu (+), Trismus (+)
- Bibir kering (+), anemis (+), sianosis (-)
- Lidah sulit dinilai
- Tonsil sulit dinilai
- Faring sulit dinilai
7. Leher - I : Simetris (+),
- P : Trakea midline (+) Pembesaran KGB (-)
TETANUS NEONATORUM
26
8. Thorax - I : Simetris (+), retraksi intercostal (-), retraksi suprasternal (-)
- P : Nyeri tekan (-), Massa (-)
- P : ICS IV : Sonor
ICS V : Sonor Memendek ICS VI : Redup
- A : Suara nafas: Vesikuler (+/+)
Suara tambahan: Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
9. abdomen - I : Simetris (+), Distensi (+)
- P : Massa (-), otot abdomen kaku/keras (+), Nyeri tekan (-)
- P : Tympani (+)
- A : Peristaltik (+), kesan normal
- Tali pusat layu (+), berwarna hitam (+), bau (+), peradangan pada
pangkal tali pusat (+)
10. Punggung - Opisthotonus (+)
- Tanda traktur vertebra (-)
11. Ekstremitas - Ekstremitas atas : Kulit anemis (-/-), Sianosis (-/-), Ikterik (-/-)
Otot kaku (+/+), paralisis (-/-),
tanda fraktur (-/-),
kejang (+/+) dengan rangsangan suara, cahaya
dan sentuhan
- Ekstremitas bawah : Kulit anemis (-/-), Sianosis (-/-), Ikterik (-/-)
Otot kaku (+/+), paralisis (-/-)
tanda fraktur (-/-)
kejang (+/+) dengan rangsangan suara,
cahaya dan sentuhan
12. Rangsangan
Meningeal
- Kaku kuduk (+)
- Brudzinski 1 (-), Brudzinski 2 (-), lasegue (-), Kernig (-)
13. Neurologis - Reflek pupil (+), reflek kornea (+), Reflek glabela (+)
- Graps reflek (+), plantar reflek (+)
- Rooting reflek (-), sucking reflek (-)
TETANUS NEONATORUM
27
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin :
1. Hemoglobin : 11,9 gr/dl
2. Hematokrit : 33,9 %
3. Leukosit : 3.900 x109/L
4. Trombosit : 178.000 x109/L
3.6 Diagnosa Banding
1. Tetanus neonatorum
2. Sepsis neonatorum
3. Meningitis
3.7 Diagnosa
Tetanus neonatorum + Sepsis Neonatorum
3.8. Terapi
Suportif:
1. Oksigen 0,5 l/i
2. Rawat diinkubator, inkubator dibuat gelap dan ruangan diisolasi
3. Pasang IV line dan NGT
Medikamentosa
1. IVFD Dekstrose 5% NaCl 0,225% 15 tts mikro/i
2. Inf. Metronidazol 50 mg loading dose, 8 jam kemudian inf. Metronidazol 20 mg/8jam
3. Inj. Penisilin prokain 150.000 U/12 jam IM
4. Inj. Cefotaxim 200 mg/12 jam
5. Inj. ATS 3000 U IV
6. Inj. Diazepam 2,5 mg + aqua 1cc / 3jam
7. Diet sementara puasa, kemudian diet asi 5cc/3jam via NGT
TETANUS NEONATORUM
28
3.9 Follow Up
Tanggal Kondisi Pasien Terapi/Tindakan Waktu pemberian
27/11/2013
Siang
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Kompos mentis
HR : 132 x/i
RR : 32 x/i
T : 38 C
Kejang (+)
IVFD D5% NaCl 0,225%
15 tts mikro/i
Inj. Diazepam 2,5 mg + 1cc
aqua / 3 jam
13.30, 15.30, 19.30
Inj Penisilin Prokain
150.000 U/12 jm IM
15.00
Diet Sementara Puasa
27/11/2013
Malam
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Somnolen
HR : 120 x/i
RR : 28 x/i
T : 38,2 C
kejang (+++), kejang mudah
muncul dengan rangsangan
cahaya lampu dan suara .
IVFD D5% NaCl 0,225%
15 tts mikro/i
Inj. Diazepam 2,5 mg + 1cc
aqua / 3 jam
22.30, 01.30,
04.30, 7.30
Inj Penisilin Prokain
150.000 U/12 jm IM
03.00
Diet sementara puasa,
pasang NGT
Inkubator ditutupi kain,
keluarga dilarang bersuara
keras dan membatasi
kunjungan.
28/11/2013
Pagi
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Somnolen
HR : 104 x/i
RR :
T : 38 C
kejang (++++)
IVFD D5% NaCl 0,225%
15 tts mikro/i
Inj. Diazepam 2,5 mg + 1cc
aqua / 3 jam
10.30, 13.30, 16.30
Inj Penisilin Prokain
150.000 U/12 jm IM
15.00
Inf. Metronidazol 50 mg
loading dose, 8 jam
kemudian inf. Metronidazol
20 mg/8jam
09.30, 17.30
TETANUS NEONATORUM
29
Inj. Cefotaxim 200 mg/12
jam
11.00
Inj. ATS 3000 U IV 11.00
Diet Asi 5 cc/3jam via NGT 09.00, 12.00, 15.00
28/11/2013
Sore
Pasien Di rujuk Ke RSUZA
TETANUS NEONATORUM
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien adalah bayi perempuan baru lahir dengan usia 7 hari dengan berat 3500 garam.
Hasil alloanamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien diketahui gejala diawali dengan bayi
sering menangis dan tidak mau mengisap asi, kemudian muncul mulut mencucu, trismus, wajah
rhisus sardonicus, epistotonus, kekakuan pada otot perut dan anggota badan hingga muncul
kejang yang terpicu oleh rangsangan suara, cahaya dan sentuhan. Semua gejala ini telah muncul
sejak 4 hari SMRS. Gejala-gejala tersebut merupakan gejala klinis dari tetanus neonatorum,
maka sesuai dengan yang tertera pada tinjauan pustaka maka diagnosa Tetanus neonatorum
dapat ditegakkan pada pasien ini cukup berdasarkan gejala klinis yang sesuai.
Sumber masuknya infeksi atau port d’entree kuman Clostridium tetani pada pasien ini
dapat diperkirakan melalui tali pusat, dimana tali pusat pasien layu, berwarna hitam dan berbau.
Tali pusat berwarna hitam merupakan jaringan nekrotik yang rendah oksigen dan memberikan
suasana anaerob yang baik bagi pertumbuhan Clostridium tetani. Bau yang tidak sedap
menunjukkan proses pembusukan yang dilakukan oleh bakteri.
Pasien juga memiliki resiko yang tinggi untuk terserang tetanus neonatorum, dimana ibu
pasien sama sekali tidak pernah mendapatkan imunisasi tetanus baik berupa TT, Td ataupun
DPT baik selama kehamilan maupun sebelum kehamilan. Pasien dilahirkan dirumah dengan
pertolongan tenaga yang tidak ahli yaitu dukun bersalin, dengan penggunaan alat-alat persalinan
dan perawatan tali pusat yang penulis anggap tidak dapat diyakini steril atau tidak memenuhi
standar. Selama hamil ibu pasien hanya sekali memeriksakan diri pada tenaga kesehatan dan
pernah kontak dengan dukun bersalin. Maka dengan gejala klinis yang sesuai dan faktor resiko
yang dimiliki oleh pasien maka diagnosa tetanus neonatorum dapat ditegakkan.
Pasien diberi terapi suportif berupa perawatan di inkubator yang digelapkan untuk
mengurangi rangsangan cahaya dan ruangan diisolasi untuk mengurangi rangsangan suara yang
menambah frekuensi kejang. Selain itu juga pemberian Oksigen ½ L untuk membantu kebutuhan
oksigen tubuh pasien yang kurang akibat kebutuhan oksigen yang tinggi karena kejang
sedangkan asupan oksigen rendah akibat kakunya otot-otot dada. Pemasangan NGT dilakukan
untuk pemberian diet asi 5cc/3jam pada hari ke dua, pada hari pertama pasien dipuasakan.
Pemberian antibiotik untuk membunuh Clostridium tetani. Dalam kasus ini digunakan
TETANUS NEONATORUM
31
penisilin prokain 150.000 U/12 jam IM pada hari pertama dan pada hari kedua ditambah inf.
Metronidazol 50 mg loading dose, 8 jam kemudian inf. Metronidazol 20 mg/8jam. Untuk
antikonvulsan diberikan Inj. Diazepam 2,5 mg + aqua 1cc / 3jam. Pemberian ATS atau HTIG
dosis terapi tidak dapat dilakukan karena tidak tersedia, sehingga hanya dapat diberikan ATS
3000 unit. Maka dari itu pasien di rujuk ke RSUZA, untuk memperoleh perawatan NICU dan
penatalaksanaan Tetanus neonatorum lanjut.
Prognosis pasien buruk karena masa inkubasi kurang dari 7 hari dan masa onset kurang
dari 2 hari, selain itu sumber infeksi umbilikus, dan adanya kejang pada seluruh tubuh yang
bertambah buruk sehingga score bleck semakin tinggi. Pada pasien juga telah terjadi komplikasi
berupa sepsis neonatorum sehingga diberi terapi Inj. Cefotaxim 200 mg/12 jam. Sepsis
neonatorum memiliki gejala yang tidak spesifik dan beberapa gejala yang sama dengan tetanus
seperti, malas minum, bayi gelisah, kaku kuduk kejang, sesak nafas, suhu tubuh meningkat. Pada
pasien ini didapati kesadaran yang semakin menurun pada hari ke 2, hal ini dapat karena sepsis
atau bisa karena penggunaan diazepam. Hasil lab pasien tidak khas baik untuk tetanus maupun
sepsis, namun penurunan jumlah leukosit merupakan salah satu kriteria sepsis.
TETANUS NEONATORUM
32
BAB V
PENUTUP
Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk klinis tetanus infeksius yang berat dan terjadi
selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti tindakan
perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau kekurangan imunisasi maternal.
Tetanus neonatorum menyerang seluruh dunia dengan angka kesakitan dan kematian
yang masih tinggi terutama di negara berkembang. Pada tahun 2008 masih terdapat 46 negara
yang masih belum eliminasi tetanus neonatorum di seluruh kabupaten, salah satunya adalah
indonesia. Di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tahun 2011 terdapat 3 kasus
tetanus neonatorum.
Tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri clostridium tetani yang biasanya masuk
melalui luka tali pusat yang tidak dirawat dengan baik. Kuman ini menghasilkan tetanospasmin
yang merupakan neurotoksin berperan terhadap bentuk gejala klinis dari tetanus. Untuk
mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat tanda dan gejala klinis yaitu bayi sering
menangis dan tidak mau mengisap asi, kemudian muncul mulut mencucu, trismus, wajah rhisus
sardonicus, epistotonus, kekakuan pada otot perut dan anggota badan hingga muncul kejang
yang terpicu oleh rangsangan suara, cahaya dan sentuhan.
Pengobatan pada intinya terdiri dari suportif (O2, Diazepam), netralisir toksin (ATS dan
HTIG), eradikasi kuman clostridium tetani (antibiotik penisilin prokain dan metronidazol), serta
perawatan luka yang benar.
Pencegahan tetanus neonatorum adalah dengan pemberian TT atau Td pada ibu hamil
minimal 2 kali sebelum bayi lahir, persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dengan
peralatan yang sesuai standar sterilitas. Prognosis tetanus buruk apabila masa inkubasi kurang
dari 7 hari, onset kurang dari 7 hari, terdapat kejang yang bertambah buruk, suhu tubuh yang
tinggi, dan peningkatan denyut jantung.
Pada kasus, pasien didiagnosa tetanus neonatorum karena sesuai dengan gejala klinis dan
pasien memang memiliki faktor resiko tinggi untuk terserang tetanus neonatorum. pada pasien
juga telah terdapat komplikasi berupa sepsis neonatorum.
TETANUS NEONATORUM
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de jong. 2005. Jakarta: EGC.
Hal : 45-50
2. Ismanoe, gatoet. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 2009. Jakarta :
Interna Publishing. Hal: 2911-2923
3. Hasan, rusipno. Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.2007. Jakarta: Infomedika
jakarta. Hal: 568-573
4. Pudjiadi, H. Antonius dkk. Pedoman Pelayanan Medis. 2009. Jakarta : IDAI. Hal : 315-
318
5. Dorland AN william, Mahode A Albertus. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. 2005.
Jakarta : EGC. Hal: 2216
6. Arnon, S.stephen. Tetanus. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Vol 2. 2012. Jakarta :
EGC. Hal : 1004-1007
7. Widoyono. PenyakitTropis: Epidemiologi,Penularan,Pencegahan dan Pemberantasannya.
Hal : 29-33
8. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. Eliminasi Tetanus Maternal dan
Neonatal (MNTE) di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Vol 1.
September 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Hal : 1-22
9. Pusat data dan informasi Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2008. 2009. Jakarta :
Depkes RI. Hal : 73 – 118.
10. Rahim, abdul dkk. Clostridium Tetani. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. 1994.
Jakarta : Binarupa Aksara. Hal : 125-128
11. Health Technonlogy Assessment Indonesia Depkes RI. Penatalaksanaan Tetanus Pada
Anak. 2008. Jakarta : Depkes RI. Hal : 7-30
12. Ritarwan, kiking. Tetanus. 2004. Medan : USU Digital Library. Hal : 2-9
13. Ilic M, et al. Neonatal Tetanus : a report of a case. 2010. Turk J Pediatric. Hal : 404-408
14. Wibowo tanjung, Anggraeni alifah. Tetanus Neonatorum. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. Vol 1. September 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Hal :
29-32
15. Ogurin OA. Tetanus – A review of Current Concepts in Management. 2009. BJPM 11.
Hal : 46-59
16. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit : Pedoman Bagi Rumah
TETANUS NEONATORUM
34
Sakit Rujukan Tingkat Kabupaten/Kota. 2008. Jakarta : WHO Indonesia. Hal: 70-71.
17. Martimus m, Leman dkk. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Imunoglobulin
Pada Tetanus anak. Sari Pediatri. Vol 12 No 4. Desember 2010. Hal 283-288
18. Kementrian Kesehatan RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial :
Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Hal: 9 – 10.