makalah tasawuf

30
BAB I PEMBAHASAN A; Pendahuluan Bagian terpenting tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’ Mi’raj, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Ini adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi. Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuannya. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai “ sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata” 1 . Tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil dari kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya. Di samping itu tasawuf juga sebagai bagian dari ajaran Islam, karena ia hasil perwujudan dari Ihsan yang merupakan salah satu dari tiga ajaran Islam. Tasawuf yang merupakan implementasi dari ajaran Islam pada saat sekarang dituntut untuk lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia dan mampu emecahkan segala persoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang. Tasawuf tidak hanya mengandalkan cinta sang sufi kepada Tuhannya, tetapi menjadi khalifah Allah sekaligus abdullah di muka bumi ini. Tasawuf dan zaman modern adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan dan harus dimiliki oleh manusia karena keduanya memiliki peran masing-masing dalam diri manusia yakni dalam mengemban amanat-Nya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Oleh karena itu, usaha mengembangkan keduanya menjadi sesuatu yang harus kita optimalkan. Bagaimana bertasawuf tanpa meninggalkan aktifitas di zaman modern tanpa meninggalkan konsep-konsep tasawuf. Dalam pembehasan pembahasan ilmu tasawuf Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah 1Nurcholish Madjid, “Pengalaman Mistik Kaum Sufi” dalam Tabloid Tekad, Nomor 18/Tahun II, 6-12 Maret 2000, hlm. 11 1

Upload: haris-ramadhan

Post on 10-Apr-2016

113 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

relevansi tasawuf akhlaki di zaman modern

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Tasawuf

BAB I

PEMBAHASAN

A; Pendahuluan

Bagian terpenting tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung

dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan.

Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan

kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’ Mi’raj,

misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Ini adalah

pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi. Kaum

sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam

dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuannya. Pertemuan

dengan Tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah

hadis sebagai “ sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata”1.

Tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil dari kebudayaan

Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya. Di samping itu tasawuf

juga sebagai bagian dari ajaran Islam, karena ia hasil perwujudan dari Ihsan

yang merupakan salah satu dari tiga ajaran Islam. Tasawuf yang

merupakan implementasi dari ajaran Islam pada saat sekarang dituntut

untuk lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia dan mampu

emecahkan segala persoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang.

Tasawuf tidak hanya mengandalkan cinta sang sufi kepada Tuhannya, tetapi

menjadi khalifah Allah sekaligus abdullah di muka bumi ini.

Tasawuf dan zaman modern adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan

dan harus dimiliki oleh manusia karena keduanya memiliki peran

masing-masing dalam diri manusia yakni dalam mengemban amanat-Nya

sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Oleh karena itu, usaha

mengembangkan keduanya menjadi sesuatu yang harus kita optimalkan.

Bagaimana bertasawuf tanpa meninggalkan aktifitas di zaman modern

tanpa meninggalkan konsep-konsep tasawuf.

Dalam pembehasan pembahasan ilmu tasawuf Tasawuf akhlaqi adalah

tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti

atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah

1Nurcholish Madjid, “Pengalaman Mistik Kaum Sufi” dalam Tabloid Tekad, Nomor 18/Tahun II, 6-12 Maret 2000, hlm. 11

1

Page 2: Makalah Tasawuf

dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq

mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini

dikembangkan oleh ulama’ lama sufi, dibawah akan lebih lanjud dibahas

tentang Konsep tasawuf akhlaki: Implikasinya ditemgah masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN

A; Konsep Tasawuf Akhlaki

Para ulama berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan

tasawuf, meskipun demikian mereka sepakat bahwa tasawuf adalah

2

Page 3: Makalah Tasawuf

moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu sufi adalah mereka yang

bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa)

jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf

adalah semangat (spirit) Islam. Sebab ketentuan hukum Islam berdasarkan

landasan moral islami. Sebabnya, hukum Islam tanpa tasawuf (moral)

adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi.

Sebenarnya dalam wacana intelektual pun ada satu konsep paham

tasawuf yang tetap mempertahankan esensi awal dari tasawuf, yaitu

“moralitas” atau akhlak. Itu sebabnya dapat disebut ‘ tasawuf akhlaki’. Perlu

ditegaskan di sini, mengapa “akhlak” disebut esensi awal dari tasawuf,

karena arahnya adalah melaksanakan hidup “sederhana” dan sikap hidup

ini pada akhirnya membuahkan tindakan akhlak.

Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat

mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa.

Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari Dzat Allah Yang

Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, sekalipun tingkat

kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari

sumber aslinya2.

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa

memerlukan pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu,

pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk

pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan

kata lain, untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat

kebahagiaan yang optimum, manusia lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi

dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula

dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia.

Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan

utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya

yaitu hawa nafsu. Menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang

ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari

kerusakan akhlak. Seandainya, bukan karena rasa ketergantungan manusia

2Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.55

3

Page 4: Makalah Tasawuf

kepada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi

kerusakan akhlak3.

Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang

tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah

sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang

diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat.

Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ke titik

terendah, dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali.

Dalam paham tasawuf akhlaki ini orang yang menjalankan hidup

kesufiannya berhenti sebatas tujuan :akhlak”, yaitu meluruskan jiwa,

mengendalikan kehendak dan usaha-usaha yang dapat membuat manusia

konsisten melakukan keluhuran moral atau akhlak. Jadi tasawuf jenis ini lebih

bersifat mendidik sehingga coraknya cenderung praktis.

Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang

kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap

mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guana mencapai kebahagiaan

yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi

dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah) melalui penyucian

jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna,

dan berahlaqul karimah melaui pola penyifatan sifat-sifat Allah.4 Dan dalam

ilmu tasawuf dikenal dengan tiga fase pendidikan jiwa dan seni menata hati,

yaitu dikenalai dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela),

tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya Nur

Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya

ketuhanan).5

B; Fase Pendidikan Jiwa

a; Takhalli

3Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 574Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 305Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.45

4

Page 5: Makalah Tasawuf

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi.

Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela.

Salah satu akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya

akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Hal

ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam

segala bentuknya dan merusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.6

Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta

mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang

moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi, yaitu

sekadar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan

duniawi sama sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu, cukup

sekadar “dikuasai” melalui pengaturan disiplin kehidupan. Aliran ini tidak

meminta agar manusia secara total melarikan diri dari problema dunia tidak

pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap

memanfaatkan dunia sekadar kebutuhannya dengan menekan dan

mengontrol dorongan hawa nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal

dan perasaan.

Sementara itu, kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa

kehidupan duniawi merupakan “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita

sufi. Persoalan duniawi penghalang perjalanan. Karena itu, nafsu yang

bertendesi duniawi harus “dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju

tujuan, yaitu memperoleh kebahagian spiritual yang hakiki. Bagi mereka,

cara memperoleh keridaan Tuhan tidak sama dengan cara memperoleh

kenikmatan material. Pengingkatan ego dengan cara meresapkan diri pada

kemauan Tuhan merupakan perbuatan utama.

Menurut penulis, di era modern ini pendapat kelompok sufi lebih tepat

untuk diimplementasikan, sikap kelompok sufi yang ekstrim mungkin lebih

cocok pada konteks zaman itu, namun di masa ini agama telah di tuntut

untuk menjadi gerbong perubahan sosial. Dengan sikap moderat dalam

menyingkapi kehidupan duniawi, dapat membuat seseorang untuk tidak

antipati terhadap dunianya, terutama dengan dunia sekitarnya atau

6Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 58

5

Page 6: Makalah Tasawuf

lingkungan sosialnya. Tahapan-tahapan pelatihan spiritual yang telah dilalui

hendaknya menjadikan seseorang terproteksi dari godaan dunia dan

terdorong untuk melakukan perubahan positif di lingkungannya.

Pengertian lainnya, Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat

yang tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama

yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya

sifat-sifat tercela, dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk

memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan

sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan7. Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa

itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(Q.S 91: 9-10)

Adapun sifat-sifat tercela yang harus dihilangkan ialah antara lain al-

syirik (penyekutuan Tuhan), al-hasad (keinginan yang berlabih-lebihan), al-

ghadlab (marah), al-riya dan al-sum’ah (pamer), al-‘ujub (bangga diri), dan

sebagainnya. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu

dilakukan dengan cara:

1; Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah, sehingga pelaksanaannya

tidak sekedar apa yang terlihat secara lahir, tetapi lebih dari itu, yakni

memahami makna hakikinya, sehingga semua bentuk akidah dan ibadah

itu tidak hanya dilakukan sekedar formalitas, namun terhayati makna

tersiratnya.

2; Muhasabah (korelasi) terhadap diri sendiri, dan apabila telah menemukan

sifat-sifat yang tidak atau kurang baik, maka segera meninggalkannya.

3; Riyadlah (latihan) dan mujahadah (Perjuangan), yakni berlatih dan

berjuang membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu, dan

mengendalikan serta tidak memperturutkan keinginannya. Menurut Al-

Ghazali riyadlah dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan

dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negatif

dengan mengganti sifat-sifat lawannya yang positif.

7Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 68

6

Page 7: Makalah Tasawuf

4; Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat terhadap

kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaan-

kebiasaan yang baik.

5; Memohon pertolongan kepada Allah SWT dari golongan setan (Q.S an-

Nahl:89-100), sebab timbulnya sifat-sifat tercela itu dikarenakan

dorongan hawa nafsu, dan hawa nafsu itu karena desakan setan (Q.S

al-‘A’raf: 20-22, dan al-Baqarah: 268).8

b; Tahalli

Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan jalan

membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.

Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan

agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” atau ketaatan lahir maupun yang

bersifat “dalam” atau kekuatan batin. Yang dimaksud dengan ketaatan

lahir/luar, dalam hal ini, adalah kewajiban yang bersifat formal seperti salat,

puasa, zakat, haji dan sebagainnya. Sedangkan yang dimaksut dengan

ketaatan batin/dalam adalah seperti iman, ikhlas, dan lain sebagainnya.9

Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan

pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersiahan diri dari

segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat dilalui (takhalli), usaha

itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yang disebut tahalli. Sebab,

apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya,

maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Prakteknya, pengisian

jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongkan dari sifat-sifat yang

buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan lebih dahulu, baru

kemudian diisi. Akan tetapi harus dengan cara, ketiaka menghilangkan

kebiasaan yang buruk bersamaan dengan itu diisi dengan kebiasaan yang

baik atau seperti mengobati suatu penyakit, bahwa hilangnya suatu penyakit

pada seseorangn karena adanya atau masuknya obat kedalam tubuhnya.10

Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari

hati dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan sifat-sifat ketuhanan (al-

takhalluq bi akhlaqillah), antara lain al-tauhid (pengesaan Tuhan secara

8Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 469Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 7110Asmaran As, hlm. 72

7

Page 8: Makalah Tasawuf

mutlak), al-taubah (kembali ke jalan yang baik), al-Zuhdu (sikap hati

mengambil jarak dengan dunia materi), al-Hub al-llah (cinta Tuhan), al-

Wara’ (memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhat), al-

Syabru (tabah dan tahan dalam menhadapi segala situasi dan kondisi), al-

Faqr (merasa butuh kepada Tuahan), al-Sukru (sikap terima kasih dengan

menggunakan nikmat dan rahamat Allah SWT secara fungsional dan

proporsionala), al-Ridha (rela terhadap apa yang telah diterimannya), al-

tawakal (pasrah diri kepada Allah SWT setelah berusaha maksimal), al-

Qanaah (menerima pemberian Allah SWT secara Ikhlas), dan

sebagainnya.11

Al-Ghazali menerangkan bahwa bersifat baik atau berakhlak terpuji

itu artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah

dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaaan dengan itu membiasakan sifat

yang baik, mencintai dan melakukannya. Dalam rumusan lain, sebagaimana

yang dikatakan oleh Al-Qasimi, Al-Ghazali mengatakan bahwa yang

dikatakan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk,

baik dalam keadaan lapang maupun susah. Di dalam kitabnya Al-Arba’in,

al-Ghazali mengatakan bahawa yang dimaksud dengan budi pekerti baik

ialah bersifat tidak kikir dan tidak boros, tetapi diantara keduannya. Atau

dengan kata lain, sifat yang baik itu ialah sikap moderat diantara dua yang

ekstrem.12

Sebenarnya dari beberapa penjelasan yang ada, pada dasarnya

perbuatan baik, budi pekerti baik atau akhlak terpuji itu adalah sifat-sifat

atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran agama

(Islam).

Untuk merehabilitis sikap mental yang tidak baik, menurut orang sufi

tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah

sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang

murit diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup

berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekannya sampai

ke titik terendah; atau bila mungkin mematikannya sama sekali.

11Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 4712Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 72

8

Page 9: Makalah Tasawuf

Jiwa manusia, kata al-Gazali, dapat dilatih, dikuasai, diubah dan dapat

di bentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan

akan menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan akan menghasilkan

kepribadia.sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan

kedalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan

manusia paripurna, antara lain adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud,

tawakal, cinta, makrifah dan kerelaan.

Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari

sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan

terang, sehingga dapat lagi menerima cahaya Ilahi. Jadi hati yang belum

dibersihkan tidak akan dapat menerima cahaya tersebut.

Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela

(takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala

tindakan dan perbuatannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas.

Ia ikhlas melakukan ibadah kepada Allah, ikhlas mengapdi kepada

kepentingan agamanya, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan

masyarakat dan negarannya. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan

dan bantuan kepada semua. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau

embel-embel lain seperti kata pribahasa: ada udang dibalik batu. Seluruh

hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari kerelaan Allah

semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri

kepadaNya.13

c; Tajalli

Setelah seseorang melalui dua tahab tersebut, maka tahab ketiga,

yakni tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum

sufi mendasarkan pendapatnnya pada firman Allah SWT: Allah adalah nur

(cahaya) langit dan bumi,(Q.S 24:35). Selanjutnya Mustafa Zahri dalam

bukunya Kunci Memehami Ilmu Tasawuf merumuskan arti tajalli sebagai

berikut: “Tajalli ialah lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat

13 Asmaran As, hlm. 73

9

Page 10: Makalah Tasawuf

kebasyariahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu gaib,

fananya/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.”14

Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, kaum sufi yakin bahwa

seseorang dapat memperoleh pancaran nur Ilahi. Demikianlah Allah tampak

dengan af’al, amsa’, sifat dan zatNya. Mustahil orang dapat menutupi

cahaya, sedang cahaya itu terpancar dalam segala yang tertutup. Apalagi

Allah adalah cahaya langit dan bumi. Nabi Muhammad SAW pernah

bersabda: “sesungguhnya Allah itu tampak bagi manusia umumnya dan bagi

Abu Bakar Khususnya.”

Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa “tersingkapnya hal-hal

yang gaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena nur yang

dipancarkan Allah de dalam dada (hati) seseorang.” Tegasnya beliau

berkata: “hal itu tidaklah didapat dengan menyusun dalil dengan menata

argumentasi, tetapi karena nur yang dipancarkan Allah ke dalam hati; dan

nur ini merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Maka barang

siapa mengira bahwa tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata

maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang luas”.

Krtika Rasulullah SAW ditanya tentang arti “melapangkan dada” dalam

firman Allah SWT: barang siapa yang hendak diberi Allah prtunjuk, maka

dilapangkanNya dadanya untuk Islam (Q.S 6:125), beliau berkata: “itu

adalah nur yang dimasukkan Allah kedalam hati.” Kemudian ketika ditanya

tentang tanda-tandanya beliau menjawab: “menjauhi dunia yang menipu dan

menghadap dengan sepenuh hati ka alam abadi.” Dalam hubungan ini beliau

berkata pula: Allah SWT telah menciptakan seluruh makhluk dalam

kegelapan lalu dipercikanNya mereka sebagian dari nurNya. Dengan nur

inilah seharusnya dicari kasyf. Nur ini memancar dari kemurahan Ilahi pada

wakti-waktu tertentu, diman orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya.

Rasulullah SAW bersabda: “ada saat-saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka

siapkanlah dirimu untuk itu.”15

Karena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa

(riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela,

14 Musthafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), hlm. 245

15Asmaran As,Pengantar Studi Tasawuf , hlm. 75

10

Page 11: Makalah Tasawuf

mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut

paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, segala

tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbamyak zikr,

menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik

lahir maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk

memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur Ilahi. Apabila tuhan telah

menembus hati hambanNya dengan nurNya, maka berlimpah ruahlah

rahmat dan karunianNya. Pada tingkat ini hati hamba Allah itu bercahaya

terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir

rahasia alam malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah

segala hakikat ketuhanan yang selam ini terdinding oleh kotoran jiwanya.16

Jalan kepada Allah itu, kata kaum sufi, terdiri dari dua usaha.

Pertama, mulazamah, yaitu terus-menerus berada dalam zikr kepada Allah;

kerdua, mukhalafah, yaitu terus menerus menghindarkan diri dari segala

sesuatu yang dapat melupakanNya. Keadaan ini dimamakan safar kepada

tuhan. Ia tidaklah merupakan suatu gerak dari satu pihak, tidak dari pihak

yang datang (hamba) dan tidak pula dari pihak yang didatangi (Tuhan),

tetapi pendekatan dari keduanya, sebagaimana firman Allah SWT: kami ini

lebih dekat kepadannya dari pada urat lehernya sendiri. (Q.S 50:56).

Perumpamaan lain dikemukakan antara yang mencari (manusia)

dengan yang dicari (Tuhan) adalah seperti seseorang dengan cermin muka.

Orang akan tergambar dalam cermin muka itu, tajalli, tidak usah

melenyapkan diri kedalam cermin itu tetapi cukup dengan menghadapinya,

tidak dengan membawa gambar kemuka cermin atau memindahkan cermin

kemuka gambar tetapi dengan menghilangkan noda, kotoran atau tabir yang

menjadi penghalang antara orang itu dengan cermin.

Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan organ-

organ tubuh sudah terbiasa melakukan amal-amal saleh dan perbuatan-

perbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang sudah diperoleh itu

tidak berkurang, perlu penghayatan rasa ketuhanan. Satu kebiasaan yang

biasa dilakuakn dengan kesadaran yang optimal dan rasa kecintaan yang

16Asmaran As, hlm. 75

11

Page 12: Makalah Tasawuf

mendalam, akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Orang-orang sufi

berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu

hanya dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa

kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini maka akan terbuka jalan untuk

mancapai Tuhan. Tampa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya

tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan baik atau

amal saleh.17

Al-Jili membagi tajalli menjadi empat tingkatan. Pertama Tajalli al-

Af’al, yakni tajalli-Nya pada perbuatan seseorang, artinya segala aktifitas

itu disertai Kudrat dan Iradat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya. Hal ini

bisa berarti bahwa gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kodrat dan

iradat-Nya.

Kedua, Tajalli al-Asma’, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan

bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaharuan, dan lepasnya dari ikatan

tubuh kasarnya. Pada lingkungan ini tiada yang dilihat kecuali dzat al-

Syirfah (hakikat gerak), bukan melihat asma’.

Ketiga, Tajalli Sifat, yakni seseorang hamba menerima sifat-sifat

ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padannya tanpa hulu dzat-Nya.

Keempat, Tajalli Dzat, yakni apabila Allah SWT mwnghendaki adanya

tajalli atas hamba-Nya yang memfana’kan dirinya, maka bertempatlah Dia

padanya, yang bisa berupa sifat dan bisa berupa dzat. Apabila berupa dzat,

maka disitu terjadi “ketunggalan” yang sempurna. Dengan fana’nya seorang

hamba, maka yang baqa’ hanyalah Dia. Dalam pada itu, hamba telah berada

dalam situasi Ma Suwailah, yakni dalam wujud Allah semata.18

Berbeda dengan al-Jilli, maka al-kalabadzi membagi tajalli menjadi

tiga macam. Pertama, Tajalli Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung

yang menutupi kerahasiaan-Nya). Kedua, Tajalli Sifatidz Dzat, yakni

nampaknya sifat-sifat dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya. Ketiga,

Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum dzat, atau hal-hal

yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.19

17Asmaran As, hlm. 7618Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 4819Amin Syukur dan Masyharuddin , hlm. 49

12

Page 13: Makalah Tasawuf

Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq

dengan alat al-qalb. Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih bila

dibandingkan dengan kemampuan akal. Yang kedua ini tidak bisa

memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah SWT. Sedang al-

qalb mengetahui-Nya. Apabila Dia telah memneri atau menembus qalb

dengan nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan

rahmat-Nya. Ketika itu qalb menjadi terang benderang, terangkatlah tabir

rahasia dengan karuniannya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat

ketuhanan yang selama ini terhijab (tertutub) dan terahasiakan.

Apabila seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan

memperoleh ma’rifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan

peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa diartikan

lenyapnya segala sesuatu dengan/ketika menyaksikan Tuhan.

Ma’rifat merupakan pemberian tuhan, bukan usaha manusia. Ia

merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan

ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim

Basyuni, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir

dari segala pemberian setelah melakuakan mujahadah dan riyadlah, dan

bisa dicapai ketika telah terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi.20

Nur Ilahi itu akan diberikan kepada seseorang yang telah

terkendalikan hawa nafsunya, bahkan bisa dilenyapkan sifat-sifat

kemanusiaan (basyariyah)-Nya yang cenderung berbuat ma’shiat, dan

terlepaskannya dari kecenderungan kepada masalah duniawi. Karena dosa

dan cinta kepadannya akan menjadi penghalang qalb untuk melihat

(ma’rifat) kepada-Nya.21

C; Implikasi Tasawuf Akhlaki Dalam Masyarakat Modern

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengatakan

bahwa masyarakat modern adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama

disuatu tempat dengan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.22 Kita sekarang

20Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 49..21Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 5022W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 636

13

Page 14: Makalah Tasawuf

berada di abad modern (ada juga yang menyebutnya postmodern) yang

dicirikan dengan melimpahnya infomasi. Indonesia juga telah menuju era

informasi di abad modern. Dalam menyikapi era informasi, masyarakat

indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu masyarakat yang optomis, pesimis dan

mengambil jalan tengah. Masyarakat yang optimis biasanya tertantang untuk

lebih maju, sementara itu masyarakat yang pesimis akan menerima dampak

buruk karena mereka tidak siap dalam iklim persaingan, bahkan mungkin akan

tersingkir, sedangkan masyarakat yang mengambil jalan tengah mencoba

mempertimbangkan dampak baik dan buruk era informasi dan kemoderenan.

Karena masyrakat modern menghadapi problematika yang komplek,

carut marut dan berbahaya, maka perlu dicari solusi yang sangat tepat.

Masyarakat moderen harus menumbuhkan (lagi) spiritualitas diri. Menurut

para ahli inilah satu-satunya obat yang sangat tepat dan ampuh.

Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik,

empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada

Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap

hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi,

teknologi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari dunia

yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan

tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespon

terhadap masalah-masalah sosial23.

Kajian tasawuf berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika

kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi,

namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri

dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem

kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak

dinamikanya, karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tanpa tasawuf

Islam akan kehilangan ruh ajaran aslinya.

Sebagai salah satu contohnya ialah tarekat sanusiyah di Afrika Utara

atau sekarang menjadi Libya. Secara umum sanusiyah dikenal sebagai tarekat

“kebangkitan”, tetapi doktrinnya tidak jauh berbeda dengan sufisme

tradisional. Sanusiyah menentang ekses-ekses dalam ritual, seperti menari atau

23Mohammad Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern,(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 226

14

Page 15: Makalah Tasawuf

menyanyi. Pendirinya sangat menekankan peran Nabi dan mengikuti teladan

beliau. Selain membina dan mengajarkan para pengikutnya sanusiyah juga

memiliki etika kerja yang kuat, khususnya berkaitan dengan pembangunan dan

pemeliharaan pondok-pondok baru dan pembangunan melalui pertanian.

Tarekat ini menjadi faktor penting dalam perkembangan niaga di seluruh

Sahara. Pondok-pondok menyediakan keamanan sekaligus jaringan tempat

istirahat dan kontak bagi para pedagang, dan banyak pedagang yang bergabung

dengan tarekat ini.

Sayyed Hossein Nasr adalah salah satu penganjur spiritualitas yang

gigih. Menurutnya, paham sufisme mulai mendapat tempat di kalangan

masyarakat (termasuk masyarakat Barat) karena mereka merasa kering

batinnya. Masyarakat modern yang terdera problematika hidup yang komplek

dan carut marut mencoba lari ke spiritualitas dan sufisme. Mereka mencoba

membangun akhlak tasawuf.24

Sayyed Hossein Nasr menegaskan bahwa tasawuf, sufisme, dan tharikat

atau jalan ruhani merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric)

dari islam itu sendiri yang menjadi jiwa dari risalah Islam, sementara

jantungnya berakar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu tasawuf, sufisme

dan tharikat mampu mengintegrasiakan seluruh ilmu pengetahuan yang

tampaknya berserakan.25

Nasib agama Islam di zaman modern ini juga sangat ditentukan

oleh sejauh mana kemampuan umat Islam merespons secara tepat tuntutan dan

perubahan sejarah yang terjadi di era modern. Sebagaimana pendapat Dadang

Kahmad, bahwa fenomena munculnya tasawuf pada zaman modern ini

merupakan salah satu usaha reinterpretasi dan reaktualisasi tertentu kepada

ajaran agama Islam, dengan tujuan agar tidak saja menjadi relevan bagi

kehidupan modern, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai

“sumber makna hidup” bagi pemeluknya.26

Pada masa sekarang makin lama makin disadari orang bahwa betapa

besar pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam memberi

wujud dan arti kehidupan manusia. Pengaruh tersebut tidak “an-sich”

berupa kebaikan saja, tetapi juga berupa keburukan yakni dapat membawa

24Abudin Natta, Akhlak Tasawuf, cet. Ke-4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.29325Husein Nasr, living Sufisme, diterjemahkanoleh Abdul Hadi. Sebagai tasawuf dulu dan sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm 18126Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 70.

15

Page 16: Makalah Tasawuf

manusia ke arah malapetaka. Betapapun lengkap fasilitas modern yang

disediakan tanpa pemuasan terhadap batin, maka terasa ada “something

missing” dalam diri manusia. Di sinilah maka peranan tasawuf sangat

dibutuhkan, melalui tasawuf kiranya akan mampu melahirkan

keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan batiniah. Dan melalui

kehidupan yang seimbang inilah maka akan menjanjikan kehidupan yang lebih

harmonis.

Di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah

kepada dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini

dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, masalah tasawuf mulai

mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif

mengatasi masalah-masalah tersebut. Terjadinya kebakaran hutan dengan

segala akibatnya yang merugikan, praktek pengguguran kandungan (aborsi),

pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, penyalahgunaan obat-obat terlarang,

pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku peyimpangan seksual,

penimbunan harta kekayaan dengan dampaknya yang menjurus pada

kesenjangan sosial, disia-siakannya masalah keadilan dan lain sebagainya

adalah bermula dari kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari

bimbingan Tuhan, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba mendekati-Nya.

Untuk mengatasi masalah ini tasawuflah yang paling memiliki potensi dan

otoritas, karena di dalam tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara

agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Dengan

cara demikian. Ia akan malu berbuat menyimpang, karena merasa diperhatikan

oleh Tuhan.27

Dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran tasawuf, maka manusia

akan sadar bahwa semua yang ada di dunia ini (termasuk eksistensi ilmu

pengetahuan dan teknologi modern) tidak lain adalah milik Allah. Dengan

demikian, maka eksistensi modernisasi harus dimanfaatkan dalam batas-batas

kepentingan Ilahiyah yakni digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan

manusia, bukan justru sebaliknya, membuat kerusakan di dunia.

Fungsi tasawuf secara substansial adalah membentengi diri dari segala

macam penyakit hati, yang berupa keinginan untuk segala aspek keduniaan.

Hal ini tidak berarti bahwa manusia harus antipati terhadap dunia, bahkan

harus menjauhi dunia sejauh mungkin. Akan tetapi, Islam memberikan

kebebasan kepada para pemeluknya untuk mengambil segala aspek keduniaan

27 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 279

16

Page 17: Makalah Tasawuf

secara proporsional, sebatas yang dibutuhkan, tidak melampaui batas-batas

kewajaran28.

Hal ini dimaksudkan untuk menepis adanya kesan dari sebagian

kalangan yang menganggap tasawuf mengajak untuk hidup “pasif” dan

“eskapisme” (pelarian diri dari kenyataan kehidupan). Akan tetapi, justru

sebaliknya, tasawuf berfungsi sebagai dorongan hidup bermoral, dan

pengalaman mistis yang ditunjukkan kaum sufi sebenarnya merupakan suatu

kedahsyatan, karena ketinggian nilai-nilai moralitas yang ditampilkan29.

Sebagaimana yang dikutip oleh Syamsu Ni’am dari kitab Madkhal, At-

Taftazani menolak kesan pasif dan eskapisme tersebut, justru tasawuf bersikap

aktif dan positif. At-Taftazani mengatakan:

“Tasawuf tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kenyataan

hidup, sebagaimana telah dituduhkan mereka yang anti. Tetapi, ia adalah usaha

mempersenjatai diri (manusia) dengan nilai-nilai ruhaniah yang baru, yang

akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan materialtis, dan juga untuk

merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika

menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidupnya. Dengan pengertian

seperti ini justru tasawuf, sepanjang dapat mengaitkan kehidupan individu

dengan masyarakatnya, bermakna positif dan tidak negatif. Dalam tasawuf,

terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan perkembangan

masa depan masyarakat, yang antara lain hendaklah manusia selalu introspeksi

untuk meluruskan kesalah-kesalahannya, dan senantiasa menyempurnakan

keutamaan-keutamaannya. Bahkan tasawuf mendorong wawasan hidup

menjadi moderat. Juga membuat manusia tidak terjerat hawa nafsunya ataupun

lupa terhadap diri dan Tuhan-nya, yang akan membuatnya terjerumus ke dalam

penderitaan yang berat.”30

Selain itu, dalam kitab al-Hikam, Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan

bahwa uzlah bukan berarti secara total menjauhi kehidupan bermasyarakat,

28Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 8229Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000) Cet. IV, hlm. 266.30Syamsu Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 83.

17

Page 18: Makalah Tasawuf

karena pada dasarnya manusia bersifat sosial. Sebagaimana yang dikatakan

dalam syarah al-hikam yang ditulis oleh syekh DR. Said Ramadhan Al-Buthi,

ما نفع القلب متل عزلة يد خل بها ميدان فكرة

ومراد ابن عطنناءالله بكلمننة القلننب هنننا القلننب بمعننناهالحقيقي و ليس المعنى الجا زي المتمثل في العقل

ببننر بكلمننة ثا نيا : ينبغي أن نل حظ أن ابننن عطنناءالله ع .(عزلة) منكرة, ولم يعبر بكلمة (العزلة) معرفة

وبين النكرة والمعرفة فرق دقيق في المعنىز

كلمة (عزلة) منكرة تدل على التقليل بينما المعرفننة ب(أل) تدل على التكثير.. فعندما يقول : (مننا نفننع القلننب مثل عزلة) يعني مثل

شي ء من العزلة, ولو قال : ما نفع القلب متننل عزلننة,لكان معناه : ما نفع القلب متل عزلة الداءمة. وهو إنما يريد التنبيه ألى أن

المشروع والمطلب انما هو شيء من العزلة ل أن يتخذالنسان منها منهحننا خينناته كلهننا, فيبتعنند عننن الجمتمننع ويقصي نفسه عن

النند نيننا فنني كهننف مننن لغربننة والبتعنناد عننن الننناس و.شؤونهم

إن هذا الثاني يتنافى مننع الفطرةالنسننانية, إذ النسننان.31أجتماعي بطبعه

31 Said Ramadhan Al-Buthi, Syarah wa Tahlil Kitabul Hikam, Juz 1, (Damsyik: Darul Fikr, 2003), hlm. 168.

18

Page 19: Makalah Tasawuf

Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis

keruhanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya sehingga ia

tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti, dan tujuan dari hidupnya.

Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin.

Maka, lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi tersirami air sejuk dan

memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah

tujuannya. Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai keruhanian

atau lebih dekat pada Allah semata, melainkan juga bermanfaat dalam berbagai

bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan

yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan interdisipliner32.

Dalam kaitannya dengan problematika masyarakat modern, maka

secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu

menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya

sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-

jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka

terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.33Oleh karena itu,

peranan tasawuf dalam zaman modern sekarang ini, sangatlah dibutuhkan

bagi setiap muslim, karena tasawuf dalam kehidupan modern adalah untuk

memaknai arti ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga tidak

bersifat destruktif terhadap tatanan yang ada. Sementara itu IPTEK ber-

peran dalam memberikan kemudahan-kemudahan hidup bagi manusia. Kemu-

dahan yang dimaksud di sini adalah kemudahan dalam beribadah serta

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Modernisasi dapat mengantarkan man-

usia ke tingkat religiusitas yang agung, yakni pencarian terus menerus ben-

tuk-bentuk baru, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran.

Kreatifitas tersebut menganjurkan manusia untuk memikirkan masalah

modernisasi dan terus meningkatkannya.

Ahklak tasawuf adalah ilmu yang sangt berguna untuk membentuk

manusia yang humanis dengan moral yang luhur, ada beberapa metode dan

pembinaan ahlkak tasawuf modern yang telah dikenal masyarakat luas, yaitu:

1; Metode Manajemen Qalbu

32Syamsu Ni’am, hlm. 83.33M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 179

19

Page 20: Makalah Tasawuf

Manajemen qalbu atau manajemen menata hati bertujuan membentuk

manusia berhati ikhlas, berpandangan positif dan selalu menata hati

berdasarkan keimana kepada Allah.

2; Metode Zikir

Metode zikir dikembangkan oleh K.H. Arifin Ilham, seorang kiai

muda yang memiliki suara serak yang khas melalui majelis zikirnya di

Jakarta.

3; Metode Nasyid

Manusia modern, khususnya kaum muda sangat gemar dengan dunu

hiburan, terutama musik. Untuk itu, diperlukan musik alternatif yang

bermutu untuk membina keimanan dan akhlak kaum muda. Nasyid adalah

musik alternatif modern yang sehat. Biasanya para penikmat musik nasyid

jauh lebih islami dan berakhlak luhur.34

Menurut penulir, Selain ketiga metode di atas, pesantren juga dapat

menjadi tempat perkembangan tasawuf akhlaki di zaman modern ini.

Pesantren sebagai sub kultur memiliki posisi strategis untuk membentengi

umat dari proses desakralisasi dan despiritualisasi. Upaya yang dilakukan

pesantren adalah dengan memelihara dan menumbuhkembangkan nilai-nilai

spiritual menurut ajaran Islam, yaitu melalui tasawuf. Meskipun tidak semua

pesantren mengajarkan nilai-nilai tasawuf kepada santrinya, hampir dapat

dipastikan bahwa seluruh kyai pengasuh pesantren mengamalkan ajaran

tasawuf tertentu. Biasanya ajaran-ajaran tasawuf tersebut, walaupun tidak

diajarkan secara resmi dan langsung, tetapi bisa dilihat dari perilaku dan sikap

para santrinya. Kyai sebagi figur utama di kalangan pesantren adalah panutan

sehingga sikap hidup dan perilaku kyai yang bersumber dari ajaran tasawuf,

biasanya juga memengaruhi perilaku dan sikap para santrinya35.

34Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 258-16235Syamsu Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 209.

20

Page 21: Makalah Tasawuf

BAB IV

ANALISIS

A; Analisis Materi

Dalam analisis ini, penulis akan menambahkan satu metode baru yang

menurut penulis adalah perwujudan nilai-nilai tasawuf dalam bentuk baru di

zaman modern ini. Selain itu penulis juga mengungkapkan betapa pentingnya

tasawuf akhlaki di era modern ini.

Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu penge-

tahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab

ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi keilahian. Hal

inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia,

akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Wujud dari kemampuan manusia,

umumnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar

21

Page 22: Makalah Tasawuf

sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penun-

jang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan

martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan

kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang

ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat

Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.

Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika

insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan

nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka

hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya

yakni masyarakat sekitarnya. Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk

agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya

menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh

perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk

menyeimbangi perkembangan zaman. Sejauh ini, kita memahami bahwa

tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT

melalui segala jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll.

Disinilah letak pentingnya tasawuf menurut penulis, dimana tasawuf

dicari orang lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan

kebahagian sejati manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak

memiliki arah dan tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena

menjadi fundasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan

akhirat.

Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam harus dapat

menyesuaikan diri di dunia modern ini, karena kebanyakan manusia

didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan dan budaya Barat

yang materialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat

materialisme-sekularisme ini terbukti lebih bersifat destruktif ke timbang

konstruktif bagi kemanusiaan. Sudah disebutkan di atas tiga bentuk baru dari

tasawuf akhlaki di zaman modern, seperti metode manajemen qolbu, metode

zikir dan metode nasyid.

22

Page 23: Makalah Tasawuf

Menurut penulis, selain beberapa metode di atas yang telah

direformulasikan dari konsep tasawuf akhlaki oleh para ulama di masa ini. Kita

juga tidak bisa melupakan peran institusi keagamaan yang telah lama tumbuh

dan berkembang, yaitu pesantren. Pesantren sudah lama menjadi tempat

dimana tasawuf di pelajari dan diajarkan. Tetapi penulis melihat perlunya

membentuk ulang konsep tasawuf akhlaki ini agar sesuai dengan konteks

zaman modern ini. Hal ini dikarenakan agar tidak muncul lagi stigma negatif

dari masyarakat terhadap ilmu tasawuf, karena kadang kita jumpai masyarakat

yang menganggap ilmu tasawuf sebagai ilmu yang sesat.

Selain tiga bentuk baru tasawuf di zaman modern yang telah dipaparkan

di atas. Menurut penulis ada satu lagi bentuk baru dari tasawuf yang memang

berbeda secara zahir apabila dilihat dari bentuk kegiatannya. Tetapi secara

substansi memiliki nilai-nilai yang sama dengan konsep tasawuf, yaitu adalah

ESQ. ESQ (Emotional spiritual quostient ) adalah sebuah metode pebangunan

jiwa yang menggabungkan antara dua unsur kecerdasan, yaitu kecerdasan

emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan memanfaatkan kekuatan

kekuatan pikiran bawah sadar atau yang dikenal dengan suara hati ( God Spot).

ESQ ini bisa muncul karena kesalahan kehidupan masyarakat modern

yang hanya menekankan aspek IQ ini terjadi sejak dari sistem pendidikan

mereka selama ini yang terlalu menekankan pentingnya nilai akademik atau

kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke bangku

kuliah, jarang dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi (EQ) yang

mengajarkan: intregitas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan

mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau

sinergi. Hal ini dapat dilihat pada materi-materi pelajaran sekolah, dan materi

ujian tes evaluasi belajarnya, semuanya bertujuan untuk mengembangkan IQ

saja.

Pendidikan dalam masyarakat modern semacam ini bukanlah hal yang

baik untuk kelangsungan kehidupan manusia. Dikatakan oleh Ary Ginanjar

Agustian, bahwa hasil survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ,

menunjukkan bahwa semakin tinggi skor IQ pada anak-anak, kecerdasan emosi

(EQ) mereka justru turun. Hasil survei yang lain, yang dilakukan besar-besaran

23

Page 24: Makalah Tasawuf

tahun 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru, mayoritas mereka

mengatakan bahwa anak-anak sekarang (saat itu) lebih sering mengalami

masalah emosi dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu. Mereka

tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih

gugup dan cenderung cemas; impulsif dan agresif. Survei tersebut berlanjut

dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru tulis hingga eksekutif

puncak, dari perusahaan besar, hingga perusahaan kecil dan wirausahawan.

Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa kemampuan pribadi dan sosial

menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi). Mereka yang hanya

mengedepankan IQ saja, hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat

materiil yang dapat diraba, dirasa, dan diteliti secara ilmiah saja, namun dalam

hidup mereka akan mengalami kebuntuan dan terasa gersang36.

Untuk menjawab permasalahan masyarakat modern, yang hingga

sekarang cenderung hanya menekankan IQ saja, maka sebagai penyeimbang,

muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan EQ dan SQ pada mereka. Salah

satu usaha tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah konsep

yang diberi nama The ESQ Way 165. Dalam konsep tersebut kita diarahkan

pada sebuah keseimbangan antara body (fisik), mind (psikis) dan soul

(spiritual).

Meskipun konsep ESQ yang digagas oleh Ary Ginanjar Agustian ini

tidak menyebutkan diri sebagai aliran sufi, diantara materi besarnya sejalan

dengan tasawuf, dimana kita diarahkan pada kesadaran yang mendalam

mengenai hakikat diri kita, juga mengarahkan kita secara khusyu’ mendekatkan

diri pada Tuhan dengan kesadaran cinta yang mendalam. Hal ini pada akhirnya

mengantarkan kita pada kesadaran bahwa kita mengemban tanggung jawab

dari Tuhan untuk membangun kehidupan secara benar. Pengalaman ini

sebagaimana dirasakan oleh penulis selama mengikuti beberapa training yang

diadakan The ESQ Way 165. Pengalaman kekhusyu’an sedemikian ini

sebagaimana dirasakan penulis pada waktu mengikuti jamaah tarekat

Syadziliyah di Jombang, dan jamaah tarekat Naqsabandiyah di daerah Subra,

36Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2007), hlm. 39.

24

Page 25: Makalah Tasawuf

Mesir.

Disamping adanya kesamaan, juga terdapat perbedaan antara materi dalam

The ESQ Way 165 ini dengan aliran sufi secara umum. Adapun perbedaan

tersebut bahwa The ESQ Way 165 ini menyatukan antara kesadaran keilahian

dengan aspek ilmu pengethuan (science) yang dibahas secara rasional, dan

dikemas secara modern, sementara aliran sufi pada umumnya lebih

memfokuskan pada pendekatan diri pada Tuhan dengan ritual yang jauh dari

kesan modern. Disamping itu penekanan dalam berzikir yang dipakai dalam

The ESQ Way 165, diantaranya yaitu Asma’ul Husnah, lebih pada perenungan

makna yang terkandung di dalamnya, sementara pada tarekat-tarekat kelompok

sufi pada umumnya penekanan zikir lebih pada meresapi aura zikir itu sendiri,

dan biasanya masing-masing aliran sufi tersebut memiliki model zikir secara

khusus.

Dengan demikian berbagai macam bentuk implemetasi tasawuf akhlaki

di masyarakat modern, seperti, thariqat, Pesantren, maupun metode-metode

yang dilahirkan kembali dengan bentuk yang sesuai zamannya dari para ulama.

Dapat memiliki efek terpadu dalam mengarahkan seorang muslim untuk

berakhlak mulia dan melakukan perubahan yang positif di lingkungannya

sehingga dapat mencapai tingkat keshalehan yang utuh.

Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena

Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah

sekaligus. Ttasawuf juga menghendaki pelaksanaan syari’at, sebab tasawuf dan

syariat tidak bisa di pisahkan satu sama lain, apalagi di pertentangkan. Tasawuf

merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris

(lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi.

25

Page 26: Makalah Tasawuf

BAB IV

Skematika Pembahasan

26

Metode pembinaan Ahklak tasawuf di zaman ModernMetode manajemen qalbuMetode ZikirMetode NasyidMetode ESQ

Untuk melestarikan dan meperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:MunajatMuraqabah dan MuhasabahMemperbanyak wird dan zikrMengingat MatiTafajur

Takhalli Tahalli Tajalli

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.

TASAWUF AKHLAKI

Page 27: Makalah Tasawuf

BAB V

Kesimpulan

Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang

kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap

mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guana mencapai

kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan

eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah)

melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang

bermoral paripurna, dan berahlaqul karimah melaui pola penyifatan sifat-

sifat Allah.

Dan dalam ilmu tasawuf dikenal dengan tiga fase pendidikan jiwa dan

seni menata hati, yaitu dikenalai dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-

sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli

(terungkapnya Nur Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu

menangkap cahaya ketuhanan).

Di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah

kepada dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini

dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, masalah tasawuf mulai

27

Page 28: Makalah Tasawuf

mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif

mengatasi masalah-masalah tersebut.

Dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran tasawuf, maka manusia

akan sadar bahwa semua yang ada di dunia ini (termasuk eksistensi ilmu

pengetahuan dan teknologi modern) tidak lain adalah milik Allah.

Dalam kaitannya dengan problematika masyarakat modern, maka

secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu

menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya

sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-

jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka

terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.

Ahklak tasawuf adalah ilmu yang sangt berguna untuk membentuk

manusia yang humanis dengan moral yang luhur, ada beberapa metode dan

pembinaan ahlkak tasawuf modern yang telah dikenal masyarakat luas, yaitu:

Metode manajemen qalbu, Metode Zikir, Metode Nasyid, Metode Harakah

serta metode ESQ.

28

Page 29: Makalah Tasawuf

DAFTAR PUSTAKA

Al-Buthi, Said Ramadhan. Syarah wa Tahlil Kitabul Hika., Juz 1. Damsyik: DarulFikr. 2003.

Anwar, Rosihon dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

2006

As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2002.

Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan

spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1

Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga. 2007.

Kahmad, Dadang. Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern.

Bandung: Pustaka Setia. 2002.

Madjid, Nurcholish. “Pengalaman Mistik Kaum Sufi” , Tabloid Tekad, Nomor18/Tahun II, 6-12 Maret 2000.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000.

Natta, Abudin. Akhlak Tasawuf, cet. Ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

2002.

Nasr, Husein. Living Sufisme, diterjemahkanoleh Abdul Hadi. Sebagai tasawuf

dulu dan sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1985.

Ni’am, Syamsu. Tasawuf Studies, Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media. 2014.

Syukur, M. Amin. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.

Solihin dan Rosyid Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Penerbit Nuansa. 2005.

29

Page 30: Makalah Tasawuf

Sholikhin, Muhammad. Tradisi Sufi dari Nabi. Yogyakarta: Cakrawala. 2009.

Siregar, Rivai. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawali

Pers. 2002.

Syukur, Amin & Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf. Semarang: Pustaka

Pelajar. 2002.

Toriqqudin, Mohammad. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalamDunia Modern, Malang: UIN-Malang Press. 2008.

W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.1991.

Zahri, Musthafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu. 1991.

30