makalah sosio-psikologi sastra giet

39
TUGAS SOSIO-PSIKOLOGI SASTRA ANALISIS SOSIOLOGIS CERPEN “DI MALAM TAKBIRAN” KARYA SABILAA Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosio-Psikologi Sastra Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2009/A Dosen Pembimbing : Drs. Heru Subakti, M.M Oleh : INGGIT RETNA PALUPI NIM. 096093 SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

Upload: adi-akoe

Post on 03-Jul-2015

1.745 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

TUGAS SOSIO-PSIKOLOGI SASTRA

ANALISIS SOSIOLOGIS CERPEN“DI MALAM TAKBIRAN”

KARYA SABILAAUntuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosio-Psikologi Sastra

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2009/ADosen Pembimbing :

Drs. Heru Subakti, M.M

Oleh :

INGGIT RETNA PALUPINIM. 096093

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANPERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

JOMBANG

2011

Page 2: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................... 1

Daftar Isi ................................................................................... 2

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................... 3

BAB II : LANDASAN TEORI ................................................ 6

2.1 Pengertian Sosiologis Sastra................................................. 6

2.2 Unsur-unsur Dalam Sosiologis Sastra................................... 7

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen....................................................... 6

A. Tema dan Amanat......................................................... 8

B. Alur dan Plot.................................................................. 9

C. Perwatakan atau Penokohan ………………… 10

D. Sudut Pandang atau Titik Pandang................................ 13

E. Latar atau Setting........................................................... 14

F. Gaya Bahasa................................................................... 15

2.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerpen.................................................... 7

2.2.3 Nilai-Nilai Psikologis Cerpen............................................ 7

BAB III : PEMBAHASAN ...................................................... 17

3.1 Sosiologi Pengarang Cerpen “Di Malam Takbiran” ……… 17

3.2 Sosiologi Karya Sastra “Di Malam Takbiran”...................... 18

3.3 Sosiologi Pembaca Cerpen “Di Malam Takbiran”............... 20

BAB IV : PENUTUP ................................................................ 22

Page 3: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

4.1 KESIMPULAN …………………………………………. … 22

SINOPSIS …………………………………………………… … 22

DAFTAR PUSTAKA …………………………………… … 22

Page 4: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

BAB I

PENDAHULUAN

Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan

tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan

oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan

didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan

estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk

memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan

kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang

menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan

estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)

Pada pendekatan sosiologis berpandangan bahwa sastra merupakan pencerminan

kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang suka duka

kehidupan masyarakat. Bertolak dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang

dilakukan terfokus atau lebih banyak mamperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan

yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang

pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.

Suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat dimana dia di lahirkan.

Pada umumnya memang begitu, tetapi hal itu tidak harus Ignas Kleden (1981)

menyebutkan bahwa sastra adalah karya individualyang didasarkan pada kebebasan

mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia pertama-tama, karena merupakan

cermin diri sang pengarang itu sendiri: persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia

kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran

persoalan umum itu terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua, karena

kemampuannya menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa

kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa actual sementara ini. Tentu

saja dengan itu tidak dikatakan bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing dari

kehidupan masyarakat. Dia dapat juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat

Page 5: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

masanya, tetapi itu tanpa pretense mau menjadi juru bicara jamannya dalam arti yang

lengkap.

Kekurangan didalam sebuah cerpen yang memang hampir banyak ditemukan

diberbagai Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra ternyata

mendapat tantangan daripada tokoh, diantaranya Rene Wellek dan Austin Warren (1956).

Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan

sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan

biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial,

adat-istiadat, dan politik.

Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Djoko Damono (1978), tidak

sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang

mendesak, memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi nasib mereka

sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. Sastra karya

pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu

barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk

mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Dan karena sastra juga

akan selalu mencerminkan rekaan agar mencari nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat

diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap astra sebagai

cermin masyarakat, sebab masyarakat semakin menjadi rumit.

Didalam makalah ini penulis ingin lebih mengkhususkan membahas mengenai

pendekatan sosio-psikologi sastra yang terdapat didalam cerpen yang berjudul “di malam

takbiran” oleh pengarang bernama Sabilaa didalam majalah Femina.

Kelebihan didalam cerpen tersebut yang khas yang dapat dilihat adalah

kemampuan pengarang dalam menggemukakan secara lebih banyak makna tersirat

daripada tersurat yang ditangkap oleh para pembaca secara implisit dari sekedar apa yang

diceritakan yang terdapat dalam cerpen tersebut. Pembaca disuguhkan dengan

kepiawaian pengarang dalam menceritakan kejadian sehingga pembaca semakin

tertantang dan tidak mengalami kejenuhan. Kata demi kata di uraikan dengan baik.

Bahkan penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot,

namun tetap saling berkaitan secara logika.

Page 6: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

cerpen yang ditulis yaitu plot, plot yang disajikan dalam cerpen ini hanya terdiri

dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir bahkan penyelesaian

diserahkan kepada interpretasi pembaca. Penokohan, jumlah tokoh cerita yang terlibat

dalam cerpen ini terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh,

khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi

sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh dalam cerpen tersebut.

Page 7: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Psikologis Sastra Cerpen

Sosiologi adalah merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang masyarakat;

telaah tentang lembaga dan proses sosial. Selo Soemarjand dan Soelaiman Soemardi

(1990:20) menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu kemasyarakatan ialah ilmu yang

mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan

sosial. Pittirin Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari

hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala social. Hubungan

dan pengaruh timbale-balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial.

Psikologi sastra mempunyai kemungkinan pengertian. Yang pertama, adalah studi

psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, adalah studi proses kreatif.

Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.

Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pengertian

yang keempat berkaitan dengan sastra dan masyarakat. Yang berkaitan dengan bidang

sastra adalah pengertian ketiga. Sedangkan dua pengertian lainnya merupakan bagian dari

psikologi seni. Psikologi pengarang dan proses kreatif sering di pakai dalam pengajaran

sastra, tetapi sebaiknya asal-usul adan proses penciptaan sastra tidak dijadikan pegangan

untuk memberikan penilaian.

Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan

pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang

suka-duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak

dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih banyak

memperhatikan segi-segi social kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya satra

serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata

kehidupan.

Pendekatan yang mengungkap “konsep pengaruh”, merepresentasikan bahwa

kondisi sosiobudaya memiliki peranan penting bagi sastra. Jika berkiblat pada teori Taine

(Junus, 1986:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya

Page 8: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi oleh

kondisi sejarah dan kelas masyarakat, yang akan tampak pada gaya maupun bentuk

sastra. Bahkan, lebih jauh lagi super struktur masyarakat kadang-kadang sangat besar

penagruhnya terhadap kehidupan sastra. Hal semacam ini sulit disangkal, ketika bangsa

Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang panjang, ternyata telah

menyempitkan penerbitan karya sastra. Tidak sedikit karya sastra yang harus

“mengeram” sampai tidak menetas di penerbit, karena memang tidak ada dana lagi,

kalaupun ada sedikit pertolongan dari Ford Foundation, itu pun belum mampu

menerbitkna semua karya sastrawan, karena yayasan ini juga memiliki hegemoni

tersendiri.

Dan pendekatan psikologis adalah merupakan pendekatan penelaah sastra yang

menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra. Segi-segi

psikologis ini mendapat perhatian dalam penelaah dan penelitian sastra. Hal ini terjadi

disebabkan timbulnya kesadaran bagi para pengarang, yang dengan sendirinya juga bagi

kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini

tidaklah semata-mata dapat di ukur dari segi materi saja, tetapi juga dari segi rohaniah

atau kejiwaan.

2.2 Unsur-Unsur Dalam Psikologis Sastra Dalam Cerpen

Unsur-unsur yang menjadi kajian dalam psikologi sastra yang berupa unsur

intrinsic maupun ekstrinsik.

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen

Unsure intrinsic dalam cerpen terdiri atas tema dan amanat, alur, perwatakan,

sudut pandang, latar, dan gaya bahasa.

A. Tema dan Amanat

Tema merupakan omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan

dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan

dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang mempunyai pedoman dalam

ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, tema

Page 9: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam mengarap cerita,

sasaran tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu

alur.

Aminuddin (1987 : 91) mendefinisikan ide yang mendasari suatu cerita sehingga

berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang

diciptakannya. Lebiha jauh lagi Aminuddin memberikan beberapa langkah untuk

memahami tema.

Langkah-langkah tersebut melalui:

1. Pemahaman setting,

2. Memahami penokohan

3. Pemahaman satuanm peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa

4. Pemahaman plot dan alur

5. Hubungan pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan

dari satuan-satuan peristiwa

6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan

7. Identifikasi pengarang memaparkan cerita

8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya.

Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan.

Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar itu. Dengan demikian

tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam

seluruh cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu taka ada gunanya dan

artinya.

Brooks, Puser dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “ tema adalah

pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian

nilai-nilai tertentu yang membentuk atau yang membangun dasar atau gagasan utama dari

suatu karya sastra”. Dalam Tarigan (1986 :125)

Page 10: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

B. Alur atau Plot

Pendapat Jan Van Luxemburk yang di indonesiakan oleh Dick Hartono

mengemukakan bahwa alur atau plot adalah kontruksi yang dibuat pengarang mengenai

sebuah deretan peristiwa yang logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan

atau dialami para pelaku ( Hartoko, 1984 :149)

Aminudin (1987 : 83) mendifinisikan alur adalah rangkai cerita yang dibetuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita.

S. Tarif menyebutkan bahwa setiap cerita dapat dibagi dalam lima again:

a. situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

b. generating sircumstances (peristiwa ang bersangkut paut mulai bergerak )

c. rising action (keadaan mulai memuncak )

d. climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)

e.denonement (pengarang mulai memberikan pemecahan persoalan dari semua

peristiwa) dalam ( tarigan, 1986 : 128)

Didalam memahami buku cerita rekaan dijelaskan pengaluran adalah pengaturan

peristiwa membentuk cerita ( sudjiman, 1988 : 31 ). Ada beberapa cara yang dilakuakan

untuk mengetahui pengaluran dalam sebuah cerita yaitu :

a. Ad avo, jika sebuah cerita disusun dan dimulai pada awal peristiwa

b. In medis res, jika cerita dimulai ditengah kisah kemudian dipertautkan dengan

semua peristiwa sebelum dan sesudahnya.

c. Alih bakih atau sorot balik jika urutan kronologisnya peristawa- peristiwa

yang disajikan dalam karaya sastra disela denga peristiwa yang terjadi

sebelumnya.

Page 11: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

C. Perwatakan atau Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga

peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh

tersebut disebut penokohan (Aminuddin, 1984:85). Tokoh dalam karya rekaan selalu

mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada

tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas :

(a) Tokoh primer/utama

(b) Tokoh sekunder/tokoh bawahan

(c) Tokoh komplementer/tokoh tambahan

(Sudjiman, 1988:17-20; Sukada, 1987:160; Aminuddin:85-87).

Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh

dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan

atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks (Aminuddin, 1984:91-92).

Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiaanya selalu berkembang. Sebagai contoh ,

tokoh yang semula jujur, karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya

menjadi tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah ia sadar bahwa

dengan tidak jujur penyakit jantungnya menjadi parah. Tokoh statis adalah tokoh yang

mempunyai kepribadian tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh

yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Sedangkan tokoh yang

mempunyai karakter kompleks adalah tokoh yang mempunyai karakter beraneka ragam

kepribadian, misalnya tokoh yang di mata masyarakat dikenal sebagai orang yang

dermawan. Pembela kaum miskin, berusaha mengentaskan kemiskinan, ternyata ia juga

menjadi Bandar judi.

Sukada (1987:160) merangkum keempat pembagian di atas menjadi tokoh datar

(flat character), yakni tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round

character), yakni tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan bersifat dinamis.

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh

protagonis dan tokoh antagonis (Aminuddin, 1984:85). Tokoh protagonis adalah tokoh

yang wataknya disukai pembacanya. Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak

Page 12: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

yang baik dan positif, seperti dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai,

mandiri, dan setia kawan. Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang

mempunyai watak yang seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai kelemahan.

Oleh karena itu, ada juga watak protagonis yang menggambarkan dua sisi kepribadian

yang berbeda. Sebagai contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia

memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak dan istrinya sehingga anak dan

istrinya juga begitu sayang kepadanya. Contoh berikutnya bisa kita lihat, misalnya, pada

tokoh yang dikenal masyarakat sebagai orang yang pelit, padahal dia adalah pemilik panti

asuhan itu. Ia berbuat seakan-akan pelit untuk menutupi kedermawanannya. Ia takut tidak

ikhlas dalam beramal saleh.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh ini

biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negative, seperti

pendendam, culas, pembohong, menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan

ambisius. Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang bercampur dengan

sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang jujur, tetapi dengan kejujurannya itu justru

mencelakakan temanya; tokoh yang setia kepada negara, padahal negaranya adalah

negara penebar kejahatan di dunia; tokoh yang memegang teguh janji, tetapi janji itu

diucapkan pada orang yang salah dan berakibat fatal.

Boulton (dalam Aminuddin, 1984:85) mengungkapkan bahwa cara sastrawan

menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Mungkin

sastrawan menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku

yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang

memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku egois,

kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku dapat berupa manusia

atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, kaset,

dan sepatu.

Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui :

(a) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya

(b) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya

maupun caranya berpakaian

(c) Menunjukkan bagaimana perilakunya

Page 13: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

(d) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri

(e) Memahami bagaimana jalan pikirannya

(f) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya

(g) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya

(h) Melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu member reaksi terhadapnya

(i) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain

(Aminuddin, 1984:87-88).

Suardi Tasrif (dalam Mochtar Lubis, 1960:18) mengemukakan 7 macam cara

melukiskan perwatakan tokoh cerita, yaitu :

a) Physical description; menggambarkan bentuk lahir dari pelaku cerita.

b) Portroyal of throught streem of conscious ; pelukisan jalan pikiran atau apa yang

terlintas dalam pikiran tokoh.

c) Reaction to event: penggambaran tentang bagaimana reaksi pelaku terhadap

kejadian-kejadian.

d) Direct auther analysis: menganalisis langsung watak tokoh.

e) Discussion of environment: pelukisan keadaan sekitar lingkungan pelaku, seperti

keadaan kamar yang bias memberi kesan jorok, dsb.

f) Rection of others about to character: pelukisan mengenai bagaimana pandangan

pelaku lain terhadap tokoh utama.

g) Conversation of about to character: perbincangan oleh pelaku-pelaku lain

terhadap tokoh utama, untuk memberi kesan terhadap tokoh utama.

D. Sudut Pandang atau Titik Pandang

Pengarang serba tahu (auther emniscient) Titik pandang adalah tempat sastrawan

memandang ceritanya. Dari empat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,

tempat, waktu, dengan gayanya sendiri. Sedangkan menurut Aminuddin ((1984:105-107),

titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita

yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi :

Narrator omniscient

Narrator observer

Page 14: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

Narrator observer omniscient

Narrator the third person omniscient

Harry Shaw (dalam Sudjiman, 1988:76) menyatakan titik pandang terdiri atas :

Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan

pengarang dalam pendekatan materi cerita

Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah

dalam cerita

Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam

membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.

Sudut pandang pribadi dibagi atas :

Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh

Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan

Pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal; ia sama sekali

berdiri di luar cerita.

E. Latar atau Setting

Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin (1984:64) memberi batasan

setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi berupa tempat, waktu maupun peristiwa,

serta memilih fungsi fisik maupun fungsi psikologis.

Abrams (1981:173) mengemukakan latar cerita adalah tempat umum(general locale),

waktu kesejarahan (jistorical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances)

dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.

Leo Hamalian dan Frederick R. karell (dalam Aminuddin, 1984:64) menjelaskan

bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,

suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana

yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu

masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Kenney (dalam Sudjiman,

1988:44) mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita fiksi yang meliputi

penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian perlengkapan sebuah ruangan,

Page 15: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

pekerjaan, atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa

sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial,

dan emosional para tokoh.

Hudson (dalam Sudjiman, 1988:44) membagi setting atas setting sosial dan

setting fisik. Setting sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok

sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari

peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan, daerah, dan

sebagainya.

Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita rekaan. Mungkin

dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang menonjol adalah latar sosial. Penggambaran

latar ini ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara persis

seperti kenyataannya; ada yang gabungan antara kenyataan dengan khayalan; ada juga

latar yang merupakan hasil imajinasi sastrawannya.

Selain latar yang digambarkan secara jelas, ada juga latar cerita yang

digambarkan secara umum. Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembacanya. Bagi

sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita dapa

digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana, yang dialami tokoh.

Sastrawan juga bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi

peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan latar

cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita dapat membantu untuk

membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Latar juga bisa

membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam

rangka mewujudkan tema suatu cerita.

Dalam cerpen modern setting telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang

penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Hanya tahu dimana suatu

cerita terjadi tidak cukup. Setting dalam cerpen telah menjadi begitu kompleks terjalin

dengan unsur-unsur dan waktu tertentu tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah,

sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka,

kecurigaan mereka, dan sebagainya. Dalam cerpen yang baik, setting harus benar-benar

mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu harus

menghasilkan perwatakan tokoh tertentu, tema tertentu.

Page 16: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

F. Gaya Bahasa

Dalam karya sastra seperti cerpen, gaya bahasa mempunyai fungsi:

a) Memberi warna pada karangan, sehingga gaya bahasa mencerminkan ekspresi

individual.

b) Alat melukiskan suasana cerita dan mengintensifkan penceritaan.

Dalam kesusastraan Indonesia dikenal bermacam-macam gaya bahasa, diantaranya:

a. Metafora

b. Hiperbola

c. Simbolik

d. Asosiasi

e. Sarkasme

f. Sinisme

g. Asideton

h. Polisendeton

i. Repetisi

j. Eufemisme

k. Litotes

l. Paradox

2.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerpen

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra

itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organism karya

sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang

mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi

bagian didalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap

totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh kaerena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel

haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Wellek & Warren (1956), walau

membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya memandang unsur itu

sebagai sesuatu yang agak negative, kurang penting. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu

Page 17: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

karya, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat

bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.

Unsur yang membangun struktur fiksi ekstrinsik ialah permasalahan kehidupan,

falsafah, cita-cita, ide-ide dan gagasan serta latar budaya yang menopang pada kisahan

cerita dalam cerpen.

2.2.3 Nilai-Nilai Psikologis

Dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku

pada masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut

menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut/dilakukan pada

suatu masyarakat.

Nilai-nilai tersebut antara lain :

Nilai moral

Nilai social

Nilai budaya/tradisi

Nilai religi/agama

1. Nilai Moral

Nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti (baik dan buruk).

Misalnya :

Berbakti kepada orang tua

Jujur

Sabar

Ikhlas, dll.

Page 18: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

2. Nilai Sosial

Nilai-nilai yang terkait dengan norma/aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan

berhubungan dengan orang lain

Contoh :

Saling memberi Tenggang rasa Saling menghormati pendapat

3. Nilai Budaya/Tradisi

Nilai-nilai yang terkait dengan kebiasaan/ tradisi yang berlaku dalam masyarakat.

Contoh :

Adat istiadat : perkawinan, kematian, dll. Cara berpakaian Kesenian Upacara adat, dll.

4. Nilai Religi/Agama

Nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan beragama.

Contoh :

Cara beribadah kepada Tuhan Sistem kepercayaan/agama

Page 19: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

BAB III

ANALISA CERPEN

3.1 Sosiologis Pengarang Cerpen “Di Malam Takbiran”

Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan tentang status sosial,

ideology politik, dan lain-lain, yang menyangkut diri pengarang.

Ignas Kleden (1981) menyebutkan bahwa sastra adalah karya individual yang didasarkan

pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa tiba-tiba aku ingin pulang lebaran kali ini.

Barang kali karena sejak awal bulan puasa aku terus dibayangi mimpi tentang Bapak.

Ah, Bapak, dia orang yang paling ku kagumi. Meski tak banyak bicara. Bapak punya

perasaan yang lembut. Ia tak pernah memarahi aku maupun Ambar, adikku. Tapi, bukan

berarti kami di manjakan. Sebagai guru di sebuah SMP negeri dikota kami, Bapak

mendidik anak-anaknya dengan tegas dan penuh kedisiplinan.”Biarpun kamu anak

perempuan, kamu tak boleh bergantung pada orang lain,” itu selalu yang ditanamkan

Bapak pada kami.

Saat aku diterima bekerja sebagai teller disebuah bank pemerintahan dan Ambar

di bagian keuangan sebagai biro perjalanan, Bapak dan ibu begitu bangga kepada kami.

Ibu juga seorang wanita yang aktif dan mandiri. Ia bekerja sebagai karyawan bagian

administrasi sebuah perusaaan batik yang cukup terkenal di kota kami.

Meskipun kedua orang tua kami bekerja, kami hidup dalam kesederhanaan.

Ketika kami mulai besar, tak ada seorang pembantu lah pun yang dipekerjakan. Bukan

karena kami tak mampu, tetapi itulah salah satu cara Bapak dan ibu mendidik kami.

Semua kebagian tugas. Pagi-pagi adalah tugas ibu menyiapkan saarapan untuk kami

berempat. Aku kebagian mencuci dan menyetrika pakaian sepulang sekolah. Ambar yang

dua tahun lebih muda dariku, kebagian menyapu, ngepel. Membersihkan kamar—aku

berbagi kamar dengan Ambar---kami lakukan secara bergantian. Sementara Bapak ,

menyirami tanaman, mencabuti daun-daun yang kuning dan menyapu halaman.

Memasak, sudah tentu bagian ibu.

Page 20: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

Kepada kami, secara tidak langsung, mereka selalu mengajarkan rasa berbagi

dengan orang lain. Misalnya, jika ada rezeki lebih, Bapak maupun Ibu menyisihkannya

untuk mereka yang membutuhkan. Sering orang dating kepada kami, membutuhkan

bantuan dan Bapak seolah tak mampu untuk menolaknya. Aku pernah protes, kenapa

Bapak lebih suka memberinya kepada orang lain, padahal kami jarang sekali berpergian

di hari libur.

3.2 Sosiologis Karya Sastra Cerpen “Di Malam Takbiran”

Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang

menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa

tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang pengarang.

Rene Wellek dan Austin Warren (1956). Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis

atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat

bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan

situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik.

Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja

dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-

kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.

Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah

sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,

kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?

Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai dengan

Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton, pun tak

berhasil membujukku. Tidak juga Pras.

Sampai akhirnya—dua minggu lalu—setelah melakukan salat tasbih, aku

bermimpi bertemu Bapak. Laki-laki yang kukagumi itu memintaku untuk dating

menjengguknya. Lalu, aku seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Ketika kami duduk-

duduk di teras samping. Biasanya sore-sore seperti itu kami saling bercerita tentang

pengalaman hari itu. Bapak senang bercerita tentang murid-muridnya yang bandel tapi

dianggap lucu. Kami sering tertawa mendengarnya. Apalagi, Bapak menceritakannya

Page 21: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

secara ekspresif. Dalam mimpi itu, aku dan Ambar duduk berdekatan. Aku menyisir

rambut Ambar yang panjang dan mengepangnya. Kuberi pita kecil warna ungu muda,

faforit Ambar. Boleh dibilang, kami berdua jarang sekali bertengkar. Kami saling

menyayangi satu sama lain.

Mimpi itu seperti menyadarkan aku bahwa sikapku selama ini kepada Ambar

adalah siksaan yang tak berampun. Siksaan yang berkepanjangan. Lalu, apa arti ajaran

orang tua kami selama ini?Aku menangis diam-diam, ingat Ambar.

Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.

Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar

akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga

mengakibatkan kematian sang Bapak.

Aku tak bisaa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja

dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-

kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.

Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah

sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,

kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?

Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai

dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,

pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.

3.3 Sosiologis Pembaca Cerpen “ Di Malam Takbiran”

Sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh

sosialnya terhadap lingkungan atau masyarakat.

Bagi mereka yang tak pernah merasakan berlebaran di kampong, barangkali

pulang mudik seperti ini di anggap sebagai suatu penggorbanan besar. Bagaimana tidak,

perjalanan harus ditempuh dua sampai tiga kali lipat kondisi biasa. Tetapi, bagi orang-

Page 22: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

orang seperti kami, kelelahan ini tak seberapa artinya disbanding dengan kegembiraan

yang akan kami peroleh di kampong.

Lebaran di kampong jauh berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di kompleks

tempat tinggalku di selatan Jakarta. Hanya suara takbir di mesjid yang menandai bahwa

lebaran akan tiba. Suara beduk terdengar sayup-sayup dari sebuah surau kecil yang

terletak di perumahan penduduk asli di belakang kompleks kami. Selebihnya, sepi.

Sementara di kampungku, Panembahan, suasana malam takbiran begitu

menyenangkan. Para tetangga saling berkirim ketupat. Padahal, kadang-kadang kami

memasak lauk yang sama. Kata bapak, ini sebagai pertanda bahwa di antara kami selalu

ada rasa ingin berbagi. Hanya masakan Bude Atmo yang agak berbeda. Ia punnya menu

tambahan, seperti oseng kedelai dengan abon pedas. Menu ini keluar hanya pada saat-

saat khusus. Maklum, bagi kami dulu makanan yang bernama abon cukup mahal. Ibu

sendiri membeli abon hanya jika membuat nasi kuning ketika ulang tahunku atau Ambar.

Masakan Ibu yang menurutku tak ada tandingannya adalah, opor ayam kuning

dan sambal cabai hijau yang diberi potongan daging kecil-kecil. Sehabis salat magrib

berjamaah, kami menyantap hidangan yang lezat sambil lesehan di teras samping.

Biasanya, ada beberapa orang lain yang ikut makan bersama kami. Mereka adalah

penjaga mesjid, yang sengaja di undang Bapak. Kami makan sekenyangnya sampai sulit

bernafas.

Bapak kemudian mengajak kami berkelililng. Ada sekotak kecil uang yang kami

bawa. Uang itu adalah sisa-sisa belanja yang dikumpulkan Ibu setelah lebaran tahun

lalu. Sambil menikmati keramaian malam takbiran, kami membagi-bagikan uang itu

kepada fakir miskin yang kami temui dijalan-jalan. Biasanya kami mengutamakan para

pembersih jalan, tukang sampah, atau orang-orang tua yang tidak terurus.

“ Kita jauh lebih beruntung daripada mereka. Malam ini seharusnya mereka

duduk berkumpul bersama keluarga mereka, seperti kita. Tetapi, keadaan mengharuskan

mereka bekerja, supaya besok di hari Lebaran, suasana kota ini benar-benar bersih.

Nah, kita juga harus begitu, membersihkan hati dan harta kita, “ujar Bapak di kbiran di

suatu malam takbiran. Saat itu kami duduk di sebuah kursi kayu dekat alun-alun karena

kecapekan. Suasana di alun-alun cukup ramai. Kami baru pulang menjelang pukul

sepuluh malam dengan perasaan puas.

Page 23: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

Pembaca seolah digiring mengenai sebuah dendam masa lalu pada tokoh aku

yang mempunyai dendam sejak lama kepada adiknya yang telah melakukan sebuah

keteledoran. Pengarang seolah-olah menunjukkan kepada para pembaca bahwa dendam

yang berlebihan hanya akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain. Penggarang

seolah ingin menunjukkan bahwa hanya dengan berdamai lah kemarahan dan kedengkian

yang tak beralasan akan semakin memperkeruh suasana hati apalagi kepada saudara

kandung. Dan dengan saling meminta maaf dan saling memaafkan lah kedamaian

tercipta. Meskipun kejadian tersebut telah merenggut kehidupan sang Bapak namun

bukan seutuhnya kesalahan sang adik karena kondisi tubuh sang Bapak telah renta dan

sakit-sakitan. Hingga akhirnya kematian merenggutnya.

“Mbar, aku…,” sulit kulanjutkan kata-kata. Kerongkongan terasa sakit. Kutahan

sekuat daya agar air mataku tidak tumpah.” Aku ingin minta maaf, Mbar,” lanjutku,

tetapi hanya dalam hati.

Ambar menatapku dalam-dalam.”Mbak, masuklah. Mbakmassih lelah. Nanti kita

bicara lagi,” ujarku bijak. Ia menarik tanganku, ingin membimbingku masuk ke dalam

rumah. Tapsegera kutarik, tangan itu hingga kami berdiri begitu dekat. Sesaat kemudian

entah siapa yang memulai, kami saling berpelukan. Air mataku tumpah. Begitu pula

Ambar.

“Maafkan aku, Mbar. Maafkan aku…,” ujarku tersendat-sendat. Ambar

memeluku makin erat.

Page 24: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan

tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan

oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan

didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan

estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk

memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan

kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang

menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan

estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan Austin Warren membagi

telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang yang

mempermasalahkan tentang status sosial, ideology politik, dan lain-lain, yang

menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan

tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat

dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang

pengarang. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan

pengaruh sosialnya terhadap lingkungan atau masyarakat.

Klasifikasi tersebut hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Ian Watt

dalam bagannya bila dilihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurutnya mencakup tiga hal, yakni konteks

sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.

Page 25: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan

kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang

bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai personal di samping mempengaruhi isi karya

sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra

dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalah hal ini

ditelaah sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai

seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan pendidikan.

Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pencerminan dalam sosiologi

sastra yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut

penelitian mengenai hasil pemasaran dan penghasilan karya sastra. Termasuk pula

penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra penulis tertentu

dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap

penciptaan karya sastra, misa, pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan

pendekatan Marxis berkenaan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan pula,

pendekatan strukturalisme genetic dari Goldmann dan pendekatan Devignaud yang

melihat mekanisme universal seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen

sosial budaya yang mencatat sosiobudaya masyarakat pada suatu masa tertentu.

Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tak lahir dari kekosongan

budaya. Bagaimanapun, karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tak

terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat pada jamannya tersebut.

Demikian juga objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam

menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan

memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan

tertentu. Henry James mengatakan bahwa sastrawan menganalisa “data” kehidupan

sosialnya, memahami dan mencoba untuk menentukan tanda yang esensial untuk

dipindahkan ke dalam karya sastra.

Apabila realitas tersebut adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat

mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk

memahami pperistiwa itu menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra

Page 26: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

dapat menjadi alat bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan

tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Dan, sepert juga karya sejarah, karya sastra

dapat merupakan penciptaan ulang peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya

imajinasi pengarang.

Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.

Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar

akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga

mengakibatkan kematian sang Bapak.

Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja

dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-

kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.

Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah

sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,

kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?

Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai

dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,

pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.

Page 27: Makalah Sosio-psikologi Sastra Giet

DAFTAR PUSTAKA

Askuri, Ahmad. 2002. Pengantar Kesusastraan Indonesia. Kediri: Pelita Media.

J.S.& S.K.M. 1987. Apreasiasi Kesusastraan. Bandung

Sabilaa. 1999.Cerpen Di Malam Takbiran

Natawidjaya, P. Suparman. 1980. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: Intermasa.

Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada

Univercity Press.

Subakti, Heru. 2011. Sosio-Psikologi Sastra. Jombang: STKIP Jombang.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada.

Z. F, Zulfahnur. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah tahun 1997/1998