makalah sos pemb

Upload: muhrom

Post on 08-Mar-2016

272 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sosilogi

TRANSCRIPT

MODAL SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBANGUNANDosen Pengampu : DR. Zaini Rohmad, M.Pd

Disusun oleh:Kelompok 6 / Kelas B1. Muhammad Haris(K8412053)2. Novian Dwi P(K8412059)3. Ratih Nurseta(K8412066)4. Singgih Bayu(K8412076)

PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGIFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS SEBELAS MARET2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Salam sejahtera Nabi Muhammad SAW beserta sahabatnya sekalian yang setia hingga akhir zaman. Makalah ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak. Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Zaini Rahmad M.Pd sebagai Dosen pembimbing, mata kuliah sosiologi pembangunan. Akhirnya, atas segala bantuan, arahan dan bimbingan yang diberikan, penulis serahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Semoga menjadi amal dan mendapatkan pahala disisi-Nya.Amin Yarabbal Alamin.

Surakarta, 10 Maret 2015

( Kelompok 6 )

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar belakang

Gejala kekacauan, tingkah laku yang menyimpang dari pola normal akan memperlihatkan keteraturan bila kita dalam mempelajarinya cekatan menggunakan sistem analisa. Berbagai unsur dari gejala sosial berkaitan satu sama lain. Perkaitan unsur ini merupakan suatu sistem. Sebagai suatu sistem masing-masing unsur mempunyai fungsi tertentu dalam rangka keseluruhan. Apabila masing-masing unsur melakukan fungsinya maka tercipta suatu keseimbangan (equilibrium). Hubungan antar unsur-unsur dalam suatu sistem mewujudkan struktur tertentu. Bilamana suatu sistem tidak dapat mempertahankan keseimbangan maka pada suatu saat akan terjadi permasalahan. Dan untuk mengatasi hal tersebut masyarakat harus beradaptasi dengan sistem yang baru. Dalam suatu Negara pasti memiliki sistem yang telah direncanakan untuk pembangunan, baik itu infrastruktur maupun suprastruktur. Dalam konteks social budaya, Indonesia memiliki berbagai suku/etnis, ras, an agama. Kebudayaan antara etnis yang satu dengan yang lain juga pastilah tidak sama. Hal tersebut dapat menghambat keberlangsungan proses pembangunan jika proses pembangunan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Menurut Parsons setiap sistem memiliki empat syarat, yaitu :1. masalah adaptasi pengusahaan fasilitas yang diperlukan untuk memungkinkan kelangsungan sistem yang bersangkutan,2. masalah tuji'an-penen tuan yang hendak dicapai,3. masalah mempertahankan pola-pola usaha untuk mengatasi ketegangan yang ditimbulkan oleh tekanan dari dalam maupun dari luar,4. masalah integrasi-koordinasi unsur-unsur yang berbeda tetapi merunakan bagian dari sistem yang bersangkutan.

B. Rumusan masalah

1. Apa itu sistem sosial?2. Apa itu sistem budaya?3. Apa itu alternatif pembangunan?4. Bagaimana pembangunan melalui pendekatan budaya berlangsung?5. Bagaimana keterkaitan antara ekologi dan ilmu sosial dalam pembangunan?6. Bagaimana perubahan sosio kultural di Indonesia?

C. Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu sistem sosial.2. Untuk mengetahui apa itu sistem budaya.3. Untuk mengetahui apa itu alternatif pembangunan.4. Untuk mengetahui bagaimana pembangunan melalui pendekatan budaya berlangsung.5. Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara ekologi dan ilmu sosial dalam pembangunan.6. Untuk mengetahui bagaimana perubahan sosio kultural di Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Sistem Sosial

Unsur-unsur sistem sosial dari kesatuan sosial harus pula dibedakan dari unsur-unsur sistem budaya kesatuan sosial lain. Unsur-unsur sistem sosial terdiri dari peranan-peranan sosiai yang berhubungan satu sama lain. Peranan-peranan sosial tersebut didasarkan pada semacam pembagian kerja yang membatasi hak dan kewajiban. Peranan dasar yang diatur oleh aturan hukum Nasional ialah peranan warga negara yang memberi hak tertentu juga menuntut kewajiban tertentu sesuai dengan undang-undang, peraturan hukum lain. Di samping peranan warga negara biasa terdapat peranan lain, antara lain pedagang, guru, petani, isteri. tentara, ulama, penerbang, hakim. Peranan tersehat merupakan unsur-unsur sistem sosial. Bagaimana hubungan peranan itu satu sama lain merupakan suatu sistem. Sistem aturan hukum Nasional tidak merupakan satu-satunya sistem aturan hukum yang dijadikan pedoman bertindak oleh masyarakat. Sistem aturan adat di masing-masing masyarakat daerah mengakibatkan bermacam-macam peranan yang dikaitkan dengan hak-hak dan kewajiban tertentu menurut adat masyarakat daerah tersebut. Masing-masing warga daerah ditentukan hak dan kewajiban oleh aturan adat mereka masing-masing. Di samping peranan dasar ini masih terdapat peranan lain. Hal ini jelas terlihat di SUMBAR antara lain peranan mamak, peranan penghulu andiko, peranan penghulu. Di Batak ada peranan dongan sabutuha (semarga), hula-hula (asa'l isteri), boru (pihak menantu laki-laki). Begitupun ada peranan yang diadakan aturan aturan hukum agama Hak dan kewajiban seseorang yang diatur dalam keadaan tertentu mungkin berbeda daripada apa yang sungguh-sungguh dilakukan oleh orang-orang yang bersangkutan dalam keadaan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ada pertimbangan tertentu. Apa yang dilakukan tidak hanya memperhatikan aturan hukum yang berlaku juga memperhatikan pertimbangan lain. Itu lah sebabnya sistem budaya sering tidak cocok dengan sistem sesial masyarakat.

B. Sistem Budaya

Dalam mempelajari gejala sosial perlu lebih dahulu mengadakan pembedaan sistem budaya dengan sistem sosial. Kedua sistem ini sering dikacaukan sehingga unsur sistem budava dipersamakan dengan unsur sistem sosial. Tidak jarang orang berbicara tentang faktor sosial budaya untuk menggambarkan gejala non ekonomi. Apabila kita mempelajari sistem budaya dan sistem sosial maka perlu lebih dahulu dapat membedakan mana unsur sistem budaya dan mana unsur sistem sosial. Dengan damikian kita dapat mengetahui hubungan antara kedua sistem tersebut serta ketidak-serasiannya. Ketidakserasian ini dapat mengakibatkan ketegangan. Setiap kesatuan sosial mewujudkan unsur sistem budaya, yang terdiri dari antara lain kepercayaan yang dianut, pengetahuan yang dimiliki, bahasa yang digunakan, nilai yang dianut, aturan dan kewajiban masing-masing orang dalam keadaan sosial tertentu. Bila unsur-unsur ini berhubungan satu sama lain maka unsur-unsur ini merupakan bagian dari sistem budaya. Kalau ada unsur-unsur ini tidak merupakan bagian dari sistem budaya itu, berarti unsur itu merupakan bagian dari budaya lain. Aturan hukum yang merupakan satu kesatuan dianggap satu sistem aturan hukum. Masyarakat Indonesia mewujudkan keanekaragaman sistem aturan hukum. Masing-masing masyarakat suku Indonesia diatur oleh suatu sistem aturan hukum tersendiri, aturan adat masyarakat daerah yang bersangkutan. Warga masyarakat menilai aturan itu sah sehingga harus ditaati dalam komunikasi mereka. Agama Hindu, Kristen, Islam, Hindu Dharma merupakan agama yang dianut golongan masyarakat, masing-masing mengandung sistem aturan hukum tersendiri yang didasarkan kepada kepercayaan ajaran agama yang bersangkutan. Bagi penganut agama Kristen aturan agama Kristen sebagai aturan yang berlaku syah. Oleh karena itu harus ditaati dalam komunikasi mereka. Demikian aturan hukum Republik Indonesia merupakan aturan hukum yang harus ditaati setiap warganegara. Aturan hukum merupakan bagian dari suatu sistem aturan hukum tertentu (sistem aturan hukum Nasional) belum tentu serasi satu sama lain sebagai bagian-bagian suatu kesatuan vang terintegrasi. Bisa saja keserasian berbagai sistem aturan hukum yang diwujudkan oleh penduduk di wilayah negara kita satu sama lain belum tentu sama. Mungkin sistem aturan-aturan adat Jawa dalam banyak hal lebih serasi aengan sistem aturan hukum Nasional daripada sistem aturan adat Minang. Berdasarkan hal di atas kita tidak akan dapat menggambarkan masyarakat Indonesia tanpa memperhatikan aturan hukum dari sistem budaya masyarakat daerah manapun.

C. Alternatif pembangunan

Katz (1971) memberikan pengertian pembangunan sebagai perubahan yang luas dari masyarakat, dari suatu keadaan kehidupan bangsa ke keadaan lain yang lebih bernilai. Makna dan masalah pembangunan terlihat sangat berlainan dipandang dari masing-masing sudut dunia ideologik, seperti kapitalis yang disebut sebagai kaum revolusioner Marxis. Pada dasarnya sumber pemikiran model kapitalis dan aliran nonmarxis juga memanfaatkan dasar pemikiran Max Webber. Pemikiran Marx ialah pada konsep perjuangan kelas dan cara mencapai keadilan sosial/kemakmuran. Kemudian aliran ini diubah menjadi konsep konflik kelas. Dalam budaya pembangunan yang demikian dijanjikan bahwa semua manfaat pembangunan pada akhirnya akan meluas ke semua sektor dalam masyarakatmelalui dalil yang disebut trickle down effect dan spread effect (tetesan kebawah dan penyebaran). Konsekuensi nilai yang melekat pada budaya ini yakni mengekui adanya pertentangan yang tajam antara kaya dengan yang miskin, merupakan tahap yang tidak bisa diletakkan dalam proses pembangunan karena dalam tahap ini modal harus dihimpun dengan pesat untuk mempersiapkan tahap lepas landas. Tapi mitos trickle down effect dan spread effect ternyata tidak pernah datang pada golongan mayoritas miskin seperti yang dijajikan. Polarisasi dalam pembagian pendapatan dan kekayaan semakin meningkat, artinya kalau proses itu berjalan terus, maka kelas bawah memperoleh semakin sedikit dan bukannya semakin banyak.Aliran maxis terbagi menjadi dua yaitu golongan ortodoks yang dianut negara-negara yang diperintah oleh komunis, pada golongan ini markisme dijadikan yustifikasi perkembangan keadaan serta alat untuk mempertahankan status quo. Dan aliran yang lain adalah Neomaxis yang berkembang diEropa barat dan Amerika Utara. Perbedaan utama pada pemikiran marxis dengan neomaxis adalah dalam pembangunan adalah dalam memeandang determinan ekonomi sebagai penentu utama sikap, tingkah laku, dan nilai dari aktor pembangunan.Teoritisi dan praktisi pembanguanan dari kubu Marx selalu menawarkan satu-satunya strategi pembangunan yang benar untuk melawan kapitalisme yakni denagn revolusi dan penegasan sosialisme. Tujuan revolusioner yaitu mengubah keadaan masyarakat yang ada supaya dapat mendirikanmasyarakat sosialis tanpa kelas yang dicita-citakan serta yang dijanjikan lebih adil dan memuaskan. Definisi sosialisme yang lazim digunakan menunjuk pada sebuah sistem yang menempatkan alat produksi yang penting harus dibawah pemikiran negara dan bukannya swasta baik pribumi maupun asing. Alternatif pembangunan model sosialis ini merupakan jalan keluar terhadap kapitalisme.

D. Pembangunan melalui pendeketan budaya

Masyarakat Indonesia sedang dilanda ketegangan sebagai akibat sampingan modernisasi. Untuk menanggulangi diperlukan pembangunan kebudayaan Indonesia atau modernisasi. Modernisasi meliputi sikap-jiwa atau roh, kegiatan-kegiatan dalam proses mentransformasikan kebudayaan, masyarakat dan manusia sampai pada taraf perkembangan, dunia sekarang. Pembangunan berarti perubahan attitude manusia, perubahan manusia, masyarakat dan kebudayaan.Indonesia mengalami goncangan nilai yang bersamaan munculnya jurang pemisah antara generasi tua dengan generasi muda yang diakibatkan oleh politik kebudayaan. Keperluan akan pedoman kultural sangat diburuhkan guna mengembalikan rasa kepastian pada kalangan remaja yang gerak langkahnya tidak menentu. Dengan kultural tersbut diharapkan ditemukan bentuk-bentuk kebudayaan baru, pemberi makna bagi kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional dilaksanakan dengan pendekatan integratif. Pendekatan ini juga disebut pendekatan budaya.Perubahan sosial yang cepat dalam berbagai aspek sektor kehidupan tidak berjalan seimbang. Dalam jangka panjang maka akan menimbulkan disorganisasi sosial bahkan disintegrasi kultural. Olehkarena itu pembangunan sektoral harus dikaitkan kepada struktur sosial dan pola budaya. Di dalam proses pembangunan tersebut harus mengadakan sasaran antara yang berupa rangkaian masa transisi (tradisional ke modern) secara integral. Dengan pendekatan demikian diharapkan dapat mengembangkan sikap dan mentalitas masyarakat yang menunjang penghayatan identitas sebagai bangsa yang mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan kesukuan, daerahn disamping terciptanya integritasi nasional dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Apabila pendekatan tersebut dilakukan secara konsisten maka akan terciptalah suatu kondisi sosial budaya dimana manusia dapat merealisasikan pribadi dan potensinya. Terdapat sasara pendekatan kebudayaan, diantaranya yakni :1. Memelihara dan meningkatkan persatuan dan kesatuan nasional dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam dalam suku bangsa, agama, kepercayaan.2. Membina integritas nasional.3. Membina masyarakat yang bersifat terbuka dan demokrasi, sejahtera.Dalam setiap perubahan sosial selalu terdapat konflik dan integrasi, untk pendekatan terhadap fenomena tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan struktural fungsional dan pendekatan konflik.a. struktural fungsionalmasyarakat yang menyepakati niali-nilai kemasyarakatan akan menciptakan masyarakat yang terintegrasi, kesepakatan tersebut memiliki daya mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan. Masyarakat yang dapat mengatasi perbedaan kepentingan merupakan masyarakat sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi kedalam bentuk equilibrium. Pendekatan struktural fungsional menganalogikan masyarakat dengan organisasi biologik, anggapan dasar dari pendekatan tersebut adalah : Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yangs aling berhubungan satu sama lain Hubungan pengaruh dan mempengaruhi antar bagian bersifat ganda dan timbal balik Integrasi sosial tidak dapat dicapai dengan sempurna, tetapi secara fundamental sistem sosial akan cenderung kearah equilibrium yang dinamik Sekalipun disfungsi, ketegangan penyimpangan terjadi akan tetapi pada suatu saat akan teratasi melalui proses penyesuaian dan proses institusional Perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual melalui penyesuaiaan, perubahan yang terjadi secara drastis hanya mengenai bentuk luarnya saja sedangkan unsur sosial tidak seberapa mengalami perubahan Perubahan sosial terjadi melalui tiga macam kemungkinan: (1) penyesuaiaan yang dilakukan sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar. (2) pertumbuhan melalui proses differensiasi struktural dan fungsional. (3) penemuan baru oleh anggota masyarakat. Konsensus anggota masyarakat mengenai nialai-nilai masyarakat merupakan faktor yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial.Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat suatu tujuan, prinsip dasar tertentu terhadap dimana sebagian anggota masyarakat menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak perlu. Sistem nilai tersebut merupakan suatu sumber yang menyebabkan perkembanganya integrasi sosial serta merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosbud, sistem sosial merupakan sistem adri tindakan. Sistem sosial terbentuk dari interkasi sosial yang tumbuh diatas standar penilaian umum yang disepakati masyarakat, anatar lain norma sosial, norma sosial ini membentuk sturktur sosial.Manfaat dari adanya struktur adalah untuk menajdi kelangsungan hidup kelompok serta pelaksanaan fungsinya, apabila struktur dilaksanakan secara sengaja dinamakan organisasi, masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang saling berhubungan,secara langsung maupun tidak langsung, vertikal, horisontal, ada yang tumpang tindih, ada yang berdampingan, berantar-penetrasi, pendeknya susunan intern masyarakat sangat komplek. Namun tidak bersifat khas. Diantaranya ada suatu hierarki, koordinasi, keseimbangan, stabil, struktur masyarakat stabil karena suatu semen yang bertugas sebagai pelekat yang menghindarkan dari kahancuran, keruntuhan, serta kesimpangsiuran. Semen tersebut ialah kebudayaan yang memberikan isi,makna, tujuan kepada struktur masyarakat. Kebudayaan dapat bermakna demikian karena nilai, norma, cita-cita, ciptaan-ciptaan kebudayaan. Hal itu semua diitegrasikan kepada diri kita. Diintroyeksikan menjadi unsur kepribadiaan kita dalam proses pembentukan kepribadian. Itulah sebabnya struktur mayarakat bersifat stabil dala perubahan perubahan yang bersifat kontinu. Dari pegertian ini tidak tepat penggunaan istilah social order, the social organization yang membayangkan akan keruntuhan masyarakat, yang terjadi dalam maysrakat adalah suatu proses perubahan struktural yang kontinu, proses itu menunjukan aspek strukturasi, aspek de-strukturasi, aspek re-strukturasi, bila struktur diganti maka semnya harus diganti karena struktur didukung kebudayaan yang bertugas sebagai semen tadi, itulah sebabnya proses strukturasi, de-struktuasi,re-strukturasi selalu berbarengan dengan proses inkulturasi, des-inkulturasi,re-inkulturasi. Proses perubahan sosial adalah proses kembar dari perubahan struktural dengan perubahan kultural.Sering dipersoalkan faktor mana yang kausal primer diantara perubahan kultural dengan perubahan struktural. Apakah perubahan struktural menyebabkan perubahan kultural atau sebaliknya, sebenarnya masalah ini merupakan imaginasi, fenomena sosial terlalu komplek untuk menunjukan suatu kausalita yang unilateral, kausalita dalam masyarakat bersifat bilateral, malahan multilateral. Kausalitas sosial yang komplek ini menimbulkan konsep korelasi fungsional, status berkaitan erat dengan social roles tetpai cara menjalankan social roles itu mempengaruhi status orang yang bersangkutan, kita juga tidak bisa mengatakan kebudayaan spirirtual adalah faktor kausal primer, ataupun infrastruktur faktor geografik. Perubahan sosial adalah proses kembar dari strukturasi,de-strukturasi,re-strukturasi,yang bergandengan pula dengan inkulturasi,desinkulturasi, re-inkulturasi. Diantara kedau yang kembar itu ada suatu antara hubungan timbal balik yang amat erat, hubungan tersebut disebut korelasi fungsional.Pendekatan struktural fungsional menekankan anggapan dasar pada peranan unsur normatif dari tingkah laku sosial, hasrat perseorangan diatur secara normatif untuk menjamin terpeliharanya stabilitas sosial. Sebaliknya ada pendapat lain bahwa substratum yakni disposisi yang mengakibatkan perbedaan life change dan kepentingan yang bersifat normatif tidak mendapatkan perhatian dalam pendekatan tersebut diatas. Suatu kenyataan apabila setiap situasi sosial mengandung dalam dirinya dua hal,yaitu : tata tertib sosial yang bersifat normatif dan substratum yang melahirkan konflik. Timbulnya tat tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama tidak menjamin lenyapnya konflik malahan mencerminkan adanya konflik, anggapan dasar bahwa sistem sosial berkecenderungan mencapai stabilitas diatas konsensus para anggota masyarakat akan nilai umum tertentu menimbulkan anggapan bahwa disfungsi, ketegangan, penyeimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang komplek merupakan akibat pengaruh faktor yang datang dari luar, jalan fikiran ini mengabaikan hal-hal berikut : Dalam struktur sosial terdapat konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, unsur ini justru menjadi sumber terjadinya perubahan sosial. Reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang bersumber dari luar tidak selalu bersifat sesuai. Suatu sistem sosial dapat mengalami konflik sosial yang bersifat lingkaran setan Perubahan sosial tidak selalu berjalan setapak demi setapak melalui penyesuaiaan yang lunak akan tetapi adakalanya secara revolusioner.Karena pengabaian kenyataan seperti diatas maka pendekatan struktural fungsional dinilai kurang mampu menganalisis perubahan sosial , pendekatan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa koflik dan kontradiksi intern dapat merupakan sumber bagi terjadinya perubahan disamping kurang menerima kenyataan bahwa sistem sosial tidak selalu mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang datang dari luar. Memang ada sistem sosial yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang datangnya dari luar sehingga mampu mengikuti perubahan tanpa mengalami dis-integrasi sosial. Dissmping itu ada sistem sosial yang menolak perubahan dari luar dengan cara tetap memelihara status quo maupun dengan cara melakukan perubahan yang bersifat reaksioner, hal ini mengakibatkan bagian tertentu dari sistem sosial tersebut menjadi disfungsional yang menimbulkan ketegangan sosial, bila faktor liniar tersebut cukup kuat mempengaruhi bagian tanpa diikuti oleh pneyesuaian dari bagian lain maka disfungsi ketegangan tersebut akan berkembangan secara kumulatif sehingga mengandung terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner.b. Cnflict approachHal-hal yang tidak mendapat perhatian dalam pendekatan struktural fungsional justru mendapat pendekatan dalam pendekatan konflik, pandangan conflict approach berpangkal pada anggapan dasar bahwa: Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang terus-menerus. Setiap masyakat mengandung konflik. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan dagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial Setiap masyakat berintegrasi diatas dominasi sejumlah orang lainPerubahan sosial dipandang sebagai gejala yang melekat pada kehidupan bermasyarakat malahan bersumber dari faktor yang ada didalam masyarakat itu sendiri, perubahan sosial itu sendiri muncul karena adanya unsur yang saling bertentangan di dalam masyarkat, kontradiksi tersebut bersumber dari kenyataan bahwa pembagian kekuasaan didalam masyarakat yang tidak merata, pembagian kekuasaan tersebut menimbulkan konflik karena masing-masing menimbulkan kepentingan yang berlawanan satu sama lainnya. Pemilik kekuasaan memelihara status quo dari pola-pola hubungan yang ada, sedangkan pihak yang tidak memiliki kekuasaan ingin merombak status quo tersebut, kepentingan orang yang tak memiliki kekuasaan tersebut karena tidak didasari kepentingan yang laten, sedangkan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan disebut kelompok semu, kelompok semu tidak memiliki struktur hubungan sosial yang didasari tetapai mereka meiliki kepentingan dan mode-mode tingkah laku yang sama yang potensial menjadi kelompok kepentingan, ini berarti kelompok kepentingan berasal dari kelompok semu.Setiap kelompok semu dapat memelihara beberapa kelompok kepentingan, karena setiap kelompok memeiliki kepentingan yang berbeda maka kelompok tersebut secara potensial berada dalam konflik. Kelompok semu memungkinkan kelompok potensial memiliki: kondisi teknis dari setiap organisasi yaitu munculnya sejumlah orang-orang yang mampu mengorganisir latent interest dari kelompok semu menajdi amnifest interest berupa kebutuhan secara sadar yang dapat dicapai. Manifest interest tersebut dapat diwujudkan dengan merumuskan kedalam ideologi atau nilai. kondisi politits dari setiap irganisasi yaitu ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.Atas dasar demikian kita dapat menyimpulkan bahwasanya konflik selalu ada dalam masyarakat tinggal bagaimna masyarakat itu sendiri mengendalikan konflik tersebut agar tidak terwujud dalam bentuk kekuasaan, bentuk pengendalian sosial yang penting adalah konsiliasi. Konsiliasi dapat terwujud melalui lembaga yang dapat mengambil keputusan diantara dua kelompok yang saling bertentangan, agar lemabag tersebut berfungsi secar efektif harus memiliki persyaratan sebagai berikut : Bersifat otonom, yaitu dalam mengambil keputusan tidak berdasarkan pihak lain. Bersifat monopolistik, yaitu hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian. Berperan demikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan dapat terikat kepada lembaga dan keputusannya. Bersifat demokratik, setiap pihak harus diberikan kesempatan menyampaikan pendapat sebelum keputusan diambil.Tanpa syarat diatas maka konflik yang terjadi bisa saja pada suatu saat akan meledak. Agar kondisi yang tidak diingkan terjadi maka kelompok yang berkepentingan harus memiliki pra-syarat : Tiap kelompok harus sadar akan adanya situasi konflik yang membtuhkan pelaksanaan prinsip keadilan secara jujur. Pegendalian konflik akan lebih mudah apabila kekuatan sosial yang bertentngan terorgansisir dengan jelas. Kelompok yang terlibat dalam konflik harus emmatuhi aturan permianan.Tanpa syarat diatas bentuk lembaga diskusi apapun tida akan berfungsi dengan baik malahan dapat menyuburkan konflik. Dalam kondisi dimana kedua belah pihak yang ertentangan tidak menyukai kekerasan membutuhkan pengendalian mediasi. Dalam mediasi kedua belah pihak akan menunjuk pihak ketiga sebagai pihak yang akan memberikan nasehat untuk memecahakan pertikaian. Selain pengendalian diatas masih mungkin dibutuhkan pengendalian perwasitan. Dimana kedua belah pihak yang bertentangan dapat menerima kehadiran pihak ketiga. Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengendalian toleransi dimana toleransi merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan. Akomodasi yang lain adalah stalemate dimana pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, dan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan.Konflik yang timbul juga dapat dikendalikan dengan melalui akomodasi yang bersifat dimana pihak-pihak yang bertentangan mengurangi tuntutannya agar pertentangan tersebut dapat terselesaikan. Melalui pengndalian sosial yang bersifat efektif maka konflik sosial yang terjadi dianatara berbagai kepentingan akan menajadi berbagai kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang terus menerus. Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap yaitu : Invensi, yaitu proses dimana ide baru diekmbangkan Difusi, yaitu dimana ide baru dikomunikasikan kedalam sistem sosial Konsekuensi, perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat dari pengadaptasian atau penolakan inovasi.Kemudian tahap terakhir setelah konsekuensi ialah menyusutnya inovasi, unsur-unsur difusi ide-ide baru ialah : inovasi yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu kepada anggota suatu sistem sosial.Proses keputusan inovasi opsional melalui : Tahap keasadaran,dimana individu mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi. Tahap menaruh minat Tahap penilain, dimana sesseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru. Tahap percobaan, diamana seseorang menerapkan ide-ide baru. Tahap penrimaan, dimana seseorang menggunakan.Sedangkan untuk pengambilan keputusan inovasi kolektif melalui : Stimulus minat Inisiasi ide-ide baru dalam sistem sosial Keputusan untuk betindak Tindakan pelaksanaan ide baruTahapan dalam proses keputusan inovasi otoritas : Pengenalan tentang kebutuhan untuk inovasi Persuasi dan penlaian terhadap inovasi oleh unit pengambilan keputusan Keputusan berupa penerimaan atau penolakan Komunikasi keputusan kepada unit-unit adopsi oleh organisasi Tindakan atau implementasi keputusanDalam setiap inovasi dibutuhkan agen pembaharu, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pembaharu atara lain : Gencarnya usaha promosi Lebih berorientasi pada klien Kerjasama dengan tokoh masyarakat Kredibilitas agen pembaharu dimata klien.Kontak agen pembaharu dengan anggota masyarakat lebih sering terjadi dengan yang memiliki ciri-ciri : Berstatus sosial lebih tinggi Partisipasinya lebih tinggi Lebih tinggi pendidikan Klien yang lebih kosmopiliten.Salah satu prinsip komunikasi antar manusia yang penting adalah bahwa pengoperan ide-ide lebih sering terjadi antara sumber dan penerimaan sama tingkat, homofilius, homofili adalah suatu tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi sepadan dalam seperangkat perangkat tertentu seperti keprcayaan, nilai-nilai pendidikan, status sosial. Individu yang mempunyai kesamaan akan cenderung bergabung dalam satu kelompok, hidup berdampingan dan saling mengembangkan minat yang sama. Jika sumber dan penerimaannya homofili maka komunkasi lebih efektif, menggunakan bahasa daerah yang sama dan ciri personil yang sama, jika difusi interpersonal itu heterofili maka anggota masyarakat kan mencari pemuka pendapat yang status sosial yang lebih tinggi, lebih berpendidikan, lebih sering bertatap muka denganb media massa, lebih kosmopit, lebih inovatif, lebih sering berkomunaksi dengan agen pembaharu.Berdasarkan riset terdapat lima sifat inovasi, sifat mana secara empirik saling berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual berbeda, yaitu : Keuntungan relatif. Kompatibilitas Kompleksitas Trialabilitas ObservabilitasKeuntungan relatif dimaksudkan dimana sesuatu ide baru lebih baik dari pada yang lama. Sedang krisis adalah suatu yang mempercepat mendukung. Suatu krisis menyebabkan keuntungan relatif suatu inivasi lebih menonjol, karena itu mempengaruhi kecepatan pengadopsian, kompabilitas adalah sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman yang lalu dan kebutuhan. Ide yang tidak kompatibulitas tidak diadopsi secepat ide yang kompatibel, suatu inovasi mungkin kompatibel dengan : Bilai dan kepercayaan sosio-kultural. Dengan ide yang telah diperkenalkan terlebih dahulu. Dengan kebutuhan klien terhadap inovasi.Kompleksitas suatu ide memperlambat pengadopsian, sedangkan dapat dicobanya (triabilitas) suatu ide mepercepat pengadopsian pula, observabilitas (dapat diamati) suatu inovasi berhubungan posistif dengan kecepatan adopsi.

E. Ekologi dan ilmu sosial dalam pembangunan

Selama menyangkut kemungkinan pertumbuhan di masa yang akan dating, kita harus membedakan antara kelangkaan sumber daya alam dalam pengertian fisik dan fungsi ekologis atau lingkungan yang ada dalam berbagai ekosistem (Hueting, 1980). Untuk memahami kapan fungsi semacam itu terancam, para ekonom membutuhkan bantuan dari para ahli ekologi.Hingga baru-baru ini, persoalan interaksi antara ekologi dan masyarakat sangat menonjol karena ketidakhadirannya juga dalam ilmu sosial yang lain, dengan pengecualian pada antropologi sosial. Di dalam antropologi sosial, hubungan manusia lingkungan dan cabang-cabangnya lebih jelas terlihat daripada di dalam ilmu social yang sebagian besar berurusan dengan masyarakat industri yang terorganisasi secara fungsional dan struktur makro. Sudah cukup diketahui bahwa banyak antropolog, umumnya gagal, telah menekankan kepentingan lokal penduduk dalam hubungannya dengan bendungan atau bangunan berskala besar lainnya. Bagaimanapun, kemajuan seringkali memiliki jalannya sendiri.Akibat terabaikannya lingkungan alamiah manusia ini, hanya ketakutan yang meluas akan krisis ekologi globallah yang memaksa para ilmuan social dan ilmuan lain berurusan dengan masalah pembangunan menganalisis pembangunan sebagai sebuah proses yang melibatkan baik masyarakat maupun lingkungan. Semoga. Munculnya minat baru terhadap aspek ekologis pembangunan bukanlah mode intelektual yang sekedar lewat. Disiplin baru ekologi manusia, yang kini hadir sebagai suatu bidang pelatihan dan penelitian yang transdisipliner mungkin menyumbangkan sesuatu bagi paradigma semacam itu, asalkan dikembangkan sebagai studi gabungan mengenai kehidupan manusia yang hidup dalam dua sistem, ekologis dan sosial, yang disatukan oleh ketergantungan satu sama lain yang tinggi.Selama ini, strategi pembangunan tidak peduli akan faktor ekologi, namun ekologi pasti akan dimasukkan ke dalam paradigma pembangunan masa depan, agar memungkinkan analisis yang sistematis mengenai aspek lingkungan perubahan social dan ekonomi.Bentuk teritorial dan fungsional dari integrasi social (yang bisa dibandingkan dengan pemilihan organisasi social yang lebih terkenal; seperti Gemeinschaft versus Gesellschaft) saling melengkapi sekaligus saling berlawanan satu sama lain. Dominasi total prinsip teritorial akan berarti akhir Negara bangsa, namun ini merupakan prospek yang mungkin tak perlu kita khawatirkan. Masalahnya justru bagaimana mengurangi dominasi fungsi atas teritori, dan bagaimana mewujudkan penemuan kembali kehidupan territorial. Hal ini sebagian sudah terjadi ketika rakyat bereaksi, dengan caranya sendiri dan dengan sekuat tenaga, terhadap tantangan krisis perekonomian dunia yang mengambil wilayah local sebagai titik tolaknya (Stohr, 1988).Kesinambungan (kelestarian) adalah prinsip yang muncul dalam teori pembangunan sebagai konsekuensi keprihatinan lingkungan sejak awal 1970-an. Prinsip ini secara khusus dikaitkan dengan Brown dan Worldwatch Institute. Pesan utama yang dibawanya adalah bahwa tata ekonomi internasional lama ataupun baru tak satupun akan bertahan jika system biologis alam yang menopang ekonomi global tidak terpelihara (Brown, 1981, 1991).Pengalihan tanah pertanian dari produksi untuk bertahan hidup ke produksi hasil bumi untuk menghasilkan keuntungan, dan peralihan dari bahan pangan asli ke bahan pangan impor, seperti jagung dan beras, menciptakan ketidakamanan pangan global. Ancaman ekologis terhadap keamanan manusia ini jelas berkaitan dengan paradigma pembangunan yang umum dipakai dan hanya bisa ditanggulangi bila paradigma pembangunan ini dipertimbangkan lagi. Antara pertumbuhan mania dan ekologismeMomok kelangkaan tinggal tetap. Dengan demikian, masalah tetap pembangunan dalam konteks keterbatasan ekologi adalah sesuatu yang harus dibahas oleh ilmu social, walaupun mereka tidak siap. Pandangan ortodoks menegenai pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas sebagai semacam hukum alam, harus digantikan oleh paham relativisme historis. Kita harus memahami bahwa pembangunan adalah proses social konkret dengan sebab dan prasyarat tertentu yang memiliki kemungkinan untuk berubah karena keseimbangan kekuasaan yang relative diantara berbagai proyek social.Di lain pihak, kebencian umum terhadap pertumbuhan karena ia mengancam keseimbangan ekologis juga harus dihindari, karena tidak ada gunanya menggantikan satu mitos dengan mitos yang lain. Akibatnya, langkah maju ada diantara pertumbuhan mania dan ekologisme. Kesadaran akan ancaman yang berasal dari Scylla dan Charybdis ini sangat eksplisit dalam pemikiran sekitar konsep pembangunanberwawasan ekologi yang dimunculkan Ignacy Sachs.Gagasan mengenai ecodevelopment lahir dalam konferensi PBB mengenai lingkungan pada tahun 1972. Pencetusnya pada waktu itu adalah Maurice Strong, dan kemudian konsep tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ignacy Sachs, yang mengemukakan definisi ini :ecodevelopment adalah suatu gaya pembangunan yang dalam setiap kawasan ekologi, membutuhkan solusi khusus bagi masalah tertentu di kawasan tersebut berdasarkan data kultural dan data ekologi serta kebutuhan jangka panjang dan mendesak. Karena itu, pembangunan berwawasan ekologi dilaksanakan berdasarkan kriteria pembangunan yang dihubungkan dengan setiap kasus tertentu, dan penyesuaian diri terhadap lingkungan memainkan peran penting. (Sachs, 1974 : 9)Dalam banyak hal, pendekatan ini merupakan tantangan terhadap paradigma modernisasi yang jauh lebih radikal dibandingkan perspektif ketergantungan. Tidak hanya posisi dalam hierarki yang dipersoalkan melainkan juga nilai yang menentukan tatanan hierarkis itu sendiri. Menurut pandangan ini, tidak ada model untuk ditiru. Negara terbelakang hendaknya jangan mencari citra masa depannya pada Negara maju, tetapi dalam ekologi dan kebudayaannya sendiri. Pembangunan tidak memiliki makna universal. Tidak ada pembangunan pada dirinya sendiri, melainkan hanya ada pembangunan sesuatu, yang dalam kasus ini adalah kawasan ekologi tertentu. Strategi pembangunan menurut perspektif ini harus seefisien mungkin memandang memperburuk lingkungan dan menciptakan keterbelakangan.Desa yang amat terstratifikasi serta kawasan urban atau semi urban, sebaliknya, memerlukan aksi berbasis kelas tertentu, sebaliknya dibantu oleh jaringan aktivis eksternal yang berbasis territorial serta para sukarelawan pembangunan Dunia Ketiga dalam aksi. System Ketiga selalu berorientasi territorial dan begitu juga pembangunan berwawasan ekologi. Ethnodevelopment (pembangunan berwawasan Etnis)Strategi pembangunan seperti yang pernah diusulkan Julius Nyerere, memusatkan perhatian pada orang dan bukan barang/benda, karena berbagai tujuan praktis, harus berurusan dengan kelompok etnis, karena orang tidak terdiri dari individu ataupun Negara bangsa. Salah satu akibat yang tidak diinginkan dan masih belum dipahami sungguh-sungguh dari proses pembangunan aliran terbesar adalah meledaknya kekerasan etnis. Bagaimana konflik dan gerakan etnis terkait dengan pembangunan itu sangat kompleks, tetapi akibat yang berbeda, baik pertumbuhan maupun kemandegan pasti berdampak.Berikut ini, kita pertama-tama akan membahas beberapa insiden kerusuhan etnis yang terjadi baru-baru ini, kedua membahas tentang bagaimana kasus ini dapat dihubungkan dengan berbagai pola pembangunan, dan akhirnya mengeksplorasi prasyarat bagi sebuah model pembangunan berwawasan etnis, yaitu prinsip pembangunan yang mengembangkan potensi berbagai kelompok etnis yang berbeda, bukan membawa mereka ke dalam perseteruan. Lahirnya EtnopolitikYang dimaksud dengan etnopolitik adalah identitas etnis yang dimunculkan dan digunakan demi tujuan mobilitas politik. Etniisitas yang dipolitisir bukan gejala baru. Yang baru adalah gelombang tiba-tiba ketegangan etnis dan gerakan etnis yang sekarang kita saksikan dalam tiga dunia.Konflik etnis sering terjadi di seluruh dunia. Akan tetapi realitas kinflik etnis tidak lagi dapat diabaikan oleh para teoretikus dan praktisi pembangunan, karena munculnya etnopolitik bagaimanapun juga harus dihubungkan dengan pembangunan ekonomi. Masalahnya adalah kita tidak benar-benar tahu bagimana. Karena itu, pendapat Stavenhagen yang mengatakan bahwa pengabaian masalah etnis dalam pemikiran pembangunan bukanlah suatu kekeliruan, melainkan suatu kelemahan paradigmatic (Stavenhagen, 1986 : 77). Untk membangunan teori pembangunan lain, orang harus mengeksplorasi factor etnis dalam pembangunan pada kerangka kerja yang agak sederhana sebagai permulaan.waktu untuk membuat generalisasi dan teori akan menyusul. Perbedaan utamanya dengan teori pembangunan konvensional adalah asumsi bahwa masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok kebudayaan territorial, sekaligus secara perseorangan menjadi konsumen maupun produsen, pembeli dan penjual, pekerja dan majikan, dan lain-lain, serta penekanan kuat pada identitas etnis, bukanlah identitas kelas. Relasi etnis dan pembangunanCakupan persoalan ekonomi yang mungkin mempengaruhi hubungan etnis sungguh besar. Misalnya : perebutan sumberdaya yang langka, ketidakseimbangan regional, investasi infrastruktur dengan dampak yang besar terhadap sistem ekonomi, eksplorasi perbatasan baru, konflik bursa tenaga kerja, knflik distribusi, dll. Sebagian besar masalah ini mempengaruhi semua masyarakat, tetapi di dalam masyarakat multietnis, masalah tersebut lebih berat dan cenderung menetap. Mungkin ada efek menyebar dalam masing-masing kelompok etnis.Konflik yang berkaitan dengan pembangunan : proyek infrastruktural akan mempengaruhi ekosistem lokal walaupun dijalankan atas nama pembangunan, bisa mengakibatkan pemusnahan etnis. Konflik yang berhubungan dengan ketidakseimbangan pembangunan yang berarti bahwa wilayah tertentu mendapat posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan wilayah yang lian, dank arena itu menarik lebih banyak investasi beserta tenaga kerja ahli. Pusat-pusat semacam itu biasanya menjadi basis pembangunan bangsa, sementara rakyat di daerah pinggiran hanya menjadi warga Negara yang ogah-ogahan. Protes mereka biasanya diungkapkan dalam istilah etnis. Pembangunan dan pluralisme budayaDalam konteks ini, pemiliahan anatar prinsip pembangunan fungsional dan territorial yang sering kita rujuk sangat membantu. Menurut prinsip pembangunan fungsional, pada dasarnya pembangunan merupakan akibat spesialisasi dan pembagian kerja yang maju antar wilayah; menurut prinsip pembangunan territorial, wilayah itu sendirilah yang harus dikembangkan, bukan system fungsional yang lebih besar. Sifat structural melekat pada pendekatan territorial.Hubungan antara kedua prinsip ini pada satu sisi, dan konflik etnis pada sisi yang lain, mudah dilihat. Hamper semua kelompok etnis bersifat local, dan identitas kebudayaan mereka sangat terkait dengan kekhususan ekologi kawasan tersebut dan dengan cara memanfaatkan sumber daya alam. Proses pembangunan yang mengancam sistem ekologi suatu kawasan, dengan demikian juga merupakan ancaman kultural terhadap kelompok etnis yang hidup disana. Jelas bahwa proses semacam itu tidak bisa dianggap sebagai pembangunan bagi kelompok etnis yang kemudian terancam, kendatipun hal ini dipandang sebagai pembangunan di dalam makro sisem atau sistem fungsional.sebagaimana dianjurkan, Rodolfo Stavenhagen, proses pembangunan yang cocok buat kelompok etnis tertentu dapa disebut pembangunan yang berwawasan etnis (Stavenhagen, 2986). Ini merupakan konsep radikal karena menjungkirbalikkan konsep konvensional mengenai etnisitas sebagai penghambat modernisasi (Thompson dan Ronen, 1986 : 1).Dalam sebagian besar literature ilmu sosial, terdapat prasangka yang dalam terhadap identifikasi etnis dan sebaliknya dukungan bagi identifikasi nasional, betapapun tidak realistisnya proyek Negara bangsa tertentu. Namun, munculnya kembali etnisitas juga dapat dipandang sebagai penegasan identitas etnis yang sudah lama ada dalam proses pembangunan positif-sebagai bagian integral dari pembangunan. Sementara Negara (atau setidak-tidaknya aspek tertentu dari Negara) bukan etnisitas, merupan kendala bagi pembangunan.Dalam kasus etnis yang tersebar, nonteritorial, hal ini tidak berlaku, dan prinsip pembangunan berwawasan etnis akan lebih diungkapkan dalam perlindungan terhadap hak-hak budaya, religious, dan bahasa, di dalam kerangka system fungsional. Tetapi konsep kebudayaan itu mendasar bagi kedua situasi (territorial dan fungsional).Kadang dinyatakan bahwa strategi pembangunan harus mempertimbangkan kebudayaan Negara tertentu. Namun, kebudayaan nasional sering kali lebih artifisial dibandingkan kebudayaan regional dan etnis, kecuali jika satu kebudayaan subnasional dinaikkan psosiinya sebagai kebudayaan nasional. Ini merupakan pembangunan dalam kerangka pluralism kultural, berdasarkan anggapan bahwa berbagai komunitas yang berbeda dalam sebuah masyarakat memiliki adat istiadat yang unik serta system nilai yang berbeda (Worsley, 1984) konsepsi tentang kebudayaan semcam ini dapat dipertentangkan dengan konsep kebudayaan kegemonik, yakni bahwa kebudayaan itu disosialisasikan ke bawah dan menghasilkan kebudayaan nasional bersama, namun dalam kenyataannya berarti pemusnahan etnis.

F. Perubahan sosio kultural di Indonesia

Di dalam pembahasan, kami menggunakan pengertian social change di samping pengertian culture change. Secara teoretik kira dapat membedakan antara dua istilah teknis tersebut, akan tetapi didalam kenyataan sosial sukar dipisankan. Kedua istilah itu hanya dapat dibedakan di dalam analisa ilmiah saja. Social chan biasanya meneliti proses-proses perubahan yang terjadi dalam hubungan anti manusia, perubahan-perubahan yanq dialami oleh lembaga-lembaga dan organis masyarakat, transformasi dari struktur sosial dan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan perubahan tadi. Ruang lingkup yang diselidiki dalam social change adalah perubahan masyarakat sedang dalam culture change mengenai perubahan kebudayaan itu sendiri, yaitu keseluruhan cara hidup sesuatu masyarakat atau aspek aspek dari kebudayaan yang meliputi antara lain sistem nilai-nilai dan tingkah laku yan telah dipolakan. Membahas social change di Indonesia, tdak akan lengkap bila tidak menyelidiki perubahan kebudayaan indonesia. Kedua fenomen ini kait mengait. Perubahan dalam nilai kebudayaan sering menimbulkan peiubahan dalam struktur masyarakat.1. PRE REVOLUSIPerubahan sosial di Indonesia mulai terasa sejak masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia (krisis Indonesia Dewasa ini, terlampir). Kemudian disusul perubahan yang lebih cepat (Revolusi Sosial di Sumatera Timur) pada saat proklamasi kemerdekaan. Perubahan sosial yang terjadi sejak Revolusi Indonesia merupakan kelanjutan dari proses perubahan yang mendahuluinya. Perubahan sosio kultural itu semakin cepat sejak diadakan kegiatan pemba ngunan yang terencana (Repelita).Kegiatan pembangunan di daerah dapat digolongkan ke dalam bentuk yang sesuai/dengan sistem desentralisasi, sistem dekonsentrasi, sistem perbantuan Sistem perbantuan itu dikenal dengan nama Inpres. Kegiatan pembangunan yang berdasarkan Inpres dalam kenyataan telah merangsang daerah untuk heipartisipasi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan keselarasan pembangunan Sektoral dan Daerah, meningkatkan laju pertumbuhan antar daerah. meninqkatkan derajat kesehatan, memperluas kesempatan belajar. Fenomena di atas memmbulkan perubahan sosial sehingga dapat dikatakan bahwa Inpres merupakan alat untuk merubah sosial.Perbedaan kualitas dari kuantitas proses perubahan itu dilihat dari sudut waktu kejadiannya sebelum kemerdekaan dan sesudahnya), dapat dikatakan perubahan-perubahan yang terjadi sesudah proklamasi kemerdekaan rliberi arah dan dasar. Dengan sendirinya telah diperhitungkan adanya desintegrasi dan disorganisasi dalam berbagai-bagai segi kehidupan dengan usaha mengurangi destruksi menuju ke arah reintegrasi sosio- kuitural yang baru. Apabila usaha tersebut dievaluasi kita mendapatkan kesan tidak seluruhnya berhasil. Artinya dewasa ini masih terdapat dtscrepaney yang besar antara harapan dan kenyataan, antara kemajuan edukasi dan lapangan kerja yang tersedia yang adekwat, antara kehidupan di kota dan di pedesaan, antara materi dan spiritual demands dan kondisi-kondisi sosio-kultural-ekonomik. Pertumbuhan ekonomi dengan investasi infra struktur menumbuhkan social change yang mendalam dalam segenap lapisan masyarakat. Secara perlahan nilai-nilai dan pola-pola baru menggantikan yang rapuh dan kolot. Masyarakat baru mulai tumbuh yang dipelopori oleh generasi muda, yang lazimnya lebih mudah menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.Perubahan-perubahan sosial budaya disebabkan oleh faktor-faktor yang datangnya dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri. Pada umumnya faktor-faktor yang menimbulkan perubahan di dalam kehidupan sesuatu masyarakat datangnya dari luar masyarakat itu. Jadi disebabkan oleh difusi kebudayaan. Konsepsi-konsepsi sosial, kebudayaan, ajaran-ajaran agama dan filsafat menyatakan invention dan discovery timbul sekali saja ui dalam masyarakat, kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Studi mengenai proses social dan cultural change mempelajari bagaimana aliran-aliran fikiran, ajaran-ajaran agama atau sistem-sistem ekonomi dan politik atau nilai-nilai yang datang dari luar masyarakat itu diterima dalam tata kehidupan yang baru. Dari kenyataan pengalaman disimpulkan bahwa gerakan-gerakan yang secara horizontal dan vertikal menimbulkan desimegrasi dan disorganisasi sosial, yang-kemudian menemukan tempatnya dalam struktur masvarakat yang baru sebagai bagian yang terintegrasikan. Dalam pada itu selalu ada kemungkinan bahwa kebudayaan yang baru itu tidak menyesuaikan diri tetapi merubah sama sekali struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik. Jadi seluruh struktur kebudayaan mengalami perubahan yang prinsipal daiam nilai-nilai mondial dan orientasi spiritual.Apabila kita mempelajari sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Indonesia, akan terlihat bahwa masyarakat Indonesia sering mengalami perubahan-pembahan sosio kultural, yaitu pada setiap kali ada unsur kebudayaan dari luar memasuki masyarakat Indonesia. Hal itu menimbulkan proses akulturasi, integrasi maupun asimilasi dalam masyarakat. Jika kita pelajari pengaruh yang datang dan luar tampaklah bahwa pengaruh-pengaruh kebudayaan itu (Hinduisme/Budhisme dan kemudian Islam) tidak sama intensif dan luas penyebarannya Makanya dalam satu bagian masyarakat penganut Hinduisme telah diintegrasikan sepenuhnya sebelum datangnya agama Islam sedang pada bagian masyarakat yang lain Islamlah yang amat mempengaruhi cara-cara hidup dan sistem sosial tradisional. Dengan datangnya pengaruh Barat agama Islam tidak menjadi mundur akan tetapi malah mendapatkan kedudukan yang lebih kuat.Akar dari pergerakan nasional yang modern itu tumbuh secara kultural dari gerakan Islam. Walaupun demikian unsur-unsur kebudayaan tradisional seperti chanstruktur dan stendenstruktur yang kaku itu tidak pernah hilang oleh pengaruh agama dan kebudayaan Islam. Dalam susunan masyarakat sebelumnya kita hanya mengenal lapisan aristokrasi dan golongan petani. Lapisan aristokrasi merupakan golongan yang tersendiri yang hidupnya berputar di sekitar isu pangkat dan kedudukan, menggambarkan tangga-tangga jenjang kekuasaan. Hubungan antara raja dan rakyat lebih merupakan hubungan yang religious (G.A. Almond and J.S. Co-leman : The politics of the developping areas I960). Cora du Bois melukiskan hubungan antara ranyat golongan petani dengan rapi (kaum aristokrasi), sebagai berikut: The wealth and the sexual potency of the ruler, the splendor of the court and the temples were projected end sublimated expressions of cultural well being. The lords seem to have been loss masters of serfs and more an expression of the peasantry's greatness. The state was not the exclusive agresive structure of European nationalism "but was rather the symbol oi world order and the expression of a system of proporties human and superhuman relations. (Cora du Bois : Social Press in South fast Asia 1949). Hubungan semacam ini tidak pernah diganggu oleh pengaruh Barat sampai pada abad XIX. Pada beberapa bagian masyarakat terdapat perubahan-perubahan yang memang sangat revolusioner, tetapi pada bagian, lain perubahan tidaklah sedemikian ekstrimnya, masih tampak menonjol cara-cara hidup dan adat istiadat yang tradisional. Jika kita teliti secara seksama, maka yang diintroduksikan oleh dunia Barat (khususnya pada abad XIX itu) adalah role-role baru yang tidak banyak hubungannya dengan system of rules yang lama yang merupakan landasan dan dasar daripada masyarakat tradisional. Dan pola-pola baru yang muncul sebagai akibat daripada sistem sosial yang dibawa oleh Barat ke Indonesia menjadi semakin luas dan merupakan faktor-faktor desintegratif. Masyarakat tradisional yang di masa lampau hanya mengenal desa, kabupaten dan kraton, melihat timbulnya kota-kota sebagai pusat-pusat perdagangan dan pusat pikiran-pikiran dan cara-cara kerja yang baru, proses sosial dan cultural change itu bergerak cepat secara horizontal dengan dipergunakannya teknologi yang modern yang menggunakan tenaga mesin dan tenaga uap. Perubahan ini menimhulkan fenomena sosial dan psikologi yang baru yang membutuhkan kondisi-kondisi sosial dan psikologik yang adekwat.Faktor-faktor utama yang menyebabkan adanya social change adalah faktor teknologi dan kultural. Social change di Indonesia dalam satu setengah abad yang terakhir ini, karena faktor-faktor teknologi (industrialisme), dan faktor kultural {yang fl bersifat khusus sosial ekonomi yaitu Nasionalisme, dan kapitalisme, Imperialisme Eropan) memperoleh bentuk khusus. Imperialisme yang berkembang akibat tiga buah geiala teknologi, sosial ekonomik : industrialisme, nasionalisme dan kapitalisme (Imperialisme modern) itulah yang terdapat di Indonesia pada pertengahan terakhir abad XIX (tahun 1870). Imperialisme modern ini merupakan produk dari kepentingan dasar antara Barat dan Timur, yang berakhir dengan goncangannya sendi-sendi kehidupan di Asia dan Afrika.Dan jika kita simpulkan pokok-pokoknya mengenai perubahan-perubahan yang terdapat di Indonesia pada bagian abad XIX maka dapat kita sebut :1) Tanam paksa diganti dengan kerja bebas. 2) Indonesia dimasukkan dalam lalu lintas ekonomi dunia. 3) Rumah tangga agraris yang tertutup berubah menjadi rumah tangga uang yang terbuka. 4) Kekuasaan kaum feodal terhadap rakyat berkurang dan pekerjaan wajib diganti dengan pekerjaan bebas. 5) Ikatan komunal di desa bertambah renggang,: penduduk mendapat hak milik. 6) Timbullah desintegrasi dalami: nilai-nilai etik dan moral karena Europeanisasi, christianisasi dani rasionalisasi. 7) Penduduk mulai banyak meninggalkan desa dani pergi ke kota. Mulailah kita dapatkan embrio daripada masalah! urbanisasi sekarang. 8) Timbullah masalah perburuhan. 9) Cara cara berfikir tradisional diimbangi oleh fikiran-fikiran yang rasional.Apabila kita bandingkan masyarakat Indonesia sebelum abad XIX dengan masyarakat Indonesia pada permulaan abad XX ini secara sosiologik maka dalam masyarakat terakhir ini pada lapisan yang paling atas terdapat kaum penjajah yang berkulit putih yang dilihat dari sudut kepentingan dasar bertentangan secara diametral dengan bangsa Indonesia. Mereka sedapat mungkin hendak mempertahankan orde kolonial dengan sistem politik, ekonomi, sosio kultural dan militer yang kolonialistik. Orientasi spiritualnya ditujukan kepada dunia dan peradaban Barat, yang menggunakan sistem nilai-nilai dan ukuran-ukuran etik peradaban Barat. Seluruh way of lifenya adalah Barat, dan tidak mau sama sekali menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosio-kultural di Indonesia. Kemudian dalam menetapkan ukuran-ukuran dan sistem nilai-nilai dikemukakan, bahwa way of life Barat, ukuran-ukuran Barat dan nilai-nilai etik dan estetik lebih tinggi dan lebih mulia daripada the native of life. Di antara dua cara-cara hidup dan dua dunia itu ditarik sebuah garis yang tidak dapat dilalui, yaitu garis warna yang diskriminatif. Dan dimitoskanlah satu idea melalui edukasi dan saluran pemerintahan serta dengan cara-cara halus maupun kasar, bahwa superiouriias Barat adalah pemberian Tuhan, Oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun. Di bawah lapisan kaum feodal dan pegawai golongan menengah terdapat lapisan yang secara politik dan ekonomik tidal mempunyai kekuasaan dan kekuatan sama sekali. Sebagian kecil dari golongan ini mendapatkan pendidikan Barat. Sering sekali dalam hidupnya berdiri di atas dua dunia, yaitu dunia Barat dan dunia tradisi kebudayaan sendiri. Dalam satu fihak ingin merangkul modernisasi sedang dalam fihak lain masih ingin berpegangan pada adat kebiasaan tradisional. Golongan inilah yang kemudian di dalam jaman kemerdekaan memegang pimpinan kenegaraan dan kemasyarakatan. Sambil mengadakan redukasi diri sendiri, dalam menanggapi challange dan demand yang timbul dalam revolusi Indonesia di tengah-tengah abad XX (Abad Atom dan Abad Outerspace Revolution). Di bawahnya terdapat golongan menengah yang hampir seluruhnya diisi oleh orang-orang asing dari Eropa maupun Asia, yang pengaruhnya dan dominasinya hingga sekarang kita rasai. Oleh karna itu secara kultural tidak dapat berkembang dengan wajar, tak sanggup menanggapi tantangan jaman. Walaupti lapisan tam telah rusak kehidupan ekonominya karena masuknya sistem ekonomi yang kapitalistik, tetapi karena pendidikan barat yang membawa nilai-nilai sendiri tidak pernah menyentuh alam fikiran lapisan ini, maka dalam kebudayaan lapisan kaum tani itu masih tersimpan sifat-sifat yang baik dan adat-kebiasaan yang konstruktif. Hal itu mungkin dapat digunakan dengan reinterpretasi yang baru dan penyesuaian sebagai unsur-unsur bagi per bentukan kebudayaan baru di Indonesia. Tetapi apakah bangsa Indonesia dapat mempertahankan nilai-nilai itu (antara lain nila nilai kekeluargaan, gotong-royong, ramah-tamah, kemanusiaan di dalam kehidupan serba mesin yang bekerja secara efisien yang menonjolkan sifat-sifat yang individualistik. Masing-masing lapisan dan golongan yang tersebut di atas hidup dalam lingkungan sosia sendiri sebara eksklusif. Dalam susunan masyarakat jajahan semacam itu tiap tiap lapisan membentuk way of lifenya sendiri sehingga kita dapat berbicara tentang keseimbangan social, satu sosio-cultural equilibrium dalam makna yang relatif. Ini sebagai satu kondisi sosio di mana segi-segi kehidupan satu sama lain saling menutupi dan memenuhi.2. REVOLUSIStruktur sosial masyarakat Indonesia itu kemudian mengalami perubahan-perubahan besar disebabkan oleh faktor-faktor yang besar pula, antara lain perang dunia II. Revolusi Indonesia sebagai kulminasi daripada pergerakan Nasional Indonesia, pengaruhnya tidak berhenti sampai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tetapi menjangkau jauh ke masa datang. Revolusi berarti perubahan yang radikal, perunahan dari akar-akarnya, perubahan uari struktur vang fundamental. Di dalam Revolusi Indonesia memang terjadi banyak perubahan. Perlu mengadakan penelitian tentang apa yang sebenarnya telah berubah secara radikal. Apakah sekedar penyesuaian diri atau bentuknya saja berubah sedang isinya tidak. Apakah yang tidak mengalami perubahan sama sekali. Das sein dan das sollen revolusi harus kita evaluasikan dengan ukuran ilmu. Menggunakan ukuran-ukuran ilmu berarti harus memperhati semua faktor, termasuk didalamnya faktor politik yang sangat besar pengaruhnya didalam kehidupan revolusi Indonesia.Republik Indonesia memasuki kemerdekaannya dalam keadaan yang serba sulit, karena harus menghadapi tentara Jepang, yang mendapat tugas kepolisian dari sekutu. Harus puia menghadapi tentara Sekutu sendiri yang diboncengi oleh tentara Belanda. Dengan modal beberapa filsafat Pancasila Undang-undang Dasar 1945 harus dibentuk, Republik Indonesia. Rakyatnya yang ada pada waktu itu mempunyai Kondisi moral yang amat tinggi, karena ada harapan dan keyakinan bahwa hari depan kemerdekaan itu akan memberikan kebahagiaan, keadilan dan kebenaran. Memasuki alam kemerdekaan berarti harus menempuh satu fase transisi yang menggoncangkan fikiran dan emosi. Bangsa Indonesia ingin meninggalkan dunia lama dan memasuki dunia baru, tetapi jalan ke arah itu belumlah pernah dirintis, masih harus dicari cari dan dicoba-coba. Dunia lama yang ditinggalkan adalah dunia imperialisme, dunia kapitalisme. Sedang dunia baru yang ingin dicapai adalah dunia Nasionalisme, dunia sosialisme yang dasarnya Pancasila. Dunia lama adalah penuh dengan kemiskinan dan penderitaan. Dunia baru menggambarkan kemakmuran dan keadilan.Masa peralihan memang senantiasa merupakan masa yang sulit. Merombak tata susunan negara kolonial menjadi tata negara nasional sulit. Menjelmakan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional tidaklah mudah. Menjelmakan laskar menjadi satu tent nasional yang teratur dan berdisiplin, yang dapat menghadapi tar tangan dunia modern amat sulit. Merubah mental kolonial menjad mental bangsa yang merdeka, yang berkesadaran bernegara, kebangsaan, hukum; membutuhkan waktu dan persiapan, pengertian dan pengetahuan, disiplin dan rasa tanggungjawab. Semuanya itu harus berjalan bersama-sama, karena memang proses kemasyarakatan mengandung sifat sedemikian cepat dan luasnya sering tida sempat dipersiapkan, sering tidak mengikuti hasil research da planning. Masalah yang satu belum selesai dikerjakan masalah yang baru sudah datang. Masalah itu datangnya tidak satu per satu melainkan secara frontal kepada kita.Keadaan sekarang merupakan epilog satu jaman yang baru| mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam bidang politik sosiologik dan sosial psikologik, yaitu komunisme. Kejadian itu tentu membawa persoalan yang bersifat integral, yang menimbaf pemecahan secara konsepsional, disertai petunjuk-petunjuk ope rasional bagi pengamanan Pancasila. Apabila kita tinjau kemba revolusi kita, dari segi sosiologik dan sosial psikologik dan antre pologik (walaupun terdapat stracirikasi sosial yang berlapis-lapis dan kelompok sosial yang banyak ragamnya, yang menggambarkan bermacam-macam status dan role), tampak bahwa masyaraka| kita terbagi menjadi dua yaitu massa dan pemimpin. Ini tent mempunyai pengaruh kepada cara berfikir rakyat yang baru me ninggalkap alam jajahan yang serba tertekan. Juga ada pengaruhi nya kepada cara berfikir Rakyat Indonesia yang sebagian bes terdiri dari berjuta-juta kaum tani, yang lama hidup dalam alam feodalisme ekonomi dan feodalisme fikiran. Dalam keadaan semacam itu ada satu gambaran, bahwa pemimpin yang berfikir dan masa harus mengikuti. Tema ini juga digunakan oleh partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa. Inilah sebabnya maka di dalam social change yang besar dan luas itu faktor pemimpin mempunyai kedudukan yang amat penting. Masyarakat Indonesia yang mengalami restratifikasi dari struktur memperlihatkan relasi sosial antara lapisan bangsawan dan kaum tani berubah ke arah struktur sosial desa dan kota. Hanya secara efektif dan intensif dilakukan oleh masyarakat di kota-kota. Memang di dalam negara-negara yang sedang berkembang kegiatan-kegiatan politik masih berpusat di kota-kota (Almond and Goleman : The politics of the deve- lopping Areas, 1960).Menurut hemat kami keadaan masyarakat seperti tersebut di atas memang dapat dibuat mengadakan aksi-aksi sosial yang cepat dan meluas, uemi lancarnya revolusi. Akan tetapi anggota masyarakat kita yang diikat dalam satu masa tidak diberi kesempatan berfikir sendiri, melaksanakan berdasarkan kekuatan sendin dan bertanggungjawab pribadi. Hanya golongan pemimpin yang mendapat kesempatan berfikir dan bertanggungjawab. Apabila melihat selama revolusi, kita berpendapat bahwa Bung Karno, sedemikian lama terikat kepada kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga Rakyar Indonesia sebagai massa menyerahkan seluruh pekerjaan berfikir kepada Bung Karno. Itu sebagai pertanda harus mengadakan reedukasi pada diri sendiri dan pada rakyat seluruhnya agar mereka dapat mengembangkan fikiran pribadinya, tanpa terlepas dari landasan Pancasila. Dalam hubungan ini Niels Mulder mengatakan kaum petani diharuskan merombak cara berproduksi tetapi tidak diijinkar berfikir sendiri atau turut ambil bagian dalam mengambil keputusan. Melihat fenomen yang tampil ke permukaan masvarakat maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia masih berada dalam tahap Post traditional society.3. POST REVOLUSIa. AsimilasiSalah satu agerus of social change yang diprakarsai Pemerintah ialah di bidang pembentukan bangsa dengan anjuran asimilasi. Masalah asimilasi ini memerlukan penanganan yang baik dan sisjj tematik. Persoalan asimilasi seharusnya dihadapi secara kritis kreatif, fragmatik-realistik dan konstitusional, di samping adanya sense of aestiny atau sense of purpose yang lebih besar. Fafe tor ini berguna sebagai trafic light guiding and regulating actiojj kita bersama dalam membangun masa depan. Pembangunan ma depan ini dimanifestasikan dengan proses asimilasi. Proses merupakan proses penyatu-padukan sikap mental, adat kebiasaan! dan pernyataan-pernyataan kebudayaan yang berbeda-beda men-1 jadi satu kebulatan sosiologik yang harmonis dan bermakna. Sel cara sosiologik historik. memang Tndonesia terdiri dari berbagai- ; bagai daerah dengan suku-sukunya dengan kepribadian masing- masing (das sein). Das sein ini diarahkan kepada kesatuan Bangsa (das sollen). Untuk ini perlu diusahakan pembulatan apa-apa saja yang dapat dibulatkan dengan penghormatan terhadap sifat- sifat kedaeranan selama sifat-sifat ini tidak menghalangi prose penyatuan. Cengan dilakukannya proses sosial ini secara integra oleh seluruh rakyat Indonesia pasti akan mempercepat tercapainyil cita-cita Nasional. Asimilasi hendaknya secara realistik karena kit adalah bhineka, terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, adat. Keinginan (das sollen) supaya kita menjadi bangsa yang satu yang homogen. Dari bhineka tadi akan dapat dibentuk suatu bangs harmonis dengan sumbangan masing-masing suku. Tim-tim bhineka tadilah memungkinkan terciptanya bangsa yang kuat dan bangsa harmonis tak akan terbentuk kalau ada sebagian dari bhineka tadi mengekslusifkan diri. Untuk mempercepat proses ini perlu suatu politik asimilasi yaitu kebijaksanaan mempercepat penggemblengan tadi. Sasaran politik asimilasi, bukanlah menghancurkan golongan yang ekonomis kuat bukan pula menghancurkan gc longan minoritas. Tetapi sasaran utama dari macht-annwedin adalah menghancurkan stelsel kemasyarakatan lama untuk digar ti dengan bangunan masyarakat baru yang menghajatkan kebahagiaan rakyat dengan slogan masyarakat adil dan makmur. Untuk mempercepat proses asimilasi ini perlu dihindari eksklusivisme, dan tekanan terhadap golongan minoritas. Perlu dibina toleransi, simpati, persamaan dalam kesempatan/hak perkawinan inter marriage. Untuk itu perlu diciptakan iklim yang memungkinkan interaksi dikalangan massa. Dengan demikian terciptaiah two wav traffic di antara golongan yang akan berasimilasi itu.Sehubungan dengan politik asimilasi dengan golongan Tionghoa, maka asimilasi berarti diterimanya orang yang berasal keturunan Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia sehingga golongannya semula yang khas tak ada lagi. Masuknya keturunan Tionghoa telah ada lebih dahulu dalam dirinya perasaan senasib dar sepenanggungan. Perasaan senasib ini tak akan timbul kalau terus-terusan terjadi hal-hal yang menciptakan iklim mengasingkan diri seperti sosial clash (pengrusakan-pengrusakan, pemukulan-pemukulan. Bagaimanapun merdunya anjuran pemenntah sela ma bentrokan, penekanan perasaan teriadi pasti satu sama lain saling menjauhkan. Dari orang yang saling menjauhkan tak akan diharapkan toleransi, simpati yang menjadi dasar proses asimilasi. Jadi untuk asimilasi diperlukan faktor perjumpaan dialog. Dan adanya dialog inilah menimbulkan sense of belonging secara sadar dan sukarela sebagai bagian dari warga bangsa. Karena itu sebenarnya Pemerintah lebih dahulu mengadakan inventarisasi faktor penghalangsense 01 belonging tadi. Belakangan ini disiplin iimu pengetahuan telah mengintroduser communication theory, untuk memahami proses asimilasi. Dengan menggunakan teori tadi maka faktor sosiologik-politik historik (politik kolonial Belanda) dari jaman lampau perlu dianalisa secara kritis. Faktor sosiologik, politik, historik ini melahirkan pada diri orang WNI keturunan Tionghoa perasaan lebih tinggi (superioritas). Golongan superioritas ini menjadi golongan minoritas yang sengaja diciptakan fihak Belanda untuk kepentingan Belanda. Faktor-faktor tadi juga terlihat dalam Hukum Perdata dengan Vreemde Oostelingen yang diberi Priviliges. Perbedaan-perbedaan dalam hukum ini pasti merupakan penghalang proses asimilasi. Jadi memang logis kalau hai ini telah dihapus dari hukum perdata kita. Kesediaan berasimilasi menjiratkan kesetujuan terhapi snya penghalang sence belonging, dan pembinaan kesadaran sebangsa dan setanah Kesadaran setanah air hendaknya bertanya dalam diri : apakah yang dapat saya sumbangkan untuk kebahagiaan bangsaku Indonesia ini? Dengan perasaan ini maka tak akan ada orang ya hidup sebagai parasit. Orang WNI turunan Tionghoa baru menjadi bangsa Indonesia secara mental bila dalam dirinya tergore Bangsa dan Tanah Airku di mana ku hidup di tengah-tengahnj di mana aku dilahirkan dan dibesarkan, di mana aku nanti kuburkan. Bangsa dan tanah air ini adalah bangsaku dan tar airku.Perlu dipahami bahwa dalam pengertian asimilasi tidak selai dalam berarti biologik, tetapi dalam arti politik sosiologis. Tic ada jaminan seseorang yang mengadakan penggantian ialah seorang yang gandrung dengan asimilasi. Memang penggal tian nama adalah wajar dan baik setelah ada jaminan bahwa individu itu telah mencerminkan watak Indonesia. Tetapi cukup berbahaya penggantian nama kalau dalam diri individu itu le rindu ke negeri leluhur di daratan Cina. Jelaslah bagi kita apa yang menjadi tujuan asimilasi sehir sekarang dapat disusun urgensi kerja dalam proses asimili Urgensi kerja itu mencakup metode apa yang digunakan tepat mengenai sasaran.b. ABRI naik panggungPerubahan sosial yang cepat mulai dirasakan stelah ABRI bermain dalam panggung peristiwa politik , sarana yang digunakan ialah kegiatan politik. Munculah partai politik di Indonesia, setiap partai berlomba merebut kekuasaan dikabine atau lesislatif serta partai yang berkuasa ingin memojokkan partai lawan, sedang partai lawan memusatkan kegiatan politiknya untuk menjatuhkan partai lain. Pertikaian antara partai ini sekitar tahun 1948, maka pihak ABRI melihat hal tersebut dan ingin ikut berperan di bidang politik. Namun dalam perjalananya timbulah pertikaian dikalangan bangsa indonesia, maka tahun 1957 Bung Karno mengakhirinya dengan memperkenalkan ide demokrasi terpimpin. Sistem politik yang ideal yang perlu dikembangkan di Indonesia ialah demokrasi pancasila, tetapi tingkah laku politik masyarakatdan penguasa belum, mencerminkan sistem politik tersebut akibat adanya kebudayaan politik yang lama. Membangun kebudayaan politik baru berarti berusaha meninggalkan sebagian kebiasaan berpolitik lama dan membiasakan diri dengan tuntutan sitem politik yang hendak dikembangkan.Berbagai kegiatan politik akhirnya untuk meminimalisir keadaan bahaya sehingga mengundang ABRI memasuki lapangan seningga terciptalah militerisme yang merupakan suatu kebiasaan, prestasi, tindakan dan fikiran yang berhubungan dengan perang. Pengaruh ini menerobos pada keseluruhan kehidupan masyarakat dan menjadi dominan atas industri dan menolak sifat ilmiah, sebaliknya memamerkan kualitas kasta dan kekuasaan dan kepercayaan militerisme. Sistem politik yang bertumpu pada tentara atau militer, menimbulkan dua kelompok arti yakni :1. Arti sosialKelompok arti sosial menunjukkan adanya selera yang berlebih-lebihan di dalam hidup suatu masyarakat kepada sesuatu yang berbau militer.2. Arti kelompok politikKelompok arti politik menunjukkan kepada adaya pemerintahan oleh kaum militer, atau pemerintah yang dibentuk oleh kaum militer.Berdasarkan dua kelompok arti itu dapat dikatakan bahwa suatu bangsa militeristik jika pertama hidup sosial budaya masyarakat secara berlebihan menonjolkan sifat militer, semua orang suka memakai pakaian militer, mempergunakan cara-cara militer, mengagungkan mitos militer. Sebenarnya terdapat perbedaan antara cara kerja militer dengan cara militeristik. Cara militer cirinya adalah kosentrasi primer dari manusia dan materil kepada tujiuan capaian sasaran tertentu dari kekuasaan secara paling efisien yakni dengan korban darah maupun biaya yang sedikit mungkin. Sedangkan cara militeristik yakni suatu rangkaian kebiasaan, prestasi, tindakan dan fikiran yang berhubungan dengan perang namun melampaui tujuan militerisme yang sesungguhnya. Bahkan karena militerisme adalah sedemikian sehingga mungkin menghalang-halangi dan menggagalkan tujuan daripada cara militer . Pengaruhnya tidak terbatas, dan meresapi seluruh masyarakat dan berdominasi atas seluruh industri dan seni. Dengan menolak cara ilmiah dari pada cara militer, militerisme memamerkan mutu dari pada kasta dan kultur wibawa dan kepercayaan.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanSetiap kesatuan sosial mewujudkan unsur sistem budaya, yang terdiri dari antara lain kepercayaan yang dianut, pengetahuan yang dimiliki, bahasa yang digunakan, nilai yang dianut, aturan dan kewajiban masing-masing orang dalam keadaan sosial tertentu. Bila unsur-unsur ini berhubungan satu sama lain maka unsur-unsur ini merupakan bagian dari sistem budaya. Kalau ada unsur-unsur ini tidak merupakan bagian dari sistem budaya itu, berarti unsur itu merupakan bagian dari budaya lain.Alternatif pembangunan terdapat pemikiran model kapitalis, aliran nonmarxis yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran namun kenyataannya tidak terwujud, kemudian terdapat pemikiran Marx pada konsep perjuangan kelas dan cara mencapai keadilan sosial/kemakmuran yakni dengan revolusioner dan sosialisme untuk melawan kapitalisme.Terdapat sasaran pendekatan kebudayaan, diantaranya yakni :4. Memelihara dan meningkatkan persatuan dan kesatuan nasional dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam dalam suku bangsa, agama, kepercayaan.5. Membina integritas nasional.6. Membina masyarakat yang bersifat terbuka dan demokrasi, sejahtera.Selama ini, strategi pembangunan tidak peduli akan faktor ekologi, namun ekologi pasti akan dimasukkan ke dalam paradigma pembangunan masa depan, agar memungkinkan analisis yang sistematis mengenai aspek lingkungan perubahan social dan ekonomi. Menurut prinsip pembangunan fungsional, pada dasarnya pembangunan merupakan akibat spesialisasi dan pembagian kerja yang maju antar wilayah; menurut prinsip pembangunan territorial, wilayah itu sendirilah yang harus dikembangkan, bukan system fungsional yang lebih besar. Sifat structural melekat pada pendekatan territorial.

B. SaranDalam proses pembangunan, terdapat modal sosial dan budaya dalam pembangunan yang mendukung, namun terdapat juga ancaman-ancaman yang dapat menghambat pembangunan yakni ancaman ekologis terhadap keamanan manusia ini jelas berkaitan dengan paradigma pembangunan yang umum dipakai. Untuk itu untuk dapat ditanggulangi bila paradigma pembangunan ini dipertimbangkan lagi dan lebih peduli dengan ancaman ekologis, sebab ancaman ekologis sangat berpengaruh besar terhadap proses pembangunan. Selain itu sebagai masyarakat kita harus berfikir progres namun masih menjaga sistem sosial dan budaya Indonesia agar terciptanya negara yang adil, makmur, sejahtera, modern dan maju.

DAFTAR PUSTAKA

Pasaribu, I. L dan B. Simandjuntak. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito.Hettne, bjorn. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Baru.