makalah sistem filsafat pancasila sebagai sistem ideologi nasional indonesia
TRANSCRIPT
MAKALAH SISTEM FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI SISTEM
IDEOLOGI NASIONAL INDONESIA (PEMBUDAYAAN DAN
TANTANGANNYA DALAM GLOBALISASI-LIBERALISASI-
POSTMODERNISME
SISTEM FILSAFAT PANCASILA
SEBAGAI SISTEM IDEOLOGI NASIONAL INDONESIA
(PEMBUDAYAAN DAN TANTANGANNYA DALAM GLOBALISASI-LIBERALISASI-
POSTMODERNISME *)
LATAR BELAKANG
Sesungguhnya bangsa Indonesia diberkati dengan berbagai keunggulan, baik natural (alam
nusantara yang amat luas, strategis, kaya SDA, subur, indah dan nyaman alamnya); maupun nilai
kultural (budaya yang kaya dan filsafat theisme-religious); serta SDM yang kuantitas-kualitas
unggul (bangsa : petani-nelayan-pelaut-ksatria/pejuang yang ulet).
Dengan luas nusantara 17.584 pulau (3 juta km2 daratan, dan 12 juta km2 lautan) berkat
Wawasan Nusantara (+ 200 mil ZEE) disilang benua dan samudera. Nusantara NKRI berada di
pintu gerbang Trans-Pasifik sebagai multi-lintas budaya modern --- sedangkan trans-Atlantik,
sebagai masa lalu lintas dunia, terutama kaum kolonialisme-imperialisme! ---. Mungkinkah,
trans-Pasifik yang demikian vital-strategis dimanfaatkan neo-imperialisme bagi supremasi
ideologi liberalisme-kapitalisme (negara adidaya USA dan UE) demi politik neo-ultra-
imperialisme dalam abad XXI dalam dinamika postmodernisme!
Menyaksikan praktek dan budaya (elite dan pemerintahan reformasi) NKRI yang mengalami
degradasi nasional, kita wajib meningkatkan kewaspadaan nasional dengan wawasan visioner
dan arif-kenegarawanan. Kita perlu (mendesak) untuk meng-audit reformasi : mulai amandemen
UUD 45, praktek demokrasi-liberal, dan ekonomi-liberal dalam praktek memuja kebebasan
(=neo-liberalisme) atas nama demokrasi (demokrasi-liberal) dan HAM (semoga : bukan HAM-
HAMPA sebagai yang dipraktekkan negara adidaya USA-UE dengan menjajah Irak,
Afghanistan; mengancam Korea Utara dan Iran.... ? semoga untuk memasuki Kebangkitan
Nasional 100 tahun ke-2, kita sungguh-sungguh meningkatkan kesadaran nasional, kerukunan
nasional dan kebanggan nasional demi integritas bangsa dalam NKRI sebagai sistem kenegaraan
Pancasila.
I. SISTEM FILSAFAT (SISTEM IDEOLOGI) SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN
Sebagai nilai peradaban awal dan puncak pemikiran budaya umat manusia, diakui berwujud nilai
filsafat. Nilai filsafat menjangkau kesemestaan (fisika dan metafisika; alam semesta sampai
Tuhan Maha Pencipta semesta). Kebenaran filsafat diakui bersifat fundamental dan hakiki;
karenanya dijadikan filsafat hidup (Weltanschauung); yang dipraktekkan sepanjang sejarah
bangsa. Karenanya, nilai fundamental ini menjiwai bangsa itu, sebagai jiwa bangsa (Volksgeist,
jatidiri nasional).
Sejak perkembangan awal nilai-nilai filsafat, diakui bersumber dan berpusat di Timur Tengah
sekitar 6000–600 sM (Radhakrishnan 1953 : 11), dan sekitar 5000- 1000 sM (Avey 1961 : 3-7).
Rekaman sejarah filsafat demikian, mengandung makna bahwa nilai filsafat sinergis dengan
nilai-nilai Ketuhanan dan Keagamaan. Bukankah, semua agama langit (supernatural religions :
Yahudi, Christiani dan Islam) berpusat di Timur Tengah.
Baru, sekitar (650 – 600 sM) diYunani mulai berkembang ajaran filsafat sebagai cikal-bakal
ajaran filsafat Barat, yang dipuja sebagai landasan peradaban modern.
Sejarah budaya dan peradaban umat manusia menyaksikan bagaimana semua bangsa di semua
benua menjadi penganut berbagai sistem filsafat, baik yang dijiwai nilai-nilai moral keagamaan
(theisme-religious) maupun nilai non-religious (sekular, atheisme). Tegasnya, umat manusia atau
bangsa-bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya dijiwai, dilandasi dan dipandu
oleh nilai-nilai religious atau non-religious.
Sampai abad XXI, peradaban mengakui sistem filsafat (dan atau sistem ideologi) telah
berkembang dalam berbagai sistem kenegaraan; terutama : theokratisme, kapitalisme-liberalisme
(dari sistem filsafat natural law); zionisme, sosialisme, marxisme-komunisme-atheisme;
naziisme-fascisme ; fundamentalisme, dan Pancasila ! Inilah sistem ideologi, yang dijadikan
sistem kenegaraan; telah berkembang dalam kehidupan dunia internasional modern yang berpacu
merebut supremasi ideologi nasional masing-masing (misal : perang dingin antara Blok Barat
dengan Blok Timur 1950-1990).
NKRI dengan berbagai negara Asia-Afrika bersikap bebas-aktif, dalam makna tidak memihak
antar ideologi negara adidaya --- antara Amerika Serikat dan Sekutunya berhadapan dengan Uni
Soviet dan Sekutunya ---. Bangkitlah kekuatan ke-3 dalam panggung politik dunia; terkenal
sebagai kekuatan negara-negara non-blok (= GNB atau gerakan non-blok).
Bagaimana wajah politik negara-negara masa depan, amat ditentukan oleh ideologi mana yang
memiliki otoritas dan supremasi atas berbagai ideologi dunia modern.
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis diatas, khasanah ilmu politik mengakui adanya
sistem kenegaraan dengan predikat berdasarkan sistem ideologi : negara kapitalisme-liberalisme,
negara sosialisme, negara zionisme Israel; negara komunisme; dan sebagainya ... wajarlah NKRI
dinamakan sistem kenegaraan Pancasila.
Jadi, tiap bangsa berbudaya dan beradab menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan suatu
sistem filsafat, dan atau sistem ideologi; yang terjabar dan ditegakkan dalam UUD (konstitusi)
negara.
Bagaimana identitas dan integritas sistem kenegaraannya itu, memancarkan ajaran dan nilai
fundamental sistem filsafat dan atau sistem ideologi negaranya. Identitas, integritas dan
keunggulan sistem filsafat dan atau ideologi --- selanjutnya kita namakan ideologi negara ---
terpancar dari asas bagaimana bangsa itu menghargai kedudukan, potensi dan martabat manusia
sebagai subyek di dalam negara.
II. DASAR-DASAR AJARAN FILSAFAT TENTANG HAM DAN TEORI NEGARA
Sesungguhnya teori negara fokus kepada apa dan bagaimana kekuasaan (kedaulatan) di dalam
negara ditegakkan. Bagaimana hakekat kekuasaan atau kedaulatan di dalam negara, ditentukan
oleh ajaran filsafat bagaimana kedudukan, potensi dan martabat manusia di dalam kehidupan
manusia --- dalam alam, dalam masyarakat dan dalam negara ---. Berkembanglah ajaran tentang
hak asasi manusia (HAM). Kemudian, berdasarkan pandangan tentang HAM ini dikembangkan
teori negara yang berpusat kepada teori kedaulatan.
Bagaimana manusia mengerti dan menghargai martabat manusia, khasanah ilmu pengetahuan
mengajarkan filsafat manusia dan filsafat hak asasi manusia (HAM). Budaya dan kepustakaan
modern terutama mengajarkan beberapa sistem filsafat yang membahas ajaran tentang hak asasi
manusia --- selanjutnya kita sebut HAM --- ialah ajaran teori hukum alam (Natural Law Theory,
atau filsafat hukum alam) sebagai dianut negara-negara Barat modern, dengan ideologi :
liberalisme-kapitalisme.
Juga dari dunia Barat lahir ajaran filsafat idealisme murni dari tokoh filosof George Wilhelm
Hegel (1770-1831) dengan teori kedaulatan Tuhan (theokratisme) --- yang kemudian dijiplak
oleh Karl Marx (1818-1883) menjadi teori kedaulatan negara, etatisme -sebagai dianut negara-
negara komunis dengan asas kolektivitisme (komunitas, kebersamaan rakyat tanpa kelas sosial)
---semua rakyat warganegara sama dan sederajat dalam status abdi negara, yang melaksanakan
misi sebagai pekerja : buruh, tani, nelayan, pedagang, prajurit, polisi, guru, profesional .... semua
demi kerja / karya --- ! Karena itulah, dinegara komunis diakui aksioma : bahwa negara adalah
milik rakyat, kaum pekerja (baca : kaum buruh). Demikian pula, semua kekayaan dalam negara
(pabrik, perusahaan, kantor) adalah milik rakyat, milik negara --- tidak diakui adanya milik
individu / pribadi; atau milik kaum modal / kapitalis; atau kaum ningrat / feudal atau borjuis --- !
Mereka, kaum kapitalis adalah musuh rakyat, musuh negara ! Fenomena demikian ialah antithesa
dalam dialektika ideologi marxisme-komunisme-atheisme yang harus diperangi melalui revolusi
oleh penganut ideologi komunisme !
A. Ajaran Sistem Filsafat Pancasila sebagai Sistem Ideologi Nasional ditegakkan sebagai Sistem
Kenegaraan Pancasila
Ajaran filsafat Pancasila baik sebagai filsafat hidup (Weltanschauung, Volksgeist), maupun
sebagai dasar negara (filsafat negara, ideologi negara, ideologi nasional) berfungsi sebagai jiwa
bangsa dan jatidiri nasional. Secara kenegaraan (konstitusional ) nilai Pancasila adalah asas
kerohanian bangsa, dan jiwa UUD negara --- in casu UUD Proklamasi 1945; b u k a n UUD
2002 / Amandemen ---! Karena, UUD amandemen mengalami distorsi filosofis-ideologis ---
sehingga melahirkan berbagai kontroversial bahkan degradasi nasional dan degradasi mental dan
moral !---. Pelopor dan elite reformasi, termasuk pendukung berkewajiban untuk melaksanakan a
u d i t nasional atas praktek dan budaya sosial-politik-ekonomi dalam era reformasi, sehingga
kondisi nasional tetap dalam keterpurukan multi-dimensional !
Silahkan, kita mawas diri dengan merenungkan bagaimana integritas nasional dalam tantangan
konflik horisontal, praktek negara federal; juga praktek oligarchy, plutocracy, dan anarchisme!
HAM berdasarkan Ajaran Sistem Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila memberikan kedudukan tinggi dan mulia atas potensi dan martabat manusia
(sila I-II, IV dan V); karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila dijiwai dan dilandasi asas
normatif theisme-religious :
1. Bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat
untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. Bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi
manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM
sebagai amanat Maha Pencipta, sebagai integritas moral martabat manusia.
3. Kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. Manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta
(sila I) yang menganugerahkan dan mengamanatkan potensi kepribadian jasmani-rohani sebagai
martabat (luhur) kemanusiaan.
b. Manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk
atas nasib dan takdir manusia; dan
c. Manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan
amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus
sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat (luhur) manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi
jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah
kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya
(termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional)
atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana
bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum.
Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI
berdasarkan Pancasila – UUD 45.
Filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat
theisme-religious. Integritas demikian sebagai bagian dari keunggulan dari sistem filsafat Timur,
karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia.
B. NKRI sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila
Dalam perbendaharaan ilmu pengetahuan filsafat, ideologi, politik, dan hukum, kita mengetahui
adanya berbagai sistem filsafat, dan atau sistem ideologi. Ajaran sistem filsafat dan atau sistem
ideologi ini melahirkan berbagai sistem kenegaraan, seperti : theokratisme, kapitalisme-
liberalisme, sosialisme, marxisme-komunisme-atheisme; zionisme, naziisme, fundamentalisme;
dan Pancasila terus berkembang dalam budaya dan peradaban dunia modern.
Berdasarkan ajaran filsafat Pancasila, terutama tentang kedudukan dan martabat kepribadian
manusia, maka oleh pendiri negara (PPKI) dengan musyawarah mufakat ditetapkan dan disahkan
sistem kenegaraan Indonesia merdeka, sebagai terumus dalam UUD Proklamasi 1945 seutuhnya.
Karenanya, NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45 dapat kita namakan dengan predikat: sebagai
sistem kenegaraan Pancasila, sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 1945 --- untuk
dibandingkan dan dibedakan dengan UUD 45 amandemen, dan atau UUD RI 2002 ---.
Memahami sistem kenegaraan Pancasila seutuhnya, akan signifikan melalui memahami sejarah
Proklamasi dan UUD Proklamasi 45 seutuhnya. Di dalam Pembukaan UUD negara kita, tentang
kedaulatan rakyat, terlukis dalam kutipan berikut:
“......susunan negara Republuk Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Sesungguhnya, rumusan kedaulatan rakyat dalam Pembukaan UUD Proklamasi ini bermakna
sebagai asas demokrasi (berdasarkan) Pancasila --- atau sistem demokrasi Pancasila ---.
Tegasnya, bukan demokrasi liberal, atau neo-liberal sebagai mana yang dipraktekkan dalam era
reformasi.
Sesungguhnya nilai fundamental dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45 itu adalah pancaran
ajaran filsafat Pancasila, mulai ajaran HAM, teori kenegaraan, sampai sosial politik dan ekonomi
nasional Indonesia.
Jadi, bangsa Indonesia sebagai dipelopori oleh Kebangkitan Nasional dan the founding fathers
(pendiri negara : PPKI) mengamanatkan bagaimana bangsa Indonesia menegakkan tatanan
kebangsaan dan kenegaraannya sebagai terumus dalam UUD
Pancasila adalah negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat).
Proklamasi seutuhnya (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan). Tegasnya, NKRI
berdasarkan Sesungguhnya nilai fundamental dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45 itu adalah
pancaran ajaran filsafat Pancasila, mulai ajaran HAM, teori kenegaraan, sampai sosial politik dan
ekonomi nasional Indonesia.
Jadi, bangsa Indonesia sebagai dipelopori dan diamanatkan oleh the founding fathers (pendiri
negara : PPKI) yang diawali Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia menegakkan tatanan
kebangsaan dan kenegaraannya sebagai terumus dalam UUD Proklamasi. Tegasnya, NKRI
berdasarkan Pancasila adalah negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(Rechtsstaat).
Hanya dengan pemahaman dan penghayatan yang valid atas nilai filsafat Pancasila sebagai
ideologi nasional, kita akan lebih memahami asas fundamental ajaran HAM berdasarkan filsafat
Pancasila --- yang melahirkan NKRI sebagai negara demokrasi dan negara hukum ---, sekaligus
pengamalan (implementasi) dan pembudayaannya.
III. INTEGRITAS NILAI FILSAFAT DAN IDEOLOGI PANCASILA
Bangsa Indonesia percaya bahwa kita mewarisi berbagai keunggulan sebagai anugerah sekaligus
amanat Allah Maha Pencipta; mulai keunggulan natural (alam nusantara yang amat strategis dan
luas, kaya SDA dan subur alamnya; nyaman hawanya dan indah). Juga keunggulan sosio-
kultural (nilai budaya yang kaya berpuncak dengan nilai filosofis-ideologis yang memancarkan
identitas dan integritasnya sebagai sistem filsafat theisme-religious).
Pancasila adalah negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat).
Proklamasi seutuhnya (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan). Tegasnya, NKRI
berdasarkan Sesungguhnya nilai fundamental dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45 itu adalah
pancaran ajaran filsafat Pancasila, mulai ajaran HAM, teori kenegaraan, sampai sosial politik dan
ekonomi nasional Indonesia.
Jadi, bangsa Indonesia sebagai dipelopori dan diamanatkan oleh the founding fathers (pendiri
negara : PPKI) yang diawali Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia menegakkan tatanan
kebangsaan dan kenegaraannya sebagai terumus dalam UUD Proklamasi. Tegasnya, NKRI
berdasarkan Pancasila adalah negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(Rechtsstaat).
Hanya dengan pemahaman dan penghayatan yang valid atas nilai filsafat Pancasila sebagai
ideologi nasional, kita akan lebih memahami asas fundamental ajaran HAM berdasarkan filsafat
Pancasila --- yang melahirkan NKRI sebagai negara demokrasi dan negara hukum ---, sekaligus
pengamalan (implementasi) dan pembudayaannya.
III. INTEGRITAS NILAI FILSAFAT DAN IDEOLOGI PANCASILA
Bangsa Indonesia percaya bahwa kita mewarisi berbagai keunggulan sebagai anugerah sekaligus
amanat Allah Maha Pencipta; mulai keunggulan natural (alam nusantara yang amat strategis dan
luas, kaya SDA dan subur alamnya; nyaman hawanya dan indah). Juga keunggulan sosio-
kultural (nilai budaya yang kaya berpuncak dengan nilai filosofis-ideologis yang memancarkan
identitas dan integritasnya sebagai sistem filsafat theisme-religious).
Nilai-nilai natural dan nilai fundamental diatas dihayati dan dibudayakan oleh rakyat Indonesia
sepanjang sejarahnya; sebagai bangsa yang unggul (Kedaulatan Kedatuan Sriwijaya abad VII-
XII; dan kedaulatan kedatuan Majapahit abad XIII-XVI) sebagai monumen kejayaan dan zaman
keemasan Nusantara Indonesia. Karena konflik internal, maka kejayaan itu runtuh direbut oleh
kolonialisme-imperialisme 1596-1945. Dalam penjajahan yang amat panjang (3,5 abad) bangsa
(SDM) Indonesia sebagai bangsa ksatria dan patriot Nusantara terus berjuang merebut
kemerdekaan.... berpuncak dengan Proklamasi yang melahirkan NKRI sebagai sistem
kenegaraan Pancasila !
Semangat dan jiwa ksatria demikian berkat SDM dijiwai nilai mental-moral dan budaya (filsafat,
ideologi) Pancasila. (Bandingkan : SDM Indonesia dalam era reformasi yang tergoda dan
terlanda neo-liberalisme, neo-kapitalisme dan individualisme-materialisme yang direkayasa USA
dan UE !
Berdasarkan kepercayaan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka diakui nilai filsafat Pancasila
mengandung multi - fungsi dalam kehidupan bangsa, negara dan budaya Indonesia.
Sesungguhnya nilai dasar filsafat Pancasila demikian, telah terjabar secara filosofis-ideologis dan
konstitusional di dalam UUD Proklamasi (pra-amandemen) dan teruji dalam dinamika
perjuangan bangsa dan sosial politik 1945 – 1998 (1945 – 1949; 1949 – 1950; 1950 – 1959 dan
1959 – 1998). Reformasi 1998 sampai sekarang, mulai amandemen I – IV: 1999 – 2002 cukup
mengandung distorsi dan kontroversial secara fundamental (filosofis-ideologis dan
konstitusional) sehingga praktek kepemimpinan dan pengelolaan nasional cukup
memprihatinkan.
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis dan konstitusional demikian, integritas nasional
dan NKRI juga akan memprihatinkan. Karena, berbagai jabaran di dalam amandemen UUD 45
belum sesuai dengan amanat filosofis-ideologis filsafat Pancasila secara intrinsik. Terbukti,
berbagai penyimpangan dalam tatanan dan praktek pengelolaan negara cukup memprihatinkan,
terutama dalam fenomena praktek: demokrasi liberal dan ekonomi liberal.
Demi cita-cita nasional yang diamanatkan para pahlawan dan pejuang nasional, khususnya the
founding fathers dan PPKI maka semua komponen bangsa sekarang ---10 tahun reformasi---
berkewajiban untuk merenung (refleksi) dan mawas diri untuk melaksanakan evaluasi dan audit
nasional apakah kita sudah sungguh-sungguh menegakkan integritas NKRI berdasarkan
Pancasila – UUD 45 sebagai sistem kenegaraan Pancasila dan sistem ideologi nasional.
Kita semua bukan hanya melaksanakan visi-misi reformasi; melainkan secara moral nasional kita
juga berkewajiban menunaikan amanat dan visi-misi Proklamasi, sebagaimana terkandung
seutuhnya dalam UUD Proklamasi.
A. Keunggulan Indonesia Raya
Kita bangsa Indonesia wajib bersyukur dan bangga atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
bahwa bangsa dan NKRI diberkati dengan berbagai keunggulan potensial, terutama:
1. Keunggulan natural (alamiah): nusantara Indonesia amat luas (15 juta km2, 3 juta km2 daratan
+ 12 juta km2 lautan, dalam gugusan 17.584 pulau); amat subur dan nyaman iklimnya; amat
kaya sumber daya alam (SDA); amat strategis posisi geopolitiknya: sebagai negara bahari
(maritim, kelautan) di silang benua dan samudera sebagai transpolitik-ekonomi dan kultural
postmodernisme dan masa depan.
2. Keunggulan kuantitas-kualitas manusia (SDM) sebagai rakyat dan bangsa; merupakan asset
primer nasional: 235 juta dengan karakteristika dan jatidiri yang diwarisinya sebagai bangsa
pejuang (ksatria)…… ---silahkan dievaluasi bagaimana identitas dan kondisi kita sekarang!---
dalam era reformasi.
3. Keunggulan sosiokultural dengan puncak nilai filsafat hidup bangsa (terkenal sebagai filsafat
Pancasila) yang merupakan jatidiri nasional, jiwa bangsa, asas kerokhanian negara dan sumber
cita nasional sekaligus identitas dan integritas nasional.
4. Keunggulan historis; bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah keemasan: kejayaan negara
Sriwijaya (abad VII - XI); dan kejayaan negara Majapahit (abad XIII - XVI) dengan wilayah
kekuasaan kedaulatan geopolitik melebihi NKRI sekarang (dari Taiwan sampai Madagaskar).
5. Keunggulan sistem kenegaraan Pancasila sebagai negara Proklamasi 17 Agustus 1945;
terjabar dalam asas konstitusional UUD 45:
a. NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi);
b. NKRI sebagai negara hukum (Rechtsstaat);
c. NKRI sebagai negara bangsa (nation state);
d. NKRI sebagai negara berasas kekeluargaan (paham persatuan, wawasan nasional dan
wawasan nusantara);
e. NKRI menegakkan sistem kenegaraan berdasarkan UUD Proklamasi yang memancarkan asas
konstitusionalisme melalui tatanan kelembagaan dan kepemimpinan nasional dengan identitas
Indonesia, dengan asas budaya dan asas moral filsafat Pancasila yang memancarkan identitas
martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. Asas demikian memancarkan keunggulan
sistem filsafat Pancasila (sebagai bagian dari sistem filsafat Timur) dalam menghadapi tantangan
dan godaan masa depan: neo-liberalisme, neo-imperialisme dalam pascamodernisme yang
mengoda dan melanda bangsa-bangsa modern abad XXI.
Keunggulan potensial demikian sinergis dan berpuncak dalam kepribadian SDM Indonesia
sebagai penegak kemerdekaan dan kedaulatan NKRI yang memancarkan budaya dan moral
Pancasila dalam mewujudkan cita-cita nasional. Potensi nasional dan keunggulan NKRI akan
ditentukan oleh kuantitas-kualitas SDM yang memadai + UUD Negara yang mantap terpercaya
---bukan kontroversial sebagaimana UUD 45 amandemen---.
B. Sistem Kenegaraan Pancasila Tegak sebagai Sistem Ideologi Nasional (Pancasila)
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi
nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi
asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan
moral politik nasional, terjabar secara konstitusional:
1. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV).
2. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila
III), ditegakkan sebagai NKRI.
3. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan
keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.
4. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil
dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya
dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan RI.
5. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungai seluruh tumpah
darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara mengatasi paham golongan dan paham
perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2000:
XV, 3).
Sistem kenegaraan Pancasila secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah
fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state),
terlukis dalam skema 1.
Perwujudan Sistem NKRI Berdasarkan Pancasila - UUD 45
(MNS, 1985)
skema 1
Asas normatif fundamental ini bersumber dari sistem filsafat Pancasila yang memancarkan
identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. (Bandingkan dengan berbagai
sistem filsafat yang melandasi sistem kenegaraan dari: negara komunisme, negara liberalisme-
kapitalisme; negara sosialisme, zionisme maupun fascisme). Jadi, bangsa dan NKRI secara
normatif memiliki integritas dan kualitas keunggulan sistem kenegaraan; karenanya kita optimis
dapat menjadi bangsa dan negara jaya (MNS, 2000: 45)
IV. INTEGRITAS SISTEM KENEGARAAN PANCASILA DAN
UUD PROKLAMASI 1945
Bangsa Indonesia bersyukur dan bangga mewarisi (sebagai anugerah dan amanat Allah Yang
Maha Kuasa) NKRI sebagai negara Proklamasi. Negara Proklamasi ini memiliki integritas
keunggulan sebagai sistem kenegaraan Pancasila; karena dijiwai (sebagai asas kerohanian dan
asas moral Indonesia) dan terjabar dalam UUD Proklamasi 45 seutuhnya ! Amanat demikian
tersurat dan tersirat di dalam Pembukaan UUD Proklamasi !
Kesetiaan dan kebanggaan nasional atas warisan dan amanat the founding fathers (PPKI) juga
dimufakati dan dihormati oleh MPR RI dalam komitmen untuk tidak melakukan amandemen
(perubahan) atas UUD 45; meliputi : Pembukaan UUD 45; NKRI; Sistem Pemerintahan
Presidensial; nilai dalam Penjelasan UUD 45 diakomodasi dalam Batang Tubuh (Pasal-Pasal);
dan Amandemen dalam bentuk Addendum.
Amanat demikian berlaku secara universal sebagaimana diuraikan berikut.
A. Amanat PPKI sebagai Pendiri Negara Pancasila
Amanat filosofis-ideologis yang bersifat universal ini, sekaligus mengandung makna moral
nasional generasi penerus yang senantiasa hormat dan khidmat kepada semua the founding
fathers, in casu : PPKI; bahkan juga semua pahlawan nasional yang membela kemerdekaan
nasional dan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi.
Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi
Dalam analisis kajian normatif-filosofis-ideologis, dan konstitusional dan kritis atas UUD 45
(amandemen) dan dampaknya dalam hukum ketatanegaraan RI, dapat diuraikan landasan
pemikiran berikut:
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan
Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental yang bersifat tetap;
sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Karenanya,
kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan
hanya sekali oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 – 135; 155 – 162;
Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81).
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 (baca: NKRI) ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 1945.
Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama bangsa
Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45. Asas demikian terpancar
dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 45 sebagai kaidah
filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya. Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun
tidak dapat diubah. Karena Pembukaan ditetapkan hanya 1 x oleh pendiri negara (the founding
fathers, PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang
mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan
atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara
Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus 1945).
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat pendiri negara di dalam Penjelasan UUD 45;
terutama melalui uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas
kerokhanian negara dan Weltanschauung bangsa) terutama:
"4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai
hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya."
Amanat moral ini wajib kita tegakkan sebagai pembudayaan nilai dasar negara Pancasila dan
UUD Proklamasi.
Jadi, kedudukan Pembukaan UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila;
karenanya memiliki supremasi dan integritas filosofis-ideologis secara konstitusional (terjabar
dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan
asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental
dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).
Tujuan Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila terpadu dengan penghayatan
UUD Proklamasi 45, adalah keniscayaan bagi pembinaan bangsa dan watak bangsa (Nation and
character building). Demi tegak-lestarinya NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila UUD-
Proklamasi, maka tiap warganegara sebagai subyek bhayangkari NKRI wajib menghayati,
mengamalkan dan membudayakannya sebagai wujud kesetiaan dan kebanggaan nasional. Dalam
budaya bangsa negara beradab dan bermartabat, proses demikian, generasi-demi-generasi (proses
regenerasi bangsa) --- melalui Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila ---
bersifat imperatif.
B. Pembudayaan Sistem Ideologi Pancasila sebagai N-Sistem Nasional
Menegakkan filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, secara kebangsaan
dan kenegaraan berwujud sistem kenegaraan Pancasila. Sebab, setiap sistem kenegaraan
dilandasi sistem filsafat dan atau sistem ideologi.
Kesadaran dan kebanggaan nasional suatu bangsa terpancar dalam asas kebangsaan
(nasionalisme); sebagai wujud kesadaran jatidiri bangsa (jatidiri nasional, identitas nasional)
yang ditegakkan dalam semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem kenegaraan
demikian berwujud dikembangkannya dan ditegakkannya berbagai sistem nasional sebagai
pengamalan dan pembudayaan dasar negara dan ideologi negara.
Pengembangan dan pembudayaan sistem nasional ini sebagai wujud kesadaran nasional dan
wawasan nasional; sekaligus sebagai fungsi dari asas imperatif konstitusional sistem ideologi
nasional. Sebaliknya, tidak dikembangkan dan dibudayakannya N-sistem nasional adalah
fenomena degradasi nasional yang bermuara: disintegrasi nasional; dan keruntuhan sistem
kenegaraannya.
Semua asas filosofis-ideologis demikian terjabar dalam UUD Proklamasi; karenanya kewajiban
semua lembaga negara dan kepemimpinan nasional untuk melaksanakan amanat konstitusional
dimaksud; terutama NKRI dengan identitas sebagai negara demokratis dan negara hukum
menegakkan HAM dengan asas dan praktek budaya dan moral politik yang dijiwai moral filsafat
Pancasila ---yang beridentitas theisme-religious---. Amanat konstitusional ini secara kenegaraan
terutama menegakkan moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam NKRI
sebagai negara hukum (Rechtsstaat) demi supremasi hukum dan keadilan serta keadilan sosial
(oleh semua, untuk semua!).
Secara formal-struktural-kenegaraan asas normatif filosofis-ideologis Pancasila dikembangkan
(dijabarkan) dalam tatanan kenegaraan sebagai terlukis dalam skema berikut.
N = sejumlah sistem nasional, terutama:
1. Sistem filsafat Pancasila
2. Sistem ideologi Pancasila
3. Sistem Pendidikan Nasional (berdasarkan) Pancasila
4. Sistem hukum (berdasarkan) Pancasila
5. Sistem ekonomi Pancasila
6. Sistem politik Pancasila (= demokrasi Pancasila)
7. Sistem budaya Pancasila
8. Sistem Hankamnas, Hankamrata
(MNS, 1988)
skema 2
Secara fundamental: normatif-filosofis-ideologis dan konstitusional skema di atas melukiskan
asas normatif: praktek budaya dan moral politik bangsa negara sebagaimana tersurat dan tersirat
dalam UUD Proklamasi (UUD 45). Pengamalan amanat dimaksud terjabar dalam UUD 45, dan
dikembangkan di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, dan dilengkapi dengan
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Juga dilengkapi pula dengan Tap MPR RI
No. VI/MPR/2000 tentang Etika Kehidupan Bernegara.
V. TANTANGAN NASIONAL : GLOBALISASI-LIBERALISASI DAN,
POSTMODERNISME
Dinamika millenium III dan postmodernisme yang paling dirasakan ialah dinamika globalisasi-
liberalisasi dan postmodernisme yang menggoda dan melanda bangsa-bangsa, sebagai tantangan
aktual dan mendesak terutama bagi negara-negara berkembang.
Juga memperhatikan runtuhnya negara adidaya Unie Soviet pasca reformasi glassnost dan
perestroika; mereka (rakyat, warganegaranya) kehilangan kepercayaan kepada integritas dan
otoritas negara Unie Soviet sekaligus ideologi marxisme-komunisme-atheisme ---yang telah
dipraktekkan sejak 17 Oktober 1917, runtuh 1990---. Era reformasi Indonesia, Mei 1998 hampir
satu dasawarsa bangsa dan NKRI hidup dalam krisis multidimensional yang tak teratasi.
Reformasi yang ditandai dengan sikap elite politisi memuja kebebasan dan demokrasi atas nama
HAM. Fenomena sosial politik dan ekonomi bangsa nampak terlanda oleh praktek budaya
supremasi ideologi politik liberalisme-kapitalisme ---yang bergerak sebagai “proses supremasi
dan dominasi” ideologi neo-liberalisme yang berwatak: sekularisme-pragmatisme dan neo-
imperialisme!
Secara filosofis-ideologis dan politis bangsa dan negara RI sesungguhnya telah terbawa a r u s
dan dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme; tepatnya tergoda dan terlanda oleh
praktek budaya ideologi neo-liberalisme (perhatikan watak neo-liberalisme dan neo-PKI dalam
skema 3, terlampir).
Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme
Menyelamatkan bangsa dan NKRI dari tantangan demikian (baca: keruntuhan sebagaimana yang
dialami Unie Soviet), maka bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan nasional dan
Ketahanan mental-ideologi Pancasila (sebagai essensi Ketahanan Nasional). Visi-misi demikian
terutama meningkatkan wawasan nasional dan kepercayaan nasional (kepercayaan diri) dan
kebanggaan nasional agar SDM warga negara kita mampu mewaspadai tantangan : globalisasi-
liberalisasi dan postmodernisme !.
Kemampuan menghadapi tantangan yang amat mendasar dan akan melanda kehidupan nasional
--- sosial-ekonomi dan politik, bahkan mental dan moral bangsa --- maka benteng terakhir yang
diharapkan mampu bertahan ialah keyakinan nasional atas kebenaran dan kebaikan (baca:
keunggulan) dasar negara Pancasila baik sebagai filsafat hidup bangsa (Weltanschauung),
maupun sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional). Hanya dengan keyakinan
nasional ini manusia Indonesia tegak-tegar dengan keyakinannya yang benar dan terpercaya:
bahwa sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari filsafat Timur, mengandung dan
memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious.
Maknanya, sistem filsafat demikian secara filosofis-ideologis dan konstitusional berfungsi
sebagai asas kerokhanian Indonesia; jiwa dan kepribadian bangsa (jatidiri nasional); jiwa UUD
negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Ajaran filsafat Pancasila terjabar dalam Pembukaan UUD 45 dan Batang Tubuh seutuhnya;
karenanya melaksanakan dasar negara Pancasila terutama dengan dilandasi dan berpedoman
UUD 45 (UUD Proklamasi) kita akan tegak-tegar, bahkan jaya sentausa............insya Allah dunia
dan akhirat.
Bandingkan dengan ajaran filsafat kapitalisme-liberalisme yang beridentitas individualisme-
materialisme-sekularisme-pragmatisme akan hampa spiritual religius sebagaimana juga identitas
ideologi marxisme-komunisme-atheisme! Kapitalisme-liberalisme memuja kebebasan dan HAM
demi kapitalisme (baca: materi, kekayaan sumber daya alam yang dikuasai neoimperialisme):
dalam praktek politik dan ekonomi liberal!
1. Watak setiap ajaran filsafat dan ideologi dengan asas dogmatisme senantiasa merebut
supremasi dan dominasi atas berbagai ajaran filsafat dan ideologi yang dipandangnya sebagai
saingan. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang dianut negara-negara Barat sebenarnya telah
merajai kehidupan berbagai bangsa dan negara: politik kolonialisme-imperialisme. Karena
itulah, ketika perang dunia II berakhir 1945, meskipun mereka meraih kemenangan atas German
dan Jepang, namun mereka kehilangan banyak negara jajahan memproklamasikan kemerdekaan,
termasuk Indonesia. Sejak itulah penganut ideologi kapitalisme-liberalisme menetapkan strategi
politik neo-imperialisme untuk melestarikan penguasaan ekonomi dan sumber daya alam di
negara-negara yang telah mereka tinggalkan (disusun strategi rekayasa global, 1947).
2. Melalui berbagai organisasi dunia, mulai PBB, World Bank dan IMF sampai APEC dipelopori
Amerika Serikat mereka tetap sebagai kesatuan Sekutu dan Unie Eropa dalam perjuangan
merebut supremasi politik dan ekonomi dunia (neo-imperialisme).
3. Hampir semua negara berkembang yang kondisi ipteks, industri dan ekonomi amat tergantung
kepada negara maju (G-8) maka melalui bantuan modal pembangunan baik bilateral maupun
multilateral, seperti melalui IMF dan World Bank, termasuk IGGI kemudian CGI semuanya
mengandung strategi politik ekonomi negara Sekutu.
4. Melalui kesepakatan APEC, mereka menyebarkan doktrin ekonomi liberal, atas nama
ekonomi pasar ---tidak boleh ada proteksi demi peningkatan kemampuan dan kemandirian---.
Sementara potensi ekonomi berbagai negara berkembang tanpa proteksi, tanpa daya saing yang
memadai...... semuanya dilumpuhkan dan ditaklukkan. Tercapailah politik supremasi ekonomi
kapitalisme-liberalisme, neo-imperialisme.
5. Sejak dimulai perang dingin (sekitar 1950 – 1985) Sekutu telah menampilkan watak untuk
merebut supremasi ideologi dan dominasi politik internasional. Kondisi perang dingin yang amat
panjang meskipun menguras dana dan biaya perang (angkatan perang dan persenjataan), namun
juga dijadikan media propaganda bahwa otoritas supremasi ideologi politik dan ekonomi tetap
dimiliki Blok Barat.
Supremasi ideologi, politik dan ekonomi ini juga didukung oleh supremasi ipteks .......sehingga
banyak intelektual negara berkembang (baca: negara GNB) yang belajar ipteks ke negara-negara
blok Barat. Ternyata, intelektual hasil didikan Barat, banyak membawa budaya dan moral
ideologi politik neo-liberalisme --- langsung maupun tak langsung mendorong berkembangnya
neo-imperialisme --- di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
6. Berakhirnya perang dingin, bukanlah kemenangan Sekutu (USA dan UE) atas ideologi
marxisme-komunisme-atheisme; melainkan sebagai dampak reformasi Unie Soviet dengan
gerakan glasnost dan perestroika yang dipelopori Michael Gorbachew. Keruntuhan kubu dan
benteng blok komunis negara adidaya Unie Soviet, membuktikan bahwa ajaran marxisme-
komunisme-atheisme tidak mampu bertahan dalam abad XXI, karena bertentangan dengan
kerohanian manusia (kepercayaan theisme-religious); bahkan juga tidak sesuai dengan
perkembangan asas dan teori politik ekonomi modern !
7. Bandingkan, bagaimana perkembangan negara Rusia sebagai bangsa yang tidak lagi
menerapkan sistem komunisme; dengan NKRI yang menerapkan neo-liberalisme, neo-
kapitalisme … yang dapat runtuh kedalam cengkeraman neo-imperialisme, dan atau neo-
komunisme --- waspadalah : neo-PKI / KGB sedang bersiap mengomando revolusi sosial, karena
rakyat Indonesia makin tenggelam dalam kemiskinan dan krisis multi-dimensional yang
berkepanjangan !---
Untuk meningkatkan kewaspadaan nasional, kita terutama elite reformasi wajib merenungkan ---
sebagai audit nasional atas neraca kepemimpinan reformasi --- dapat dicermati, dihayati
bagaimana tantangan mendesak dalam era reformasi, sebagai terlukis dalam skema berikut.
VI. TANTANGAN NASIONAL (NKRI) DALAM ERA REFORMASI
Praktek dan budaya era reformasi (dalam NKRI) merupakan budaya neo-liberalisme, yang
memuja kebebasan (=liberalisme) atas nama demokrasi (demokrasi liberal) dan HAM (HAM
individualisme yang bersumber dari ajaran filsafat Hukum Alam / Natural Law, yang menjiwai
dan melandasi ideologi Barat : liberalisme-kapitalisme). Demikian pula praktek dan budaya
ekonomi liberal yang bersumber dari ajaran kapitalisme (individualisme, materialisme).
Praktek budaya demikian adalah bukti bahwa Pemerintahan era reformasi telah tergoda dan
terlanda ideologi-neo-liberalisme dan neo-kapitalisme; sebagai supremasi neo-imperialisme.
Jadi, sesungguhnya bangsa dan NKRI dalam era reformasi bukanlah menikmati “ keterbukaan
dan kebebasan ”, melainkan tenggelam dibawah otoritas dan supremasi ideologi neo-liberalisme
sebagai neo-imperialisme!
Pemerintahan dan kelembagaan negara era reformasi, bersama berbagai komponen bangsa
berkewajiban meningkatkan kewaspadaan nasional yang dapat mengancam integritas nasional
dan NKRI.
A. Praktek Budaya Neo-Liberalisme dalam Era Reformasi
Tantangan nasional yang mendasar dan mendesak untuk dihadapi dan dipikirkan alternatif
pemecahannya, terutama:
1. Amandemen UUD 45 yang sarat mengandung kontroversial; baik filosofis-ideolofis bukan
sebagai jabaran dasar negara Pancasila, juga secara konstitusional amandemen mengandung sarat
kontroversial dan konflik kelembagaan. Berdasarkan analisis demikian berbagai kebijaksanaan
negara dan strategi nasional, dan sudah tentu program nasional mengalami distorsi nilai ---dari
ajaran filsafat Pancasila, menjadi praktek budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme---
terutama demokrasi liberal dan ekonomi liberal.
2. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional ---bahkan juga degradasi
kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila, sebagai sistem ideologi nasional---.
Karenanya, elite reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-
liberalisme dan neo-liberalisme (praktek demokrasi liberal, multi partai dengan praktek sistem
parlementer; bahkan juga budaya negara federal; dan ekonomi liberal). Jadi, rakyat dan bangsa
Indonesia mengalami erosi jatidiri nasional dan ideologi nasional !
3. Elite reformasi dan kepemimpinan nasional, hanya mempraktekkan budaya demokrasi liberal
atas nama HAM; yang aktual dalam tatanan dan fungsi pemerintahan negara (suprastruktur dan
infrastruktur sosial politik) berwujud : praktek budaya oligarchy, plutocrachy.......bahkan
sebagian rakyat mengembangkan budaya anarchisme !--- terutama dalam berbagai Pilkada yang
bermuara konflik horisontal ---.
4. Otonomi daerah sekarang cenderung mempraktekkan budaya negara federal; mulai otoritas
Pemda yang makin liberal, sampai penguasaan kekayaan daerah (PAD) yang cenderung bersifat
kapitalisme. Artinya, hak-hak rakyat warganegara di daerah itu terlupakan --- kekayaan daerah
hanya dinikmati oleh elite Pemda --- bersama elite partai.
Praktek Otoda yang cenderung mengejar peningkatan PAD, namun bukan untuk kesejahteraan
rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan elite dan pejabat. Praktek otoda cenderung menjadi
budaya negara federal, mungkin lebih federal dari sistem di Negara aselinya. Perhatikan syarat
calon : putera daerah aseli, PNS lokal sulit pindah antar kabupaten/kota.
5. Pelaksanaan Pilkada
Pilkada sebagai praktek demokrasi liberal, juga menghasilkan otoda dalam budaya politik
federalisme, dilaksanakan: dengan biaya amat mahal + social cost juga mahal, dilengkapi dengan
konflik horisontal sampai anarchisme. Pilkada dengan praktek demokrasi liberal, menghasilkan
budaya demokrasi semu (demokrasi palsu). Bagaimana tidak semu ; bila peserta pilkada 3 – 5
paket calon; terpilih dengan jumlah suara sekitar 40%, 35%, 25%. Biasanya, yang terbanyak
40% ini dianggap terpilih sebagai mayoritas. Padahal norma mayoritas di negara demokrasi
umumnya dengan norma 51%. (Pilkada menetapkan norma = 31 %! )
Sebaliknya, bila diadakan putaran kedua, akan sangat mahal !. Inilah demokrasi liberal yang
lebih liberal dari yang berlaku di negara asalnya
Negara demokrasi modern ditegakkan dengan asas : Majority ruler, minority rights dalam makna
: Mayoritas memerintah, dengan kewajiban mengayomi minoritas !.
Bandingkan bagaimana : Kehidupan multi partai dalam NKRI
Sudah amat banyak partai politik supaya rakyat rukun bersatu, masih terjadi konflik internal.
Bila parpol kita hargai sebagai upaya persatuan dan kesatuan warga masyarakat; atas nama
demokrasi dan HAM kita juga menghargai hak individu atas nama golongan independen untuk
tampil dalam pemilu ? Apakah ini budaya individualisme ?
6. NKRI sebagai negara hukum, dalam praktek justru menjadi negara yang tidak menegakkan
kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila – UUD 45. Praktek dan “budaya” korupsi makin
menggunung, mulai tingkat pusat sampai di berbagai daerah: Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kekayaan negara dan kekayaan PAD bukan dimanfaatkan demi kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat, melainkan dinikmati oleh elite reformasi. Demikian pula NKRI sebagai negara hukum,
keadilan dan supremasi hukum; termasuk HAM belum dapat ditegakkan sebagaimana harapan
kita semua !.
7. Ekonomi nasional dalam NKRI menerapkan ekonomi liberal, sebagaimana terbukti dalam
praktek budaya ekonomi era reformasi. Perlu direnungkan bagaimana dampak ekonomi liberal
yang dilaksanakan dengan Perpres No. 76 dan 77 th. 2007 tentang PMDN dan PMA yang
Terbuka dan Tertutup; yang bermuara neo-imperialisme! (silahkan cermati dan hayati !)
8. Tokoh-tokoh nasional, baik dari infrastruktur (orsospol), maupun dalam suprastruktur
(lembaga legislatif dan eksekutif) hanya berkompetisi untuk merebut jabatan dan kepemimpinan
yang menjanjikan (melalui pemilu dan pilkada). Berbagai rekayasa sosial politik diciptakan,
mulai pemekaran daerah sampai usul amandemen UUD 45 tahap V, sekedar untuk mendapatkan
legalitas dan otoritas kepemimpinan demi kekuasaan. Sementara kondisi nasional rakyat
Indonesia, dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada
konsepsi alternatif strategis pemecahannya; dilengkapi dengan krisis BBM dan tenaga listrik.
Kondisi demikian dapat melahirkan konflik horisontal dan vertikal, bahkan anarchisme sebagai
fenomena sosio-ekonomi-psikologis rakyat dalam wujud stress massal.
9. Pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya
primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal
sampai semangat separatisme. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional telah makin parah
dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila, integritas nasional dan integritas NKRI.
10. Pemujaan kebebasan (neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM juga telah
membangkitkan partai terlarang PKI. Mulai gerakan “pelurusan sejarah” ---terutama
G.30S/PKI--- sampai bangkitnya neo-PKI sebagai KGB melalui PRD dan Papernas. Mereka
semua melangkahi (baca: melecehkan Pancasila – UUD 45) dan rambu-rambu (= asas-asas
konstitusional) yang telah berlaku sejak 1966, terutama :
a. Bahwa filsafat dan ideologi Pancasila memancarkan integritas sebagai sistem filsafat dan
ideologi theisme-religius. Artinya, warga negara RI senantiasa menegakkan moral dan budaya
politik yang adil dan beradab yang dijiwai moral Pancasila yang menghadapi separatisme
ideologi: marxisme-komunisme-atheisme.
b. UUD Proklamasi seutuhnya memancarkan nilai dasar negara Pancasila : dalam Pembukaan,
Batang Tubuh (hayati: Pasal 29) dan Penjelasan UUD 45.
c. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan dikukuhkan Tap MPR RI No. I/MPR/2003 Pasal 2 dan
Pasal 4.
d. Tap MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; dan
e. Undang Undang No. 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara ( yang direvisi, terutama Pasal
107 a – 107 f ).
(Perhatikan : Tantangan ideologis dan politik dalam skema 4 ).
Bila NKRI sebagai negara Pancasila dan negara hukum membiarkan/tidak menindak gerakan
separatisme ideologi dari kaum marxisme-komunisme-atheisme (neo-PKI, KGB, PRD,
Papernas) berarti:
a. Membiarkan identitas dan integritas sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 dilecehkan; dan
atau dilangkahi yang bermuara : diruntuhkan..........!
b. Membiarkan berbagai komponen rakyat bangkit membendung mereka; seperti: HMI, FPI,
PMII dan berbagai organisasi keagamaan..... bermakna negara memberi kebebasan konflik
horisontal dan anarchisme dalam NKRI !
Mutlak diperlukan kebijaksanaan negara dan strategi nasional menghadapi tantangan dimaksud,
terutama dengan :
B. Kebijaksanaan Negara, Strategi dan Program Nasional
Memperhatikan tantangan dimaksud dan multi krisis nasional maka dipandang mendesak untuk
menetapkan kebijaksanaan negara ---oleh kelembagaan negara yang berwenang : MPR –
Presiden – DPR – DPD – MA dan MK--- secara sinergis dan mufakat; dan fungsional.
1. Kebijaksanaan negara dimaksud, terutama memprioritaskan:
a. Menegakkan budaya dan moral politik nasional berdasarkan filsafat dan ideologi negara
Pancasila sebagaimana diamanatkan UUD Proklamasi 45.
b. Menegakkan integritas kepemimpinan nasional demi integritas nasional supaya semua
komponen bangsa, rakyat seutuhnya senantiasa rukun bersatu.
c. Melaksanakan pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila secara melembaga.
d. Membudayakan Asas-Asas Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
e. Menegakkan dan membudayakan Sistem Hankamnas sebagai Sistem Hankamrata (sebagai
konsekuensi sistem negara berkedaulatan rakyat / negara demokrasi).
2. Strategi Nasional dan Program Nasional
Mendesak adanya strategi nasional dan program nasional untuk pendidikan dan pembudayaan
dasar negara Pancasila sebagai ideologi nasional. Strategi nasional yang diprioritaskan, terutama:
a. Mengembangkan sistem nasional (sebagai dimaksud skema 2, terlampir).
b. Mengembangkan budaya dan moral politik berdasarkan filsafat Pancasila, ideologi Pancasila
dan UUD Proklamasi.
c. Membina kelembagaan pengembangan dan pembudayaan : Filsafat Pancasila sebagai ideologi
nasional (lintas departemen dan lembaga negara), dengan mendayagunakan lembaga-lembaga
perguruan tinggi (PTN-PTS), termasuk Menkominfo berkewajiban untuk membudayakannya
melalui media teknologi yang dimilikinya !.
Supaya pemikiran mendasar ini cukup kaya, valid dan terpercaya maka diperlukan kelembagaan
yang lebih representatif, dibawah otoritas kelembagaan negara. Alternatif kelembagaan
dimaksud merupakan sinergis antar dan lintas (kelembagaan) departemental dan
nondepartemental; terutama:
Mendiknas; Mendagri; Menag; Wantannas; LIPI; Lemhannas; Meneg Pemuda dan Olah Raga
(Menpora); dan Meneg Komunikasi dan Informasi (Menkominfo untuk melaksanakan
sosialisasi, pembudayaan) secara nasional; serta didukung berbagai potensi dalam komponen-
komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI, MAWI dan sebagainya.
Catatan:
Kelembagaan demikian untuk menghindarkan pendapat atas pengalaman sejarah adanya BP-7
dan Team P-7 --yang dianggap di bawah otoritas tunggal Presiden---. Mengingat visi-misi PNP
adalah bertujuan luhur demi nation and character building, seyogyanya thema makalah ini dapat
dipertimbangkan untuk menjadi gagasan awal langkah strategis PNP secara nasional.
VII. POKOK-POKOK PIKIRAN
Berdasarkan uraian ringkas yang terkandung dalam thema dan sub-thema dalam makalah ini,
diharapkan beberapa pokok pikiran berikut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menghadapi tantangan yang makin meningkat, baik internasional (global, eksternal) maupun
nasional (internal).
Adanya keyakinan bangsa atas keunggulan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 menjamin
bangsa untuk menegakkan kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
dengan asas budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan pendiri negara (PPKI) dalam
UUD Proklamasi seutuhnya.
Pokok-pokok pikiran berikut mendorong kepemimpinan nasional, kelembagaan negara maupun
komponen bangsa; termasuk berbagai partai politik dan elite reformasi untuk merenungkan
(refleksi) demi masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai potensi dan
generasi penerus.
1. Keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional secara fundamental terpancar
dalam integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Artinya, sistem ideologi
Pancasila menjamin integritas moral SDM dan kepemimpinan nasional untuk ditegakkan dalam
moral dan budaya sosial politik dan ekonomi dalam NKRI.
2. Dasar negara Pancasila terjabar dalam UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat
dirumuskan oleh PPKI dengan jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus ---tanpa
interest dan kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas minoritas---; bukan sebagai yang
kita saksikan dalam praktek budaya politik era reformasi.
Keabsahan (validitas) nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman kelembagaan dan
kepemimpinan penyelenggaraan pemerintahan dalam NKRI dengan menegakkan budaya dan
moral politik Pancasila-UUD Proklamasi 45.
3. UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan pedoman
sistem kenegaraan yang unggul terpercaya; sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan
negara hukum dalam integritas NKRI sebagai nation state yang ditegakkan dengan asas wawasan
nasional, wawasan nusantara dan asas kekeluargaan. Asas fundamental ini menjadi landasan
konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan sejahtera.
4. Integritas nilai dasar negara Pancasila sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi
nasional secara konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam dinamika dan kompetisi antar
ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya, bagaimanapun gejolak dunia
postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 4), insya Allah bangsa dan NKRI tegak dalam
integritas sebagai kenegaraan Pancasila. Untuk tujuan ini negara berkewajiban melaksanakan
visi-misi nation and character building melalui pendidikan dan pembudayaan dasar negara
Pancasila (secara melembaga dan lintas lembaga).
5. Kondisi reformasi dan amandemen UUD 45 (= UUD 2002) secara fundamental dan
konstitusional cukup mengandung distorsi filosofis-ideologis dan konstitusional. Karenanya,
berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan nasional, sosial politik dan ekonomi
bangsa nampak dalam kondisi konflik, kemiskinan dan pengangguran; pendidikan biaya tinggi
dan praktek anarchisme Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan NKRI....
yang pada gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!
6. Reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM mengancam integritas
nasional dan integritas NKRI; bahkan integritas mental dan moral SDM Indonesia, mulai
pemimpin sampai generasi penerus. Praktek demikian dapat melahirkan tragedi nasional, tragedi
moral dan peradaban!
7. Kebebasan atas nama HAM dengan praktek demokrasi liberal melanda budaya, sosial
ekonomi nasional termasuk dunia dan lembaga kependidikan nasional. Momentum kebebasan
(neo-liberalisme) cukup dimanfaatkan untuk kebangkitan neo-PKI/KGB untuk memperjuangkan
ideologi marxisme-komunisme-atheisme sebagai wujud separatisme ideologi. Proses degradasi
mental dan moral demikian dapat meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan
integritas sistem kenegaraan Pancasila.
8. Demokrasi yang dilaksanakan budaya era reformasi adalah demokrasi liberal ; meliputi :
a. Praktek otoda menjadi budaya negara federal;
b. Praktek demokrasi liberal melalui Pilkada, sangat menguras tenaga dan dana nasional;
sedangkan hasilnya hanyalah demokrasi semu (= demokrasi palsu). Karena, dengan calon yang
dipilih 3 paket saja, tidak mungkin terpilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak (dengan
standar norma demokrasi = mayoritas 51 %). Praktek Pilkada dengan data, misalnya : paket 1 =
40 %; paket 2 = 35 %; dan paket 3 = 25 %. Maka, paket terpilih dengan sah = paket 1. Padahal,
40 % ini dibawah kategori standar mayoritas dalam demokrasi yang berlaku diseluruh dunia !.
c. Praktek ini sungguh tragis; dengan biaya mahal, yang didapatkan pemimpin dengan dukungan
bukan oleh mayoritas yang sah (valid).
d. Bila ada 5 paket calon, angka-angkanya lebih di bawah contoh b diatas. Kalau diulang dengan
putaran kedua, dana dan tenaga sangat mahal !
e. Belum lagi budaya yang tidak demokratis; yang kalah dengan berbagai alasan menolak hasil
Pilkada. Terjadilah konflik horisontal, sampai anarchisme ...... bermuara disintegrasi bangsa
(tidak rukun, persatuan nasional runtuh !).
Jadi, akibat praktek budaya demokrasi palsu, rakyat kita menjadi kehilangan kesadaran
kerukunan dan kesadaran nasional !
9. Sebagai bangsa kita berkewajiban menggalang kesadaran nasional (nasionalisme, wawasan
nasional) sebagai Kebangkitan Nasional II (100 tahun ke-2, awal millenium III) dengan
membendung degradasi nasional sebagai landasan kerukunan nasional dan Ketahanan Nasional.
Demi visi-misi yang diamanatkan Dasar Negara Pancasila dan UUD Proklamasi 45, maka
Sistem Pendidikan Nasional berkewajiban melaksanakan Pendidikan dan Pembudayaan nilai
Dasar Negara Pancasila, khususnya melalui PPKN dan Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi.
10. Kebijaksanaan negara untuk pemberdayaan rakyat, istimewa anak Indonesia sebagai SDM
masa depan melalui sistem pendidikan nasional yang memberdayakan rakyat warganegara,
dengan meningkatkan mutu, metode dan sistem ujian; termasuk biaya murah bagi rakyat, sebagai
wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemberdayaan ekonomi rakyat dengan modal kredit kecil bagi UMKM sebagai pemberdayaan
ekonomi nasional! tegasnya, b u k a n dengan memberikan BLT yang konsumtif; dan bernuansa
politis --- memberi pangan, bukan pancing ---. Pemerintah wajib meningkatkan keadilan, dengan
melaksanakan visi-misi KPK dengan prioritas pemberantasan korupsi dan penuntasan masalah
BLBI dan kredit macet (yang mencapai Rp. 2500 T).
Bagaimana tantangan dan ancaman ini dihadapi oleh Pemerintah bersama Lembaga Tinggi
Negara, terutama MPR RI dalam menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No.
27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (yang direvisi, terutama pasal 107a – 107f)
Semoga bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam pengayoman
Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan mengamanatkan
kemerdekaan nasional dalam integritas NKRI. Amien.
B. Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi
Dalam analisis kajian normatif-filosofis-ideologis, dan konstitusional dan kritis atas UUD 45
(amandemen) dan dampaknya dalam hukum ketatanegaraan RI, dapat diuraikan landasan
pemikiran berikut:
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan
Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental yang bersifat tetap;
sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Karenanya,
kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan
hanya sekali oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 – 135; 155 – 162;
Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81).
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 (baca: NKRI) ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 1945.
Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama bangsa
Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45. Asas demikian terpancar
dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 45 sebagai kaidah
filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya. Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun
tidak dapat diubah. Karena Pembukaan ditetapkan hanya 1 x oleh pendiri negara (the founding
fathers, PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang
mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan
atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara
Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus 1945).
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat pendiri negara di dalam Penjelasan UUD 45;
terutama melalui uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas
kerokhanian negara dan Weltanschauung bangsa) terutama:
"4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai
hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya."
Jadi, kedudukan Pembukaan UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila;
karenanya memiliki supremasi dan integritas filosofis-ideologis secara konstitusional (terjabar
dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan
asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental
dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).
Tujuan Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila terpadu dengan penghayatan
UUD Proklamasi 45, adalah keniscayaan bagi pembinaan bangsa dan watak bangsa (Nation and
character building). Demi tegak-lestarinya NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila UUD-
Proklamasi, maka tiap warganegara sebagai subyek bhayangkari NKRI wajib menghayati,
mengamalkan dan membudayakannya sebagai wujud kesetiaan dan kebanggaan nasional. Dalam
budaya bangsa negara beradab dan bermartabat, proses demikian, generasi-demi-generasi (proses
regenerasi bangsa) --- melalui Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila ---
bersifat imperatif.
VIII. SISTEM FILSAFAT DAN SISTEM KENEGARAAN
Setiap bangsa dan negara menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan sistem filsafat dan
atau ideologi nasionalnya; nilai fundamental ini menjiwai, melandasi dan memandu tatanan dan
fungsi kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan, yang secara umum diakui sebagai
Weltanschauung! Nilai fundamental ini merupakan perwujudan jiwa dan kepribadian bangsa
(Volksgeist) sekaligus sebagai asas kerohanian bangsa dan jiwa konstitusi negara, sebagai
terjabar dalam UUD Negara (UUD Proklamasi 1945).
Sistem filsafat terutama mengajarkan bagaimana kedudukan, potensi dan martabat kepribadian
manusia di dalam alam; khususnya dalam masyarakat dan negara. Karenanya, ajaran ini
melahirkan teori hak asasi manusia (HAM) dan teori kekuasaan (kedaulatan) dalam negara;
termasuk sistem ketatanegaraan dan sistem negara hukum.
Jadi, sistem kedaulatan maupun sistem negara hukum adalah ajaran filsafat yang bertujuan
menjamin HAM dalam budaya dan peradaban, istimewa dalam sistem kenegaraan. Tegasnya,
sistem ideologi nasional ditegakkan dan dikembangkan dalam sistem kenegaraan, melalui N-
Sistem Nasional.
Sistem kenegaraan Pancasila sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 45 secara intrinsik
filosofis-ideologis dan konstitusional sesuai dengan nilai-nilai filsafat Pancasila (dasar negara,
ideologi negara, ideologi nasional); karenanya tidak dapat diubah oleh lembaga apapun,
sebagaimana dimaksud dalam uraian bagian I B diatas.
A. Ajaran Sistem Filsafat tentang Kedudukan dan Martabat Manusia
Sejarah HAM membuktikan bahwa sepanjang peradaban senantiasa dalam tantangan: Mesir
purbakala, Cina, Yunani. . . sampai kolonialisme-imperialisme di Asia dan Afrika baru runtuh
pertengahan abad XX.
Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau sistem politik (kenegaraan) diakui sebagai
teori yang unggul, karena mengakui kedudukan, hak asasi, peran (fungsi), bahkan juga martabat
(pribadi, individu) manusia di dalam masyarakat, negara dan hukum.
Secara universal diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan, antara lain: “. . .
these values be democratically shared in a world-wide order, resting on respect for
human dignity as a supervalue . . .” (Bodenheimer 1962: 143). Sebagaimana juga Kant
menyatakan: “. . .that humanity should always be respected as an end it self (Mc Coubrey &
White 1996: 84)
Pemikiran mendasar tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam memberikan identitas sistem
kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl von Savigny (1779 - 1861) dengan
teorinya yang amat terkenal sebagai Volksgeist ---yang dapat disamakan sebagai jiwa bangsa dan
atau jatidiri nasional---. Demikian pula di Perancis dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state)
yang menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara (the rise of souvereign, independent, and
nationa state)". (Bodenheimer 1962: 71-72)
Demikianlah budaya dan peradaban modern mengakui dan menjamin kedudukan manusia dalam
konsepsi HAM sehingga ditegakkan sebagai negara demokrasi, sebagaimana tersirat dalam
pernyataan: “. . . fundamental rights and freedom as highest value as legal.” (Bodenheimer 1962:
149) sebagaimana juga diakui oleh Murphy & Coleman: “. . . respect to central human
values . . .” (1996: 22; 37).
B. Ajaran Sistem Filsafat Pancasila dan Sistem Kenegaraan RI
Filsafat Pancasila cukup memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan
martabat manusia (sila I dan II); karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila mengutamakan
asas normatif theisme-religious:
. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat
untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi
manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM
sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta
(sila I).
b. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas
nasib dan takdir manusia; dan
c. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan
amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus
sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi
jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah
kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya
(termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2000: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional)
atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana
bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum.
Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI
berdasarkan Pancasila – UUD 45. Karenanya, menjadi amanat nasional, konstitusional, kultural
dan moral bagi semua generasi bangsa Indonesia !
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan
sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya --- karena sesuai dengan potensi martabat
dan integritas kepribadian manusia
Berdasarkan berbagai pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan filsafat Pancasila
yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus mengakui kepribadian manusia
sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral.
Secara normatif filosofis ideologis, negara RI berdasarkan Pancasila – UUD 45 mengakui
kedudukan dan martabat manusia sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila yang menegakkan
asas keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM) dalam
integritas nasional dan universal.
Sebagai integritas nasional bersumber dari sila III, ditegakkan dalam asas Persatuan Indonesia (=
wawasan nasional) dan dijabarkan secara konstitusional sebagai negara kesatuan (NKRI dan
wawasan nusantara). Bandingkan dengan fundamental values dalam negara USA sebagai
terumus dalam CCE 1994: 24-25; 53-55, terutama: "Declaration of independence, Human
Rights, E Pluribus Unum, the American political system, market economy and federalism."
NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45 memiliki integritas-kualitas keunggulan normatif
filosofis-ideologis dan konstitusional: asas theisme-religious dan UUD Proklamasi menjamin
integritas budaya dan moral politik yang bermartabat.
Bagi bangsa Indonesia, kita bersyukur menegakkan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila
(dasar negara Pancasila, sebagai ideologi negara) sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi
45.
Tantangan bagi bangsa Indonesia, mampukah menegakkan ajaran Pancasila, mulai HAM
berdasarkan filsafat Pancasila, demokrasi (berdasarkan Pancasila) dan sosial ekonomi
berdasarkan Pancasila dalam globalisasi-liberalisasi dan postmoderenisme yang makin
dikendalikan oleh politik supremasi neoimperialisme !
Kepustakaan filsafat hukum dan teori negara mengakui adanya teori kedaulatan secara filosofis-
ideologis tentang teori negara termasuk teori kekuasaan (teori kedaulatan) yang menjadi dasar
teori kenegaraan, meliputi : Faham theokratisme : klassik dan modern; ajaran kedaulatan raja;
faham teori perjanjian, disebut teori kedaulatan rakyat atau teori hukum alam; faham kedaulatan
negara; dan teori kedaulatan hukum (reine Rechtslehre). (MNS, 2007 : 123-125).
Thema pembahasan kita secara ringkas bagaimana kewajiban bangsa melaksanakan pendidikan
dan pembudayaan asas kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam NKRI berdasarkan wawasan
filosofis-ideologis dan konstitusional). Artinya, bangsa Indonesia berkewajiban menegakkan
sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi --- termasuk melalui pemilu --- berdasarkan budaya,
filsafat, ideologi dan moral dasar negara Indonesia. Karena itulah, pra-reformasi kita
mempraktekkan demokrasi (berdasarkan) Pancasila. (dalam era reformasi, kita mempraktekkan
budaya demokrasi liberal).
IX. SISTEM KENEGARAAN PANCASILA-UUD 45 DAN PEMBUDAYAANNYA
Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional bangsa Indonesia menegakkan
kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan negara Proklamasi, sebagai NKRI berdasarkan
Pancasila-UUD 45, dengan asas dan identitas fundamental, adalah fungsional sebagai asas
kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45. Artinya, dasar negara Pancasila
(filsafat Pancasila) ditegakkan dan dikembangkan sebagai sistem ideologi negara (ideologi
nasional). Secara kelembagaan negara, ditegakkan sebagai sistem kenegaraan (in casu: sistem
kenegaraan Pancasila; analog dengan: sistem negara kapitalisme-liberalisme; dan sosialisme,
atau marxisme-komunisme).
Demi integritas sistem kenegaraan Pancasila sebagai diamanatkan UUD Proklamasi 45, maka
secara imperatif (mutlak, mengikat dan memaksa) Pemerintah bersama semua komponen bangsa
berkewajiban untuk menegakkan dan membudayakannya; dalam makna menegakkan: N-Sistem
Nasional.
B A C A A N
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan
pustaka firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya
Persada.
_________________ 2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II),
Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government,
Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung,
Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell
& Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai
Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium
Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London,
George Allen and Unwind Ltd.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001,
2003)
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York,
Harvard College, University Press.