makalah - septik

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi yang diartikan 75.000 penderita per tahun.Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan bertambah pada usia tua 40% dan penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotic dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka kematian yang tinggi dihampir semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic Inflammatory Respond Syndrome (SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang akut) dan syok sepsis (Sepsis yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik dengan resusitasi cairan). Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk mencegah syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan terjadinya syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat dipicu oleh trauma

Upload: yuliati-drawjoon

Post on 30-Dec-2015

196 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah septik

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah -  Septik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini

merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan

pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi

perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka

kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data

Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi

yang diartikan 75.000 penderita per tahun.Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan

bertambah pada usia tua 40% dan penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu

terjadi perkembangan antibiotic dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka

kematian yang tinggi dihampir semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic

Inflammatory Respond Syndrome (SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang

akut) dan syok sepsis (Sepsis yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik

dengan resusitasi cairan).

Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi

darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk mencegah

syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan terjadinya

syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat dipicu oleh

trauma jaringan, ischemia-reperfusion injury, endokrin dan eksokrin.

Bakteri gram negative terdpat endotoksin yang disebut lipopolisakarida (LPS)

yang terletak pada lapisan terluar.Lapisan luar membrane bakteri gram negative tersusun

atas lipid bilayer, yaitu membrane sitoplasmic dalam dan luar yang dipisahkan

peptidoglikan.

Sepsis terdapat produksi mediator-mediator inflamasi atau sitokin.Makrofag

merupakan salah satu mediator seluler, makrofag memegang peranan penting dalam

pathogenesis syok sepsis.Penelitian terakhir menunjukkan bahwa LPS dapat menurunkan

kemampuan IFN-gamma atau LPS untuk memacu Inducible nitric oxide synthase (Inos)

pada kultur makrofag sehingga NO mengalami penurunan.

Page 2: Makalah -  Septik

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dikemukakan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apa definisi dari Syok Septik?

2. Apa etiologi dari Syok Septik?

3. Bagaimana manifestasi klinis dari Syok Septik?

4. Bagaimana patofisiologi dari Syok Septik?

5. Apa komplikasi dari Syok Septik?

6. Bagaimana Penatalaksanaan dari Syok Septik?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui penatalaksanaan dari syok sepsis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui definisi dari Syok Septik?

2. Mengetahui etiologi dari Syok Septik?

3. Mengetahui manifestasi klinis dari Syok Septik?

4. Mengetahui patofisiologi dari Syok Septik?

5. Mengetahui komplikasi dari Syok Septik?

6. Mengetahui Penatalaksanaan dari Syok Septik?

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang

melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).

Page 3: Makalah -  Septik

Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung

dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah

yang memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian

sel maupun jaringan.

Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran

darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume

darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada

pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).

Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di

tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di

tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic

terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau

dengan suspek infeksi secara klinis.

Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria :

Suhu >38 C atau <36

Denyut Jantung >90x/menit

Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg

Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.

Penyabab respon sistemikdihipotesiskan sebagia infeksi local yang tidak

terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin) yang

menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.

Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis

berat, dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ

akibat hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah

diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -30 % kasus

syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-150%.

Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang

merupakan bentuk paling umum shock distributif.

2.2 Etiologi

Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting

terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari

bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung

mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala

Page 4: Makalah -  Septik

septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang

bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga

menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang

merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi

trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung

(Hermawan, 2007).

2.3 Patogenesis

Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin

proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin

proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan

mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1

reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi

atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja

sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.

Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk

LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan

perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag

mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi

adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.

Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh

monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian

ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal

dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida

MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan

TCR (T cell receptor).

Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi

sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony

stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.

IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α

merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-

α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat

merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.

IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk

Page 5: Makalah -  Septik

pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah

tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan

mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,

yaitu:

a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-

selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif

b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang

mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel

dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel

c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang

melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal

bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga

akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan

vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang

memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena

trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang

berakhir dengan kematian.

Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-

10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan

fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-

10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat

dicegah. (Hermawan, 2007).

2.4 Patofisiologi Syok Septik

Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi

yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,

dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis

dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi

melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,

sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan

gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.

Page 6: Makalah -  Septik

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan

maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh

mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang

dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan

kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,

iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut

berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant

substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,

dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).

2.5 Gejala Klinis Sepsis

Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif

seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:

paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala

sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,

gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

Sindrom distress pernapasan pada dewasa

a. Koagulasi intravascular

b. Gagal ginjal akut

c. Perdarahan usus

d. Gagal hati

e. Disfungsi sistem saraf pusat

f. Gagal jantung

g. Kematian. (Hermawan, 2007).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Riwayat

Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan

apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

a. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau

instrumentasi

b. Hipotensi, oliguria, atau anuria

c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

Page 7: Makalah -  Septik

d. Perdarahan

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi

dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan

pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.

2.6.3 Laboratorium

Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran

koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam

laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,

sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.

Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,

hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya

hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat

mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.

Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu

trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.

Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.

Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik

terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan

ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. (Hermawan, 2007).

2.7 Penatalaksanaan

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:

2.7.1 Stabilisasi pasien langsung

Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital

pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai

dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan

tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin,

dobutamin, dan norepinefrin.

Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam

tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik dan

pemberian antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui

bahwa waktumemegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed

Therapy(EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok

Page 8: Makalah -  Septik

septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam

jangka waktu tertentu.

Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis

berat dan syok septik menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai

konsekuensi yang menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya

angka mortalitas. EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian

Rivers dkk menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu

6 jam, dengan tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada

pasien sepsis berat dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas

hingga 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar

dengan mortalitas mencapai 46,5%. EGDT kini telah banyak diterapkan di

berbagai rumah sakit, sebagai bentuk implementasi Surviving Sepsis Campaign.

Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali masih menemui kendala akibat kurang

mendukungnya sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Agar EGDT

dapat dilakukan dengan terorganisasi maka klinisi harus memiliki pemahaman

tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta memiliki

keterampilan dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang akan dilakukan

dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Berikut ini akan

dibahas mengenai teori yang mendasari EGDT, prinsip EGDT, serta aplikasinya

di rumah sakit.

Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk

mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai

waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan

oksigenasi dan ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target

berikutnya diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif. 

1. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama

Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi

pasien dengan sepsis  berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat

berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis

berat dan syok septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula secara

simultan dilakukan manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan

(breathing), serta pemasangan akses intravena (circulation).

a) Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik

Page 9: Makalah -  Septik

Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak

dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan

diagnosis bila trias di atas ditemukan, disertai dengan perubahan status

mental yang bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk,

hingga penurunan kesadaran yang lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik

diketahui berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada

susunan saraf pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan

kesadaran.

Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda

gangguan perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler

pada sepsis. Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm

shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang

tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold

shock ditandai oleh curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin,

serta nadi yang lemah. Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan

ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan kesadaran.

Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih lanjut,

dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir

ditandai dengan hipotensi.

b) Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen

Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan

mengacu padaPediatric Advanced Life Support (PALS), di antaranya

dengan memposisikan kepala, serta pemberian terapi oksigen.

c) Memasang akses intravaskular

Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa

usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien dengan sakit kritis

memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American

Heart Association bersama dengan American Academy of Pediatrics dalam

PALS merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses

intravena harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam jangka waktu

tersebut belum berhasil, maka dilakukan pemasangan akses

intraoseus. Setelah terpasang akses intravena segera diambil sampel darah

untuk pemeriksaan penunjang.

Page 10: Makalah -  Septik

2. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya

Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan

resusitasi cairan hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan

pemantauan terhadap tanda-tandaoverload cairan.

Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik

seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang

mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.

a. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik

Volume cairan resusitasi

Pake yang Pak qodir.... slide EBV/F

Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan

dengan sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60

mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah jantung, penghantaran

oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari penelitian Han dkk (2003)

pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik, didapatkan pula

bahwa kelompok non-survivor menerima volume cairan resusitasi

lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan

terapi inotropik.

Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo

dkk (1991) melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada

pasien pediatrik dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam

pertama, pemberian cairan resusitasi secara cepat dengan volume di

atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb) berhubungan

denganoutcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara

cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS).

Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu

resusitasi cairan inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid

bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan pemantauan

klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung,

produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran.

Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi

memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,1 namun dapat mencapai

Page 11: Makalah -  Septik

hingga 200 mL/kgbbPemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan

yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru usaha nafas pasien,

ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya

berat badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya diberikan diuretik.

Tindakan lain untuk mengatasi overloadcairan yaitu dengan dialisis

peritoneal bila didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement

therapy (CRRT) bila diperlukan.

Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan

Maitland (2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian

kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi

cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai

adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis

berat dan syok septik.

Jenis cairan resusitasi

Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok

septik bersifat liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif,

aman, dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan

sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. Penelitian di India yang

dilakukan oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya

perbedaanoutcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan cairan

kristaloid dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang berlawanan

didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi

dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping berupa

gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan

untuk mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis dalam

resusitasi sepsis berat dan syok septik.

b. Koreksi hipoglikemia

Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan

gangguan kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian

Dextrose-10% pada cairan rumatan dengan kecepatan  8 mg/kg/menit

pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada

remaja. Bila disertai dengan kegagalan fungsi hati, penderita mungkin

membutuhkan kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai

Page 12: Makalah -  Septik

16 mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan sepsis,

yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL.

Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan

Dextrose-5% dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.

Direkomendasikan untuk mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150

mg/dL. Insulin reguler yang digunakan dalam bentuk bolus atau infus

kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 – 0,1

U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan kecepatan 0,5

– 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose.

c. Koreksi hipokalsemia

Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5

–10,5 mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 – 5,0 g/dL ion kalsium dalam

darah. Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas dan

irama jantung, selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan

neuromuskuler lainnya. Koreksi hipokalsemia dapat diberikan peroral atau

intravena. Pasien dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus

kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus

kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan dengan dosis awal

10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran

serum kalsium selanjutnya.

d. Pemberian terapi antibiotik

Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar 5),

dengan penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik cepat dan

sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan

sepsis. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik

spektrum luas dapat menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.

Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang

peranan penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam

4 jam pertama berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8%

sejak pasien datang ke rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga

11,6% dalam 30 hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi

lama perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008,

Page 13: Makalah -  Septik

direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama setelah

dilakukan pengambilan kultur. Durasi terapi antibiotik yang dianjurkan

yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun

pada pasien dengan neutropenia, durasi terapi antibiotik dapat

diperpanjang hingga 14 hari. Keputusan untuk menghentikan pemberian

antibiotik bergantung pada penilaian klinis. Terapi kombinasi antimikroba

dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan  monoterapi, sebagaimana

dilaporkan dari penelitian Micek dkk. Terapi awal antibiotik sangat kritis

bagi pasien dengan sepsis, seperti halnya pasien dewasa.

3. Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya

Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik

responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter

terhadap cairan bila belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah

mendapat terapi cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien

dengan syok septik yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara

simultan melakukan pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik

dan vasopresor serta melakukan pemantauan tekanan arterial.

Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena

sentral pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya.

Pemasangan vena sentral pada pasien pediatrik tidak familier, dalam prosedur

pemasangannya yang cukup sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-

frame) yang diharapkan pada EGDT khususnya di unit

emergensi. Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit

berikutnya dijelaskan sebagai berikut:

a. Memulai pemberian inotropik dan vasopresor

Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan

optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan

kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi

vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian

vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta

mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam

penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk

mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan

Page 14: Makalah -  Septik

segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif

direkomendasikan bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai

dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu katekolamin dan

derivat sintetisnya, meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin.

Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien

pediatrik dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau

pada keadaan cold shock.Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi

meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Dopamin lebih poten

dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering menyebabkan

takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi

sirkulasi renal dan mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit,

dopamin memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif,

sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasokonstriksi

perifer. Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok

septik yang resisten dengan terapi dopamin meningkatkan risiko

mortalitas. Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin, maka diberikan

epinefrin. Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3 mcg/kgbb/menit.

Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin.

Norepinefrin pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk meningkatkan

MAP, resistensi vaskuler sistemik, penghantaran oksigen

jaringan. Dobutamin dapat digunakan sebagai agen inotropik pada pasien

dengan curah jantung yang rendah, diberikan dengan dosis 2,5–20

mikrogram/kgbb/menit.

b. Mempertahankan jalan nafas

Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians

paru. Keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada penilaian

klinis usaha nafas pasien, adanya hipoventilasi, atau akibat penurunan

kesadaran. Intubasi dipertimbangkan pada pasien dengan syok refrakter

disertai dengan tanda gagal nafas, penurunan kesadaran, serta untuk

pemantauan hemodinamik invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat

membantu mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40% curah

jantung diperlukan untuk mendukung fungsi pernafasan, sehingga

ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paru-paru.

Page 15: Makalah -  Septik

tekanan intratorakal juga berperan menurunkan afterload ventrikel kiri,

sehingga dapat membantu pasien dengan curah jantung rendah dan

resistensi vaskuler perifer yang tinggi.

Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-

intubasi pada pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja dengan cara

menghambat transkripsifactor-kappa B dan mengurangi produksi

Interleukin-6 di sistemik, namun mempertahankan fungsi adrenal,

sehingga mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler. Ketamin untuk

fungsi sedasi diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb i.v. Ketamin juga dapat

berfungsi sebagai infus analgesia dan atau sedasi untuk mempertahankan

stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat dilakukan pemasangan ventilasi

mekanik.

Pada pasien dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator,

prinsip lung-protective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien

dewasa. Pasien dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress

Syndrome ditargetkan mendapat volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau

pressure < cm H2O hypercapnia  meminimalkan plateau pressure dan

volume tidal.Positive End Expiratory Pressure (PEEP)  juga diterapkan

untuk mencegah kolaps alveolar di akhir ekspirasi. Posisi prone pada

suatu penelitian multisenter didapatkan berguna untuk memperbaiki

hipoksemia.

4. Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan Intensif

Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi katekolamin,

maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian hidrokortison.

Hidrokortison diberikan pula pada pasien yang diduga atau terbukti disertai

dengan insufisiensi adrenal. Pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal

yaitu pasien dengan syok septik, sebelumnya menerima terapi steroid untuk

penyakit kronis, dan anak dengan abnormalitas adrenal atau hipofisis. Bila

jelas faktor risikonya, maka disarankan pemberian hidrokortison secara

intermiten atau infus kontinu dengan dosis mulai 1-2 mg/kgbb/hari, dititrasi

hingga 50 mg/kgbb/hari.

Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol basal <

18 µg/dL kadar puncak ACTH-stimulated cortisol < 18 µg/dL. Pemberian

Page 16: Makalah -  Septik

hidrokortison jangka panjang (6 mg/kgbb/hari selama 7 hari) telah dilaporkan

pada pasien dewasa, namun pada pasien masih menjadi kontroversi. Penelitian

berupa pemberian hidrokortison intermiten dengan dosis 3 mg/kgbb/hari

selama 7 hari pada bayi dengan syok septik resisten katekolamin didapatkan

bahwa kebutuhan pemberian terapi dopamin dapat dikurangi, namun tidak

memperbaiki angka mortalitas. Penelitian multisenter di Eropa oleh

CORTICUS (Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada 499 pasien dengan

syok septik, membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison

dosis rendah dan kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari penelitian ini

didapatkan tidak ada perbedaan mortalitas di antara kedua kelompok.

Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis

diseminata. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada stadium awal dari sepsis.

Sebagai alternatif bila tidak tersedia hidrokortison maka dapat diberikan

metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis intravena atau deksametason 3

mg/kgbb/dosis intravena. Pemberiannya dapat diulang 4 jam kemudian,

namun bila tidak memberikan respon maka pemberiannya dihentikan. Namun

demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi terapi

kortikosteroid pada sepsis di populasi pediatrik.

Pasien dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan tampilan

klinis curah jantung rendah/resistensi vaskuler sistemik tinggi, curah jantung

tinggi/resistensi vaskuler sistemik rendah, atau curah jantung rendah dengan

resistensi vaskuler sistemik rendah. Oleh karena itu, pemantauan

hemodinamik dapat dilakukan dengan pemasangan kateter vena sentral, serta

monitoring kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan CVP dengan

target mencapai MAP-CVP dan ScvO2 > 70%. Untuk mempertahankan

saturasi tersebut juga dilakukan dengan mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL.

Saturasi vena sentral (ScvO2) akan memberikan informasi keseimbangan

antara kebutuhan dan pemenuhan oksigenasi di jaringan, yang dilaporkan

berhasil mengurangi mortalitas hingga 40% dibandingkan pada pasien yang

tidak dilakukan pemantauan ScvO2. Flow ScvO2 juga bergunauntuk

memperkirakan aliran darah dari otak. Nilai > 40 mL/kgbb/menit

berhubungan denganoutcome neurologis yang lebih baik dan juga survival

pasien.

Page 17: Makalah -  Septik

Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan

terhadap keberhasilan penatalaksanaan syok, khususnya pada keadaan syok

yang refrakter, yaitu karena titrasi cairan, inotropik, dan vasopresor ataupun

vasodilator dilakukan dengan memerhatikan parameter-parameter di atas.

a. Cold shock dengan tekanan darah normal

Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian

epinefrin, untuk mencapai ScvO2 > 70%, dengan mempertahankan kadar

hemoglobin > 10 g/dL. Bila kadar ScvO2 masih di bawah 70%,

kemungkinan didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah,

tekanan darah normal, dengan resistensi vaskuler sistemik yang tinggi. Hal

ini serupa dengan anak yang mengalami syok kardiogenik, yang dalam

penatalaksanaannya bertujuan untuk mengurangi afterload untuk

memperbaiki aliran darah dengan berkurangnya afterload ventrikel,

sehingga akan dapat meningkatkan pengosongan ventrikel. Oleh karena

itu, nitroprusside atau nitrogliserin menjadi vasodilator lini pertama pada

syok resisten epinefrin dengan tekanan darah normal. Vasodilator

diberikan dengan sebelumnya dilakukan loading cairan terlebih dahulu.

Nitrogliserin pada dosis 10-60 µg/menit dapat membantu

menurunkan afterload.5Vasodilator yang termasuk di dalamnya yaitu

Milrinone, yang pemberiannya dipertimbangkan bila masih didapatkan

curah jantung yang rendah. Milrinone (Primacor®) diberikan dengan dosis

50 mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit, dilanjutkan dengan infus kontinu

0,5 – 0,75 mcg/kgbb/menit dan dititrasi hingga tercapai efek yang

diinginkan.

b. Cold shock dengan tekanan darah rendah

Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang

rendah, tekanan darah yang rendah, serta resistensi vaskuler perifer

yangrendah pula. Untuk penatalaksanaan selanjutnya yaitu dilakukan

titrasi cairan dan epinefrin untuk meningkatkan tekanan darah diastolik

dan meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Bila tekanan darah yang

adekuat sudah tercapai, maka untuk memperbaiki Cardiac Index dan

mencapai ScvO2 > 70% dapat diberikan dobutamin, selain itu kadar Hb

juga dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien masih hipotensi, pertimbangkan

Page 18: Makalah -  Septik

pemberian norepinefrin. Bila ScvO2 masih di bawah 70%, pertimbangkan

dobutamin, milrinone, enoximone atau levosimendan. Levosimendan

bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas kalsium dari aparatus

kontraktil miokardium, juga berfungsi seperti halnya type III PDE

inhibitor-activity lain. Enoximone juga merupakan type III PDE

inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang

diproduksi β-1 aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat

memperbaiki performa jantung dengan lebih sedikit efek hipotensi.

c. Warm shock dengan tekanan darah rendah

Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi,

dan resistensi perifer yang rendah. Maka penatalaksanaan selanjutnya

yaitu dengan pemberian titrasi cairan dan norepinefrin, untuk

mempertahankan ScvO2 > 70%. Bila masih didapatkan hipotensi,

pertimbangkan vasopresin, terlipresin, atau angiotensin untuk

memperbaiki tekanan darah; namun perlu diperhatikan pula bahwa obat-

obat vasokonstriktor di atas dapat menyebabkan berkurangnya curah

jantung, sehingga dalam penggunaan obat tersebut direkomendasikan

dengan pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila ScvO2 masih di bawah

70% pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis rendah. Vasopresin

(Vasopressin®, Pitressin®) diberikan dalam infus kontinu  mulai dari 0.5

mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan tiap 30 menit sesuai kebutuhan hingga

maksimal 10 mili-unit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).

d. Syok resisten katekolamin yang persisten

Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan di

atas, maka dikatakan sebagai syok resisten katekolamin yang persisten.

Untuk itu perlu disingkirkan dan diperbaiki berbagai keadaan yang

berkontribusi terhadap syok refrakter terapi cairan dan katekolamin, di

antaranya yaitu adanya efusi perikardial, pneumotoraks, peningkatan

tekanan intraabdomen lebih dari 12 mmHg. Pertimbangkan pula

kemungkinan adanya perdarahan, keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian

Page 19: Makalah -  Septik

kontrol pengendalian infeksi (misalnya jenis dan dosis antibiotik yang

diberikan belum memadai). Pada saat ini, dipertimbangkan untuk

memandu titrasi cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi

hormonal dengan pemasangan akses arteri pulmonalis, PICCO (pulse

cardiac output), atauFemoral Arterial Thermodilution  (FATD) Cathether,

dan atau ultrasonografi doppler untuk memantau curah jantung. Kateter

arteri pulmonalis dapat mengukur tekanan penutupan arteri pulmonaris

sehingga dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel kiri, serta dapat

digunakan untuk menentukan kontribusi relatif fungsi ventrikel kanan dan

kiri. PICCO berguna untuk memperkirakan volume akhir diastolik

keseluruhan ruang jantung serta mengukur cairan paru ekstravaskuler,

sehingga dapat membantu penilaian apakah preload sudah adekuat atau

belum. Monitoring non-invasif seperti penggunaan pulse oxymetri,

saturasi oksigen vena per-kutan, dan lainnya masih dalam tahap evaluasi.

Tujuan terapi pada saat ini yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac

Index  3.3 – 6 L/menit/m2.

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan

salah satu alternatif terapi yang perlu dipertimbangkan, telah dilakukan

secara terbatas pada syok yang refrakter dan atau keadaan gagal nafas

yang tidak bisa ditangani dengan terapi konvensional. ECMO telah

dilakukan pada pasien dengan syok septik, namun pengaruhnya sendiri

masih belum jelas. Penelitian yang menganalisis 12 pasien sepsis dengan

ECMO, 8 orang di antaranya bertahan hidup dan pada follow uprentang 4

bulan hingga 4 tahun, didapatkan bahwa rata-rata setelah 1 tahun mereka

dapat menjalani kehidupan dengan normal.

e. Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-target

terapeutik

Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi

denyut jantung, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas yang

hangat, produksi urin yang cukup (> 1mL/kgbb/jam), skala kesadaran

yang normal, serta kadar glukosa dan kalsium yang normal. Tujuan akhir

lainnya yang juga digunakan pada populasi dewasa yaitu berkurangnya

kadar laktat serum serta defisit basa, ScvO2 >70% atau SvO2 > 65%, CVP

Page 20: Makalah -  Septik

8-12 mmHg atau dengan metode lainnya untuk menilai fungsi pengisian

jantung, yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac Index  3,3 – 6

L/menit/m2. Target pencapaian ScvO2 > 70%, didukung pula dengan

transfusi PRC bila hematokrit kurang dari 30%, maupun dengan

pemberian inotropik. Untuk pemberian transfusi, sebuah penelitian

multisenter terandomisasi mendapatkan bahwa batas ambang transfusi Hb

7 g/dL dibandingkan dengan ambang batas Hb 9,5 g/dL, ternyata

memberikan outcome yang sama. Namun, dalam rangka memperbaiki

penghantaran oksigen ke jaringan, Hb dipertahankan di atas 10 g/dL.

Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak pasien

masuk unit gawat darurat maupun pada tempat perawatan intensif,

ternyata berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat sepsis,

sepsis berat, dan syok septik.

Implementasi EGDT di Rumah Sakit

EGDT merepresentasikan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang

terbukti memperbaiki prognosis pasien dengan sepsis berat dan syok

septik. Namun pelaksanaannya kadang masih belum sesuai dengan

protokol yang ada, dengan latar belakang bervariasi.  Pada saat ini,

berbagai kendala yang ditemukan dalam implementasi EGDT yaitu

kurangnya pemahaman tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari

EGDT, serta kurangnya keterampilan maupun penguasaan prosedur medis

dan teknis yang dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat

dan syok septik. Selain itu, model rumah sakit, sarana serta prasarana yang

ada juga berperan terhadap keberhasilan implementasi EGDT. Agar

implementasinya konsisten dan terorganisir, diperlukan suatu model

protokol yang disesuaikan dengan sumber daya manusia, sarana dan

prasarana penunjang di rumah sakit tersebut. Implementasinya di rumah

sakit dikatakan dapat mereduksi biaya-biaya hingga 23,4%. Efektivitas

biaya ini dapat tercapai bila EGDT dilakukan mulai di unit gawat darurat

atau ruang perawatan intensif dengan respon tim yang cepat.

Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan

dukungan mutlak institusi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana.

Page 21: Makalah -  Septik

Klinisi juga diharapkan meningkatkan keterampilan dalam prosedur

tindakan yang diperlukan dalam implementasi EGDT.

2.7.2 Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme

Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan

secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah

sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan

spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial

diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).

Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat,

misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan

gentamisin.

2.7.3 Pemberian antibiotik

1) Golongan penicillin

Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis

Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari

2) Golongan penicillinase—resistant penicillin

Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari

sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing

dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi

yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).

Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.

3) Gentamycin

Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap

efek nefrotoksiknya.

Page 22: Makalah -  Septik

BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Contoh KasusSeorang laki-laki usia 73 tahun,BB : 60 kg masuk Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo dirujuk dari rumah sakit (RS) swasta dengan syok septik

akibat bronkopneumonia. Pasien sempat dirawat di ruang rawat intermediate selama 3

hari. Keluhan utama saat masuk RS swasta adalah pasien lemas dan tidak nafsu makan

sejak seminggu sebelumnya. Keluhan lain adalah mual tapi tidak muntah, intake

makanan hanya separuh biasanya. Demam, batuk ada, tidak berdahak. Kadang-kadang

merasa sesak.Tidur dengan posisi setengah duduk.

Pasien mempunyai riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun, berobat teratur.

Riwayat penyakit jantung koroner pasca pemasangan Stent Percutaneous Coronary

Interventasi (PCI) tahun 2007 dan 2010. Aktivitas sehari-hari sudah terbatas.

Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan di RS swasta adalah pemeriksaan

darah perifer kadar Hb 17,9 g/dL Ht 52%, Leukosit 24.800/uL, Trombosit 314.000/uL,

Ureum/kreatinin 176 mg/dL/2,5 mg/dL, creatinine clearance test hitung 16,9 ml/menit

GDS 189 mg/dL, SGOT/SGPT 3328 U/L/1913 U/L, asam urat 15,9 mg/dL, Na/K/Cl

133/4,7/97 mmol/L, PT 14,9 (11,7)/aPTT 171 (31,9), Fibrinogen/D-dimer 353,5/300,

AGD: pH 7,4, PaCO2 :26,2, PO2 : 146 ,HCO-3 : 16,1 BE/-7,6 Sat O2/99%, CKMB: 92

Troponin T <100. Hasil pemeriksaan toraks adalah kardiomegali dengan infiltrat dikedua

lapang paru, sedangkan pemeriksaan echokardiografi tampak disfungsi ventrikel kiri,

hipertensi pulmonal, global hipokinetik, hasil pemeriksaan urinalisa albuminuria (3+),

bilirubin (+), eritrosit penuh, granula kasar (+), bakteri (+), yeast (+).

TTV : Tekanan darah 80/50 mmHg ,RR : 28x/mnit ,Nadi : 110x/mnit, Suhu : 40

C.Klien terlihat cianosis,GCS 3-3-3,CRT 3

3.2 Penatalaksanaan

3.2.1 Di UGDPada kasus di atas masalah yang ditegakkan adalah septik syok yang disebabkan

oleh pneumonia (HAP) dan ISK pada pasien dengan komorbitas gagal jantung kronik dan

Page 23: Makalah -  Septik

diabetes mellitus yang oleh sebab sepsis menjadi acute decompensated Heart Failure

(ADHF) (edema paru) disertai penurunan fungsi ginjal (AKI F atau AKIN stage 2) yang

kini dikenal sebagai suatu sindrom kardiorenal. Sementara tata laksana syok septik

berdasarkan Surviving Sepsis Campaign adalah menjalankan 3 pilar sepsis yakni

resusitasi (Protocol Rivers), antibiotik yang adekuat dan source control

Implementasi EGDT dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septic pada kasus

diatas :

Implementasi EGDT di unit gawat darurat dan unit perawatan intensif dalam tatalaksana

sepsis berat dan syok septik diajukan dalam alur berikut: Dalam waktu lima menit

pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman A-B-C

a) Airway (Jalan Nafas)

Membuka jalan nafas pasien baik menggunakan metode langsung /

Tounge Blade method maupun metode tak langsung / Up Sliding method.Dengan

menggunakan Endotracheal Tube (ETT), Nasopharingeal Airway,LMA,ataupun

tekhnik bedah sesuai kondisi klien.

b) Breathing (Nafas)

Pemberian Hantaran Oksigen dan Konsumsi Oksigen Hantaran dan konsumsi

oksigen bisa diperoleh dari arteri pulmonal.

Hantaran Oksigen (ml/menit) cardiac output (L/menit) x konsetrrasi

hemoglobin (g/dL) x 1,34 (konsentrasi hemoglobin).

Terdapat kekurangan pada consensus dalam menggunakan hantaran

oksigen atau konsumsi oksigen sebagai indicator untuk pedoman pemberian terapi

cairan pada sepsis. Penurunan saturasi oksigen darah vena campuran (SvO2)

dapat merefleksikan reduksi dalam cardiac output dan hantaran oksigen. Jika

SvO2 kurang dari 50% sangat memungkinkan telah terjadi penurunan perfisi.

Menambah cardiac output atau pemberian packet red blood cells (PRC) sangat

diperlukan untuk meningkatkan hantaran oksigen. Namun,pasien sepsis kadang

memperlihatkan peningkatan SvO2. Hal ini terjadi karena peningkatan aliran

darah kejaringan yang aktif secara non-metabolik. Pada kenyataanya,jika aliran

Page 24: Makalah -  Septik

darah ini kejaringan lebuh besar dari aliran darah ke jaringan yang aktif, maka

SvO2 akan lebih tinggi dari kadar normalnya.

c) Circulation (Sirkulasi)

1. Resusitasi cairan dengan perhitungan :

Kaji output urin ,tekanan arteri rata-rata atau MAP dan denyut jantung dipilih

sebagai pegangan untuk terapi cairan.

Diketahui : TD 80/50mmHg MAP (S2D) /3

(80 100) /3

60 mmHg (kategoti Syok)

Kebutuhan cairan

Volume Darah Efektif(Effective Blood Volume/Flow)

a. ♂ 70 – 75 cc/kgBB

b. ♀ 60 – 65 cc/kgBB

25 % EBV/F hilang à syok.

RL – Na+ 131 meq/L------ 1 fles = 65 meq

Penyelesaian :

a) Jumlah kehilangan cairan Syok 25% dari EBV/F

Kebutuhan cairan klien dengan BB = 60 x 70

= 4200 cc

Darah hilang 25% = 25

100 x 4200 = 1050cc

b) Cairan yang dimasukan

Kebutuhan Natrium dengan BB 60 kg :

Na = 3 x 60 = 180 sampai 5 x 60 = 300 Keb. Natrium px = 180

300 meg/24 jam

RL = 4 flash = 4 x 65 = 4200 cc

Faktor tetesan : Otsuka : 4200 x15

24 x60 =

63001440

= 44 tpm

Cairan resusitasi terus di evaluasi hingga kondisi klien stabil.Jika belum stabil .

2. Pemantauan klinis terhadap curah jantung dalam hal ini meliputi :

a. denyut jantung

b. produksi urin

c. waktu pengisian kapiler (CRT)

Page 25: Makalah -  Septik

d. derajat kesadaran

3. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload :

a. memperhatikan adanya onset baru hepatomegali

b. bertambahnya usaha nafas pasien

c. ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru

d. bertambahnya berat badan lebih dari 10%.

e. Untuk mengatasinya dapat diterapkan penatalaksanaan ADHF.

4. Secara singkat tatalaksana ADHF pada fungsi ginjal yang terganggu adalah:

a. Diuretik sebagai terapi utama (88%).

b. Antagonis mineralokortikoid (spironolakton).

c. Hormon natriuretik: nesiritide (memberikan efek vasodilatasi).

d. Vasodilator: mengurangi bendungan & memperbaiki CI

e. Inotropik: kontroversi, hanya pada keadaan hipotensi dapat digunakan

f. Akuaretik/antagonis reseptor V26.

g. Antagonis reseptor adenosine A1: vasokonstriksi arteriol aferen sehingga

renal blood flow berkurang.

h. Ultrafiltrasi: mengatur balans cairan.

i. Levosimen dan yang cara kerjanya dengan terikat troponin C jantung

sehingga stabilisasi ikatan dengan kalsium yang dapat memperbaiki

kontraktilitas miokard.

Terapi farmakologis :

Terapi yang diberikan adalah furosemide 20mg/jam, dobutamin 10

ug/kg/mnt, norepinefrin 1 ug/kg/mnt, amiodaron 300 mg/6jam, insulin

(lantus 1x14 U dan actrapid 3x6 U), ascardia, enoxiparine 1x0,4 mg dan

meropenem 1x1 g.

3.2.2 Di ICUPemeriksaan fisik pada saat masuk Intensive Care Unit (ICU);

pasien tampak sesak, posisi setengah duduk. Kesadaran apatis, tekanan

darah 106/58 mmHg, frekwensi nadi 100 x/menit (dengan topangan noradrenalin

0,8 ug/kg/menit dan dobutamin 10 ug/kg/menit melalui vena perifer). Pernapasan

spontan dengan sungkup muka O2 8 l/menit, frekwensi napas 20-30x/menit.

Saturasi 96-100%. Suhu afebris, ekstremitas dingin dan pitting edema pada

tungkai. Pemeriksaan dada: bunyi jantung I-II normal, suara tambahan sulit

Page 26: Makalah -  Septik

dinilai, terdapat ronki kasar di kedua lapang paru. Pemeriksaan abdomen dalam

batas normal

Diagnosis masuk ICU adalah septik syok akibat pneumonia (Hospital

Aqcuired Pneumia/HAP) dan infeksi saluran kemih(ISK), dengan gagal jantung

dan edema paru serta AKI F atau AKIN stage 2 g cardiorenal syndrome.

Pengelolaan pasien ini adalah segera dilakukan resusitasi cairan, pemberian

antibiotik empirik untuk mengatasi infeksi serta pengelolaan gagal jantung dan

edema paru.

Pemeriksaan USG (pre scanning) vena cava inferior dilakukan untuk

melihat indeks kolapsibilitas, sekaligus dilakukan pemasangan kateter vena sentral

dan kateter hemodialisis serta arteri line untuk pemantauan hemodinamik,

terutama untuk menilai delivery oksigen (DO2), curah jantung (cardiac output =

CO) dan isi sekuncup (stroke volume = SV) serta tahanan vaskuler sistemik

(systemic vascular Resistance = SVR).

Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan alat Vigileo, dihitung

SVR ternyata rendah (sesuai syok septik) serta dilakukan fluid challenge test

menggunakan stroke volume sebagai target. Dilakukan loading kristaloid tiap

200ml untuk menilai kenaikan SV. Oleh karena pasien tampak bertambah sesak

napas karena overload cairan, dan meskipun pasien sudah mendapatkan terapi

diuretik (furosemide sampai dosis 20mg/jam), tetapi urin 3 jam pertama di ICU

hanya 50ml, maka diputuskan untuk melakukan Renal Replacement Therapy

(RRT), yaitu CVVHDF direncanakan dengan: resep fluid removal: 50ml/jam,

replacement: 1000ml/jam, dialisat: 1000ml/jam Continous RRT dimulai sejak hari

pertama selama 48 jam. Cairan yang dikeluarkan lebih dari 4000ml dalam 48 jam.

Sehingga dari balans +1150ml di hari pertama (belum termasuk balans pasien

selama di RS swasta sebelumnya) menjadi +250ml di hari ketiga.Dengan produksi

urin di hari ketiga > 1ml/kg/jam. Dengan CRRT ketergantungan akan dosis

norepinefrin (NE) tampak sangat jauh berkurang. Sebelumnya MAP

dipertahankan diatas 70mmHg dengan dosis NE 0,8-1ug/kg/menit tetapi setelah

program CRRT dosis NE adalah 0,1ug/kg/menit untuk mempertahankan MAP

yang sama. Parameter hemodinamik seperti CO, CI dan SV tampak membaik

walaupun pada hari ke VII, VIII, IX terlihat sedikit menurun kembali.

Page 27: Makalah -  Septik

Selama RRT, tetap diberikan cairan kristaloid rumatan 20ml/jam dan

albumin 20% 100ml sebagai volume ekspander dan untuk menarik cairan di

jaringan yang edema. Antibiotik empirik tetap diberikan dengan terapi dosis.

Adanya HAP dan ISK dengan kemungkinan kuman multiresistens maka

digunakan terapi antibiotik meropenem 3x1 g dan amikasin 1x1 g.

Infeksi yang menyebabkan syok pada pasien ini diduga pneumonia yang

didapatkan dari RS swasta dan juga infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan

hasil urinalis ditemukan bakteri dan jamur. Pada hari kesembilan, keluar hasil

kultur sputum yakni candida albicans sehingga pemberian anti fungal.

Page 28: Makalah -  Septik

BAB IV

PENUTUP4.1 Kesimpulan

Sindrom kardiorenal terjadi pada pasien yang mengalamai sepsis berat dan syok

septik. Patogenesis terjadinya CRS dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mempengaruhi

baik fungsi jantung dan atau ginjal, termasuk keadaan syok yang dihubungkan dengan

hipoperfusi ginjal, vasodilatasi pembuluh darah sistemik maupun intrarenal, reaksi

inflamasi jaringan, disfungsi endotel dan terjadinya gangguan permeabilitas vaskular.

Pada kasus sepsis berat dan syok sepsis keberhasilan terapi terletak pada

penatalaksanaan yang adekwat dan implementasi dari 3 pilar sepsis yakni resusitasi

cairan sedini mungkin dapat mencapai target hemodinamik, pemberian antibiotik yang

tepat dan adekwat serta source control yang baik.

4.2 Saran

Page 29: Makalah -  Septik

Daftar IsiBAB I............................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................2

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2

1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................................................2

1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................................................3

TINJAUAN TEORI..........................................................................................................................................3

2.1 Definisi.........................................................................................................................................3

2.2 Etiologi.........................................................................................................................................4

2.3 Patogenesis..................................................................................................................................4

2.4 Patofisiologi Syok Septik..............................................................................................................6

2.5 Gejala Klinis Sepsis.......................................................................................................................6

2.6 Diagnosis......................................................................................................................................7

2.6.1 Riwayat................................................................................................................................7

2.6.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................................7

2.6.3 Laboratorium.......................................................................................................................7

2.7 Penatalaksanaan..........................................................................................................................8

2.7.1 Stabilisasi pasien langsung...................................................................................................8

2.7.2 Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme........................................................22

2.7.3 Pemberian antibiotik..........................................................................................................22

BAB III........................................................................................................................................................24

TINJAUAN KASUS.......................................................................................................................................24

3.1 Contoh Kasus.............................................................................................................................24

3.2 Penatalaksanaan........................................................................................................................25

3.2.1 Di UGD...................................................................................................................................25

3.2.2 Di ICU.....................................................................................................................................28

BAB IV........................................................................................................................................................30

PENUTUP...................................................................................................................................................30

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................................30

Page 30: Makalah -  Septik

4.2 Saran..............................................................................................................................................30