makalah reciprokal teaching dan problem posing
DESCRIPTION
PendidikanTRANSCRIPT
1
STRATEGI PEMBELAJARAN
RECIPROCAL TEACHING DAN PROBLEM POSING
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Pendekatan Pembelajaran Kimia
yang dibina oleh Dr. EndangBudiasih, MS
Oleh:
Dyah Purwaningtyas (140331808580)
Hanie Vidya Ch. (140331808584)
Rima Dhian Pratiwi (140331808596)
Taufan Hadi Susanto (140331808599)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
September 2015
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang
mempelajari struktur, susunan, sifat, perubahan materi, serta energi yang
menyertainya. Ilmu kimia sebagai bagian dari sains berkaitan dengan cara mencari
tahu tentang alam secara sistematis, bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja,
tetapi juga melibatkan suatu proses penemuan. Dari pengertian tersebut dapat
ditarik dua garis besar tentang materi kimia, yaitu kimia sebagai suatu produk
temuan ilmuan yang dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori.
Kedua, kimia sebagai suatu proses kerja ilmiah dengan menggunakan metode
ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus
memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk (Depdiknas,
2003a:6-7). Selain itu, materi ilmu kimia sebagian besar merupakan materi yang
bersifat abstrak dan harus diajarkan dalam waktu yang terbatas (William et. al.
dalam Effendy, 2013). Effendy (2013: 2) menyebutkan ”hal ini memungkinkan
untuk dipahaminya materi ilmu kimia, khususnya konsep-konsep kimia secara
tidak tepat oleh pembelajar. Pemahaman yang tidak tepat ini dapat berlangsung
secara sporadis atau konsisten”. Oleh sebab itu, proses pembelajaran yang
dilaksanakan harus menggunakan pendekatan yang mampu memfasilitasi
pembelajar untuk dapat mengkonstruk pengetahuan, keterampilan, dan sikap
melalui serangkaian aktivitas yang bermakna salah satunya melalui pendekatan
kontrukstivistik.
Teori konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan yang bermakna
harus dibangun secara aktif oleh pembelajar melalui serangkaian kegiatan
eksplorasi, diskusi, menafsirkan, memprediksi, bertanya, investigasi atau
menggunakan pengetahuan awal mereka untuk membangun struktur kognitif yang
baru tentang suatu fakta atau pengetahuan baru. Menurut Piaget (Iskandar, 2015)
pembelajaran konstruktivistik menekankan pada kegiatan internal individu
3
terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang
individu. Sedangkan Vygotsky menekankan pembentukan pengetahuan secara
konstruktivistik melalui interaksi sosial (Iskandar, 2015). Dalam hal ini
pandangan konstruktivisme Piaget dan Vygotsky dapat berjalan berdampingan
dalam proses pembelajaran konstruktivisme. Model pembelajaran yang dapat
membantu pembelajar membangun konstruksi kognitifnya tentang suatu fakta
atau pengetahuan baru secara mandiri dengan melibatkan interaksi sosial
diantaranya adalah Strategi Pengajaran Timbal Balik (Reciprocal teqaching) dan
pembentukan soal (Problem Posing).
Strategi pembelajaran resiprokal teaching merupakan variasi dari
pembelajaran kooperatif sebab melibatkan empat orang yang belajar bersama
dalam satu kelompok (Iskandar,2015:91). Reciprocal teaching merupakan strategi
pengajaran konstruktivis yang dirancang untuk mengajarkan pembelajar strategi-
strategi kognitif serta membantu pembelajar untuk memahami dan memaknai
bacaan dengan baik melalui dialog dan berbagi peran. Melalui reciprocal teaching
pembelajar diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik,
yaitu merangkum bacaan (summarising), mengajukan/menyusun pertanyaan
(questioning), memprediksi materi lanjutan (predicting), dan mengklarifikasi
istilah-istilah yang sulit dipahami (clarifying) (Mahardika,2013:3). Sedangkan
problem posing merupakan salah satu teknik dalam metode pemberian tugas pada
pembelajar untuk merumuskan, membuat atau mengajukan soal sesuai kriteria
tertentu berdasarkan yang diberikan pengajar. Penerapan problem posing dalam
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan secara individu maupun kelompok
(Rifqiawati. 2011:13). Oleh karena itu, pengajar perlu menciptakan lingkungan
belajar yang baik dalam pembelajaran problem posing. Salah satunya dengan cara
pengajar menyelenggarakan pengajaran dengan reciprocal teaching , yaitu
pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru-pembelajar dan pembelajar-
pembelajar mengenai isi buku teks yang dilakukan dengan menggilir pembelajar
berperan sebagaiguru (Rifqiawati. 2011:13). Berdasarkan uraian diatas, penulis
memandang implementasi Strategi pembelajaran Resiprokal Teaching dan
Problem Posing perlu untuk dikembangkan.
4
1.2 Topik Pembahasan
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada model pembelajaran
kooperatif tipe reciprocal teaching dan Problem Possing. Adapun
permasalahannya sebagai berikut:
1) Apakah yang dimaksud dengan strategi pengajaran Timbal
Balik(reciprocal teaching)?
2) Teori belajar apakah yang mendasari strategi pengajaran Timbal
Balik(reciprocal teaching)?
3) Bagaimanakah sintaks atau implementasi dari strategi pengajaran Timbal
Balik(reciprocal teaching)?
4) Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran problem posing?
5) Apa saja teori belajar yang mendasari pembelajaran problem posing?
6) Apa saja unsure-unsur yang terdapat dalam pembelajaran problem posing?
7) Bagaimanakah sintaks atau implementasi dari strategi pengajaran problem
posing?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang:
1) Penjelasan strategi pengajaran reciprocal teaching sebagai variasi dari
pembelajaran kooperatif
2) Teori-teori belajar yang mendasari strategi pengajaran Timbal
Balik(reciprocal teaching)?
3) Sintaks atau implementasi dari strategi pengajaran Timbal
Balik(reciprocal teaching).
4) Penjelasan tentang problem posing
5) Teori-teori belajar yang mendasari pembelajaran problem posing
6) Sintaks atau implementasi dari pembelajaran problem posing
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Model Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi Pengajaran Timbal
Balik(Reciprocal Teaching)
Proses pembelajaran Kimia yang dilaksanakan haruslah menggunakan
pendekatan yang mampu memfasilitasi pebelajar memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap melalui serangkaian aktivitas yang bermakna.
Aktivitas bermakna tersebut harus diusahakan sebanyak mungkin berpusat
pada peserta didik, sehingga mereka secara aktif mengkonstruk konsep,
hukum, atau prinsip ilmiah melalui dialog-dialog belajar yang bersifat kerja
sama untuk memahami bacaan-bacaan atau wacana secara mandiri di kelas.
Strategi pengajaran Timbal Balik ini merupakan salah satu cara untuk
membelajarkan pembelajar memaknai wacana secara mandiri, berikut
ulasannya:
2.1.1 Pengertian Strategi Pengajaran Timbal balik(Reciprocal Teaching)
Reciprocal teaching dipadankan dengan kata pembelajaran timbal
balik (Iskandar, 2015: 91). Dikembangkan pertama kali oleh Annemarie
Sullivan Palincsar dan Ann L. Brown pada tahun 1984. Strategi ini
merupakan variasi dari pembelajaran kooperatif yang utamanya adalah
pembelajaran berkelompok. Oleh karena itu unsur dalam pembelajaran
kooperatif berlaku pada pengajaran timbal balik,antara lain yaitu: 1) interaksi
langsung antar pembelajar dalam kelompok, 2) ketergantungan positif dan
saling kerjasama untuk mencapai tujuan, 3) keterandalan individu menguasai
kajian, 4) keterampilan personal dan kelompok kecil secara efektif agar
tujuan kelompok tercapai.
Pada dasarnya tujuan Reciprocal Teaching adalah untuk
meningkatkan pemahaman mambaca (reading comprehension). Strategi ini
dipandang berhasil apabila memenuhi 7 peraturan yang ditaati dalam
kelompok, yaitu:
6
1. Bersikap kritis terhadap pendapat, bukan terhadap pribadi
2. Ingat bahwa semua dalam mengerjakan tugas
3. Setiap anggota berperan aktif
4. Sikap saling menghargai pendapat setiap anggota
5. Mengulangi pernyataan yang kurang jelas dari pendapat anggota lain
6. Menyimpulkan pendapat yang telah dikemukakan secara bersama-sama
7. Mencoba memahami isu-isu dari berbagai sudut pandang
Pada pelaksanaannya, strategi ini mendorong pebelajar
mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki secara efektif
antara lain melakukan prediksi (predicting), bertanya (questioning),
mengklarifikasi (clarifying) dan merangkum (summarizing) (Palincsar, 1984).
Setiap anggota dalam kelompok mendapatkan tugas berlainan untuk wacana
yang berbeda sehingga memungkinkan setiap anggota mampu dan mahir
dalam melakukan 4 tugas secara mandiri.
Palincsar (1984) menunjukkan bahwa melakukan prediksi (predicting)
terjadi ketika pebelajar berhipotesis dengan topik yang akan dibahas dalam
teks. Prediksi mengacu pada asumsi pebelajar yang terjadi saat membaca.
Pebelajar harus mengaktifkan latar belakang pengetahuan mereka terkait
dengan topik tersebut. Mereka juga perlu mengevaluasi prediksi mereka
sebelumnya, dan merevisi jika perlu (Teele, 2004). Jika ditemukan
ketidakcocokan maka pebelajar perlu merevisi prediksi sebelumnya dan terus
membuat prediksi berikutnya. Dengan demikian kemampuan pebelajar untuk
memonitor pemahaman bacaan meningkat.
Dalam keterampilan bertanya (questioning), pebelajar didorong untuk
menghasilkan pertanyaan dengan fokus pada gagasan utama dari teks
(Palincsar & Brown, 1984) dan untuk melihat perspektif pebelajar yang lain
pada masalah yang sama. El-Komy & Abdel (1996) menyatakan bahwa
pebelajar membutuhkan penguasaan informasi pendukung, sedangkan King
(1993) dan Millis & Cottell (1998) mengharuskan pebelajar untuk
menyimpulkan informasi baru dari teks. Owens (1976) berpendapat bahwa
pertanyaan adalah salah satu pendekatan yang paling efektif untuk
meningkatkan pemahaman dalam membaca suatu teks. Palincsar dan Brown
7
(1984) menyatakan lebih lanjut bahwa dengan mengajukan pertanyaan
mengenai inti dari teks, pebelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka
dalam wilayah subjek.
Melakukan klarifikasi (clarifying) didefinisikan sebagai
mengklarifikasi kesalahpahaman mengenai teks (Palincsar & Brown, 1984).
Pebelajar diminta untuk mengklarifikasi pemahaman mereka sendiri dan
untuk mengidentifikasi apakah teks sulit untuk dipahami (misalnya kosa kata
baru, kata tidak jelas referensi, asing, dan mungkin konsep yang sulit). Ketika
pebelajar mengidentifikasi informasi yang menghambat mereka dalam
memahami teks, maka mereka harus mengambil tindakan perbaikan untuk
menemukan makna teks (misalnya, membaca ulang atau meminta bantuan).
Tujuan klarifikasi adalah untuk memastikan pemahaman pebelajar dalam
membaca teks.
Keterampilan akhir dalam pembelajaran timbal balik adalah
summarizing yaitu membuat ringkasan hasil pemahaman membaca. Irwin
(1991) menyatakan bahwa summarizing adalah proses yang melibatkan
penghapusan informasi yang tidak penting, dan mengidentifikasi atau
membangun pernyataan ide umum atau utama yang meringkas banyak
rincian. Duffy (2003) mendefinisikan summarizing sebagai strategi yang
digunakan untuk menceritakan kembali dengan singkat dari seluruh teks.
Konstruksi ringkasan sering dianggap sebagai tugas yang sulit bagi pebelajar
karena mereka tidak tahu informasi apa yang harus disimpan dan apa yang
harus ditinggalkan (Duffy, 2003; Jones, 1999).
Dengan demikian strategi pembalajaran timbal balik memberikan
pebelajar instruksi eksplisit, pemodelan yang luas, dan praktek berulang dari
empat kemampuan membaca efektif (Palincsar & Brown , 1984; Rosenshine
& Meister , 1994).
2.1.2 Teori Belajar yang Mendasari Strategi Reciprocal Teaching
Iskandar (2011: 91-92) menyatakan bahwa secara umum teori belajar
yang mendasari strategi reciprocal teaching adalah teori konstruktivisme dan
merupakan variasi dari pembelajaran kooperatif khususnya pembelajaran
berkelompok (learning together), sehingga unsur-unsur pada pembelajaran
8
berkelompok juga berlaku untuk pembelajaran timbal balik. Slavin (dalam
Trianto, 2007: 13) menyatakan teori konstruktivisme berkembang dari teori
belajar Bruner, Piaget, dan Vygotsky. Sedangkan Slavin (dalam Iskandar,
2011: 92), menyatakan teori yang menjadi acuan dalam pembelajaran
kooperatif yang juga berlaku untuk strategi pembalajaran timbal balik yaitu
teori motivasi dan teori kognitif.
2.1.2.1 Teori Belajar Bruner
Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat
hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin & Sund, 1975).
Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia
menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif
dalam proses penemuan, pembelajar akan memperoleh sensasi dan kepuasan
intelektual yang merupakan suatau penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-
satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam
melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan
penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat
retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif
yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan strategi reciprocal
teaching.
2.1.2.2 Teori Belajar Piaget
Berdasarkan teori Piaget belajar berkaitan dengan pembentukan dan
perkembangan skema (jamak skemata). Skema adalah suatu struktur mental
atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual
beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Baldwin, 1967).
Skema tidak pernah berhenti berubah, skemata seorang anak akan
berkembang menjadi skemata orang dewasa. Proses yang menyebabkan
terjadinya perubahan skemata disebut dengan adaptasi. Proses terbentuknya
adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan stimulus yang dapat berupa persepsi, konsep, prinsip,
hukum ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada didalam
pikirannya. Asimilasi terjadi jika ciri-ciri stimulus tersebut cocok dengan ciri-
9
ciri skema yang telah ada. Apabila ciri-ciri stimulus tidak cocok dengan ciri-
ciri skema yang telah ada maka seseorang akan melakukan akomodasi.
Akomodasi dapat berupa pembentukan skema baru yang dapat cocok dengan
ciri-ciri rangsangan yang ada atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan ciri-ciri stimulus yang ada. Dalam pembelajaran
diperlukan adanya penyeimbangan atau ekuilibrasi antara asimilasi dan
akomodasi. Bila pada seseorang akomodasi lebih dominan dibandingkan
asimilasi maka ia akan memiliki skemata yang banyak tetapi kualitasnya
cenderung rendah. Sebaliknya, bila asimilasi lebih dominan dibandingkan
akomodasi maka seseorang akan memiliki skemata yang tidak banyak tapi
cenderung memiliki kualitas yang tinggi. Keseimbangan atau ekuilibrasi
antara asimilasi dan akomodasi diperlukan untuk perkembangan intelek
seseorang menuju ke tingkat yang lebih tinggi.
Piaget (dalam Carin & Sund, 1975) menyatakan bahwa pembelajaran
yang bermakna tidak akan terjadi kecuali pebelajar dapat beraksi secara
mental dalam bentuk asimilasi dan akomodasi terhadap informasi atau
stimulus yang ada di sekitarnya. Bila hal ini tidak terjadi maka guru dan
pebelajar hanya akan terlibat dalam belajar semu (pseudo-learning) dan
informasi yang dipelajari cenderung mudah terlupakan.
Proses-proses kognitif yang dibutuhkan dalam rangka mengkonstruk
konsep, hukum atau prinsip dalam skema sesorang melalui tahapan-tahapan
prediksi (predicting), bertanya (questioning), mengklarifikasi (clarifying) dan
merangkum (summarizing) yang terdapat dalam pembelajaran dengan strategi
reciprocal teaching selalu melibatkan asimilasi dan akomodasi. Oleh karena
itu teori belajar Piaget adalah relevan untuk dijadikan sebagai dasar dari
strategi reciprocal teaching.
2.1.2.3 Teori Belajar Vygotsky
Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila pebelajar
bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu
berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat
perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan
10
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu. (Nur dan Wikandari,2000:4).
Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal apa yang
dikatakan scaffolding (perancahan), dimana perancahan mengacu kepada
bantuan yang diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih
kompeten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada
anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukannya
sendiri. (Nur, 1998:32).
2.1.2.4 Teori Motivasi
Teori-teori motivasi yang umum dijadikan acuan dalam
pengembangan teori motivasi adalah Abraham Maslow, Herzberg, Dauglas
McGregor, Vroom, Achievement Theory McClelland dan teori motivasi ERG
dari Clayton Alderfer. Abraham Maslow mengemukakan bahwa pada
dasarnya manusia mempunyai kebutuhan pokok yang ditunjukkan dalam 5
tingkatan berbentuk pyramid dengan urutan kebutuhan faal, keamanan, sosial,
penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri pada puncak piramid. Kebutuhan
pada satu tingkat paling tidak harus terpenuhi sebelum kebutuhan pada
tingkat berikutnya. Teori motivasi dari Maslow juga dikenal sebagai Hirarki
Kebutuhan Maslow.
Herzberg menyimpulan ada 2 faktor yang mendorong seseorang
untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhi ketidakpuasan yakni faktor
hygiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor instrinsik). Faktor
hygiene atau pemeliharaan mencakup status dalam organisasi dan hubungan
individu dengan pihak lain. Sedangkan faktor motivator meliputi kegiatan
rutin, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan karier dan
pengakuan orang lain. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan Model
Dua Faktor.
Victor H. Vroom menjelaskan teori yang disebutnya sebagai Teori
Harapan. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang
ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
11
tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya tersebut.
Artinya apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu dan jalan tampak
terbuka untuk memperolahnya, maka yang bersangkutan akan
memperolehnya. Seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini
tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil usaha dari pekerjaan itu sangat
diinginkan.
Komponen yang menentukan tinggi rendahnya motivasi seseorang
yaitu: (1) ekspektasi atau harapan keberhasilan pada suatu tugas, (2)
instrumentalis, merupakan penilaian tentang apa yang akan terjadi jika
berhasil dalam mendapatkan sesuatu (keberhasilan tugas untuk mendapatkan
outcome tertentu), (3) valensi, merupakan respon terhadap outcome seperti
perasaan positif, netral atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan
sesutau yang melebihi harapan, sedangkan motivasi rendah jika usahanya
menghasilkan kurang dari harapannya.
Teori McClelland dikenal dengan teori kebutuhan untuk mencapai
prestasi atau Need for Achievement yang menyatakan bahwa motivasi
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan seseorang akan prestasi. Karakteristik
orang yang memiliki motivasi tinggi yaitu: (1) preferensi untuk mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat, (2) menyukai situasi dimana
kinerja timbul karena upaya mandiri dan bukan karena faktor lain, (3)
menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan.
Clayton Alderfer mengemukakan teori motivasi ERG yang
didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (existence), hubungan
(relatdness) dan pertumbuhan (growth). Jika kebutuhan yang lebih tinggi
tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerak
fleksibel dari pemenuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi.
Dari beberapa teori diatas dapat dinyatakan secara umum bahwa
motivasi merupakan energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu
perubahan pada diri seseorang yang tampak pada gejala kejiwaan, perasaan,
dan juga emosi sehingga mendorong individu untuk bertindak atau
melakukan sesuatu karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan yang
harus terpuaskan.
12
Dalam pembelajaran kooperatif, adanya reward yang dapat diperoleh
anggota kelompok menjadi motivasi untuk berperan serta secara aktif.
Kontribusi setiap anggota kelompok mampu menciptakan susasana yang
mengahasilkan pemikiran bahwa satu-satunya cara agar anggota dapat
mencapai tujuan individual adalah melalui keberhasilan kelompok. Dalam
kondisi ini adanya reward berupa penguatan atau pujian antar anggota
kelompok menjadi penyemangat keberhasilan.
2.1.3 Sintaks atau Implementasi Pembelajaran dengan Strategi Reciprocal
Teaching
Palincsar dan Brown (1984: 1-2) menyebutkan bahwa strategi
reciprocal teaching didasari atas empat prinsip kegiatan yang fleksibel
dalam pelaksanaannya, yaitu menyusun pertanyaan (question generating),
memprediksi (predicting), mengklarifikasi (clarifying), dan merangkum
(summarizing). Hal ini menyebabkan dalam setiap kelompok
beranggotakan empat orang dengan tugas yang berbeda, yaitu
memprediksi, mengklarifikasi, menyusun pertanyaan dan membuat
ringkasan. Pada pelaksanaannya setiap anggota harus mendapat tugas yang
berlainan untuk wacana yang berbeda, sehingga diharapkan yang
bersangkutan mampu dan mahir melakukan keempat tugas di atas secara
mandiri. Berikut Sintak dalam pelaksanaan strategi pembelajaran
reciprocal teaching disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Sintak dalam Strategi Pembelajaran Reciprocal Teaching
TahapKegiatan
KeteranganPengajar Pebelajar
Pendahulua
n
Mengkomunikasi
pelaksanaan
strategi
pembelajaran
reciprocal
teaching
Memahami
pelaksanaan
strategi
pembelajaran
reciprocal
teaching
Pengajar sudah
menyiapkan
perangkat
pembelajaran dan
bahan bacaan
untuk pebelajar.
13
Mengelompokkan
pebelajar menjadi
kelompok-
kelompok yang
beranggotan 4
orang dan
memberikan satu
peran pada
masing-masing
anggota kelompok
(sebagai penduga,
penanya,
pengklarifikasi dan
sebagai
perangkum)
Membentuk
kelompok-
kelompok yang
beranggotan 4
orang dan
mengambil satu
peran pada
masing-masing
anggota
kelompok
(sebagai
penduga,
penanya,
pengklarifikasi
dan sebagai
perangkum)
Pengajar akan
memberikan hasil
yang lebih baik
jika pada
pertemuan
sebelumnya
pengajar sudah
mengkomunikasika
n kompetensi dasar
(judul materi),
penugasan
membaca mandiri
dan melatih
pebelajar
melakukan
kegiatan
memprediksi,
menyusun
pertanyaan,
mengkalrifikasi
dan, meringkas.
Pembelajaran akan
lebih efektif
apabila kelompok
sudah terbentuk
pada pertemuan
sebelumnya.
14
Lanjutan Tabel 2.1
TahapKegiatan
KeteranganPengajar Pebelajar
Kegiatan
Inti
Membagi bahan
bacaan pada setiap
kelompok
Melakukan
observasi dan
pendampingan
Setiap anggota
kelompok
melaksanakan
perannya.
Penduga:
memprediksi apa
yang akan dibahas
oleh pengarangnya
dengan membaca
judul atau sub judul
bacaan
Pengklarifikasi:
mencari kata-kata dan
konsep sulit yang
membuat bacaan sulit
dipahami
Penanya:
mengidentifikasi
informasi penting
dalam bacaan dan
mengajukan
pertanyaan tersebut
dalam kalimat bentuk
kalimat tanya.
Perangkum:
mengdentifikasi
informasi-informasi
penting,
mengintegrasikan
Menyediakan
lembar kerja
untuk pebelajar
sesuai dengan
tugasnya dan
memberikan
catatan penting
(bila
diperlukan atau
diduga
pebelajar
belum
memahami
rincian
tugasnya)
15
Mempersilahkan
pebelajar untuk
mempresentasikan
hasil kerja sesuai
dengan tugasnya,
memberi evaluasi
pada miskonsep dan
penguatan pada
konsep yang sudah
benar
informasi-informasi
dalam kaitan yang
jelas dan
menjadikannya suatu
pengertian yang utuh
dalam sebuh
ringkasan
Mempresentasikan,
mendiskusikan dan
menyimpulkan hasil
bacaan sesuai dengan
tugas.
Penutup Memberikan
evaluasi terhadap
pelaksanaan strategi
pembelajaran timbal
balik dan pencapain
tujuan pembelajaran
Memberikan reward
Memberikan tugas
tidak terstruktur
(dimodifikasi dari Iskandar, 2011)
2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Strategi Reciprocal Teaching
Kelebihan pembelajaran dengan Reciprocal Teaching menurut Mahardika
(2013:3), antara lain:
1. Melatih kemampuan pembelajar untuk belajar mandiri
2. Dengan merangkum pembelajar dapat berlatih menemukan hal-hal penting
dari apa yang dipelajari
3. Dengan bertanya, dapat meningkatkan kemampuan pembelajar dalam
memecahkan masalah
16
4. Adanya pembagian tugas membuat diskusi lebih efektif
5. Mengajarkan teknik-teknik belajar efektif dengan metakognisi pada
pembelajar, dan
6. Siklusnya fleksibel atau dapat dibolak balik sesuai karakteristik materi
Masih menurut mahardika (2013:3), Reciprokal Teaching memiliki kelemahan
antara lain:
1. Memerlukan waktu lebih banyak dalam pelaksanaannya
2. Siswa yang memiliki kemampuan dekoding atau merangkai kata rendah
umumnya merasa tidak nyaman atau malu ketika bekerja dalam kelompok.
2.2 Strategi Pembelajaran Problem Posing
Berbagai penelitian menemukan bahwa masalah yang dihadapi oleh
pebelajar pada jenjang sekolah menengah adalah kesulitan mereka dalam
memahami ilmu kimia. Ilmu kimia adalah ilmu pengetahuan yang unik, sarat
akan konsep tetapi semua konsepnya merupakan sesuatu yang bersifat abstrak,
sehingga sukar untuk dipahami. Ilmu kimia tidak seperti biologi yang
mempelajari kehidupan makhluk hidup, sehingga obyek yang dipelajari bisa
mudah ditemui dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Bagi sebagian
orang, ada yang beranggapan bahwa ilmu kimia tidaklah nyata karena
prosesnya tidak dapat dilihat langsung oleh panca indra.
Keunikan ilmu kimia tidak berhenti pada hal tersebut. Ilmu kimia juga
merupakan pelajaran yang bersifat runtut, materi yang dipelajari lebih dahulu
merupakan dasar untuk memahami materi berikutnya. Banyak pebelajar tidak
memahami konsep dasar kimia sehingga mereka kesulitan untuk memahami
konsep kimia di tingkat lanjutan.
Sifat unik ilmu kimia selanjutnya adalah pada jenis materinya.
Biasanya karakteristik suatu mata pelajaran terletak pada jenis materi yang
dipelajari. Ada bidang-bidang pelajaran terstentu yang mempelajari konsep –
konsep dalam ilmu pengetahuannya seperti sejarah atau biologi, sebaliknya
ada bidang lain yang hanya mempelajari angka-angka seperti matematika. Di
sini sifat unik ilmu kimia terletak pada jenis materi yang dipelajarinya, dimana
tidak melulu berupa pemahaman konsep saja tetapi juga melibatkan angka-
17
angka dalam pembahasannya. Melihat hal tersebut sangat mungkin bila ada
pebelajar yang mampu menguasai konsep atau memahami konsep yang
dipelajari tetapi kesulitan dalam bekerja dengan angka-angka.
Banyak penelitian lanjutan dilakukan untuk menyikapi berbagai
kesulitan yang dihadapi oleh pebelajar dalam mempelajari ilmu kimia. Salah
satu cara yang diupayakan adalah dengan mengembangkan berbagai
pendekatan, strategi ataupun metode pembelajaran kimia. Slah satu strategi
yang akan kita bahas disini adalah strategi pembelajaran problem posing.
Problem posing berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris yaitu
problem yang berarti masalah dan posing berasal dari to pose yang berarti
mengajukan atau membentuk. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa strategi pembelajaran problem posing dapat dimaknai
sebagai strategi pembembelajaran pembentukan soal.
Strategi ini dikembangkan pada mata pelajaran yang banyak
menggunakan angka seperti matematika dan fisika. Untuk kimia, strategi ini
dinilai akan afektif digunakan pada materi-materi yang banyak menggunakan
operati matematis, misalnya perhitungan kimia. Berikut ini akan dibahas lebih
dalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan problem posing.
2.2.1 Teori Pembelajaran yang Mendasari Problem Posing
Dilihat dari struktur pembelajarannya, problem posing merupakan
suatu pembelajaran yang berpusat pada pengajar sekaligus juga pada
pebelajar. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Pembelajaran problem posing berpusat pada pengajar, atau biasa
disebut sebagai teacher center. Pembelajaran seperti ini di dasarkan pada
teori pembelajaran behavioristik. Sesuai dengan namanya teori
behaviorisme ini berasal dari kata behavior yang berarti tingkah laku.
Teori ini menekankan terjadinya perubahan tingkah laku pebelajar setelah
melalui proses belajar.
Mengapa harus teori behaviorisme? Hal itu terjadi karena dalam
proses pembelajarannya, strategi pembelajaran problem posing ini perlu
melibatkan pengajar untuk menjelaskan konsep pada materi pelajaran
yang akan dipelajarinya sebelum meminta pembelajar mengaplikasikannya
18
dalam bentuk membuat soal. Penjelasan ini biasanya dilakukan dengan
metode ceramah. Oleh karena itu pembelajaran ini dinyatakan sebagai
teacher centered.
Dalam penerapannya, untuk menilai apakah konsep yang baru
dijelaskan sudah benar-benar dipahami atau belum maka pengajar
meminta pebelajar untuk membuat soal sesuai dengan konsep yang telah
dipahami. Pada tahap ini pebelajar diminta benar-benar mengeksplorasi
pemahaman konsep yang dimilikinya. Peran pebelajar sangatlah dominan
dalam tahap ini sehingga tahap ini dikatakan sebagai student centered,
berpusat pada pebelajar. Pembelajaran yang berpusat pada pembelajar
inilah yang dikatakan sesuai dengan teori konstuktivisme. Pada tahap ini
pembelajar diminta membangun sendiri pengetahuannya secara aktif.
Salah satu cara pebelajar membangun pengetahuannya secara aktif
adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan obyek-obyek yang
tengah dipelajari baik itu yang bersifat abstrak maupun konkrit. Obyek
yang dimaksud di sini adalah kondisi tertentu yang dapat digunakan
pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Kondisi tertentu yang
dimaksudkan di sini dapat berupa benda manipulative, gambar, permainan,
konsep atau teori, maupun soal.
Dari uraian di atas tampak bahwa soal adalah salah satu kondisi
tertentu yang dipersyaratkan pada pebelajar dalam rangka membangun
pengetahuannya. Oleh karena itu penting sekali bagi pebelajar untuk
berinteraksi dengan soal untuk memperdalam pemahaman konsep yang
dimiliki. Di sini tampak peranan strategi pembelajaran problem posing
yaitu untuk memfasilitasi pebelajar agar lebih banyak berinteraksi dengan
soal yaitu dalam bentuk membuat, menyelesaikan maupun menjelaskan
soal-soal yang sesuai dengan konsep yang tengah dipelajari.
Soal yang dimaksudkan dalam pembelajaran problem posing ini
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu kondisi bebas, semi terstruktur dan
terstruktur. Pada soal dengan kondisi bebas, pengajar memberikan
kebebasan penuh pada pebelajar, pengajar tidak mensyaratkan kondisi
apapun yang harus dipatuhi oleh pebelajar. Selanjutnya kondisi semi
19
terstruktur, pada kondisi ini pebelajar diberikan kondisi terbuka, sehingga
dimungkinkan pebelajar menyelidiki suatu kondisi sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Penyelidikan di sini di maksudkan untuk
mengaitkan kondisi yang diselidiki dengan operasi matematis.
Karakteristik soal yang terakhir adalah terstruktur, maksudnya pebelajar
diberikan data/ informasi, biasanya berlabel “diketahui”.
2.2.2 Unsur-unsur yang Terdapat dalam Pembelajaran Problem Posing
Unsur penting dalam pembelajaran problem posing ada 3 hal yang
meliputi (1) unsure matematis; (2) struktur pembelajaran; dan (3) respon
pebelajar. Pembelajaran problem posing memiliki unsure matematis,
unsure ini cocok dengan pembelajaran kimia karena ada beberapa pokok
bahasan kimia yang memiliki operasi matematis misalnya pada materi
stoikiometri, energy, larutan dan kinetika kimia.
Struktur pembelajaran problem posing merupakan peralihan dari
teacher centered menuju student centered. Penyampaian materi yang
diberikan oleh pengajar pada setiap pembelajaran dengan menggunakan
metode ceramah merupakan perwujudan dari apa yang dimaksud dengan
teacher centered. Sedangkan student centered tampak pada interaksi
pebelajar dengan teman sebayanya dalam membangun pengetahuan
melalui kegiatan pembentukan soal, menyelesaikan soal yang dibuat teman
sebayanya maupun pada saat menjelaskan penyelesaian soal kepada teman
sebayanya.
Unsur penting yang terakhir adalah respon pebelajar. Unsur ini bisa
dilihat dari macam-macam soal yang telah dibuat oleh pebelajar. Apakah
soal yang dibuat hanya berupa pertanyaan, pertanyaan matematik ataukah
pertanyaan non matematik. Untuk pertanyaan matematik dibedakan lagi
menjadi dua yaitu pertanyaan matematik yang dapat diselesaikan ataukah
pertanyaan matematik yang tidak dapat diselesaikan. Semua tipe
pertanyaan yang dibuat oleh pebelajar ini akan diberikan skor untuk
menilai respon pebelajar. Skore paling tinggi diberikan pada respon
pebelejar yang paling baik yaitu pebelajar yang mampu membuat soal
berupa pertanyaan matematik yang dapat diselesaikan oleh teman
20
sebayanya. Sebaliknya pebelajar yang hanya dapat memebuat pertanyaan
biasa saja tidak akan memperoleh skore.
2.2.3 Cara Menyusun Skenario Pembelajaran Problem Posing
Adapun langkah-langkah pengajar untuk menerapkan strategi
pembelajaran problem posing dalam pembelajaran dikelas diberikan
sebagai berikut:
1. Membuka kegiatan pembelajaran
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran
3. Menyampaikan materi pembelajaran
4. Memberikan contoh soal dan penyelesaiannya
5. Memberikan kesempatan pebelajar untuk bertanya
6. Memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk membentuk soal dari
kondisi yang diberikan dan mempertukarkan serta mendiskusikan soal
bentukannya.
7. Mempersilahkan pebelajar untuk mempresentasikan soal bentukannya.
8. Memberikan kesempatan pebelajar untuk membentuk soal sebanyak-
banyaknya pada kondisi yang lain.
9. Mempersilahkan pebelajar untuk berdiskusi, mempertukarkan soal
yang telah dibuat dan menyelesaikan soal yang dibuat oleh teman
pebelajar sementara asesmen dilakukan.
10. Mengarahkan pebelajar untuk menarik kesimpulan.
11. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan pebelajar.
12. Menutup pelajaran
2.2.4 Kelebihan Problem Posing antara lain:
1. Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut
keaktifan pembelajar.
2. Minat pembelajar dalam pembelajaran kimia lebih besar dan
pembelajar lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
3. Semua pembelajar terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat
soal.
4. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap
kemampuan pembelajar dalam menyelesaikan masalah.
21
5. Dapat membantu pembelajar untuk melihat permasalahan yang ada
dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman
yang mendalam dan lebih baik, merangsang pembelajar untuk
memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan
memperluan bahasan/ pengetahuan, pembelajar dapat memahami soal
sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
2.2.5 Kekurangan Problem posing
1. Persiapan guru harus lebih karena menyiapkan isi informasi yang
dapat disampaikan pada pembelajar
2. Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
2.2.6 Contoh Implementasi Pembelajaran Problem Posing
Contoh implementasi strategi pembelajaran problem posing pada
materi perhitungan kimia (stoikiometri) adalah sebagai berikut:
(1) Membuka kegiatan pembelajaran dengan salam dan apersepsi
(2) Menyampaikan tujuan pembelajaran/ kompetensi dasar perhitungan
yaitu untuk menghitung banyaknya peraksi dan hasil reaksi
(3) Menyampaikan materi pembelajaran perhitungan kimia dari buku
teksbook pembelajar
(4) Memberikan contoh soal dan penyelesaiannya dalam bentuk soal
terstruktur , misalnya:
Diketahui : larutan FeCl3 0,2 M
Ditanya : Konsentrasi ion [Fe3+]=…? dan konsentrasi ion [Cl-] =…?
Jawaban : FeCl3 (aq) → Fe3+(aq) + 3Cl-
(aq)
0,2 M 0,2 M 3 x 0,2 M = 0,6 M
(5) Memberikan kesempatan pebelajar untuk bertanya
(6) Memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk membentuk soal dari
kondisi yang diberikan dan mempertukarkan serta mendiskusikan soal
bentukannya. Misalnya:
22
Buatlah soal berdasarkan kondisi berikut!
a. Reaksi NaCl + Ag NO3 →NaCl+ H2O
Konsentrasi NaCl 0,1 M
b. Reaksi CuO(s) + H2(aq) → Cu(s) + H2O(l)
Banyaknya H2 adalah 2 g
(7) Mempersilahkan pebelajar untuk mempresentasikan soal bentukannya.
(8) Memberikan kesempatan pebelajar untuk membentuk soal sebanyak-
banyaknya pada kondisi yang lain. Misalnya:
Buatlah soal berdasarkan kondisi berikut:
a. Larutan KOH 0,3 M
b. Konsentrasi H2SO4 0,2 M
(9) Mempersilahkan pebelajar untuk berdiskusi, mempertukarkan soal
yang telah dibuat dan menyelesaikan soal yang dibuat oleh teman
pebelajar sementara pengajar membuat penilaian dengan lembar
observasi.
(10) Mengarahkan pebelajar untuk menarik kesimpulan.
(11) Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan pebelajar.
(12) Menutup pelajaran
2.3 Tinjauan kombinasi Metode pengajaran Problem Posing dengan Strategi
Reciprocal Teaching
Dari studi literatur yang telah dilakukan tentang strategi pembelajaran Reciprocal
Teaching dan Problem Posing dapat ditarik benang merah antara keduanya, yaitu
kedua strategi pengajaran tersebut sama-sama berbasis pendekatan konstruktifistik
yang menekankan pada peran aktif siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya
sendiri melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang bermakna. Kedua, guru
hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator yang menjebatani siswa dalam
menjajagi permasalahan yang sedang dipelajari siswa. Dan ketiga, kedua strategi
tersebut dapat melebur satu sama lain, misalnya strategi reciprocal teaching akan
memberikan hasil optimal untuk meningkatkan pemahaman siswa jika siswa
diajak mengeksplor rasa ingin tahunya melalui kegiatan bertanya dengan cara
yang efektif melalui strategi problem posing dan sebaliknya pengajaran dengan
23
problem posing dikelas akan lebih efektif jika guru menerapkan pengajaran
dengan dialog melalui reciprocal teaching.
24
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan pokok-pokok kajian pada makalah ini, maka
sebagai penutup dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pembelajaran reciprocal teaching merupakan strategi untuk meningkatkan
pemahaman mambaca (reading comprehension) dengan mendorong pebelajar
mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki secara efektif
secara berkelompok dengan melakukan prediksi (predicting), bertanya
(questioning), mengklarifikasi (clarifying) dan merangkum (summarizing).
Teori belajar yang mendasari strategi reciprocal teaching concept mapping
adalah teori belajar Bruner, Piaget, Vygotsky, Ausubel, dan teori motivasi.
2. Problem posing adalah strategi pembelajaran yang menekankan pembelajar
untuk dapat menyusun atau membuat soal setelah kegiatan pembelajaran
dilakukan. Secara struktur pembelajaran, Strategi problem posing merupakan
peralihan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning)
dan berlandaskan teori belajar behaviorime, menuju pembelajaran berpusat
pada pembelajar/pembelajar (student centered learning) yang berlandaskan
teori belajar konstruktivisme.
3. Strategi pengajaran reciprokal teaching sangat tepat jika dikombinasikan
dengan pengajaran dengan problem posing dalam rangka meningkatkan
kemapuan berpikir kritis siswa, meningkatkan pemahaman siswa tentang suatu
persoalan, bacaan, atau wacana serta keterampilan interaksi sosial siswa
dengan lingkungan.
25
DAFTAR RUJUKAN
Baldwin, A.L. 1967. Theories of Child Development. New York: John Wiley &
Sons.
Carin, A.A. & Sund, R.B. 1975. Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed.
Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Duffy, G.G. 2003. Explaining Reading. New York: The Guilford Press.
Effendy. 2013. Inovasi Pembelajaran Kimia Berbasis Pendidikan Karakter
Menyongsong Kurikulum 2013. Makalah diasjikan dalam Seminar
Nasional Pendidikan Kimia, Jurusan Kimia FMIPA Unesa, Surabaya, 27
April.
El-Komy & Abdel, S.A. 1996. Effects of three questioning strategies on EFL
reading comprehension. Paper presented at the Annual Meeting of the
Teachers of English to Speakers of other Languages (Online),
(
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1207/s1532690xci01021#UIQRfV
DqEnO), diakses 4 September 2015
Irwin, J.W. 1991. Teaching Reading Comprehension Processes. Needham
Heights: Allyn and Bacon.
Iskandar, Srini M.. 2015. Pendekatan Pembelajaran Sains Berbasis Konstruktivis.
Edisi Revisi. Malang: Media Nusa Kreatif
Iskandar, S.M. 2011. Pendekatan Pembelajaran Sains Berbasis Konstruktivis.
Malang: Bayumedia Publishing.
Kementrian pendidikan dan kebudayaan. 2014. Materi Pelatihan Guru
Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Ajaran 2014/2015.Jakarta:
Kemendikbud
Mahardika, IGd. Agus. 2013. Penerapan Metode Reciprocal teaching berbantuan
Kartu Angka untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas VI SDN 4 Penyaringan. (Online), (http://download
portalgaruda.org), diakses tanggal 7 September 2015
26
Millis, B.J., & Cottell, P.G., Jr. 1998. Cooperative Learning for Higher Education
Faculty. American Council on Education, Series on Higher Education.
Phoenix, AZ: The Oryx Press.
Nur, M. 1998. Teori-teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Nur, M dan Wikandari, primaretno. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada
Pembelajar dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya:
UNESA Press
Owens, A. 1976. The Effects of Question Generation, Question Answering, and
Reading on Prose Learning. Michigan: University Microfilms.
Palincsar, A.S. & Brown, A.L. 1984. Reciprocal Teaching of Comprehension
Fostering and Comprehension Monitoring Activities. Cognitive and
Instruction, 2(1): 117-175.
Rifqiawati, Ika. 2011. Pengaruh Penggunaan Pendekatan problem Posing
terhadap Berpikir Kreatif Siswa pada Konsep Pewarisan Sifat.
Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Press
Teele, S. 2004. Overcoming Barricades to Reading a Multiple Intelligences
Approach. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif, Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep
Landasan dan Implementasinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.