makalah profesional

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dokter merupakan profesi yang dianggap membanggakan pada sebagian besar masyarakat. Namun, pada pelaksanaannya dokter memiliki tanggung jawab besar yang harus ditunaikan dimana hal ini tak semudah yang dipikirkan oleh masyarakat. Sebagai dokter, ia berkewajiban untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan bidangnya yaitu sebagai tenaga medis. Tak dipungkiri pula, jika ada tugas atau perintah dari Negara, seyogyanya seorang dokter dapat melaksanakannya, karena hal itu merupakan kewajibannya kepada Negara sebagai tenaga medis. Selain itu, terlepas dari profesinya sebagai seorang dokter, ia harus melaksanakan hak dan kewajibannya seperti warga negara pada umumnya, karena Ia juga merupakan bagian dari warga negara. Maka dari itu, dokter dituntut untuk selalu professional dalam menjalankan profesinya. B. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas disiplin ilmu Bioetika Kedokteran, juga untuk menjelaskan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan segenap 1

Upload: lulu-supergirl

Post on 29-Oct-2015

140 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Hhhhhggg

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Dokter merupakan profesi yang dianggap membanggakan pada sebagian besar

masyarakat. Namun, pada pelaksanaannya dokter memiliki tanggung jawab besar yang harus

ditunaikan dimana hal ini tak semudah yang dipikirkan oleh masyarakat. Sebagai dokter, ia

berkewajiban untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan bidangnya yaitu sebagai

tenaga medis. Tak dipungkiri pula, jika ada tugas atau perintah dari Negara, seyogyanya seorang

dokter dapat melaksanakannya, karena hal itu merupakan kewajibannya kepada Negara sebagai

tenaga medis.

Selain itu, terlepas dari profesinya sebagai seorang dokter, ia harus melaksanakan hak

dan kewajibannya seperti warga negara pada umumnya, karena Ia juga merupakan bagian dari

warga negara. Maka dari itu, dokter dituntut untuk selalu professional dalam menjalankan

profesinya.

B. Tujuan Penulisan                                 

            Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas disiplin ilmu Bioetika

Kedokteran, juga untuk menjelaskan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan segenap civitas

akademika FK USU serta masyarakat luas akan sikap professional dokter.

C. Rumusan Masalah

            1. Apa yang dimaksud dengan professional dan/profesionlisme ?

            2. Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban seorang dokter?

           3. Mengapa dituntut professional?

1

BAB II

PEMBAHASAN

A.       Pengertian dan Ciri Profesional

Profesi merupakan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap

suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik ,serta

proses sertifikasi dan lisensi yang khusus  untuk bidang profesi tersebut.

Profesional, orang yang memiliki profesi tertentu. Dan memerlukan kepandaian khusus

untuk menjalankannya. Dalam arti lain : mereka yang menerima bayaran dalam melakukan

sesuatu, sebagai lawan kata dari amatir.

Profesionalisme adalah suatu bentuk kualitas dan gambaran dari pelaksanaan profesi dan

professional. Profesionalisme dokter harus dipertahankan dan ditingkatkan selama dokter

tersebut masih bekerja menjalankan profesinya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat.

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, seorang profesional adalah

seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam

bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya.

Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan

tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme

merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap

pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau

profesinya. Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat

penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu

profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu

kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan

kode etik profesinya

2

Orang profesional tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang

didirikan sesuai dengan hukum di sebuah Negara atau wilayah.

Menurut Dooley, Fearnside, Gorton (2000), profesionalisme yang baik harus diliputi 3 unsur

yaitu :

Knowledge, merupakan modal dasar pengetahuan meliputi : anatomi, fisiologi dan

pathogenesis suatu penyakit.

Knowledge harus berkembang terus sesuai dengan kemajuan iptekdok baik yang diikuti

dalam acara seminar, symposium maupun perkembangan ilmu melalui media

komunikasi: radio, televisi maupun internet.

Expertise, merupakan suatu keahlian yang didapat melalui pengalaman atau pendidikan

keahlian baik secara formal dan berjenjang maupun secara insidentil / kursus.

Character, untuk mendapatkan suatu karakter yang baik maka dokter tersebut harus

memahami tentang : Moral dan Etika Hukum ( Hukum tertulis maupun tidak tertulis).

Menurut Charaka Samhita (SM) ciri dari profesi harus meliputi :

Knowledge (Pengetahuan)

Cleverness (Kepintaran)

Devotion (Kesetiaan)

Purity (physic and Mind) (Kejernihan dalam Fisik dan Pikiran)

Menurut Bernard Barber ciri profesi meliputi :

Memiliki Body of knowledge

Orientasi utamanya untuk kepentingan masyarakat

Memiliki mekanisme self control (pengontrolan diri sendiri)

Memiliki system reward (system penghargaan)

3

Melihat hal tersebut diatas maka profesionalisme harus memerlukan pendidikan

berkelanjutan. Seorang dokter juga harus mengenal batas-batas kemampuan dan keilmuannya.

Sehingga dapat menangani sendiri pasien yang datang atau segera merujuk. Seorang dokter

tidak boleh merasa dapat menangani semua pasien yang datang dengan berbagai keluhan yang

mungkin menuntut pelayanan spesialistik. Dokter akan lebih professional bila bersedia merujuk

kepada dokter yang lebih ahli.

Berdasarkan The American Board of Internal Medicine (1995), profesionalisme sebagai

seorang dokter haruslah diajarkan dan dibentuk oleh seorang dosen atau tutor dan telah menjadi

bagian dari sikap, perilaku, dan keahlian dokter dalam menangani pasiennya yaitu:

1. Altuirsm : seorang dokter wajib mendahulukan kebutuhan / urusan klien daripada

urusannya sendiri, serta senantiasa memberi yang terbaik

2. Accountability : dokter bertanggung jawab kepada pasien, kepada masyarakat di

kesehatan masyarakat dan pada profesi mereka

3. Excellence : seorang dokter wajib berkomitmen pada pembelajaran jangka panjang

4. Duty : seorang dokter harus bersedia dan cepat tanggap bila dipanggil untuk melakukan

pelayanan atau tindakan medis yang diperlukan

5. Honor and Integrity : seorang dokter wajib berkomitmen untuk jujur, berterus terang dan

adil dalam interaksinya dengan pasien dan profesi mereka

6. Respect to others : seorang dokter harus menunjukkan rasa hormat (respect) pada pasien

dan keluarganya, anggota timnya dan dokter lain, mahasiswa kedokteran, residennya dan

pemagangnya.

Dokter yang profesional diharapkan memiliki kompetensi profesional yang terdiri dari :

1. Kompetensi konseptual ( pengetahuan dasar profesi).

2. Kompetensi teknikal ( ketrampilan dasar profesi).

3. Kompetensi integratif ( kemampuan bekerja secara efektif dan efesien).

4. Kompetensi kontekstual ( landasan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya).

4

5. Kompetensi adaptif ( penyesuaian diri).

6. Kompentensi interpersonal (kemampuan berkomunikasi).

Disamping kompetensi tersebut diatas maka dokter yang profesional harus memiliki

prilaku profesional, memegang teguh kode etik profesinya.

Prinsip umum etik kedokteran:

1. Menghormati harkat martabat manusia (respect for persons)

a. Menghormati otonomi yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu menalar

pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk

mengambil keputusan sendiri (self determination)

b. Melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan

bahwa manusia yang berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu

diberi perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse).

2. Berbuat baik (beneficence)

Prinsip ini menyangkut kewajiban membantu orang lain, dilakukan dengan

mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal.

3. Tidak merugikan (nonmaleficence)

Prinsip ini menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat melakukan hal-hal yang

bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain. (do no harm, primum non

nocere)

4. Keadilan ( justice)

Prinsip ini mengacu pada kewajiban untuk memperlakukan setiap orang sama dengan

moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya, tidak terpengaruh oleh pertimbangan

keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian atau kedudukan sosial (tidak

diskriminatif).

5

• Fungsi kode etik profesi adalah :

1. Keputusan yang diambil anggota profesi demi kepentingan klien/ pasien.

2. Kepercayaan masyarakat terhadap profesi menjadi kuat.

3. Memberi arah moral yang benar.

4. Perilaku anggota dapat diawasi.

5. Dalam memberikan sanksi berpedoman pada kode etik dan peraturan terkait.

B.        Hak dan Kewajiban Dokter:

 Hak dan Kewajiban Dokter  secara umum:

1. Hak Dokter :

Bekerja sesuai peraturan kedokteran yang berlaku serta  memperoleh perlindungan

Hukum (Pasal 35 jo ps 50)

Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional

Memerpoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya

Menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

professional

Menerima imbalan jasa

Diperlakukan sesuai Asas Hukum RI: Praduga Tak Bersalah/Presumption of Innocence

Mendapat perlindungan HAM (UU no39 th 1999)

Mendapat perlindungan Peradilan Umum

2. Kewajiban Dokter:

Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan pasien

Merujuk pasien ke dokter atau drg lain yg memiliki keahlian/ ketrampilan yg lebih baik,

apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

6

Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien

meninggal dunia, serta tunduk pada tata cara pembukaan Rahasia Kedokteran menurut

Hukum yang berlaku

Melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain

yang bertugas dan mampu melakukannya

Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau

kedokteran gigi.

a. Kewajiban Dokter kepada Teman Sejawat

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali

dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis

b. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya bekerja dengan baik

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran/kesehatan

c. Kewajiban dokter kepada negara

Membayar pajak atas ijin prakteknya.

Menjalankan profesi dokternya sesuai dengan undang-undang yang ditetapkan

oleh pemerintah.

Bersedia untuk ditempatkan didaerah terpencil sesuai dengan Surat Keputusan

dari pemerintah.

Memberikan tenaga medisnya terhadap korban bencana alam atau korban

perang.

d. Kewajiban Dokter Kepada Masyarakat

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi untuk

hidup insani.

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu yang

dimiliki dan ketrampilannya untuk kepentingan masyarakat.

7

Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pada penderita agar senantiasa

dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat maupun

dalam masalah lainnya.

Memberikan layanan kesehatan semaksimal mungkin

Melayani atau menerima konsultasi

Melakukan kederisasi masyarakat dalam bidang kesehatan kompleks

Menanggulangi penyakit atau wabah tertentu

Memberikan penyuluhan/informasi kesehatan  pada masyarakat.

Melaporkan apabila terjadi kejadian luar biasa.

Seorang dokter harus mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat

dan memperhatikan segala aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, serta

berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.

Dalam melakukan pekerjaannya sebagai dokter, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Seorang dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan

menerapkan setiap penemuan atau tekhnik baru yang belum teruji

kebenarannya.

C. Profesionalisme Kedokteran

Untuk menjadi seorang dokter profesional itu tidak mudah, karena harus dimulai dengan

upaya pembelajaran yang sistematik dan teratur, yang mencakup teori, ketrampilan dan metoda,

untuk kemudian, menjaga prestasi dan perilaku kerjanya dengan standar yang tinggi, serta

mengharuskan setiap anggotanya untuk selalu belajar, dan mengarahkan mereka untuk

mengutamakan kerjanya dalam bentuk pelayanan masyarakat.

Kita telah sepakat bahwa dalam kesehari-hariannya, keprofesionalan seorang dokter

harus tampak dari kompetensi klinik dan kompetensi etika yang tinggi. Kompetensi yang

pertama terwujud dalam bentuk kemampuan ilmu teknologi dan ketrampilan yang tinggi.

Sedangkan yang kedua terlihat dari niat, sikap dan perilaku yang baik (etis).

8

 Seorang Dokter bertanggung jawab secara:

1)   Moral       : terhadap Sang Pencipta (melalui Sumpah Dokter)

2)   Etik         : terhadap organisasi profesi & masyarakat kedokteran

3)   Disiplin    : terhadap Konsil Kedokteran Indonesia & MKDKI

4)  Hukum     : -Kedokteran

                         -Pidana

                         -Perdata

                         -Administrasi

Seperti yang kita lihat pada pernyataan-pernyataan di atas, seorang dokter memiliki

banyak tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan, baik sebagai tenaga medis maupun

sebagai warga negara. Dalam perwujudannya, tugas-tugas tersebut hendaknya dilakukan secara

seimbang. Sikap professional dokter dapat kita lihat ketika dokter berhadapan dengan tugasnya

(dealing with task), yang berarti mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan peran dan

fungsinya. mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagian tugas profesi

dengan tugas-tugas pribadi yang lain (dealing with one-self); dan mampu menghadapi berbagai

macam tipe pasien serta mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain (dealing with

others).

Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, misalnya, sikap profesional ini sangatlah

penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada dokter, yang merupakan

landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman,1998). Sikap profesional ini

hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung,

dan di akhir konsultasi.

            Sama halnya dengan hubungan tersebut, dokter juga harus mengamalkan

keprofesionalannya kepada masyarakat luas dan negara, terlepas dari profesinya sebagai seorang

dokter. Jangan sampai seorang dokter mendapat imej jelek dari masyarakat hanya karena tidak

datang dalam pertemuan RT/RW karena beranggapan “saya seorang dokter, saya tidak pantas

9

bergabung dengan masyarakat biasa kebanyakan”. Perilaku tersebut tidak seharusnya dimiliki

oleh seorang dokter yang profesional.

            Dewasa ini, banyak sekali kasus mengenai tuntutan kepada dokter dari berbagai pihak

akan kinerja dokter. Misalnya saja ada dokter yang melakukan kelalaian atau malah melakukan

malpraktik. Hal ini bisa menjadi sasaran yang empuk bagi para  “pencari” kesalahan dokter.

Tuntutan-tuntutan tersebut, dapat dicegah atau setidaknya diminimalisasi dengan cara

meningkatkan keprofesionalan dokter, yaitu antara lain dengan bekerja sesuai standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan masyarakat dan taat kepada hukum negara.

Ada tiga paradigma yang selalu harus diingat oleh para dokter yang menganggap dirinya

profesional, yaitu :

1. Ciri-ciri profesionalisme adalah :

1. Memiliki ilmu dan teknologi yang kontemporer

2. Memiliki ketrampilan yang tinggi

3. Memiliki niat, sikap dan perilaku yang baik (etis)

2. Falsafah moral dari Etika Kedokteran yang berlaku secara universal adalah :

1. Beneficence : niat seorang dokter untuk selalu berbuat sesuatu bagi kepentingan

penderita.

2. Autonomy  : hak penderita untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik dan

ikut serta dalam setiap keputusan klinik dalam kedudukan yang setara.

3. Justice          :   keadilan bagi seluruh masyarakat dalam bidang kesehatan.

4. Non-maleficence: tidak berbuat yang merugikan

3. Bentuk pelayanan harus sesuai dengan jiwa dari definisi Medicine yaitu :

Science adalah dasar dari kompetensi klinik (ekspertis) dalam bentuk kemampuan

membuat diagnosis dan terapi yang benar tentang penyakit, yang sesuai dengan Evidence Based

Medicine (EBM), yang juga identik dengan kemampuan memberikan CURE. Sedangkan Art

10

adalah seni bagaimanan ekspertis yang EBM tersebut disampaikan kepada orang sakit dengan

cara yang etis, holistik dan humanistis (CARE)

     Jadi  pelayanan yang baik itu harus merupakan gabungan dari CURE dan CARE yang

proporsional. Makin akut kasusnya, porsi CURE lebih besar dan didahulukan. Tetapi pada kasus

yang kronis atau terminal, CARE lebih diutamakan. Pembekalan untuk kemampuan CURE

sebetulnya tidak sulit, karena setiap kurikulun sudah mempunyai standar minimumnya. Yang

diperlukan adalah mempertajamnya dengan pengalaman dan pelatihan yang terus menerus.

Tetapi pembekalan tentang kemampuan CARE sampai sekarang belum ada sistem yang baku,

bahkan boleh dikatakan belum ada sistem sama sekali.

Kalau syarat profesionalisme itu diartikan bahwa setiap dokter harus melaksanakan

ketiga paradigma tersebut secara konsekuen, mungkin tidak ada seorang dokterpun dapat

dianggap sebagai profesional, apalagi dengan pembekalan dalam masalah CARE yang sangat

minim. Keadaan akan lebih buruk bila bila tuntutan masyarakat tentang hak otonominya

dilaksanakan secara ekstrem, posisi dokter akan makin terpojok.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada saat ini sikap masyarakat adalah ambivalen.

Di satu fihak mereka memuji dan bahkan memuja kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran

yang telah berhasil meyelamatkan jiwa atau mengurangi penderitaan berjuta-juta manusia. Tetapi

di lain fihak mereka menghujat bahkan menuntut ke pengadilan atas sikapnya yang di anggap

arogan, materialistik dan kurang/tidak mempunya rasa empati. Hujatan dan tuntutan semacam ini

makin lama makin banyak, baik dalam bentuk tertutup maupun terbuka.

Kalau ketidakpuasan itu terletak pada ketidakmampuan CURE, maka bentuk protesnya

bisa berbentuk tuntutan ke pengadilan atas dasar malapraktek. Tetapi bila masalah CARE yang

dipersoalkan maka dokter tersebut akan dihujat karena sikapnya yang dianggap tidak etis.

Walaupun bentuk hujatan tidak menjadi tuntutan perdata atau pidana, tetapi nama dokter tersebut

sudah tercoreng, terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut. Apalagi sekarang kecenderungan

masyarakat untuk mengekspos dalam mass media, makin meningkat.

Kalau kita perhatikan, hujatan tentang masalah CARE lebih besar dari tuntutan tentang

kekurangmampuan CURE. Dengan lain perkataan, bukan kemampuan kliniknya yang

11

dipersoalkan, melainkan sikap dan perilakunyalah yang tidak bisa ditolerir. Banyak anggota

masyarakat yang merasa puas karena dirinya telah sembuh dan sehat lagi seperti sedia kala,

tetapi di samping itu mereka tetap menghujat dokternya karena sikap dan perilakunya yang tidak

menggambarkan ciri dokter yang berbudi luhur. Sebaliknya pada mereka yang dituntut atas dasar

malpraktek (masalah CURE), sering secara otomatis dokter tersebut dianggap melanggar etika.

Menurut Jonsen dkk, agar tidak terjadi konflik antara dokter dan penderita, perlu

dikembangkan Etika Klinis atau Clinical Ethics, yang menurut mereka pengertiannya adalah

sebagai berikut :

Etika Klinis adalah disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur dalam

membantu  mengambil keputusan dengan mengidentifikasikan, menganalisis dan

memecahkan isu etik dalam kedokteran klinik

Menurut mereka dalam pelaksanaan Etika Klinis ada empat topik yang terkait, yaitu :

1. Indikasi medis, adalah kemampuan seorang dokter untuk melakukan penilaian klinis

yang mencakup diagnosis dan intervensi, sebagai hasil pendidikan, pengalaman dan sikap

profesionalismenya.

2. Preferensi atau pilihan penderita , adalah sikap penderita terhadap anjuran dokternya,

berupa persetujuan atau penolakan.

3. Quality of Life (QOL) atau Mutu Kehidupan. Perlu ditentukan apakah QOL penderita

setelah sakit dan mendapat pengobatan itu akan menurun, menetap atau bertambah baik.

4. Faktor-faktor kontekstual, adalah faktor eksternal yang ada kaitannya dengan pengobatan

dan perawatan penderita, seperti keluarga, sosekbud dan hukum.

Masalah etika dalam kasus  klinis akan terjadi, jika ada masalah dalam salah satu atau

lebih dari keempat topik tersebut.

Kalau keempat topik itu dilaksanaan dengan konsekuen, sebetulnya Jonsen telah

menawarkan gabungan pelayanan CURE dan CARE, seperti yang dimaksud dalam definisi

Medicine tersebut di atas.

12

Tcechekmedyan NS, pernah menawarkan bentuk pelayanan kesehatan semacam ini, dan

menyebutnya sebagai BiomedisPsikoSosioSpiritual. Biomedis tidak lain adalah CURE, yang

hanya dapat diberikan oleh dokter beserta timnya, sedangkan PsikoSosioSpiritual adalah CARE,

yang merupakan upaya gabungan Tim Kesehatan dengan fihak-fihak lain yang terkait, seperti

Pekerja Sosial, Ulama dll.

Kalau kita sepakat untuk memakai arahan Jonsen itu sebagai pegangan dalam

melaksanakan profesionalisme kita, dapatkah kita berasumsi bahwa isu-isu negatif tentang

profesi kedokteran yang berkembang di masyarakat saat ini, adalah sebagai akibat dari tidak

konsekuennya para dokter dalam melaksanakan paradigma tersebut?

Ada beberapa faktor yang memungkinkan para dokter bersikap demikian :

1. Dari semula dokter tersebut sudah berperilaku buruk. Hanya karena dia mempunyai IQ

yang cukup tinggilah maka dia bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter.

Bagi dokter semacam ini, profesi kedokteran hanya dianggap sebagai “Commodity

Business” yang dapat diperjual belikan. Dokter semacam ini akan sulit dibina. Saya

yakin, tipe dokter semacam ini jumlahnya tidak  banyak.

2. Mungkin pada permulaannya dokter itu cukup “idealis”, dan mempunyai citra yang benar

tentang profesi dokter, tetapi karena kebutuhan, pengaruh lingkungan dan persaingan

yang ketat, terpaksa bersikap “vivere pericoloso”, sehingga tanpa disengaja melanggar

etika atau melakukan malpraktek. Dokter itu adalah manusia juga yang membutuhkan

sarana hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Dengan lingkungan

masyarakat yang pada umumnya sudah materialistik, faktor kebutuhan ini semakin

menonjol. Di samping itu, karena jumlah dokter yang berpraktek makin lama makin

banyak, terutama di kota-kota , maka tidak mudah untuk seorang dokter untuk membina

prakteknya dan mendapat penghasilan yang cukup. Tanpa keimanan,  ketakwaan dan

idealisme yang cukup tinggi, serta pembinaan yang terus menerus dari organisasi

profesinya, mereka akan mudah tergelincir. Saya kira jumlah dokter yang masuk

golongan ini, cukup banyak dan akan bertambah banyak. Tetapi kemungkinan untuk

mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, masih terbuka luas. Jangan lupa bahwa

kitapun masih banyak mempunyai dokter-dokter yang benar-benar profesional dengan

13

dedikasi yang tinggi. Harus ada usaha agar kedua kelompok dokter tersebut sering

bertemu, baik dalam resmi seperti Kongres dan PIT maupun yang tidak resmi, seperti

Malam Klinik. Hendaknya pada pertemuan tersebut, informasi tentang perkembangan

ilmu dan teknologi selalu disertai dengan aspek etikanya.

3. Mungkinkah faktor pendidikan mempunyai peranan terhadap menurunnya citra profesi

dokter di mata masyarakat? Seperti kita ketahui, semua Fakultas Kedokteran bertujuan

untuk menghasilkan dokter yang mempunyai kompetensi klinik dan etika yang tinggi.

Saat ini peserta pendidikan kedokteran, baik umum maupun spesialis makin bertambah,

sedangkan materi pendidikan, khususnya jumlah penderita yang dapat digunakan untuk

pendidikan, tidak bertambah, bahkan cenderung menurun. Walaupun sudah ditambah

dengan Rumah Sakit Jaringan di daerah, kebutuhan akan materi pendidikan tetap akan

menjadi masalah besar. Hal ini sudah sering diajukan oleh para koasisten. Secara teoritis,

keadaan ini, ditambah dengan kenyataan bahwa pembekalan dalam bidang etika masih

kurang, sepertinya akan dapat menurunkan citra profesi dokter. Tetapi dalam

kenyataannya tidak harus demikian, karena profesionalisme masih selalu dapat

ditingkatkan, walaupun mereka sudah meninggalkan bangku kuliah. Kiatnya terletak

pada niat dan upaya yang kuat dan teguh untuk terus belajar. Pada saat mereka mulai

melaksanakan kariernya, itikad  pertama yang harus mereka canangkan,  bukan hanya

akan mengamalkan apa yang mereka punyai, tetapi juga harus selalu menganggap dirinya

masih kurang, sehingga selalu merasa adanya kebutuhan mengisi kekurangan tersebut,

khususnya dengan pengalaman. Bukankah pengalaman itu adalah Guru yang terbaik?

Jadi walaupun dari tahun ke tahun, kadar pembekalan itu berbeda, tetapi selama dalam

pendidikan itu ditanamkan keharusan untuk belajar seumur hidup, maka kekurangan

kuantitatif tersebut akan segera hilang, asal mau belajar dari pengalaman. Dengan

demikian kita tetap bisa menjaga citra profesi kita.

Dalam kaitan dengan ini Welch WH (1850-1930) mengatakan bahwa :

Medical education is not completed at medical school, it is only begun.

4. Faktor lain yang perlu kita fikirkan adalah tuntutan masyarakat yang makin meningkat.

Jika masyarakat menuntut hak otonominya secara ekstrem, tanpa memperhatikan hak

14

integritas dokter, maka akan selalu terjadi konflik. Apapun yang dilakukan fihak dokter

mungkin tidak pernah akan memuaskan. Di samping mempunyai hak otonomi,

hendaknya penderita dan masyarakat mempunyai kearifan bahwa dokter itu manusia juga

yang mempunyai perasaan, keinginan, kebutuhan dan harapan seperti manusia-manusia

lainnya. Di samping itu, dia juga tidak bebas dari sifat khilaf, suka tidak suka, senang

tidak senang, serta bisa berbuat kesalahan. Juga mereka harus sadar bahwa penilaian

mereka bisa salah, karena informasi tentang dunia kedokteran tidak seluruhnya mereka

kuasai, sehingga bisa menimbulkan salah tafsir. Karena itu diharapkan dari masyarakat,

bila dokter berbuat salah, hendaknya mereka meninjau masalah tersebut secara arif,

sehingga tidak selalu harus diikuti dengan hujatan secara terbuka. Kalau bisa,

memaafkannya, selama kesalahan tersebut tidak terkait dengan masalah hukum. Jangan

lupa, bahwa para dokterpun sering menjumpai penderita yang menjengkelkan, baik dalam

sikap dan bicaranya, atau dalam cara menawar honor dokter seperti dalam kegiatan jual

beli barang. Atau mereka yang datang hanya untuk minta surat cuti sakit, walaupun

dirinya jelas-jelas tidak sakit, seolah-olah surat cuti sakit itu sesuatu yang dapat dibeli.

Atau mereka yang meminta kuitansi yang melebihi honor dokternya, karena mereka tidak

mau rugi. Dua sikap terakhir ini sangat menggoda para dokter muda untuk berbuat tidak

etis. Andaikata para dokter itu boleh memilih, ingin sekali kita dihindarkan dari penderita

semacam itu.

5. Pengaruh globalisasi, kalau tidak ditanggapi secara arif dan bijaksana, dapat

menyebabkan dua pengaruh negatif terhadap citra profesi dokter. Pertama, perkembangan

bioteknologi yang sangat cepat telah menghasilkan berbagai alat-alat kedokteran, dari

yang sederhana sampai yang super canggih. Kita sebagai negara yang belum mampu

memproduksi alat-alat tersebut, terpaksa menjadi konsumen yang setia. Tanpa disadari

terbentuklah citra, seolah-olah itulah kedokteran modern, dan kepemilikan atau

penguasaan alat-alat tersebut adalah ciri seorang dokter profesional. Tanpa disengaja

persepsi semacam ini tertularkan kepada masyarakat, sehingga seorang SpOG yang tidak

mempunyai USG sendiri dianggap tidak atau kurang profesional. Kedua, di samping

masuknya hasil bioteknologi, masuk pula wawasan HAM dalam pelayanan kesehatan,

antara lain dalam bentuk Hak Reproduksi Wanita. Dalam kaitan dengan ini FIGO

merekomendasikan bahwa setiap wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilannya

15

selama bayi masih “non viable”, yang berarti 22 minggu ke bawah, dan berhak pula

untuk mendapat pelayanan yang baik. Apakah kita para dokter, agar dianggap sebagai

dokter yang modern dan profesesional harus mengikuti arus globalisasi tanpa reserve?

Padahal sudah jelas bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut tidak dapat menurunkan

angka kematian ibu dan anak secara bermakna. Sementara itu, pengaplikasian HAM

tanpa dipilah-pilah akan menimbukan erosi kebudayaan.

Itulah citra profesi kedokteran di masa kini, penuh kontroversi, karena di satu fihak kita

melihat adanya keserasian hubungan antara para dokter dengan masyarakat yang

menggembirakan, tetapi di lain fihak banyak ditemukan gambaran dan isu-isu negatif yang

merisaukan.

Di samping itu, penuh tantangan, karena ada keharusan untuk paling sedikit memperkecil

Konflik Klinik tersebut, sedangkan prospek keberhasilannya tidak secerah apa yang diharapkan,

sehubungan dengan  sebabnya yang bersifat multifaktorial.

Pelayanan profesi merupakan “highly intellectual specialized services” yang diberikan oleh

pemberi pelayanan kepada masyarakat, untuk itu syarat kelompok profesional antara lain adalah adanya

“expertise”, “responsibility” dan “corporateness”. Dari sifat dan kewajiban tersebut maka disusun suatu

standar profesi yang merupakan dasar semua tindakan para dokter dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya sebagai dokter. Standar profesi tersebut sekurang-kurangnya terdiri terdiri dari :

1. Standar Kompetensi Di Bidang Ilmu dan Teknologi Kedokteran.

Ilmu dan teknologi kedokteran ini berkembang sangat cepat, sehingga peraturan dan

pengaturan hukumnya, biasanya selalu terlambat. Standar Ilmu dan Teknologi Kedokteran ini

biasanya ditentukan oleh para ahli di bidang ilmu tersebut, dan disusun dalam bentuk standar

baku dan prosedur operasional baku (standar prosedures and standart operational prosedures).

IDI dan Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Standar Pelayanan Medik (SPM) yang

mencakup 300 jenis penyakit, serta standar pelayanan di bidang penunjang medik. Pelayanan

medik yang sub standar biasanya dinilai dari besarnya penyimpangan dari prosedur baku

tersebut.

2. Standar Perilaku Moral Dan Etik Kedokteran

Dalam menerapkan ilmu dan teknologi kedokteran terhadap pasien dan pelayanan kesehatan,

16

para dokter diberi rambu-rambu moral, yang diatur dalam etik kedokteran dan kode etik

kedokteran indonesia.

3. Standar Hubungan Antar Manusia, Dokter dengan pasien dan masyarakat

Standar hubungan dokter pasien ini lazim disebut dengan seni kedokteran (the art of

medicine), yang mengatur bagaimana sebaiknya berkomunikasi dengan pasien sebagai

makhluk yang berperasaan, seperti misalnya empati, simpati, sopan santun, perhatian terhadap

pasien, dan sebagainya. Standar “interpersonal relationship” ini belum dapat diatur oleh etik

kedokteranmaupun hukum kedokteran. Dari hubngan dokter pasien yang kurang baik inilah,

yang sering menimbulan pasien dan keluarganya yang akhirnya menimbulkan tuntutan dan

konflik antara dokter dan pasien.

17

BAB III

PENUTUP

A.       Kesimpulan

Dokter mengambil banyak peran dalam masyarakat, terutama sebagai tenaga medis.

Dalam melaksanakan tugasnya, dokter dituntut untuk selalu profesional. Maka dari itu, sebagai

warga negara yang baik, selain menunaikan tugasnya sebagai tenaga medis, dokter juga harus

melaksanakan hak dan kewajibannya kepada negara.

Diantara hak dan kewajiban tersebut beberapa ada yang tercantum dalam peraturan perundang-

undangan, KODEKI, serta peraturan lain yang mengikat seorang dokter akan hal tersebut.

B.        Saran

Sebagai dokter yang profesional, sudah seharusnya melaksanakan hak dan kewajiban

secara seimbang sesuai dengan peran dan fungsinya. Seyogyanya upaya penyadaran akan hak

dan kewajiban dokter tidak hanya berhenti sampai di sini dan kemudian mengamalkannya pada

kehidupan yang nyata.

18

DAFTAR PUSTAKA

-       dr. H. Fuad Alhamidy, MKes, Fakultas Kedokteran Univ.Muhammadiyah, Semarang

-       dr.Ibrahim Njoto, M.Hum,Fakultas Kedokteran Univ.Wijaya Kusuma, Surabaya

-       MKEK dan IDI.2001.KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA DAN PEDOMAN

PELAKSANAAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA. Jakarta

-       Hanafiah,M Yusuf dan Amri Amir.1999.Etika Kedoktersn dan Hukum Kesehatan.

Jakarta”Penerbit Buku Kedokteran EGC

-       Wijono,Djoko.2005.Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Toeory,Strategi,dan

Aplikasi.Surabaya:Airlangga Univercity Press

-  Konsil Kedokteran Indonesia.2006. KOMUNIKASI EFEKTIF DOKTER-PASIEN. Jakarta

- http://kabar-pendidikan.blogspot.com

19

20