makalah potong karkas
DESCRIPTION
Karkas,Unsoed,fapetTRANSCRIPT
MAKALAH ILMU TERNAK POTONG
KARKAS SAPI
Oleh :
Nama :Unutung Budiarto
Nim :D1E011218
Kelas :C
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
BAB 1
PENDAHULU
1.1 Latar belakang
Semakin meningkatnya daya beli masyarakat dan berkembangnya industry
perhotelan, restoran dan usaha waralaba merupakan kekuatan yang mendorong
meningkatnya permintaan produk peternakan, khususnya terhadap daging. Meskipun
demikian, rendahnya populasi dan produktivitas ternak lokal untuk suplai bakalan
(feeder cattle), pengetahuan dan penerapan teknologi ditingkat peternak yang relatif
sederhana, serta ketergantungan terhadap bahan pakan impor merupakan kelemahan
yang menghambat pengembangan usaha sapi potong.
Menurut data Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003) jumlah
populasi sapi potong di Indonesia sampai tahun 2003 sebesar 11.395.688 ekor,
dibandingkan tahun 1997 sebesar 11.938.856 ekor atau menurun sebesar
4.77%.Tinggi permintaan daging berkualitas dan diakuinya Indonesia sebagai negara
bebas penyakit menular mulut dan kuku serta penyakit sapi gila merupakan peluang
pengembangan usaha sapi potong yang dapat menjawab ancaman perdagangan bebas
(free trade), dimana produksi ternak luar negeri akan bebas masuk ke Indonesia
karena tidak adanya proteksi.
Menurut Wasito (2004) rata-rata kebutuhan daging dalam negeri pertahun
sebanyak 480 ribu ton, dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri hanya sekitar 340
ribu ton (70%). Kekurangan sebanyak 140 ribu ton daging (30%) dipenuhi dengan
importasi. Pada saat ini diimpor sekitar 40 ribu ton daging (frozen meat) dan 100 ribu
ton sapi bakalan (feeder cattle).
Ada dua aspek utama yang penting dalam memahami komposisi karkas yakni
perhatian pada pertumbuhan dan distribusi jaringan utama karkas yang
mempengaruhi komposisi dan estimasi komposisi karkas. Beberapa penelitian
terhadap komposisi karkas sapi terfokus pada lemak karkas yang menentukan
perubahan komposisi karkas saat penggemukan dimulai (Tatum et al., 1986a;
Johnson et al., 1996; Taylor et al., 1996; Priyanto et al., 1997). Derajat
kegemukan (fatness) telah banyak digunakan sebagai indikator karkas yang
diharapkan sesuai dengan spesifikasi pasar. Di Indonesia belum dikenal klasifikasi
maupun grading pada ternak sapi, khususnya terhadap karkas yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan sebagian besar konsumen daging belum mempertimbangkan kualitas
daging. Konsumen biasanya memanfaatkan hampir semua komponen tubuh ternak
untuk dikonsumsi dengan cara pengolahan dan pemasakan yang bersifat tradisional.
Komponen tubuh tersebut dapat berupa karkas maupun komponen bukan karkas
(offal).
BABA II
Kajian Pustaka
Karkas adalah bagian badan ternak yang telah disembelih, dikuliti, dikeluarkan
isi perutnya dan dipotong kaki bagian bawah serta kepalanya. Untuk mendapatkan
daging (Anonima, 2009)
Karkas dipotong dengan pembagian seperti terlihat pada gambar :
Menurut (Anonima 2009) Berdasarkan standar Perdagangan (SP) 144-1982
yang ditetapkan Departemen Perdagangan Indonesia, penggolongan daging sapi
menurut kelasnya adalah sebagai berikut:
1. Golongan (kelas) I, meliputi daging bagian
a. Has dalam (Fillet)
b. Tanjung (Rump)
c. Has luar (Sirloin)
d. Lemusir (Cube Roll)
e. Kelapa (Inside)
f. Penutup (Top Side)
g. Pendasar + Gandik (Silver Side)
2. Golongan (kelas) II, meliputi daging bagian
a. Paha Depan (Chunk)
b. Sengkel (Shank)
c. Daging Iga (Rib meat)
d. Daging Punuk (Blade)
3. Golongan (kelas) III, meliputi daging lainnya yang tidak termasuk golongan I dan
II, yaitu
a. Samcan (Flank)
b. Sandung Lamur ( Brisket )
c. Daging Bagian Lainnya
Sedangkan Klasifikasi karkas unggas didasarkan atas tingkat keempukan
dagingnya. Unggas yang dagingnya empuk, yaitu unggas yang daging karkasnya lunak,
lentur, kulitnya bertekstur halus, dan kartilago sternalnya fleksibel. Unggas dengan
keempukan daging sedang diidentifikasikan dengan umur yang relatif lebih tua, kulit
yang kasar dan kartilago sternalnya kurang fleksibel. Klas sedang ini meliputi: (1)
stag, ayam jantan berumur kurang dari 10 bulan, dan (2) kalkun betina dan jantan
berumur sekitar 1 tahun sampai 15 bulan. Klas unggas dewasa meliputi roaster, ayam
betina dewasa. Kelas unggas ini memiliki daging yang alot, kulit kasar dan kartilago
sternal keras. Kelas karkas unggas yang dagingnya empuk dapat dibedakan
berdasarkan atas spesies, berat karkas dan jenis kelamin (Soeparno, 1998).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Karkas
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk
bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan
yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging (Soeparno, 1998).
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan
daging diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat tubuh
ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi merupakan faktor
lingkungan yangterpenting yang mempengaruhi komposisi karkas dan daging. Ternak
yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi tinggi akan meningkatkan
kadar lemak tubuhnya. Ternak-ternak yang digembalakan di pasture dengan dominan
spesies legum akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak tubuhnya lebih besar
daripada yang digembalakan pada pasture dengan spesies rerumputan (Soeparno
1998).
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait satu
dengan yang lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
antara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak yang
dipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang lebih tinggi
daripada ternak muda. Dengan bertambahnya umur biasanya diikuti pertambahan
berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan organ-organ
tertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak (Soeparno, 1998).
Bahan aditif yang sering dihubungkan dengan kualitas daging adalah hormon
dan antibiotika. Hormon-hormon tertentu telah terbukti mempunyai pengaruh yang
baik terhadap pertumbuhan, tetapi banyak juga hormon yang tidak mampu
meningkatkan kualitas karkas dan daging. Hormon tiourasil sebagai agensia antitiroid
dapat menurunkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan berat badan tanpa
meningkatkan kualitas karkas. Injeksi hormon adrenalin menjelang penyembelihan
ternak dapat mengakibatkan pH ultimat otot tinggi. Keuntungan pH ultimat yang
tinggi adalah melindungi protein otot dan meningkatkan daya ikat air oleh protein
daging yang direfleksikan pada peningkatan keempukan daging (Soeparno, 1998).
Antibiotik sering ditambahkan pada pakan untuk dikonsumsi ternak.
Antibiotik aureomisin, teramisin, dan penisilin efektif dapat merangsang laju
pertumbuhan, berat dan komposisi karkas, dan efisiensi konversi pakan pada ternak
muda, tetapi pengaruhnya berbeda-beda diantara spesies. Dengan kondisi yang
demikian itu maka daging/karkas dari ternak yang diberi antibiotik dengan yang
tidak memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini terkait dengan efek penggunaan
antibiotika pada laju pertumbuhan dan konsumsi serta konversi pakan. Namun
demikian penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat waktu dapat
mempengaruhi kualitas daging dari sisi konsumen, yaitu aspek kesehatan dari residu
antibiotik pada tubuh ternak (Soeparno, 1998)
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak
relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas
meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas
yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe
ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak
intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara
subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel. Disamping
kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang
dihasilkan dari suatu karkas (Soeparno, 1998).
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan
dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging
(juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat
sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH
daging, ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 1998).
Aspek-Aspek yang Harus Diperhatikan Untuk Menghasilkan Karkas/Daging
yang Berkualitas
Tujuan utama usaha peternakan pedaging adalah untuk menghasilkan produk
daging dan karkas yang berkualitas baik. Kualitas daging dan karkas ini secara umum
sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek produksi, aspek pemanenan
(pemotongan), dan aspek penanganan segera setelah pemanenan (pemotongan)
(Soeparno, 1994)
1. Aspek Produksi
Aspek produksi menyangkut seluruh rangkaian proses produksi peternakan
termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
turut mempengaruhi kualitas daging dan karkas adalah spesies, breed (bangsa), tipe
ternak, dan jenis kelamin ternak. Sebagai contoh adalah bahwa kerbau memiliki serat
daging yang lebih kasar daripada sapi. Sapi potong bangsa angus lebih memiliki
kecenderungan menimbun lemak intramuskular daripada bangsa sapi yang lain. Pada
sapi madura memiliki persentase karkas yang lebih rendah dibanding dengan sapi
bali meskipun daging total yang diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya
bahwa tipe ternak perah akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada
ginjal dan pelviksnya (Soeparno, 1994).
2. Aspek pemanenan (pemotongan)
2.1. Sebelum Pemotongan
Selain aspek produksi sebagaimana disebutkan di atas, penyembelihan ternak
memiliki peranan penting dalam mempertahankan kualitas daging/karkas yang
dihasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis ternak, perubahan-perubahan baik fisik
maupun biokemis segera setelah disembelih, dan pencemaran daging oleh
mikroorganisme (Soeparno, 1994)
Pada prinsipnya dalam persiapan penyembelihan ternak adalah bagaimana
mengkondisikan ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap untuk
disembelih dengan sebaik-baiknya sehingga pada proses penyembelihannya darah
yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak tidak merasa tersiksa (Soeparno,
1994).
Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap disembelih maka beberapa hal
perlu diperhatikan sebelum ternak disembelih.
a. Ternak harus diistirahatkan secukupnya dan tenang sesaat menjelang eksekusi
b. ternak harus dihindarkan dari tekanan dan perlakuan menyakiti
c. ternak harus dalam keadaan sehat (Soeparno, 1994).
Ternak yang cukup istirahat dan tenang sebelum penyembelihan diharapkan
akan mendapatkan kualitas karkas/daging bermutu tinggi dibandingkan dengan
ternak yang sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan
(stres). Ternak yang kelelahan dan stres memiliki cadangan glikogen yang rendah
sehingga berpengaruh pada proses pengeluaran darah, meronta, dan rigor mortis
(Soeparno, 1994).
Lamanya waktu mengistirahatkan ternak berbeda-beda tergantung dari
spesies, tipe ternak dan kondisi atau tingkat kelelahannya, misalnya dari perjalanan
(pengakutan) menuju tempat pemotongan yang jauh, dan lain sebagainya. Namun
demikian biasanya cukup antara 12 – 24 jam. Perlunya ternak diistirahatkan adalah
agar
a. ternak tidak mengalami stres
b. cukup tersedia cadangan energi sehingga proses rigormortis dapat berlangsung
secara sempurna
c. pada saat disembelih darah yang keluar sebanyak mungkin (Soeparno, 1994)
Menurut Soeparno (1994) mengistirahatkan ternak sebelum disembelih ada 2
(dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan
agar
(1) diperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi
saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu
(2) mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar
Sedangkan pengistirahatan ternak tanpa pemuasaan adalah agar
(1) ternak tidak mengalami stress
(2) ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih
kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan
lebih sempurna
Hal penting lain yang perlu/harus dilakukan sebelum ternak disembelih adalah
melakukan pemeriksaan ternak (pemeriksaan antemortem). Menururt Swatland
(1984 disitasi oleh Soeparno (1994) bahwa pemeriksaan antemortem dimaksudkan
(1) untuk mengetahui ternak yang cidera sehingga diprioritaskan untuk disembelih
terlebih dahulu dan (2) untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit sehingga
disembelih secara terpisah.
Menurut Suharyanto (1996) adapun manfaat dari pemeriksaan antemortem
adalah:
a. Mengetahui/menentukan ternak yang dagingnya berbahaya untuk dikonsumsi.
Misalnya ditemukan adanya ternak yang berada pada taraf septi chaemi (gejala
infeksi yang mulai menjalar); ternak yang demikian ini sukar diketahui gejala-
gejalanya sehingga tanpa pemeriksaan sukar diketahui sedangkan hal ini
berbahaya bagi konsumen.
b. Dapat menetapkan kesehatan ternak ketika masih hidup sehingga bisa
menyatakan sehat atau tidak dagingnya untuk dikonsumsi.
c. Dapat mengetahui apakah ternak dalam keadaan lelah atau tidak untuk segera
dilakukan penyembelihan.
2.2 Pemotongan/Penyembelihan Ternak
Cara penyembelihan ternak bermacam-mcam sesuai dengan kebiasaan, adat
istiadat dan agama masyarakat setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya,
penyembelihan dilakukan dengan menyebut nama Allah dan disembelih secara
langsung dengan alat penyembelihan yang tajam. Namun demikian prinsip
penyembelihan ternak adalah bahwa ternak harus disembelih secepat mungkin dan
rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari stres (tekanan) dan
pengurangan cadangan glikogen (Soeparno, 1994)
Menurut Soeparno (1994) ada 2 (dua) cara penyembelihan, yaitu (1)
penyembelihan secara langsung dan (2) penyembelihan secara tidak langsung.
Penyembelihan secara langsung adalah bahwa petugas penyembelih (jagal)
menyembelih langsung pada leher ternak dengan memutuskan arteri karotis, vena
jugularis, dan esofagus. Sedangkan penyembelihan secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan pemingsanan ternak terlebih dahulu. Pemingsanan ini dapat
dilakukan dengan (a) menggunakan alat pemingsan (knocker), (b) senjata pemingsan
(stunning gun), (c) pembiusan, dan (4) menggunakan arus listrik.
Setelah ternak disembelih, untuk menentukan apakah ternak benar-benar
telah mati atau belum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam ujicoba, yaitu reflek
mata, reflek kaki, dan reflek ekor (Soeparno, 1994). Ujicoba dengan reflek mata
dilakukan dengan menyentuh pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak.
Ujicoba refrlek kaki adalah dengan memukul persendian kaki atau memijit sela-sela
kuku. Dan uji coba reflek ekor adalah dengan membengkokkan ekor. Apabila respon
kelopak mata, kaki, dan ekor tidak bergerak tandanya ternak telah benar-benar mati.
3. Aspek Setelah Pemotongan
3.1 Perubahan Karkas/Daging Setelah Disembelih
Setelah ternak disembelih maka penyediaan oksigen ke otot terhenti sebagai
akibat terhentinya aliran darah. Akibatnya adalah bahwa persediaan glikogen tidak
ada lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot. Perubahan
perubahan tersebut diikuti dengan perubahan-perubahan fisik, dan biokemis lainnya
seperti perubahan suhu, perubahan pH, dan rigor mortis (Buckle, et al., 1987).
Ternak yang disembelih, suhu permukaan karkasnya menurun, hal ini karena
tidak ada lagi aliran darah ke permukaan tubuh/kerkas ternak. Penurunan ini sama
dengan suhu sekitarnya atau lebih rendah lagi. Namun demikian karena darah dan
sisa-sisa metabolisme yang tersisa di dalam otot, maka suhu di dalam jaringan justri
meningkat. Peningkatan ini berkisar antara 10 – 20 , tergantung dari besar kecilnya
ternak sebagai akibat dari proses glikolisis sesudah kematian dimana glikogen diubah
menjadi asam laktat (Buckle, et al., 1987).
Konversi glikogen menjadi asam laktat mempengaruhi pH daging. Dengan
demikian pH daging dipengaruhi oleh tingkat cadangan glikogen, penanganan
sebelum penyembelihan, dan laju glikolisis. pH akhir yang dicapai tubuh ternak dapat
mempengaruhi mutu daging (Buckle, et al., 1987), yaitu:
a) pH rendah yaitu sekitar 5,1 – 6,1 menyebabkan daging mempunyai struktur
terbuka yang sangat diinginkan untuk pengasinan daging; warna merah muda yang
cerah dan disukai konsumen; flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telah
dimasak maupun diasin; dan stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat
mikroorganisme.
b) pH tinggi, yaitu sekitar 6,2 – 7,2 menyebabkan daging tahap akhir mempunyai
struktur tertutup atau padat dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan
keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
Perubahan yang secara fisik dapat disaksikan adalah rigor mortis, yaitu proses
yang menunjukkan keadaan karkas menjadi kaku yang biasanya terjadi antara 24 – 48
jam setelah penyembelihan. Rigor mortis terjadi merupakan akibat dari serangkaian
peristiwa biokimia yang kompleks menyangkut hilangnya creatin phosphat (CP) dan
Adhenosine Triphosphat (ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim sitokhrom
dan reaksi-reaksi kompleks lainnya (Buckle, et al., 1987). Kekakuan ini juga akibat
adanya aktin dan miosin mebentuk aktomiosin yang kemudian menjadi irreversible.
Kecepatan laju rigor mortis dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle, et al.,
1987), diantaranya adalah (1) tingkat cadangan glikogen pada saat mati. Bila glikogen
rendah rigor mortis cenderung berlangsung cepat. Dan ini berkaitan erat dengan pH
akhir yang dicapai. (2) Suhu karkas; kecepatyan tertinggi dari rigor mortis sebanding
dengan suhu yang tinggi, yang mempercepat hilangnya CP dan ATP otot.
3.2 Penyiapan Karkas
Setelah ternak disembelih secara sah dan dinyatakan benar-benar mati maka
yang dilakukan selanjutnya adalah penyiapan karkas. Urutan penyiapan karkas yang
umum dilakukan (swatland, 1984 disitasi oleh Soeparno, 1994) adalah:
1. Memisahkan kepala dari tubuh ternak
2. Melakukan pengulitan kepala
3. Memisahkan keempat kaki pada bagian persendian tulang kanon
4. Pengulitan tubuh
5. Membuka rongga dada, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau sternum
6. Membuka rongga abdomen dengan irisan sepanjang ventral tengah, kemudian
memisahkan penis, ambing, dan lemak abdomen
7. Membelah bonggol pelvik dan memisahkan keduanya
8. Membuat irisan sekitar anus dan menutupnya dengan kantong plastik
9. Menguliti ekor, jika belum dilakukan
10. Memisahkan esofagus dari trakhea
11. Mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada, usus, rumen, jantung, dan hati
12. Pisahkan karkas menjadi dua bagian melalui garis tengah punggung
13. Rapikan karkas dengan membuang bagian-bagian yang kurang bermanfaat.
Kemudian karkas ditimbang untuk mendapatkan berat segar. Karkas yang
telah siap, dicuci dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak
subkutan. Selanjutnya karkas dapat dipotong-potong menjadi wholesle cut dan retail
cut sesuai dengan permintaan pasar.
DAFTAR PUSTAKAAbustam, Effendi. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnatalemien-
eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html.
Anonima, 2009. Apakah Karkas dan Bagian-Bagiannya?. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. UI-Press.
Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Suharyanto, 1996. Pentingnya Pembangunan Rumah Potong Ayam di Bengkulu. Semarak.
Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000. Strategi Menghindari Peredaran Daging Ilegal. Poultry Indonesia.