makalah polarisasi konflik dalam masyarakat 11

Upload: ishak-husain

Post on 17-Jul-2015

1.320 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUANA.LATAR BELAKANG

Selain sebagai makhluk individu, manusia merupakan sebagai makhluk sosial Soekamto (1996 :24). Di mana keduanya bukan merupakan dikotomis yang tidak berhubungan, tapi merupakan titik yang terhubung dari sebuah garis linear. Yang pada kondisi tertentu titik tersebut akan bergeser dari domain makhluk individu menuju ke domain makhluk sosial, dikarenakan dinamika lingkungan yang semakin dinamis. Setiap individu dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang melekat di dalamnya memiliki sejumlah kebutuhan (primer, sekunder & tertier) yang harus dipenuhi, dan sesuatu yang ingin di capai dalam waktu sekarang dan mendatang untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk mewujudkan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan, tidak jarang membutuhkan bantuan atau kerja sama dengan individu lain, sehingga terbentuklah kelompok. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa kelompok membentuk kelompok yang lebih besar dan dikenal dengan istilah organisasi. Robbins (2004 :4) mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dari pengertian tersebut, istilah kesatuan sosial berarti bahwa unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain.

Terlepas dari apakah organisasi tersebut merupakan organisasi informal maupun formal, maka interaksi di antara anggota kelompok tidak bisa dihindarkan. Ketika di dalam sebuah organisasi telah terjadi interaksi antar individu yang ada, maka terjadinya konflik adalah merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Tepat apa yang dikatakan Lewis A. Coser1

(1972 :43), bahwa Konflik baik yang bersifat antar kelompok maupun intra-kelompok selalu ada ditempat orang hidup bersama.

Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup dan konflik maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lainnya. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama,dan konfik masyarakat. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang bernuansa perbedaan suku, ras, adatistiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial terjadi . Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga antar kelompok sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak2

simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama. Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi, dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan. Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilainilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya serta stereotipe, yang mengembangkan gambaran tentang tipe-tipe masyarakat

tertentu dengan karakteristik tertentu1. Misalnya orang Batak itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi

1. Zastrow, 2000, 157

3

berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Ada persoalan besar di negeri ini. Jika dikaitkan dengan ekonomi,akibatnya tata kelola ekonomi punya andil besar di antara masalah-masalah yang terjadi . Fenomena yang muncul di negeri ini sama dengan yang muncul di negara kapitalis. Ada yang mengatakan bahwa di Indonesia ekonomi pancasila tapi praktiknya didominasi kapitalis Pertumbuhan ekonomi yang terus naik, Ekonomi semacam itu telah merusak moralitas kita. Korupsi, kolusi terjadi karena persaingan. Ini merusak kehidupan kita. Oleh karena itu kegiatan ini menjadi penting karena perguruan tinggi Islam punya idealisme. Kehidupan masyarakat harus dilandasi agama, pengembangan ilmu juga harus berlandaskan agama. Idealisme Islam menjadi dasar sehingga orang terdidik menjadi berakhlak nyatanya tidak pernah dirasakan oleh masyarakat kecil. Ekonomi riil di masyarakat tidak tersentuh. Krisis ekonomi yang tengah merajalela di beberapa belahan dunia, membuat rakyat di sejumlah negara memrotes pemerintah. Setelah Amerika Serikat yang dilanda aksi massa karena tingginya tingkat pengangguran, kini warga Jepang mengadakan aksi serupa . Massa menyerukan pemberantasan kemiskinan. Beberapa pengunjuk rasa juga meminta agar pemerintah bertindak mengakhiri krisis nuklir.Sementara di bagian wilayah lain di Tokyo, unjuk rasa berbeda juga digelar. Sekitar 80 orang menuntut terciptanya lapangan kerja yang lebih memadai untuk seluruh rakyat, serta koreksi kesenjangan ekonomi. kesenjangan ekonomi di Indonesia yang berkembang selama ini tidak bisa dicegah, karena masyarakat tidak ikut berperan aktif dalam pembangunan . Kesenjangan antara kaya dan miskin, kuat dan lemah masih terjadi. Menurut penelitian 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang. Padahal penduduk Indonesia ada 237 juta, sementara angka pengangguran masih 23 juta, ada juga yang menyebutkan 40 juta atau bahkan 90 juta.4

Kalaupun betul seumpama ada 23 juta masyarakat miskin, jumlah ini jauh lebih besar dari penduduk Malaysia kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia masih menjadi persoalan dalam kehidupan bangsa. Akibatnya korupsi terus merajalela karena buruknya tata kelola dan perebutan sumber daya ekonomi. Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang simultan dilakukan agar konflik yang potensial tersebut dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat menghindari terjadinya konflik sosial ?

Pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa : pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Polarisasi konflik dalam masyarakat akan menimbulkan kesenjangan dalam masayarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dan secara cepat maupun lambat5

Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang ,dan sebagainya

6

B.RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengertian Polarisasi Konflik dalam Masyarakat? 2.Apa pengertian Kesenjangan dalam masyarakat dan berbagai macam contoh Kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat?

C.TUJUAN DAN SASARAN PERMASALAHAN SOSIAL 1.Menetahui pengertian Polarisasi Konflik dalam Masyarakat 2.Mengetahui Kesenjangan dalam masyarakat dan beberapa Kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat

7

PEMBAHASANA.PENGERTIAN POLARISASI KONFLIK DALAM MASYARAKAT Polarisasi adalah proses perbuatan,cara menyinari,penyinaran,magnetisasi,pembagian atas dua bagian (kelompok orang yg berkepentingan dsb) yg berlawanan.

Konflik berasal dari kata kerja dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya atau konflik adalah bagian dari proses interaksi social yang saling berlawanan (opposional process)artinya konflik merupakan bagian dari sebuah peroses interaksi social yang terjadi karena adanya perbedaan ,seperti fisik ,emosi, kebudayaan ,dan perilaku . Berdasarkan pada pengertian di atas, maka konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2000). Dalam aspek kebahasaan, kata konflik mengalami penyimpitan makna dan lebih sering dikonotasikan dengan situasi negatif. Pada kenyataannya tidak seluruh peristiwa konflik dapat dipandang hal buruk dan harus dihindari. Hal yang harus dihindari adalah apabila konflik berwujud dalam bentuk kekerasan yang berakibat fatal bagi aspek-aspek kemanusiaan.Jadi, dapat di simpulkan bahwa

Masyarakat adalah suatu jaringan hubungan -h u b u n g a n a n t a r e n t i t a s e n t i t a s . M a s y a r a k a t a d a l a h s e b u a h k o m u n i t a s ya n g interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.M a s ya r a k a t ( society) merupakan istilah ya n g digunakan untuk

8

m e n e r a n g k a n komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakati t u merupakan jaringan perhubungan antara berbagai

i n d i v i d u . D a r i s e g i perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat atau tidak dibuat oleh kumpulanorang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains social . J adi Polarisasi konflik dalam masyarakat adalah proses terjadinya dua lapisan dalam masyarakat [lapisan atas dan lapisan bawah]yang menunjukan perbedaan sikap dan kemampuan dalam merespon ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasil pembangunan sedemikian rupa ,sehingga tingkat kesejahteraan dan kemampuan kedua lapisan itu jauh berbeda dan menimbulkan kesenjangan social dan konflik di dalam masyarakat.

Konflik sebagai fenomena sosial adalah sesuatu yang lazim dalam masyarakat. Oleh karena itu konflik tidak hanya terjadi pada masyarakat yang heterogen tetapi juga dalam masyarakat yang homogen, bahkan pada diri seseorangpun potensi konflik itu selalu ada. Sebagaimana dikemukakan oleh pandangan teori naluri nativistik, bahwa dalam diri manusia secara naluri telah memiliki dorongan untuk berkonflik sebagai wujud keinginan untuk menguasai orang lain atau mempertahankan diri dari orang lain. Menurut penyebabnya konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa oleh individu dalam fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, maka konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat, namun demikian keberadaan suatu konflik dalam masyarakat tidak bisa dibiarkan, bukan saja karena adanya resiko tetapi juga kekhawatiran timbulnya tindak kekerasan oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Oleh karena itu suatu konflik dalam masyarakat tidak perlu disembunyikan atau dihindari, tetapi harus dikelola agar mampu menjadi energi positif bagi perubahan dan perbaikan sosial dan ekonomi yang

9

secara konstruktif mampu menopang kehidupan masyarakat dalam menjangkau tingkat kesejahteraan yang semakin baik.

B.KESENJANGAN MASYARAKAT Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu di hadapkan dengan berbagai macam masalah atau konflik. Konflik bisa datang dengan sendirinya, entah konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat di hilangkan. Konflik hanya dapat dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang di bawa individu dalam suatu interaksi. Dengan di bawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Di sini kita dapat mengambil contoh dalam dunia olahraga khususnya sepakbola kita sering sekali melihat konflik di dalamnya, baik itu antara pemain, wasit, atau antar suporter kedua kesebelasan. Dalam sepakbola konflik merupakan keniscayaan karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya untuk mengalahkan pihak lawan untuk memperoleh kemenangan. Suporter yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter bertemu di arena pertandingan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Dengan demikian secara umum konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan antara dua pihak atau10

lebih. Perbedaan tim yang didukung, dimana tim yang didukung tersebut saling bersaing satu sama lainnya, menempatkan antar kelompok suporter pada situasi konflik. Seperti yang dialami oleh kelompok suporter Slemania dan Brajamusti yang mau tidak mau ikut terseret dalam rivalitas antara klub Super Elang Jawa PSS dan klub Laskar Mataram PSIM. Situasi dan kondisi di lapangan pertandingan juga turut mempengaruhi sikap masing-masing kelompok suporter. Keputusan sang pengadil pertandingan yang bias ditafsirkan beragam, antara adil dan berat sebelah, bisa menimbulkan perasaan sakit hati pada pihak yang dirugikan. Kemenangan suatu tim dengan cara-cara yang tidak sportif seperti dengan mengasari tim lawan, juga dapat memancing emosi dari suporter tim tersebut. Dalam kehidupan sosial manusia, dimana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut konflik (Chandra,1992;Lauser,1993). Istilah konflik secara etimilogis berasal dari bahasa latin con yang berarti sama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat danlain-lain yang paling tidak melihat dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidak puasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang dan masalah kekuasaan?, ternyata jawabanya tidak, dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial. Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut.

11

Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang ,dan sebagainya. Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok-kelompok 10 persen populasi (decile), mulai dari kelompok 10 persen populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan: 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi. Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antardaerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indicator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indicator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan

12

indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkelompok maupun antardaerah selalu terjadi.Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi? Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya

menekankan kepada peranan satu atau lebih faktor tersebut. 1.Penelitian Kesenjangan Rangkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan ditandai oleh tonggak-tonggak temuan. Kuznets (1954) tercatat sebagai salah satu peneliti awal dalam meneliti kesenjangan. Ia meneliti kesenjangan di berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata perkapita pada awal perkembangan negara masih rendah, dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun kembali. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada kesenjangan antarwilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan ratarata antarwilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Di samping pola dan faktor penentu kesenjangan, peneliti juga mengamati proses terjadinya kesenjangan. Myrdal (1957) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan

13

kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya factor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar. Dalam penelitian lain, kesenjangan juga dikaitkan dengan faktor alam, yaitu tingkat kekayaan sumber daya alam suatu wilayah. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa urbanisasi, sebagai akibat dari kesenjangan perdesaan dan perkotaan, merupakan proses menuju suatu bentuk tertentu dari keseimbangan. Guna memberikan gambaran perkembagan terakhir tentang penelitian kesenjangan, berikut ini disampaikan tinjauan singkat dari beberapa hasil penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan sektor keuangan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir, tapi tidak memberi dampak pada wilayah daratan, dan fakta ini diperburuk oleh lemahnya pertumbuhan sektor keuangan di wilayah daratan yang secara kontekstual semakin memperburuk disparitas antara wilayah pesisir dan wilayah daratan di China. Penelitian tersebut menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto provinsi di China, dan melihat tingkat kesenjangan berdasarkan indeks Gini. Penelitan unik yang dilakukan oleh Diego Andre de Assumcao (2005) mencoba mengeksplorasi peran pengetahuan masyarakat sebagai faktor utama dalam mengurangi kesenjangan antarwilayah di Brazil. Dalam laporan penelitian, mereka memaparkan berbagai alternatif untuk sosialisasi pengetahuan kepada masyarakat melalui berbagai saluran atau kanal informasi. Penelitian ini juga dikaitkan dengan Pencapaian Tujuan Pembangunan

14

Milenium di Brazil. Tujuan Pembangunan Milenium tersebut digunakan sebagai indikator untuk memperlihatkan perkembangan Brazil dalam peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Penelitian kesenjangan antardaerah di India yang relatif baru dilakukan oleh B. Bhatacharya dan A Sakthivel (2004). Penelitian ini menganalisis kesenjangan wilayah yang terjadi di India. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Produk Domestik Bruto, Produk Domestik Regional Bruto, dan pendapatan perkapita sebagai dasar analisis statistik deskiptif untuk menjelaskan kinerja pertumbuhan wilayah dan perubahan struktur wilayah-wilayah di India. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pembangunan industri di India berjalan secara cepat dan terpusat di wilayah-wilayah dengan infrastruktur memadai. Pola pembangunan seperti ini semakin mempertajam kesenjangan antarwilayah di India. Temuan lainnya adalah adanya korelasi negatif antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pendapatan. Hal ini secara berantai menimbulkan suatu masalah yang simultan, yaitu beban wilayah yang berat dengan jumlah penduduk tinggi dan pendapatan yang rendah sehingga mendorong migrasi ke wilayah lain yang lebih maju. Di sisi lain, masalah yang terjadi di wilayah tujuan adalah tidak meratanya tingkat pendidikan yang menyebabkan timbulnya masalah sosial pengangguran yang mengarah pada meningkatnya kriminalitas. Penelitian lain yang relevan dengan desentralisasi dilakukan oleh Christian Lessmann (2006). Ia meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa Negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat

15

mengurangi kesenjangan. Namun, hasil temuan ini hanya berlaku bagi negaranegara maju saja. Bagi negara berkembang dan miskin, desentralisasi mungkin akan menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan antarwilayah. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat korupsi dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik.Berikut ini beberapa permasalahan polarisasi atau kesenjangan dalam masyarakat: a.Kesenjangan Kesejahteraan Kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan. Dengan pertimbangan signifikansi informasi tersebut dikaitkan dengan perumusan kebijakan, maka penelitian ini memilih unit observasi daerah, yaitu provinsi, kabupaten dan kota. Berbagai indikator kesejahteraan telah dikembangkan sebagai dasar dalam mengamati pola kesenjangan kesejahteraan masyarakat antardaerah. Pada mulanya studi mengenai kesenjangan kesejahteraan antardaerah umumnya menggunakan indikator output ekonomi rata-rata perkapita sebagai proksi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Kritik terhadap penggunaan indikator tersebut adalah berkaitan dengan isu mengenai ketidaktentuan atau ketidakpastian hubungan antara output ekonomi suatu wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut. Suatu wilayah mempunyai output ekonomi tinggi, namun tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah itu mungkin saja rendah. Dalam konteks ini pemahaman tentang kesejahteraan wilayah (place prosperity) tidak sama dengan kesejahteraan masyarakat wilayah (people prosperity). Perbedaan ini sering dikaitkan dengan pembangunan di daerah dan pembangunan daerah. Di samping itu, penggunaan indikator output ekonomi rata-rata perkapita juga dianggap menyederhanakan pengertian kesejahteraan. Kesejahteraan menyangkut berbagai dimensi sehingga kurang tepat untuk disederhanakan menjadi satu dimensi gabungan atau komposit ekonomi saja. Berbagai studi16

mencoba untuk menggunakan indikator dalam mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan indikator komposit menghadapi tantangan dari segi penerimaan secara luas. Tanpa penerimaan secara luas, maka hasil suatu sulit untuk diperbandingkan dengan hasil studi lainnya. Berbagai studi terdahulu, mengukur kesenjangan berdasarkan formulasi yang diturunkan dari kurva distribusi Lorenz. Dengan formulasi tertentu, kurva distribusi Lorenz digunakan untuk menghitung indeks kesenjangan Gini, Williamson, Theil, dan sebagainya. Saat ini penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) sebagai indikator kesejahteraan memperoleh penerimaan secara luas di seluruh dunia, bahkan telah memperoleh penerimaan pada tingkat daerah. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan indeks pembangunan manusia sebagai acuan untuk menentukan tingkat kesejahteraan dalam bentuk ranking kesejahteraan suatu negara atau daerah. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah publikasi Bada Pusat Statistik, baik data Survei Sosial Ekonomi Nasional, Produk Domestik Regional Bruto maupun data lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola perkembangan dan kesenjangan antardaerah dengan menggunakan IPM sebagai indikator utama. Deskripsi tentang pola perkembangan dan kesenjangan antardaerah sangat penting untuk memahami daerahdaerah yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam perumusan kebijakan. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis keterkaitan pola perkembangan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut dengan variabel-variabel pembentuk IPM dan variabelvariabel lain yang relevan. Berbagai studi telah memperluas eksplorasi dengan memperhitungkan berapa lama yang diperlukan oleh suatu negara atau suatu daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertentu.

17

Salah satu motivasi yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bagaimana bias menyampaikan dan menyebarkan informasi tentang perkembangan dan kesenjangan kesejahteraan secara luas. Oleh sebab itu, indikator kesejahteraan yang digunakan harus mudah dipahami, komunikatif dan merangsang keterlibatan dalam pembahasan. Hal ini dianggap penting karena perencanaan pembangunan dewasa ini umumnya menggunakan pendekatan partisipatif. Dengan pertimbangan tersebut, penelitian ini menggunakan formulasi sederhana, nilai maksimum dan minimum, serta rata-rata hitung, serta tabel dan grafik yang diharapkan bisa membantu kejelasan informas imengenai perkembangan dan kesenjangan kesejahteraan masyarakat daerah di Indonesia. Pengamatan terhadap kesenjangan kesejahteraan telah menarik perhatian bagi berbagai pihak baik perencana pembangunan, peneliti sosial, politisi maupun masyarakat madani. Pembahasan dan interpretasi terhadap hasil pengamatan tentang kesenjangan kesejahteraan akan berbeda menurut sudut pandang, kepentingan dan ideologi yang dianut oleh masing-masing pihak. Namun, berbagai pihak menyepakati tentang konsepsi kesenjangan kesejahteraan yang berlaku umum. b. Kesenjangan Ekonomi Secara etimologi kesenjangan berarti tidak seimbang ,tidak simetri,atau berbeda. Kesenjangan social ekonomi dapat di artikan sebagai tingkat pertumbuhan social ekonomi yang tidak sama yang terjadi pada masyarakat yang melaksanakan pembangunan atau modernisasi .Hal ini terjadi karena kurang adanya kesempatan untuk memperoleh sumber pendapatan,kerja,berusaha,dan berpartisipasi dan pembangunan. Semakin besar perbedaan mendapatkan kesempatan kesempatan ini. Semakin besar perbedaan . mendapatkan kesempatan kesempatan ini semakin besar pula tingkat kesenjangan social ekonomi pada masyarakat . Sebaliknya,semakin kecil perbedaan kesempatan kesempatan tersebut.

18

Semkin kecil pula tingkat kesenjangan sosialekonomi pada masyarakat. Kesenjangan social akibat dari tidak meratanya pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan ekonomi adalah terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah.Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi merupakan 2 masalah besar di negara-negara berkembang. Di Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembangunan yang disebut denganTRICKLE DOWN EFFECTS yaitu bagaimana mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relatif singkat.Untuk itu, maka pembangunan ekonomi nasional dimulai dari Pulau Jawa (khususnya jawa Barat), dengan alasan bahwa di Pulau Jawa sudah tersedia infrastruktur, dengan harapan bahwa hasil-hasil pembangunan itu akan menetes ke sektor dan wilayah lain di Indonesia.Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah 10 tahun berlalu sejak Pelita I (1969) ternyata efek tersebut tidak tepat. Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an (sebelum krisis ekonomi), tetapi tingkat kesenjangan juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak.Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi saja, tetapi yang lebih penting adalah Distribusi Peningkatan Pendapatan kepada semua anggota masyarakat. Menjelang pertengahan tahun 1997 (sebelum krisis) tingkat pendapatan perkapita Indonesi rata-rata melebihi 1.000 dollah AS. Akan tetapi apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah tersebut yang menikmatinya. Situasi ketidakadilan sosial-ekonomi yang dibiarkan terus terjadi ini bisa menyebabkan ledakan sosial kapan saja. Fenomena kesenjangan ini sangat tinggi di Indonesia, bahkan jauh lebih lebih buruk dibandingkan di Amerika. Kekayaan 400 orang19

terkaya di Paman Sam itu setara 9,4 persen PDB, di Indonesia sepersepuluhnya (atau 40 orang terkaya) telah setara dengan 10,3 persen PDB. Dalam situasi itu, rakyat Amerika yang sangat marah dan memunculkan Gerakan 99% dan Occupy Wall Street yang kini menjalar hingga 900 kota di dunia. Gerakan massa tersebut memang tidak memiliki tema seragam, namun semuanya merefleksikan hal yang sama yaitu keresahan dan kemarahan masyarakat, khususnya kelas menengah dan kaum pekerja, terhadap konsentrasi kekuasaan dan kekayaan pada segelintir elit politik, pemilik korporasi besar dan pelaku industri keuangan.

Agar gerakan itu tidak tererjangkit kembali , pemerintah harus segera merombak sistem pembangunan agar lebih adil dan menjadikan pengurangan kesenjangan sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini tak dapat dipungkiri hanya menguntungkan segelintir elit, termasuk para perampok uang negara. Kesenjangan yang tinggi bisa menjadi bom waktu, dan bila meledak, dalam sekejap akan merontokkan hasil pembangunan bertahun-tahun. Dari itu kita mendorong pemerintah segera melakukan tindakan konkret untuk mengantisipasi hal ini dan untuk menjaga

pertumbuhan ekonomiagar gejolak perekonomian global tidak memberi dampak negatif bagi Indonesiapemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk memperkecil kesenjangan ekonomi di masyarakat. Selain itu, dalam kondisi global seperti saat ini, Indonesia juga harus melakukan penguatan ekonomi domestik, terutama pergerakan ekonomi di luar pulau Jawa agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terjaga, merata, dan berkeadilan.

Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjanganekonomi antara lain: a)Menurunya pendapatan perkapita sebagai akibat pertumbuhan pendudukyang relative tinggi tanpa di imbangi peningkatan produktivitas.

20

b)Inflasi dimana pendapatan pertambah tetap tedak diikuti dengan pertambahan produksi barang-barang secara proporsional . c) Ketidak merataan pembangunan antara daerah sebagai akibat kebijak politik dan kekurang siapan SDM. d)Investasi yang sangat banyak pada proyek proyek yang padat modal (capital intensive)sehingga presentasi pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar di bandingkan dengan persentase pendapatan kerja. e)Rendahnya mobilitas social sebagai akibatsikap mental tradisional yang kurang menyukai persaingan dan kurang usaha . f)Hancurnya industry kerajinan rakyat sebagai akibat monopoli para pengusaha bermodal besar.

Penyebabnya kesenjangan ekonomi cukup jelas yaitu pengangguran yang terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang, keterampilan dan pendidikan yang tidak memadai bagi kaum muda untuk bersaing di lingkungan yang makin global, kebencian terhadap korupsi, lobi-lobi dan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka tidak lagi bicara tentang kemiskinan, tapi telah masuk ke isu yang lebih substantif, yakni ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi.

Dari sudut pandang ekonomi, penyebab meningkatnya kesenjangan pendapatan ini dapat dijelaskan dari banyak sisi. Masuknya 2,3 juta pekerja dari Cina dan India ke pasar tenaga kerja global membuat lahan kesempatan kerja bagi pekerja lokal makin berkurang. Perkembangan teknologi yang makin mengurangi kebutuhan pekerja kasar (unskilled workers), tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tidak bekerjanya mekanisme redistribusi pendapatan (pajak yang kurang progresif) juga turut menjadi penyebab melebarnya jurang pendapatan.

21

Secara tradisional, ada dua pendekatan kebijakan untuk merespon persoalan ini. Yaitu a)Pendekatan pertama, seperti yang dipraktikkan di Amerika, adalah dengan menerapkan liberalisasi keuangan, salah satunya dengan mempermudah pemberian kredit untuk rumah tangga.

b) Pendekatan kedua, seperti yang banyak dilakukan di negara-negara eropa daratan, kesenjangan diisi oleh pelayanan publik (pendidikan gratis, layanan kesehatan, transportasi murah, dan lain-lain) dibiayai oleh anggaran fiskal negara.

Namun kedua pendekatan itu memiliki masalahnya sendiri. Krisis kredit perumahan yang akhirnya berujung pada kolapsnya industri keuangan Amerika empat tahun lalu menunjukkan pada kita bahwa liberalisasi keuangan pada gilirannya justru memicu kenaikan tingkat utang swasta (private debts) yang bebannya makin tidak tertanggungkan.

Sementara pendekatan fiskal yang dilakukan di negara-negara eropa untuk mendanai sektor pelayanan publik sangat membebani keuangan negara, karena pendapatan pajak (yang sudah sedemikian tinggi itu) tidak sepenuhnya mampu membiayai anggaran, sehingga harus didanai lewat utang. Hal ini pada gilirannya memicu defisit anggaran dan utang negara (public debts). Dalam kedua kasus tersebut, tingkat utang akhirnya menjadi sulit dikendalikan dan tidak sustainable.

Di sisi lain, krisis ekonomi yang terus berkepanjangan memaksa banyak perusahaan di negara maju melakukan pengurangan kapasitas produksi termasuk mengurangi jumlah dan upah pekerja karena melemahnya tingkat permintaan.Tapi langkah ini pada gilirannya juga malah makin melemahkan permintaan agregat, karena berkurangnya pendapatan pekerja. Biaya (upah tenaga kerja) bagi suatu perusahaan adalah income bagi si pekerja. Berkurangnya tingkat pendapatan akan menyebabkan berkurangnya pula tingkat permintaan.

22

Apa yang menjadi keputusan rasional di level mikro (perusahaan) justru menjadi destruktif di level makro (agregat).

Fenomena ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Karl Marx telah meramalkan munculnya persoalan ini lebih dari seabad yang lalu. Menurutnya, globalisasi, liberalisasi industri keuangan dan redistribusi pendapatan dari kaum pekerja kepada pemilik modal justru akan membawa kapitalisme pada kehancurannya sendiri. Kapitalisme yang tidak dikekang akan membawa perekonomian pada situasi over-capacity dan under-consumption, menghentikan roda produksi ekonomi dan menghasilkan krisis keuangan yang sangat destruktif, dipicu oleh menggelembungnya nilai aset dan kredit. Jauh sebelum terjadinya Great Depression di tahun 1930an, kaum borjuis eropa sebenarnya telah menyadari bahwa untuk menghindari munculnya revolusi dan perlawanan rakyat, hak-hak pekerja harus dilindungi, dan kesejahteraan mereka harus ditingkatkan. Sejak itu muncul paradigma negara kesejahteraan (welfare state) untuk menjamin distribusi kesejahteraan dan tersedianya barang publik seperti pendidikan, kesehatan serta jaring pengaman sosial. Setelah masa depresi besar terlewati, dorongan untuk mewujudkan negara kesejahteraan modern makin kencang. Terinspirasi oleh revolusi pemikiran ekonomi John Maynard Keynes saat itu, banyak negara di eropa mengambil tanggungjawab stabilisasi ekonomi makro, dengan memperluas penyediaan barang publik yang dibiayai dari pungutan pajak yang besar (terhadap golongan kaya), serta mendorong akses dan kesempatan ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat.

Munculnya paradigma negara kesejahteraan sosial ini sesungguhnya merupakan respon dari konsep demokrasi-ekonomi-liberal untuk mengantisipasi pengaruh sosialisme dan komunisme yang makin meluas menyusul lumpuhnya perekonomian akibat depresi besar yang terjadi di Amerika dan Eropa saat itu. Perlahan stabilitas sosial dan ekonomi23

secara relatif mulai terwujud selama tiga dekade sesudahnya (dari 1940-an sampai pertengahan tahun 1970-an), suatu periode ketika pendapatan rata-rata tumbuh pesat dan kesenjangan pendapatan menurun tajam.

Namun pelajaran tentang perlunya keberhati-hatian dalam sistem keuangan hilang di era Reagan-Thatcher, ketika AS dan Inggris mengangkat dan menegaskan kembali konsep ekonomi liberal (laissez-faire) dengan menerapkan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi besar-besaran di sektor ekonomi dan keuangan. Hal ini juga seiring dengan menguatnya pengaruh mazhab ekonomi Chicago yang diarsiteki oleh Milton Friedman mulai pertengahan 1970an hingga 1980an. Model ekonomi itu (yang kemudian kerap diberi label neoliberalisme) muncul sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang muncul dalam model kesejahteraan sosial di Eropa. Kelemahan model welfare state itu diantaranya terefleksikan dari membengkaknya defisit fiskal yang sangat membebani keuangan negara, serta regulasi yang berlebihan (overkill regulations) yang menyebabkan perekonomian menjadi tidak dinamis, bahkan stagnan. Kombinasi kedua persoalan itu berdampak serius pada perekonomian negaranegara eropa dan dipercaya turut berkontribusi terhadap krisis utang yang terjadi di eurozone saat ini.

Tapi model laissez-faire ala Anglo-Saxon saat ini pun terbukti gagal. Kesenjangan ekonomi yang dulu hanya dianggap sebagai efek samping kapitalisme, kini menjadi problem serius bagi masa depan kapitalisme itu sendiri. Kritik bukan hanya muncul dari para ekonom kiri namun juga dari para ekonom pendukung pasar bebas sendiri, meski dengan alasan berbeda.

24

Jika para leftist economists sejak awal meyakini bahwa efek menetes ke bawah (trickle down effect) hanyalah ilusi kapitalisme, para pengecam dari kalangan ekonom propasar beranggapan bahwa kegagalan sistem ekonomi pasar bebas saat ini lebih karena praktiknya yang terlalu pragmatis dan telah menyimpang dari hakikat laissez-faire itu sendiri. Apa yang disebut dengan market failure (kegagalan pasar) seperti yang terjadi pada 2007-2008 lalu tidak semestinya diintervensi oleh pemerintah dengan memberikan bailout. Kerugian dan kebangkrutan suatu perusahaan atau industri adalah mekanisme koreksi sekaligus hukuman dalam sistem ekonomi pasar bebas. Pemberian dana talangan justru membuat orang salah mengartikan kapitalisme sebagai socialism for the rich (sosialisme bagi orang-orang kaya).

Kini muncul banyak perdebatan diantara para pemerhati ekonomi tentang formula apa yang tepat untuk membawa dunia keluar dari krisis global ini. Salah satu gagasan menarik dolontarkan oleh Nouriel Roubini, profesor ekonomi dari New York University berpendapat bahwa sistem ekonomi harus kembali kepada keseimbangan yang tepat antara kepentingan pasar dan penyediaan barang publik.

Itu artinya bandul kebijakan harus bergerak menjauh, bukan sebaliknya, dari model ekonomi Anglo-Saxon yang bergantung pada mekanisme pasar (yang seringkali gagal), maupun dari model ekonomi eropa kontinental yang bergantung pada kemampuan negara (yang seringkali terbatas). Menurut Roubini, konsep balanced economy adalah model yang paling realistis untuk diterapkan. Sementara model pertumbuhan ala Asia jika memang ada juga terbukti tidak mampu mencegah meningkatnya ketimpangan ekonomi di Cina, India, juga di Indonesia.

Pada akhirnya krisis ini memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa apapun model ekonomi yang diterapkan akan menghadapi krisis legitimasi, jika tidak mampu menjawab25

problem distribusi kesejahteraan dan ketidakadilan ekonomi. Gelombang keresahan sosial yang kita saksikan hari-hari ini di seluruh belahan dunia, sangat mungkin akan terus berlanjut dengan skala yang terus membesar. Gerakan tersebut tersebut telah menggeser isu ekonomi global dari sekadar masalah kemiskinan menjadi masalah ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Jika definisi, interpretasi dan fakta-fakta kemiskinan selama ini sangat mudah dipermainkan dan diperdebatkan, tidak demikian halnya dengan kesenjangan ekonomi. Rakyat marah bukan karena mereka miskin, tapi karena ketidakadilan sistem makin memiskinkan mereka dan memperkaya segelintir lainnya.

Para pengambil keputusan, penyusun kebijakan dan elit politik negeri ini harus segera menyikapi perkembangan situasi ini, tanpa harus menunggu kekecewaan rakyat terakumulasi di jalan-jalan. Segera bersikap dan bertindak, sebelum semuanya terlambat.

sebuah model ekonomi politik negara yang warga negara heterogen- preferensi neous untuk kebijakan nasional dan beberapa daerah dapat merenungkan ancaman pemisahan diri. Negara ini efisien jika yang break-up ke negara-negara yang lebih kecil mengarah ke utilitas agregat kerugian.,bahwa dalam sebuah negara yang efisien warga negara yang 'preferensi menunjukkan tingkat tinggi polarisasi, ancaman pemisahan diri tidak dapat dihilangkan tanpa transfer antar-daerah. jika suara terbanyak digunakan untuk mencegah- tambang skema redistribusi dalam negeri, maka tingkat tinggi dari polarisasi menghasilkan skema kompensasi penuh sebagai keseimbangan politik yang unik

c.Kesenjangan Pendidikan 1). Ketimpangan dalam pendidikan

26

Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleksdan persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi.

Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa bangsa yang menghadapi problem akan menengok kepada pendidikan. Peran apakah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memecahkan persoalan kesenjangan sosial tersebut? Namun, ternyata pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Sehingga banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki sekolah yang

27

baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya. Tidak jarang sekolah yang jelek yang berada di kota-kota, lebih khusus lagi di kotakota besar cenderung akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Di samping itu lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang "tidak bermutu" sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak dari sekolah yang "bermutu" yang kebanyakan datang dari keluarga mampu. Mereka, sejak dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak pernah terekspresikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir dari kelompok miskin cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis tergencet serta dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan anak memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan gampang terkena provokasi. Latar belakang keluarga yang didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga, ternata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi. Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak yang bermakna dan berkesinambungan antara

28

guru dan siswa, guru tidak akan mampu mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di masa depan.

2). Dimensi ketimpangan

Dimensi ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya tidak serumit yang terjadi di masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret Batten, peneliti pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity in Schools: An independent Perspective', mengemukakan dua aspek penting dalam mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama ujud ketimpangan, yang dapat terjadi dalam ujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, atau ketimpangan dalam ujud output atau hasil pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat diukur pada level individu atau ketimpangan pada level kelompok, seperti kelompok siswa kaya dan miskin, kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota, kelompok siswa laki-laki dan siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua peneliti pendidikan tersebut amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan pendidikan guna mengatasi problem ketimpangan pendidikan. Aspek ketimpangan dalam ujud output pendidikan dipusatkan pada kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian seperti NEM ataupun dalam arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut dapat dianalisis pada level mikro individual atau dalam level makro atau kelompok. Intern suatu sekolah dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa yang erat berkaitan dengan latar belakang status sosial masing-masing individu. Tetapi di samping itu, perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok, baik intern satu sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut erat berkaitan dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan.

29

James Coleman dalam 'Equality of educational opportunity' merupakan sosiolog yang telah membuktikan adanya realitas ketimpangan output pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input pada level kelompok di Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil dalam menimbulkan ketimpangan output.

Sedangkan Frederick Jenck dalam laporan penelitian Inequity in Education membuktikan ketimpangan output pendidikan dengan menggunakan pada level individual. Namun, kajian ketimpangan pendidikan yang didasarkan pada output pendidikan dikritik keras oleh John Keevess, lewat artikelnya Equitable Opportunities in Australian education, sebab pendekatan output menjadikan ketimpangan pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dan upaya mengatasi ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi.

Sebaliknya, pendekatan input lebih praktis dan lebih operasional. Pendekatan ini melihat adanya ketimpangan pendidikan dalam ujud bahwa siswa mendapatkan kesempatan untuk menikmati fasilitas pendidikan yang tidak sama. Perbedaan ini bisa berupa kualitas guru, prasarana dan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Ketimpangan pendidikan dalam kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dapat dianalisis pada level individu ataupun kelompok. Ketimpangan input dan proses ini lebih mudah diatasi dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Perbedaan antar individu dalam suatu sekolah dapat diatasi, misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku sehingga setiap siswa bisa menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak negara sedang berkembang termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input tidak selamanya akan meningkatkan output pendidikan,

30

sebagaimana disimpulkan oleh Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh oleh masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa yang berasal dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku adil terhadap semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka?

Dengan mendasarkan pada dua dimensi di atas, ketimpangan sekolah dapat dikelompokkan dalam empat varian: a) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran individual b) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran kelompok c) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran individual d) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran kelompok. Pemecahan permasalahan ketimpangan masing-masing kelompok memerlukan kebijakan intervensi yang berbeda.

3). Cooperative learning

Proses sekolah dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi, semua itu merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi di antara siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Panekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan. Ditambah lagi, setiap

31

pembaharuan pendidikan pada umumnya senantiasa menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di kota-kota, sehingga kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh, pengenalan matematika modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada level individual maupun level kelompok semakin menganga.

Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial

di

kalangan

siswa,

pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama, dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masingmasing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.

Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That

32

improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa.

Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada level individual. Di samping itu, berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual. Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.

Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Dengan Cooperative Learning ini pula pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang sebenarnya, yakni menghasilkan manusia

33

yang ber-''otak" dan ber-''hati".

Pakar Pendidikan Darmaningtyas menilai persoalan kesenjangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi pada semua jenjang pendidikan. Kesenjangan justru terjadi di tingkat perguruan tinggi.

"Pada tingkat pendidikan dasar hingga sekolah menengah sebetulnya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan tidak signifikan," kata Darmaningtyas di Jakarta, Minggu 1 Mei 2011.

Darmaningtyas menilai kesenjangan pada tingkat perguruan tinggi muncul karena biaya pendidikan sudah semakin mahal, seiring makin tingginya biaya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Selama ini, masyarakat menganggap biaya pendidikan di PTN dianggap lebih murah dibandingkan perguruan tinggi swasta "Kebanyakan perempuan miskin tidak bisa akses ke pendidikan tinggi. Kaum miskin sudah tersaring sejak SMP," katanya.Dengan fenomena tersebut serta upaya menghilangkan kesenjangan pendidikan, pemerintah seharusnya berpikir untuk membenahi sistem pendidikan sejak dari SMP hingga SMA sehingga masyarakat miskin bisa memperoleh kualitas pendidikan yang lebih baik.

"Masalahnya sekarang capital (uang) telah menjadi penentu tirani bagi warga untuk bisa bersekolah atau tidak," kata Darmaningtyas seraya menyatakan ketidaksetujuannya bahwa seluruh sekolah swasta berorientasi pada bisnis sehingga tidak perlu memperoleh subsidi. Pemerintah, dia menambahkan, bisa menyelesaikan masalah keluhan anggaran pendidikan yang rendah dengan cara mengalihkan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) ke pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum.

34

Kesenjangan adalah perbedaan yang terpaut terlalu jauh antara dua hal sehingga menyebabkan ketidak seimbangan. Kesenjangan apa yang terjadi dalam pendidikan? Kesenjangan antara ilmu yang dipelajari dan karya yang dihasilkan. Kesenjangan antara ilmu yang sampaikan dan ilmu yang dipakai. Kesenjangan antara ilmu dan hidup yang nyata. Kesenjangan antara kehidupan sekolah dan kehidupan nyata.

Buku Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan ini terlihat jelas bahwa Agus Suwignyo sangat prihatin dengan kondisi pendidikan kita yang kebingungan, bahkan tidak bisa berhadapan dengan tuntutan realitas kehidupan. Betapa tidak, kondisi pendidikan yang, menurut Driyarkara (1980), seharusnya menjadi hominisasi dan humanisasi, tiba-tiba sirna. Yang dimaksud hominisasi adalah proses menjadi homo (manusia). Sedangkan humanisasi adalah proses menjadi human (manusiawi). Jadi, pendidikan sebagai hominisasi dan humanisasi memiliki arti bahwa pendidikan sebagai proses menjadi manusia yang manusiawi. Untuk tujuan itu, maka dalam setiap lembaga pendidikan meniscayakan adanya ruh yang kemudian diistilahkan dengan per definitionem. Yaitu kekhasan sekaligus kekuatan pada nilai-nilai dasar ilmu yang universal. Ada empat bidang ilmu yang menjadi tekanan utama karena merupakan dasar pembentukan watak dan kemampuan analitis. Yaitu filsafat, sejarah, kesusasteraan, dan seni. Penelitian yang menjadi darah daging dan pusat belajar civitas akademika di setiap pendidikan tinggi meniscayakan adanya kemampuan pada empat bidang keilmuan tersebut. Pengembangan ilmu dan pengetahuan dilakukan demikian pertama-tama adalah demi peningkatan ''derajat'' kemanusiaan manusia, walaupun secara tidak langsung sekaligus demi pengembangan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Kondisi ini yang menjadi salah satu alasan dijadikannya pendidikan tinggi sebagai referensi masyarakat non-akademis dalam menguji ''kebenaran'' suatu fenomena. Dengan ini pendidikan tinggi menjadikan dirinya sebagai institusi yang berwibawa, dan memberi gengsi tersendiri pada warganya. Tetapi, jauh lebih penting, pendidikan tinggi dengan misinya tersebut mampu35

membentuk manusia-manusia merdeka dan humanis, manusia yang diistilahkan Victoria Camp dengan en todos los sentidos de la palabra, bueno (manusia yang baik dalam setiap arti kata dan perbuatannya; manusia intelektual berkepribadian penuh, bertanggung jawab, dan memiliki solidaritas sosial tinggi). Hanya saja, idealitas itu tidak lagi bisa diharapkan dalam kondisi pendidikan tinggi yang tidak mampu mengejawantahkan misi tersebut di tengah semakin tingginya peradaban dunia. Bahkan yang terjadi kemudian adalah sumbangan jumlah pengangguran para lulusannya (baca: sarjana). Maka, tak heran, melalui karyanya yang terkenal Sekolah adalah Candu, Roem Topatimasang menganggap bahwa pendidikan, sebagaimana keberadaannya selama ini, tidak lagi berguna. Ia hanya meracuni anak didik. Asumsi ini berangkat dari kemandulan pendidikan berhadapan dengan realitas dalam melahirkan solusi alternatif terhadap setiap problem sosial kehidupan yang muncul. Tesis ini kemudian mendapatkan legitimasinya pada kenyataan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, yaitu 11 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang makmur ini. Pengangguran yang sampai detik ini menjadi persoalan yang tidak mampu dicarikan solusinya oleh pemerintah akan terus berlanjut selama pendidikan, kata Agus, didefinisikan secara kaku. Pendidikan hanya didefinisikan sebagai proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan kaku. Padahal, pendidikan sebenarnya bisa dimaknai secara lebih luas sebagai suatu proses belajar dalam kehidupan semesta ini. Pendidikan adalah seluas kehidupan itu sendiri. Lembaga pendidikan yang telanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai, akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai ''resmi'' yang sedang berlaku dan direstui, tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apa nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui. Dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajib diajarkan di semua lembaga pendidikan dengan satu penafsiran resmi yang seragam. Dari sinilah, selain

36

indoktrinasi, muncul juga berbagai peraturan, dan penyeragaman-penyeragaman, juga kultur semimiliter, seperti baris berbaris, budaya komando, dan seterusnya. Di sisi lain, lembaga pendidikan formal mayoritas juga telah menjadi kapitalistik. Di sini, ada proses elitisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi lembaga pendidikan. Ini sudah sangat lazim dalam lembaga pendidikan di tanah air. Pendidikan menjadi lembaga komersial, mewah, dan mengeluarkan banyak biaya, akan tetapi hanya melahirkan generasi-generasi yang gamang dan gagap. Pendidikan menjadi semacam institusi perusahaan yang diwarnai suap-menyuap, uang pelicin, jalan belakang, dan seterusnya. Pendidikan hanya mendidik orang untuk menjadi pandai dan cerdik, bukan bijak dan arif. Maka, bisa dimaklumi jika pemikir radikal bernama Ivan Illich, misalnya, membongkar habis-habisan kebrengsekan lembaga pendidikan lewat salah satu tawarannya yang terkenal, Discolling Society. Fakta adanya penyelenggaraan pendidikan yang telah menyimpang dari hakikat sebuah pendidikan seperti diuraikan di atas jelas terjadi di banyak institusi bernama pendidikan ini. Didorong oleh semangat pragmatisme, lembaga pendidikan saat ini lebih menyerupai lembaga pelatihan tenaga kerja yang dibutuhkan utamanya oleh dunia industri. Tetapi, atribut pendidikan tinggi sebagai lembaga pelatihan tenaga kerja itu pun tidak sepenuhnya benar, mengingat para alumnusnya masih memerlukan pelatihan tenaga kerja terapan ketika memasuki dunia kerja. ''Jadi apa yang bisa diharapkan dari kehadiran pendidikan tinggi saat ini?''. Problem pendidikan tinggi yang demikian. Pendidikan tinggi telah kehilangan ruh per definitionem-nya ketika berhadapan dengan realitas dunia yang telah terpengaruh paradigma capital is power. Sehingga, cara berpikir para pengelola pendidikan tinggi, termasuk yang bersendikan agama sekalipun, telah berubah pragmatis-kapitalis d.Kesenjangan Akses Politik Fenomena politik atau kekuasaan yang mengandung dimensi dimensi antagonism atau konflik dan integrsi terjadi di berbagai macam bentuk komunitas manusia ,bangsa,37

profesi ,masyarakat internasioanal ,serikat buruh, elit,kota,desa,dan lain-lain . Menurut Duverger ,sosiologi politik adalah stadi tentang fenomena kekuasaan didalam setiap pengelompokn manusia ,bukan hanya didalam Negara (nation state). Masing-masing kelompok manusia mewujud ke dalam suatu struktur yaitu suatu kerangka dimana aspekaspek konflik dan integraasi dari kekuasaan dalam memainkan peranan .Struktur seperti itu disebut struktur politik . Konflik yang dilatarbelakangi kesenjangan sosial dapat kita lihat dari berbagai konflik sosial yang terjadi ditanah air ini, misalnya kita melihat kerusuhan sosial pada tahun 1998, korbannya mayoritas adalah etnis tionghoa, dan memang secara objective kesenjangan itu juga disebabkan adanya akumulasi modal dan penguasaan teknologi etnis tersebut. Berbeda dari sudut pandang masyarakat, penilaian masyarakat kesenjangan itu muncul karena adanya peranan pemerintah dengan memberikan berbagai akses dan kemudahan sehingga hal tersebut memunculkan potensi konflik, Demokrasi, juga telah berkontribusi dalam mengatasi konflik yang berkepanjangan. Pendekatan dialog dan solusi damai, ternyata dapat menyelesaikan masalah Aceh, setelah dilanda konflik lebih dari tiga dekade. Pendekatan militer saja tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah. Harus ada solusi politik melalui cara dialog yang persuasif. Jadi dengan pendekatan win-win solution, konflik bersenjata di Aceh dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat. Dalam perspektif serupa, demokrasi juga dapat berkontribusi bagi penyelesaian konflik dan beban sejarah dalam hubungan antar bangsa. Sebagai sesama negara demokrasi, Indonesia dan Timor Leste bersepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), untuk menyelesaikan berbagai permasalahan atau residual issues yang mengemuka,

38

menjelang dan segera sesudah jajak pendapat di tahun 1999, dengan berorientasi ke masa depan. Indonesia juga dapat menangani permasalahan terorisme dengan cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi. Terorisme adalah kejahatan yang extra-ordinary, karenanya harus dicegah dan diberantas. Namun, upaya penanggulangan terorisme ini tidak boleh meniadakan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak kebebasan individu. Berbagai fakta perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia telah menghasilkan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan. pengalaman demokrasi bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Bukan pula sesuatu yang dapat dipaksakan dari luar. Demokrasi harus ditumbuhkan dari dalam masyarakat itu sendiri (home grown), melalui pemberian kesempatan dan ruang yang lebih luas serta pemberdayaan mereka. Demokrasi yang dipaksakan dari luar, bisa menimbulkan komplikasi politik, dan dalam perkembangannya bisa kehabisan tenaga dan daya dorongnya. Berangkat dari pengalaman Indonesia, pada tingkat nasional, setidaknya terdapat tiga poin penting yang dapat kita petik: Pertama, demokrasi memberikan ruang bagi seluruh elemen bangsa, untuk dapat berdialog dan menyelesaikan permasalahan dengan cara damai; Kedua, alam demokrasi memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, sesuai aturan main yang berlaku. Demokrasi membuka peluang kepada siapapun untuk berbicara dan berpendapat, sesuai koridor dan kesepakatan bersama. Demokrasi merupakan sarana untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa; dan

39

Ketiga, alam demokrasi menuntut berfungsinya secara efektif seluruh pilar demokrasi. Perangkat hukum harus dapat berfungsi efektif. Keseimbangan antara peran legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus berjalan pada arah yang benar. Penegakan hukum harus konsisten dan tidak boleh pandang bulu. Tata kelola pemerintahan (good governance) harus berfungsi dengan baik. Dan, kebebasan harus berjalan bergandengan dengan rule of law. Seluruh pilar dan elemen itulah, yang dapat memastikan terpeliharanya kehidupan bernegara yang demokratis, damai dan stabil. Pada tingkat regional dan global, bahwa penyelesaian berbagai permasalahan dan tantangan di abad ke-21 harus kita jalankan secara transparan dan demokratis. Arsitektur yang demokratis akan berdampak terhadap tansparansi kebijakan dan predictable behavior, yang dapat menjamin terciptanya rasa saling percaya atau confidence building. Ketegangan yang terjadi dalam hubungan internasional dewasa ini, banyak yang disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan atau bahkan kesalahpahaman. Melihat realitas yang ada di kawasan, dapat di simpulkan , bahwa selama ini kerjasama dan integrasi kawasan Asia pada berbagai tingkatannya - khususnya di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik- lebih terfokus pada aspek ekonomi, yaitu upaya untuk mengatasi kesenjangan pembangunan (development gap). Padahal, pada kenyataannya terdapat keperluan mendesak untuk mengatasi political development gap yang belum banyak disentuh. Jika tidak diantisipasi secara cermat, kesenjangan pembangunan politik itu dapat berujung pada gangguan pembangunan, instabilitas politik, dan ancaman keamanan di kawasan. Disinilah titik penting bagi adanya pemahaman atas perdamaian dan demokrasi secara lebih baik yang harus diangkat sebagai bagian dari kerjasama di kawasan. Pertumbuhan ekonomi global yang kuat, seimbang dan berkelanjutan apabila Pengambilan keputusan dalam lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank40

Dunia, harus mencerminkan asas transparansi dan demokrasi. Representasi suara dari negara berkembang, juga harus terus ditingkatkan di lembaga-lembaga keuangan internasional ini. Dan pada tataran global Sistem yang demokratis dan transparan sangat diperlukan juga pada tingkat regional dan global. Hanya dengan menerapkan asas yang berkeadilan, persamaan, dan transparansi, maka perdamaian dan stabilitas baik pada tingkat kawasan dan global dapat kita wujudkan dan kita pelihara bersama. Dari apa yang saya kemukakan tadi, maka sesungguhnya salah satu esensi dari demokrasi adalah, bagaimana kita dapat memberdayakan seluruh elemen bangsa, untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat kita semua. Kita juga harus memastikan, agar segenap komponen bangsa dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, dan pencapaian kesejahteraan bagi kita semua. e.Kesenjangan Beragama Keaneka ragaman agama yang di anut oleh berbagai kelompok masyarakat sering kali mendatangkan perbedaan perbedaan baik dalam cara berpakaian ,bergaul dll

Konflik antar agama dan golongan yang terjadi belakangan ini sudah disadari banyak pihak sebagai sebuah ancaman bagi pluralisme bangsa. Wacana dominan dan nondominan serta mayoritas dan minoritas pun semakin memperuncing terjadinya konflik.

Padahal, sejarah Indonesia mencatat, ada sejumlah pejuang kemerdekaan yang memiliki peran serta yang begitu besar berasal dari kalangan minoritas. Namun, karena keminoritasannya, pamor pejuang ini justru redup dalam sejarah.

Pada masyarakat yang sedang konflik, biasanya ditandai dengan adanya disorientasi (kehilangan arah red) dalam segala bidang kehidupan. Disorientasi itu bisa dalam bentuk porakporandanya sistem masyarakat yang berlaku selama bertahun-tahun bahkan berabad41

abad, masyarakat tak kenal hukum lagi, sehingga chaos (kekacauan) terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa ada yang tahu cara dan bagaimana mengatasinya, atau dalam bahasa sosiologis disebut anomi. Hubungan antar komponen masyarakat goyah karena tidak ada lagi yang saling percaya (distrust) dan kebenaran menjadi nisbi.

Puslitbang Kehidupan Beragama, salah satu pusat penelitian dari tiga yang dimiliki Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, pada tahun 2004 melakukan studi tentang Hubungan antar Umat Beragama Pasca Konflik di Berbagai Daerah. Studi ini berhasil memotret hubungan sosial (social interaction) antar kelompok masyarakat di daerah-daerah yang pernah dilanda konflik. Caranya dengan menyoroti forum-forum perdamaian beserta programnya yang telah dicanangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta (LSM) dalam membangun perdamaian (peacebuilding) dan menjaga perdamaian (peacekeeping) pasca konflik di daerah dalam kaitan dengan kehidupan antar kelompok masyarakat yang lebih baik, termasuk di dalamnya umat beragama. Dari itu, tujuan dari studi tersebut antara lain adalah: Apa saja faktor pendukung, dan sebab-sebab yang menggagalkan upaya perdamaian yang telah dicanangkan?

Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni:

(1) sangat toleran, humanis, dan inklusif.

(2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan

(3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif.

Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional,

42

berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.

Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau

mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan. Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.

Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran.

Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu43

paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.

Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi radikalisme memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.

Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain:

(1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya,

(2) ketidak adilan sosial,

(3) kemiskinan,

(4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan

(5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.44

Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.

Organisasi Islam radikal sebenarnya tak didukung masyarakat. Namun,frustrasi sosial dan alienasi yang dialami warga masyarakat akibat kesenjangan ekonomi membuat intoleransi beragama muncul. Kehadiran organisasi Islam radikal telah memicu intoleransi ini. Hal itu menjadi salah satu temuan dalam riset radikalisme agama di Jabodetabek dan Jawa Barat yang dilakukan Setara Institute dan dirilis, Dalam riset itu ditemukan toleransi masyarakat Jabodetabek adalah toleransi yang terbatas yang hanya berhubungan dengan relasi sosial. Jika terkait dengan rumah ibadah pada umumnya warga merasa keberatan. Ada kecenderungan warga menolak kebebasan bagi setiap umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah. Meski demikian, di sisi lain, mayoritas warga Jabodetabek menyatakan

ketidaksetujuan terhadap tindakan atau aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Organisasi Islam radikal umumnya lahir secara spontan dan dipicu oleh berbagai peristiwa yang dianggap mengancam Islam dan umat Islam. Organisasi Islam radikal ini memiliki empat agenda utama, yaitu penegakan syariat Islam, pemberantasan maksiat, aliran sesat, dan antipemurtadan/antikristenisasi Setara Institute menilai tingginya tindakan kekerasan beragama dan berkeyakinan disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum.45

Negara dinilai telah melakukan pembiaran atau intoleransi dalam penanganan kasus kekerasan dalam beragama. Meningkatnya angka kekerasan dalam beragama menunjukkan adanya pembiaran negara terhadap pelaku kekerasan sehingga pelaku kekerasan itu mendapat hak imunitas Tak hanya itu, saat ini perkembangan hubungan antaragama pun masih berlangsung penuh kecurigaan, kebencian dan kekerasan. Faktanya, masih banyak gereja yang dicabut izinnya, masjid Ahmadiyah dirusak, penghalangan dan penghentian terhadap kegiatan ibadah kalangan minoritas. Menyikapi peningkatan intoleransi Bergama.Pemerintah sejatinya tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang hendak melakukan dehumanisasi dan agresi meskipun mengatasnamakan agama tertentu. 2.Solusi Kesemuanya penjelasan diatas dimaksudkan agar lebih mudah tercipta suasana dialog yang kondusif dan saling memahami, sehingga mampu menggali akar kebuntuan dan selanjutnya memperoleh solusi atas kebekuan konflik di wilayah tersebut Selain mengoptimalkan peran fasilitator, pemerintah juga selayaknya memiliki / mendeskripsikan/ menawarkan arah strategi pembangunan wilayah yang pantas diprioritaskan hingga lima tahun ke depan. Menurut penulis, arah strategi teoritis yang pantas diikutsertakan sehubungan pembangunan saat ini adalah strategi Basic Needs, yang kemudian diikuti oleh strategi Self-Reliance. Strategi Basic Needs bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sehubungan pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, keamanan, partisipasi masyarakat, dan pengaturan sendiri (self-determination). Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut diprioritaskan kepada yang membutuhkan atau kepada mereka yang memiliki keterbatasan untuk mengakses kebutuhan dasar tersebut, sehingga lebar kesenjangan dapat tereduksi.

46

Langkah langkah pembangunan yang juga termasuk di dalam skema strategi ini antara lain berupa perbaikan pelayanan publik untuk wilayah yang membutuhkan seperti pelayanan sekolah, sanitasi, air bersih dan kesehatan; penyediaan ragam subsidi dan atau bantuan langsung berupa barang dan atau jasa kepada kelompok yang membutuhkan; penyediaan micro-credit pada kelompok tertentu; reformulasi sistim perindustrian dan pertanian; dan lain sebagainya. Selain pengimplementasian strategi Basic Needs, strategi Self-Reliance juga perlu diimplementasikan secara perlahan guna meningkatkan kemandirian masyarakat dalam hal ekonomi, sosial, budaya dan politik. Beberapa langkah utama dari strategi ini yakni berupa penyediaan, pemanfaatan dan pengelolaan lahan, mendevolusi kekuatan politik ke institusi lokal, pengambilan keputusan diupayakan secara lebih komunal dan adil, penguatan struktur sosial yang lebih egalitarian dengan kesadaran kolektif, mempertahankan identitas dan budaya setempat, dan perbaikan keteguhan hati masyarakat secara psikis dan politis. Kedua strategi tersebut mutlak didiskusikan bersama masyarakat dan selanjutnya bersama sama menyusun sasaran pembangunan (perbaikan), target dan program detailnya hingga lima atau beberapa tahun mendatang. Adapun pengimplementasian keduanya, hendaknya dilakukan secara lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Penulis yakin, resep pemenuhan kebutuhan dan panciptaan kemandirian akan mampu mereduksi lebarnya kesenjangan pembangunan dan sekaligus memotivasi masyarakat untuk mengejar ketertinggalannya dalam mewujudkan masyarakat madani di wilayahnya.

Dan dalam beragama kita di ajarkan agar bertolransi antar umat beragama Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni:

(1) sangat toleran, humanis, dan inklusif.

47

(2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan

(3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif

48

PENUTUPA.KESIMPULAN Polarisasi konflik dalam masyarakat adalah proses terjadinya dua lapisan dalam

masyarakat [lapisan atas dan lapisan bawah]yang menunjukan perbedaan sikap dan kemampuan dalam merespon ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasil

pembangunan sedemikian rupa ,sehingga tingkat kesejahteraan dan kemampuan kedua lapisan itu jauh berbeda dan menimbulkan kesenjangan social dan konflik di dalam masyarakat.Bentuk bentuk dari polarisasi konflik dalam masyarakat yaitu Kesenjangan Kesejahteraan ,.Kesenjangan Ekonomi ,Kesenjangan Pendidikan,Kesenjangan Akses Politik,Kesenjangan Beragama,dll. kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang

mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang ,dan sebagainya.Dan beberapa contoh kesenjangan social : a.Kesenjangan Kesejahteraan yaitu ketidak seimbangan pendapatan di dalam masyarakat. b.Kesenjangan Ekonomi adalah terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi merupakan 2 masalah besar di negara-negara berkembang.

49

c.Kesenjangan Pendidikan yaitu Kesenjangan antara ilmu yang dipelajari dan karya yang dihasilkan. Kesenjangan antara ilmu yang sampaikan dan ilmu yang dipakai. Kesenjangan antara ilmu dan hidup yang nyata. Kesenjangan antara kehidupan sekolah dan kehidupan nyata.

d.Kesenjangan Akses Politik yaitu Konflik yang dilatarbelakangi kesenjangan sosial berupa kerusuhan social dan tentang fenomena kekuasaan didalam setiap pengelompokn manusia ,bukan hanya didalam Negara (nation state). Masing-masing kelompok manusia mewujud ke dalam suatu struktur yaitu suatu kerangka dimana aspek-aspek konflik dan integraasi dari kekuasaan dalam memainkan peranan hingga menimbulkan kesenjangan .

e.Kesenjangan Beragama yaitu kesenjangan yang di sebabkan oleh pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya,ketidak adilan sosial, kemiskinan, dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk tindakannya, dan kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. membenarkan

B.SARAN Saling memahami antar masyarakat itu merupakan salah satu kunci masyarakat sejahtera dan dapat mengurangi konflik dalam masyarakat Penyusun mengetahui betul bahwa buah karya yang dipergunakan untuk memenuhi tugas ini jauh dari sempurna ,maka penulis sangat mengharapkan keritik dan saran dari para pembaca dan pembimbing . kritik dan saran bagi penulis adalah suatu yang sangat berarti untuk menjadi yang lebih baik . Semoga kita bisa menjadi manusia yang selalu sadar akan hakikat dirinya ,dan menjadi masyarakat yang taat akan hukum di Negara kita. Pepatah Cina50

menyebutkan Jika anda tidak bertikai dengan orang lain, maka anda tidak mengenal satu sama lain, pepatah kamboja menyebutkan Keserakahan adalah sumber konflik dan kaum rohaniawan menyebutkan Perdamaian ada pada setiap orang. Mari kita renungkan.

51

DAFTAR PUSTAKA href='http://openx.arenaku.com/www/delivery/ck.php?n=a8706cbc&cb=INSERT_RA NDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'>