makalah pleno blok 24 (1)
TRANSCRIPT
Anemia Hemolitik
Kelompok A5
Grace Vanny Sayow (102009097)
Albertus Ian (102010058)
Mellisa Trixiana (102010101)
Shytnhia (102010147)
Mutiara Meilyn (102010149)
Angelin Rittho Papayungan (102010154)
Christian Salim (102010268)
Nor Farrizah Binti Osman (102010370)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta Barat
11510
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
anugerahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah kami kali
ini berjudul “Anemia Hemolitik”.
Pada kesempatan ini, kami juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr.Rebecca N. Angka, Mbiomed, dr.Sanarko Halim, Sp.Pk, dr. Ign.
Iskandar,Sp.PK, dr. Harny Edward, Sp.PK, dr. Richard Kosasih, Sp.PK, dr. Herawati
Sudiono, dr. Sisanta, Sp.PK,Mkes, dr. Henry Naland, Sp.B.Onk, dr. Noto Afiah, Sp.An, dr.
Pulunggono Sudarmo, Sp. Rad, dr.Sri Rochani,Sp.A(K), dr.Marina Rumawas, Mbiomed,
dr.Didi Kurniadhi,Sp.PD, dr.Benyamin S. Tambunan, Sp.PD, yang telah membimbing kami
dalam proses pembuatan makalah ini. Serta kepada dr. Judin yang telah memberi kami
kesempatan untuk membuat makalah ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan
pengetahuan kami khususnya dalam mata kuliah hematologi onkologi.
Di dalam kamus Indonesia telah dikatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak”.
Kami sadar kami dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna pembuatan makalah kami
yang berikutnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 01 Mei 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..............................................................................................................2
Daftar Isi ........................................................................................................................3
Pendahuluan....................................................................................................................4
Isi
1. Anamnesis...........................................................................................................5
2. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................6
3. Pemeriksaan Penunjang......................................................................................7
4. Etiologi................................................................................................................10
5. Epidemiologi........................................................................................................10
6. Different Diagnosis..............................................................................................12
7. Patofisiologi.........................................................................................................14
8. Komplikasi..........................................................................................................21
Kesimpulan.....................................................................................................................21
Daftar Pustaka.................................................................................................................22
I. Pendahuluan
3
Secara sederhana anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin yang kurang dari
jangkauan normal yang disetujui. Anemia merupakan keabnormakan darah berbahaya yang
paling umum dan disebabkan oleh banyak hal yang memungkinkan. Ada beberapa penyebab
anemia, antara lain karena pendarahan, meningkatnya destruksi sel darah merah, dan
defisiensi zat besi . Di Indonesia, angka penderita anemia masih tinggi. Gejala umum anemia
ditandai dengan kelelahan seperti lemah, lesu, letih, pusing, nafas sesak, serta susah
berkonsentrasi. Tanda anemia yang paling dikenal adalah kulit pucat yang dsebabkan oleh
pengenceran darah dan berkurangnya aliran darah perifer. Penyebab kepucatan tidak hanya
anemia namun bisa juga kelainan dari hemoglobin.
Destruksi eritrosit normal biasanya terjadi setelah masa hidup rata-rata 120 hari, yaitu
pada saat sel dikeluarkan ke ekstravasculer oleh makrofag sistem retikuloendotelial yang
terutama terdapat pada sumsum tulang, tetapi juga hati dan limpa. Anemia hemolisis
didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit.
Kelainan hemoglobin bisa disebabkan oleh hal-hal seperti sintesis hemoglobin abnormal dan
berkurang kecepatan sintesis rantai globin α dan β.
1. Skenario 6
Seorang wanita 25 tahun, datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3
minggu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,
BAK frekuensi serta warna dalam batas normal, dan BAB frekuensi warna, konsistensi masih
dalam batas normal. Pemeriksaan fisik konjungtiva anemis, sklera ikterik, Hb 9,5, Ht 30%,
leukosit 8900 µl, trombosit 230.000 µl. MCV 82, MCH 30, MCHC 34%, retikulosit 6%.
Scufner 1-2.
2. Identifikasi Istilah Yang Tidak Diketahui
-
3. Rumusan Masalah
4. Mind Map
4
Anamnesis
Anemia bukan sebuah penyakit, tapi merupakan sebauh gejala yang ada penyakit
dasarnya. Tapi bisa menjadi sebuah diagnosis pada penyakit hematologi tertentu. Oleh karena
itu, kita perlu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk bisa mendiagnosis.1
Anamnesis yang bisa ditanyakan pada pasiennya biasanya berhubungan dengan
keluhan utama pasien. Keluhan utama pasien pada kasus di atas adalah mudah lelah dan
tampak pucat 2 – 3 minggu.1
Pasien dengan anemia biasanya datang karena adanya pucat, dari keluhan utama
tersebut, ditanyakan juga riwayat penyakit sekarang, antara lain:1
(1) lelahnya kapan terjadi, apakah saat istirahat atau beraktivitas?
(2) ada keluhan lain tidak seperti pusing, mual, muntah, sesak nafas? Jika ada tanyakan
bagaimana intensitas gejala itu, pada waktu sedang apa gejala itu muncul, lalu di tanya lagi
apakah munculnya tiba – tiba atau perlahan?
(3) ditanyakan juga bagaimana warna dan bau dari BAK dan BAB?.
Karena pasien pada kasus adalah seorang perempuan pada riwayat penyakit dahulu
perlu ditanyakan mengenai bagaimana riwayat menstruasinya.
(1) apa sering merasa pusing dari dulu?
(2) apakah ada gangguan saluran pencernaan?
(3) apakah ada riwayat trauma atau pendarahan saluran cerna?
(4) jika sedang menstruasi, berapa kali mengganti pembalut?
(5) jangan lupa juga untuk ditanya apakah sedang mengonsumsi obat – obatan seperti obat
jantung, obat diabetes, antibiotic, dan sebaginya?.
Setelah itu bisa ditanyakan riwayat penyakit keluarga, menanyakan apakah ada
dikeluarga yang menderita anemia juga? Karena ada beberpa kelainan hematologi yang
penyebabnya adalah herediter. Selain itu tanyakan riwayat sosialnya bagaimana, terutama
mengenai diet, kebiasaan (merokok, alcohol, dan obat – obatan).1
5
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Temuan yang paling sering ditemukan adalah kulit pucat. Kondisi ini disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke perifer. Kepucatan ini bisa dinilai lebih baik dengan
pemeriksaan seksama terhadap konjungtiva, alas kuku, dan lipatan telapak tangan. Kepucatan
merupakan tanda yang tidak peka. 2
Setelah anemia terlihat lebih jelas, temuan klinis bisa diungkapkan dengan istilah
akibat gagal jantung dan paru-paru dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Biasanya,
pasien merasa nyaman saat istirahat, namun tampak mengalami dispnea saat melakukan
aktivitas fisik yang ringan. Respons sirkulasi “hiperkinetik” menyebabkan takikardia, denyut
arteri meningkat dan desir aliran jantung. Penderita anemia parah bisa mengalami gagal
jantung yang nyata dan kardiomegali khas, krepitasi paru-paru saat menghirup napas dan
edema kaki. Kadar hemoglobin rendah biasanya berkaitan dengan papiloedema dan hemoragi
retina. 2
Penyelidikan awal yang seksama terhadap kulit, kuku dan mulut sering kali memberi
petunjuk dalam diagnosis. Pada kondisi kekurangan zat besi parah, tanda umum anemia bisa
muncul bersama glositis dan stomatitis mulut; akibat penipisan epitelium, lidah bisa berwarna
merah gelap. Ciri khas dari kekurangan besi berkepanjangan adalah kloinika yaitu saat kuku
menjadi cekung atau seperti sendok. Keabnormalan epitelium juga dapat terjadi pada kondisi
anemia megaloblastik. Dalam kondisi kekurangan vitamin B12 lidah biasanya merah, halus
dan mengkilap. Anemia hemolitik bisa muncul bersama sakit kuning, dan bukan kepucatan.
Katabolisme hemoglobin yang dipercepat ajan melepaskan lebih banyak bilirubin ke dalam
plasma. Jika kehancuran sel darah merah terjadi di limpa, limpa bisa teraba. Jika terjadi
hemolisis padaa kronis pada masa kanak-kanak, misalnya dalam kondisi hemoglobinopati,
perluasan rongga sumsum menyebabkan keabnormalan tulang, termasuk penonjolan
tengkorak di bagian dahi. 2
Palpasi
Pemeriksaan limpa (spleen), limpa sering kali membesar dalam gangguan darah dan
dalam penyakit sistemik tertentu. Limpa normal tidak bisa diraba. Pemeriksaan limpa sering
kali dilakukan secara kurang optimal dan splenomegali masif organ ini melalui abdomen ke
6
fosa ileum kanan bisa mudah terabaikan. Limpa yang membesar akan terasa oleh ujung
jemari saat pasien menghirup napas dalam. 2
Auskultasi
Anemia yang parah bisa menyebabkan desir aliran sistole. Desir fungsional ini harus
dibedakan dengan desir sistole pada penyakit katup jantung. 2
Pemeriksaan Penunjang
Hapusan darah tepi
Apus darah tepi bisa menegakkan diagnosis penyakit hematologis primer dan juga penyakit
sistemik. Oleh karenanya pemeriksaan ini mutlak diperlukan pada semua anemia yang belum
terdiagnosis dengan pemeriksaan sederhana.3
Hitung darah lengkap
Pemeriksaan kadar Hb, hitung leukosit, hitung trombosit, hitung eritrosit, laju endap darah,
hitung retikulosit, nilai eritosit rata-rata. Hitung darah lengkap untuk mencari jumlah leukosit
dan trombosit. Kenaikan jumlah leukosit menunjukkan adanya penyakit kronis yang
mendasari (neutrofil Shift to-the-left); proses mieloploriferatif (Leukemia, dan lain-lain) bila
didapatkan leukosit matur (Leukemia kronis) atau immatur (leukemia akut). Jumlah leukosit
yang menurun menunjukkan adanya hipo- atau aplastik pada sum-sum tulang. Jumlah
trombosit yang meningkat merupakan tanda anemia akibat penyakit kronis, perdarahan, atau
proses mieloploriferatif. Jumlah trombosit menurun merupakan tanda-tanda aplasia sum-sum
tulang.3
Hitung retikulosit
Sel-sel normal menghabiskan waktu 1-2 hari beredar sebagai retikulosit dan 120 hari beredar
dalam bentuk matang; sekitar 0,5-2,5% dari sel darah merah yang beredar adalah retikulosit.
Hitung retikulosit biasanya dilaporkan sebagai presentase dari eritrosit yang beredar. Jumlah
eritrosit yang beredar turun sehingga persentasi retikulosit yang normal akan meningkat
terdapat pada anemia. Pasien dengan gangguan pematangan sel atau produksi hemoglobin
kadang-kadang memperlihatkan eritropoesis yang tidak efektif. Pada keadaan ini, produksi
eritroid sangat meningkat (hiperplastik), tetapi hitung retikulosit secara tidak seimbang lebih
7
rendah karena banyak sel yang belum cukup matang untuk masuk ke sirkulasi perifer, yaitu
pada anemia pernisiosa dan talasemia. Episode perdarahan satu kali menyebabkan
retikulositiosis , yang dimulai dalam 24 sampai 48 jam dan mencapai puncak setelah 4
samapi 7 hari. Namun kadar normal pulih kembali apabila konsentrasi hemoglobin stabil. 4
Hitung sel darah merah
Menghitung sel darah merah dalam volume kecil dari darah yang sudah sangat diencerkan
tidaklah akurat dan jarang dilakukan. Hitung sel darah merah dilakukan secara langsung dan
akurat oleh penghitung elektronik untuk memberikan hasil yang dapat diandalkan. Instrumen-
instrumen ini diprogram untuk memberikan secara cepat hasil perhitungan indeks-indeks
korpuskular, yang sekarag menjadi bagian rutin dari hitung darah lengkap.
Indeks korpuskular
o Volume sel rerata/Mean Corpuscular Volume (MCV)
Besaran ini mencerminkan volume rata-rata sel darah merah. MCV dapat dihitung dengan :
MCV = Hematokrit (%) x 10(fl) Rentang normal 82-92
Eritrosit (juta/µl)
o Hemoglobin sel rerata /Mean Corpuscular Hemoglobine (MCH)
Besaran ini dihitung secara otomatis pada penghitungan elektronik tetapi juga dapat
ditentukan apabila hemoglobin dan hitung sel darah merah diketahui.
MCH= Hemoglobin x 10 (pg) rentang normal = 27-37
Eritosit (juta/µl)
o Konsentrasi hemoglobin sel rerata /Mean Corpuscular hemoglobin Concentration
(MCHC)
Besaran ini dapat ditentukan secara manual dengan rumus :
MCHC = Hemoglobin x 100% Rentang normal= 32-37%
Hematokrit
MCV dan MCHC di setiap sel merupakan hal penting dalam mengevaluasi anemia dan
kelainan hematologik lain. Ukuran sel daat digambarkan sebagai normositik dengan MCV
normal, mikrositik bila MCV lebih kecil daripada normal dan makrositik bila MCV lebih
8
besar daripada normal. Derajat hemoglobinisasi sel dapat diperkirakan dengan mengukur
MCH dan dapat digambarkan sebagai memiliki hemoglobin rerata bormal (normokromik)
atau hemoglobin rerata yang kurang daripada normal (hipokromik).4
Haptoglobin
Apabila sel darah merah mengalami destruksi di dalam aliran darah, hemoglobin
masuk plasma. Disini hemoglobin terurai menjadi dimer alfa dan beta dan berikatan dengan
haptoglobin. Kompleks dimer-haptoglobin ini diangkut ke hati untuk katabolisme lebih lanjut
sehingga besi dalam hem dapat dihemat karena tidak keluar melalui urine. Dengan demikian
kadar haptoglobin turun merupakan tanda penting hemolisis intravaskular. Kadar
haptoglobin diukur secara kimiawi atau dengan teknik imunologik. Apabila kapasitas
peningkatan hemoglobin bebas akan muncul di plasma. Karena merupakan molekul kecil,
hemoglobin bebas dapat dieksresikan melalui urine. Hemoglobinemia dan hemoglobinuria
terjadi bila kapasitas haptoglobin untuk mengikat dimer hemoglobin telah jenuh. 4
Bilirubin Indirect
Pada hemolisis yang cukup luas, bilirubin (terutama fraksi tidak terkonjugasi atau indirect) ,
prosuk penguraian katabolisme hem, biasanya juga menumpuk sebelum disalurkan ke hati
untuk konjugasi dan eksresi.4
Pemeriksaan untuk medeteksi autoantibodi pada ertirosit
Direct Antiglobulin test (direct Coomb’s test)
Sel eritrosit dicuci oleh protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau
antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG
dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IGG dan Cd3 maka akan
terkadi aglutinasi.5
Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan
sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.5
9
Uji Fluoresen NADPH
Uji ini spesifik untuk defisiensi G-6-PD dan efeknya pada NADP. Apabila terdapat G-6-PD
stimulasi aktivitas reduksinya akan mengubah NADP menjadi NADPH fluoresen, yang
tampak sebagai titik dibawah ultraviolet. 4
EPIDEMIOLOGI
A. Anemia hemolitik imun sering terjadi pada pasien rawat inap dan mengkonsumsi
berbagai macam obat.
B. Sferositosis herediter biasanya paling sering ditemukan pada orang Eropa Utara.
C. Thalasemia mencapai 3% sampai 10% pada orang Asia,Amerika,Mediterania.
ETIOLOGI
1. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit
Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Gangguan struktur dinding eritrosit
Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh kelainan membran eritrosit.
Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala
anemianya lebih menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa
sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis aplastik
Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang telah lama menderita kelainan
ini. Pada 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong). Dalam keadaan normal
bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan
menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang
ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi proses
hemolisis dari penyakit ini.
10
A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan umur eritrosit tersebut
menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan
komposisi lemak pada dinding sel.
b. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia
tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi Glutation reduktase
Defisiensi Glutation
Defisiensi Piruvatkinase
Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
Defisiensi difosfogliserat mutase
Defisiensi Heksokinase
Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
c. Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian
pada perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu
tahun telah mencapai keadaan yang normal
Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE
dan lain-lain
Gangguan jumblah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal talasemia
2 Faktor Ekstrinsik :
11
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
a.Akibat reaksi non imunitas : karena bahan kimia / obat
b.Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang dibentuk oleh
tubuh sendiri.
c.Infeksi, plasmodium, boriella.
Different Diagnosis
Anemia hemolitik
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan
sel eritorsit yang lebih cepat dari kemampuan sum-sum tulang untuk menggantikannya.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia
hemolisis dikelompokkan menjadi anemi hemolisis imun dan anemia hemolisis non-imun. 5
Anemia hemolisis imun merupakan hemolisis yang terjadi karena keterlibatan
antibodi yang biasanya IgG dan IgM yang spesifik untuk antigen eritosit pasien (selalu
disebut autoantibody). Klasifikasi anemia Hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun5
I. Anemia hemolitik Auto Imun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena limfoma, sistemik lupus eritematous)
B. AIHA tipe dingin
1. Idopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan hemogloinuria)
12
C. Paroxymal Cold hemoglobinuria
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi aloantibodi
D. Reaksi hemolitik transfusi
E. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Anemia hemolisis non-imun merupakan hemolisis terjadi tanpa keterlibatan
imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas stuktur membrane, faktor
lingkungan yang bukan antibodi seperti hipersplenisme atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis
dan clostridium.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokan menjadi :
Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah 5
o Defek enzim/ensimnopati
- Defek jalur Embden Meyershof
Defisiensi piruvat kinase
Defisiensi glukosa fosfat isomerase
Defisiensi fosfogliserat kinase
- Defek jalur heksosa monofosfat
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
Defiensi heksosa monofosfat
o Hemoglobinopati
13
- Talasemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
o Defek membran : sferosis herediter
Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah 5
o Anemia hemolisis imun , misalnya idopatik, keganasan, obat-obatan, autoimun,
infeksi, transfusi
o Mikroangiopati, misalnya trombotik trombositopenia purpura (TTP), sindrom uremik
hemolitik (SUH), Koagulasi intravascular diseminata (KID)/Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup
prostetik
o Infeksi, misalnya infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi clostridium.
Patofisiologi, Manifestasi klinis, Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis
o Anemia Hemolisis Imun
Perusakan sel-sel eritosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler atau kombinasi keduanya.
Aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan
melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki IgG2, IgG3,
IgM, IgG1. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan
antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu dibawah suhu tubuh.
Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena berekasi dengan antigen permukaan sel eritorsit
pada suhu tubuh.
Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravscular. Jika sel darah
disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan
14
komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah
merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini
sangat penting bagi perusakan sel eritorsit yang diperantarai sel. Imunnoadherance, terutama
yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi anemia hemolitik autoimun type hangat,
anemia hemolitik imun tipe dingin, paroxysmal cold hemoglobinuri, anemia hemolitik
diinduksi obat dan anemia hemolitik aloimun karena tranfusi.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat, sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe
hangat, dimana autoantibodi bereaksi secara optimal suhu 37OC. Kurang lebih 50% pasien
AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. 5
Gejala dan tanda adalah onset penyakit samar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik,
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin gelap karena hemoglobinuria. Splenomegali terjadi pada
50% pasien, hepatomegali 30% dan limfadenopati 25%.5
Hasil laboratorium menunjukkan Hb sering dibawah 7 g/dl dan Coomb’s test postitif.
Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel-sel eritrosit
normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit
pasien sendiri. 5
Prognosis dari penyakit ini hanya sebagian kecil pasien mengalami pernyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun
terkendali.5
Terapi dari anemia hemolisis tipe hangat dengan kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam
dua minggu sebagian besar akan emnunjukkan respon klinis baik (hematokrit, retikulosit
meningkat, tes coombs direct positif lemah, tes coomb indirect negatif). Splenektomi,
dilakukan jika terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3
bulan. Imunosupresan yaitu Azatrioprin 50-200 mg/hari, siklosfosfamid 50-150 mg/hari.
Terapi lain dengan Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol diberikan bersama steroid.
Terapi tranfusi dilakukan jika kondisi mengancam jiwa.5
15
Anemia hemolitik imun tipe dingin, terjadinya hemolisis diperantai antibodi dingin
yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landsteir. Kelainan ini secara karakteristik
memiliki aglutinin dingin IgM monoclonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah terhadap
antigen I/i. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pad titer yang rendah, dan titer
ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i berugas sebagai
reseptor mycoplasma yang akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan
menyebabkan produksi antibody. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah
merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.5
Gambaran klinis sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik.
Anemia biasanya anemia ringan dengan Hb 9-12 g/dl/ sering didapatkan akrosianosis dan
splenomgali.5
Hasil laboratorium menujukkan anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes Coomb’s
positif.5
Prognosis pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil.
Terapi menghindari udara dingin yang dapat memacu hemolisis.
Terapi Prednison dan splenektomi tidak hanya membantu clorambucil 2-4 mg/hari.
Plasmafersis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurang hemolisis,
namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.5
Paroxysmal cold hemoglobinuria, ini merupakan tipe anemia autoimun yang jarang
dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu
sering ditemukan karena terkait sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibodi Donath-Landster
dan protein komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali normal,
terjadi lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.5
Gambaran klinis AIHA (2-5%), hemolisis paroxysmal disertai mengigil, panas, mialgia,
sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam.Sering disertai urtikaria.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan hemoglobinuria, sferositosis,
eritrofagositosis. Tes Coombs positif, antibodi Donath Landsteiner terdisosiasi dari sel darah
merah.5
Terapi yang dapat diberikan adalah dengan menghindari faktor pencetus. Glukortikoid dan
splenektomi tidak ada gunanya. Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki
16
prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival
yang panjang.5
Anemia Hemolisis Imun Yang Diinduksi Obat, Obat dapat menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik imun melalui tiga mekanisme berbeda yaitu :
1. Antibodi yang ditujukan pada kompleks membran ertirosit-obat (misalnya penisilin,
ampisilin)
2. Deposisi komplemen melalui kompleks protein (antigen)-antibodi pada permukaan
eritrosit (misalnya kuinidin, rimfapicin)
3. Anemia hemolitik autoimun sejati; pada keadaan ini peran obat tidak jelas (misalnya
metildopa, fludarabin).
Anemia menghilang setelah pengunaan obat dihentikan, tetapi pada pengobatan
metildopa antibodi akan menetap selama beberapa bulan. Anemia hemolitik imun yang
diinduksi penisilin hanya terjadi pada pemberian antibiotik dosis besar.6
Gambaran klinis pada penyakit ini adalah riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien
yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau antibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis
akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah
terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis
tunggal.
Hasil pemeriksaan labortaorium dapat dijumpai anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes
Coomb positif.Lekopeni, trombositopeni, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi
pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.
Terapi yang dapat dilakukan, dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu,
hemolisis dapat dikurangi.Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi
berat.
o Anemia Hemolisis Non Imun
Hemolisis dapat terjadi intravascular dan ekstravaskular. Hal ini bergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravascular, destruksi eritrosit
terjadi langsung dalam sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen
17
dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membran sel eritrosit. Hemolisis intravascular jarang terjadi.5
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravscular. Pada hemolisis
ekstravsculer destruksi sel eritosit dilakukan oleh sisten retikuloendotelial karena sel eritrosit
yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial
sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.5
Anemia Hemolitik Herediter
Kelainan membrane
Sferosis herediter
Sferosis herediter (HS) adalah anemia hemoltik herediter yang sering terjadi pada
orang di Eropa Utara. HS biasanya disebabkan oleh defek protein yang terlibat dalam
interaksi vertikal antara rangka membran dan lapisan lemak dua lapis eritrosit. Hilangnya
membran dapat terjadi akibat terlepasnya bagian-bagian lemak dua lapis yang tidak ditunjang
oleh rangka. Sum-sum tulang tetap memproduksi eritrosit berbentuk bikonkaf normal, tetapi
eritrosit tersebut kehilangan membranenya dan menjadi semakin sferis (kehilangan luas
permukaan relatif terhadap volume) selama bersirkulasi melalui limpa, sehingga sferosis mati
secara premature. Kelainan ini diwariskan secara dominan autosomal.
Gambaran klinis bervariasi. Kadang-kadang dapat bersifat resesif autosmal. Anemia dapat
muncul usia berapapun dari bayi sampai tua. Ikterusnya biasanya berfluktuasi dan sangat
jelas bila anemia hemolitik disertai penyakit Gilbert (kelainan konjugasi bilirubin di hati);
splenomegali terjadi pada sebagian besar pasien. Batu empedu pigmen sering ditemukan.
Hasil temuan hematologik anemia lazim ditemukan , tetapi tidak selalu ad; keparahnya
cenderung serupa dalam anggota keluarga yang sama. Retikulosit 5-20%. Sediaan apusan
darah memperlihatkan adanya mikrosferosit yang terwarna padat dengan diameter lebih kecil
dibandingkan dengan eritrosit normal.
Terapi dengan pemberian asam folat dapat diberikan pada kasus yang berat untuk mecegah
terjadinya defisiensi folat.6
Epilositosis herediter
18
Penyakit ini mempunyai klinis dan laboratorium yang sama dengan sferosis herediter
kecuali pada apusan darah, namun biasanya klinis lebih ringan. Defek dasarnya adalah
kegagalan heterodimer spektrin untuk bergabung dengan dirinya menjadi heterotetramer.
Sejumlah mutasi genetik yang mempengaruhi interaksi horizontal telah terdeteksi/
epliositosis homozygot dan heterozygot ganda bermanifestasi dengan anemia hemolitik berat
disertai mikrosferosit, polikilosit, serta splenomegali. Penyakit ini banyak ditemukan pada
orang Malaysia, Indonesia, Filipina. 6
Kelainan Metabolisme Eritorsit
Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) berfungsi mereduksi nikotinamida adenin
dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukosa 6 fosfat. Ini adalah satu-satunya sumber
NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk memproduksi glutation tereduksi
sehingga defisiemsi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap oksidasi. 6 Meskipun
G6PD terdapat dalam semua sel, sindrom utama yang timbuk adalah anemia hemolitik akut
yang terjadi akibat stress oksidasi. Ikterus neonatorum dan kadang-kadang anemia hemolitik
non sferositik kongentinal dapat disebabkan oleh berbagai jenis defisiensi enzim. Sifat
penurunan terkait sex, mengenai pria dan dibawa oleh wanita memperilhatkan kadar G6PD
eritrosit sekitar separuh dari nilai normal. 5,6
Gambaran klinis adalah gambaran hemolisis intravascular yang cepat terjadi, disertai
hemoglobinuria. Faktor pencetus yaitu infeksi dan penyakit akut lain, obat atau ingesti
kacang fava. Anemia dapat bersifat swasirna karena eritrosit baru yang muda dibuat dengan
kadar enzim mendekati normal. Gambaran klinis defisiensi G6PD yang lain meliputi ikterus
neonatorum dan kadang-kadang anemia hemolitik kongenital yang dapat terjadi terus-
menerus.
Hasil pemeriksaan hitung darah diantara klinis normal. Defisiensi enzim menggunakan satu
dari sejumlah uji skrining, atau dengan permeriksaan enzim langsung pada eritrosit. Selama
krisis, sediaan apus darah dapat memperlihatkan sel-sel yang mengkerut dan berfragmentasi
“bites cell” dan “blister sel”, yang badan Heinznya telah dikeluarkan oleh limpa.
Terapi dengan menghentikan pemakaian obat pencetus, mengobati infeksi yang mendasari,
mempertahankan keluaran urine yang tinggi dan melakukan tranfusi darah bila perlu untuk
19
anemia berat. Bayi yang kekurangan G6PD cenderung ikterus dan pada kasus berat
dibutuhkan fototerapi dan tranfusi tukar. 6
Defek jalur Embden Meyerhof
Enzim yang terganggu pada jalur ini adalah piruvat kinase, glukosa isomerase dan
fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Defek enzim
glikolisis ini diturunkan autosomal resesif kecuali fosfogliserat yang diturunkan terkait sex.
Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kurang ATP (adenosin tripospat) dan ion kalium keluar
sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sel fagosit mononuklir.
Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat
isomerase dan fosfoglierat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi
fungsi leukosit. Kelainan ini diwariskan secara autosomal resesif, pasien yang terkena
bersifat homozygit atau heterozygot ganda. Eritosit menjadi kaku karena berkurangnya
pembentukan ATP.
Manifestasi klinis. Beratnya anemia sangat bervariasi (hemoglobin 4-10g/dl dan
menyebabkan gejala yang relatif ringan karena pergeseran kurva disosiasi oksigen ke kanan
akibat peningkatan kadar 2,3-difosfogliserat intrasel. Ikterus klinis biasa ditemukan dan batu
empedu sering didaptkan. Penonjolan tulang frontal mungkin ada.
Laboratorium. Sediaan apus darah menunjukkan poikilositosis dan prickle cell yang
terdistorsi terutama pasca-splenektomi. Hasil laboratorium menunjukkan meningkatnya
autohemolisis, dan diperlukan pemeriksaan kadar enzim langsung untuk menegakkan
diagnosis. Splenektomi dapat meringankan anemia, tetapi tidak menyebuhkannya, dan
diindikasikan untuk pasien tranfusi berulang. 6
Terapi. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien, pada beberapa kasus yang jarang diperlukan
pemberian tranfusi sel darah merah. Pada kasus berat splenktomi merupakan pengobatan
paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis
kronis diberikan asam folat sebagai profilaksis.
Penyakit Sel Sabit
Penyakit sel sabit merupakan hemoglobinomati herediter yang terjadi karena asam
glutamat digantikan oleh valin pada posisi ke enam rantai beta-globin dengan menimbulkan
20
transformasi hemoglobin A yang normal (alfa2 beta2) menjadi hemoglobin S yang mutan.
Lebih-kurang 8% populasi kulit hitam Amerika bersifat heterozigot untuk hemoglobin S(hbS)
Komplikasi
Secara umum, kompllikasi anemia hemolitik kronis berkaitan dengan peningkatan
destruksi eritrosit, produksi eritrosit dan anemia kronis. Komplikasi ini berupa
a. Defisiensi asam folat yang disebabkan oleh peningkatan pergantian eritorsit
b. Splenomegali, yang disebabkan oleh peningkatan eritrosit yang masuk dan
hematopoesis ekstramedular
c. Batu empedu yang disebabkan oleh peningkatan pergantian eritrosit
d. Resiko yang berkaitan dengan protokol tranfusi jangka lama atau splenektomi,
jika diindikasikan
Kesimpulan
Sesuai dengan kasus diatas maka diagnosis kerja belum dapat ditegakan karena
dibutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti Coombs test, elektroforesis.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. history and examination at a glance. Edisi II. Oxford : Blackwell
Publishing, 2007.h. 84-5.
2. Howard MR. Sistem hematologi. Dalam: Houghton RA, Gray D. Chamberlain’s
gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Jakarta : Indeks. 2012. H. 339-60
3. Davey P. Anemia. Dalam : Safitri A, editor. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga.
2003. H. 78-9
4. Sacher RA, McPerson RA. Metode Hematologi. Dalam : Hartanto H, editor. Tinjauan
klinis hasil pemeriksaan labortaorium. Jakarta : EGC. 2004. H. 21-5
21
5. M. william schwatrz. Pedoman klinis pediatri. Jakarta : EGC. 2005. H. 387
6. Parjono E, Hariadi KW. Anemia hemolitik autimun. Dalam : Sudoyono AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor: Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta : Interna Publishing. 2009. 1152-64; 1379-93.
7. Hoffbrand AV. Anemia hemolitik. Dalam : Mahanani DA. Kapita selekta hematologi.
Jakarta : EGC. 2005. H.51-75
8. Chui DH, Fucharoen S, Chan V. Hemoglobin H disease: not necessarily a benign
disorder. Journal Of The American Society Of Hematology. Blood (2003) 101 (3):
791-800. Diunduh tanggal 23 April 13.
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/content/101/3/791.full
22