makalah pkn yani
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan
sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari
masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan
menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi
masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers
adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya
pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan
negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan
keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap
sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam
mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya
terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers
dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang
bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian
adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-
lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk
menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila
negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan
penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya,
sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita
yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki
daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang
demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi
demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan
1 | M a k a l a h P P K n
dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang
terpolarisasi.
Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya
prospek demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem
politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari
sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993: 23) Di negara dimana sistem
persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan
bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan
atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di
Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba
mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat
mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna
mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara
inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap
suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak
pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka
mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk
kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia
yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya
serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat
ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau
normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian
berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin
tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir
seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi
mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor
maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat
warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru
2 | M a k a l a h P P K n
memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian
doktrin negara.
Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan
nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa
dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non
negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa
mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-
deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa
kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai
kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala
penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel
sewaktu-waktu.
Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan
bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa
pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers. Kekuasaan
presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar
pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh
peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap
pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan
kebijakan publik.
Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan
demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa
berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk
diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat
netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk
semua orang.
B. Perumusan Maslah
1. Apakah pengertian pers ?
2. Apa fungsi dan peranan pers?
3 | M a k a l a h P P K n
3. Jelaskan sejarah pers di indonesia!
4. Bagaimana perkembangan pers di era demokrasi pancasila dan orde baru?
C. Tujuan
1. Melengkapi salah satu tugas kelompok bidang study PKn.
2. Untuk mengetahui sejarah pers di Indonesia.
3. Untuk mengetahui fungsi dan peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
4. Upaya untuk mengetahui perkembangan pers di era demokrasi pancasila dan
orde baru.
D. Manfaat
1. Kita bisa mengetahui sejarah pers di Indonesia.
2. Dapat mengetahui fungsi dan peranan pers di Indonesia.
3. Dapat mengetahui perkembangan pers di era demokrasi pancasila dan orde
baru.
4 | M a k a l a h P P K n
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pers
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers adalah alat cetak untuk
mencetak buku/surat kabar, alat untuk mnjepit, surat kabar/majalah berisi berita
dan orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
Pengertian menurut UU No 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pers. Menyatakan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi
yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat
umum.
Menurut J.C.T Simorangkir pers memiliki 2 arti :
a). Hanya terbatas pada surat kabar, majalah dan tabloid.- Arti sempit
b). Bukan hanya dalam arti sempit, namun mencakup juga radio, televisi, film
dll.- Arti luas
2. Fungsi dan Peranan Pers
Beda fungsi dan peranan :
Fungsi lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah
kegunaan atau manfaat dari pers itu sendiri.
Peranan lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam
masyarakat, dimana pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses
pembentukan budaya manusia.
a). Fungsi :
1. Sebagai media komunikasi
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita
3. Sebagai media pendidikan
4. Pemberitaan mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik
5. Sebagai media hiburan
6. Lebih bersifat sebagai sarana hiburan
7. Sebagai lembaga ekonomi
5 | M a k a l a h P P K n
8. Mendatangkan keuntungan financial
b). Peranan :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum,
dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan
benar
4. Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
3. Sejarah Pers di Indonesia
A. Jaman Belanda
Pers mulai dikenal pada masa gubjen Belanda Jan Pieter zoon Coen masa
VOC (abad 17)
Tujuan pendirian pers masa itu :
1. Untuk menegakkan penjajahan
2. Menentang pergerakan rakyat
3. Melancarkan perdagangan
4. Pada masa Jepang
Sesuai dengan sifat penjajahan maka pers oleh Jepang dijadikan sebagai
alat propaganda dengan maksud memperoleh dukungan rakyat Indonesia dalam
perangnya melawan tentara sekutu.
B. Pada masa pendudukan tentara Sekutu
Sekutu masuk ke Indonesia pada tahun 1945. Pada saat itu bangsa
Indonesia telah dapat mengoperasikan peralatan pers sendiri. Adapun tujuan dari
pers waktu itu dilihat dari sisi kita adalah mengobarkan semangat perlawanan
untuk melawan penjajah
6 | M a k a l a h P P K n
C. Pers di awal Kemerdekaan
Ini adalah pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pers dibentuk dan
dikembangkan dengan tujuan utama untuk menyebarluaskan berita proklamasi ke
seluruh wilayah RI.
D. Pers di masa Liberal
Struktur pers terbagi dalam 3 katagori
1. Pers Nasional
2. Surat kabar Belanda
3. Surat kabar berbahasa Cina
Secara financial pers nasional jauh lebih lemah dibanding Koran Belanda
maupun Cina. Pembredelan pers (pelarangan terbit krn kegiatan melawan
pemerintah) banyak dipakai sebagai upaya menghambat perkembngan pers oleh
pemerintah di era Soekarno. Tahun 1957-1958 banyak terjadi pengambilalihan
perusahaan Belanda oleh Indonesia, yang juga menandai menghilangnya Koran
Belanda.
E. Pers masa Orde Lama
Pers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan
sebagai alat revolusi dan penggerak massa. Hal yang menonjol adala :
1. Peraturan No3. Thn 1960 tentang larangan terbit surat kbr berbahasa Cina
2. Peraturan no 19 thn 1961 tentang keharusan adanya Surat Izin terbit bagi surat
kabar
3. Peraturan No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah, yang tidak
loyal akan dibreidel
4. UU no 4/ 1963 tentang wewenang Jaksa Agung mengenai pers
F. Pers masa Orde Baru
Awalnya bagus, mengikis dan memberitakan kebobrokan rezim orde lama
namun tidak bertahan lama karena segera dikendalikan oleh penguasa dengan
7 | M a k a l a h P P K n
dikeluarkannya UU No.11 tahun 1966 tentang pokok-pokok pers. Dibentuk
dewan pers yang merupakan perpanjangan tangan Orde Baru untuk mengontrol
perkembangan pers. Pers ideal adalah pers Pancasila yang penerapannya
dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab demi tercapainya stabilitas nasional
serta terwujudnya keamanan dan ketertiban umum. UU No.21 thn 1982 yg
dikeluarkan mempertegas pemberlakuakn KUHP terhadap pers. Di era ini ada 3
faktor penghambat kebebasan pers yaitu :
1. Adanya perizinan terhadap pers (SIUP)
2. Adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan yaitu PWI
3. Praktek intimidasi dan sensor pers.
Pencabutan SIUPP atau yang disebut dengan pembreidelen pers manjdi
momok yang sangat menakutkan dunia pers.
G. Perkembangan pers di era Reformasi
SIUPP dicabut oleh Habibie karena dianggap memnghambat kebebasan
pers di era demokrasi ini, dan diganti dengan UU No.40 thn 1999. Pers menjadi
lebih bebas dan longgar, banyak pers yang mengumbar sensasional dan lebih
vulgar sehingga terkesan pers menjadi tidak terkontrol. Era reformasi telah
membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan.
Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau
menindak pers, public kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolak
ukur mereka sendiri.
4. Perkembangan pers di era demokrasi pancasila dan orde baru
Di awal masa kepemimpinannya, pemerintahan Orde Baru menyatakan
bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan menggantinya
dengan demokrasi Pancasila. Pernyataan tersebut tentu saja membuat para tokoh
politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka, dan lain-lain
menyambutnya dengan antusias sehingga lahirlah istilah Pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang
Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember
8 | M a k a l a h P P K n
1984), Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalan arti pers yang orientasi,
sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakikat Pers pancasila adalah pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi
yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang
konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dengan pemerintah ketika itu dipermanis
dengan keluaran Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor 11 Tahun 1966,
yang dijamin tidak ada sensor dan pembreidelan, serta penegasan bahwa setiap
warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan
tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan tersebut ternyata berlangsung kurang
lebih delapan tahun karena sejak terjadinya peristiwa “Paristiwa Malari”
(Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-
back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Peristiwa Malari tahun 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang
terbit. Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus
untuk beberapa waktu pernyataan maaf. Pemerintah lebih menggiatkan larangan-
larangan melalui telepon pers kode etik Jurnalistik sebagai Self-Consorship.
Demikian juga pengawasan terhadap kegiatan pers dan wartawan diperketat
menjelang Sidang MPR 1978.
Pers pasca-Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili”
kepentingan penguasa, pemerintah, atau negara. Pada saat itu, pers jarang, malah
tidak pernah melakukan kontrol sosial secara kritis, tegas, dan berani. Pers pasca-
Malari tidak artikulturatif dan mirip dengan zaman rezim Demokrasi Terpimpin.
Perbedaan hanya pada kemasan, yaitu rezim Orde Baru melihat pers tidak lebih
dari sekedar dari institusi politik yang harus diatur dan kontrol seperti hanya
dengan organisasi massa dan partai politik.
Pada masa Orde Baru yang juga dikatakan pada era pembangunan,
mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers
sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah
juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan
9 | M a k a l a h P P K n
Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi
itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari
pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa
media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media
nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya
menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui
keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan
kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring
terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat
bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.
Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui
model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita
lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan
peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan
menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya
pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik
hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya.
Bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air adalah
munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru
sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak
menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari
pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi
informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi
informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan
politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali
hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa
kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik
menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong
resistensi dan represi negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan
10 | M a k a l a h P P K n
dengan pers di masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini
merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde
Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Jika kita melihat hal tersebut, sebelumnya kita juga harus
memperhatikan bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki
latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi
presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan ala
militer. Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak
mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok
kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan
model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, perubahan sosial begitu
banyak, maka situasi semacam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih
buruk. Pada titik inilah Abdul Gafur (1988: 179), melihat bahwa fungsi militer
pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua
fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat
dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan ala militer itu tetap Soeharto pakai
hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-banyak
sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang
hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto
tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya
Soeharto menggunakan cara-cara yang bersifat menekan pada semua pihak
yang melawannya. Model kepemimpinan ini banyak sekali mendapat kritikan
dari berbagai pihak, karena secara umum apa yang diklaim Soeharto dengan
demokrasi Pancasilanya tak lain adalah proyek kekuasaan dan dominasi besar-
besaran atas kesadaran masyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu,
Soeharto menggunakan militer sebagai alat yang paling efektif untuk
mengawal setiap kebijakan yang ia keluarkan.
Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang
digunakan Soeharto akan memberantas kebebasan masyarakat. Artinya juga
logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya
11 | M a k a l a h P P K n
(pers), karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang
memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada
umumnya bersifat kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika
Orde Baru sedemikian menekannya dengan pers, karena pers adalah
penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru
harus mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus
mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk
menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru
menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa
ketidakamanan. Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru
akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga,
dengan sendirinya pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan
layaknya seperti agama. Dakhidae (1997: 28), mencatat bahwa kemanan yang
dihubungkan dengan pers itu bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi
kemanan di sana sudah menjadi suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi
suatu ideologisasi keamanan, dan bahkan lebih jauh menjadi suatu
religiofication of security.
Keamanan menjadi semacam hal yang sangat diprioritaskan oleh setiap
orang, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang
biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara,
dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan
warga negaranya. Nasib pers pada masa ideologisasi keamanan ini sangat sulit,
karena pers harus bertindak dalam kerangka yang buram. Kerangka yang
diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk
penekanan secara tidak langsung. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang
bertanggung jawab. Artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan
sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggung
jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggung jawab dan tanpa
12 | M a k a l a h P P K n
tanggung jawab tidak mungkin menuntut kebebasan, tetapi dengan rumusan
pers bebas dan bertanggung jawab (dalam Dakhidae, 1997: 31).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pada masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan
kebebasan yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter.
Tetapi, dengan kontrasnya suasana ketika rezim orde baru membuat seolah-
olah pers menjadi sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim
tersebut. Dalam hal ini latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang
mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama orde baru
senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain
dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers, namun dalam
situasi dan kondisi seperti itu pers tetap mampu berperan dalam mewujudkan
demokrasi di Indonesia.
2. Saran
Dalam hal ini bagaimanapun pers seharusnya tidak dapat dikekang oleh
pemerintah yang berkuasa baik itu siapapun karena dalam hal ini ini pers
berkedudukan sebagai salah satu penyeimbang dalam suatu proses
pemerintahan serta pers juga berperan sebagai sebuah lembaga yang bertindak
sebagai control politik, social dalam suatu pemerintahan. Pers tidak boleh di
batasi secara otoriter, karena dengan hal ini dapat mengurani kinerja akan
fungsi pers itu sendiri. Tetapi pers juga tidak boleh seenaknya dalam hal
membuat pemberitaan, para insan pers haruslah bersikap professional dan
selalu berprilaku objektif. Disamping itu para insan pers juga harus tunduk
kepada kode etik mereka serta hukum dan undang-undang yang berlaku di
negara ini.
13 | M a k a l a h P P K n
DAFTAR PUSTAKA
Abar, Ahmad Zaini. 1994. “Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers”.
Prisma. Jakarta: LP3ES.
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara; Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan
Kebebasan. Jakarta: PBHI.
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Bulkin, Farchan (Peng). 1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia; Pilihan
Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya
Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2003. Setelah hari “H”. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Simanjutak, Togi (ed.). 1998. Wartawan Terpasung; Intervensi Negara di Tubuh
PWI. Jakarta: ISAI.
Online :
Putra, A. Firdaus. 2009. Pers Pada Era Orde Baru dan Reformasi.
Bandung :eljudge.co.cc.
Memey. 2009. Peranan Pers di Era Orde Baru dan Reformasi. Bandung :
mumu0089.blogspot.com.
Ismail, Taufik. 2009. Pers Bebas, Konflik Sosial, Pendidikan Politik.
Bandung :budimanshartoyo.wordpress.com.
14 | M a k a l a h P P K n
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
makalah yang berjudul “Pers di Era Demokrasi Pancasila dan Orde Baru” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Indramayu, November 2014
Penulis
15 | M a k a l a h P P K n