makalah pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · tragedi ligkungan...
TRANSCRIPT
Makalah Pembicara
WORKSHOP Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Yogyakarta, 6 – 8 Mei 2008
KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Oleh :
M. Arief Amrullah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember
KETENTUAN DAN MEKANISME
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI 1
Oleh: M. Arief Amrullah 2
A. PENDAHULUAN
Menelusuri perkembangan korporasi mulai dari abad pertengahan hingga abad
ini, cukup memberikan informasi untuk mencari hubungan antara pertumbuhan
korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, 3
keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan
badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat sekerja,
perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih
ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan pemanpaatan penyediaan modal
seperti korporasi pada umumnya.
Namun, seiring dengan perluasan peluang bisnis, perusahaan-perusahaan besar
mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan,
sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh
negeri. Padahal, apabila kembali ke tahun 1909, di Amerika Serikat, misalnya, hanya
ada dua perusahaan industri (industrial corporation), yaitu United States Steel and
Standard Oil of New Jersey yang kemudian berganti nama menjadi Exxon. Dalam abad
ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang
begitu cepat, di samping mampu memperkerjakan berjuta-juta tenaga kerja, juga
mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi
segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka.
Dewasa ini, Korporasi multinasional telah menunjukkan akumulasi kekayaan
besar-besaran, bahkan menurut Barnet dan Muller, aset fisik yang dimiliki oleh
1 Disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)”, Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway. Tempat Hotel Jogjakarta Plaza, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008. 2 Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember 3 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 22-23.
Page 1 of 30
korporasi global pada tahun 1974 telah mencapai lebih dari $200 miliar. Implikasi dari
bisnis dunia yang didominasi oleh korporasi besar tersebut, telah memasuki semua
aspek kehidupan manusia. Karena, dapat menentukan pekerjaan bagi banyak orang,
makanan, minuman dan pakaian, dan sebagainya. 4 Di samping itu, suatu korporasi
dapat pula mengancam pemerintahan suatu negara di mana korporasi itu beroperasi.
Hal itu dilakukan, apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menguntungkan
korporasi yang bersangkutan, yaitu dengan cara memindahkan usahanya ke negara lain
yang mempunyai ketentuan hukum yang lemah dalam pengaturan masalah
pencemaran lingkungan hidup atau standar keamanan kerja yang lemah, atau upah
buruh yang murah. Tindakan eksodus seperti itu biasanya lalu ditakuti, karena akan
berakibat pada masalah pengangguran. Akibat selanjutnya, muncul berbagai komentar
bahkan debat di televisi, yang sesekali menyudutkan pemerintah sebagai suatu koreksi
atas kebijakan yang dijalankan. Yah…. barangkali juga termasuk mengenai Corporate
Social Responsibility (CSR).
Dalam mengahadapi korporasi yang demikian itu, pemerintah mengalami
kesulitan dalam mengaturnya atau mengontrolnya. karena pada umumnya korporasi
mempunyai penasihat hukum yang mumpuni, sehingga mampu untuk menentukan apa
yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan yang tengah dijalankan oleh negara
yang nantinya diperkirakan akan dapat mengurangi keuntungannya. Tidak hanya itu,
korporasi juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan,
untuk mengurangi control yang dilakukan oleh negara. Ini menunjukkan, bahwa betapa
besarnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu korporasi. 5
Apabila memperhatikan pertumbuhan korporasi yang pesat itu, demikian juga
dengan akibat yang ditimbulkannya, maka pertanyaannya bagaimana dengan di
Indonesia? Akhir-akhir ini, bukan saja jumlahnya yang semakin meningkat melainkan
munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena disertai dengan meningkatnya
diversifikasi di bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, melalui
usaha bersama di antara perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-
4 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 38. 5 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 24.
Page 2 of 30
perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya korporasi multinasional dan
transnasional. 6
Apalagi, dengan ditetapkannya program industrialisasi oleh pemerintah pada
Pembangunan Lima Tahun Ketujuh semasa pemerintahan Orde Baru (Tap MPR
No.II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara), pada bagian Prioritas
Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Penataan dan pemantapan industri
nasional yang mengarah pada perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri
nasional yang makin kukuh dengan penyebarannya ke seluruh wilayah Indonesia sesuai
dengan potensi daerah”. Lebih lanjut, pada bagian Sasaran Bidang Pembangunan Lima
Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Makin dinamais dan mantapnya perekonomian sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional, ditandai oleh berkembangnya peran pasar
yang terkelola, berlanjutnya perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri;
….”. Demikian juga halnya, apabila memperhatikan isi pidato Presiden Megawati
Soekarnoputri yang disampaikan dalam Forum Bisnis Kerjasama Selatan-Selatan di
Kuala Lumpur, Malaysia, pada hari Minggu 23 Februari 2003, bahwa: “Dengan
kemampuan dan sumberdaya yang terbatas, dan selama ini hampir selalu terkuras
untuk menyelesaikan persoalan politik dan keamanan di dalam negeri, maka sangat
sulit bagi pemerintah negara berkembang mana pun untuk dapat efektif menangani
pembangunan kehidupan sejahtera yang dicita-citakan. Saatnya pemerintah
mengurangi perannya dan mendorong dunia usaha untuk melakukannya.”
7
Hal itu merupakan angin segar untuk berinvestasi di Indonesia, memang harus
diakui, dengan tumbuh-suburnya korporasi di Indonesia tentu akan membantu dalam
6 Istilah transnasional diartikan sebagai masalah yang melintasi batas-batas nasional, karena menyangkut kepentingan lebih dari satu Negara, maka masing-masing Negara akan mengembangkan hukumnya untuk menelesaikan masalah-masalah transnasional itu (Lihat Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung, 1972, hal. 12). 7 Presiden Soekarnoputri, Kompas Cyber Media, diakses 25 Februari 2003. Namun, pernyataan Presiden tersebut, tampaknya agak kurang sejalan apabila dihubungkan dengan pernyataan Emil Salim yang antara lain mengemukakan, bahwa pemerintah tidak bisa lagi pasif menyerahkan perkembangan pembangunan semata-mata pada mekanisme pasar, tetapi harus aktif ikut terjun untuk menyamakan medan kerja pengusaha, dan mendorong pengusaha kelas ringan, agar proses persaingan yang terjadi dalam pasar dapat berlangsung secara wajar dan adil. Untuk itu menurut Emil, pemerintah tidak boleh membiarkan mekanisme pasar menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, karena yang kalah itu adalah yang lemah. Jadi, harus ada tindakan yang tegas dari pemerintah. Lagi pula, jika semuanya diserahkan kepada pasar, dikhawatirkan adanya dominasi yang kuat dari yang lemah, karenanya sudah dapat diperkirakan adanya percepatan perkembangan korporasi dan sekaligus maraknya kejahatan korporasi di Indonesia.
Page 3 of 30
mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan penerimaan pajak. Akan tetapi dibalik
itu, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan juga cukup memadai.
Sebagai contoh, ekspor produk kimia dari Amerika Serikat ke dunia ketiga,
termasuk Indonesia, dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.
Produk kimia dengan berbagai jenis, mulai dari bahan pembasmi hama (pestisida),
penyubur tanaman, bahan pengawet makanan, sampai pada bahan-bahan kecantikan
yang digandrungi oleh ibu-ibu dan remaja putri, termasuk juga remaja-remaja pria.
Dampak produk kimia tersebut besar sekali andilnya dalam penurunan tingkat
kesehatan manusia. Salah satu produk kimia yang membahayakan itu, adalah racun
pestisida. David Weir dan Schapiro dalam bukunya Circle of Poison, telah
mendokumentasikan sebuah skandal dengan ukuran dunia, mengekspor pestisida yang
dilarang di negara-negara industri ke dunia ketiga disertai iklan besan-besaran oleh
perusahaan pestisida multinasional, telah mengubah dunia ketiga tidak hanya menjadi
pasar besar pestisida, tetapi juga menjadi tempat penimbunan pestisida.
Menurut catatan Weir dan Schapiro, di Amerika Serikat terdapat 12 perusahaan
multinasional yang menguasai pasar pestisida, lusinan jenis pestisida yang sangat
berbahaya dikirim ke negara-negara dunia ketiga. Di tempat-tempat itulah menurut
pengamatan badan kesehatan dunia (WHO), rata-rata satu orang setiap menitnya
dalam satu hari keracunan pestisida. Jadi, tinggal menghitungnya saja lagi berapa
jumlah kematian dalam waktu satu tahun. Di Amerika Serikat, industri-industri kimia
memproduksi dua miliar kilogram pestisida dalam setiap tahunnya dan telah diekspor
hampir dua kali lipat. Adapun negara-negana sasaran ekspor, di antananya adalah
Meksiko, Guatemala, El Salvador, Aprika, Pakistan, Sri Langka, Filipina, Malaysia,
Indonesia, dan lain-lainnya.
Sehubungan dengan itu, dalam Report on the meeting of the Ad Hoc Expert
Group on More Effective Forms of International Cooperation against Transnational
Crime, including Environmental Crime, yang diselenggarakan di Vienna, dari tanggal
7 hingga 10 Desember 1993, di mana pada bagian forms of transnational
environmental crime, dikemukakan: bahwa hubungan antara pembangunan ekonomi
dan kejahatan lingkungan merupakan isu-isu mendasar yang harus ditekankan dengan
Page 4 of 30
merujuk kepada kasus-kasus khusus, yakni ekspor sampah berbahaya (beracun) oleh
korporasi-korporasi besar dari negara-negara maju tertentu ke negara-negara
berkembang, dengan tidak sedikit uang perangsang (financial incentive) yang diberikan
kepada sebuah negara berkembang agar setuju untuk menerima mengiriman 15 (lima
belas) ton sampah beracun dengan imbalan US$ 40 per ton. Akibatnya, tidak hanya
mencemari lingkungan, tetapi juga merusak kehidupan dan kesehatan manusia baik
sekarang maupun yang akan datang.
Di America Serikat, ketika tragedi Love Canal antara tahun 1942 sampai tahun
1953 Perusahaan Kimia Hooker (Hooker Chemical Company), sebuah cabang dari
Perusahaan Minyak Occidental (Occidental Petroleum Corporation) membuang 21.000
ton limbah beracun ke dalam Love Canal dekat Air Terjun Niagara, New York. Pada
tahun 1978, penduduk yang tinggal di daerah itu mengeluh karena buangan tersebut
naik ke permukaan tanah. Selain itu, tempat pembuangan limbah beracun itu
membawa akibat timbulnya penyakit kanker, anak-anak lahir dalam keadaan cacat,
keguguran kandungan, sakit pernapasan dan saluran kencing, kelainan sel telur, dan
penyakit akut dan kronis lainnya yang merugikan manusia, tumbuh-tumbuhan dan
hewan.
Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan
dengan Indonesia. Menurut Nabiel Makarim, ketika menjabat sebagai Menteri
Lingkungan hidup RI, mengemukakan bahwa pencemaran lingkungan saat ini
menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, sehingga dugaan semula kasus
pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri semakin berkurang saat krisis
ekonomi, ternyata meleset. Sebaliknya, justru kasus pencemaran menunjukkan
peningkatan. Peningkatan itu terjadi, karena pemerintah dan masyarakat disibukkan
dengan penataan perekonomian, akibatnya pengawasan menjadi berkurang. Situasi
demikian, dimanfaatkan oleh industri membuang limbahnya ke sungai, tanpa ada
pengawasan dari masyarakat dan pemerintah. 8 Contoh, adalah kasus pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya yang
8 Media Indonesia Online, Rabu, 31 Juli 2002.
Page 5 of 30
selama 20 tahun melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas, membuang
limbah (Lumpur sisa penghancuran batu tambang), akibatnya masyarakat di sekitar
perusahaan menjadi korban, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh
yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu
diidentikan dengan penyakit Minamata. 9 Gejala penyakit itu sebagaimana diungkapkan
oleh peneliti dr. Jein Pangemanan, diawali dengan gatal-gatal dan kejang pada tubuh
penderita, kemudian muncul benjolan di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, atau
payudara. 10 Namun belakangan ini, kasus tentang pencemaran lingkungan tersebut
terjadi tarik-menarik antara pihak yang tidak ingin kasus itu diperpanjang dengan
memasang iklan di media massa televisi swasta nasional bahwa di Teluk Buyat aman
tidak ada pencemaran. Bahkan untuk memperkuat argument itu, mereka menggunakan
referensi WHO (World Health Organization) bahwa pencemaran di Teluk Buyat masih di
bawah ambang batas menurut standar WHO, sehingga ikan-ikan hasil tangkapan para
nelayan setempat aman dikonsumsi yang sebelumnya ketika heboh timbulnya penyakit
aneh (minamata) itu, masyarakat takut mengkonsumsinya. Di lain pihak, berdasarkan
hasil penelitian berbagai kalangan menunjukkan bahwa PT. Newmont Minahasa Raya
telah terbukti mencemari Teluk Buyat. Dengan adanya penyangkalan itu,
pertanyaannya: apakah ada hubungannya dengan permintaan Amerika Serikat melalui
Duta Besarnya untuk Indonesia Ralph L. Boyce agar tersangka Newmont dibebaskan. 11
Tragedi lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan di
Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang
menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga dunia usaha. Bahkan, mereka
yang akan bepergian melalui bandara Juanda-Surabaya, dan harus lewat lokasi
semburan, akan menjadi was-was karena macet, khawatir ditinggalkan pesawat.
Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi 9 Minamata sebuah kota kecil di pantai barat Pulau Kyushu (Jepang Selatan), yang pada tahun 1956 kota itu mendadak terkenal ke seluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal akibat makan ikan yang tercemar limbah merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. Lebih lanjut mengenai hal ini silahkan buka http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/Jendela/971265.htm, diakses 21 Juli 2004. 10 http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/20/074641.htm, diakses 21 Juli 2004. 11 (http://www.hariankomentar.com/arsip/sep28/lf001.html, diakses 17 Oktober 2004) (bandingkan kasus ini dengan tragedi Love Canal sebagaimana telah dikemukakan di atas).
Page 6 of 30
korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan
terbitnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoardjo. Hal itu merupakan upaya terjadinya politisasi hukum pidana.
Mengapa demikian, jawabnya karena ada petinggi yang terlibat, kemudian hendak
bersembunyi di balik Perpres tersebut.
Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan
cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di sekitar,
dan karenanya dapat dipertanyakan apakah itu bukan merupakan suatu penghianatan
terhadap bangsa dan Negara. Betapa tidak, korporasi yang seharusnya wajib
memelihara kenyamanan lingkungan, akan tetapi malah sebaliknya: biarkan orang lain
mati asalkan saya yang hidup. Perilaku seperti itu, oleh Edward Alsworth Ross,
disebutnya dengan istilah criminaloid, artinya: pelaku yang menikmati kekebalan atas
dosa-dosa, lebih suka mengorbankan kepentingan umum, dan apabila didakwa atau
dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah tidak bersalah. Bilamana perlu tidak segan-
segan mengeluarkan dana besar untuk menjaga reputasinya.
Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40
Tahun 2007 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, tanggal 16 Agstus 2007) yang mengatur
mengenai Corporate Social Responsibility (CSR), dan ternyata telah menimbulkan dua
pandangan yang saling berlawanan antara yang memujikan atas kebijakan tersebut dan
yang mengkritiknya karena dipandang memberatkan dunia usaha.
Terlepas dari dua pandangan yang berseberangan itu, yang menjadi pertanyaan:
apa sebenarnya yang hendak dibidik oleh pembuat undang-undang sehingga CSR
dimasukan ke dalam ketentuan Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007. Dalam
Penjelasan Umum Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dikemukakan: “Dalam Undang-
undang ini diatur mengenai Tanggug Jawab Sosial dan Lingkungan yang bertujuan
mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas
setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
Page 7 of 30
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa
Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk
melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai Perseroan yang
dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut
dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka Perseroan yang bersangkutan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Jadi, jika mencermati Penjelasan Umum tersebut, tampak bahwa pembentuk
undang-undang hendak menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan
sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kehendak
untuk menciptakan hubungan yang sedemikian itu, sebenarnya adalah demi
kelangsungan Perseroan itu sendiri, dan masyarakat sekitar merupakan bagian dari
Perseroan, dan sebaliknya. Filosofisnya adalah harmonisasi.
Namun demikian, seperti yang telah saya singgung di atas, ketentuan dalam
Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007, telah banyak menuai kritikan, di antaranya
dari Ketua Umum Kadin Mohamad S. Hidayat, 12 yang mengatakan: CSR adalah
kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam
perundang-undangan formal, seperti ketetiban usaha, pajak atas keuntungan dan
standar lingkungan hidup. Jika hal itu diatur, selain bertentangan dengan prinsip
kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Ketua Umum Kadin
itu, dalam upaya memperkuat argumentasinya, dia membandingkan dengan Negara-
negara Eropa, walaupun secara institusional jauh lebih atang daripada Indonesia, telah
menyatakan bahwa CSR bukan sesuatu yang harus diatur.
Pendapat yang dikemukakan oleh Ketua Kadin tersebut patut dipertanyakan,
apakah kepentingan hukum Negara-negara Eropa yang disebutkan itu sama dengan
Indonesia? Perkembangan legislatif di Indonesia, memang ada kecenderungan segala
12 Hukumonline.com, CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur, 28 Maret 2008,
Page 8 of 30
seuatu harus ditulis/diatur, kendati kita mengakui nilai-nilai budaya setempat. Karena di
negeri ini, jangankan tidak diatur dalam arti tidak ditulis dalam peraturan perundang-
undangan, yang diatur saja suka dilanggar. Dan, untuk menjamin ketaatan ketentuan
yang diatur itu, diperlukan adanya sanksi.
Sesuai dengan judul makalah ini, maka uraian berikut, saya kemukakan
perkembangan subjek hukum dalam hukum pidana, baik dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP, dalam RUU KUHP 2007, serta komentar
para pakar hukum pidana. Selanjutnya, mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007,
dalam uraian ini saya mendasarkan pada tiga pilar dalam hukum pidana, yaitu: tindak
pidana; kesalahan; dan pemidanaan. Kemudian, mengenai tanggung jawab korporasi
terhadap korban dengan pendekatan konsep daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Paling
akhir, adalah penutup.
B. PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-
perseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum dipandang
sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, baik
dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi
undang-undang berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Pemberantasan
Page 9 of 30
Tindak Pidana Terorisme, maupun dalam perundangan administrasi yang bersanksi
pidana (seperti antara lain Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi),
korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana.
Demikian juga halnya dengan Rancangan KUHP, Diterimanya korporasi sebagai
subjek hukum pidana, sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang
cukup pesat dewasa ini, di mana korporasi besar sekali peranannya dalam seluk-beluk
perekonomian negara, apalagi dalam menghadapi era industrialisasi yang saat ini
tengah dikembangkan oleh pemerintah kita. Oleh karena, peranan korporasi yang
begitu besar dalam pertumbuhan perekonomian negara, namun dibalik itu tidak
tertutup kemungkinan adanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di
berbagai bidang. Dan, dalam Penjelasan Umum RUU KUHP 2007 Buku I angka 4 antara
lain dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi
dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana
terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum
pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum………Dengan
dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik
sebagai badan hukum mapun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak
pidana dan dapat dipertanggunjawabkan dalam hukum pidana……..”
Adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana, tampaknya
sudah mendunia. Hal itu dibuktikan, antara lain dengan diselenggarakannya konferensi
internasional ke-14 mengenai C iminal Liability of Corporation di Atena dari tanggal 31
Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Di mana, antara lain, Finlandia yang semula tidak
mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, tapi dalam perkembangannya telah
mengakui korporasi sebgai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.
r
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatalarbelakangi oleh
sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun
pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan
Page 10 of 30
industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah
mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada
manusia alamiah (natural person) tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tidak
pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.
Menurut Jan Remmelink, 13 memang pada awalnya pembuat undang-undang
berpandangan bahwa hanya manusia (orang perorangan/individu) yang dapat menjadi
subjek hukum pidana, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek hukum pidana.
Adanya pandangan seperti itu dapat ditelusuri dari sejarah perumusan ketentuan Pasal
51 Sr. (Pasal 59 KUHP) terutama dari cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan
frasa hij die, barangsiapa.
Sehubungan dengan itu, Doelder, 14 guru besar pada Jurusan Hukum Pidana dan
Kriminologi, Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda bahwa Hukum Pidana yang ada
sejak tahun 1886 dan ditulis dengan ide bahwa hanya orang (natural persons) yang
dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.
Pandangan Doelder tersebut sejalan dengan Jonkers 15 yang mengutif putusan
Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1925 menulis bahwa menurut asas-asas hukum
pidana kita (Belanda, pen.) badan-badan hukum tidak dapat melakukan delik.
Alasannya, karena hukum pidana kita didasarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang
hanya ditujukan terhadap pribadi seorang (individu), sehingga ketentuan mengenai
pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana kemerdekaan.
Demikian juga dengan pidana denda, sebab menurut sistem pidana Hindia Belanda,
korporasi tidak dapat dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda
dapat memilih untuk menjalani pidana kurungan pengganti selain membayar denda.
Menurut Jonkers, meskipun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya korporasi sering melakukan tindak
13 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 97. 14 Hans de Doelder, 1996, Criminal Liability of Corporations - Netherlands, in Hans de Doelder and Klaus Tiedemann (ED), Criminal Liability of Corporations, XIVth International Congress of Comparative Law, The Hague, Kluwer Law International, The Netherlands, 1996, hal. 289-290. 15 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, 289-290.
Page 11 of 30
pidana. Namun, di Belanda telah terjadi perkembangan, pada tahun 1976 pembentuk
undang-undang memutuskan untuk merubah Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana berdasarkan Undang-undang tanggal 23 Juni 1976, Lembaran Negara No. 377.
Menurut ketentuan yang baru ini, semua tindak pidana dapat dilakukan oleh orang dan
korporasi.
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 51 itu telah ada sejak tahun 1951 dalam
hukum pidana ekonomi (Pasal 15 Eeconomic Penal Code). Akan tetapi, ketentuan pasal
dalam bidang ekonomi tersebut telah dicabut pada tahun 1976, dan itu telah
disebutkan dalam Pasal 51 yang baru, yang berarti telah mengakhiri doktrin fiksi.
Perundang-undangan yang baru itu, berlaku untuk hukum pidana umum dan hukum
pidana ekonomi, yaitu berdasarkan ide bahwa korporasi merupakan badan hukum dan
dapat melakukan tindak pidana. Selanjutnya, suatu hal yang perlu dikemukakan adalah
yang berkaitan dengan jenis pelaku yang terdiri dari orang dan korporasi itu.
Pengertian korporasi yang digunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Belanda berbeda dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, juga badan
hukum yang bukan berbentuk badan hukum dipandang sebagai korporasi dan dapat
dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 51.
C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN
KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
Menurut Packer 16 bahwa dasar rasional dari hukum pidana bersandar pada tiga
konsep, yaitu: tindak pidana, kesalahan, dan pemidanaan. Lebih lanjut Packer 17
bahwa ketiga konsep tersebut melambangkan tiga permasalahan pokok dalam hukum
pidana, yaitu: 1) perbuatan apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan; 2)
ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat apa yang harus dibuat sebelum seseorang
16 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 17. The rationale of the criminal law rests on three concepts: offense; guilt; and punishment. 17 Herbert L. Packer, Ibid. These three concepts symbolize the three basic problems of substance in the criminal law: 1) what conduct should be designated as criminal; 2) what determinations must be made before aperson can be found to have committed a criminal offense; 3) what should be done with persons who are found to have committed criminal offenses.
Page 12 of 30
dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana; 3) apa yang seharusnya dilakukan
terhadap seseorang yang telah diketahui melakukan tindak pidana.
Ketiga pilar tersebut, merupakan titik-tolak untuk mengkaji pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam hubungannya dengan pengabaian kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi: perbuatan pidana;
pertanggungjawaban pidana korporasi; dan pidana dan pemidanaan.
a. Pebuatan Pidana
Bab V Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang mengatur mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan. Dan, berdasarkan ketentuan Pasal 74-nya ditentukan:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajian sebagaimana diaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, maka yang menjadi pertanyaan:
apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial
dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana? Untuk mejawab pertanyaan ini,
perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut :18
a. Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
18 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 44-48.
Page 13 of 30
sehubungan dengan itu pembangunan hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja
aparat penegak hukum.
Apabila memperhatikan criteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan
adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari
perbuatan tersebut. Karena, mengingat para korban kejahatan korporasi seringkali tidak
merasa bahwa mereka telah menjadi korban, dan itu berbeda dengan korban kejahatan
konvensinal. Apalagi, upaya untuk memperjuangkan kepentingan korban telah
membutuhkan perjalanan yang panjang. Dan, sebagaimana ditulis oleh Sahetapy 19
bahwa perjalanan sejarah yang bertalian dengan permasalahan korban membutuhkan
waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar
dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power. Lebih lanjut Sahetapy menulis :
Paradigma viktimologi tidak hanya bertalian dengan kejahatan dalam arti klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana. Abuse o power, jelas mengindikasikan, bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasaan yang sah. Itu berarti, bahwa memiliki kekuasaan tidak dengan sendirinya berarti memiliki kebenaran. Jadi, rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kelompok yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral.
f
Penyalahgunaan kekuasaan, berlanjut kepada penyalahgunaan kekuasaan di
bidang ekonomi (economic abuse of power), yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam
Kongress PBB ke-6 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,
yang diselenggarakan di Caracas, Venezuela tahun 1980. Dalam salah satu
19 Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hal. v.
Page 14 of 30
pertimbangannya yang tercantum dalam Resolusinya yang ke-7 tentang Prevention of
the Abuse of Power, dinyatakan 20 bahwa mengingat penyalahgunaan kekuasaan
ekonomi dan politik menyebabkan kerugian materi dan sosial yang besar, yaitu merusak
pembangunan ekonomi dan sosial serta mengganggu kualitas hidup rakyat dunia secara
keseluruhan. Dengan demikian, korban dalam paradigma baru bukan saja korban dalam
arti klasik, melainkan juga korban dalam konteks dimensi lain, yang tidak lagi bersifat
individual tetapi sifatnya abstrak (abstract victims), termasuk korban dari perusahaan
yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dan, perlindungan terhadap
korban kejahatan korporasi, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan alasan itu, perusahaan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa
tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang
dapat dipidana. Di samping itu juga patut dipertimbangkan untuk menggunakan hukum
pidana, yaitu sebagaimana ditulis oleh Clinard dan Yeager: 21
1. tingkat kerugian masyarakat; 2. tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi; 3. lamanya pelanggaran; 4. frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi; 5. bukti adanya maksud melakukan kejahatan; 6. bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan; 7. banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi yang
telah diungkap oleh media; 8. precedent dalam hukum; 9. sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi; 10. potensi pencegahan atau penangkalan; 11. adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
20 The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Caracas from 25 August to 5 September 1980, Resolution 7, Prevention of the abuse of power: considering that abuse of economic and political power cause great material and social harm, undermine economic and social development and impair the quality of life of people throughout the world, hal 10. 21 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980, hal. 93. Berdasarkan hasil wawancara mereka dengan aparat penegak hukum federal di Washington D.C. menyatakan : 1) the degree of loss to the public; 2) the level of complicity by high corporate managers; 3) the duration of the violation; 4) the frequency of the violation by the corporation; 5) evidence of intent to violate; 6) evidence of extortion, as in bribery cases; 7) the degree of notoriety engendered by the media; 8) precedent in law; 9) the history of serious violations by the corporation; 10) deterrence potential; 11) the degree of cooperation evinced by the corporation.
Page 15 of 30
Memang pada umumnya penggunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan primum remedium, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Akan
tetapi, dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan
pidana? Atas pertanyaan ini Roeslan Saleh 22 menulis bahwa bertanggung jawab atas
sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara syah dapat dikenai pidana
karena perbuatan itu. Lebih lanjut dikemukakan, pidana itu dapat dikenakan secara
syah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum
tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain,
tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum tersebut.
Namun demikian, menurut Moeljatno 23 bahwa dalam pengertian perbuatan
pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai
kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana
yang diatur (diancamkan) dalam undang-undang (pidana) sangat tergantung pada
apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan (asas: tiada pidana
tanpa kesalahan). Pandangan Moeljatno ini sesuai dengan Rupert Cross dan P. Asterley
Jones yang menulis 24 bahwa prinsip (asas) pokok hukum pidana diwujudkan dalam
pepatah actus non acit reum, nisi mens sit rea, di mana suatu perbuatan yang
dilakukan tidak menjadikan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan itu kecuali
kalau yang bersangkutan mempunyai kesalahan.
f
Itu berarti, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana,
karena dengan asas ini diletakan sendi-sendi kemanusiaan berupa perlindungan hukum
terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu dapat
dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan
22 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 34. 23 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, 1980, hal. 104. 24 Rupert Cross dan P. Asterley Jones, An Introduction to Criminal Law, Seventh Edition, Butterworth & Co, London, 1972, hal. 35.
Page 16 of 30
strict liability, dan vicarious liability. Strict liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (1) RUU
tentang KUHP 2007 bahwa: “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat
menentukan seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-
unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Penjelasan
pasal ini menegaskan: “Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian terhadap asas
tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku bagi semua tindak pidana,
melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana
hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini
kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi
diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas pertanggugjawaban mutlak (strict liability).
Asas ini diterapkan antara lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan oleh
seseorang dalam menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian memadai
(expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility) dan kesejawatan
(corporateness) yang didukung oleh semua kode etik”. 25
Menurut Packer, 26 issue strict liability atau pertanggungjawaban tanpa
kesalahan, merupakan suatu pengembangan yang penting dalam hukum pidana dalam
abad ini, baik melalui pengundangan oleh pembentuk undang-undang atau melalui
interpretasi oleh pengadilan untuk melarang perbuatan tertentu tanpa memperhatikan
kesalahan seseorang. Demikian juga dengan Thomas Morawetz menulis, 27 kita telah
25 Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur apa yan disebut dengan Tanggung Jawab Mutlak, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang tersebut : (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. 26 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal. 13. 27 Thomas Morawetz, The Philosophy of Law, An Introduction, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, 1980, hal.209.
Page 17 of 30
banyak menyaksikan jenis-jenis tindak pidana yang dipertanggungjawabkan secara
strict dalam dua puluh hingga tiga puluh tahun terakhir ini. Adapun alasan pembenar
pembuat undang-undang memasukan doktrin strict liability ke dalam perundang-
undangan pidana, karena perbuatan-perbuatan tertentu dapat menimbulkan bahaya
potensial yang serius terhadap keselamatan publik.
Sedangkan vicarious liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (2) RUU tentang KUHP
2007 bahwa: “Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Penjelasan
pasal ini menegaskan: “Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana
tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas
regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang
patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan
untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam
kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana
ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan
yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini
penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas
oleh Undang-Undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban
yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas “vicarious liability ”. 28
Dalam konteks vicarious liabili y tersebut, bahwa dalam hukum pidana dapat
digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam
kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran atau sekurang-
kurangnya ada unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Contoh dari bentuk
pertanggungjawaban ini, adalah hubungan antara karyawan dan pimpinan (employer-
employee situation).
t
29 Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
yang mengabaikan tanggungn jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan:
28 Vicarious liability berarti pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (liability for the acts of another person). Lihat Russel Heaton, Criminal Law, Cases & Naterials, Second Edition, Blackstone Press Limited, London, 1998, hal. 404. 29 Peter Gillies, op.cit., hal 107.
Page 18 of 30
apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana? Pertanyaan ini
mengemuka, karena dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak secara
tegas menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal terebut, hanya menunjuk kepada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dalam Pasal 74 ayat (1)
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 menentukan: “Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Linkungan”, Dan, sesuai dengan Penjelasan
Pasal 74 ayat (3) Undang-undang No. 40 Tahun 2007, bahwa: “Yang dimaksud dengan
“dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah
dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
terkait’, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang dekat, di antaranya
adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, tanggal 19 September 1997).
Namun demikian yang menjadi pertanyaan: apakah Undang-undang No. 23
Tahun 1997 telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana?
Dalam Pasal 1 Angka 24 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dinyatakan: “0rang adalah
orang perorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Selanjutnya,
bagaimana kriteria tentang siapa saja yang dapat dipertanggungawabkan secara
pidana? Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 menentuan :
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini 30 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan 31 baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
30 Bab IX tentang Ketentuan Pidana. 31 Pasal 47 Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Page 19 of 30
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Dengan dimkian, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 bahwa
korporasi dapat dipertanggungjawakan secara pidana. Ini berarti, perusahaan yang
mengabaikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal
74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997.
3. Pidana dan Pemidanaan
Salah satu dari dua tema sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan hukum pidana, adalah yang berkaitan dengan penentuan sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana. 32 Masalah
ini penting dikemukakan, karena sebagaimana Rekomendasi Economic and Social
Council 33 yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang
32 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 32. 33 United Nations, Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992, Addendum: Report of the Ad Hoc Expert Group Meeting on Strategies to Deal with Transnational Crime, Smolenice, 27-31 Mei 1991, Recommendations No. 2, hal. 3: In view of the political and economic changes taking place in many countries, including the newly emerging “market economies”, new laws and regulations should be developed so as to be able to anticipate and respond to changing situations and emerging economic realities. Exchanges of information on, and experiences with, economic crime and its control by criminal sanctions
Page 20 of 30
terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum
dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon
situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus
berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control
terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus
diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana.
Sehubungan dengan itu, kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang
No. 40 Tahun 2007, di mana dalam Pasal 74 tersebut tidak menentukan sendiri
mengenai sanksi pidananya, akan tetapi menunjuk kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait, maka apabila mengacu kepada ketenuan Pasal 45
Undang-undang No. 23 Tahun 1997: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, suatu hal yang patut dipertanyakan:
apakah ancaman pidana denda yang diperberat itu akan dapat dirasakan sebagai sanksi
atau hukuman bagi suatu korporasi? Memang sebagaimana yang ditulis oleh
Balakrishnan 34 bahwa pidana denda itu sesuai diterapkan terhadap perusahaan atau
korporasi, karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara, akan tetapi hal itu saja
(denda) masih belum cukup. Karena, sanksi yang berupa pidana denda tidak akan
pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman
hanyalah di atas kertas. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan
kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan
oleh negara.
Pandangan Balakrishnan tersebut, bahwa “perlu ada ketentuan khusus, seperti
menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola
korporasi itu dilakukan oleh Negara,” sebenarnya dalam Pasal 47 Undang-undang No.
23 Tahun 1997 telah diatur, bahwa: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
should be intensified. Due consideration should be given to regulatory mechanisms as essential complements to penal sanctions. 34 Balakrishnan, Reform of Criminal in India Some Aspects, Dalam Resource Material Series No. 6, UNAFEI, Fuchu, Tokyo, Japan, Oktober 1973, hal. 48.
Page 21 of 30
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku
tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Namun demikian, ketentuan yang diaur baik dalam Pasal 45 maupun Pasal 47
Undang-undang No. 23 Tahun 1997, arahnya ditujukan kepada pelaku (korporasi), dan
tidak ada ketentuan yang mewajibkan korporasi untuk bertanggung jawab kepada
korban, sehingga apabila dikaitkan dengan perusahaan yang tidak melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-
undang No. 40 Tahun 2007 akan menjadi tidak berarti.
Kemudian, dalam Pasal 15 huruf b Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, tanggal 26 April 2007),
menentukan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan”. Selanjutnya, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang No 25 Tahun
2007 ditentukan: “Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
dapat dikenai sanksi administrasi berupa :
a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal”.
Sanksi yang diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007 sama dengan
ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997, masih diarahkan kepada pelaku.
Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan
berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati.
Page 22 of 30
Kelemahan-kelemahan itu, sesuai dengan yang pernah dikemukakan oleh Dr.
Barry A.K. Rider 35 berdasarkan pengalamannya, bahwa upaya memerangi kejahatan
ekonomi masih banyak menemui kendala, di antaranya peraturan yang ada tidak cukup
sempurna (inadequa e and badly drafted laws) dan mekanisme untuk mendeteksi
kejahatan ekonomi, selain kurang baik juga tidak dapat dipercaya (inadequate and
unreliable mechanisms for detection), tidak tersedianya sumberdaya manusia yang
professional dalam melakukan penyidikan dan penuntutan (deficient and unspecialized
investigatory prosecutionary resources), ketidakmampuan pengadilan untuk
menafsirkan dan mengevaluasi fakta (inability of the tribunal to interpret competently
and evaluate evidence). kurang sesuainya sanksi dan hukuman (inappropriate sanctions
and penal ies), dan kendala lainnya adalah adanya korupsi (corruption).
t
t
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa produk perundang-undangan di
Indonesia secara kuantitas oke, tetapi secara kualitas masih memprihatinkan.
D. TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN
Permasalahan hak korban kejahatan dan penderitaan manusia tampaknya sudah
menjadi isu utama perhatian masyarakat internasional, yaitu sehubungan dengan
diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB
mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada
Kongres PBB ke VII yang akan diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas
permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional,
seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyalahgunaan
kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan
eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongan-
golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas, 36 dan
sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak
35 Barry A.K. Rider, Combating Internatonal Comercial Crime a Commonwealth Perspective, Disampaikan pada Seminar tentang Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993, hal. 91. 36 Paul Zvonimir Separovic, Victimology: Studies of Victims, Zagreb: Samobor-Novaki bb Pravni Fakultet, 1985, hal. 43, 425-426.
Page 23 of 30
korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan
pidana.
Apabila memperhatikan produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya
masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual
victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut.
Ambil contoh, selain yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, dalam Pasal 18 ayat (1)-nya telah diatur
mengenai pidana tambahan, namun ancaman pidananya hanya berorientasi kepada
perlindungan calon korban, sementara untuk korban langsung masih belum diatur.
Lengkapnya ketentuan dari Pasal 18 ayat (1) tersebut: Selain pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana
tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begipun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001ditentukan: Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut, seolah hendak memberikan
perlindungan langsung terhadap korban, akan tetapi harapan itu pupus sehubungan
Page 24 of 30
dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (3)-nya yang menentukan: Dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan pidana penjara yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut
merupakan suatu hal tidak mungkin apabila dijatuhkan terhadap korporasi. Padahal
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ditentukan: Setiap orang
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dengan demikian, subjek hukum
pidana dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 di samping orang perseorangan, juga korporasi. Ini
menunjukkan, bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dan tidak konsisten
dalam merumuskan bunyi pasal.
Jika pada Pasal 18 di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur perlindungan
terhadap korban aktual, maka demikian juga dengan Undang-undang No. 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaangan Orang (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 58), tanggal 19 April 2007. Hal itu dapat dibuktikan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 50-nya, yang pada intinya menentukan sebagai berikut :
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka korban atau ahli warisnya memberitahukan hal itu kepada pengadilan.
(2) Selanjutnya pengadilan memberikan surat peringatan kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajibannya.
(3) Jika surat peringatan tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, maka pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta ersebut untuk pembayaran restitusi.
(4) Kemudian, jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Dengan adanya ketentuan Pasal 50 ayat (4) ini, menunjukkan kurang cermatnya
pembentuk Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Page 25 of 30
Orang, karena jika pelakunya adalah korporasi, maka ketentuan ini tidak berlaku untuk
korpoasi. Padahal dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tersebut
ditentukan: Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memberoleh restitusi. Di samping itu, dalam Pasal 1 angka 4 ditentukan: Setiap orang
adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana pedagangan
orang. Dengan demikian, pemikiran pembentuk Undang-undang yang terimplementasi
dalam Pasal 50 ayat (4) hanya tertuju kepada orang perseorangan sebagai pelaku
tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan kenyataan demikian, maka pandangan mono-dualistik dalam hukum
pidana, yang menurut Barda Nawawi Arief 37 biasa dikenal dengan istilah Daad-dader
Strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari perbuatan
(daad) dan juga segi-segi subjektif dari orang atau pembuat (dader). Karena itu, dalam
konsep (RUU tentang KUHP. pen.) bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok,
yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak
pidana, sehingga syarat pemidanaannya bertolak dari dua pilar yang sangat
fundamental di dalam hukum pidana, yaitu azas legalitas yang merupakan azas
kemasyarakatan dan azas kesalahan/azas culpabilitas yang merupakan azas
kemanusiaan. Dan, menurut Muladi 38 model itu merupakan model yang realistik,
karena memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana,
yaitu meliputi kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,
kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan. Model yang
bertumpu pada konsep Daad-dader Strafrecht itu, oleh Muladi disebut sebagai Model
Keseimbangan Kepentingan.
Namun demikian, pandangan tersebut yang memasukkan kepentingan korban di
dalamnya, menurut hemat saya sebenarnya baru pada tataran perlindungan terhadap
calon korban (potential victims), bukan pada korban aktual, sehingga sifatnya masih
37 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 107-108, 98-99. 38 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal 5.
Page 26 of 30
berat sebelah. Penamaan yang memperluas makna dari konsep Daad-dade -Strafrecht
tersebut, tidak secara otomatis dapat mengubah atau menambah makna yang
sebenarnya tanpa ditopang dengan pengembangan konsepnya. Untuk itu, konsep
Daad-dader-Strafrecht seharusnya ditambahkan dengan aspek korban (slachtoffer),
sehingga rumusannya menjadi: Daad-dade -slachtoffer-Strafrecht. Penambahan aspek
korban itu, sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menghendaki
adanya tanggung jawab pelaku terhadap korbannya. Jika tidak, dikhawatirkan timbul
kesan bahwa hukum pidana lebih memanjakan pelaku kejahatan ketimbang korban.
r
r
Wujud dari tanggung jawab tersebut, adalah berupa pemberian ganti kerugian
(restitusi) dari pelaku kepada korban. Menurut Jennifer J. Llewellyn dan Robert
Howse,39 restitusi sebagai sebuah konsep common law secara garis besar merupakan
ide bahwa keuntungan atau manfaat yang diperoleh atau dinikmati dengan cara yang
tidak benar harus dikembalikan. Kekuatan atau dasar pembenar dari restitusi tersebut,
karena lebih dipokuskan pada si penderita atau korban kejahatan. Dengan demikian,
pokusnya pada pengembalian kerugian kepada korban. Ini berarti, dengan restitusi
telah menempatkan korban nyata (actual sufferer) pada pusat perhatian dari suatu
upaya untuk memberikan yang terbaik bagi korban.
Konsep yang mewajibkan pelaku untuk memberikan ganti kerugian kepada
korban tindak pidana, sebenarnya bukan hal baru, karena apabila dilacak kepada
sejarah ribuan rahun yang lalu, masyarakat sudah terbiasa dengan istilah utang garam
bayar garam, artinya korban dapat menentukan cara-cara (ganti kerugian) yang harus
dilakukan oleh pelaku akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban.
Ganti kerugian tersebut, meliputi tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga tuntutan
tambahan lainnya seperti permintaan maaf. Dalam perkembangannya, negara atau
pemerintah mengambil alih tanggung jawab dalam penyelesaian masalah kejahatan
yang dilakukan oleh pelaku kepada korban, sehingga kejahatan tidak lagi dianggap
sebagai penyerangan terhadap korban, melainkan dianggap sebagai penyerangan
terhadap negara. Akan tetapi, dalam banyak hal, restitusi telah dilupakan. Padahal,
39 http://www.icc.gc.ca
Page 27 of 30
sebelumnya hal itu merupakan kelaziman bagi masyarakat primitive dalam
menyelesaikan kasus-kasus kejahatan antara pelaku dan korban.
Karena itu, sebagaimana yang ditulis oleh Schafer 40 pada tahun 1847 sudah
dirancang upaya-upaya perbaikan kondisi korban, yang kemudian diikuti dengan
beberapa kongres internasioal untuk lebih memantapkan perhatian terhadap hak-hak
korban kejahatan. Selanjutnya, pada International Prison Congress yang diadakan di
Stockholm tahun 1878, Sir George Arney, Ketua Pengadilan New Zealand, dan William
Tallack mengusulkan kembali kepada praktik-praktik pada masa lalu, dan ketika
International Prison Congress yang diadakan di Roma pada tahun 1885, Raffaele
Garofalo mengemukakan dan menulis bahwa perbaikan kondisi korban berupa
memberikan ganti rugi merupakan persoalan keadilan dan jaminan sosial.
Permasalaan-permasalahan pemberian ganti kerugian kepada korban, telah
didiskusikan secara mendalam pada International Prison Congress yang diadakan di
Paris tahun 1895. Pada kongres itu, semua pihak telah menyadari bahwa hukum
modern masih lemah dalam memberikan perlindungan kepada korban. Karena itu, para
anggota kongres mengharapkan agar hukum di negara-negara lebih memperhatikan
korban daripada pelaku.
Kendati pembicaraan itu arahnya pada perlindungan korban kejahatan
konvensional, akan tetapi ide-idenya perlu ditransfer kepada upaya perlindungan
korban kejahatan korporasi. Karena itu ke depan, kesenjangan perlakukan hukum
pidana antara pelaku dan korban sebagaimana yang sudah terimplementasi dalam
perundang-undangan pidana positif Indonesia tidak perlu terjadi lagi, yaitu dengan
melakukan rekonstruksi paradigma, atau dengan kata lain, bahwa kaidah hukum itu
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya (dalam arti kejahatannya
juga berkembang), sehingga akan dapat memberikan kualitas atau mutu politik hukum
pidana sesuai dengan issu yang berkembang, khususnya dalam konteks perlindungan
terhadap korban yang seimbang antara potential victims dan actual victims. Karena saat
40 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal: A Study in Functional Responsibility, (New York, 1968), hal. 23-25.
Page 28 of 30
ini perhatian pembentuk undang-undang lebih berorientasi kepada para calon korban
(potential victims).
Dengan demikian, bila mengkaji beberapa undang-undang sebagaimana telah
dikemukakan, seolah undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap korban
langsung, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ketentuan yang dirumuskan
dalam pasal-pasalnya masih belum sempurna atau belum selesai dalam merumuskan
perlindungan dimaksud. Karenanya dapat dikatakan, bahwa kebijakan penal yang
tertuang dalam hukum pidana positif masih belum secara sungguh-sungguh
memperhatikan korban langsung, yaitu dalam hal pemberian restitusi terhadap korban
sebagai wujud dari tanggung jawab pelaku kejahatan terhadap korban.
Kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, pada
dasarnya konsep restitusi dapat diterapkan, yaitu jika perusahaan yang menjalankan
kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, ternyata terjadi
perusakan atau pencemaran lingkungan, maka tanggung jawab itu tidak cukup dengan
hanya memulihkan keadaan lingkungan ke keadaan semula, tetapi juga tanggung
jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab itu sebenarnya merupakan
bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak
semata ditujukan kepada masyarakat yang telah dirugikan, akan tetapi pada saat yang
sama juga membantu harmonisasi antara perusahaan dan masyarakat sekitar.
Karena itu, konsep charity atau kedermawanan dalam konteks Corporate Social
Responsibility tersebut, sudah tidak relevan, karena selain tidak ada kepastian hukum
bagi masyarakat, juga seringkali dipakai sebagai alasan oleh perusahaan bahwa kami
tidak bisa membantu masyarakat karena dana yang telah kami siapkan telah diambil
oleh “petinggi” di daerah (ini salah satu contoh nyata).
E. PENUTUP
Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan
pengabaian atas kewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya
Page 29 of 30
tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari
perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban.
Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada
perlindungan masyarakat (korban poensal), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi.
Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari
perbuatan korporasi masih belum memadai.
Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada
perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang
akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin
meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap
korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian
(restitusi) kepada korban. Dan, konsep daad-dader-slachtoffer-Strafrecht sudah
seharusnya terimplementasi dalam perundang-undangan pidana.
Jember, 2 Mei 2008
Wassalam,
M. Arief Amrullah
Page 30 of 30
KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASIDisampaikan dalam Seminar Nasional tentangTanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility/CSR) Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta
bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights,
University of Oslo, Norway. Tempat Hotel Jogjakarta Plaza, Yogyakarta, 6-8 Mei
2008.
Oleh :
M. ARIEF AMRULLAHGuru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember
Lawyer Jakarta
ILUSTRASI GAMBAR
Lawyer Jakarta
Pencemaran oleh industri
Lawyer Jakarta
Iimbah i d t i
Lawyer Jakarta
Lumpur Panas LAPINDO
Lumpur Panas LAPINDO
Masyarakat Protes
PENDAHULUAN
• Menelusuri perkembangan korporasi mulai dari abad pertengahan hingga abad ini, cukup memberikan informasi untuk mencari hubungan antara pertumbuhan korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi
• Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan pemanpaatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya.
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Dewasa ini, Korporasi multinasional telah menunjukkan akumulasi kekayaan besar-besaran, bahkan menurut Barnet dan Muller, aset fisik yang dimiliki oleh korporasi global pada tahun 1974 telah mencapai lebih dari $200 miliar
• Pada tahun 1990 jumlah korporasi tersebut mencaai 37.000
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Implikasi dari bisnis dunia yang didominasi oleh korporasi besar tersebut, telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Karena, dapat menentukan pekerjaan bagi banyak orang, makanan, minuman dan pakaian, dan sebagainya
• Di samping itu, suatu korporasi dapat pula mengancam pemerintahan suatu negara di mana korporasi itu beroperasi. Hal itu dilakukan, apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menguntungkan baginya, yaitu: dengan cara memindahkan usahanya ke negara lain yang mempunyai ketentuan hukum yang lemah dalam pengaturan masalah pencemaran lingkungan hidup atau standar keamanan kerja yang lemah, atau upah buruh yang murah. Tindakan eksodus seperti itu biasanya lalu ditakuti
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Dalam mengahadapi korporasi yang demikian itu, pemerintah mengalami kesulitan dalam mengaturnya atau mengontrolnya. karena pada umumnya korporasi mempunyai penasihat hukum yang mumpuni, sehingga mampu untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan yang tengah dijalankan yang nantinya diperkirakan akan merugikannya.
• Di samping itu, korporasi juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi control yang dilakukan oleh negara.
• Ini menunjukkan, bahwa betapa besarnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu korporasi
PENDAHULUAN (lanjutan)
Bagaimana dengan Indonesia?
• Akhir-akhir ini, bukan saja jumlahnya yang semakin meningkat melainkan munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena disertai dengan meningkatnya diversifikasi di bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, melalui usaha bersama di antara perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya korporasi multinasional dan transnasional
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Dampak dari pertumbuhan tersebut, adalah munculnya berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sebagai contoh, antara lain: pencemaran lingkungan di Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga mereka yang akan bepergian dan harus lewat lokasi semburan, akan menjadi was-was.
• Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan terbitnya Peratran Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo. Hal itu merupakan upaya terjadinya Politisasi Hukum Pidana. Mengapa demikian, jawabnya karena ada yang terlibat, kemudian hendak bersembunyi di balik Perpres tersebut
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Perilaku seperti itu, oleh Edward Alsworth Ross, disebutnya dengan istilah criminaloid, artinya: pelaku yang menikmati kekebalan atas dosa-dosa, lebih suka mengorbankan kepentingan umum, dan apabila didakwa atau dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah tidak bersalah. Bilamana perlu tidak segan-segan mengeluarkan dana besar untuk menjaga reputasinya.
PENDAHULUAN (lanjutan)
• Kemudian, bagaimana dengan adanya ketentuan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, tanggal 16 Agstus 2007) yang mengatur mengenai Corporate Social Responsibility (CSR),
• Dan, ternyata telah menimbulkan dua pandangan yang saling berlawanan antara yang memujikan dan yang berkeberatan
JEDA
PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA
• Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-perseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum dipandang sebagai subjek hukum pidana.
• Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 maupun dalam perundangan administrasi yang bersanksi pidana (seperti antara lain Undang-undang No. 23 Tahun 1997 korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana.
PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA(lanjutan)
• Bahkan dalam RUU KUHP 2007 ataupun dalam RUU KUHP sebelumnya, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana.
JEDA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-
UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
Bertolak dari tiga pilar dalam hukum pidana
• perbuatan pidana; • pertanggungjawaban pidana; dan • pidana dan pemidanaan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40
TAHUN 2007(lanjutan)
Perbuatan pidana
• Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, yang menjadi pertanyaan: apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana?
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Untuk mejawab pertanyaan itu, perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut :
• Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan itu pembangunan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
• Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat.
• Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.
• Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja aparat penegak hukum.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
• Apabila memperhatikan criteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut
• Demikian juga pertimbangan yang perlu diambil :a. tingkat kerugian masyarakat;b. tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi;c. lamanya pelanggaran;d. frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi;e. bukti adanya maksud melakukan kejahatan;f. bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan;g. banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
korporasi yang telah diungkap oleh media;h. sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi;i. potensi pencegahan atau penangkalan;j. adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh
korporasi.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
• Dengan alasan itu, perusahaan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pertanggungjawaban Pidana
• Bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara syah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu
• Namun demikia, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur (diancamkan) dalam undang-undang (pidana) sangat tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pertanggungjawaban Pidana
• Kendati, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, namun dalam hal-hal tertentu dapat dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan strict liability, dan vicarious liability.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pertanggungjawaban Pidana
• Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang mengabaikan tanggungn jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan: apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana?
• Masalahnya, Pasal 74 tersebut tidak secara tegas menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal itu hanya menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dekat.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pertanggungjawaban Pidana
• Undang-undang yang dekat adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1997.
• Pertanyaan: apakah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana?
• Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka korporasi dapat dipertanggungjawakan secara pidana. Ini berarti, perusahaan yang mengabaikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 1997.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pidana dan Pemidanaan
• Pasal 45 Undang-undang No. 23 Tahun 1997: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.
• Pertanyaannya: apakah ancaman pidana denda yang diperberat itu akan dapat dirasakan sebagai sanksi atau hukuman bagi suatu korporasi? Sanksi yang berupa pidana denda tidak akan pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pidana dan Pemidanaan
• Sanksi yang diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007 sama dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997, masih diarahkan kepada pelaku.
• Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati.
• Itu menunjukkan, bahwa produk perundang-undangan di Indonesia secara kuantitas oke, tetapi secara kualitas masih memprihatinkan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pidana dan Pemidanaan
• Memang dalam Pasal 47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah diatur, bahwa: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
• perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
• penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau• perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau• mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau• meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau• menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama
tiga tahun.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
(lanjutan)
Pidana dan Pemidanaan
• Akan tetapi, misalnya sanksi yang menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. Namun, bagaimana peaksanaannya, tidak ada ketentuan lebih lanjut.
JEDA
TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN
• Wujud dari tanggung jawab tersebut, adalah berupa pemberian ganti kerugian (restitusi) dari pelaku kepada korban
TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN(lanjutan)
• Produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut
• Ke depan, konsep Daad-dader-Strafrecht seharusnya ditambahkan dengan aspek korban (slachtoffer), sehingga rumusannya menjadi: Daad-dader-slachtoffer-Strafrecht.
PENUTUP
• Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan pengabaian atas kewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban.
• Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat (korban poensal), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi. Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari perbuatan korporasi masih belum memadai.
• Meskipun beberapa Undang-undang telah mengatur adanya restitusi, tetapi tidak tustas, sehingga hak untuk
PENUTUP (lanjutan)
• Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian (restitusi) kepada korban. Dan, konsep daad-dader-slachtoffer-Strafrecht sudah seharusnya terimplementasi dalam perundang-undangan pidana.
KITA TENTUNYA TIDAK INGIN MEMBIARKAN TETANGGA KITA YANG SATU MELIMPAH RUAH,
TETAPI TETANGGA SEBELAH KONDISINYA SEPERTI INI
DEMIKIAN YANG DAPAT SAYA SAMPAIKAN, SEMOGA
BERMANFAAT
TERIMA KASIH
TRANSNATIONAL CORPORATION
(TNCs)
SEJARAH DOMINASI DAN EKSPLOITASI MANUSIA ATAS MANUSIA
PROSES SEJARAH DOMINASI1. FASE PERTAMA: adalah periode KOLONIALISME, yakni
perkembangan kapitalisme di Eropa yang menharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui KOLONIALISME proses dominasi manusia telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun
2. FASE KEDUA: dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme, ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, namun dominasi negara-negara bekas penjajah tetap dipertahankan terhadap bekas koloni mereka melalui teori dan perubahan sosial mereka. Dalam era ini teori pebangunan atau paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi yang direkayasa menjadi paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga.
3. FASE KETIGA: adalah GLOBALISASI, terjadi menjelang abad XXI, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan oleh lembaga keuangan global dan disepakati GATT dan Perdagangan Bebas suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itu, era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya.
GLOBALISASI TNCs
• Perusahaan-perusahaan transnasional berskala raksasa (TNCs) meningkat jumlahnya sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970, dalam tahun 1990 mencaai 37.000 TNCs.
• Selain jumahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian global
• Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa itu, akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan.
AKTOR-AKTOR PROSES GLOBALISASI
1. Aktor pertama adalah TNCs, yakni perusahaan multinasional
2. Aktor kedua adalah WTO3. Aktor ketiga adalah lembaga keuangan global (IMF
dan Bank Dunia)
1. Ketiga aktor tersebut menetapkan aturan-aturan seputar invetasi, Intellectual Property Rights dan kebijakan intenasional
2. Kewenangan lainnya, mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses penintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global.
SESUNGGUHNYA GLOBALISASI TIDAK ADA SANGKUT-PAUTNYA DENGAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT NEGARA-NEGARA DUNIA KETIGA, MELAIN LEBIH DIDORONG DEMI MOTIF
KEPENTINGAN PERTUMBUHAN DAN AKUMULASI KAPITAL BERSKALA GLOBAL
MERUJUK APA YANG PERNAH DIKATAKAN OLEH BUNG KARNO:
BAHWA MEREKA ITULAH YANG MAKAN NANGKANYA, SEDANGKAN KITA YANG KENA GETAHNYA
DIA BEBAS MENGUASAI EKONOMI GLOBAL
RAKYAT DUNIA KETIGA MENJADI SEPERTI INI
KAPAN MENJADI SEPERTI INI