makalah pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · tragedi ligkungan...

79
Makalah Pembicara WORKSHOP Tanggungjawab Sosial Perusahaan Yogyakarta, 6 – 8 Mei 2008 KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Oleh : M. Arief Amrullah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember

Upload: letram

Post on 30-Jan-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Makalah Pembicara

WORKSHOP Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Yogyakarta, 6 – 8 Mei 2008

KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Oleh :

M. Arief Amrullah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember

Page 2: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

KETENTUAN DAN MEKANISME

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI 1

Oleh: M. Arief Amrullah 2

A. PENDAHULUAN

Menelusuri perkembangan korporasi mulai dari abad pertengahan hingga abad

ini, cukup memberikan informasi untuk mencari hubungan antara pertumbuhan

korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, 3

keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan

badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat sekerja,

perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih

ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan pemanpaatan penyediaan modal

seperti korporasi pada umumnya.

Namun, seiring dengan perluasan peluang bisnis, perusahaan-perusahaan besar

mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan,

sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh

negeri. Padahal, apabila kembali ke tahun 1909, di Amerika Serikat, misalnya, hanya

ada dua perusahaan industri (industrial corporation), yaitu United States Steel and

Standard Oil of New Jersey yang kemudian berganti nama menjadi Exxon. Dalam abad

ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang

begitu cepat, di samping mampu memperkerjakan berjuta-juta tenaga kerja, juga

mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi

segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka.

Dewasa ini, Korporasi multinasional telah menunjukkan akumulasi kekayaan

besar-besaran, bahkan menurut Barnet dan Muller, aset fisik yang dimiliki oleh

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)”, Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway. Tempat Hotel Jogjakarta Plaza, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008. 2 Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember 3 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 22-23.

Page 1 of 30

Page 3: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

korporasi global pada tahun 1974 telah mencapai lebih dari $200 miliar. Implikasi dari

bisnis dunia yang didominasi oleh korporasi besar tersebut, telah memasuki semua

aspek kehidupan manusia. Karena, dapat menentukan pekerjaan bagi banyak orang,

makanan, minuman dan pakaian, dan sebagainya. 4 Di samping itu, suatu korporasi

dapat pula mengancam pemerintahan suatu negara di mana korporasi itu beroperasi.

Hal itu dilakukan, apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menguntungkan

korporasi yang bersangkutan, yaitu dengan cara memindahkan usahanya ke negara lain

yang mempunyai ketentuan hukum yang lemah dalam pengaturan masalah

pencemaran lingkungan hidup atau standar keamanan kerja yang lemah, atau upah

buruh yang murah. Tindakan eksodus seperti itu biasanya lalu ditakuti, karena akan

berakibat pada masalah pengangguran. Akibat selanjutnya, muncul berbagai komentar

bahkan debat di televisi, yang sesekali menyudutkan pemerintah sebagai suatu koreksi

atas kebijakan yang dijalankan. Yah…. barangkali juga termasuk mengenai Corporate

Social Responsibility (CSR).

Dalam mengahadapi korporasi yang demikian itu, pemerintah mengalami

kesulitan dalam mengaturnya atau mengontrolnya. karena pada umumnya korporasi

mempunyai penasihat hukum yang mumpuni, sehingga mampu untuk menentukan apa

yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan yang tengah dijalankan oleh negara

yang nantinya diperkirakan akan dapat mengurangi keuntungannya. Tidak hanya itu,

korporasi juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan,

untuk mengurangi control yang dilakukan oleh negara. Ini menunjukkan, bahwa betapa

besarnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu korporasi. 5

Apabila memperhatikan pertumbuhan korporasi yang pesat itu, demikian juga

dengan akibat yang ditimbulkannya, maka pertanyaannya bagaimana dengan di

Indonesia? Akhir-akhir ini, bukan saja jumlahnya yang semakin meningkat melainkan

munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena disertai dengan meningkatnya

diversifikasi di bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, melalui

usaha bersama di antara perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-

4 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 38. 5 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 24.

Page 2 of 30

Page 4: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya korporasi multinasional dan

transnasional. 6

Apalagi, dengan ditetapkannya program industrialisasi oleh pemerintah pada

Pembangunan Lima Tahun Ketujuh semasa pemerintahan Orde Baru (Tap MPR

No.II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara), pada bagian Prioritas

Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Penataan dan pemantapan industri

nasional yang mengarah pada perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri

nasional yang makin kukuh dengan penyebarannya ke seluruh wilayah Indonesia sesuai

dengan potensi daerah”. Lebih lanjut, pada bagian Sasaran Bidang Pembangunan Lima

Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Makin dinamais dan mantapnya perekonomian sebagai

bagian integral dari pembangunan nasional, ditandai oleh berkembangnya peran pasar

yang terkelola, berlanjutnya perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri;

….”. Demikian juga halnya, apabila memperhatikan isi pidato Presiden Megawati

Soekarnoputri yang disampaikan dalam Forum Bisnis Kerjasama Selatan-Selatan di

Kuala Lumpur, Malaysia, pada hari Minggu 23 Februari 2003, bahwa: “Dengan

kemampuan dan sumberdaya yang terbatas, dan selama ini hampir selalu terkuras

untuk menyelesaikan persoalan politik dan keamanan di dalam negeri, maka sangat

sulit bagi pemerintah negara berkembang mana pun untuk dapat efektif menangani

pembangunan kehidupan sejahtera yang dicita-citakan. Saatnya pemerintah

mengurangi perannya dan mendorong dunia usaha untuk melakukannya.”

7

Hal itu merupakan angin segar untuk berinvestasi di Indonesia, memang harus

diakui, dengan tumbuh-suburnya korporasi di Indonesia tentu akan membantu dalam

6 Istilah transnasional diartikan sebagai masalah yang melintasi batas-batas nasional, karena menyangkut kepentingan lebih dari satu Negara, maka masing-masing Negara akan mengembangkan hukumnya untuk menelesaikan masalah-masalah transnasional itu (Lihat Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung, 1972, hal. 12). 7 Presiden Soekarnoputri, Kompas Cyber Media, diakses 25 Februari 2003. Namun, pernyataan Presiden tersebut, tampaknya agak kurang sejalan apabila dihubungkan dengan pernyataan Emil Salim yang antara lain mengemukakan, bahwa pemerintah tidak bisa lagi pasif menyerahkan perkembangan pembangunan semata-mata pada mekanisme pasar, tetapi harus aktif ikut terjun untuk menyamakan medan kerja pengusaha, dan mendorong pengusaha kelas ringan, agar proses persaingan yang terjadi dalam pasar dapat berlangsung secara wajar dan adil. Untuk itu menurut Emil, pemerintah tidak boleh membiarkan mekanisme pasar menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, karena yang kalah itu adalah yang lemah. Jadi, harus ada tindakan yang tegas dari pemerintah. Lagi pula, jika semuanya diserahkan kepada pasar, dikhawatirkan adanya dominasi yang kuat dari yang lemah, karenanya sudah dapat diperkirakan adanya percepatan perkembangan korporasi dan sekaligus maraknya kejahatan korporasi di Indonesia.

Page 3 of 30

Page 5: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan penerimaan pajak. Akan tetapi dibalik

itu, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan juga cukup memadai.

Sebagai contoh, ekspor produk kimia dari Amerika Serikat ke dunia ketiga,

termasuk Indonesia, dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.

Produk kimia dengan berbagai jenis, mulai dari bahan pembasmi hama (pestisida),

penyubur tanaman, bahan pengawet makanan, sampai pada bahan-bahan kecantikan

yang digandrungi oleh ibu-ibu dan remaja putri, termasuk juga remaja-remaja pria.

Dampak produk kimia tersebut besar sekali andilnya dalam penurunan tingkat

kesehatan manusia. Salah satu produk kimia yang membahayakan itu, adalah racun

pestisida. David Weir dan Schapiro dalam bukunya Circle of Poison, telah

mendokumentasikan sebuah skandal dengan ukuran dunia, mengekspor pestisida yang

dilarang di negara-negara industri ke dunia ketiga disertai iklan besan-besaran oleh

perusahaan pestisida multinasional, telah mengubah dunia ketiga tidak hanya menjadi

pasar besar pestisida, tetapi juga menjadi tempat penimbunan pestisida.

Menurut catatan Weir dan Schapiro, di Amerika Serikat terdapat 12 perusahaan

multinasional yang menguasai pasar pestisida, lusinan jenis pestisida yang sangat

berbahaya dikirim ke negara-negara dunia ketiga. Di tempat-tempat itulah menurut

pengamatan badan kesehatan dunia (WHO), rata-rata satu orang setiap menitnya

dalam satu hari keracunan pestisida. Jadi, tinggal menghitungnya saja lagi berapa

jumlah kematian dalam waktu satu tahun. Di Amerika Serikat, industri-industri kimia

memproduksi dua miliar kilogram pestisida dalam setiap tahunnya dan telah diekspor

hampir dua kali lipat. Adapun negara-negana sasaran ekspor, di antananya adalah

Meksiko, Guatemala, El Salvador, Aprika, Pakistan, Sri Langka, Filipina, Malaysia,

Indonesia, dan lain-lainnya.

Sehubungan dengan itu, dalam Report on the meeting of the Ad Hoc Expert

Group on More Effective Forms of International Cooperation against Transnational

Crime, including Environmental Crime, yang diselenggarakan di Vienna, dari tanggal

7 hingga 10 Desember 1993, di mana pada bagian forms of transnational

environmental crime, dikemukakan: bahwa hubungan antara pembangunan ekonomi

dan kejahatan lingkungan merupakan isu-isu mendasar yang harus ditekankan dengan

Page 4 of 30

Page 6: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

merujuk kepada kasus-kasus khusus, yakni ekspor sampah berbahaya (beracun) oleh

korporasi-korporasi besar dari negara-negara maju tertentu ke negara-negara

berkembang, dengan tidak sedikit uang perangsang (financial incentive) yang diberikan

kepada sebuah negara berkembang agar setuju untuk menerima mengiriman 15 (lima

belas) ton sampah beracun dengan imbalan US$ 40 per ton. Akibatnya, tidak hanya

mencemari lingkungan, tetapi juga merusak kehidupan dan kesehatan manusia baik

sekarang maupun yang akan datang.

Di America Serikat, ketika tragedi Love Canal antara tahun 1942 sampai tahun

1953 Perusahaan Kimia Hooker (Hooker Chemical Company), sebuah cabang dari

Perusahaan Minyak Occidental (Occidental Petroleum Corporation) membuang 21.000

ton limbah beracun ke dalam Love Canal dekat Air Terjun Niagara, New York. Pada

tahun 1978, penduduk yang tinggal di daerah itu mengeluh karena buangan tersebut

naik ke permukaan tanah. Selain itu, tempat pembuangan limbah beracun itu

membawa akibat timbulnya penyakit kanker, anak-anak lahir dalam keadaan cacat,

keguguran kandungan, sakit pernapasan dan saluran kencing, kelainan sel telur, dan

penyakit akut dan kronis lainnya yang merugikan manusia, tumbuh-tumbuhan dan

hewan.

Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan

dengan Indonesia. Menurut Nabiel Makarim, ketika menjabat sebagai Menteri

Lingkungan hidup RI, mengemukakan bahwa pencemaran lingkungan saat ini

menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, sehingga dugaan semula kasus

pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri semakin berkurang saat krisis

ekonomi, ternyata meleset. Sebaliknya, justru kasus pencemaran menunjukkan

peningkatan. Peningkatan itu terjadi, karena pemerintah dan masyarakat disibukkan

dengan penataan perekonomian, akibatnya pengawasan menjadi berkurang. Situasi

demikian, dimanfaatkan oleh industri membuang limbahnya ke sungai, tanpa ada

pengawasan dari masyarakat dan pemerintah. 8 Contoh, adalah kasus pencemaran

lingkungan di Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya yang

8 Media Indonesia Online, Rabu, 31 Juli 2002.

Page 5 of 30

Page 7: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

selama 20 tahun melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas, membuang

limbah (Lumpur sisa penghancuran batu tambang), akibatnya masyarakat di sekitar

perusahaan menjadi korban, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh

yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu

diidentikan dengan penyakit Minamata. 9 Gejala penyakit itu sebagaimana diungkapkan

oleh peneliti dr. Jein Pangemanan, diawali dengan gatal-gatal dan kejang pada tubuh

penderita, kemudian muncul benjolan di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, atau

payudara. 10 Namun belakangan ini, kasus tentang pencemaran lingkungan tersebut

terjadi tarik-menarik antara pihak yang tidak ingin kasus itu diperpanjang dengan

memasang iklan di media massa televisi swasta nasional bahwa di Teluk Buyat aman

tidak ada pencemaran. Bahkan untuk memperkuat argument itu, mereka menggunakan

referensi WHO (World Health Organization) bahwa pencemaran di Teluk Buyat masih di

bawah ambang batas menurut standar WHO, sehingga ikan-ikan hasil tangkapan para

nelayan setempat aman dikonsumsi yang sebelumnya ketika heboh timbulnya penyakit

aneh (minamata) itu, masyarakat takut mengkonsumsinya. Di lain pihak, berdasarkan

hasil penelitian berbagai kalangan menunjukkan bahwa PT. Newmont Minahasa Raya

telah terbukti mencemari Teluk Buyat. Dengan adanya penyangkalan itu,

pertanyaannya: apakah ada hubungannya dengan permintaan Amerika Serikat melalui

Duta Besarnya untuk Indonesia Ralph L. Boyce agar tersangka Newmont dibebaskan. 11

Tragedi lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan di

Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang

menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga dunia usaha. Bahkan, mereka

yang akan bepergian melalui bandara Juanda-Surabaya, dan harus lewat lokasi

semburan, akan menjadi was-was karena macet, khawatir ditinggalkan pesawat.

Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi 9 Minamata sebuah kota kecil di pantai barat Pulau Kyushu (Jepang Selatan), yang pada tahun 1956 kota itu mendadak terkenal ke seluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal akibat makan ikan yang tercemar limbah merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. Lebih lanjut mengenai hal ini silahkan buka http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/Jendela/971265.htm, diakses 21 Juli 2004. 10 http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/20/074641.htm, diakses 21 Juli 2004. 11 (http://www.hariankomentar.com/arsip/sep28/lf001.html, diakses 17 Oktober 2004) (bandingkan kasus ini dengan tragedi Love Canal sebagaimana telah dikemukakan di atas).

Page 6 of 30

Page 8: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan

terbitnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan

Lumpur Sidoardjo. Hal itu merupakan upaya terjadinya politisasi hukum pidana.

Mengapa demikian, jawabnya karena ada petinggi yang terlibat, kemudian hendak

bersembunyi di balik Perpres tersebut.

Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan

cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di sekitar,

dan karenanya dapat dipertanyakan apakah itu bukan merupakan suatu penghianatan

terhadap bangsa dan Negara. Betapa tidak, korporasi yang seharusnya wajib

memelihara kenyamanan lingkungan, akan tetapi malah sebaliknya: biarkan orang lain

mati asalkan saya yang hidup. Perilaku seperti itu, oleh Edward Alsworth Ross,

disebutnya dengan istilah criminaloid, artinya: pelaku yang menikmati kekebalan atas

dosa-dosa, lebih suka mengorbankan kepentingan umum, dan apabila didakwa atau

dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah tidak bersalah. Bilamana perlu tidak segan-

segan mengeluarkan dana besar untuk menjaga reputasinya.

Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40

Tahun 2007 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, tanggal 16 Agstus 2007) yang mengatur

mengenai Corporate Social Responsibility (CSR), dan ternyata telah menimbulkan dua

pandangan yang saling berlawanan antara yang memujikan atas kebijakan tersebut dan

yang mengkritiknya karena dipandang memberatkan dunia usaha.

Terlepas dari dua pandangan yang berseberangan itu, yang menjadi pertanyaan:

apa sebenarnya yang hendak dibidik oleh pembuat undang-undang sehingga CSR

dimasukan ke dalam ketentuan Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007. Dalam

Penjelasan Umum Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dikemukakan: “Dalam Undang-

undang ini diatur mengenai Tanggug Jawab Sosial dan Lingkungan yang bertujuan

mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas

kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas

setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk

mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan

Page 7 of 30

Page 9: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa

Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya

alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk

melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai Perseroan yang

dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut

dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka Perseroan yang bersangkutan dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Jadi, jika mencermati Penjelasan Umum tersebut, tampak bahwa pembentuk

undang-undang hendak menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan

sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kehendak

untuk menciptakan hubungan yang sedemikian itu, sebenarnya adalah demi

kelangsungan Perseroan itu sendiri, dan masyarakat sekitar merupakan bagian dari

Perseroan, dan sebaliknya. Filosofisnya adalah harmonisasi.

Namun demikian, seperti yang telah saya singgung di atas, ketentuan dalam

Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007, telah banyak menuai kritikan, di antaranya

dari Ketua Umum Kadin Mohamad S. Hidayat, 12 yang mengatakan: CSR adalah

kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam

perundang-undangan formal, seperti ketetiban usaha, pajak atas keuntungan dan

standar lingkungan hidup. Jika hal itu diatur, selain bertentangan dengan prinsip

kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Ketua Umum Kadin

itu, dalam upaya memperkuat argumentasinya, dia membandingkan dengan Negara-

negara Eropa, walaupun secara institusional jauh lebih atang daripada Indonesia, telah

menyatakan bahwa CSR bukan sesuatu yang harus diatur.

Pendapat yang dikemukakan oleh Ketua Kadin tersebut patut dipertanyakan,

apakah kepentingan hukum Negara-negara Eropa yang disebutkan itu sama dengan

Indonesia? Perkembangan legislatif di Indonesia, memang ada kecenderungan segala

12 Hukumonline.com, CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur, 28 Maret 2008,

Page 8 of 30

Page 10: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

seuatu harus ditulis/diatur, kendati kita mengakui nilai-nilai budaya setempat. Karena di

negeri ini, jangankan tidak diatur dalam arti tidak ditulis dalam peraturan perundang-

undangan, yang diatur saja suka dilanggar. Dan, untuk menjamin ketaatan ketentuan

yang diatur itu, diperlukan adanya sanksi.

Sesuai dengan judul makalah ini, maka uraian berikut, saya kemukakan

perkembangan subjek hukum dalam hukum pidana, baik dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP, dalam RUU KUHP 2007, serta komentar

para pakar hukum pidana. Selanjutnya, mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007,

dalam uraian ini saya mendasarkan pada tiga pilar dalam hukum pidana, yaitu: tindak

pidana; kesalahan; dan pemidanaan. Kemudian, mengenai tanggung jawab korporasi

terhadap korban dengan pendekatan konsep daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Paling

akhir, adalah penutup.

B. PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-

perseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum dipandang

sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, baik

dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955

tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 15 Tahun

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun

2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi

undang-undang berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Pemberantasan

Page 9 of 30

Page 11: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Tindak Pidana Terorisme, maupun dalam perundangan administrasi yang bersanksi

pidana (seperti antara lain Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi),

korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana.

Demikian juga halnya dengan Rancangan KUHP, Diterimanya korporasi sebagai

subjek hukum pidana, sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang

cukup pesat dewasa ini, di mana korporasi besar sekali peranannya dalam seluk-beluk

perekonomian negara, apalagi dalam menghadapi era industrialisasi yang saat ini

tengah dikembangkan oleh pemerintah kita. Oleh karena, peranan korporasi yang

begitu besar dalam pertumbuhan perekonomian negara, namun dibalik itu tidak

tertutup kemungkinan adanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di

berbagai bidang. Dan, dalam Penjelasan Umum RUU KUHP 2007 Buku I angka 4 antara

lain dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi

dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana

terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum

pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi

mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,

baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum………Dengan

dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik

sebagai badan hukum mapun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak

pidana dan dapat dipertanggunjawabkan dalam hukum pidana……..”

Adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana, tampaknya

sudah mendunia. Hal itu dibuktikan, antara lain dengan diselenggarakannya konferensi

internasional ke-14 mengenai C iminal Liability of Corporation di Atena dari tanggal 31

Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Di mana, antara lain, Finlandia yang semula tidak

mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, tapi dalam perkembangannya telah

mengakui korporasi sebgai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.

r

Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatalarbelakangi oleh

sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun

pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan

Page 10 of 30

Page 12: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah

mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada

manusia alamiah (natural person) tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tidak

pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.

Menurut Jan Remmelink, 13 memang pada awalnya pembuat undang-undang

berpandangan bahwa hanya manusia (orang perorangan/individu) yang dapat menjadi

subjek hukum pidana, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek hukum pidana.

Adanya pandangan seperti itu dapat ditelusuri dari sejarah perumusan ketentuan Pasal

51 Sr. (Pasal 59 KUHP) terutama dari cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan

frasa hij die, barangsiapa.

Sehubungan dengan itu, Doelder, 14 guru besar pada Jurusan Hukum Pidana dan

Kriminologi, Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda bahwa Hukum Pidana yang ada

sejak tahun 1886 dan ditulis dengan ide bahwa hanya orang (natural persons) yang

dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.

Pandangan Doelder tersebut sejalan dengan Jonkers 15 yang mengutif putusan

Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1925 menulis bahwa menurut asas-asas hukum

pidana kita (Belanda, pen.) badan-badan hukum tidak dapat melakukan delik.

Alasannya, karena hukum pidana kita didasarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang

hanya ditujukan terhadap pribadi seorang (individu), sehingga ketentuan mengenai

pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana kemerdekaan.

Demikian juga dengan pidana denda, sebab menurut sistem pidana Hindia Belanda,

korporasi tidak dapat dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda

dapat memilih untuk menjalani pidana kurungan pengganti selain membayar denda.

Menurut Jonkers, meskipun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam

hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya korporasi sering melakukan tindak

13 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 97. 14 Hans de Doelder, 1996, Criminal Liability of Corporations - Netherlands, in Hans de Doelder and Klaus Tiedemann (ED), Criminal Liability of Corporations, XIVth International Congress of Comparative Law, The Hague, Kluwer Law International, The Netherlands, 1996, hal. 289-290. 15 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, 289-290.

Page 11 of 30

Page 13: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

pidana. Namun, di Belanda telah terjadi perkembangan, pada tahun 1976 pembentuk

undang-undang memutuskan untuk merubah Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana berdasarkan Undang-undang tanggal 23 Juni 1976, Lembaran Negara No. 377.

Menurut ketentuan yang baru ini, semua tindak pidana dapat dilakukan oleh orang dan

korporasi.

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 51 itu telah ada sejak tahun 1951 dalam

hukum pidana ekonomi (Pasal 15 Eeconomic Penal Code). Akan tetapi, ketentuan pasal

dalam bidang ekonomi tersebut telah dicabut pada tahun 1976, dan itu telah

disebutkan dalam Pasal 51 yang baru, yang berarti telah mengakhiri doktrin fiksi.

Perundang-undangan yang baru itu, berlaku untuk hukum pidana umum dan hukum

pidana ekonomi, yaitu berdasarkan ide bahwa korporasi merupakan badan hukum dan

dapat melakukan tindak pidana. Selanjutnya, suatu hal yang perlu dikemukakan adalah

yang berkaitan dengan jenis pelaku yang terdiri dari orang dan korporasi itu.

Pengertian korporasi yang digunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Belanda berbeda dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, juga badan

hukum yang bukan berbentuk badan hukum dipandang sebagai korporasi dan dapat

dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 51.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN

KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

Menurut Packer 16 bahwa dasar rasional dari hukum pidana bersandar pada tiga

konsep, yaitu: tindak pidana, kesalahan, dan pemidanaan. Lebih lanjut Packer 17

bahwa ketiga konsep tersebut melambangkan tiga permasalahan pokok dalam hukum

pidana, yaitu: 1) perbuatan apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan; 2)

ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat apa yang harus dibuat sebelum seseorang

16 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 17. The rationale of the criminal law rests on three concepts: offense; guilt; and punishment. 17 Herbert L. Packer, Ibid. These three concepts symbolize the three basic problems of substance in the criminal law: 1) what conduct should be designated as criminal; 2) what determinations must be made before aperson can be found to have committed a criminal offense; 3) what should be done with persons who are found to have committed criminal offenses.

Page 12 of 30

Page 14: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana; 3) apa yang seharusnya dilakukan

terhadap seseorang yang telah diketahui melakukan tindak pidana.

Ketiga pilar tersebut, merupakan titik-tolak untuk mengkaji pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam hubungannya dengan pengabaian kewajiban sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi: perbuatan pidana;

pertanggungjawaban pidana korporasi; dan pidana dan pemidanaan.

a. Pebuatan Pidana

Bab V Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang mengatur mengenai Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan. Dan, berdasarkan ketentuan Pasal 74-nya ditentukan:

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan.

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai

biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan

kepatutan dan kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajian sebagaimana diaksud pada ayat (1)

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, maka yang menjadi pertanyaan:

apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial

dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana? Untuk mejawab pertanyaan ini,

perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut :18

a. Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,

18 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 44-48.

Page 13 of 30

Page 15: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

sehubungan dengan itu pembangunan hukum pidana bertujuan untuk

menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus

merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang

mendatangkan kerugian atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja

aparat penegak hukum.

Apabila memperhatikan criteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan

adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari

perbuatan tersebut. Karena, mengingat para korban kejahatan korporasi seringkali tidak

merasa bahwa mereka telah menjadi korban, dan itu berbeda dengan korban kejahatan

konvensinal. Apalagi, upaya untuk memperjuangkan kepentingan korban telah

membutuhkan perjalanan yang panjang. Dan, sebagaimana ditulis oleh Sahetapy 19

bahwa perjalanan sejarah yang bertalian dengan permasalahan korban membutuhkan

waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar

dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada

tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power. Lebih lanjut Sahetapy menulis :

Paradigma viktimologi tidak hanya bertalian dengan kejahatan dalam arti klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana. Abuse o power, jelas mengindikasikan, bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasaan yang sah. Itu berarti, bahwa memiliki kekuasaan tidak dengan sendirinya berarti memiliki kebenaran. Jadi, rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kelompok yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral.

f

Penyalahgunaan kekuasaan, berlanjut kepada penyalahgunaan kekuasaan di

bidang ekonomi (economic abuse of power), yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam

Kongress PBB ke-6 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,

yang diselenggarakan di Caracas, Venezuela tahun 1980. Dalam salah satu

19 Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hal. v.

Page 14 of 30

Page 16: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

pertimbangannya yang tercantum dalam Resolusinya yang ke-7 tentang Prevention of

the Abuse of Power, dinyatakan 20 bahwa mengingat penyalahgunaan kekuasaan

ekonomi dan politik menyebabkan kerugian materi dan sosial yang besar, yaitu merusak

pembangunan ekonomi dan sosial serta mengganggu kualitas hidup rakyat dunia secara

keseluruhan. Dengan demikian, korban dalam paradigma baru bukan saja korban dalam

arti klasik, melainkan juga korban dalam konteks dimensi lain, yang tidak lagi bersifat

individual tetapi sifatnya abstrak (abstract victims), termasuk korban dari perusahaan

yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dan, perlindungan terhadap

korban kejahatan korporasi, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan alasan itu, perusahaan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa

tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang

dapat dipidana. Di samping itu juga patut dipertimbangkan untuk menggunakan hukum

pidana, yaitu sebagaimana ditulis oleh Clinard dan Yeager: 21

1. tingkat kerugian masyarakat; 2. tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi; 3. lamanya pelanggaran; 4. frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi; 5. bukti adanya maksud melakukan kejahatan; 6. bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan; 7. banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi yang

telah diungkap oleh media; 8. precedent dalam hukum; 9. sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi; 10. potensi pencegahan atau penangkalan; 11. adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.

20 The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Caracas from 25 August to 5 September 1980, Resolution 7, Prevention of the abuse of power: considering that abuse of economic and political power cause great material and social harm, undermine economic and social development and impair the quality of life of people throughout the world, hal 10. 21 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980, hal. 93. Berdasarkan hasil wawancara mereka dengan aparat penegak hukum federal di Washington D.C. menyatakan : 1) the degree of loss to the public; 2) the level of complicity by high corporate managers; 3) the duration of the violation; 4) the frequency of the violation by the corporation; 5) evidence of intent to violate; 6) evidence of extortion, as in bribery cases; 7) the degree of notoriety engendered by the media; 8) precedent in law; 9) the history of serious violations by the corporation; 10) deterrence potential; 11) the degree of cooperation evinced by the corporation.

Page 15 of 30

Page 17: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Memang pada umumnya penggunaan hukum perdata dan hukum administrasi

merupakan primum remedium, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Akan

tetapi, dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan

pidana? Atas pertanyaan ini Roeslan Saleh 22 menulis bahwa bertanggung jawab atas

sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara syah dapat dikenai pidana

karena perbuatan itu. Lebih lanjut dikemukakan, pidana itu dapat dikenakan secara

syah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum

tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain,

tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum tersebut.

Namun demikian, menurut Moeljatno 23 bahwa dalam pengertian perbuatan

pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya

menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai

kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana

yang diatur (diancamkan) dalam undang-undang (pidana) sangat tergantung pada

apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan (asas: tiada pidana

tanpa kesalahan). Pandangan Moeljatno ini sesuai dengan Rupert Cross dan P. Asterley

Jones yang menulis 24 bahwa prinsip (asas) pokok hukum pidana diwujudkan dalam

pepatah actus non acit reum, nisi mens sit rea, di mana suatu perbuatan yang

dilakukan tidak menjadikan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan itu kecuali

kalau yang bersangkutan mempunyai kesalahan.

f

Itu berarti, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana,

karena dengan asas ini diletakan sendi-sendi kemanusiaan berupa perlindungan hukum

terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu dapat

dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan

22 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 34. 23 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, 1980, hal. 104. 24 Rupert Cross dan P. Asterley Jones, An Introduction to Criminal Law, Seventh Edition, Butterworth & Co, London, 1972, hal. 35.

Page 16 of 30

Page 18: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

strict liability, dan vicarious liability. Strict liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (1) RUU

tentang KUHP 2007 bahwa: “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat

menentukan seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-

unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Penjelasan

pasal ini menegaskan: “Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian terhadap asas

tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku bagi semua tindak pidana,

melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana

hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini

kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi

diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas pertanggugjawaban mutlak (strict liability).

Asas ini diterapkan antara lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan oleh

seseorang dalam menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian memadai

(expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility) dan kesejawatan

(corporateness) yang didukung oleh semua kode etik”. 25

Menurut Packer, 26 issue strict liability atau pertanggungjawaban tanpa

kesalahan, merupakan suatu pengembangan yang penting dalam hukum pidana dalam

abad ini, baik melalui pengundangan oleh pembentuk undang-undang atau melalui

interpretasi oleh pengadilan untuk melarang perbuatan tertentu tanpa memperhatikan

kesalahan seseorang. Demikian juga dengan Thomas Morawetz menulis, 27 kita telah

25 Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur apa yan disebut dengan Tanggung Jawab Mutlak, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang tersebut : (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. 26 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal. 13. 27 Thomas Morawetz, The Philosophy of Law, An Introduction, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, 1980, hal.209.

Page 17 of 30

Page 19: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

banyak menyaksikan jenis-jenis tindak pidana yang dipertanggungjawabkan secara

strict dalam dua puluh hingga tiga puluh tahun terakhir ini. Adapun alasan pembenar

pembuat undang-undang memasukan doktrin strict liability ke dalam perundang-

undangan pidana, karena perbuatan-perbuatan tertentu dapat menimbulkan bahaya

potensial yang serius terhadap keselamatan publik.

Sedangkan vicarious liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (2) RUU tentang KUHP

2007 bahwa: “Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, setiap orang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Penjelasan

pasal ini menegaskan: “Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana

tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas

regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang

patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan

untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam

kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana

ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan

yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini

penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas

oleh Undang-Undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban

yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas “vicarious liability ”. 28

Dalam konteks vicarious liabili y tersebut, bahwa dalam hukum pidana dapat

digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam

kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran atau sekurang-

kurangnya ada unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Contoh dari bentuk

pertanggungjawaban ini, adalah hubungan antara karyawan dan pimpinan (employer-

employee situation).

t

29 Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

yang mengabaikan tanggungn jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum

dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan:

28 Vicarious liability berarti pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (liability for the acts of another person). Lihat Russel Heaton, Criminal Law, Cases & Naterials, Second Edition, Blackstone Press Limited, London, 1998, hal. 404. 29 Peter Gillies, op.cit., hal 107.

Page 18 of 30

Page 20: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana? Pertanyaan ini

mengemuka, karena dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak secara

tegas menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal terebut, hanya menunjuk kepada

ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dalam Pasal 74 ayat (1)

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 menentukan: “Perseroan yang menjalankan

kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Linkungan”, Dan, sesuai dengan Penjelasan

Pasal 74 ayat (3) Undang-undang No. 40 Tahun 2007, bahwa: “Yang dimaksud dengan

“dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah

dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

terkait’, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang dekat, di antaranya

adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, tanggal 19 September 1997).

Namun demikian yang menjadi pertanyaan: apakah Undang-undang No. 23

Tahun 1997 telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana?

Dalam Pasal 1 Angka 24 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dinyatakan: “0rang adalah

orang perorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Selanjutnya,

bagaimana kriteria tentang siapa saja yang dapat dipertanggungawabkan secara

pidana? Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 menentuan :

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini 30 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan 31 baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

30 Bab IX tentang Ketentuan Pidana. 31 Pasal 47 Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Page 19 of 30

Page 21: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Dengan dimkian, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 bahwa

korporasi dapat dipertanggungjawakan secara pidana. Ini berarti, perusahaan yang

mengabaikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal

74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan

ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997.

3. Pidana dan Pemidanaan

Salah satu dari dua tema sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan hukum pidana, adalah yang berkaitan dengan penentuan sanksi

apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana. 32 Masalah

ini penting dikemukakan, karena sebagaimana Rekomendasi Economic and Social

Council 33 yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang

32 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 32. 33 United Nations, Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992, Addendum: Report of the Ad Hoc Expert Group Meeting on Strategies to Deal with Transnational Crime, Smolenice, 27-31 Mei 1991, Recommendations No. 2, hal. 3: In view of the political and economic changes taking place in many countries, including the newly emerging “market economies”, new laws and regulations should be developed so as to be able to anticipate and respond to changing situations and emerging economic realities. Exchanges of information on, and experiences with, economic crime and its control by criminal sanctions

Page 20 of 30

Page 22: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum

dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon

situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus

berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control

terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus

diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana.

Sehubungan dengan itu, kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang

No. 40 Tahun 2007, di mana dalam Pasal 74 tersebut tidak menentukan sendiri

mengenai sanksi pidananya, akan tetapi menunjuk kepada ketentuan peraturan

perundang-undangan yang terkait, maka apabila mengacu kepada ketenuan Pasal 45

Undang-undang No. 23 Tahun 1997: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan,

yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, suatu hal yang patut dipertanyakan:

apakah ancaman pidana denda yang diperberat itu akan dapat dirasakan sebagai sanksi

atau hukuman bagi suatu korporasi? Memang sebagaimana yang ditulis oleh

Balakrishnan 34 bahwa pidana denda itu sesuai diterapkan terhadap perusahaan atau

korporasi, karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara, akan tetapi hal itu saja

(denda) masih belum cukup. Karena, sanksi yang berupa pidana denda tidak akan

pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman

hanyalah di atas kertas. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan

kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan

oleh negara.

Pandangan Balakrishnan tersebut, bahwa “perlu ada ketentuan khusus, seperti

menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola

korporasi itu dilakukan oleh Negara,” sebenarnya dalam Pasal 47 Undang-undang No.

23 Tahun 1997 telah diatur, bahwa: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud

should be intensified. Due consideration should be given to regulatory mechanisms as essential complements to penal sanctions. 34 Balakrishnan, Reform of Criminal in India Some Aspects, Dalam Resource Material Series No. 6, UNAFEI, Fuchu, Tokyo, Japan, Oktober 1973, hal. 48.

Page 21 of 30

Page 23: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku

tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Namun demikian, ketentuan yang diaur baik dalam Pasal 45 maupun Pasal 47

Undang-undang No. 23 Tahun 1997, arahnya ditujukan kepada pelaku (korporasi), dan

tidak ada ketentuan yang mewajibkan korporasi untuk bertanggung jawab kepada

korban, sehingga apabila dikaitkan dengan perusahaan yang tidak melaksanakan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-

undang No. 40 Tahun 2007 akan menjadi tidak berarti.

Kemudian, dalam Pasal 15 huruf b Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, tanggal 26 April 2007),

menentukan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab

sosial perusahaan”. Selanjutnya, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang No 25 Tahun

2007 ditentukan: “Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15

dapat dikenai sanksi administrasi berupa :

a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal”.

Sanksi yang diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007 sama dengan

ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997, masih diarahkan kepada pelaku.

Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas

penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan

berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati.

Page 22 of 30

Page 24: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Kelemahan-kelemahan itu, sesuai dengan yang pernah dikemukakan oleh Dr.

Barry A.K. Rider 35 berdasarkan pengalamannya, bahwa upaya memerangi kejahatan

ekonomi masih banyak menemui kendala, di antaranya peraturan yang ada tidak cukup

sempurna (inadequa e and badly drafted laws) dan mekanisme untuk mendeteksi

kejahatan ekonomi, selain kurang baik juga tidak dapat dipercaya (inadequate and

unreliable mechanisms for detection), tidak tersedianya sumberdaya manusia yang

professional dalam melakukan penyidikan dan penuntutan (deficient and unspecialized

investigatory prosecutionary resources), ketidakmampuan pengadilan untuk

menafsirkan dan mengevaluasi fakta (inability of the tribunal to interpret competently

and evaluate evidence). kurang sesuainya sanksi dan hukuman (inappropriate sanctions

and penal ies), dan kendala lainnya adalah adanya korupsi (corruption).

t

t

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa produk perundang-undangan di

Indonesia secara kuantitas oke, tetapi secara kualitas masih memprihatinkan.

D. TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN

Permasalahan hak korban kejahatan dan penderitaan manusia tampaknya sudah

menjadi isu utama perhatian masyarakat internasional, yaitu sehubungan dengan

diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB

mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada

Kongres PBB ke VII yang akan diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas

permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional,

seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyalahgunaan

kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan

eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongan-

golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas, 36 dan

sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak

35 Barry A.K. Rider, Combating Internatonal Comercial Crime a Commonwealth Perspective, Disampaikan pada Seminar tentang Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993, hal. 91. 36 Paul Zvonimir Separovic, Victimology: Studies of Victims, Zagreb: Samobor-Novaki bb Pravni Fakultet, 1985, hal. 43, 425-426.

Page 23 of 30

Page 25: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan

pidana.

Apabila memperhatikan produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya

masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual

victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut.

Ambil contoh, selain yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, dalam Pasal 18 ayat (1)-nya telah diatur

mengenai pidana tambahan, namun ancaman pidananya hanya berorientasi kepada

perlindungan calon korban, sementara untuk korban langsung masih belum diatur.

Lengkapnya ketentuan dari Pasal 18 ayat (1) tersebut: Selain pidana tambahan

sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana

tambahan adalah:

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begipun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001ditentukan: Jika

terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan

dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut, seolah hendak memberikan

perlindungan langsung terhadap korban, akan tetapi harapan itu pupus sehubungan

Page 24 of 30

Page 26: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (3)-nya yang menentukan: Dalam hal

terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan

pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya

sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah

ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan pidana penjara yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut

merupakan suatu hal tidak mungkin apabila dijatuhkan terhadap korporasi. Padahal

dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ditentukan: Setiap orang

adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dengan demikian, subjek hukum

pidana dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 di samping orang perseorangan, juga korporasi. Ini

menunjukkan, bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dan tidak konsisten

dalam merumuskan bunyi pasal.

Jika pada Pasal 18 di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur perlindungan

terhadap korban aktual, maka demikian juga dengan Undang-undang No. 21 Tahun

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaangan Orang (Lembaran Negara

Tahun 2007 Nomor 58), tanggal 19 April 2007. Hal itu dapat dibuktikan sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 50-nya, yang pada intinya menentukan sebagai berikut :

(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka korban atau ahli warisnya memberitahukan hal itu kepada pengadilan.

(2) Selanjutnya pengadilan memberikan surat peringatan kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajibannya.

(3) Jika surat peringatan tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, maka pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta ersebut untuk pembayaran restitusi.

(4) Kemudian, jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Dengan adanya ketentuan Pasal 50 ayat (4) ini, menunjukkan kurang cermatnya

pembentuk Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Page 25 of 30

Page 27: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Orang, karena jika pelakunya adalah korporasi, maka ketentuan ini tidak berlaku untuk

korpoasi. Padahal dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tersebut

ditentukan: Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak

memberoleh restitusi. Di samping itu, dalam Pasal 1 angka 4 ditentukan: Setiap orang

adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana pedagangan

orang. Dengan demikian, pemikiran pembentuk Undang-undang yang terimplementasi

dalam Pasal 50 ayat (4) hanya tertuju kepada orang perseorangan sebagai pelaku

tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan kenyataan demikian, maka pandangan mono-dualistik dalam hukum

pidana, yang menurut Barda Nawawi Arief 37 biasa dikenal dengan istilah Daad-dader

Strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari perbuatan

(daad) dan juga segi-segi subjektif dari orang atau pembuat (dader). Karena itu, dalam

konsep (RUU tentang KUHP. pen.) bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok,

yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak

pidana, sehingga syarat pemidanaannya bertolak dari dua pilar yang sangat

fundamental di dalam hukum pidana, yaitu azas legalitas yang merupakan azas

kemasyarakatan dan azas kesalahan/azas culpabilitas yang merupakan azas

kemanusiaan. Dan, menurut Muladi 38 model itu merupakan model yang realistik,

karena memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana,

yaitu meliputi kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,

kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan. Model yang

bertumpu pada konsep Daad-dader Strafrecht itu, oleh Muladi disebut sebagai Model

Keseimbangan Kepentingan.

Namun demikian, pandangan tersebut yang memasukkan kepentingan korban di

dalamnya, menurut hemat saya sebenarnya baru pada tataran perlindungan terhadap

calon korban (potential victims), bukan pada korban aktual, sehingga sifatnya masih

37 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 107-108, 98-99. 38 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal 5.

Page 26 of 30

Page 28: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

berat sebelah. Penamaan yang memperluas makna dari konsep Daad-dade -Strafrecht

tersebut, tidak secara otomatis dapat mengubah atau menambah makna yang

sebenarnya tanpa ditopang dengan pengembangan konsepnya. Untuk itu, konsep

Daad-dader-Strafrecht seharusnya ditambahkan dengan aspek korban (slachtoffer),

sehingga rumusannya menjadi: Daad-dade -slachtoffer-Strafrecht. Penambahan aspek

korban itu, sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menghendaki

adanya tanggung jawab pelaku terhadap korbannya. Jika tidak, dikhawatirkan timbul

kesan bahwa hukum pidana lebih memanjakan pelaku kejahatan ketimbang korban.

r

r

Wujud dari tanggung jawab tersebut, adalah berupa pemberian ganti kerugian

(restitusi) dari pelaku kepada korban. Menurut Jennifer J. Llewellyn dan Robert

Howse,39 restitusi sebagai sebuah konsep common law secara garis besar merupakan

ide bahwa keuntungan atau manfaat yang diperoleh atau dinikmati dengan cara yang

tidak benar harus dikembalikan. Kekuatan atau dasar pembenar dari restitusi tersebut,

karena lebih dipokuskan pada si penderita atau korban kejahatan. Dengan demikian,

pokusnya pada pengembalian kerugian kepada korban. Ini berarti, dengan restitusi

telah menempatkan korban nyata (actual sufferer) pada pusat perhatian dari suatu

upaya untuk memberikan yang terbaik bagi korban.

Konsep yang mewajibkan pelaku untuk memberikan ganti kerugian kepada

korban tindak pidana, sebenarnya bukan hal baru, karena apabila dilacak kepada

sejarah ribuan rahun yang lalu, masyarakat sudah terbiasa dengan istilah utang garam

bayar garam, artinya korban dapat menentukan cara-cara (ganti kerugian) yang harus

dilakukan oleh pelaku akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban.

Ganti kerugian tersebut, meliputi tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga tuntutan

tambahan lainnya seperti permintaan maaf. Dalam perkembangannya, negara atau

pemerintah mengambil alih tanggung jawab dalam penyelesaian masalah kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku kepada korban, sehingga kejahatan tidak lagi dianggap

sebagai penyerangan terhadap korban, melainkan dianggap sebagai penyerangan

terhadap negara. Akan tetapi, dalam banyak hal, restitusi telah dilupakan. Padahal,

39 http://www.icc.gc.ca

Page 27 of 30

Page 29: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

sebelumnya hal itu merupakan kelaziman bagi masyarakat primitive dalam

menyelesaikan kasus-kasus kejahatan antara pelaku dan korban.

Karena itu, sebagaimana yang ditulis oleh Schafer 40 pada tahun 1847 sudah

dirancang upaya-upaya perbaikan kondisi korban, yang kemudian diikuti dengan

beberapa kongres internasioal untuk lebih memantapkan perhatian terhadap hak-hak

korban kejahatan. Selanjutnya, pada International Prison Congress yang diadakan di

Stockholm tahun 1878, Sir George Arney, Ketua Pengadilan New Zealand, dan William

Tallack mengusulkan kembali kepada praktik-praktik pada masa lalu, dan ketika

International Prison Congress yang diadakan di Roma pada tahun 1885, Raffaele

Garofalo mengemukakan dan menulis bahwa perbaikan kondisi korban berupa

memberikan ganti rugi merupakan persoalan keadilan dan jaminan sosial.

Permasalaan-permasalahan pemberian ganti kerugian kepada korban, telah

didiskusikan secara mendalam pada International Prison Congress yang diadakan di

Paris tahun 1895. Pada kongres itu, semua pihak telah menyadari bahwa hukum

modern masih lemah dalam memberikan perlindungan kepada korban. Karena itu, para

anggota kongres mengharapkan agar hukum di negara-negara lebih memperhatikan

korban daripada pelaku.

Kendati pembicaraan itu arahnya pada perlindungan korban kejahatan

konvensional, akan tetapi ide-idenya perlu ditransfer kepada upaya perlindungan

korban kejahatan korporasi. Karena itu ke depan, kesenjangan perlakukan hukum

pidana antara pelaku dan korban sebagaimana yang sudah terimplementasi dalam

perundang-undangan pidana positif Indonesia tidak perlu terjadi lagi, yaitu dengan

melakukan rekonstruksi paradigma, atau dengan kata lain, bahwa kaidah hukum itu

berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya (dalam arti kejahatannya

juga berkembang), sehingga akan dapat memberikan kualitas atau mutu politik hukum

pidana sesuai dengan issu yang berkembang, khususnya dalam konteks perlindungan

terhadap korban yang seimbang antara potential victims dan actual victims. Karena saat

40 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal: A Study in Functional Responsibility, (New York, 1968), hal. 23-25.

Page 28 of 30

Page 30: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

ini perhatian pembentuk undang-undang lebih berorientasi kepada para calon korban

(potential victims).

Dengan demikian, bila mengkaji beberapa undang-undang sebagaimana telah

dikemukakan, seolah undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap korban

langsung, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ketentuan yang dirumuskan

dalam pasal-pasalnya masih belum sempurna atau belum selesai dalam merumuskan

perlindungan dimaksud. Karenanya dapat dikatakan, bahwa kebijakan penal yang

tertuang dalam hukum pidana positif masih belum secara sungguh-sungguh

memperhatikan korban langsung, yaitu dalam hal pemberian restitusi terhadap korban

sebagai wujud dari tanggung jawab pelaku kejahatan terhadap korban.

Kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, pada

dasarnya konsep restitusi dapat diterapkan, yaitu jika perusahaan yang menjalankan

kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, ternyata terjadi

perusakan atau pencemaran lingkungan, maka tanggung jawab itu tidak cukup dengan

hanya memulihkan keadaan lingkungan ke keadaan semula, tetapi juga tanggung

jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab itu sebenarnya merupakan

bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak

semata ditujukan kepada masyarakat yang telah dirugikan, akan tetapi pada saat yang

sama juga membantu harmonisasi antara perusahaan dan masyarakat sekitar.

Karena itu, konsep charity atau kedermawanan dalam konteks Corporate Social

Responsibility tersebut, sudah tidak relevan, karena selain tidak ada kepastian hukum

bagi masyarakat, juga seringkali dipakai sebagai alasan oleh perusahaan bahwa kami

tidak bisa membantu masyarakat karena dana yang telah kami siapkan telah diambil

oleh “petinggi” di daerah (ini salah satu contoh nyata).

E. PENUTUP

Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan

pengabaian atas kewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan

sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya

Page 29 of 30

Page 31: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari

perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban.

Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada

perlindungan masyarakat (korban poensal), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi.

Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari

perbuatan korporasi masih belum memadai.

Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada

perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang

akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin

meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap

korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian

(restitusi) kepada korban. Dan, konsep daad-dader-slachtoffer-Strafrecht sudah

seharusnya terimplementasi dalam perundang-undangan pidana.

Jember, 2 Mei 2008

Wassalam,

M. Arief Amrullah

Page 30 of 30

Page 32: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASIDisampaikan dalam Seminar Nasional tentangTanggung Jawab Sosial Perusahaan

(Corporate Social Responsibility/CSR) Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta

bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights,

University of Oslo, Norway. Tempat Hotel Jogjakarta Plaza, Yogyakarta, 6-8 Mei

2008.

Oleh :

M. ARIEF AMRULLAHGuru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember

Page 33: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Lawyer Jakarta

ILUSTRASI GAMBAR

Page 34: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Lawyer Jakarta

Pencemaran oleh industri

Page 35: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Lawyer Jakarta

Iimbah i d t i

Page 36: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian
Page 37: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Lawyer Jakarta

Lumpur Panas LAPINDO

Page 38: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Lumpur Panas LAPINDO

Page 39: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

Masyarakat Protes

Page 40: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN

• Menelusuri perkembangan korporasi mulai dari abad pertengahan hingga abad ini, cukup memberikan informasi untuk mencari hubungan antara pertumbuhan korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi

• Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan pemanpaatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya.

Page 41: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Dewasa ini, Korporasi multinasional telah menunjukkan akumulasi kekayaan besar-besaran, bahkan menurut Barnet dan Muller, aset fisik yang dimiliki oleh korporasi global pada tahun 1974 telah mencapai lebih dari $200 miliar

• Pada tahun 1990 jumlah korporasi tersebut mencaai 37.000

Page 42: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Implikasi dari bisnis dunia yang didominasi oleh korporasi besar tersebut, telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Karena, dapat menentukan pekerjaan bagi banyak orang, makanan, minuman dan pakaian, dan sebagainya

• Di samping itu, suatu korporasi dapat pula mengancam pemerintahan suatu negara di mana korporasi itu beroperasi. Hal itu dilakukan, apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menguntungkan baginya, yaitu: dengan cara memindahkan usahanya ke negara lain yang mempunyai ketentuan hukum yang lemah dalam pengaturan masalah pencemaran lingkungan hidup atau standar keamanan kerja yang lemah, atau upah buruh yang murah. Tindakan eksodus seperti itu biasanya lalu ditakuti

Page 43: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Dalam mengahadapi korporasi yang demikian itu, pemerintah mengalami kesulitan dalam mengaturnya atau mengontrolnya. karena pada umumnya korporasi mempunyai penasihat hukum yang mumpuni, sehingga mampu untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan yang tengah dijalankan yang nantinya diperkirakan akan merugikannya.

• Di samping itu, korporasi juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi control yang dilakukan oleh negara.

• Ini menunjukkan, bahwa betapa besarnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu korporasi

Page 44: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

Bagaimana dengan Indonesia?

• Akhir-akhir ini, bukan saja jumlahnya yang semakin meningkat melainkan munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena disertai dengan meningkatnya diversifikasi di bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, melalui usaha bersama di antara perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya korporasi multinasional dan transnasional

Page 45: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Dampak dari pertumbuhan tersebut, adalah munculnya berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Sebagai contoh, antara lain: pencemaran lingkungan di Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga mereka yang akan bepergian dan harus lewat lokasi semburan, akan menjadi was-was.

• Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan terbitnya Peratran Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo. Hal itu merupakan upaya terjadinya Politisasi Hukum Pidana. Mengapa demikian, jawabnya karena ada yang terlibat, kemudian hendak bersembunyi di balik Perpres tersebut

Page 46: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Perilaku seperti itu, oleh Edward Alsworth Ross, disebutnya dengan istilah criminaloid, artinya: pelaku yang menikmati kekebalan atas dosa-dosa, lebih suka mengorbankan kepentingan umum, dan apabila didakwa atau dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah tidak bersalah. Bilamana perlu tidak segan-segan mengeluarkan dana besar untuk menjaga reputasinya.

Page 47: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENDAHULUAN (lanjutan)

• Kemudian, bagaimana dengan adanya ketentuan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, tanggal 16 Agstus 2007) yang mengatur mengenai Corporate Social Responsibility (CSR),

• Dan, ternyata telah menimbulkan dua pandangan yang saling berlawanan antara yang memujikan dan yang berkeberatan

Page 48: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

JEDA

Page 49: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA

• Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-perseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum dipandang sebagai subjek hukum pidana.

• Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 maupun dalam perundangan administrasi yang bersanksi pidana (seperti antara lain Undang-undang No. 23 Tahun 1997 korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana.

Page 50: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA(lanjutan)

• Bahkan dalam RUU KUHP 2007 ataupun dalam RUU KUHP sebelumnya, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana.

Page 51: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

JEDA

Page 52: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-

UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

Bertolak dari tiga pilar dalam hukum pidana

• perbuatan pidana; • pertanggungjawaban pidana; dan • pidana dan pemidanaan.

Page 53: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40

TAHUN 2007(lanjutan)

Perbuatan pidana

• Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, yang menjadi pertanyaan: apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana?

Page 54: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Untuk mejawab pertanyaan itu, perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut :

• Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan itu pembangunan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

• Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat.

• Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.

• Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja aparat penegak hukum.

Page 55: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

• Apabila memperhatikan criteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut

• Demikian juga pertimbangan yang perlu diambil :a. tingkat kerugian masyarakat;b. tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi;c. lamanya pelanggaran;d. frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi;e. bukti adanya maksud melakukan kejahatan;f. bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan;g. banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh

korporasi yang telah diungkap oleh media;h. sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi;i. potensi pencegahan atau penangkalan;j. adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh

korporasi.

Page 56: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

• Dengan alasan itu, perusahaan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Page 57: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pertanggungjawaban Pidana

• Bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara syah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu

• Namun demikia, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur (diancamkan) dalam undang-undang (pidana) sangat tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan

Page 58: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pertanggungjawaban Pidana

• Kendati, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, namun dalam hal-hal tertentu dapat dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan strict liability, dan vicarious liability.

Page 59: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pertanggungjawaban Pidana

• Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang mengabaikan tanggungn jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan: apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana?

• Masalahnya, Pasal 74 tersebut tidak secara tegas menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal itu hanya menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dekat.

Page 60: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pertanggungjawaban Pidana

• Undang-undang yang dekat adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1997.

• Pertanyaan: apakah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana?

• Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka korporasi dapat dipertanggungjawakan secara pidana. Ini berarti, perusahaan yang mengabaikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 1997.

Page 61: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pidana dan Pemidanaan

• Pasal 45 Undang-undang No. 23 Tahun 1997: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.

• Pertanyaannya: apakah ancaman pidana denda yang diperberat itu akan dapat dirasakan sebagai sanksi atau hukuman bagi suatu korporasi? Sanksi yang berupa pidana denda tidak akan pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas.

Page 62: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pidana dan Pemidanaan

• Sanksi yang diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 2007 sama dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997, masih diarahkan kepada pelaku.

• Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati.

• Itu menunjukkan, bahwa produk perundang-undangan di Indonesia secara kuantitas oke, tetapi secara kualitas masih memprihatinkan.

Page 63: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pidana dan Pemidanaan

• Memang dalam Pasal 47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah diatur, bahwa: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

• perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

• penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau• perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau• mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;

dan/atau• meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau• menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama

tiga tahun.

Page 64: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007

(lanjutan)

Pidana dan Pemidanaan

• Akan tetapi, misalnya sanksi yang menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. Namun, bagaimana peaksanaannya, tidak ada ketentuan lebih lanjut.

Page 65: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

JEDA

Page 66: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN

• Wujud dari tanggung jawab tersebut, adalah berupa pemberian ganti kerugian (restitusi) dari pelaku kepada korban

Page 67: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN(lanjutan)

• Produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut

• Ke depan, konsep Daad-dader-Strafrecht seharusnya ditambahkan dengan aspek korban (slachtoffer), sehingga rumusannya menjadi: Daad-dader-slachtoffer-Strafrecht.

Page 68: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENUTUP

• Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan pengabaian atas kewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban.

• Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat (korban poensal), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi. Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari perbuatan korporasi masih belum memadai.

• Meskipun beberapa Undang-undang telah mengatur adanya restitusi, tetapi tidak tustas, sehingga hak untuk

Page 69: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

PENUTUP (lanjutan)

• Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian (restitusi) kepada korban. Dan, konsep daad-dader-slachtoffer-Strafrecht sudah seharusnya terimplementasi dalam perundang-undangan pidana.

Page 70: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

KITA TENTUNYA TIDAK INGIN MEMBIARKAN TETANGGA KITA YANG SATU MELIMPAH RUAH,

TETAPI TETANGGA SEBELAH KONDISINYA SEPERTI INI

Page 71: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

DEMIKIAN YANG DAPAT SAYA SAMPAIKAN, SEMOGA

BERMANFAAT

TERIMA KASIH

Page 72: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

TRANSNATIONAL CORPORATION

(TNCs)

Page 73: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

SEJARAH DOMINASI DAN EKSPLOITASI MANUSIA ATAS MANUSIA

PROSES SEJARAH DOMINASI1. FASE PERTAMA: adalah periode KOLONIALISME, yakni

perkembangan kapitalisme di Eropa yang menharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui KOLONIALISME proses dominasi manusia telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun

2. FASE KEDUA: dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme, ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, namun dominasi negara-negara bekas penjajah tetap dipertahankan terhadap bekas koloni mereka melalui teori dan perubahan sosial mereka. Dalam era ini teori pebangunan atau paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi yang direkayasa menjadi paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga.

3. FASE KETIGA: adalah GLOBALISASI, terjadi menjelang abad XXI, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan oleh lembaga keuangan global dan disepakati GATT dan Perdagangan Bebas suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itu, era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya.

Page 74: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

GLOBALISASI TNCs

• Perusahaan-perusahaan transnasional berskala raksasa (TNCs) meningkat jumlahnya sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970, dalam tahun 1990 mencaai 37.000 TNCs.

• Selain jumahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian global

• Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa itu, akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan.

Page 75: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

AKTOR-AKTOR PROSES GLOBALISASI

1. Aktor pertama adalah TNCs, yakni perusahaan multinasional

2. Aktor kedua adalah WTO3. Aktor ketiga adalah lembaga keuangan global (IMF

dan Bank Dunia)

1. Ketiga aktor tersebut menetapkan aturan-aturan seputar invetasi, Intellectual Property Rights dan kebijakan intenasional

2. Kewenangan lainnya, mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses penintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global.

Page 76: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

SESUNGGUHNYA GLOBALISASI TIDAK ADA SANGKUT-PAUTNYA DENGAN KESEJAHTERAAN

RAKYAT NEGARA-NEGARA DUNIA KETIGA, MELAIN LEBIH DIDORONG DEMI MOTIF

KEPENTINGAN PERTUMBUHAN DAN AKUMULASI KAPITAL BERSKALA GLOBAL

MERUJUK APA YANG PERNAH DIKATAKAN OLEH BUNG KARNO:

BAHWA MEREKA ITULAH YANG MAKAN NANGKANYA, SEDANGKAN KITA YANG KENA GETAHNYA

Page 77: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

DIA BEBAS MENGUASAI EKONOMI GLOBAL

Page 78: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

RAKYAT DUNIA KETIGA MENJADI SEPERTI INI

Page 79: Makalah Pembicara - pusham.uii.ac.idpusham.uii.ac.id/upl/article/id_arief.pdf · Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan ... penderita, kemudian

KAPAN MENJADI SEPERTI INI