makalah pancasila misoprostol
TRANSCRIPT
TUGAS PANCASILA
ANALISIS KASUS FARMASI DILIHAT DARI SUDUT PANDANG
PANCASILA
“Penyalahgunaan Misoprostol sebagai Obat Tukak Peptik
dalam Praktek Aborsi”
Disusun oleh :
Candida Alma Pratiwi (FA/08494)
Ditha Paramita (FA/08497)
Jessyca Monita G. P. (FA/08512)
Elsa Marisa Pardede (FA/08536)
Dinda Kusuma Hardini (FA/08542)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
1.1.1 Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit,
membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Obat merupakan
senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang
pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.
Menurut SK Menteri Kesehatan. No.25/Kab/B.VII/ 71 tanggal 9 Juni 1971,
yang disebut dengan obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia
atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa obat bagaikan dua sisi koin yang saling
berlawanan tetapi tidak bisa dipisahkan. Apabila obat tersebut digunakan sesuai
dengan aturan pakai maka obat tersebut akan bermanfaat bagi pemakainya, sedangkan
apabila obat tersebut tidak digunakan sesuai dengan semestinya atau disalahgunakan
maka akan merugikan dan dapat menjadi racun bagi si pemakainya.
Dalam hal penggunaan obat sehari-hari, terdapat istilah penyalahgunaan obat
(drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Istilah penyalahgunaan obat
merujuk pada keadaan di mana obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis
atau indikasi tertentu. Sedangkan, istilah pengguna-salahan obat adalah merujuk pada
penggunaan obat secara tidak tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna
memang tidak tahu bagaimana penggunaan obat yang benar. Pada tulisan ini hanya
akan dikaji mengenai penyalahgunaan obat (drug abuse) saja.
Penyalahgunaan obat terjadi secara luas di berbagai belahan dunia. Obat
yang disalahgunakan bukan saja semacam cocain, atau heroin, namun juga obat-obat
yang biasa diresepkan. Penyalahgunaan obat ini terkait erat dengan masalah toleransi,
adiksi atau ketagihan, yang selanjutnya bisa berkembang menjadi ketergantungan obat
(drug dependence). Pengguna umumnya sadar bahwa mereka melakukan kesalahan,
namun mereka sudah tidak dapat menghindarkan diri lagi.
Ada tiga golongan obat yang paling sering disalah-gunakan, yaitu :
- golongan analgesik opiat/narkotik, contohnya adalah codein, oxycodon, morfin
- golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi kecemasan dan gangguan
tidur, contohnya barbiturat (luminal) dan golongan benzodiazepin
(diazepam/valium, klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll)
- golongan stimulan sistem saraf pusat, contohnya dekstroamfetamin, amfetamin,
dll.
Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya menyebabkan
ketergantungan atau kecanduan. Selain itu, ada pula golongan obat lain yang
digunakan dengan memanfaatkan efek sampingnya, bukan berdasarkan indikasi yang
resmi dituliskan. Beberapa contoh diantaranya adalah :
Penggunaan misoprostol, suatu analog prostaglandin untuk mencegah tukak
peptik/gangguan lambung, sering dipakai untuk menggugurkan kandungan karena
bersifat memicu kontraksi rahim.
Penggunaan Profilas (ketotifen), suatu anti histamin yang diindikasikan untuk
profilaksis asma, sering diresepkan untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak
Penggunaan Somadryl untuk “obat kuat” bagi wanita pekerja seks komersial
untuk mendukung pekerjaannya. Obat ini berisi carisoprodol, suatu muscle
relaxant, yang digunakan untuk melemaskan ketegangan otot. Laporan menarik ini
datang dari Denpasar dari seorang sejawat. Menurut informasi, dokter kerap
meresepkan Somadryl, dan yang menebusnya di apotek adalah “germo”nya, dan
ditujukan untuk para PSK agar lebih kuat “bekerja”
Dll.
Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat.
1. Seseorang awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan,
insomnia, dll, yang memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan
obat secara legal dengan resep dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut
menyebabkan toleransi, di mana pasien memerlukan dosis yang semakin
meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Merekapun kemudian akan
meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa berkonsultasi dengan dokter.
Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala putus obat jika pengobatan
dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau ketergantungan terhadap
obat tersebut, sehingga mereka berusaha untuk memperoleh obat-obat tersebut
dengan segala cara.
2. Seseorang memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan rekreasional.
Artinya, sejak awal penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas,
hanya untuk memperoleh efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat
diperoleh dari obat tersebut. Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan
penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang bukan obat diresepkan,
seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol, dll.
3. Seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti
yang telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya
mengikuti saja apa yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang
dapat menyebabkan toleransi dan ketagihan. Penggunaannya juga mungkin
tidak dalam jangka waktu lama yang menyebabkan ketergantungan.
1.1.2 Tujuan Analisis
Seiring dengan perkembangan jaman, nilai-nilai dalam masyarakat
Indonesia sendiri telah banyak mengalami perubahan. Salah satunya adalah
pergaulan remaja yang semakin bebas yang dibarengi dengan bertambahnya
pengetahuan masyarakat tentang obat. Terkadang informasi penggunaan obat
yang didapat oleh masyarakat tidak tepat. Contoh kasus yang memprihatinkan
adalah penyalahgunaan misoprostol. Misoprostol adalah salah satu obat keras
yang untuk mendapatkannya perlu resep dokter. Obat ini digunakan untuk
mengobati tukak lambung yang di kontra indikasikan untuk ibu hamil, karena
dapat menyebabkan keguguran pada janin.Ironisnya, obat dengan kandungan
misoprostol dapat diperoleh mudah di pasaran. Harganya relatif murah dan
penggunaannya juga tergolong mudah. Oleh karena itu, penulis mengangkat
kasus ini sebagai objek analisis lebih lanjut dengan harapan tidak ada lagi
penyalahgunaan obat misoprostol.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa faktor penyebab kasus penyalahgunaan obat ?
2. Bagaimana informasi penyalahgunaan obat ini diperoleh dalam masyarakat?
3. Bagaimana analisis kasus ini menurut pandangan pancasila?
4. Bagaimana analisis kasus ini dalam kefarmasian?
5. Bagaimana peran apoteker dalam kasus ini?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Objek Materi
Objek materi adalah hal atau bahan yang menjadi sasaran suatu ilmu
pengetahuan. Objek materi dalam makalah ini adalah penyalahgunaan misoprostol di
kalangan masyarakat. Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin untuk
mencegah tukak peptik/gangguan lambung, sering dipakai untuk menggugurkan
kandungan karena bersifat memicu kontraksi Rahim. Tablet misoprostol merupakan
salah satu obat penting yang masuk dalam daftar WHO (World Health Organization).
Tablet ini dapat digunakan secara mandiri oleh para perempuan untuk menyelamatkan
hidupnya.
Misoprostol meyebabkan kontraksi pada rahim dan dapat digunakan sebagai
berikut:
Pengguguran kandungan secara aman
Membersihkan sisa-sisa keguguran
Mencegah dan mengobati pendarahan berat setelah melahirkan
Induksi kelahiran
Misoprostol telah banyak dipelajari kegunaannya dalam bidang kesehatan
reproduksi, dan telah direkomendasikan untuk penanganan keguguran (missed and
incomplete miscarriages, the induction of abortion), serta untuk pencegahan dan
perawatan perdarahan pasca melahirkan (postpartum hemorrhage).
Aborsi merupakan salah satu model intervensi kesehatan yang paling umum
di dunia. Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya 42 juta perempuan memilih aborsi
dengan beragam alasan. Aborsi merupakan prosedur kesehatan yang paling umum
dilakukan oleh perempuan di seluruh dunia. Namun, banyak perempuan tidak
memiliki akses terhadap layanan aborsi aman sehingga membahayakan hidup dan
kesehatan mereka.
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan
istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel
sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi spontan / alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma
2. Aborsi buatan / sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan
28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon
ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
3. Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang
dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil
tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang
parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak
tergesa-gesa.
Aborsi tidak aman adalah penyebab utama kematian saat melahirkan. 1 dari
300 perempuan meninggal karena aborsi tidak aman. Secara global, 70.000
perempuan di dunia meninggal sia-sia setiap tahunnnya. Banyak perempuan lain
menderita komplikasi jangka panjang seperti ketidaksuburan dan nyeri kronis.
Informasi mengenai aborsi aman dapat membantu perempuan
menyelamatkan hidup dan kesehatannya, terutama negara-negara dimana misoprostol
mudah diakses. Metode aborsi menggunakan misoprostol terbukti cukup aman dan
efektif. Tingkat keberhasilannya 80-85% jika dilakukan dalam 9 minggu pertama
kehamilan. Metode ini jauh lebih aman dibandingkan mengakhiri kehamilan dengan
aborsi tidak aman.
Aborsi yang dimaksud di atas adalah aborsi medis yakni aborsi akibat
gangguan pada kehamilan. Contohnya, pada ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma
sehingga janin mengalami ketidaksempurnaan fisik yang berakibat pada kematian.
Contoh lain ibu dengan kondisi Rahim yang lemah. Namun pada prakteknya,
misoprostol digunakan bukan untuk aborsi medis saja, tetapi juga aborsi buatan/
sengaja yang dilakukan oleh para remaja akibat seks bebas.
Hal ini sangat bertentangan dengan penggunaan Misoprostol yang disetujui oleh
BPOM (Balai Pengawasan Obat & Makanan) yaitu untuk indikasi pencegahan ulkus
lambung akibat penggunaan non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDS). Selain itu,
misoprostol juga merupakan obat keras yang penggunaannya harus dibawah pengawasan
dokter.
2.2 Objek Formal
Kasus ini dinilai dari sudut pandang pancasila, terkandung 3 nilai pancasila
yang dapat dianalisis
Pertama adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kasus ini,
penyalahgunaan misoprostol untuk aborsi tidak sesuai ajaran setiap agama. Semua
agama tidak mengajarkan untuk dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang dengan
kata lain membunuh. Karena hidup ini adalah pemberian Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini aborsi yang dimaksud adalah aborsi buatan/ sengaja.
Sila kedua perilaku aborsi adalah perilaku yang tidak beradab dan tidak
berperikemanusiaan Karena melanggar norma agama dan norma sosial dalam
menghilangkan sebuah nyawa. Kasus ini juga termasuk kasus pelanggaran HAM,
yaitu hak untuk hidup baik untuk janin maupun untuk ibu dari janin tersebut.
Sila keempat adalah Indonesia merupakan Negara demokrasi dimana
masyarakatnya bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Dalam kasus ini, pengguna
secara sadar menggunakan misoprostol.
Sila kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Dalam kasus ini
perlu dibuat kejelasan hukum yang adil baik untuk tenaga medis yang melegalkan
penggunaan misoprostol juga untuk orang yang menyalahgunakan obat tersebut.
Karena selama ini, tidak ada hukum yang jelas, untuk tenaga medis yang melanggar
sumpah profesi.
2.2.1 Peran apoteker
Mencermati kasus penyalahgunaan obat yang marak terjadi, publik layak
menggugat para praktisi kesehatan profesional. Lebih jauh lagi, peran apoteker
sebagai profesi dengan cakupan keahlian obat-obatan pun boleh dipertanyakan. Aldi
adalah salah satu apoteker muda idealis yang bertekad berjuang melalui profesinya.
Tak cuma ingin mencetak angka penjualan obat yang tinggi, dia juga berkomitmen
memberikan edukasi dan panduan obat kepada masyarakat.
Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) Jawa Barat, Kusmeni S
Hartadi, memaparkan, profesi apoteker seharusnya berdiri sama tegak dengan profesi
kesehatan lain. ''Obat adalah privilege apoteker,'' tegas Kusmeni dalam percakapan
dengan Republika akhir pekan lalu. Pada kenyataannya, profesi ini kian tenggelam
oleh ingar-bingar bisnis dan tarik-menarik kepentingan. Kusmeni menuturkan
peyorasi peran apoteker di negeri ini sudah berlangsung sejak lama.
Menyikapi gejala tersebut, sejak 2006 ISFI mulai melakukan apa yang
disebut pemurnian profesi. Program ini terutama ditujukan bagi para apoteker yang
berkiprah di farmasi komunitas atau apotek. Kusmeni menegaskan persoalan obat dari
hulu ke hilir harus berada di bawah kendali pihak yang kompeten, yakni apoteker.
Seorang pejabat dinas kesehatan yang enggan disebutkan namanya menyayangkan
anggaran yang minim dalam pengawasan obat-obatan. Dia juga mengeluhkan
kelumpuhan peran apoteker dalam dunia kesehatan di Indonesia.
''Sepertinya para apoteker sekarang perlu diasah kemampuan komunikasi dan
politiknya,'' ujarnya, kesal. Senada dengan pernyataan tersebut, Kusmeni
mengungkapkan, setiap profesional kesehatan harus mengerti benar ranah perannya.
Tujuannya, bias dan kekacauan dalam layanan kesehatan, seperti juga dalam
peredaran obat-obatan, dapat dicegah.
Berdasarkan data di tahun 2003, Kusmeni menyebut jumlah apoteker di
Indonesia berkisar 8.000 orang, dengan angka pertumbuhan kurang lebih empat
persen per tahun. Dalam konsep pemerataan layanan kesehatan, menurut Kusmeni,
jumlah apoteker di Indonesia masih sangat kurang. Di negara-negara mapan, seperti
Jepang, rasio apoteker dengan jumlah penduduk adalah 1: 2.000 jiwa. Sementara di
Indonesia, dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa lebih, jumlah tenaga apoteker yang
dimiliki baru berkisar 25 ribu orang.
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyalahgunaan obat merujuk pada keadaan di mana obat digunakan secara
berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh
kesengajaan pengguna obat untuk mencapai efek tertentu yang tidak sesuai
indikasi.
2. Semakin bertambahnya informasi tentang obat beredar di masyarakat
menyebabkan semakin mudahnya masyarakat menerima informasi penggunaan
obat. Hal ini dapat menjadi faktor yang kuat dalam penyalahgunaan obat apabila
informasi yang didapat oleh masyarakat berasal dari pihak yang kurang
bertanggungjawab.
3. Menurut ilmu pancasila, kasus ini dapat dianalisis berdasarkan sudut pandangnya
masing-masing sesuai dengan kelima sila dalam Pancasila.
4. Menurut sudut pandang kefarmasian, kasus penyalahgunaan obat ini harus berada
di bawah kendali pihak yang kompeten yakni apoteker. Apoteker sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan seharusnya dapat menjadi kontrol penyalahgunaan
obat dalam masyarakat.