makalah lupus erymatosus

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda – beda berpariasi antara 2.9/100 000 sampai 400/100 000. SLE ditemukan pada berbagai usia, tetapi paling banyak ditemukan pada 15 – 40 tahun. ( Masa Reproduksi ) Kejadian kasus pada wanita lebih besar dibandingkan pada Pria berkisar antara 9 : 1. Penyebab dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun demikian terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifactor. Yaitu mencakup pengaruh factor lingkungan, factor genetic dan hormonal terhadap Respon imun. Faktor genetic mempunyai pengaruh penting dalam kerentanan dan ekpresi penyakit. Sekitar 10 % - 20 % pasien SLE mempunyai kerabat 1

Upload: astri-candra-wiranti

Post on 03-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Keperawatan

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda beda berpariasi antara 2.9/100 000 sampai 400/100 000. SLE ditemukan pada berbagai usia, tetapi paling banyak ditemukan pada 15 40 tahun. ( Masa Reproduksi ) Kejadian kasus pada wanita lebih besar dibandingkan pada Pria berkisar antara 9 : 1.Penyebab dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun demikian terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifactor. Yaitu mencakup pengaruh factor lingkungan, factor genetic dan hormonal terhadap Respon imun. Faktor genetic mempunyai pengaruh penting dalam kerentanan dan ekpresi penyakit. Sekitar 10 % - 20 % pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang juga menderita SLE. Penelitian menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama yang mengkode system Imun seperti gen yang mengkode reseptor sel T, Imunoglobulin dan sitokin. Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Mengurangi asupan lemak untuk meningkatkan penyerapan kalsium, hindari sumber radikal bebas, mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang memadai, mengurangi kelebihan berat badan (overweight/obesitas), memperbanyak mengkonsumsi buah dan sayur untuk mendapat sumber beta karoten, vitamin C alami dan zinc (tiram dan hasil laut lainnya) untuk meningkatkan sistem imun, dan minum sekurang-kurangnya 1,5-2 liter air/hari untuk memastikan ginjal berfungsi secara optimum.

B. Rumusan masalah1. Apa pengertian dari sistemik lupus erythematosus ?2. Bagaimana etiologi dari sistemik lupus erythematosus ?3. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus erythematosus ?4. Bagaimana WOC dari sistemik lupus erythematosus ?5. Bagaimana tanda dan gejala dari sistemik lupus erythematosus ?6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari sistemik lupus erythematosus ?7. Bagaimana penatalaksaan therapy sistemik lupus erythematosus ?8. Bagaimana prognosa dari sistemik lupus erythematosus?

C. Tujuan1. Untuk mengetahui pengertian sistemik lupus erythematosus.2. Untuk mengetahui etiologi dari sistemik lupus erythematosus.3. Untuk mengetahui patofosiolgi dari sistemik lupus erythematosus.4. Untuk mengetahui WOC dari sistemik lupus erythematosus.5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari sistemik lupus erythematosus.6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari sistemik lupus erythematosus.7. Untuk mengetahui penatalaksanaan therapy untuk sistemik lupus erythematosus.8. Untuk mengetahui prognosa dari lupus erythematosus.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Systemic Lupus Erytematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktivan komplemen.Penyakit lupus adalah penyakit sistemik yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh yang ditandai dengan adanya peradangan luas yang bersifat hilang timbul. Lupus bisa mengenai siapa saja, dari mulai bayi baru lahir hingga orang tua, namun perbandingan perempuan: laki-laki adalah 9:1 dan terutama mengenai perempuan pada usia 15-45 tahun. Hal ini diperkirakan karena lupus dapat dicetuskan oleh hormon estrogen yang biasanya terbentuk pada perempuan usia produktif.Lupus bukanlah penyakit menular dan penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada kemungkinan ditimbulkan oleh kombinasi dari faktor berikut: Lingkungan (sinar matahari, ultraviolet), Gangguan regulasi imun, genetik.Gejala umum dari penyakit lupus adalah (data didapat juga dari gejala umum pasien anak dengan Lupus yang datang ke RSHS): demam, cepat lelah, sariawan (luka di rongga mulut) yang berulang namun kadang tidak diketahui oleh pasien karena tidak nyeri, Anoreksia (penurunan nafsu makan), penurunan berat badan.Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, artritis reumatoid, dan sindrom Sjogren. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Identifikasi awal dan penatalaksanaan SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang baik.Klasifikasi dari penyakit lupus dibagi menjadi 3 yaitu discoid lupus, systemic lupus erytematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat :1. Discoid LupusLesi berbentuk lingkaran tau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap.2. Systemic Lupus ErythematosusSystemic Lupus Erytematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktivan komplemen.3. Drug Induced Lupus (Lupus yang diinduksi oleh obat)Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi ditubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Obat-obatan yang dapat mencetuskan lupus adalah antiaritmia (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur) seperti prokainamid dan quinidine, obat antihipertensi seperti hydralazine dan methyldopa, obat antiinflamasi sulfasalazine, obat tuberkulosis isoinazid (INH), dan antikonvulsan atau anti kejang carbamazepine. Akan tetapi tidak semua penggunaan obat-obat ini akan menderita lupus, melainkan hanya sekitar 4%, suatu jumlah yang relatif kecil. Gejala-gejala lupus biasanya akan hilang setelah pemakaian obat-obatan tersebut dihentikan.

B. Etiologi1. Faktor genetik Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24%-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non identik (2%-9%).Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003). 2. Faktor lingkunganYang menyebabkan timbulnya SLE yaitu Sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengann mekanisme menebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nospesifik yang akan memicu terjadinya SLE.3. Obat tertentu khususnya pada asetilator.Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinis yang menyerupai penyakit SLE ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenythydantoin, ethosuximide, hidralazine, isoniazid, methyldopa, penicillamine, procainamide, quinidine, dan sulfasalazine. Obat-obat tersebut dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.4. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun.Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

C. Tanda dan Gejala Lupus1. Bercak-bercak pada kulit terutama pada daerah sekitar hidung yang menyerupai bentuk kupu-kupu.2. Penderita lebih sensitif terhadap sinar matahari atau cahaya terang.3. Ruam diskoid4. Demam5. Lemah6. Nyeri otot. 7. Kelelahan.8. Ulkus mulut9. Nyeri pada dada pada saat bernafas dalam.

D. PatofisiologiPenyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

E. WOC MK : kerusakan Integritas Kulit

Faktor lingkungan, gen, obat-obatan, infeksi virus dan bakteri

Autoantibodi meningkat

Sel T supresor abnormal

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan otot

inflamasi

MK : Nyeri

SLEdemam

Bercak merah pada kulitUlkus mulutMK: HipertermiaLelah, Lemah

MK : Intoleransi aktivitasNafsu makan menurun

MK : ganguan citra tubuh

MK: kebutuhan nutrisi kurang

F. Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Antibodi AntinuklearAntibodi antinuklear positif pada lebih dari 95% penderita SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Setelah mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain.2. Laju Endap DarahLaju endap darah pada penderita SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.3. Pemeriksaan UrinAir kemih diperiksa untuk mengetahui adanya protein, sel darah putih, sel darah merah, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit SLE.4. Uji Faktor Lupus EritematosusUji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan terkadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor lupus eritematosus. Sel Le dibentuk dengan merusak beberapa sel darah putih penderita sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya.5. Kimia darahUntuk mengetahui apakah organ-organ sehat dan tetap berungsi normal6. Hematologi lengkapDitemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.

G. Penatalaksanaan TherapyPengobatanTujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi da efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.1. Terapi nonfarmakologiGejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebainya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga jga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien yang SLE yang mengandung vitamin E 75 IU dan 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.2. Terapi farmakologiTerapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.NSAIDMerupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inibitor dan selektif COX-2 inibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 mncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endothelial vaskuler,platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor COX non selektif , tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal,2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesusuaian obat, toleranssi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama1 samping 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID.Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul. efek antiinflamasi dan analgesic aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, arthritis, pleuritis dan perikarditis. Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoclonal antibodi, terapi hormone, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi:

a) AzatioprinPenggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2-3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi,sintesis IgG dan lgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat. Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid. Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis.selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hari setiap 6 bulan. Azatioprin diserap baik disaluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin.Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara kosentrasi dalam serum dengan efektifitas atau toksisitasnya. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik.b) MetotreksatsMerupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5-15 mg secara oral satu kali seminggu (herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat berfariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas kedalam jaringan melalui mekanisme transfor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Efek samping metotresat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik.c) Intravena gamma globulinIntravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor fc, mengganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan anti bodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma gloulin yaitu molekul lgG yang utuh, lgA, CD4, CD8, molekul HLA, san sitokin (kazatckine and kaveri, 2001). Dosis yang di gunakan 1-2 g/kg BB (katzung, 2006). Intravena gamma gobulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, miagia, letih sakit kepala, urtikaria, hipertensi,dan lain-lain.d) Terapi hormoneDehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masing fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (lsenberg and Horsfall, 1998). e) AntimalariaAntimalaria, misalnya hidroksiklorokuin (Plaquenil): untuk mengatasi rasa lelah, nyeri sendi, ruam kulit dan inflamasi paru.f) Antiinfeksi/Antijamur/antivirusPemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,dan Candida (lsenberg and horsfall, 1998).untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5-7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksozol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan pinisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (lsenberg and Horsfall,1998). Adannya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol.g) Mikofenolat mofetilEfektif pada lubus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukan respon dan inteloren terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain. menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan,et.al.,2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T. Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdumen) dan supresi myeloid (terutama neuttropenia) (Katzung, 2000) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah dari pada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan,el.al., 2000).

H. PrognosaSLE sebelumnya dipandang berkemungkinan atau secara seragam merupakan penyakit masa kanak-kanak yang mematikan. Sekarang, anak-anank yang menderita penyakit yang lebih sering dikenali, dan tampak bahwa tidak semua anak mengalami keterlibatan organ utama yang berat. Walaupun terjadi eksaserbasi dan penyembuhan yang spontan, penyembuhan spontan yang lama jarang dijumpai pada anak-anak. Terapi dengan antibiotik, kortikosteroid dan obat-obat sitotoksik telah memperpanjang ketahanan hidup dan mencerahkan prognosis jangka pendek pada banyak penderita lupus. Walaupun angka ketahanan hidup 5 tahun untuk anak-anak melebihi 90%, sejumlah besar penderita masih terus menderita penyakt dan tetap berisiko mendapat sekule yang merugikan di masa mendatang. Penyebab utama kematian pada penderita SLE adalah nefritis, komplikasi sistem saraf sentral, infeksi lupus paru, dan infark miokardium. Prognosis akhir untuk lupus berat yang mulai timbul pada masa kanak-kanak tetap harus diperhatikan.Prognosis untuk SLE bervariasi dan tergantung ada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.

BAB IIIKONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Asuhan KeperawatanDalam melaksanakan asuhan keperawatan pada penderita SLE melalui beberapa tahap :1. PengkajianPengkajian merupakan pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah-masalah yang dihadapi oleh pasien.0. Pengumpulan data0. Identitas PenderitaNama:Umur:Jenis Kelamin:Pekerjaan: Agama:Tanggal MRS:Suku Bangsa:Alamat:Diagnosa Medis:0. Keluhan utamaPasien dengan SLE sering mengeluh lesu, lemas, dan disertai demam, pegal linu seluruh badan, nyeri otot, dan terdapat kelainan kulit spesifik berupa bercak merah di daerah sekitar pipi yang menyerupai kupu-kupu.0. Riwayat penyakit sekarangPada pasien SLE keluhan dimulai lemas, lesu, pegal linu, dan terdapat kelainan kulit spesifik berupa bercak merah di daerah sekitar pipi menyerupai kupu-kupu di muka dan eritema umum yang menonjol.0. Riwayat penyakit dahuluAdanya penyakit yang pernah dialami penderita termasuk penyakit yang menular atau menurun.0. Riwayat penyakit keluargaUntuk mengetahui faktor genetik apakah didalam keluarga ada yang mempunyai penyakit keturunan atau menular.0. Pola-pola fungsi kesehatana) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehatPersepsi pasien terhadap kesehatan dan bagaimana kebiasaan pasien dalam memelihara / pencegahan penyakit.b) Pola nutrisi dan metabolismeBerapa kali pasien makan atau minum dan komposisinya bagaimana per-hari dan pada pasien SLE terdapat kesulitan untuk makan karena tenggorokannya sakit.c) Pola eliminasiBerapa kali klien BAB dan BAK dalam sehari dan bagaimana konsistensinya dan apakah terjadi kesulitan atau tidak.d) Pola istirahat dan tidurMengetahui bagaimana pola istirahat dan tidur pasien dan barapa jam dalam 1 hari, apakah ada gangguan atau tidak.e) Pola aktivitas dan latihanMengkaji bagaimana aktivitas klien apakah terjadi gangguan atau tidak dan biasanya pada klien dengan SLE mengalami gangguan pada pola aktivitas.f) Pola persepsi dan konsep diriBagaimana tanggapan pasien terhadap penyakit yang dialami.g) Pola sensori dan kognitifPanca indra klien apakah mengalami perubahan atau tidak dalam penyakit SLE.h) Pola reproduksi dan seksualBagaimana pola reproduksi dan seksual apakah ada perubahan atau tidak dalam penyakit SLE.i) Pola hubungan peranPada penderita SLE biasanya terjadi gangguan terhadap hubungan peran karena terjadi kelainan psikiatrik.j) Pola penaggulangan stressApakah terjadi ketidakefektifan dalam mengatasi masalah.k) Pola tata nilai dan kepercayaanKepercayaan atau agama yang dianut oleh klien serta ketaatan dalam menjalani ibadahnya.0. Pemeriksaan Fisika) Keadaan umumKondisi umum: kesakitanKesadaran: kompos metisTTVTekanan darah: 100/60 mmHgNadi: 120x/menitSuhu: 37,5 oCRespirasi: 20x/menitb) Head to toe(1) Kepala: bentuk kepala simetris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan, serta tidak ada nyeri tekan(2) Rambut: warna hitam, penyebaran rambut rata, tidak rontok(3) Mata: tampak simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada gangguan penglihatan.(4) Telinga: simetris, serumen relatif normal, tidak ada keluhan nyeri, dan tidak ada gangguan pendengaran.(5) Hidung: tidak terdapat deformitas, tidak ada keluhan, terdapat bercak kemerahan pada wajah (butterfly rash)(6) Wajah: ada ruam disekita wajah dan leher(7) Mulut: relatif bersih, tidak ada candida maupun stomatitis. terdapat ulcus(8) Leher: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening. tidak teraba massa dan pembesaran kelenjar(9) Abdomen: supel, datar, bising usus 8x/menit(10) Punggung: tampak bercak kemerahan pada punggung, punggung agak lembab berkeringat.(11) Ekstremitas: akral hangat, capilarry refill time < 2 detik(12) Kulit: terdapat bercak kemerahan pada kulit tubuh, turgor kulit elastis, mukosa bibir kurang lembab.(13) Dada: simetris, nafas tidak ada penggunaan otot-otot sela iga, tidak ada massa(14) Jantung: BJ 1 dan BJ 2 reguler, gallop (-), murmur (-), tidak ada pembesaran jantung(15) Paru-paru: bunyi paru vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)

0. Diagnosa Keperawatan1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi dan kerusakan jaringan otot.1. Hipertermia berhubungan dengan suhu tubuh meningkat.1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan.1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan menurunnya nafsu makan

0. Intervensi KeperawatanKerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, gangguan integritas kulit membaik, dan tidak terjadi perburukan

Kriteria hasil :a) Bercak kemerahan pada tubuh klien berkurangb) Butterfly rash pada wajah menipis

IntervensiRasional

Pertahankan kebersihan, kekeringan, kelembaban kulit, gunakan air hangat saat mandiUntuk menjaga keutuhan kulit

Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan malserasiAgar kulit tidak terpapar dengan sinar UV

Pastikan intake nutrisi yang adekuatUntuk meningkatkan penyembuhan lesi dan mencegah infeksi

Edukasi klien dan keluarga, untuk menjaga klien terhindar dari bahan kimia seperti detergen dan tidak menggunakan sabun serta pelembab kulit yang mengandung alkoholUntuk menghindari iritaso kulit, karena alkohol dapat menyebabkan kekeringan pada kulit yang dapat memperburuk keadaan

Hindari terpapar dari sinar matahari secara langsung, gunakan sunblock cream dan pakai panjang yang dapat menutup kulitUntuk mencegah eksaserbasi, karena rash yang dapat terangsang karena sinar matahari

Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroidUntuk memberikan efek antipiretik, antiinflamasi dan analgesic

Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan otot

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri dapat berkurang

Kriteria hasil : a) Klien mengungkapkan nyeri berkurangb) Penurunan intensitas nyeri dengan skala nyeri menurun

IntervensiRasional

Pantau skala nyeri klien setiap 8 jam sekali (Setiap shift) dengan VAS (Visual Analog Scale) atau wong baker facesUntuk mengetahui perubahan skala nyeri

Lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik nyeri, awitan, dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.Mengetahui keberhasilan intervensi yang dilakukan dengan pengkajian nyeri

Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamananIsyarat nonverbal dapat menggambarkan nyeri yang dirasakan

Lakukan sejumlah tindakan yangmemberikan kenyaman atau kompres panas/ dingin: masase, perubahan posisi, istirahat, kasur busa, bantal penyangga, bidai teknik relaksasi aktivitas yang mengalihkan perhatian.mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi terhadap nyeri

Berikan preparat anti inflamasi analgesic seperti yang dianjurkanMengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyaman pasien

Hipertermia berhubungan dengan suhu tubuh meningkat

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam suhu tubuh stabil

Kriteria hasil :a) Suhu tubuh dalam batas normal sekitar 36,5oC -37,5oC b) Pasien mengatakan tidak merasa panas lagi.

IntervensiRasional

Pantau TTV (TD, HR, RR).Untuk mengetahui data dasar parameter hemodinamik

Pantau suhu tubuh minimal setiap 2 jam, sesuai dengan kebutuhan dan pantau adanya diaporesis yang berlebihan.Untuk mengetahui perkembangan suhu tubuh

Lakukan dan ajarkan keluarga untuk melakukan TWS (tepid water sponge).Untuk mempercepat penurunan suhu tubuh melalui proses evaporasi dan konduksi

Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tidak terlalu tebal.Untuk mempercepat penurunan suhu tubuh melalui proses konduksi

Motivasi asupan minum peroral dan pastikan tetes infus sesuai dengan yang dianjurkanUntuk menjaga keseimbangan cairan tubuh saat penguapan karena peningkatan suhu tubuh

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan kelemahan

Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien mampu melakukan aktivitas mandiri

Kriteria hasil :a) Pasien dapat menunjukkan peningkatan toleransi aktivitasb) Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan / diperlukan.

IntervensiRasional

Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas nnormal, catat laporan kelemahan dan keletihan.Mempengaruhi pilihan intervensi.

Awasi TD, nadi dan pernafasan.Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen ke jaringan.

Berikan lingkungan tenang.Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.

Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusingHipotensi postural/hipoksin serebral menyebabkan pusing, berdenyut dan peningkatan resiko cedera.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik

Tujuan : Setelah pemberian intervensi keperawatan selama 124 jam diharapkan pasien dapat merespon nonverbal tentang diri (fisik) dalam tubuh.

Kriteria hasil :a) Pasien dapat merespon dengan baik terhadap aktual pada tubuh.b) Klien menyatakan penerimaan terhadap diri

IntervensiRasional

Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata, ucapan merendahkan diri sendiri.Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap konsep diri.

Identifikasi stadium psikososial terhadap perkembangan.Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman klien terhadap kondisi kulitnya.

Berikan kesempatan pengungkapan perasaan.klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.

Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien, bantu klien yang cemas mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.Memberikan kesempatan pada petugas untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi, ketakutan merusak adaptasi klien .

Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri , spt merias, merapikan.membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.

Mendorong sosialisasi dengan orang lain.membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan menurunnya nafsu makan

Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan setelah dilakukan tindakan dalam 3 x 24 jam.

Kriteria hasil :a) Klien tidak merasa lemas.b) Nafsu makan klien meningkat

INTERVENSIRASIONAL

Pertahankan berat badan dengan memotivasi pasien untuk makanMempertahankan berat badan yang ada agar tidak semakin berkurang

Menyediakan makanan yang dapat meningkatkan selera makan pasienMeningkatkan nafsu makan pasien

Berikan makanan kesukaan pasien Merangsang nafsu makan pasien

Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalkan, pindahkan barang- barang yang tidak enak dipandang)Meningkatkan rasa nyaman pasien untuk makan

Dorong makan sedikit demi sedikit dan sering dengan makanan tinggi kalori dan tinggi karbohidratMeningkatkan asupan makanan pada pasien

Auskultasi bising usus, palpasi/observasi abdomenMengetahui adanya bising atau peristaltik usus yang mengindikasikan berfungsinya saluran cerna

0. ImplementasiAdalah mengelolah dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi tindakan yang telah direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter dengan ketentuan rumah sakit.0. EvaluasiEvaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses perawatan dan merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan cara melibatkan klien dan sesama tenaga kesehatan (Nasrul F, 1995).

BAB IVPENUTUP

A. KesimpulanSLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistemyang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan diproduksi antibodi yang berlebihan. Yang biasanya ditandai dengan munculnya pembentukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan pada bagian tubuh lainya. Klasifikasi SLE ada 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang diinduksikan oleh obat. SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria,Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah.Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE. Pengobatanyang digunakan pada SLE adalah Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat mendukung pengobatan penyakit SLE.

B. SaranSebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai dengan standar prosedur.

DAFTAR PUSTAKA

Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susane G. 2002. Keperawatan medikal- bedah. Jakarta: EGCHR Dr. Hasdianah, Prima Dewi dan Yuli Peristiowati, Sentot Imam.2014. Imunologi Diagnosis dan Teknik Biologi Molekuler,Yogyakarta: Mumedhttp://artikelkedokteran.net/news/asuhan keperawatan penyakit lupus.htmhttp://askepkesehatan08.wordpress.com/2013/07/16/asuhan-keperawatan-dengan-pasien-sle-sistemisc-lupus-erythematosus/http://www.penyakitlupus.net/cara-mendeteksi-penyakit-lupus/http://www.slideshare.net/yesiakd/askep-sle?next_slideshow=1

27