makalah konsep tafsir, ta'wil, dan hermeneutika
DESCRIPTION
Kajian Singkat tentang Tafsir dan HermeneutikaTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini di kalangan kaum muslimin - terutama kaum modernis – telah banyak
memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk menggali isi dan kandungan
al Quran. Penggunaan ilmu tersebut dalam penafsiran al Quran ada yang menempatkannya
sebagai komplemen dan ada pula yang menempatkannya sebagai sublemen.
Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang
belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah
dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu ini dianggap
telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui
mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran.
Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya
al Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang
walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan Hermeneutika dalam
penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terang-terangan baru dilakukan pada tahun tujuh
puluhan abad 20. Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat
tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya
dan ada pula yang menolaknya.
1
BAB 2
KONSEP TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIKA
A. Keunikan Konsep Teks dan Tafsir Qur’an
1. Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Kata tafsir dan ta’wil dijumpai dalam Al Qur‘an dan al-Hadits. Kata tafsir
dalam Al Qur‘an disebut satu kali yaitu dalam surat Al Furqan ayat 33 :
ا ير� س� � س�ن� ت � ح�ق و�أ � ��ك� ب ن �ال� ج� �ل� إ �م�ث �ك� ب �ون ت � ف�و�ال� ي ف� ف� ٱ ف� �� ٣٣ف
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang (dengan membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”
Berbeda dengan tafsir, ta’wil terulang sebanyak 16 kali dalam 7 surat dan 15
ayat, antara lain Al-Imran : 7, An-Nisa : 58, Al-A’raf : 52, Yunus : 39, Yusuf : 6, 21,
36, 37, 44, 45, 100, dan 101, Al-Isra : 35, Al-Kahfi : 78 dan 83.
Kata “Tafsir” di konsepsikan untuk menjelaskan “yang luar” (dzahir) dari Al-
Qur’an. Adapun “Ta’wil” merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi
dari Al-Qur’an. Tafsir secara etimologi berarti “menyingkap dan menampilkan”,
sedangkan secara terminologi adalah “ilmu yang berfungsi untuk memahami
AlQuran, menjelaskan makna maknanya, mengeluarkan hukum dan menyingkap
hikmahnya.”1 Menurut Abu Zayd, dalam proses tafsir seorang penafsir (mufassir)
menggunakan linguistik dalam pengertiannya yang tradisional, yaitu merujuk pada
riwayah. Artinya peran penafsir dalam melakukan penafsiran hannya dalam kerangka
mengenal signal-signal.
Sedangkan Ta’wil secara etimologi berarti “menafsirkan/menjelaskan makna
pembicaraan, sesuai dengan makna dzahir atau berbeda.”2 Dalam maksud ini ta’wil
dapat disamakan dengan tafsir. Namun, dalam pandangan yang lain ta’wil berarti
maksud pembicaraan. jika minta mengerjakan, ta’wilnya melaksanakan perintah.
Namun, dalam ta’wil (interpretasi), interpreter lebih dari sekedar menerapkan dua
bidang ilmu yang dipergunakan dalam tafsir. Ta’wil dalam pengertiannya yang baru
1 Gusmian, Islah. 2002. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi. Teraju : Jakarta. hal. 18
2 Ibid
2
menggunakan perangkat keilmuan lain dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial
untuk menguak makna teks lebih dalam.3
Status hukum mempelajari ilmu tafsir oleh para ulama dinyatakan wajib,
paling sedikit adalah wajib kifayah. Bahkan menjadi wajib “ain bagi yang memiliki
kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya.
2. Perkembangan Tafsir dan Ta’wil dalam Studi Teks Al-Qur’an
Baik Tafsir maupun Ta’wil dalam tradisi studi teks Al-Qur’an telah muncul
dan berkembang. Tafsir Isyari yang secara metodologis mendasarkan diri pada
pengalaman batin penafsir atau pada teori tasawuf, dan tafsir rasional yang
mendasarkan diri pada proses intelektualisasi (ijtihad) misalnya, sebetulnya adalah
salah satu representasi dari praktek ta’wil. Hannya saja dalam tradisi khazanah
literatur Islam, istilah ta’wil dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an ini jarang dipakai dan
terlanjur cenderung dibebani dengan makna-makna yang negatif. Itulah sebabnya,
masyarakat muslim lebih akrab menyebut “kitab tafsir Al-Qur’an” daripada “kitab
ta’wil Al-Qur’an”4
B. Kaedah-Kaedah Dasar Tafsir dan Ta’wil
1. Pengertian Dasar
Tema al-Qa’idah dalam bahasa arab merupakan bentuk tunggal yang
bermakna al-Ussi (األس). Bentuk pluralnya adalah al-Qawa’id atau al-Asas (األساس)
yang berarti fondasi, seperti ungkapan Qawa’id al-Baiti Asasushu (dasar dari rumah
adalah fondasinya)5. Tema al-Qaidah menurut istilah adalah aturan yang menyeluruh
yang terbentuk atas beberapa elemen yang dapat dibangun diatasnya hukum-hukum.6
Dari definisi Qa’idah diatas dapat disimpulkan bahwa kaidah tafsir maupun
ta’wil adalah segala jenis ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang meneyeluruh
yang dapat membantu ketepatan dan kebenaran dalam menafsirkan dan
mengambil istinbat} (konklusi) hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.
2. Macam-Macam Kaedah Tafsir dan Ta’wil
3 Abu Zayd. 1994. Mafhum Al-Nashs fi ‘Ulum Al-Qur’an. Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Arabi. hal. 252-267
4 Gusmian, Islah. Op.Cit. hal. 195 Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby. 1996. Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin .Dar al-Qasim :
Riyadh. hal. 36 Ibid. hal. 37
3
Diantara kaidah-kaidah dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an adalah :
a. Kaidah kebahasaan
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka mengetahui kaidah-kaidah
bahasa Arab akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Menurut
Syed Muhammad Naquib al Attas unsur-unsur keilmiahan bahasa Arab, yaitu :
Struktur bahasa Arab senantiasa merujuk pada sistem akar kata
Struktur pemaknaan (semantik) bahasa Arab secara jelas melekat pada
kosa katanya dan secara permanen merujuk pada akar katanya
Kata, makna, gramatika dan syair dalam bahasa Arab secara ilmiah selalu
mengawal dan memelihara pemaknaan dan penafsiran suatu kalimat
sehingga tidak pernah terjadi pergeseran.
b. Kaidah Syar’i
Penafsiran Al-Qur’an dapat menggunakan kaidah syar’i seperti :
Muthlaq
Muqayyad
Mujmal
Mufasshol
C. Hermeneutika
1. Latar Belakang Hermeneutika
Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics,secara
etimologi berasal dari kata Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing
berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”7. Sedangkan secara terminologi, hermeneutika
adalah “studi tentang kaidah-kaidah penting dalam menafsirkan kitab suci. Tujuan
utama hermeneutika dan metodologi interpretasi Yahudi dan Nasrani sepanjang
sejarah mereka adalah menyingkap hakikat dan nilai dari kitab suci”.8
Semula hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai
gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi
7 Mudjia Raharjo. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian. Ar-
Ruzzmedia: Yogyakarta. hal. 27
8 The Encyclopaedia Britannica, vol. 5, entry: hermeneutics, hal. 874
4
“filsafat penafsiran” kehidupan social.9 Kemunculan hermeneutika dipicu oleh
persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Bible. Awalnya bermula saat para
reformis menolak otoritas penafsiran Bible yang berada dalam genggaman gereja.
Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat
menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satu-satunya
sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther , Bible harus menjadi
penafsir bagi Bible itu sendiri. Dia menyatakan :
“This means that [Scripture] itself by itself is the most unequivocal, the most
accessible [facilima], the most testing, judging, and illuminating all things,…”10
Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam
memonopoli penafsiran Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola
Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’).11 Berdasarkan prinsip Sola
Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika.
2. Persoalan Hermeneutis
Seorang Protestan, F.D.E. Schleiermacher-lah yang bertanggung jawab
membawa hermeneutika dari ruang biblical studies (biblische Hermeneutik) atau
teknik interpretasi kitab suci ke ruang lingkup filsafat (hermenutika umum), sehingga
apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika.12 Bagi
Schleiermacher, tidak ada perbedaan antara tradisi hermeneutika filologis yang
berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi dan hermeneutika teologis yang
berkutat dengan teks-teks kitab suci.
Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal
Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”. Lebih dari itu,
ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif
hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama, “tidak ada yang perlu
diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan
manusia biasa.13
9 Mudjia Raharjo. 2007. Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press: Malang. hal. 3010 Werner Georg Kummel. 1972. The New Testament : The History of the Investigation of Its
Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee .New York : Abingdon Press. hal. 21-2211 Ibid. hal. 2712 Mudjia Raharjo, 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian.
Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia. hal 30.
13 Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani Press. hal. 179
5
Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri
atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir
Al-Qur’an. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi
Bible sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan. Dari definisi di
atas jelas, bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an memang
tidak terlepas dari tradisi Kristen. Celakanya, tradisi ini digunakan oleh para
hermeneut (pengaplikasi hermeneutika untuk Al-Qur’an) untuk melakukan
dekonstruksi14 terhadap al-Qur’an dan metode penafsirannya.
D. Teori Hermeneutika Filosof Klasik dan Modern/ Kontemporer
1. Studi Kasus Teori Hermeneut Klasik
a. Friedrick Schleimecher (1768-1834)
“Hermeneutika sebagai seni pemahaman ternyata belum menjadi sebuah
disiplin umum, hannya sebagai pluralitas dari hermeneutika tertentu”.15
Pernyataan ini oleh Schleimecher dijadikan pembuka kuliah hermeneutikanya
pada tahun 1819 yang disampaikan dalam sepatah kalimat mengenai tujuan
fundamentalnya : untuk meletakkan hermeneutika umum sebagai seni pemahaman
teks, apakah teks itu berupa sebuah dokumen hukum, , kitab keagamaan, ataupun
karya sastra.
Teks, menurut Schleimecher , adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Sehingga
seperti yang disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran
atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita, melainkan diturunkan dan bersifat
instruktif.16
Untuk mencapai tingkatan seperti itu, menurut Schleimecher ada dua cara
yang harus ditempuh; lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru atau
lewat karakteristik bahasanya. Menurut Schleimecher setiap teks memiliki dua sisi
: (1) sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses
14 Secara etimologis dekonstruksi berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan
alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku. Kris
Budiman, Kosakata Semiotika (Yogyakarta, LKiS, 1999), 21, dikutip dari Dr.Ir.Muhammad Shahrur. 2004.
Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, bagian Pengantar Penerjemah. Yogyakarta : eLSAQ
Press. hal xvii.
15 Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer : Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik. Fajar Pustaka Baru : Yogyakarta. hal. 10
16 Ibid. hal. 29
6
memahami menjadi mungkin, (2) sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si
pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan. Dua sisi ini
mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian
mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan
pengalamannya.
b. Wilhem Dilthey (1833-1911)
Wilhem Dilthey dikenal dengan “hermeneutika sejarah” yaitu memnunculkan
makna-makna dari peristiwa yang melahirkan teks. Bisa dikatakan bahwa Dilthey
adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19 dan membawa tradisi baru
hermenutika abad ke-20.17
koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap
asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-
prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini
anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh eksternal dalam
perkembangan pikiran pengarang.18
Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis
tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu
diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan
membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental yaitu produk budaya. Dilthey
berpendapat bahwa teks disini bukan dalam arti tertulis tapi teks dalam konteks
realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya dibutuhkan
pendekatan yang berbeda.
c. Martin Heidegger (1889-1976)
Heidegger dikenal dengan “hermeneutika fenomenologis”. Bagi Heidegger,
hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam
kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi
ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi oleh
tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being
tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada
17 Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.
18 Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004. hal. 25
7
penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein) melalui bahasa. Jika Dilthey
menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang
kehidupan.
2. Studi Kasus Teori Hermeneut Kontemporer/Modern
a. Hans-Georg Gadamer (1900-2002)
Menurut Gadamer, hermeneutika adalah interpretasi teks yang bersifat terbuka
atau subjektif. Teks bisa diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks
di publikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi
berkaitan dengan penulis. Karena itu sebuah teks tidak harus dipahami
berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam
teks itu sendiri.
Jelasnya, sebuah teks di interpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan
tradisi yang ada pada penafsir itu sendiri, dan bukan berdasarkan tradisi si
pengarang. Sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar memproduksi ulang wacana
yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi
kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektivitas penafsir.19
b. Paul Ricour (1913-2005)
Hermeneutika Ricour berupaya mengintegrasikan antara metode
“pemahaman” (verstehen) dan “penjelasan” (erkleren)20 yang dipertentangkan
oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang berbicara, makna teks juga bisa
dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian membedakan
antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue).
Teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang
menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan
referensinya tidak dapat lagi dideteksi.
Konsep yang utama dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna
obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai
interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya
menurut pandangan hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya.19 Sumaryono. 1996. Hermeneutik. Kanisius : Yogya. hal. 7720 Maulidi. Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan
Hermeneutika No : 14 Vol : V 2003. hal. 28
8
c. Fazlur Rahman (1919-1988)
Fazlur Rahman menggunakan metodologi gerakan ganda (double movement)
sebagai fondasi pemikirannya. Gerakan ganda Fazlur Rahman menggiringnya
untuk melakukan rekonstruksi penafsiran terhadap Al Qur‘an. Misalnya dia
menolak poligami, hukuman potong tangan, bunga bank sebagai riba dan hukum-
hukum islam lain yang selama ini telah disepakati para ulama.
Tafsir hermenetika gerakan ganda Rahman pada intinya lebih merupakan
respon terhadap pendekatan yang dilakukan oleh ulama tradisional. Teori gerakan
ganda mengkanter teori asbabun nuzul penafsir tradisional. Dalam teori asbabun
nuzul, terdapat dua kaidah yang saling berlawanan: ” al-’ibrah bi umumil al-fadz
la bi khusi al sabab, dan al-’ibrah bi khusi al sabab la bi umumil al-fadz”. Yang
pertama berpegang kepada keumuman lafadz saja tanpa memperhatikan sebab-
sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Yang kedua
berpandangan sebaliknya, hanya berpegang pada sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi turunnya ayat tanpa mempertimbangkan keumuman lafadz.
Pandangan parsialistik dan dikotomistik ini menyebabkan penafsiran Al – Qur’an
ulama tradisional menjadi tidak komperehensif. Pendekatan ini jelas akan
menghalangi berkembangnya pandngan dunia Al – Qur’an.21
d. Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010)
Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa Al Qur‘an merupakan bahasa
manusia. Perubahan teks Ilahi menjadi teks manusiawi terjadi sejak turunnya
wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Al Qur‘an terbentuk dalam realitas
dan budaya selama lebih dari 20 tahun. Al Qur‘an dianggap sebagai produk
budaya sekaligus produsen budaya karena menjadi teks yang hegemonik dan
menjadi rujukan bagi teks lain. Al Qur‘an juga dianggap sebagai teks bahasa dan
teks historis. Nasr Hamid juga berpendapat bahwa studi Al Qur‘an tidak
memerlukan metode yang khusus. Dia menyalahkan penafsiran mayoritas para
mufassir yang selalu menafsirkan Al Quran dengan muatan metafisis Islam karena
hal ini dianggap tidak melahirkan sikap ilmiah.
21 Rahman, Fazlur. 1979. Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press : Chicago. hal. 31
9
e. Muhammad Arkoun (1928)
Studi Muhammad Arkoun atas teks al-Qur’an adalah untuk mencari makna
lain yang tersembunyi di sana. Maka, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus
ada dekonstruksi (teks). Arkoun termasuk intelektual muslim yang sangat berani
dalam menafsirkan Al-Qur’an bukan dari tradisi Islam tapi dengan metodologi
impor dari budaya barat.
Arkoun menganggap Al-Qur’an bukanlah wahyu, tetapi kitab rekayasa para
sahabat terutama Utsman dengan lebih suka mengatakan bahwa al-Qur’an Mushaf
Resmi Tertutup, yang seakan-akan al-Qur’an diresmikan oleh Usman bin Affan.
Dan sepanjang sejarah fakta historis menunjukkan, kaum muslimin dari sejak
dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf Uthmani.
Dan Allah dalam al-Qur’an sangat jelas sekali menantang siapa saja yang masih
meragukan al-Qur’an sebagai Firman-Nya, tatapi tantangan ini sampai sekarang
bahkan sampai kiamatpun tidak akan pernah ada yang sanggup menyanggupinya
membuat al-Qur’an tandingan kecuali hanya desas desus belaka yang dilontarkan
oleh para orientalis.22
f. Amina Wadud (1952)
Hermeneutika yang ditawarkan oleh Amina Wadud adalah “hermeneutika
tauhid”. Dimana ia ingin menegaskan bahwa kesatuan Al-Qur’an berlaku pada
seluruh bagiannya. Tujuan dari “hermeneutika tauhid” ini menurutnya adalah:
menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular dalam Al-
Qur’an. Yang terpenting, menurutnya, Al-Qur’an berusaha menetapkan basis-
pedoman-moral yang universal. Tentu saja, kondisi Jazirah Arab abad ke-7
menjadi melatarbelakangi Al-Qur’an dan tujuannya sebagai pedoman universal.23
E. Dampak Hermeneutika Terhadap Tafsir Al-Qur’an
22 Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya. Metodologi Studi Al-Qur’an Mohammed Arkoun. , http://inpasonline.com/new/metodologi-studi-al-quran-mohammed-arkoun-kajian-kritis/, diakses 28 Desember 2014, jam 10.49 WIB
23 Aminah Wadud. 2006. Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Terj. Abdullah Ali. Serambi : Jakarta. hal. 182.
10
Ilmu Tafsir adalah ilmu yang lahir dari kebutuhan kaum muslimin untuk memahami
kandungan al Quran. Ilmu ini telah lahir sejak generasi awal tabi’in dan terus menerus
mengalami penyempurnaan. Pada abad ke-2 H ilmu ini telah sampai ke tahapnya yang
sempurna, sehingga telah dianggap sebagai ilmu yang baku yang harus digunakan oleh
setiap mufassir yang datang kemudian.
Jika kita melihat pengertian ilmu Tafsir di atas serta pengertian Hermeneutika
sebelumnya kedua ilmu ini sama-sama membahas tentang makna pada teks. Hanya saja
ilmu Tafsir khusus digunakan untuk memahami kandungan makna teks Al Quran.
Mengenai bisakah Hermeneutika digunakan untuk menafsirkan Al Quran? Jawaban atas
masalah ini merupakan topik inti dalam tulisan ini.
Setelah mengamati berbagai tulisan dan pandangan para cendekiawan muslim,
terdapat beberapa pendapat atas masalah tersebut:
1. Hermeneutika tidak bisa digunakan untuk menafsirkan al Quran. Hermeneutika
lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup masyarakat
penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk Hermeneutika, pasti
merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan
pandangan hidup sendiri.
2. Hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks.
Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia.
3. Implementasi Hermeneutika dalam Islam berbeda dengan Hermeneutika dalam
dunia Kristen. Implementasi Hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk
mencari orsinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang
sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli
dan paling benar. Sedangkan penggunaan Hermeneutika dalam dunia keilmuwan
Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi
untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari
suatu tafsir hanya Allah yang mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat
apapun akan berkata Wallahu a’lam).
11
BAB 3
KESIMPULAN
Dari pembahasan tulisan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tafsir dan Ta’wil mempunyai esensi yang sama yaitu menjelaskan ayat Al-Qur’an ,
baik yang bermakna dzahir, maupun bathin.
2. Konsep hermeneutika yang dipelopori para hermeneut klasik maupun modern tidak
dapat digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks apapun.
3. Al Quran adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat
petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al Quran baik dari segi bahasa
maupun isinya mengandung mukjzat. Seluruhnya hak dan setiap muslim harus
menerimanya dengan tanpa keraguan. Jika kita menerima hermeneutika sebagai
instrumen untuk menefairkan Al Quran, maka keyakinan tersebut akan runtuh.
DAFTAR PUSTAKA
12
Abu Zayd. 1994. Mafhum Al-Nashs fi ‘Ulum Al-Qur’an. Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Arabi.
Aminah Wadud. 2006. Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Terj. Abdullah Ali. Serambi : Jakarta.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer : Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik. Fajar Pustaka Baru : Yogyakarta.
Gusmian, Islah. 2002. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi. Teraju : Jakarta.
Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004.
Husain Bin ‘Aly Bin Husain al-Haraby. 1996. Qawa’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin .Dar al-Qasim : Riyadh.
Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya. Metodologi Studi Al-Qur’an Mohammed Arkoun. , http://inpasonline.com/new/metodologi-studi-al-quran-mohammed-arkoun-kajian-kritis/, diakses 28 Desember 2014, jam 10.49 WIB
Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003.
Mudjia Raharjo, 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian. Ar-Ruzzmedia : Yogyakarta.
Mudjia Raharjo. 2007. Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press: Malang.
Sumaryono. 1996. Hermeneutik. Kanisius : Yogya.
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani Press.
The Encyclopaedia Britannica, vol. 5, entry: hermeneutics.
Werner Georg Kummel. 1972. The New Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard C.Kee .New York : Abingdon Press.
Dr.Ir.Muhammad Shahrur. 2004. Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, bagian Pengantar Penerjemah. Yogyakarta : eLSAQ Press.
Rahman, Fazlur. 1979. Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press : Chicago.
13