makalah konseling

42
KONSELING KELOMPOK DAN KONSELING PERKAWINAN Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Konseling Disusun Oleh : Yunita Tri Wahyuni 15010111130021 Adnindya Maula Sandy 15010111130101 Woro Triananda Miranti 15010111140130 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO 1

Upload: adnindya-maula-sandy

Post on 26-Nov-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BIOGRAFI TOKOH YANG BERHASIL DAN SUKSES DALAM WIRAUSAHA

KONSELING KELOMPOK DAN KONSELING PERKAWINAN

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Konseling

Disusun Oleh :

Yunita Tri Wahyuni

15010111130021

Adnindya Maula Sandy 15010111130101

Woro Triananda Miranti 15010111140130

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2014

A. Konseling Kelompok1. Pengertian Konseling Kelompok

Layanan konseling kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok. Dinamika kelompok adalah suasana yang hidup, yang berdenyut, yang bergerak, yang berkembang, yang ditandai dengan adanya interaksi antara sesama anggota kelompok. Layanan konseling kelompok merupakan layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok.

Gazda (1984), Shertzer & Stone (1980) (dalam Mungin Edi Wibowo, 2005) mengemukakan pengertian konseling kelompok yaitu : konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling mendukung.

2. Tujuan Konseling Kelompok

Menurut Mungin Eddy Wibowo, (2005:20). Tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah dan masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.

Menurut Dewa Ketut Sukardi, (2002:49).Tujuan konseling kelompok meliputi:

a. Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak.

b. Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya.

c. Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok.

d. Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok.

Menurut Prayitno (2004), tujuan umum konseling kelompok adalah mengembangkan kepribadian siswa untuk mengembangkan kemampuan sosial, komunikasi, kepercayaan diri, kepribadian, dan mampu memecahkan masalah yang berlandaskan ilmu dan agama. Sedangkan tujuan khusus konseling kelompok, yaitu:

a. Membahas topik yang mengandung masalah aktual, hangat, dan menarik perhatian anggota kelompok.

b. Terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap terarah kepada tingkah laku dalam bersosialisasi/komunikasi.

c. Terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya imbasan pemecahan masalah bagi individu peserta konseling kelompok yang lain.

d. Individu dapat mengatasi masalahnya dengan cepat dan tidak menimbulkan emosi.

3. Asas Konseling Kelompok

Dalam kegiatan konseling kelompok terdapat sejumlah aturan ataupun asas-asas yang harus diperhatikan oleh para anggota, asas-asas tersebut yaitu:

a. Asas kerahasiaan

Asas kerahasiaan ini memegang peranan penting dalam konseling kelompok karena masalah yang dibahas dalam konseling kelompok bersifat pribadi, maka setiap anggota kelompok diharapkan bersedia menjaga semua (pembicaraan ataupun tindakan) yang ada dalam kegiatan konseling kelompok dan tidak layak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang mengikuti kegiatan konseling kelompok.

b. Asas Kesukarelaan

Kehadiran, pendapat, usulan, ataupun tanggapan dari anggota kelompok harus bersifat sukarela, tanpa paksaan.

c. Asas keterbukaa

Keterbukaan dari anggota kelompok sangat diperlukan sekali. Karena jika ketrbukaan ini tidak muncul maka akan terdapat keragu-raguan atau kekhawatiran dari anggota.

d. Asas kegiatan

Hasil layanan konseling kelompok tidak akan berarti bila klien yang dibimbing tidak melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan tujuan bimbingan. Pemimpin kelompok hendaknya menimbulkan suasana agar klien yang dibimbing mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksud dalam penyelesaian masalah.

e. Asas kenormatif

Dalam kegiatan konseling kelompok, setiap anggota harus dapat menghargai pendapat orang lain, jika ada yang ingin mengeluarkan pendapat maka anggota yang lain harus mempersilahkannya terlebih dahulu atau dengan kata lain tidak ada yang berebut.

f. Asas kekinian

Masalah yag dibahas dalam kegiatan konseling kelompok harus bersifat sekarang. Maksudnya, masalah yang dibahas adalah masalah yang saat ini sedang dialami yang mendesak, yang mengganggu keefektifan kehidupan sehari-hari, yang membutuhkan penyelesaian segera, bukan masalah dua tahun yang lalu ataupun masalah waktu kecil.

4. Unsur Konseling Kelompok

Dalam kegiatan konseling kelompok, terdapat beberapa unsur sehingga kegiatan tersebut disebut konseling kelompok. Adapun unsur-unsur yang ada dalam konseling kelompok yaitu:

a. Anggota kelompok, adalah individu normal yang mempunyai masalah dalam rentangan penyesuaian yang masih dapat diatasi oleh peimpin kelompok maupun anggota kelompok yang lainnya.

b. Pemimpin kelompok, adalah seseorang ahli yang memimpin jalannya kegiatan konseling kelompok. Konseling kelompok dipimpin oleh seorang konselor atau psikolog yang profesional dengan latihan khusus bekerja dengan kelompok.

c. Permasalahan yang dihadapi antar anggota konseling kelomppok adalah sama.

d. Metode yang dilaksanakan dalam konseling kelompok berpusat pada proses kelompok dan perasaan kelompok.

e. Interaksi antar anggota kelompok sangat penting dan tidak bisa dinomor duakan.

f. Kegiatan konseling kelompok dilaksanakan berdasar pada alam kesadaran masing-masing anggota kelompok dan juga pemimpin kelompok.

g. Menekankan pada perasaan dan kebutuhan anggota.

h. Adanya dinamika kelompok antar anggota kelompok dalam kegiatan konseling kelompok.

i. Ada unsur bantuan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok

5. Tipe Pendekatan Konseling Kelompok

a. Konseling/terapi dalam kelompok

Bentuk ini adalah pendekatan individual yang dilakukan di dalam kelompok. Selama proses konseling/terapi, anggota lain hanya menjadi pengamat.

b. Konseling/terapi dengan kelompok

Biasanya ditemui dalam kelompok temu ataupun kelompok-T. Aktivitas di dalam kelompok ditentukan oleh anggota. Konselor hanya bertindak sebagai expert participant.

c. Konseling/terapi mengenai kelompok

Bentuk ini lebih menekankan pada interaksi antar anggota. Fokus pada di-sini-dan-saat ini.Bentuk kelompok ini lebih menekankan pada saling membantu, memberikan dukungan dan menunjukkan model perilaku yang sehat. Konselor selaku pemimpin bertindak sebagai pengamat luar / outside observer, dan sebagai peserta pakar.

6. Materi Layanan Konseling Kelompok

Materi layanan konseling kelompok mencakup :

a. Pemahaman dan pengembangan sikap, kebiasaan, bakat, minat, dan penyalurannya.

b. Pemahaman kelemahan diri dan penanggulangannya, pengenalan kekuatan diri dan pengembangannya.

c. Perencanaan dan perwujudan diri.

d. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi, atau menerimamenyampaikan pendapat, bertingkah laku dan hubungan sosial, baik dirumah, sekolah, maupun masyarakat.

e. Mengembangkan hubungan teman sebaya baik dirumah, disekolah, dan dimasyarakat sesuai dengan kondisi, peraturan materi pelajaran.

f. Mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar, disiplin belajar dan berlatih, serta teknik-teknik penguasaan materi pelajaran.

g. Pemahaman kondisi fisik, sosial, dan budaya dalam kaitannya dengan orientasi belajar di perguruan tinggi.

h. Mengembangkan kecenderungan karir yang menjadi pilihan siswa.

i. Orientasi dan informasi karir, dunia kerja, dan prospek masa depan.

j. Informasi perguruan tinggi yang sesuai dengan karir yang akan dikembangkan.

k. Pemantapan dalam mengambil keputusan dalam rangka perwujudan diri.

7. Tahap-tahap konseling kelompok

Dalam pelaksanaan konseling kelompok, Prayitno (1987) membagi kegiatan menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap pembentukan atau tahap pengawalan, (2) tahap peralihan, (3) tahap kegiatan, (4) tahap pengakhiran. Dari masing-masing tahap akan diuraikan secara rinci baik yang berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai, kegiatan pemimpin kelompok beserta peranannya.

a. Tahap I (Tahap Pembentukan)

Glading (1995;80-85) mengemukakan lima langkah dalam pembentukan kelompok, yaitu langkah pertama rasional pertimbangan kelompok; langkah kedua menetapkan teori yang sesuai untuk pengembangan kelompok; langkah ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dalam kelompok; langkah keempat mengumumkan kelompok; dan langkah kelima pelatihan awal dan seleksi anggota dan konselor.

Dalam rangka mempersiapkan anggota untuk memasuki kelompok Corey (1985, dalam Rocman Natawidjaya, 1987)mengemukakan bahwa hal hal yang penting dibahas konselor bersama calon anggota kelompok, yaitu :

1) pertanyaan yang jelas tentang tujuan kelompok.

2) Deskripsi tentang bentuk kelompok, prosedur dan peraturan peraturan mainnya,

3) Kecocokan proses kelompok dengan kebutuhan peserta,

4) Kesempatan mencari informasi tentang kelompok yang akan dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi hal hal yang menarik dalam kegiatan kelompok itu,

5) Pertanyaan yang menjelaskan pendidikan, latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok,

6) Informasi biaya yang harus ditanggung peserta dan apakah itu mencakup kegiatan lanjut, disamping juga informasi tentang besarnya kelompok, banyaknya pertemuan, arah pertemuan, serta teknik teknik yang dugunakan,

7) Informasi tentang resiko psikologis dalam kegiatan kelompok itu,

8) Pengetahuan tentang keterbatasan kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan dimana kerahasiaan itu harus karena kepentingan bersama dan karena alasan hukum, etis, dan profesional,

9) Penjelasan tentang layanan yang dapat diberikan dalam kegiatan kelompok itu,

10) Bantuan dari pemimpin kelompok dalam mengembangkan tujuan tujuan pribadi peserta,

11) Pemahaman yang jelas mengenai pembagian tanggung jawab antara pimpinan kelompok dan pesertra; dan

12) Diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok.

Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap perlibatan diri atau tahap pemasukan diri ke dlam kehidupan suatu kelompok, tahap menentukan agenda, tahap menentukan norma kelompok dan tahap penggalian ide dan perasaan. Pada tahap ini umumnya para anggota saling memperkenalkan diri dan saling mengungkapkan tujuan dan harapan harapan yang ingin dicapai baik oleh masing masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Tahap ini ditandai dengan keterlibatan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok.

b. Tahap II (Tahap Peralihan)

Tahap II ini dinamakan tahap peralihan. Pada tahap peralihan biasanya diwarnai dengan suasana ketidakseimbangan, ekspresi sejumlah emosi dan interaksi dalam diri masing-masing anggota kelompok, yang menyebabkan tingkah lakunya tidak sebagaimana biasanya. Selain itu, tahap ini juga merupakan jembatan antara tahap pertama dan tahap berikutnya. Oleh karena itu, apabila tahap peralihan dapat dilalui dengan baik, sehingga diharapkan tahap-tahap berikutnya akan dapat juga berjalan baik. Dalam suatu kelompok tahap ini membutuhkan 5 % sampai 20 % dari keseluruhan waktu kelompok (Gladding, 1995; 103-104).

c. Tahap III (Tahap Kegiatan)

Tahap ketiga dinamakan tahap kegiatan. Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Kegiatan kelompok pada tahap ini tergantung pada hasil dari dua tahap sebelumnya. Jika tahap-tahap sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap ketiga ini akan berlangsung dengan lancar, dan pemimpin kelompok mungkin sudah bisa lebih santai dan membiarkan para anggota kelompok melakukan kegiatan tanpa banyak campur tangan dari pemimpin kelompok.

Tahap kegiatan sering juga disebut sebagai tahap bekerja (Gladding, 1995), tahap penampilan (Tuckman & jensen, 1977), tahap tindakan (George & Dustin,1988), dan tahap pertentangan yang merupakan inti dari kegiatan konseling kelompok, sehingga memerlukan alokasi waktu yang terbesar dalam keseluruhan kegiatan konseling kelompok. Dalam kelompok dari semua tipe, antara 40% hingga 60% waktu total kelompok akan digunakan dalam tahap bekerja. Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu para anggota memusatkan perhatian tujuan yang akan dicapai, mempelajari materi materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan mempraktekan perilaku perilaku baru. Tahap ini seringklali dianggap sebagai taha produktif dalam perkembangan kelompok dan ditandai dengan keadaan konstruktif dan pencapaian hasil. Para anggota kelompok memperoleh keuntungan atau pengaruh penbgaruh positif dari kelompok, dan merupakan saatnya anggota kelompok memutuskan seberapa besar mereka mau terlibat dalam kegiatan kelompok.

Dari tahap inilah akan diperoleh hasil-hasil yang diharapkan, yaitu mengembangkan pribadi dan perolehan kerja yang mencakup aspek-aspek kognitif, afektif dan berbagai pengalaman serta alternatif pemecahan masalah. Dalam tahap inilah seluruh peserta benar-benar diminta untuk bekerja, mengembangkan pikiran, memberikan dorongan, bertanya dan bahkan memberikan nasehat dan alternatif jalan keluar untuk pemecahan suatu masalah. Apabila para peserta sangat antusias dalam kegiatan pada tahap III ini, biasanya para peserta meminta agar lebih banyak topik atau masalah dapat dibahas dalam pertemuan mereka itu.

Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua solusi yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji menurut konsekuensinya dapat diwujudkan. Solusi solusi tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan pilihan akhir harus dibuat setelah melalui pertimbangan dan diskusi yang tepat. Namun perlu dicatat, menurut Gibson & Mitchell (1995), bahwa kemajuan selama tahap ini tidak selalu konstan, kadang kadang mengalami kemunduran, stagnasi, atau bahkan kebingungan. Oleh karena itu, konselor hendaknya sadar dan bersiap diri dengan kemungkinan negatif.

d. Tahap IV (Tahap Pengakhiran)

Tahap keempat dinamakan tahap pengakhiran. Berkenaan dengan pengakhiran kegiatan kelompok pokok perhatian hendaknya lebih ditujukan kepada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu kemudian menghentikan pertemuan.

Kegiatan kelompok sebelumnya dan hasil-hasil yang dicapai sebaiknya mendorong kelompok tersebut untuk terus melakukan kegiatan sehingga tujuan bersama dapat tercapai secara penuh. Dalam hal ini anggota kelompok yang menetap sendiri kapan kelompok itu akan bertemu.

Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok dipusatkan pada pembahasan-pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok akan mampu menerapkan hal yang mereka pelajari pada kehidupan mereka sehari-hari. Penghentian terjadi pada dua tingkatan dalam kelompok, yaitu pada akhir masing masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Dalam mempertimbangkan penghentian, konselor harus membuat rencana terlebih dulu. Proses penghentian meliputi langkah langkah : 1. Orientasi, 2. Ringkasan 3. Pembahasan tujuan dan tindak lanjut (Epstein & Bishop, 1981 dalam Gladding, 1995 : 147).

Tahap ini merupakan anti klimaks dari seluruh kegiatan, pada tahap ini kegiatan menyorot. Semangat yang tadinya menggebu-gebu sekarang mengendor. Segala sesuatu dalam tahap ini menuju kepada pengakhiran kegiatan. Pada tahap ini pemimpin kelompok meminta kesan-kesan dari para peserta, dan akhirnya kesan-kesan ini dikaitkan dengan kemungkinan pertemuan berikutnya. Usul-usul peserta yang menghendaki segera adanya pertemuan lagi, apalagi kalau pertemuan kembali itu dikehendaki supaya lebih cepat, menunjukkan betapa kegiatan konseling kelompok telah membuahkan sesuatu yang berharga bagi peserta yang bersangkutan.

Bagi individu anggota kelompok, penghentian prematur dapat terjadi mungkin dengan alasan yang tidak tepat dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan, Yalom (1985;233)membuat daftar sejumlah alasan yang seringkali diberikan individu anggota kelompok yang meninggalkan konseling kelompok secara prematur yaitu :

1) Faktor faktor eksternal ( konflik penjadwalan atau tekanan eksternal.

2) Ketidakcocokan (anggota yang tidak cocok dengan anggota lain)

3) Masalah kedekatan

4) Takut akan kontak emosional (contoh, sebuah reaksi pribadi negatif untuk mendengarkan masalah anggota kelompok lainnya)

5) Komplikasi individu dan terapi kelompok

6) Provokator awal (tertutup, penolakan yang kuat pada kelompok)

7) Orientasi yang tidak terpengaruh pada terapi

8) Komplikasi yang muncul dari sub- kelompok.

8. Kelebihan Konseling Kelompok

a. Anggota belajar berlatih perilakunya yang baru

b. Kelompok dapat dipakai untuk belajar mengekspresikan perasaan, perhatian dan pengalaman

c. Anggota belajar ketrampilan sosial, belajar berhubungan pribadi lebih mendalam

d. Kesempatan dan menerima di dalam kelompok

e. Efisiensi dan ekonomis bagi konselor, karena dalam satu waktu tertentu dapat memberikan konseling bagi lebih dari satu orang.

f. Kebanyakan masalah berkaitan dengan hubungan antar pribadi dalam lingkungan sosial. Konseling kelompok memberikan lingkungan sosial yang dapat dipakai sebagai sarana memecahkan masalah ini.

g. Kebersamaan dalam kelompok lebih memberika kesempatan untuk mempraktekkan prilaku baru daripada keberduaan pada konseling individual. Dalam kelompok, klien-klien mendapatkan dukungan dan umpan balik yang jujur mengenai perilaku yang dicobanya dari teman-teman sebayanya bukan dari konselor.

h. Konseling kelompok memungkinkan klien-klien memaparkan masalahnya kepada siswa-siswa lain, dan menjajaki penyelesaiannya dengan bantuan perasaan, perhatiaan dan pengalaman siswa-siswa lain.

i. Dalam memecahkan masalah pribadi maupun atara pribadi dalam konsleing kelompok, klien tidak hanya meningkatkan kemampuan memecahkan masalah bersama, tetapi juga belajar keterampilan sosial dalam pemecahan ini.

j. Dalam konseling kelompok klien-klien tidak hanya memecahkan masalah masing-masing tetapi juga masalah orang lain. Memberikan tanggapan terhadap masalah orang lain, dapat mengalihkan pusat perhatian dari masalahnya sendiri.

k. Di dalam kelompok, anggota akan saling menolong, menerima, berempati dengan tulus. Keadaan ini, membutuhkan suasana yang positif antara anggota, sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa positif dalam diri mereka. Semua itu dapat terwujud apabila dinamika kelompok tumbuh dengan baik, karena dinamika kelompok mencerminkan suasana kehidupan nyata yang terjadi dan di jumpai dan merupakan kekuatan yang mendorong kehidupan kelompok.

9. Kelemahan Konseling Kelompok

a. Tidak semua orang cocok dalam kelompok.

b. Perhatian konselor lebih menyebar.

c. Kepercayaan adalah hal yang sulit dibina.

d. Klien mengharapkan terlalu banyak dari kelompok.

e. Kelompok bukan dijadikan sarana berlatih melakukan perubahan, tetapi sebagai tujuan.

B. Konseling PerkawinanFatchiah E. Kertamuda (2009:2) menjelaskan, bahwa konseling adalah hubungan yang direncanakan antara seorang konselor dengan seorang agar konseli dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya serta dapat mengembangkan potensipotensi yang ada dalam dirinya.

Sementara, konseling pernikahan diartikan sebagai terapi untuk pasangan suami-istri. Adapun tujuan dari konseling pernikahan adalah untuk membantu pasangan suami-istri agar saling memahami dan saling menghargai perbedaan, dapat menyelesaikan permasalahan yang ada secara sehat, dan dapat meningkatkan hubungan dan komunikasi yang positif bagi suami-istri. Selain itu, konseling atau terapi dalam pernikahan dapat meningkatkan stabilitas pernikahan, mengurangi konflik dan mencegah perceraian (Kertamuda, 2009: 128).

1. Tujuan konseling pernikahan/keluarga menurut Corey (1990) adalah agar setiap pasangan suami-istri atau anggota keluarga mampu melakukan hal-hal sebagai berikut : (Kertamuda, 2009: 124-125) a. Dapat belajar mempercayai satu sama lain.

b. Mencapai pengetahuan diri (self knowledge) dan mengembangkan keunikan yang ada dalam diri masing-masing.

c. Meyakini bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan masalah yang biasa dan mengembangkan rasa kebersamaan.

d. Meningkatkan penerimaan diri (self acceptance), kepercayaan diri (self confidence), rasa hormat pada diri (self respect), sehingga dapat mencapai pandangan dan pemahaman baru tentang diri.

e. Menemukan alternative dalam mengatasi masalah-masalah perkembangan dan pemecahan terhadap konflik-konflik.

f. Meningkatkan pengarahan diri (self dirention), kemandirian, tanggungjawab terhadap anggota satu dengan yang lainnya.

g. Menjadi peduli dengan pilihan-pilihan dari setiap anggota dalam keluarga dan dapat membuat pilihan yang bijaksana.

h. Membuat rencana khusus untuk perubahan perilaku dan berkomitmen kepada anggota keluarga atau pasangan agar rencana dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

i. Belajar lebih efektif tentang kemampuan sosial.

j. Menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.

k. Belajar menghadapi masalah dengan baik, perhatian, jujur dan langsung.

l. Menjauhi harapan yang berasal dari orang lain dan belajar untuk dapat hidup dengan harapan yang ada dalam diri sendiri.

m. Menjelaskan nilai-nilai yang dimiliki dan bagaimana nilai tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.

2. Terdapat tiga tahapan yang harus dilalui agar konseling berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

a. Tahap pertama, yaitu menciptakan hubungan (relating) antara konselor dengan konseli, berupa kerjasama diantara keduanya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi konseli.

b. Tahap kedua, yaitu pemahaman (understanding). Dalam tahap ini konselor dan konseli perlu meningkatkan pemahamannya terhadap permasalahan pernikahan/keluarga yang sedang ditanganinya.

c. Tahap ketiga, yaitu perubahan (changing). Maksudnya adalah adanya perubahan pada diri konseli dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapinya secara lebih efektif disbanding sebelumnya (Kertamuda, 2009: 125).

3. Prosedur konseling Pernikahan/keluarga.

Prosedur untuk memberikan konseling pernikahan/keluarga perlu

memperhatikan beberapa faktor, yakni : (Keramuda, 2009: 123)

a. Pengumpulan informasi atau data tentang pasangan dan keluarga. Informasi yang diperlukan dalam hal ini termasuk medical record, pendidikan, kerabat/saudara, agama, kehidupan dalam masyarakat, data-data yang sekiranya dapat membantu dalam proses konseling.

b. Mempergunakan informasi yang telah dimiliki. Setelah data-data yang dibutuhkan diperoleh, langkah selanjutnya adalah beberapa pertanyaan yang terkait dengan data/informasi tersebut :

1) Gambaran seperti apa yang ada dalam keluarga tersebut ?

2) Apa yang menjadi kekuatan dari keluarga tersebut ?

3) Apa yang menjadi masalah utama dalam keluarga tersebut ?

4) Bagaimana mereka mengatasi masalah tersebut ?

5) Siapa yang memiliki pengaruh kuat dalam keluarga tersebut ?

6) Bagaimana keluarga tersebut mendapat perolongan ketika ada masalah ?

7) Apa yang sebaiknya tidak dilakukan oleh konselor dalam kasus ini?

8) Kesalahpahaman apa yang dilakukan oleh orang yang pernah menolong keluarga tersebut ?

c. Memastikan bahwa keluarga atau pasangan suami-istri yang sedang menghadapi masalah dan juga konselor siap untuk lebih terbuka pada perubahan yang akan terjadi. Selain itu, konselor juga harus mempersiapkan diri menghadapi situasi yang akan terjadi dalam keluarga tersebut.

4. Menurut Gladding (1992) terdapat 5 pendekatan yang dapat digunakan dalam konseling pernikahan sebagai berikut : (Kertamuda, 2009: 128-137)

a. Pendekatan Sistem Keluarga menurut Bowen (Bowen Family System).

Teori ini memfokuskan pada dua kekuatan, yakni kebersamaan (togetherness) dan keunikan (individuality). Kedua hal tersebut perlu diseimbangkan, karena bila salah satu dominan, misalnya, terlalu fokus pada kebersamaan dapat menimbulkan perpaduan, namun meninggalkan keunikan. Sebaliknya, bila terlalu fokus pada keunikan individu, maka dapat mengakibatkan adanya jarak dan pemisahan dalam keluarga. Teori ini merupakan cara untuk mengatasi ketidakmatangan emosi dan untuk menemukan pengaruhnya terhadap hubungan pada pernikahan yang dijalaninya (Kertamuda, 2009: 128-130). Teknik-teknik yang digunakan dalam system ini antara lain adalah :

1) Dalam proses konseling, setiap individu atau pasangan diharapkan memiliki konsep diri positif, sehingga tidak meimbulkan kecemasan pada saat interaksi berlangsung.

2) Memahami silsilah (genogram = grafik gambar dari sejarah keluarga) dari keluarga, dan menekankan pada evaluasi terhadap peristiwa dan interaksi dalam hubungan antara anggota keluarga secara bersama-sama. Kegunaan dari genogram adalah untuk melihat peta dari koalisi keluarga, aliansi, signifikansi peristiwa masa lalu, peristiwa perubahan hidup, mitos-mitos dan aturan yang terdapat dalam keluarga, serta beragam hal yang mempengaruhi keluarga. Genogram dapat digunakan untuk mengetahui bentuk dasar dan demografis dari keluarga. Melalui simbol-simbol, genogram memberikan gambaran dari 3 generasi. Nama-nama, tanggal pernikahan, perceraian, kematian, dan informasi lain yang relevan dapat diketahui melalui genogram. Selain memberikan banyak data dan pemahaman konselor terhadap anggota keluarga di awal terapi, genogram dapat membantu konselor dalam mengembangkan keharmonisan dalam keluarga.

b. Teori Psikoanalisis (psychoanalysis theory).

Teori ini berpusat pada hubungan yang terjadi dalam pernikahan (object relation), yakni cara orang-orang membentuk ikatan, baik antarsatu dengan yang lain maupun antarsesuatu yang berasal dari luar. Dalam teori ini pengalaman awal dari kehidupan khususnya hubungan orang tua dengan anak memiliki posisi yang sangat penting. Secara umum anak-anak bergantung pada orang tua sebagai pengasuhnya. Ketika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka anak akan merasa aman, dan hal ini direfleksikan melalui ikatan yang alamiah dengan orang tuanya, begitu sebaliknya. Tujuan dari teori psikoanalisis ini antara lain adalah :

1) Melepaskan anggota keluarga dari ketidaksadaran, sehingga mereka mampu berinteraksi antarsatu dengan yang lain secara sehat.

2) Melakukan long term therapy, meskipun seringkali dihadapkan pada keputusan yang kritis melalui gejala-gejala penurunan sebagai kunci dalam family therapy.

3) Menekankan pada perbedaan dan kemandirian.

4) Membantu keluarga membentuk dan belajar untuk melepaskan satu dengan yang lain dengan cara memberikan kesempatan untuk setiap anggota keluarga mandiri.

5) Membantu anggota keluarga mengatasi perasaan yang irasional, tidak produktif, rasa bersalah, dan menjaga kekuatan setiap orang agar mampu meningkatkan dirinya.

c. Teori Pembelajaran Sosial (social learning theory).

Teori ini merupakan salah satu bentuk teori yang berdasarkan pada behaviorisme, yang menekankan pada belajar dan modeling. Dalam konseling pernikahan, fokus teori ini ada pada meningkatkan kemampuan dan hubungan pada saat ini. Peristiwa yang terjadi pada masa lalu yang mengganggu hubungan suami istri bukan merupakan faktor utama dalam teori ini. Dalam proses konseling, konselor menggunakan beragam bentuk strategi behavior untuk menolong pasangan agar berubah dalam perilaku maupun persepsi terhadap masalah pernikahan.

Menurut Gladding (1992) Terdapat 3 karakteristik dari teori Teori Pembelajaran Sosial, sebagai berikut : (Kertamuda, 2009: 134).

1) Keluarga sebagai suatu budaya yang kecil dan personal.

2) Keluarga sebagai sumber dari perubahan sistem.

3) Keluarga merupakan tempat dalam menciptakan hubungan.

Adapun teknik-teknik dalam teori ini, antara lain sebagai berikut :

1) Laporan tentang diri sendiri (self reports), merupakan informasi tentang hal-hal apa saja yang telah dialami oleh masing-masing pasangan. Tujuan dari self reports adalah untuk memberikan pemahaman tentang dirinya dan masalah apa saja yang pernah dialaminya sebelum dan sesudah menikah, dan untuk membantu konselor menelaah faktor apa saja yang menjadi kendala secara pribadi dari setiap pasangan.

2) Pengamatan (observations). Teknik ini dilakukan oleh konselor untuk meyakinkan kebenaran informasi yang telah disampaikan oleh masing-masing pasangan tersebut.

3) Peningkatan komunikasi melalui latihan dan training (communicaton enhancement training exercises) yang dilakukan oleh pasangan yang sedang dilanda masalah. Karena masalah yang sering terjadi dalam pernikahan adalah masalah komunikasi yang tidak baik antara suami-istri maupun orang tua dengan anak.

4) Kontrak/perjanjian (contracting), yakni melakukan tugas-tugas dalam rumah tangga secara bersama-sama dengan perjanjian/kontrak yang telah disepakati masing-masing pasangan.

5) Tugas/pekerjaan rumah (homework assignments), dilakukan oleh masing-masing pasangan sebagai bahan pembelajaran dan latihan yang didasarkan pada kontrak yang telah disepakati bersama.

d. Teori Struktural dan Strategi (structural strategic theory).

Teori ini mendasarkan pada keyakinan bahwa membantu pasangan beradaptasi terhadap gejala-gejala ketidakberfungsian peran dalam pernikahan. Pendekatan ini dapat melihat masalah yang terjadi melalui perkembangan pandangan kehidupan dalam keluarga. Kesulitan-kesulitan dalam pernikahan dapat dijadikan tanda-tanda untuk membantu memecahkan dan memelihara sistem pernikahan yang terjadi. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memperoleh fungsi baru pada perilaku-perilaku yang dapat membantu pasangan mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Teori ini menekankan pada fungsi keluarga sebagai institusi sosial yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Tugas konselor dalam teori ini adalah memberikan kesempatan pada pasangan untuk melakukan perubahan dalam Perilakunya. Teknik-teknik yang digunakan dalam teori ini antara lain adalah; relabeling (memberikan perspektif baru pada perilaku), paradoxing (insisting on just he opposite, dan memberikan kesadaran kepada pasangan untuk menunjukkan apa yang sebelunya ingin dilakukannya. Dalam teori ini konselor berperan aktif untuk membuat konseli berubah atau untuk membantu konseli mengerjakan tugasnya.

e. Teori Teori Emotif Rasional (rational emotive theory). Konsep dasar dari teori ini adalah bahwa manusia secara alamiah dilahirkan dengan potensi berpikir rasional. Teori ini menekankan pada pasangan sebagai individu yang seringkali dilanda pada perilaku spesifik yang terjadi dalam hubungannya dengan pasangan, yakni perilaku yang didasarkan pada pikiran rasional dan pikiran irasional. Berpikir irasional diantaranya adalah perasaan bahwa dirinya harus dicintai dan diterima oleh pasangannya, pasangan hidupnya sangat tidak menyenangkan, buruk dan tidak baik. Tujuan utama dari teori ini adalah menolong konseli untuk dapat berpikir lebih rasional dan lebih produktif, membantu pasangan suami istri untuk mengubah setiap kebiasaan yang dapat merusak pikiran dan perilakunya, memotivasi mereka agar lebih toleran terhadap dirinya dan pasangannya, serta dapat membuat tujuan hidup dalam pernikahannya. Terdapat 2 (dua) teknik yang digunakan dalam teori emotif rasional, yaitu :

1) Metode kognitif, dalam metode kognitif, terdiri atas :

a) Disputing irrational beliefs (perselisihan keyakinan yang irasional). Metode ini digunakan oleh konselor agar dapat memahami perselisihan tersebut dan mengarahkan pasangan untuk dapat memanfaatkannya sebagai tantangan pada kehidupan mereka.

b) Disputing irrational beliefs (perselisihan keyakinan yang irasional). Metode ini digunakan oleh konselor agar dapat memahami perselisihan tersebut dan mengarahkan pasangan untuk dapat memanfaatkannya sebagai tantangan pada kehidupan mereka.

c) Changing ones language (perubahan pada bahasa). Bahasa yang digunakan oleh konseli menunjukkan pola pikirnya, sehingga penggunaan bahasa konseli perlu untuk diubah agar mereka dapat belajar dari perubahan kata yang digunakan.

2) Metode emosi

5. Teknik Dasar Konseling Pernikahan

Dalam proses konseling pernikahan, teknik-teknik yang digunakan oleh konselor dapat bervariasi, melihat kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi. Di samping itu, penggunaan pendekatan yang digunakan dalam konseling pernikahan tidak hanya terbatas pada pendekatan-pendekatan yang telah dikemukakan di atas. Penguasaan teknik dasar konseling pernikahan merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki oleh konselor. Berikut beberapa teknik dasar konseling pernikahan, antara lain : (Kertamuda, 2009: 152-161).

a. Mendengarkan secara aktif (active listening). Maksudnya konselor mendengarkan, melihat dan berupaya memahami apa yang disampaikan oleh konseli dalam proses konseling. Mendengarkan secara aktif merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki oleh konselor, karena akan memunculkan trust dari konseli terhadap konselor. Melalui teknik ini konseli akan merasa nyaman dan merasa bebas mengungkapkan perasaannya karena merasa didengar dan diperhatikan secara serius.

b. Fokus dan mengikuti (focusing and following). Maksudnya, focusing berarti konselor memusatkan perhatian kepada apa yang disampaikan oleh konseli, sementara following berarti mengikuti apa yang disampaikan oleh konseli. Kedua istilah tersebut sangat terkait dan sulit dipisahkan. Penguasaan keterampilan atas teknik ini (kedua hal tersebut) merupakan awal kesuksesan terciptanya suatu hubungan dalam komunikasi. Teknik ini memiliki 3 komponen penting, yakni kontak mata, perilaku non-verbal dan ungkapan verbal -yang dilakukan oleh konselor terhadap konseli.

c. Menggali lebih dalam (probing). Artinya teknik ini merupakan respons konselor atas apapun yang telah disampaikan oleh konseli, dimana konselor perlu menggali lebih dalam atas masalah tersebut. Sebaiknya probing dilakukan dengan cara yang lunak tetapi tegas namun tidak memaksa.

d. Mendorong konseli (encouraging). Maksudnya konselor mendukung atau mendorong konseli untuk menghadapi permasalahannya secara dewasa dan arif, sehingga konseli merasa didukung sepenuhnya oleh konselor. Teknik ini membuat konseli merasa ada teman (tidak sendirian) dalam menghadapi masalah yang sedang menimpanya.

e. Kejelasan (clarification), merupakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang isinya sama dengan apa yang disampaikan konseli. Selain itu, ada juga kalimat-kalimat tersebut isinya mohon kejelasan dari konseli tentang apa yang telah diutarakannya. Hal demikian bertujuan agar konseli mengerti bahwa konselor memahami apa yang konseli utarakan, dan untuk memperjelas apa yang sudah diungkapkan konseli kepada konselor.

f. Konfrontasi (confronting). Artinya ada kesenjangan atau kontradiksi yang terjadi dalam diri konseli yang harus ditunjukkan oleh konselor. Hal ini bertujuan agar konseli sadar bahwa terjadi kontradiksi antara apa yang diucapkannya dengan perilakunya atau kenyataan yang terjadi. Namun teknik ini harus digunakan secara hati-hati supaya tidak mengganggu proses konseling.

g. Mengarahkan (teaching). Maksudnya ketrampilan konselor untuk mengarahkan pembicaraan dari satu topik ke topik yang lain secara langsung. Teknik ini biasanya digunakan dengan kalimat pertanyaan. Teknik ini berperan dalam membangun hubungan dan bertujuan agar konseli terbantu dalam menyelesaikan masalah dan membuat keputusan (problem solving and decision making). h. Memantulkan (reflecting). Artinya konselor mengekspresikan kembali hal-hal yang telah dinyatakan atau diuraikan oleh konseli kepada konselor. Refelksi merupakan usaha untuk memperoleh kebenaran terhadap apa yang dipahami konselor berkaitan dengan masalah konseli. Terdapat 2 refleksi dalam hal ini, yakni refleksi perasaan dan refleksi isi.

i. Keterbukaan diri (self disclosure), merupakan sifat pribadi yang penting, dan merupakan teknik yang penting dalam konseling, di mana konselor harus terbuka menyampaikan pengalaan pribadinya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Teknik akan membantu meningkatkan kepercayaan konseli terhadap konselor, sehingga terjadi komunikasi yang terbuka diantara keduanya.

6. Konselor dalam Pernikahan Konselor Pernikahan sebagai sebuah profesi penolong terhadap pasangan suami-istri memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam rangka menciptakan suasana yang kondusif bagi pasangan tersebut. Namun profesi ini belum banyak berkembang dengan berbagai faktor yang menyebabkannya, sehingga profesi ini masih belum mendapatkan perhatian serius dari masyarakat luas. Terlebih di Indonesia, profesi konselor yang menangani khusus pernikahan masih sangat terbatas. Hal demikian merupakan tantangan besar bagi konselor pernikahan agar mampu menjalankan perannya dalam membantu pasangan suami-istri yang sedang bermasalah. Oleh karena itu, konselor pernikahan perlu memiliki kriteria tertentu, sehingga penanganan keluarga bermasalah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yakni profesional. Di bawah ini akan penyusun bahas beberapa hal, diantaranya adalah syarat-syarat menjadi konselor, kompetensi konselor, profil konselor, peran konselor dalam pernikahan, dan tips bagi konselor ketika menghadapi konseli.

a. Syarat-syarat menjadi konselor.

Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang konselor diantaranya : (Kertamuda, 2009: 164-165)

1) Berdasarkan Peraturan Mendiknas RI Nomor 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor menyebutkan bahwa pembentukan kompetensi akademik konselor ini merupakan proses pendidikan formal jenjang S-1 bidang Bimbingan dan Konseling dengan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).

2) Seorang konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya.

3) Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah konseli.

b. Kompetensi konselor.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19/2005, seorang konselor dalam menjalankan tugas dan kewajibannya setidaknya harus memiliki 4 kompetensi dilihat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 27/2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor, yaitu :

1) Kompetensi Pedagogis.

Kompetensi pedagogis di dalamnya terdapat beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Menguasai teori dan praktik pendidikan.

b) Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseling.

c) Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis dan jenjang satuan pendidikan.

2) Kompetensi kepribadian.

Kompetensi kepribadian yang dimiliki konselor adalah sebagai berikut:

a) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih.

c) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat.

d) Menampilkan kinerja berkualitas tinggi

3) Kompetensi sosial.

Konselor memiliki kompetensi sosial sebagai berikut:

a) Mengimplementasikan kolaborasi interval di tempat bekerja.

b) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.

c) Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi.

d) Kompetensi profesional, konselor harus memiliki kompetensi profesi seperti berikut ini:

Menguasai konsep dan praktis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan dan masalah konseling.

Menguasai kerangka teoritis dan praktis bimbingan dan konseling.

Merancang program bimbingan dan konseling.

Mengemplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif.

Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling.

Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional.

Menguasai konsep dan praktis penelitian dalam bimbingan dan konseling.

7. Profil konselor

Konselor adalah seorang terapis yang menjadi model terhadap kepedulian dalam membantu konseli-konselinya. Maka dari itu, konselor diharapkan memiliki kualitas personal dan karakteristik, diantaranya sebagai berikut : (Kertamuda, 2009: 172-174).

a. Identitas diri konselor. Maksudnya konselor memahami siapa dirinya, apa kemampuan yang dimiliki, apa yang diinginkannya dalam hidup,dan apa yang dianggap penting. Konselor harus menguaai berbagai teori konseling pernikahan/keluarga, sehingga dapat membantu konseli secara efektif-efisien.

b. Respek dan menghargai dirinya sendiri. Artinya dapat memberikan bantuan, cinta, harga diri, dan kekuatan untuk diri sendiri. Konselor yang sukses adalah konselor yang dapat mengatasi dirinya ketika dilanda kejenuhan (burn out) seperti menjadi sangat emosional, atau penurunan secara drastic kesehatan fisik.

c. Konselor mampu mengakui dan menerima kekuatan yang ada pada dirinya. Maksudnya konselor merasa mampu bahwa orang lain dapat merasakan kekuatannya, dan menggunakan kekuatannya untuk membantu konseli.

d. Konselor mampu bertoleransi terhadap perbedaan. Artinya konselor menyadari bahwa setiap individu berbeda dan dapat dipercaya.

e. Konselor mampu mengembangkan gaya dan cara dalam memberikan konseling. Artinya konselor memiliki kekhasan dalam mengekspresikan serta dapat mengembangkan ide dan teknik-teknik yang ada. Konselor yang efektif dapat menyesuaikan teknik-teknik konseling dengan kebutuhan konseli.

f. Semangat hidup. Maksudnya konselor memiliki keaktifan, memiliki pandangan yang positif terhadap kehidupan dan memiliki energi yang cukup untuk memberikan konseling terhadap konseli.

g. Asli, tulus dan jujur. Maksudnya konselor tidak bersembunyi di balik topeng, membela diri, peran yang kaku dan menutupi kelemahan. Kemauan atau niat yang tulus untuk dapat menolong orang lain merupakan syarat penting lain yang harus dimiliki oleh konselor.

h. Konselor memiliki sense of humor. Maksudnya konselor mampu menempatkan kehidupannya dan menyadari bahwa mereka perlu ceria, tertawa agar mampu melihat permasalahan sesuai dengan perspektif yang ada.

i. Konselor konselor mengakui bila melakukan kesalahan. Maksudnya sebagai manusia konselor juga tidak luput dari kesalahan, maka konselor harus segera minta maaf kepada konseli.

j. Konselor menghargai perbedaan budaya. Maksudnya konselor menghargai beragamnya budaya, dan nilai-nilai yang diyakini oleh orang yang berbeda budaya. Konselor juga peka terhadap keunikan yang terkait dengan kelas sosial, ras dan gender.

8. Peran konselor dalam pernikahan.

Berikut beberapa peran yang biasanya dijalankan oleh konselor pernikahan, yaitu : (Kertamuda, 2009: 177-181)

a. Mediator.

Peran sebagai mediator merupakan peran yang tidak mudah, karena harus mampu bersikap netral, adil, dan tidak memihak kepada salah satu pasangan suami-istri yang sedang bertikai. Hal ini harus disampaikan sejak awal konseling dilakukan, bahwa konselor akan bertindak sebagai mediator

b. Pembimbing dan Penasehat. Penjelasan dari peran konselor tersebut adalah :

1) Konselor memberikan bimbingan/tuntunan kepada pasangan suami-istri bermasalah sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor harus memiliki kematangan dalam kepribadian, sehingga mampu melihat masalah secara dewasa dan bijaksana.

2) Konselor memberikan nasehat dengan cara membantu pasangan suami-istri agar mampu melaksanakan sesuatu yang baik untuk keluarganya dan menghindari hal-hal yang tidak sepatutnya.dilakukan.

c. Penyelamat Hubungan Pernikahan

Berbagai permasalahan yang muncul dalam keluarga membuat peran konselor menjadi sangat penting dalam rangka menyelamatkan hubungan pernikahan. Oleh karena itu. konselor diharapkan mampu membantu pasangan pernikahan menyelesaikan masalah yang menimpanya.

9. Tips bagi konselor ketika menghadapi konseli.

Berikut beberapa tips bagi konselor ketika menghadapi konseli : (Kertamuda, 2009: 181-182).

a. Sebelum merencanakan untuk bertemu dengan konseli pertama kali, posisikan anda sebagai konseli dan bayangkan apa yang anda inginkan dari konselor.

b. Berempati terhadap konseli baik itu terhadap masalahnya, perasaannya, perilaku dan keinginannya. Empati sebagai kemampuan konselor untuk menyelami fenomena yang terjadi pada dunia konseli.

c. Gunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami konseli. Perhatikan siapa konseli, seperti latar belakang pendidikannya, status sosial dan ekonominya, perasaan dan harapannya

d. Temukan kata-kata kunci atau kejanggalan-kejanggalan yang ditunjukkan oleh konseli. Sehingga konselor dapat mengetahui yang sedang terjadi pada konseli saat konseling berlangsung.

e. Tunjukkan bahwa anda menerima apa yang konseli lakukan, lihat, jelaskan hingga hal-hal yang menurut anda tidak logis atau realistis. Karena penerimaan anda sangat berarti bagi konseli dan dapat membantu membina hubungan yang lebih efektif dengan konseli.f. Tidak melakukan konfrontasi di awal sesi karena hal tersebut dapat membuat konseli anda mempertahankan dirinya. Hindari perdebatan dan argumentasi dengan konseli. Gunakan teknik klarifikasi dengan menyampaikan bahwa anda bingung atau tidak memahami apa yang dimaksud konseli sehingga anda butuh penjelasan lebih lanjut dari konseli tentang apa yang dimaksudnya. Penggunaan teknik ini akan dapat diterima konseli dibandingkan dengan teknik konfrontasi.

g. Biarkan konseli menjadi menjadi orang yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.

h. Agar konselor tetap dapat melakukan tugasnya dengan baik, konselor harus selalu mengingatkan dirinya sendiri agar dapat menyesuaikan dengan pikiran dan perilakunya ketika menghadapi konseli, dan tidak terbawa ke dalam emosi dan pikiran dari konseli.

i. Selama sesi awal dari proses konseling, berikan pujian kepada konseli bila dia telah melakukan apapun yang positif. Dukungan dan penghargaan yang diberikan dapat memotivasi konseli untuk menggunakan secara terbuka terhadap permasalahan yang dihadapinya.

j. Pada saat memberikan konseling, konselor tidak memihak pada salah satu konseli.

Daftar PustakaHallen A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching.

Kertamuda, Fatchiah E. 2009.Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, Cetakan. I.Jakarta: Salemba Humanika.Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prayitno. 2001. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Winkel. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Gramedia Widia Sarana Indonesia.27