makalah klp 6
TRANSCRIPT
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Masalah
Masalah gizi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat pada
sebagian besar negara berkembang yang terutama terjadi pada bayi, anak-anak
dan wanita usia produktif (UNICEF, 2000). Masalah gizi yang terjadi tidak hanya
masalah gizi makro namun pula gizi mikro. Di Indonesia, bayi merupakan
kelompok dengan prevalensi tinggi yang mengalami defisiensi zat gizi mikro,
kondisi underweight dan stunting (ACC/SCN, 2000).
Di Indonesia masalah kurang gizi disebabkan karena kurang energi protein
(KEP). KEP merupakan masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup
mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Manifestasi
KEP ditentukan dengan pengukuran status gizi (Rimbawan & Baliwati, 2004).
Berdasarkan pengukuran status gizi tedapat kategori status gizi balita KEP yaitu
underweight (BB/U), wasted atau kekurusan (BB/TB), dan stunted atau pendek
(TB/U).
Posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan India, China, Nigeria, dan
Pakistan. Tinggi standar anak usia 5 tahun adalah 110 cm. Namun, tinggi rata-rata
anak Indonesia umur 5 tahun pada tahun 2010 kurang 6,7 cm untuk anak laki-laki
dan kurang 7,3 cm untuk anak perempuan.
Prevalensi stunted (Z-score TB/U <-2.0 SD) di Asia Tenggara pada tahun
1995 36.8%, tahun 2000 32.1% (SCN, 2004). Di Indonesia prevalensinya lebih
tinggi. Data RISKESDAS 2007 menunjukkan prevalensi kependekan anak balita
di Indonesia 36.8, sebanyak 18.8% termasuk sangat pendek yaitu z-skor TB/U <-
3.0 SD (Depkes, 2008). Data terakhir dalam RISKESDAS 2010 menunjukkan
prevalensi kependekan secara nasional 35.6% artinya terjadi penurunan
dibandingkan prevalensi pada tahun 2007. Prevalensi sangat pendek sedikit turun
dari 18.8% pada tahun 2007 menjadi 18.5% pada tahun 2010 sedangkan
prevalensi pendek turun dari 18.0% menjadi 17.1% (Kemkes, 2010).
1 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
Kabupaten/kota yang memiliki prevalensi stunted tertinggi adalah
Kabupaten Seram Bagian Timur (67.9%), Propinsi Maluku. Menurut Salimar
(2009), prevalensi balita pendek tertinggi berada di pedesaan (65.1%), karena
sebagian besar balita berada di pedesaan di empat wilayah (Sumatera, Bali dan
Indonesia Timur, Kalimantan dan Sulawesi) di Indonesia.
Anak balita yang tinggal di daerah perkotaan ternyata lebih tinggi
dibanding anak yang tinggal dipedesaan. Keadaan lingkungan yang tetap dan
tidak berubah di pedesaan diduga menjadi penyebab tinggi badan anak di
pedesaan tidak berubah (ACC/SCN, 1997; Atmarita dan Tatang, 2004). Gangguan
pertumbuhan pada usia dini akan tetap bertahan sampai anak itu berusia remaja
jika anak tersebut masih tinggal di daerah yang sama. Akan tetapi keadaan ini
dapat diperbaiki jika makanan dan keadaan lingkungan turut diperbaiki (Martorel
et al., 1994 dan Rivera et al., 1995).
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.Apakah definisi Stunting ?
1.2.2.Bagaimana klasifikasi stunting pada bayi ?
1.2.3.Bagaimanakah epidemiologi Stunting ?
1.2.4.Faktor apa sajakah penyebab dan yang mempengaruhi Stunting pada
bayi ?
1.2.5.Bagaiamana dampak Stunting pada bayi ?
1.2.6.Bagaimanakah upaya pencegahan Stunting pada bayi ?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1.Untuk mengetahui definisi Stunting.
1.3.2.Untuk mengetahui epidemiologi Stunting.
1.3.3.Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya Stunting pada bayi.
1.3.4.Untuk mengetahui dampak penyebab Stunting pada bayi.
1.3.5.Untuk mengetahui cara mendiagnosa Stunting.
1.3.6.Untuk mengetahui upaya pencegahan Stunting pada bayi.
2 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
1.4. Manfaat Penulisan
Diharapkan pembaca dapat melihat stunting menjadi salah satu isu
kesehatan yang sangat penting, kiranya bagi para calon ibu agar memperhatikan
janinnya terutama asupan makanan yang bergizi agar potensi stunting dapat
ditekan.
3 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
BAB II. LANDASAN TEORI
Stunting adalah gangguan pertumbuhan yang merefleksikan gagalnya proses
mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai akibat dari kesehatan yang kurang
optimal dan / atau kondisi gizi. Pada dasarnya penduduk yang memiliki kondisi
sosial-ekonomi yang rendah dan risiko terpaparnya suatu penyakit tertentu dan /
atau pola makan serta pola hidup yang tidak sehat sangat rentan mengalami
stunting. Demikian pula, menurunnya prevalensi stunting nasional biasanya
menunjukkan membaiknya kondisi sosial-ekonomi secara menyeluruh di negara
tersebut.
Stunting secara praktis digunakan sebagai pembuktian empiris karena
distribusi tinggi badan anak yang sehat tidak dipengaruhi oleh etnis dan ras untuk
lima tahun pertama usia mereka (Habicht, 1974). Setiap perbedaan di antara
penduduk atau kelompok etnis di bawah usia lima tahun memiliki beragam
tingkat penghambat pertumbuhan yang disebabkan oleh faktor lain selain
kecenderungan genetik. Satu-satunya pengecualian adalah perbedaan jenis
kelamin.
Adapun penelitian di Asia yang menunjukkan kerentanan perempuan lebih
tinggi (Khatun, 2004), namun beberapa penelitian di negara berpenghasilan
rendah telah menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih cenderung penghambatan
pertumbuhan dibandingkan perempuan, sebagian besar dari mereka terdapat di
sub-Sahara Afrika. Salah satu penelitian terbaru dikelompokkan dalam tingkat
prevalensi stunting berdasarkan jenis kelamin dan status sosial ekonomi (Wamani,
2009). Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa pada keluarga miskin,
penderita stunting lebih banyak dialami anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, dan perbedaan akan jenis kelamin dalam stunting tidak terdapat pada
anak-anak dengan kondisi sosial-ekonomi baik.
4 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
Gizi baik dan gaya hidup sehat merupakan hal yang penting sepanjang
siklus kehidupan untuk menjamin kesehatan optimal bagi individu dan generasi
berikutnya. Ketika anak kehilangan hal tersebut, maka akan menjadi anak pendek
(stunting). (Ferrari FBM, 2002). Anak-anak bertubuh pendek karena kurang
gizi kronis sejak dalam kandungan. Kemiskinan dan kekurangtahuan orangtua
membuat anak dan ibu hamil tak mendapat asupan gizi sesuai kebutuhan. Kurang
gizi pada ibu hamil membuat 11,1 persen bayi lahir dengan berat badan rendah,
yaitu kurang dari 2.500 gram.
Data yang disampaikan oleh UNICEF, anak yang pendek punya rata-rata
IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak dengan tinggi normal sesuai
usianya. Menurut Linda S Adair, PhD, Associate Professor of Nutrition
Universitas Carolina Utara, AS mengatakan, ini tidak berlaku apabila tubuh
pendek diakibatkan karena faktor genetis.
Stunting menimbulkan berbagai konsekuensi, baik yang bersifat jangka
pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek, stunting, wasting berat, dan
IUGR secara bersama-sama bertanggungjawab pada kematian 2,2 juta kematian
anak balita dan 21% disability-adjusted life-years (DALYs).
5 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
BAB III. PEMBAHASAN
3.1. Definisi Stunting
Stunted merupakan manifestasi sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya
angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta
tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa
berikutnya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada usia sekolah banyak
ditemukan anak yang kurang gizi.
Di negara-negara berkembang, stunting dimanifestasikan dengan gangguan
akan pertumbuhan dan prevalensi defisiensi gizi makro dan gizi mikro yang
cukup tinggi. Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah
gizi kurang. Gangguan stunting mengakibatkan anak tidak mampu mencapai
potensi genetik, mengindikasikan kejadin jangka panjang dan dampak kumulatif
dari ketidak cukupan komsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang
tidak memadai (ACC/ SCN 1997).
Gangguan pertumbuhan linear atau penyimpangan dari garis kurva
pertumbuhan referensi WHO di negara-negara berkembang pada umumnya terjadi
pada saat bayi berumur diatas 4-6 bulan dan penyimpangan semakin memburuk
selama tahun pertama kehidupan dan mencapai z-skor tinggi badan menurut umur
yang terendah pada tahun ke dua kehidupan (24 bulan), dan perbedaan kurva
pertumbuhan menjadi semakin membesar. Setelah umur 24 bulan, kurva
pertumbuhan akan mendatar pada z-skor yang rendah (Karlberg, 1994 dan
ACC/SCN, 1997).
3.2. Epidemiologi Stunting
6 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
3.3. Faktor Penyebab dan yang mempengaruhi Stunting pada Bayi
Sudah umum diketahui bahwa gangguan pertumbuhan linear diakibatkan
oleh berbagai faktor (multifaktoral), yang kemungkinan besar dapat mengganggu
metabolisme. Faktor yang paling penting ada tiga yaitu konsumsi zat gizi, infeksi
dan interaksi ibu dan anak, yang sebagian besar tergantung pada tingkat
pendidikan dan tingkat sosial ekonomi keluarga. Selama ini gangguan
pertumbuhan dianggap hanya sebagai akibat dari kurang energi-protein yang
berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Walaupun pendapat itu tidak
sepenuhnya salah, hasil analisis dari penelitian tentang hubungan antara intake
energi-protein dengan pertumbuhan linear yang dilakukan oleh Allen (1994)
menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan linear, dapat saja terjadi meskipun
intake energi-protein cukup.
Zat gizi dan non-gizi pada yang terdapat pada ASI berguna untuk menopang
kesehatan bayi, pertumbuhan, dan perkembangan sebagai faktor amikroba, enzim
pencernaan, hormon, dan growth modulator (Pretice, 1996). Pemberian ASI
memberi manfaat bagi kesehatan dan gizi bayi melalui beberapa mekanisme. ASI
menyediakan sumber zat gizi lengkap secara penuh selama 6 bulan pertama
kehidupan, kemudian memenuhi setengah kebutuhan selama 6 bulan periode
berikutnya dan memenuhi dua pertiga kebutuhan pada tahun kedua kehidupan
(WHO 1998; ACC/SCN, 2000). Berbagai penelitian melaporkan bahwa bayi yang
memperoleh ASI, lebih jarang menderita sakit bila dibandingkan dengan bayi
yang memperoleh susu formula, hal ini disebabkan ASI mengandung zat
kekebalan terhadap bakteri
Defisiensi zat gizi mikro (mineral seng, besi, iodium, selenium) diduga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan linear. Hasil penelitian
Allen (1994) menunjukkan bahwa suplementasi zat gizi mikro dapat memperbaiki
pertumbuhan linear. Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan konsumsi zat gizi
mikro juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan linear.
Pola pengasuhan secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi anak.
Jus’at dkk (2000) mengemukakan bahwa pola asuh sangatlah penting untuk
7 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita. Lebih lanjut dikemukakan juga
bahwa pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh yang diwujudkan dengan
tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumberdaya lainnya untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi status
gizi anak. Semakin tinggi pendidikan, semakin rendah prevalensi balita kurang
gizi dan balita kependekan (Kemkes, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi stunted
Berdasarkan analisis korelasi Pearson, diketahui bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan stunted adalah PDRB (kapita tanpa migas), tingkat
pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, pemanfaatan posyandu,
imunisasi lengkap dan kejadian diare.
TABEL 1. Faktor yang Berhubungan dan Faktor yang Berpengaruh terhadap
Stunted
Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari
setiap faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi linier tersebut dapat
diketahui bahwa PDRB/kapita, tingkat pendidikan, dan perilaku higiene 8 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
berpengaruh negatif terhadap stunted, sedangkan tingkat kemiskinan berpengaruh
positif terhadap stunted. Kondisi ini menunjukkan semakin tinggi persentase
penduduk yang berperilaku higiene, penduduk yang berpendidikan tinggi dan
tingginya PDRB/kapita wilayah, maka semakin rendah prevalensi stunted,
semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi stunted semakin meningkat.
Dengan persamaan liniernya sebagai berikut:
3.4. Dampak yang Stunting pada Bayi
Penyebab kejadian stunting terjadi pada saat prenatal dan postnatal
terutama pada dua tahun pertama kehidupan (ACC/SCN, 1997). Kerentangan
gangguan pertumbuhan linier post-natal mengalami perubahan menurut usia.
Di negara berkembang, periode terjadi kerentanan gangguan pertumbuhan
linier terjadi pada usia 3-6 bulan hingga usia 24-36 bulan (ACC/SCN 1997).
Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan
dengan meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya
perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik ( ACC/
SCN, 2000 ; Waterlow & Schurch, 1994 ).
Terhambatnya perkembangan motorik dan mental ditandai oleh perilaku
yang abnormal seperti apatis, kurang aktif, kurang mengekspolarasi lingkungan,
lekas marah, dan kurang respon terhadap stimulasi yang diberikan (Grantham-
McGregor 1995 ). Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan kapasitas
kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh (Haas, 1996 ) dan pada wanita
dapat menyebabkan terjadinya resiko komplikasi kandungan karena memiliki
ukuran panggul yang kecil serta resiko melahirkan bayi BBLR ( WHO 1995 ).
9 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
Anak perempuan yang stunted akan menjadi seorang ibu yang
berkontribusi terhadap risiko janinnya juga mengalami gangguan gizi. Hal ini
disebabkan janin sebenarnya menyerap deposit nutrisi yang dimiliki ibunya,
bukan hanya nutrisi yang diasupkan pada saat mengandung. Begitu pentingnya
pemenuhan gizi ini karena berhubungan dengan generasi-generasi berikutnya.
Sebanyak 80 persen sel otak berkembang hingga usia 2 tahun dan 95
persen pada usia 6 tahun. Karena asupan gizi yang tidak optimal sejak awal,
sementara proses pembentukan otak di proses pada periode tersebut, maka bisa
dipastikan proses pembentukan jaringan otak tidak akan sempurna.
Anak yang menderita stunting berat berdampak tidak hanya/ pada fisik
yang lebih pendek saja, tetapi juga pada fungsi kognitifnya. Stunting juga dapat
mengurangi risiko obstetric yang disebabkan oleh ukuran tubuh yang kecil dari
ibu, , walaupun tidak akan mengubah akibat stunting pada anak-anak pada fungsi
kognitifnya. Stunting juga dapat menyebabkan mental yang berkembang tidak
maksimal. (Barker, 2007). Sehingga stunting harus dicegah sejak dalam uterus
dan masa kanak-kanak. (UNICEF, 2003).
Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stres yang sudah berlangsung
lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak
terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh). Hal ini mengakibatkan
menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh
dalam lingkungan yang mendukung.
Akibat kekurangan zat besi yang kerap menyertai penderita sangat
dikhawatirkan menimbulkan kejadian anemia. Hal ini mengingat anemia dapat
mengakibatkan gangguan kognisi maupun pertumbuhan fisik. Dalam jangka
panjang, kondisi stunting akan berakibat pada gangguan metabolisme yang
menimbulkan penyakit seperti hipertensi dan gangguan kesehatan akibat obesitas.
Obesitas terjadi dengan suatu mekanisme tertentu yang dimulai pada asupan
energi rendah berlangsung selama masa pertumbuhan. Asupan energi rendah itu
memicu penurunan pertumbuhan somatik (berkaitan dengan tubuh).
10 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
Asupan energi rendah juga akan memicu penurunan kadar faktor
pertumbuhan yang serupa hormon insulin, yang berkaitan dengan tingginya rasio
hormon kortisol terhadap hormon insulin.
Untuk jangka panjang, analisis data pada 5 negara berpendapatan rendah-
sedang menunjukkan bahwa stunting pada masa anak berkorelasi kuat dengan
postur pendek saat dewasa, rendahnya kehadiran di sekolah, berkurangnya fungsi
intelektual, dan rendahnya berat lahir keturunannya nanti (Black et.al. 2008)
3.5. Diagnosa Stunting
Mereka yang diukur dengan indikator TB/U dapat dinyatakan TB-nya
normal, kurang dan tinggi menurut standar WHO. Bagi yang TB/U kurang
menurut WHO dikategorikan stunted yang diterjemahkan “sebagai pendek tak
sesuai umurnya”. Tingkat keparahannya dapat digolongkan menjadi ringan,
sedang dan berat. Hasil pengukuran menggambarkan status gizi masa lampau.
Seseorang yang tergolong pendek tak sesuai umur kemungkinan keadaan gizi
masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan rendah yang diukur dengan
BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak
maupun dewasa. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau :
1) Kelebihan
a) Dapat memeberikan gambaran riwayat gizi masa lampau
b) Dapat dijadikan indicator keadaan sosial ekonomi penduduk
2) Kelemahan
a) Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok
usia balita
b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini
c) Memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit diperoleh di negara-
negara berkembang
11 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila
dilakukan oleh petugas non profesional
Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) (Riskeda, 2010) :
1) Sangat Pendek : Zscore < -3.0
2) Pendek : Zscore >= -3.0 s/d Zscore <-2.0
3) Normal : Zscore >= -2.0
Berdasarkan indikator TB/U :
Prevalensi sangat pendek = (∑ Balita sangat pendek / ∑ Balita) x 100%
Prevalensi pendek = (∑ Balita pendek / ∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal = (∑ Balita normal / ∑ Balita) x 100%
3.6. Upaya Pencegahan Stunting
Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting
pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia >
6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang
berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan
dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting.
Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket
A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat
mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi
tersebut dipraktikan dalam keluarga.
Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko
penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang
lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan
kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah
terjadinya stunting di pedesaan.
Keempat, memberikan asupan gizi yang baik tidak hanya pada ibu hamil,
tapi juga pada remaja putri, wanita usia subur agar kelak ketika sedang hamil
12 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
kebutuhan asupan gizi telah terpenuhi jauh sebelum memiliki janin. Sebab remaja
yang sedang bertumbuh umumnya melahirkan bayi berat lahir rendah karena
adanya persaingan nutrien untuk remaja yang bertumbuh, fetus yang bertumbuh,
dan fungsi placenta yang buruk. Kehamilan pada remaja mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk mortlitas ibu dan bayi serta prematuritas. Perempuan dengan
masa anak-anak mengalami retardasi pertumbuhan juga akan mempunyai ukuran
tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan normal, karenya risiko untuk
terjadinya “obstructed labor” akan lebih tinggi.
BAB IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1) Stunting adalah suatu akibat lebih lanjut dari tingginya angka Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta tidak adanya
pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna, yang terjadi karena
defisiensi zat gizi makro maupun mikro yang menyebabkan seorang bayi
memiliki tinggi/panjang bayi dibawah normal.
2) Faktor penyebab stunting yakni multikausal, karena tidak mengonsumsi zat
gizi yang cukup, tapi beberapa hal lainnya seperti infeksi, ibu yang
mengalami stunting, tingkat pendidikan dan ekonomi kelaurga yang rendah,
tidak mendapatkan ASI ekslusif, dsbnya. Dan faktor yang mempengaruhi
stunted antara lain adalah PDRB (kapita tanpa migas), tingkat pendidikan,
tingkat kemiskinan, perilaku higiene, pemanfaatan posyandu, imunisasi
lengkap dan kejadian diare.
3) Dampak stunting pada bayi yaitu : Terhambatnya perkembangan motorik
dan mental ditandai oleh perilaku yang abnormal seperti apatis, kurang
aktif, kurang mengekspolarasi lingkungan, lekas marah, dan kurang respon
terhadap stimulan. Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan
kapasitas kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh dan pada wanita
dapat menyebabkan terjadinya resiko komplikasi kandungan karena
memiliki ukuran panggul yang kecil serta resiko melahirkan bayi BBLR.
13 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
4) Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting antara lain : menekan
angka buta huruf bagi kaum wanita, agar saat hamil mereka dapat
mempunyai informasi yang lebih luas terhadap pentingnya asupan gizi dan
hidup sehat; memberi asupan gizi yang baik bagi para remaja putri secara
dini untuk memenuhi asupan gizi yang cukup; terlebih bagi ibu hamil
kiranya memperhatikan asupan gizinya serta setelah melahirkan
memberikan ASI ekslusif minimal 6 bulan bagi bayinya.
4.2. Saran
Terkait kasus stunting kiranya pemerintah dan masyarakat menaruh
perhatian yang besar, sebab stunting ini membawa dampak yang luar biasa
besarnya untuk Indonesia kedepan, sehingga perlu di perhatikan bahwa asupan
gizi bagi ibu hamil dan remaja putri perlu di tingkatkan secara dini, agar para
penerus bangsa Indonesia tidak terjangkiti Stunting.
14 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
REFERENSI
Arnelia. 2011. “Karakteristik Remaja dengan Riwayat Gizi Buruk dan Pendek
pada Usia Dini”. Journal of Nutrition and Food : 42-50
Astari, lita dwi. 2006. “Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting
anak usia 6-12 bulan di kabupaten Bogor”. Tesis Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Departemen Gizi dan Kesehatan Mayarakat. 2007. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
De Onis Mercedes dan Monika Blössner. 1997. WHO Global Database on Child
Growth and Malnutrition. Programme of Nutrition. Geneva.
Inayah. 2012. Seribu Hari yang Menentukan.
http://www.rspkujogja.com/beritaartikel/berita/172-seribu-hari-yang-
menentukan . Diakses 27 September 2012.
Isdaryanti, christien. 2007. “Asupan Energi Protein, Status Gizi, dan Prestasi
Belajar Anak Sekolah Dasar Arjowinangun I Pacitan”. Skripsi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta : 22-23.
15 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a
Kompas. 2012. Indonesia Peringkat 5 Dunia untuk Jumlah Anak Pendek.
http://health.kompas.com/read/2012/01/12/06575989/Indonesia.Peringkat.5.
Dunia.untuk.Jumlah.Anak.Pendek . Diakses 27 september 2012
Ramli, Kingsley E., Kerry J Inder, Steven J Bowe, Jennifer Jacobs, dan Michael J
Dibley. 2009. Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting
among under-fives in North Maluku province of Indonesia. BMC Pediatrics.
Rosha, bunga christitha. 2010. “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan
pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur”. Tesis Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rivera JA, Martorell R, Ruel MT, Habicth JP, & Haas J. 1995. “Nutritional
suplementation during preschool years influences body size and
composition of Guatemalan aldolescents”. Journal of Nutrition. 125 1068s-
1077s.
Ulfani, DH., Drajat martianto, dan Yayuk farida baliwati. 2011. “Faktor-faktor
sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi
underweight, stunted, dan wasted di Indonesia”. Journal of Nutrition and
Food: 59-65.
Wamani H, Tylleskär T, Åstrøm AN, Tumwine JK, Peterson S. 2004: Mothers'
education but not fathers' education, household assets or land ownership is
the best predictor of child health inequalities in rural Uganda. Int J Equity in
Health, 3: 9.
_____. 2007. Boys are more stunted than girls in Sub-Saharan Africa: a meta-
analysis of 16 demographic and health surveys. BMC Pediatrics : 2.
16 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a