makalah kel. 4.docx

25
BELL’S PALSY ILMU PENYAKIT SARAF ANGKATAN 2007 B PEMBIMBING : Dr. dr. YUNUS. SpRM MARS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2010

Upload: bakhrul-ilmee

Post on 01-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BELL’S PALSY

ILMU PENYAKIT SARAF

ANGKATAN 2007 B

PEMBIMBING :

Dr. dr. YUNUS. SpRM MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2010

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan adanya perkembangan pola pikir manusia perubahan terhadap pelayanan

kesehatan pada masyarakat yang diutamakan untuk mencapai dan mewujudkan derajat

kesehatan secara optimal dan terarah. Dengan paradigma baru fisioterapi indonesia yang

sangat relevan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu mewujudkan derajat kesehatan

masyarakat yang optimal yang merupakan salah satu unsur kesehatan umum dari tujuan

pembangunan nasional, maka terjadi pola perubahan dan fungsi fisioterapi dalam melakukan

intervensi profesi yang mencakup upaya-upaya (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)

sebagai pelaksana, pengelola, pendidik dan peneliti atau pengamat. Hal tersebut nantinya

akan diwujudkan dalam fragmentasi pelayanan fisioterapi di berbagai bidang yang di lakukan

oleh fisioterapi profesional dengan latar belakang kemampuan atau kualifikasi yang berbeda.

Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak

diketahui(idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s palsy

dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui. Biasanya

penderiata mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat

bercermin . pada saat mereka sadar mengalami kelumpuhan pada wajahnya maka ia mulai

merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadang jiwanya terguncang

terutama pada wanita atau pada seseorang yang memiliki profesi yang mengharuskan ia

untuk tampil dimuka umum.Rehabilitasi yang diperlukan dengan tujuan memantu

memperlancar vaskularisasi pemulihan kekuatan otot fasialis dan mengembalikan fungsi

yang terganggu akibat kelemahan otot – otot fasialis sehingga penderita dapat kembali

melakukan aktifitas kerja sehari – hari dan bersosialisasi dengan masyarakat

BABII

DEFINISI

Bell’s palsy harus didefinisikan sebagai berikut. Kelumpuhan fasialis perifer akibat

proses non-supuratif, non- neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin

akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit

proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa

pengobatan.

Kondisi ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1830 oleh seorang ahli anatomi

dan neulogi asal Skotlandia Sir Charles Bel (1774- 1842). Kata palsy berasal perubahan

struktur bahasa Perancis paralysie yang berarti paralisis (kelumpuhan)

BAB III

PENYEBAB& FAKTOR DAN PATOFISIOLOGI

3. 1 PENYEBAB DAN FAKTOR

Sampai saat ini penyebab Bell’s palsy masih belum diketahui. Beberapa sumber

menyatakan, penyebab Bell’s palsy yakni suatu kejinakan penyakit dan pada proses edema

bagian nervus fasialis di sekitar foramen stilomastoideus. Mungkin sekali edema tersebut

merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut “masuk angin” (“catch cold”,

“exposed to chill”). Angin dingin yang masuk membuat saraf di sekitar wajah sembab lalu

membesar. Pembengkakan saraf fasialis ini mengakibatkan pasokan darah ke saraf tersebut

terhenti. Hal ini menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau

rangsangan terganggu. Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan oto-otot wajah tidak

dapat diteruskan. Saraf fasialis ini terjepit hingga akhirnya kelumpuhan terjadi. Pada

kebanyakan penderita dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk di

mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah “bergadang”. Bell’s palsy hampir

selalu unilateral.

Beberapa teori yang secara umum diajukan sebagai penyebab Bell’s palsy, yaitu:

a. Teori Ischemia Vaskuler

Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke saraf

fasialis. Gangguan ini menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan adanya statis vena.

b. Teori Infeksi Virus

Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy dapat disebabkan oleh karena virus herpes

simplek.

c. Teori Herediter

Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s pelsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana

kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim.

3.2 PATOFISIOLOGI

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy adlah

proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau

kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler

meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan

sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang

mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik,

terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya

nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.

BAB IV

PENATALAKSANAAN

4.1. ANAMNESIS

1). Identitas pasien yang berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,

alamt tempat tinggal.

2). Keluhan utama

Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Bell’s palsy. Misalnya

pasien merasa separuh/ satu sisi mukanya terasa tebal, muka yang asimetris, susah

merasakan sensasi rasa(manis, asam, asin), susah untuk berbicara, dan susah untuk

menelan makanan dan munuman karena setiap makanan yang dimakan akan

terkumpul pada sisi yang sakit dan air liurselalu menetes.

3). Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh bibir sebelah tidak dapat bergerak, alis juga tidak bisa bergerak

dan saat memejamkan mata tidak bisa rapat, wajah sebelah terasa kesemutan dan

tebal-tebal, setelah pasien di berikan terapi berupa arus faradik dan laser. Kondisi

pasien wajahnya mencong ke sebelah dan mengeluh telinga sebelah bagian

belakang terasa nyeri.

4). Riwayat penyakit dahulu

Pasien pasti belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

5). Riwayat penyakit penyerta

Tidak ada riwayat penyakit lain yang menyertai kondisi pasien.

6). Riwayat keluarga

Riwayat keluarga diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah

menderita penyakit serupa.

7). Anamnesis system

Dari anamnesis sistem diperoleh informasi sebagai berikut: (1) kepala dan leher,

tidak ada keluhan pusing, leher tidak merasa kaku, (2) kardiovaskuler, tidak ada

keluhan, (3) respirasi, tidak ada keluhan, (4) gastrointestinal, tidak ada keluhan,

(5) urogenitalis, tidak ada keluhan, (6) muskuloskeletal, terdapat kelemahan otot

wajah sebelah kanan,spasme otot wajah bagian kiri(7) nervorum, tidak ada

kesemutan pada wajah kiri, terdapat nyeri di belakang telinga kanan karena

adanya penekanan nerves facialis.

GEJALA KLINIS

Gejala – gejala dan tanda – tanda klinis yang sering dijumpai pada Bell’s palsy

semuanya terjadi di wajah, adapun semua hal yang sering dijumpai di klinis:

1. Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/condong/tidak

seimbang pada satu sisi (asimetris)

2. Salah satu kelopak mata tidak dapat menutup sempurna sehingga bola mata akan

berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari (sewaktu tidur)

3. Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi.

Suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang mengalami paralisis.

4. Gangguan pengecapan serta sensasi mati rasa (baal/kebas) pada salah satu sisi

wajah.

5. Telinga berdenging, kadang terjadi hiperakusis (sensasi pendengaran yang

berlebihan).

6. Nyeri kepala dan perasaan melayang

4.2 PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi

Inspeksi statis didapatkan kondisi umum pasien baik, mata sebelah sisi yang sakit

berair, wajah pasien deviasi/ mencong kesisi sehat atau asimetris, alis pada sisi

yang lesi atau sakit lebih rendah daripada yang sehat. Inspeksi dinamis didapatkan

saat mengangkat alis, kerutan dahinya hanya terlihat pada sisi yang sehat, saat

menutup mata sisi yang sakit belum dapat menutup mata dan terlihat pergerakan

bola mata, saat bersiul dan tersenyum wajah sisi yang sakit belum bisa simetris

atau masih mencong ke sisi yang sehat.

2. Palpasi

Dari palpasi dirasakan suhu wajah antara sisi kanan dan kiri teraba sama, ada

spasme pada wajah sebelah sisi yang sakit, terdapat nyeri pada bagian belakang

telinga, pada sisi yang lesi atau yang sakit terasa lebih kendor daripada sisi yang

sehat, selain itu pasien mengeluh adanya rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi.

Adanya gangguan pengecapan lidah (manis, asin, asam) pada saat pasien diminta

untuk menjulurkan lidahnya dan ditaruh sedikit garam atau gula di ujung lidah,

mula- mula pada satu sisi dan sisi yang lain.

3. Perkusi

Perkusi dilakukan pada daerah wajah sisi yang sakit dan belakang telinga bagian

bawah dan hasilnya tidak ada keluhan.

4. Auskultasi

Dilakukan dengan alat stetokop pada daerah lapang paru dan hasilnya vaskuler.

5. Secara fisik ditemukan

a. Muka yang asimetris antara kanan dan kiri

b. Sisi muka yang sakit terlihat mendatar dan tidak melihatkan perasaan

c. Air liur dapat keluar dari sudut mulutnya

d. Sudut mulut tertarik kesisi yang sehat sehingga menganggu aktivitas

fungsional misalnya saat makan makanan terkumpul disisi yang sakit dan saat

minum air tumpah kesisi yang sakit. Selain itu juga pasien susah untk

berbicara.

e. Kelopak mata yang sakit tidak bisa menutup rapat dengan baik sehingga mata

sering iritasi

f. Gangguan psikologis

4.3 PEMERIKSAAN SPESIFIK

1. Tanda bell

Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit dahi

hanya terlihat pada sisi sehat, dan saat memejamkan mata, bola mata hanya terlihat

sedikit.

2.pemeriksaan kekuatan otot- otot wajah dengan MMT( Manual Muscel Testing)

Untuk penilaian kekuatan otot- otot wajah digunakan skala Daniels- Worthingham

yang meliputi empat tingkatan penilaian yaitu: (1) zero (nol) : tidak ada kontraksi ; (2)

trace (satu) : kontraksi minimal; (3) fair (tiga) : kontraksi nyata tapi dilakukan dengan

susah payah; (4) normal(lima) : kontraksi penuh dan terkontrol( Daniels and

Worthingham’s, 1986). Pada penilaian ini pasien diminta untuk melakukan gerakan

yang menggunakan otot-otot wajah, seperti mengkerutkan dahi, mendekatkan kedua

alis, menutup mata, mengkerutkan hidung, tersenyum, dan mencucu.

3. pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Skala Ugo Fisch

Pemeriksaan kemampuan fungsional otot wajah dengan Skala Ugo Fisch dinilai

dalam 5 posisi yang berbeda, yaitu saat diam, mengkerutkan dahi, menutup mata,

tersenyum, dan bersiul. Dengan kriteria penilaian sebagai berikut: (1) 0% : asimetris

komplit, tidak ada gerakan volunter; (2) 30% : simetris ringan, kesembuhan kearah

asimetris, ada gerakan volunter, (3) 70% : simetris sedang, kesembuhan kearah

simetris; (4) 100% : simetris komplit.

Kemudian angka prosentase pada masing- masing posisi harus diubah menjadi score

dengan kriteria sebagai berikut : (1) diam : 20 ; (2)mengkerutkan dahi: 10 ; (3)

menutup mata : 40 ; (4) tersenyum : 30 ; (5) bersiul : 10.

4.4 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM STUDI

     Tidak ada tes laboratorium khusus ada untuk mengkonfirmasikan diagnosis

dari Bell's palsy. Pengaturan klinis menentukan tes yang mungkin dinilai. Hasil tes

laboratorium berikut mungkin mengkonfirmasi atau menunjukkan penyebab potensial

lainnya dalam diagnosis diferensial:

          - hitung darah lengkap

          - tingkat sedimentasi eritrosit

          - fungsi tiroid studi

          - Lyme titer

          - Serum glukosa tingkat

          - Rapid plasma reagin (RPR) atau kelamin Penyakit Research

Laboratory (VDRL) uji

          - human immunodeficiency virus (HIV) antibodi

          - analisis cairan cerebral spinal

          - Imunoglobulin M (IgM), imunoglobulin G (IgG), dan imunoglobulin

A (IgA) titer untuk

CMV, rubella, HSV, virus hepatitis A, virus hepatitis B; hepatitis C virus,

VZV, M pneumoniae, dan Borrelia burgdorferi

Contoh hasil Penyelidikan Laboratorium

Dasar metabolik profil dan CBC - normal

Antineutrophil panel antibodi sitoplasma untuk proses peradangan - normal

Serum protein elektroforesis - normal

Faktor V - normal

HIV - negatif

Anticardiolipin antibodi - negatif

Vitamin B12 - normal

Folat - normal

Anti Ro / La - normal

ESR - 2

Hepatitis B Sag - negatif

Rasio normalisasi internasional (INR) - 1,1

Protein C - normal

Protein S - normal

Russell viper venom (antikoagulan lupus) - normal

Angiotensin converting enzyme (ACE) - 76

Lumbar Punksi: 77 protein, glukosa 52, jumlah sel darah putih 10 (limfosit), jumlah sel darah

merah 1, anti-GQ1b - negatif

Chest x-ray - normal

Anti-asetilkolin reseptor antibodi, antibodi anti-Musk - negatif

Edrophonium uji - normal

Lyme, reagin plasma cepat, VDRL – negatif

Studi Imaging

   *  Bell's palsy tetap merupakan diagnosis klinis. Imaging studi tidak ditunjukkan di

UGD. Tidak

termasuk penyebab lain kelumpuhan wajah mungkin memerlukan satu studi

pencitraan berikut

yang tergantung pada pengaturan klinis.

          - CT scan wajah atau radiografi polos: Lakukan untuk menyingkirkan patah

tulang atau

metastasis tulang.

          - CT scan: Lakukan bila diagnosis diferensial termasuk keterlibatan

stroke atau SSP dari

acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)

- MRI: Lakukan pada pasien dengan neoplasma diduga tulang temporal,

otak, kelenjar

parotis, atau struktur lainnya, atau untuk mengevaluasi multiple sclerosis. MRI

dapat

memvisualisasikan perjalanan saraf wajah melalui daerah intratemporal dan

extratemporal dari otak ke otot-otot wajah dan kelenjar. MRI juga dapat

dianggap sebagai pengganti hasil CT scan.

Tes Lainnya

    * Electrodiagnosis dari saraf wajah: Studi-studi ini menilai fungsi saraf wajah. Tes

ini jarang dilakukan

o Elektromiografi (EMG) dan kecepatan konduksi saraf

menghasilkan pembacaan grafik arus listrik ditampilkan dengan

merangsang saraf wajah dan rekaman rangsangan otot-otot wajah.

Perbandingan ke sisi kontralateral membantu menentukan luasnya

cedera saraf dan memiliki implikasi prognostik. Ini bukan bagian dari

hasil pemeriksaan akut.

o Uji rangsangan saraf menentukan ambang stimulus listrik yang

dibutuhkan untuk menampilkan otot yang terlihat.

o Electroneurography (ENoG) membandingkan membangkitkan potensi

pada sisi paretic versus sisi sehat.

MRI otak dengan gadolinium - peningkatan saraf kranial 7 bilateral, kiri lebih besar dari kanan.

4.5 DIAGNOSIS

Awal dari diagnosi Bell’s Palsy ditegakkan melalui inspeksi dari gejala dan

penyebab kelumpuhannya. Bell’s palsy selalu mengenai unilateral wajah, sehinga

wajah tampak tidak seimbang/miring, terjadi tiba-tiba dan dapat melibatkan baik

bagian atas ataupun bagian bawah wajah.

Dilakukan beberapa pemeriksaaan penunjang untuk lebih memastikan

diagnosis Bell’s palsy, diantaranya test laboratorium untuk penyakit Lyme, test fungsi

tyroid, tes HIV, dan Hepatitis. Selain itu dianjurkan tes neurologi lengkap pada

telinga, hidung dan tenggorokan. Hal ini untuk memastikan tidak ada penyakit lain,

yang menyebabkan kelumpuhan pada wajah selain Bell’s palsy, semisal stroke.

Lebih mutakhir dilakukan pemeriksaan dengan CT scan (Computed Tomography),

MRI (Magnetis Resonansi Imaging), dan ENoG (electromyography dan

elektroneurography) untuk semakin mempertegas diagnosis Bell’s palsy.

Gambar Contoh – Contoh Bell’s Palsy:

4.6 Terapi

1. Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampiai sekarang masih

kontroversi. Juga dapat diberikan neurotropik.

2. Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi.

3. Rehabilitatif medik

Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy:

Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan

dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adlah

semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta

meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.

Tujuan rehabilitasi medik adalah:

1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan

apa yang tertinggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka

diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis

prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik,

sosial, dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk

mengurangi/ mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial

serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari- hari.

Program- program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,

psikologi, dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak

banyak berperan.

1. Program fisioterapi

a. Pemanasan superfisial dengan infra red.

b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy.

c. Stimulasi listrik : tujuan pemberian yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/

memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat

otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk

menstimulasi otot, redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan

sirkulasi serta mencegah/ meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah

onset

d. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah: latihan gerak volunter otot wajah

diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis 5 detik, mengerutkan

dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/

meniup( dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage adalah

manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk

perbaikan/ pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara

perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,

memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase

akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah.

Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah

vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,

mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut- serabut oto dan meningkatkan

gerakan intramusculer sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah

dibagi4 area yaitu dagu, mulut, hidung, dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas

lamanya 5-10 menit.

2. Program terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada wajah. Latihan diberikan

dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa

latihan secara bertahap dan melihat kondisi penerita, jangan sampai melelahkan

penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan

memggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan

dahi di depan cermin.

3. Program Sosial Medik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.

Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial

medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk

sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan

umum. Untuk masalah biaya dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat

kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama

penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

4. Program Psikologik

Untuk kasus- kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas

sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang

mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka

bantuan seseorang psikolog sangat diperlukan.

5. Program Ortotik- Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan”Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit

tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi

intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “y” plester dilakukan jika dalam

waktu 3 bulan belumada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal

ini dilakukan untuk mencegah terenggannganya otot Zygomatikus selama parese dan

mencegah terjadinya kontraktur.

4.7 SARAN DAN LARANGAN

Pada intinya, larangan dan saran bagi penderita Bell’s Palsy adalah untuk mencegah

terpaan angin terus menerus kearah wajah. Sebab angin yang rutin menerpa bagian muka

akan masuk ke dalam tengkorak atau

Foramen Stilo Mastoideum, angin

dingin dari arah depan ini membuat

syaraf di sekitar wajah sembab lalu

membesar mengakibatkan syaraf

nomor tujuh mengalami

pembengkakan, syaraf itu bernama

Nervus Facialis, akibatnya syaraf

terjepit.

Pembengkakan syaraf nomor VII atau nervus facialis ini mengakibatkan pasokan

darah ke syaraf tersebut terhenti, hal ini mengakibatkan kematian sel syaraf sehingga fungsi

menghantar impuls atau rangsangnya terganggu. Akibatnya perintah otak untuk

menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan, wajah menjadi lumpuh sebelah.

Biasanya penderita mengalami gejala awal rasa nyeri di kepala, di dalam telinga dan sudut

rahang. Timbulnya mendadak dan di pagi hari.

Beberapa contoh saran dan larangan bagi penderita Bell’s Palsy adalah :

1. Menggunakan helm tertutup (full face) ketika mengendarai motor

2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah

langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-

langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat

pengoperasian kipas.

3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain

tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.

4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata.

Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi

menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.

5. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.

Tutupi wajah dengan kain atau penutup.

6. Orang orang yang bekerja di ruangan ber AC, sebaiknya tidak terkena aliran angin AC

secara langsung.

7. Hindari tiduran di lantai dengan menempelkan sebelah pipi di lantai.

DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan

Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004

Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990

Sidharta P. NEUROLOGI KLINIS DLM PRAKTEK UMUM cetakan 5. Jakarta : Dian

Rakyat, 2004

Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s

Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991

Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.

Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR,   1991