makalah kel. 1
DESCRIPTION
teknologi produksi tanaman pasi sawahTRANSCRIPT
i
TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN
OLEH KEL. 1
(SEP GANJIL)
KETUA : BADRIADI ( D1A1 13 233 )
ANGGOTA : RIRIN SAFITRI ( D1A1 13 163 )
YUNI KARTIKA SARI ( D1A1 13 057 )
JURUSAN/PRODI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah S.W.T. Rabb semesta alam yang
telah mengkaruniakan berlimpah ramhat, hidayah, dan kemudahan kepada kami.
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan waktu yang
ditentukan oleh dosen mata kuliah.
Sholawat serta salam kami kirimkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
sang revolusioner sejati yang telah berhasil merubah peradaban dunia dari zaman
kejahiliyaan hingga zaman yang penuh kedamaian seperti yang kita rasakan
sekarang ini.
Dalam makalah ini, kami berusaha memberikan hasil yang maksimal
sesuai dengan kemampuan kami. Dan harapan kami, mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan kita dapat mengetahui sebagian besar
Teknologi Produksi Tanaman Padi Sawah.
Akhirnya saya menyadari bahwa dalam makalah yang sederhana ini
dihadapan pembaca, tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai kesalahan dan
kekurangan. Seperti kata pepatah, ‘’Tak Ada Gading Yang Tak Retak’’ tidak ada
manusia yang tak pernah luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua
pihak sangat kami harapkan, untuk perbaikan dalam makalah ini.
Kendari, September 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padi Sawah .................................................................................................... 5
2.2 Teknologi Produksi ....................................................................................... 6
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Teknologi Produksi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Padi Sawah ............................................................................................... 8
3.2 Teknis Pelaksanaan PTT Padi Sawah ....................................................... 9
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 20
4.2 Saran .............................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan pokok dan komoditas politik yang sangat
strategis. Dewasa ini, dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa, total
konsumsi beras si Indonesia mencapai 33 jta ton per tahun dan akan terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Kekurangan pasokan beras
berpotensi mengganggu stabilitas social, ekonomi, dan politik negara,
sehingga bisa menyebabkan runtuhnya kekuasaan suatu rezim pemerintahan.
Itulah alasan utama mengapa peningkatan produksi beras masih menjadi
prioritas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia (Sudaryanto, 2008)
Kebutuhan beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk
Indonesia karena selain jumlah penduduk yang terus bertambah dengan laju
peningkatan 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk
yang non beras ke beras. Dilain pihak, terjadinya penciutan lahan sawah subur
akibat konversi lahan untuk kepentingan selain pertanian, juga terjadinya
fenomena produktivitas padi sawah irigasi cenderung turun (Azwir, 2009)
Pentinnya peran beras dalam perekonomian dan politik nasional, telah
mengundang campur tangan pemerintah yang sangat besar dalam system
produksi dan pemasaran beras, terutama pada era Orde Baru. Dalam system
produksi, pemerintah memberi subsidi air irigasi, pupuk, benih, pestisida, dan
bunga kredit usahatani. Dalam system pemasaran gabah dan beras, pemerintah
memberlakukan harga dasar (kini harga pembelian pemerintah = HPP) dan
harga maksimum (celling price). Kebijakan harga dasar ditujukan untuk
melindungi petani dari jatuhnya harga dibawah biaya produksi. Harga
maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen. Jika harga beras
meningkat tajam diatas harga maksimum, pemerintah mealakukan operasi
pasar, agar harga beras tetap terjangkau oleh golongan masyarakat
berpenghasilan rendah. Dengan campur tangan pemerintah yang sangat besar,
maka Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Namun setelah itu, penyediaan pangan masih merupakan masalah yang belum
2
terpecahkan, sehingga masih merupakan masalah yang penting dalam agenda
pembangunan nasional (Amang, 2000 dalam Dewa, 2012)
Tantangan saat ini adalah bagaimana meraih kembali dan
mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Keterbatasan dana
pembangunan telah mendorong pemerintah untuk mengurangi berbagai
bentuk subsidi sarana produksi pertanian. Kondisi ini menyebabkan
meningkatnya biaya produksi di tingkat petani (Dewa, 2012).
Padi merupakan tulang punggung ekonomi di pedesaan yang diusahakan
oleh lebih dari 18 juta petani, menyumbang hampir 70% terhadap Produk
Domestik Bruto tanaman pangan, memberikan kesempatan kerja dan
pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan
pendapatan sekitar 25-35%. Laju peningkatan produktivitas padi sawah secara
nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung melandai. Bahkan di
beberapa lokasi produktifitasnya cenderung turun disertai merosotnya kualitas
hasil (Sumarno, 1997; Suwono, 1999). Data BPS menyebutkan bahwa
pertambahan produksi padi nasional tahun 1974 sampai dengan 1980 sebesar
4,8% per tahun, sedangkan pada dekade 1981-1990 sebesar 4,35%. Angka
tersebut kembali turun pada dekade 1991-2000 menjadi sebesar 1,32%.
Peningkatan produktivitas atau ratarata produksi padi perhektar secara
nasional juga mengalami penurunan. Rata-rata peningkatan produktivitas padi
secara nasional tahun 1973-1980 adalah 0,29% tahun 1981-1990 sebesar
3,03%, sedangkan pada tahun 1991-2000 mengalami penurunan menjadi
1,15%, bahkan pada beberapa tahun bernilai negatif (Susanto, 2003).
Pelandaian produktivitas padi terjadi karena kurangnya ketersediaan
teknologi spesifik lokasi dan tingkat adopsi teknologi anjuran yang masih
relatif rendah. Penerapan teknologi di tingkat petani umumnya dari tahun ke
tahun tidak berbeda, sehingga banyak komponen teknologi budidaya padi
sawah perlu diperbaiki (Muljady, dkk 2005). Tantangan lain dalam budidaya
padi sawah adalah perubahan cuaca di Indonesia mengalami perubahan yang
cukup dinamis. Salah satu kondisi yang dirasakan adalah semakin
meningkatnya suhu udara dan tidak seimbangnya jumlah air di musim
3
kemarau dan musim hujan. Masyarakat mengalami kekurangan air di musim
kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Suhu yang makin tinggi berpengaruh
pada peningkatan evaporasi dan evapotranspirasi pada akhirnya menipisnya
ketersediaan air. Sementara itu, petani tidak cukup mampu beradaptasi
terhadap perubahan cuaca yang ditandai dengan tidak berubahnya pola
penggunaan air pada padi sawah yang makin terbatas jumlahnya. Untuk
memecahkan masalah tersebut, perlu adanya perbaikan teknologi dalam
budidaya padi sawah di tingkat petani untuk meningkatkan produktivitas padi
yang efektif dan efisien.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih
dikenal PTT pada padi sawah, merupakan salah satu model atau pendekatan
pengelolaan usahatani padi, dengan mengimplementasikan berbagai
komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis. PTT
mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling
komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian
lingkungan (Sumarno, 2000). Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa
tindakan PTT merupakan good agronomic practices yang antara lain meliputi;
(a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat dan musim tanam,
(b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah,
air, hara dan tanaman secara optimal, (d) pengendalian hama-penyakit secara
terpadu, dan (e) penanganan panen dan pasca panen secara tepat.
Dengan pendekatan pengelolaan usahatani padi secara terpadu, mulai
pengelolaan budidaya (persiapan lahan, pesemaian, penanaman, pemupukan,
pengaturan air, pengendalian gulma), dan pengelolaan hama penyakit serta
panen dan pascapanen diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan
efisiensi usahatani padi yang selanjutnya memberi dampak terhadap
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
1.2. Rumusan Masalah
Eksploitasi lahan sawah secara intensif dan terus menerus telah
berlangsung selama bertahun-tahun menyebabkan terjadinya pelandaian
4
produktivitas padi sawah. Kebiasaan petani menggunakan teknologi yang
statis turut berperan dalam pelandaian produktivitas padi sawah.
1.3. Tujuan
Melihat permasalahan tersebut, maka tulisan ini berupaya untuk
membahas tentang teknologi produksi padi sawah dengan menggunakan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih
dikenal PTT pada padi sawah.
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Padi Sawah
Padi merupakan bahan makanan pokok sehari hari pada
kebanyakan penduduk di negara Indonesia. Padi dikenal sebagai sumber
karbohidrat terutama pada bagian endosperma, bagian lain daripada padi
umumnya dikenal dengan bahan baku industri, antara lain : minyak dari
bagian kulit luar beras (katul), sekam sebagai bahan bakar atau bahan
pembuat kertas dan pupuk. Padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang
biasa makan nasi dan tidak dapat digantikan oleh bahan makanan yang
lain, oleh sebab itu padi disebut juga makanan energi (AAK, 1990).
Dalam bahasa latin, padi disebut dengan "Oryza sativa L", masuk
dalam famili Poaccae (Gramincae), Tanaman semak semusim ini
merupakan tanaman yang berbatang basah, dengan tinggi antara 50 cm-
1,5 m. Batangnya tegak, lunak, beruas, berongga, kasar dan berwarna
hijau. Padi mempunyai daun tunggal berbentuk pita yang panjangnya 15-
30 cm. Ujungnya runcing, tepinya rata, berpelepah, pertulangan sejajar,
dan berwarna hijau. Bunganya majemuk berbentuk malai. Buahnya
seperti buah batu (keras) dan terjurai pada tangkai. Setelah tua, warna
hijau akan menjadi kuning. Bijinya keras, berbentuk bulat telur, ada yang
berwarna putih atau merah. Butir-butir padi yang sudah lepas dari
tangkainya disebut gabah, dan yang sudah dibuang kulit luarnya disebut
beras. Bila beras ini dimasak, maka namanya menjadi nasi, yang
merupakan bahan makanan utama bagi sebagian besar penduduk
Indonesia (Departemen Pertanian, 2008).
Padi adalah komoditas utama yang berperan sebagai pemenuh
kebutuhan pokok karbohidrat bagi penduduk. Komoditas padi memiliki
peranan pokok sebagai pemenuhan kebutuhan pangan utama yang setiap
tahunnya meningkat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang
besar, serta berkembangnya industri pangan dan pakan (Yusuf, dan
Harnowo, 2010).
6
2.2. Teknologi Produksi
Produksi adalah suatu proses yang menciptakan atau menambah
nilai/guna atau manfaat baru. Guna atau manfaat mengandung pengertian
kemampuan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jadi
produksi meliputi semua aktivitas menciptakan barang dan jasa (Gumbira
dan Harizt, 2001).
Sesuai dengan pengertian produksi di atas, maka produksi
pertanian dapat dikatakan sebagai suatu usaha pemeliharaan dan
penumbuhan komoditi pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pada proses produksi pertanian terkandung pengertian bahwa guna atau
manfaat suatu barang dapat diperbesar melalui suatu penciptaan guna
bentuk yaitu dengan menumbuhkan bibit sampai besar dan pemeliharaan.
Dalam rangka usaha peningkatan produksi padi, pemerintah selalu
berupaya untuk mendapatkan jenis-jenis padi yang mempunyai sifat-sifat
baik. Jenis padi yang mempunyai sifat-sifat baik itu disebut dengan “padi
jenis unggul” atau disebut “varietas unggul”. Caranya dengan
mengadakan perkawinan-perkawinan silang antara jenis padi yang
mempunyai sifat-sifat baik dengan jenis padi lain yang juga mempunyai
salah satu sifat baik pula, sehingga akan didapat satu jenis padi yang
mempunyai sifat yang paling baik atau unggul (Sugeng, 2001).
Peningkatan produktifitas usaha tani tanaman padi sangat
dibutuhkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan rakyat
Indonesia. Dimana padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat
Indonesia. Untuk itu Badan Pengkajian Teknologi Pertanian menciptakan
komponen teknologi produksi tanaman padi sawah yaitu teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).
Beberapa komponen teknologi budidaya padi sawah dengan
pendekatan PTT adalah:
1) Varietas unggul baru
2) Bibit bermutu dan Sehat
3) Bibit muda umur 15-20 hari setelah sebar
7
4) Pengolahan Tanah
5) Penggunaaan bahan organic
6) Pengelolaan Tanaman sistem legowo 4:1
7) Irigasi berselang
8) Pemupukan Spesifik Lokal
9) Pupuk Mikro
10) PHT sesuai OPT
11) Pengendalian Gulma
12) Penanganan panen dan Pasca panen (Yusuf, dan Harnowo 2010).
Pengelolaan tanaman terpadu adalah pendekatan dalam budidaya
tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan produksi padi dalam
beberapa tahun terakhir. Keberhasilan program P2BN (Peningkatan
Produksi Beras Nasional) yang diimplementasikan sejak tahun 2007
tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan PTT padi sawah. Untuk
mempertahankan swasembada beras yang telah berhasil diraih kembali
pada tahun 2008, inovasi teknologi ini terus dikembangkan oleh
Departemen Pertanian (Firdaus, 2008).
8
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Teknologi Produksi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan salah satu teknologi
baru. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan alternatif pengelolaan
secara intensif pada lahan sawah beririgasi. Penerapan Teknologi Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) terdiri dari dua macam penerapan, yaitu komponen
teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan.
Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan
untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan
produksi dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT.
Komponen teknologi dasar PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah
meliputi :
Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi
dan bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik lahan,
lingkungan dan keinginan petani
Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat
Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara
tanah
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).
Sedangkan, komponen teknologi pilihan adalah adalah teknologi-
teknologi penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih
didasarkan pada spesifik lokasi maupun kearifan lokal dan telah terbukti
serta berpotensi meningkatkan produktivitas. Secara spesifik lokasi dan
kearifan lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya
alam yang tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen
teknologi pilihan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
Penggunaan bibit muda (< 21 HSS)
Tanam dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1 – 5 bibit perlubang
9
Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo)
Pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta
pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah
Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien
Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok
Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan
ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan
produktivitas padi saat ini dengan didasarkan pada pendekatan yang
partisipatif.
3.2 Teknis Pelaksanaan PTT Padi Sawah
Berikut akan diuraikan teknis budidaya padi sawah melalui pendekatan
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dengan menggabungkan komponen
teknologi dasar dan teknologi pilihan.
1. Pengolahan Tanah Sesuai Musim dan Pola Tanam
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara sempurna dengan dua
kali pembajakan dan satu kali garu atau minimal, atau tanpa olah tanah.
Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan
kondisi. Faktor yang menentukan adalah kemarau panjang, pola tanam
dan jenis/struktur tanah. Dua minggu sebelum pengolahan tanah, taburkan
bahan organik secara merata di atas hamparan sawah. Bahan organik yang
digunakan dapat berupa pupuk kandang (2 ton/ha) atau kompos jerami (5
ton/ha).
2. Varietas Unggul
Dalam PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah pemilihan
varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu
meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam dipilih
varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan
10
penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas
rasa yang dapat diterima pasar.
Varietas unggul baru (VUB) dapat berupa padi inbrida seperti
ciherang, mekongga, inpari (10, 11,13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3,
bernas super dan intani. Tanam varietas unggul baru ini secara bergantian
untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit.
3. Benih Bermutu
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya
tumbuh yang tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya kecambah diatas
80 % (vigor tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama atau bahan
lain. Gunakan selalu benih yang telah memiliki sertifikasi atau label untuk
mendapatkan benih dengan tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas atau
benih bermutu yang diproduksi oleh petani.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan
untuk menyeleksi atau memilih benih bermutu agar didapatkan benih
yang benar-benar berkualitas (bernas) dan vigor tinggi dengan cara
membuat larutan garam dapur (30 gram garam dapur dalam 1 liter air)
atau larutan pupuk ZA (1kg pupuk ZA dalam 2,7 liter air). Benih
dimasukkan ke dalam larutan garam atau pupuk ZA (volume larutan 2
kali volume benih) kemudian diaduk dan benih yang mengambang atau
terapung di permukaan larutan dibuang.
Cara sederhana dapat dilakukan dengan merendam benih dalam
larutan garam dapur menggunakan indikator telur. Telur mentah (bisa
telur ayam atau bebek) dimasukkan ke dalam air, kemudian masukkan
garam sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai telur terapung ke
permukaan. Kemudian telur diambil dan benih dimasukkan ke dalam
larutan garam. Benih yang mengapung dibuang dan benih yang tenggelam
selanjutnya dicuci sampai bersih dari garam untuk disemai.
Untuk keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang
dibutuhkan kurang lebih sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam)
11
dibilas dengan air sampai bersih dari garam kemudian direndam dengan
air bersih selama 24 jam. Selanjutnya diperam dalam karung atau wadah
lainnya selama 48 jam dan dijaga kelembabannya dengan membasahi
wadah dengan air.
Untuk benih padi hibrida tidak diberi perlakuan perendaman dalam
larutan garam tetapi langsung direndam dalam air dan selanjutnya
diperam. Lahan persemaian untuk 1 hektar luasan lahan pertanaman
sebaiknya 400 meter persegi (4% dari luas tanam) dengan lebar bedengan
1 – 1,2 meter dan antar bedengan dibuat parit sedalam 25 – 30 cm. Saat
pembuatan bedengan taburkan bahan organik 2 kg /meter persegi seperti
kompos, pupuk kandang atau campuran berbagai bahan antara lain
kompos, pupuk kandang, serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan
pemberian bahan organik ini untuk memudahkan pencabutan bibit padi
sehingga kerusakan akar bisa dikurangi.
4. Sistem Tanam
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan
tanam menggunakan bibit muda atau kurang dari 21 HSS (hari setelah
sebar) dan jumlah bibit 1 – 5 batang per lubang karena bibit lebih muda
akan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding menggunakan bibit
lebih tua.
Pada daerah endemik keong untuk mengantisipasi serangan keong
dapat menggunakan bibit lebih dari 21 HSS tetapi dianjurkan tidak lebih
dari 25 HSS. Masa kritis serangan keong berada pada 21 hari setelah
sebar dan 10 hari setelah pindah tanam.
Tanam dilakukan dengan kondisi lahan jenuh air (ketinggian air
kurang lebih 2 cm dari permukaan tanah macak-macak) dengan jumlah
bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Gunakan jarak
tanam yang beraturan seperti model tegel 20 X 20 cm (25 rumpun/meter
persegi) atau 25 X 25 cm (16 rumpun/meter persegi). Pengaturan jarak
tanam dapat dilakukan dengan menggunakan caplak atau tali sebagai mal.
12
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan
untuk mengatur jarak dan populasi tanaman dengan menerapkan sistem
tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah sistem tanam
dengan pengaturan jarak tanam tertentu sehingga pertanaman akan
memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana
jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menganjurkan
penerapan sistem tanam jajar legowo karena adanya keuntungan dan
kelebihan yang lebih dibanding dengan sistem tanam konvensional (tegel)
diantaranya yaitu :
Adanya efek tanaman pinggir
Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman semakin
banyak jumlah malai persatuan luas sehingga berpeluang menaikkan
hasil panen
Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan
keong atau mina padi
Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah
Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan hama dan
penyakit
Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Sistem tanam jajar legowo yang dapat diterapkan adalah sistem tanam
jajar legowo 2 : 1 atau 4 : 1 dan penyulaman tanaman dapat dilakukan
sebelum tanaman berumur 14 HST (hari setelah tanam).
5. Pengairan Berselang (Intermittent Irrigation)
Pengairan dilakukan dengan sistem pengairan berselang
(intermittent irrigation). Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi
sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian yang
bertujuan untuk :
13
Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas
Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak
sehingga dapat berkembang lebih dalam karena akar yang dalam
dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak
Mencegah timbulnya keracunan besi
Mencegah penimbunan asam organik dan gas hidrogen sulfida yang
menghambat perkembangan akar
Mengaktifkan jasad renik (mikroba tanah) yang bermanfaat
Mengurangi kerebahan
Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan
malai dan gabah)
Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen
Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)
Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi
penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta
mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus.
Teknis penerapan pengairan berselang dilakukan pada saat tanaman
berumur 3 HST (hari setelah tanam) dimana petakan sawah diairi dengan
tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada
penambahan air sampai kondisi air di petakan habis dan tanah mengering
sedikit retak. Baru pada hari ke 4 (7 HST) petakan sawah diairi kembali
hingga genangan air setinggi 3 cm dan tidak ada penambahan air sampai
kondisi air dipetakan habis dan tanah menjadi mengering sedikit retak
kembali. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal. Pada
saat mulai fase pembentukan malai (bunting) sampai pengisian biji
petakan sawah digenangi terus. Petakan dikeringkan kembali saat 10 – 15
hari sebelum panen. Pada tanah yang cepat menyerap air atau berpasir
selang waktu pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air
selama satu musim tanam kurang mencukupi selang waktu pengairan
dapat diperpanjang yaitu dengan selang waktu 5 hari.
14
Pengairan berselang secara efektif dan efisien hanya dapat dilakukan
pada areal sawah irigasi teknis yang dapat dengan mudah mengatur
masuk dan keluarnya air pada areal persawahan. Pada sawah-sawah yang
sistem drainasenya tidak baik (sulit dikeringkan) atau sawah tadah hujan
pengairan berselang (intermittent irrigation) tidak perlu diterapkan.
6. Pemupukan Berimbang
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menerapkan
pemupukan berimbang secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan
tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan berimbang
adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk
memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat
hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara
yang dibutuhkan tanaman adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk
urea), P (phospat ; dalam bentuk pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam
bentuk pupuk KCL).
Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur
tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan bagan warna daun
(BWD). Bagan warna daun adalah sebuah alat untuk mengukur tingkat
kebutuhan N tanaman dengan mengukur skala tingkat kehijauan warna
daun sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan unsur hara N tanaman.
Nilai pembacaan bagan warna daun (BWD) digunakan untuk
mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih
tepat sesuai dengan kondisi tanaman. Pemberian pupuk awal N diberikan
pada umur tanaman sebelum 14 HST ditentukan berdasarkan tingkat
kesuburan tanah. Dosis pupuk awal N (urea) untuk padi varietas unggul
baru adalah 50 – 75 kg/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan dosis
100 kg/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan
kedua (tahap anakan aktif ; umur 21 – 28 HST) dan pemupukan ketiga
(tahap primordia ; umur 35 – 40 HST). Khusus untuk padi hibrida dan
15
padi tipe baru pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam
kondisi keluar malai dan 10 % berbunga.
Pemupukan dilakukan dengan cara disebar/ditabur merata di
seluruh permukaan tanah. Urea merupakan pupuk yang mudah larut
dalam air sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan
dan pengeluaran air ditutup. Pemupukan P dan K disesuaikan dengan
hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah
P dan K dapat ditentukan dengan perangkat uji tanah sawah (PUTS). Tiap
wilayah telah memiliki dosis rekomendasi pemupukan P dan K yang
berdasarkan pada uji tanah sawah yang dilakukan oleh instansi terkait
(Balai Penyuluhan/Dinas Pertanian).
Terdapat tiga skala tingkatan status hara tanah P dan K pada suatu
lahan sawah yaitu tinggi, sedang dan rendah sebagaimana termuat dalam
tabel di bawah ini :
Pupuk P diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar atau bersamaan
dengan pemupukan N yang pertama pada 0 – 14 HST. Pupuk K pada
lahan sawah dengan status hara tanah P dan K rendah (dosis 100 kg/ha
KCL) diberikan 50 % sebagai pupuk dasar (pemupukan pertama) dan
sisanya diberikan pada masa primordia. Pada lahan sawah dengan status
hara tanah P dan K sedang – tinggi (< 50 kg KCL/ha) pupuk K diberikan
seluruhnya sebagai pupuk dasar (0 – 14 HST).
7. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma atau penyiangan adalah kegiatan
membersihkan pertanaman dari rumput dan tanaman yang tidak
dikehendaki keberadaannya (gulma) di areal pertanaman karena dapat
16
mengganggu perkembangan tanaman pokok. Penyiangan dapat dilakukan
dengan cara mencabut gulma dengan tangan, menggunakan alat
gasrok (landak) atau menggunakan herbisida.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah lebih
menganjurkan melakukan penyiangan dengan menggunakan
alat gasrok karena sinergis dengan pengelolaan lainnya dan lebih
memiliki keuntungan yaitu :
Ramah lingkungan
Hemat tenaga kerja sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan
penyiangan menggunakan tangan
Memberikan sirkulasi udara ke dalam tanah sehingga dapat
merangsang pertumbuhan akar tanaman
Apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan
membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga pemberian pupuk
menjadi efisien.
Penyiangan menggunakan gasrok dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 10 – 15 HST
Dianjurkan dilakukan dua kali, dimulai pada saat tanaman berumur
10 – 15 HST dan diulangi 10 – 25 hari kemudian
Dilakukan pada kondisi air macak-macak dengan ketinggian 2 – 3
cm
Gulma yang terlalu dekat dengan tanaman dicabut dengan tangan
Dilakukan dua arah yaitu diantara dan di dalam barisan tanaman.
Pengendalian gulma atau penyiangan secara manual hanya efektif
dilakukan apabila air di petakan sawah dalam kondisi macak-macak atau
tanah jenuh air. Jika kondisi tidak memungkinkan dilakukan
penyiangan/pengendalian gulma secara manual dan populasi gulma
17
sudah tinggi maka pengendalian gulma dapat dilakukan dengan
menggunakan herbisida.
8. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT)
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT) merupakan
suatu pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi
sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu
keseimbangan alam dan tidak menimbulkan kerugian yang besar.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan
perpaduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit diantaranya
dengan melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman
sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat menjadi lebih tepat.
Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) dapat dilakukan
dengan menggunakan strategi diantaranya :
Gunakan varietas tahan hama dan penyakit
Tanam tanaman yang sehat
Memanfaatkan musuh alami
Pengendalian secara mekanik (menggunakan alat) dan fisik
(menangkap)
Penggunaan pestisida hanya jika diperlukan dan dilakukan tepat
sesuai dosis, sasaran dan waktu.
9. Panen dan Pasca Panen
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah sangat
memperhatikan proses penanganan panen dan pasca panen. Panen dan
pasca panen harus ditangani secara baik dan benar karena penanganan
panen dan pasca panen yang tidak baik dan benar dapat menyebabkan
kehilangan hasil 4 – 18 %.
Untuk mendapatkan butir padi dan beras dengan kualitas baik perlu
memperhatikan ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat dapat
menimbulkan prosentase butir hijau tinggi yang berakibat sebagian butir
18
padi tidak berisi atau rusak saat digiling. Panen terlambat menyebabkan
hasil berkurang karena butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di
sawah atau beras pecah saat digiling.
Umur tanaman padi mungkin berbeda antara varietas satu dengan
varietas yang lainnya sehingga hal ini juga perlu diperhatikan. Hitung
sejak padi berbunga biasanya panen dilakukan pada 30 s/d 35 hari setelah
padi berbunga. Jika malai telah menguning 95 % segera lakukan
pemanenan.
Panen dilakukan dengan cara memotong padi menggunakan sabit
bergerigi 10 – 15 cm dari atas permukaan tanah atau dari pangkal malai
jika akan dirontok dengan power thresser. Panen sebaiknya dilakukan
secara berkelompok (15 – 20 orang) yang dilengkapi dengan alat
perontok. Dengan cara ini maka tingkat kehilangan hasil pada saat panen
dapat dikurangi.
Gunakan plastik atau terpal sebagai alas padi yang baru dipotong
dan ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera mungkin padi dirontokan,
apabila panen dilakukan pada waktu pagi hari sebaiknya sore harinya
segera dirontokkan karena perontokkan yang dilakukan lebih dari dua hari
dapat menyebabkan kerusakan beras.
Perlu diperhatikan juga jika perontokkan padi dilakukan dengan
cara tradisional (di-gepyok) maka gunakan alas dari plastik atau terpal
yang lebarnya mencukupi dan bagian pinggir plastik atau terpal dilipat
keatas yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan butir padi
terlempar keluar dari alas sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil.
Proses selanjutnya adalah penanganan pasca panen. Gabah yang
sudah dirontokkan dijemur di atas lantai jemur atau jika tidak ada bisa
menggunakan terpal. Gabah dijemur dengan ketebalan 5 – 7 cm dan
dilakukan pembalikan setiap 2 jam sekali hingga kering. Gabah kering
jika tidak langsung digiling harus disimpan di tempat yang bersih dalam
lumbung/gudang yang bebas hama dan memiliki sirkulasi udara yang
baik. Gabah yang akan dikonsumsi agar diperoleh beras dengan kualitas
19
baik disimpan dengan kadar air 14 %. Sedangkan gabah yang akan
digunakan sebagai benih disimpan dengan kadar air 12 %.
Gabah yang akan disimpan dalam waktu lama harus memiliki
kadar air yang lebih rendah. Untuk penyimpanan 4 – 6 bulan gabah harus
memiliki kadar air 12 % dan apabila disimpan selama 7 – 12 bulan kadar
air gabah 11 %. Yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan gabah
adalah tempat penyimpanan dan wadah yang digunakan untuk mengemas
gabah. Gudang atau tempat penyimpanan harus bersih dari kotoran dan
hama, dapat melindungi gabah dari hama seperti tikus dan memiliki
sirkulasi udara yang baik.
Wadah pengemas dapat menggunakan kemasan karung, kemasan
plastik dan kemasan yute. Kemasan harus dapat melindungi gabah dari
hama, kerusakan fisik terhadap goncangan dan mudah dipindahkan.
Simpan gabah dengan ditata rapi secara bertumpuk dan mendapatkan
sirkulasi udara yang baik. Sebaiknya kemasan atau karung disimpan tidak
langsung menempel pada dinding karena dapat mempengaruhi
kelembaban padi dalam kemasan.
Pencegahan dan pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara
fumigasi. Penggunaan insektisida jangan langsung disemprotkan pada
butiran gabah karena dapat mempengaruhi kualitas gabah. Gabah yang
sudah disimpan jika akan digiling diangin-anginkan terlebih dahulu
sebelum digiling untuk menghindari butir beras pecah.
20
BAB IV. PENUTUP
4.1. Kesumpulan
Pada prinsipnya PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) lebih bersifat
spesifik lokasi dan partisipatif sehingga semua teknis yang telah diuraikan di atas
tidak harus mutlak untuk diterapkan di seluruh daerah. Petani di tiap-tiap dengan
didampingi tenaga teknis dari instansi terkait dapat memilih sendiri komponen
teknologi yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi lingkungan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah diterapkan dalam upaya
meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan menerapkan efisiensi dan
efektifitas dalam usaha tani padi sawah dengan memperhatikan sumber daya alam,
kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup.
4.2 Saran
Akhirnya supaya penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dalam
budidaya padi sawah dan usaha tani lainnya dapat berjalan dengan baik dan benar
maka diperlukan kerjasama dan bimbingan yang intensif dari semua pihak yang
terkait demi terwujudnya peningkatan produksi beras nasional dalam menunjang
ketahanan pangan dan swasembada beras pada khususnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
AAK., 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Azwir. 2009. Increasing of Lowland Rice Productivity Through management
Practices Improvement on Rice Cultivation. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Barat. Sukarami Sumbar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Petunjuk Teknis PTT Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah, Semarang : Set – BAKORLUH Jawa Tengah, 2010
Departemen Pertanian, 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Pengolahan Tanaman Terpadu, Padi Sawah Tadah Hujan.
Dewa. 2012. Harvest and Post-Harvest Technologies : Adaption Constraints and
Development Strategy. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Bogor.
Firdaus, dkk. 2008. Swasembada Beras Dari Masa ke Masa. IPB Press. Bogor.
Gumbira, E dan sa’id A. haritz intan, 2001. Manajemen Agribisnis. Jakarta.
Ghalia Indonesia
Pertanian. Blogspot.COM, Tata Cara Penyimpanan, Pengemasan maupun
Pelabelan Gabah atau Beras Secara Baik dan Benar, 2011
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Pertanian, Usaha Tani Padi Dengan Pendekatan
PTT, Jakarta : Kementerian Pertanian, 2011
Pusat Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM
Pertanian, Budidaya Padi, Jakarta : BPSDM Pertanian, 2011
Sekar. 2012. PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) Padi Sawah <https://sekar
madjapahit.wordpress.com/2012/04/29/ptt-padi-sawah/>. Diakses pada
tanggal 18 September 2015.
Sudaryanto and Swastika. 2008. Development and Policy Issues in Indonesian
Rice Industry. Paper presented at the “Rice Policy Forum”,
InternationalRice Research Institute, Los Banos, Philipinnes, 18-19
February, 2008.
22
Sugeng, H. R. 2001. Bercocok Tanam Padi. Aneka Ilmu. Semarang.
Sumarno, I.G. Ismail, dan Suwono. P. 2000. Konsep usahatani ramah lingkungan.
Dalam.Makarim et al. (Eds). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan.
Konsep dan Strategis Peningkatan Paroduksi Pangan. Simposium Penelitian
Tanaman Pangan IV. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekoteknologi untuk keberlanjutan usaha
pertanian. Risalah Simposium Ketahanan Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Susanto, 2003. “Mengembangkan Corporate Social Responsibility di Indonesia”,
Jurnal Reformasi Ekonomi,Volume No.1 Hal 8, Jakarta.
Yusuf, A dan D. Harnowo. 2010. Teknologi Budidaya Padi Sawah Mendukung
SL-PTT. Balai Kajian Teknologi Pertanian. Medan