makalah kasus 1 kel.6 ss
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

LAPORAN HASIL DISKUSI
Modul Organ Susunan Saraf
Seorang Pria Dengan Nyeri Kepala
Kelompok VI
Meikhel Alexander 030.10.172
Meilinda Vitta Sari 030.10.173
Meita Kusumo Putri 030.10.174
Melati Hidayanti 030.10.175
Melissa Mauli Sibarani 030.10.176
Mellisa Aslamiya 030.10.177
Mentari 030.10.178
Mochammad Satrio 030.10.180
Mohammad Haikal 030.10.181
Monica Olivine 030.10.182
Muhamad Alfi 030.10.184
Muhamad Lutfi 030.10.187
Muhammad Agrifian 030.10.188
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta
13 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat
khusus, dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan
interaksi antara seorang individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini
juga mengatur aktivitas sebagian besar sistem tubuh lainnya. Tubuh mampu berfungsi sebagai
satu kesatuan yang harmonis karena pengaturan hubungan sendi saraf di antara berbagai sistem.
Fenomena mengenai kesadaran, daya pikir, bahasa, sensasi, dan gerakan semuanya berasal dari
sistem ini. Oleh karena itu, kemampuan untuk memahami, belajar, dan berperan terhadap
rangsangan merupakan hasil dari integrasi fungsi sistem saraf, yang memuncak dalam
kepribadian dan perilaku seseorang.
Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan
medula spinalis, dan sistem saraf tepi (SST), yang terdiri dari serat – serat saraf yang membawa
informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer). SST kemudian dibagi lagi menjadi divisi
aferen dan eferen. Divisi aferen membawa informasi ke SSP, memberitahu SSP mengenai
lingkungan eksternal dan aktivitas – aktivitas internal yang diatur oleh SSP. Instruksi dari SSP
disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor seperti otot dan kelenjar yang melaksanakan
perintah untuk menimbulkan efek yang diinginkan. Sistem saraf eferen dibagi menjadi sistem
saraf somatik, yang terdiri dari serat-serat neuron motorik yang mempersarafi otot – otot rangka,
dan serat – serat sistem saraf otonom, yang mempersarafi otot polos, otot jantung, dan kelenjar.
Sistem yang terakhir dibagi lagi menjadi sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis,
keduanya mempersarafi sebagian besar organ yang dipersarafi oleh sistem otonom.
2

BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pria berumur 61 tahun, dibawa ke UGD oleh istrinya dalam keadaan berjalan,
karena sejak beberapa jam yang lalu mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan berkunang –
kunang. Selain itu, kata istrinya, pasien berbicara kacau, tak mau berkomunikasi dan berkelakuan
aneh. Pasien memang sering mengeluh sakit kepala sebelumnya.
3

BAB III
PEMBAHASAN
I. ANALISIS MASALAH
Identitas Pasien:
Nama : -
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Keluhan Utama : Nyeri kepala hebat
Analisis Masalah dan Hipotesis
4
Masalah Dasar Masalah Hipotesis
Pria, umur 61
tahun-
Tumor Otak, Penyakit
Degeneratif, Stroke
Nyeri kepala hebat Sefalalgia
Tumor Otak,Nyeri kepala
cluster, Stroke, Trauma
Kepala, Migren dengan
Aura
Pandangan
berkunang -
kunang
Nyeri kepala cluster,
Migren dengan Aura
Berbicara kacau,
tidak mau
berkomunikasi
Afasia
Tumor Otak,Nyeri kepala
cluster, Stroke, Trauma
Kepala, Migren dengan
Aura
Berkelakuan aneh
Migren dengan Aura,
Tumor Otak, Stroke,
Trauma Kepala

Berdasarkan keluhan utama dan keluhan penyerta lainnya,hipotesis kami secara lebih
rinci pada pasien ini adalah :
1. Tumor otak
Tumor otak dapat berasal dari jaringan neuronal, jaringan otak penyokong,
sistem retikuloendotelial, lapisan otak, dan jaringan perkembangan residual, atau
dapat bermetastasis dari karsinoma sistemik. Tumor otak paling sering terjadi
pada dewasa usia dekade lima dan enam. Tumor otak menyebabkan timbulnya
gangguan neurologik progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguam fokal akibat tumor dan
kenaikan tekanan intrakranial. Manifestasi klinis pada tumor otak ialah trias
klasik yang terdiri atas nyeri kepala, muntah, dan papiladema. Gejala dan tanda
lain tumor otak cenderung makin dapat menentukan lokasinya.
5

Pada pasien ini, hipotesis tumor otak dapat kami tegakkan atas dasar jenis
kelamin pasien pria, umur 61 tahun, dimana ini dilihat berdasarkan epidemiologi,
dan keluhan utama nyeri kepala hebat. Keluhan penyerta lainnya seperti berbicara
kacau, pandangan berkunang – kunang, berkelakuan aneh, dan tak mau berbicara
dapat ditemukan pada pasien penderita tumor otak tergantung lokasi tumor
tersebut berada. Riwayat penyakit dahulu pasien dengan seringnya mengalami
nyeri kepala juga mendukung hipotesis tumor otak ini.
2. Stroke
Stroke atau penyakit cerebrovaskuler mengacu pada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran
darah melalu sistem suplai arteri otak. Etiologi tersering penyebab stroke ialah
hipertensi. Tanda utama stroke adalah munculnya secara mendadak satu atau
lebih defisit neurologik fokal. Aktivitas kejang merupakan gambaran stroke.
Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai,
terutama di satu sisi tubuh, gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, bingung mendadak, tersandung
selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan atau koordinasi dan
nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas.
Pada pasien ini, hipotesis stroke dapat kami tegakkan berdasarkan jenis
kelamin pria dan umur 61 tahun dimana berdasarkan data statistik dari seluruh
dunia dua per tiga stroke terjadi pada orang yang berumur lebih dari 60 tahun.
Selain itu berdasarkan gejala klinis seperti nyeri kepala berat yang dialami pasien
serta nyeri kepala yang sering dialami pasien sebelumnya dapat mendukung
hipotesis ini. Berbicara kacau, tak mau berkomunikasi dan berkelakuan aneh
dapat pula ditemukan pada pasien stroke. Namun untuk lebih lanjut dalam
menegakkan diagnosis kerja harus ditentukan apakah pasien ini stroke iskemik
atau stroke hemoragik karena terdapat perbedaan yang cukup berarti di antara
kedua macam stroke ini.
3. Nyeri Kepala Cluster
Nyeri kepala cluster adalah suatu sindrom nyeri kepala neurovaskuler yang
khas dan dapat disembuhkan, walaupun insidensinya jauh lebih jarang dari
6

migren. Nyeri kepala cluster jauh lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Nyeri ini memiliki karakteristik konstan, parah, tidak berdenyut, dan
unilateral serta sering terbatas pada mata atau wajah. Pada puncaknya, nyeri
kepala sangat hebat dan tidak tertahankan. Nyeri kepala cluster dapat berlangsung
dari beberapa menit sampai beberapa jam.
Pada pasien ini, hipotesis nyeri kepala cluster dapat kami tegakkan
berdasarkan nyeri kepala hebat yang dialami pasien, durasi nyeri kepala yang
dialami pasien, dan didukung pula nyeri kepala cluster ini sering terjadi pada laki-
laki.
4. Migren dengan Aura
Nyeri kepala migren aura adalah suatu sindrom nyeri rekuren episodik
yang didahului oleh aura dan besar kemungkinannya mengalami rangkaian
perubahan neurobiologik 24 sampai 48 jam sebelum awitan nyeri kepala. Gejala
aura yang khas mencakup perubahan penglihatan dan sensorik abnormal lainnya
seperti kilatan atau cahaya tajam atau merasa mengecap atau membaui sesuatu,
serta defisit motorik dan bicara (afasia).
Pada pasien ini, hipotesis migren dengan aura dapat kami tegakkan
berdasarkan nyeri kepala yang dialami pasien dengan aura yang didahului ialah
berkelakuan aneh, tak mau berbicara serta berbicara kacau yang menunjukkan
adanya defisit bicara (afasia).
5. Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural kronik ini ialah trauma otak yang menjadi penyebab
dapat sangat sepele atau terlupakan dan seringkali terjadi akibat cedera ringan.
Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu,bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat
dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma ini merobek salah satu vena
yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Beberapa penderita akan mengeluh sakit kepala. Gejala dan tanda yang
paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati,
letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk
mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Bila terdapat afasia, pada
7

umumnya tipe anomik, yang ditandai dengan bicara dengan artikulasio baik dan
tata bahasa normal yang sedikit atau tidak memberikan informasi. Kemampuan
untuk mengerti bahasa bicara dan kemampuan untuk mengulang kata atau kalimat
tetap tidak berubah.
Pada pasien ini, hipotesis hematoma subdural kronik kami tegakkan
berdasarkan nyeri kepala yang sering terjadi dan beberapa jam lalu terasa hebat,
pandangan berkunang - kunang menunjukkan penurunan tingkat kesadaran, dan
adanya afasia yang terlihat pada pola berbicaranya yang kacau.
II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit :
Keluhan Utama :
Nyeri kepala hebat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Beberapa jam yang lali mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan berkunang –
kunang, pasien berbicara kacau, tak mau berkomunikasi, dan berkelakuan aneh.
Anamnesis tambahan yang diperlukan :
1. Bagaimana lokasi, frekuensi, waktu, durasi, dan kualitas nyeri kepala?
2. Apakah ada faktor pemicu dan faktor pereda nyeri kepala?
3. Apakah nyeri kepala didahului atau disertai kejang?
4. Apakah pernah mengalami trauma kepala sebelumnya?
5. Apakah nyeri kepala timbul sendiri atau disertai kelainan seperti mual,
muntah, fotobia, dan penglihatan kabur?
6. Apakah nyeri kepala timbul saat beraktivitas atau istirahat?
7. Apakah ada resiko dari pekerjaan pasien yang memperberat nyeri kepala?
8. Apakah pasien merasakan baal atau lemas pada satu atau dua sisi tangan
atau tungkai?
9. Apakah nyeri kepala didahului dengan aura seperti melihat kelihatan
cahaya, membaui sesuatu?
10. Berbicara kacau dan berkelakuan aneh seperti apa?
8

Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memang sering mengeluh sakit kepala sebelumnya.
Anamnesis tambahan yang diperlukan :
1. Apakah sering mengonsumsi obat sakit kepala sebelumnya?
2. Seberapa sering nyeri kepala berulang dialami pasien?
3. Saat kapan nyeri kepala berulang tersebut terjadi, adakah awitan
sebelumnya?
4. Bagaimana lokasi, frekuensi, waktu, durasi, dan kualitas nyeri kepala
berulang yang dialami?
Riwayat Penyakit Keluarga :
Anamnesis tambahan yang diperlukan :
1. Apakah ada anggota keluarga yang menderita nyeri kepala atau gejala
serupa?
Riwayat Kebiasaan :
Anamnesis tambahan yang diperlukan :
1. Apakah makanan yang sering dikonsumsi oleh pasien?
2. Apakah pasien perokok dan meminum alkohol?
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tanda vital :
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
Menandakan bahwa tekanan darah pasien termasuk hipertensi derajat 1
menurut JNC VII 2003, dimana tekanan darah yang normal adalah sistole
kurang dari 120 dan diastole kurang dari 80 mmHg menurut.
- Denyut nadi : 80 kali/menit
9

Menandakan bahwa denyut nadi pasien dalam batas normal, dimana denyut
nadi yang normal adalah 60-100 kali/menit.
- Pernapasan : 20 kali/menit
Menandakan bahwa pasien dalam batas normal, dimana frekuensi pernapasan
yang normal pada pria adalah 14-18 kali/menit.
- Suhu tubuh : 36,50C
Menandakan suhu tubuh pasien adalah normal, dimana suhu tubuh normal
antara 36,50C – 37,20C.
Pemeriksaan neurologis
Pasien bisa membuka mata. Bila ditanya jawaban berupa kalimat yang tak sesuai dengan
yang ditanyakan. Bila diberi instruktif pasien tak bisa melaksanakan dan pada saat
diperiksa dengan palu refleks, tangan dokter dipegang. Tidak didapat tanda-tanda
lateralisasi dan rangsangan selaput otak. Tidak ada kelainan nervi cranialis.
Berdasarkan pemeriksaan umum, pasien mengalami hipertensi derajat 1 menurut
JNC VII 20003. Hal ini mendukung hipotesis stroke dimana pasien dengan hipertensi
memiliki faktor resiko tinggi mengalami stroke terutama stroke hemoragik. Berdasarkan
pemeriksaan neurologis, mata masih dalam batas normal. Pasien mengalami afasia
sensorik dimana adanya gangguan pada area Wernicke dimungkinkan terjadi karena
adanya tumor atau perdarahan yang mendesak atau menekan saraf bicara sensoris pada
area Wernicke ini sehingga pasien berbicara kacau dan tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan dokter. Afasia sensorik bisa terdapat pada stroke, tumor otak, hematoma
subdural kronik dan migren dengan aura. Pada pasien nyeri kepala cluster sangat jarak
ditemukan adanya afasia sensorik sehingga hipotesis ini dapat disingkirkan. Selanjutnya,
tidak ada lateralisasi, rangsangan meningeal yang patologis dan tidak ada kelainan nervi
cranialis.
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
10

Berdasarkan hasil laboratorium di atas, hampir semua pemeriksaan masih dalam
batas normal. Keadaan abnormal yang ditemukan hanya terletak pada HDL cholesterol
pasien yang menurun, namun bila dilihat dari ratio HDL cholesterol/LDL cholesterol
11
Darah PeriferHasil
PemeriksaanNilai Normal Keterangan
Leukosit 9.200/µL 5.000-10.000/µL normal
Eritrosit 5,03 jt/mm3 4,6-6,2 jt/mm3 normal
Hb 14,6 g% 14-16 g% normal
Hematokrit 41% 40%-52% normal
Trombosit 276.000/µL 150.000-400.000/µL normal
Gula Darah
Sewaktu118 < 180 mg/dl normal
SGOT 20 U/L 0-37 U/L normal
SGPT 16 U/L 0-42 U/L normal
Asam Urat 3,6 mg/dl 3,4-7 mg/dl normal
Ureum 17 mg/dl 10-50 mg/dl normal
Kreatinin 1,1 mg/dl 0,6-1,3 mg/dl normal
Trigleserida 140 mg/dl < 150 mg/dl normal
Cholesterol 184 mg/dl < 200 mg/dl normal
HDL
cholesterol38 mg/dl > 55 mg/dl menurun
LDL
cholesterol118 mg/dl < 150 mg/dl normal
Na 136 mEq/L 135-145 mEq/L normal
K 3,6 mEq/L 3,5-5 mEq/L normal

pasien ini masih dibawah 5 dan hal ini menunjukkan keadaaan cholesterol darah masih
dalam batas normal.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : normal
2. Foto thoraks : normal
3. CT Scan
Hasil pemeriksaan EKG dan foto thoraks pasien masih dalam batas normal. Pada
pemeriksaan penunjang CT Scan, dapat dilihat tidak ada pergeseran midline shift, ventrikel yang
masih simetris, namun ditemukan gambaran hiperdens pada lobus temporal sinistra tanpa SOL
(Space Occupying Lession). Gambaran hiperdens biasanya terdapat pada tumor, perdarahan
hemoragik, dan abses. Dengan mendapatkan gambaran seperti ini, hipotesis nyeri kepala cluster
dan migren dengan aura dapat disingkirkan karena pada kedua penyakit ini bila dilakukan
pemeriksaan CT scan masih dalam batas normal. Hematoma subdural kronik bisa disingkirkan
pula karena tidak ditemukan gambaran khas CT scan hematoma ini ialah gambaran hematoma
seperti bulan sabit. Tumor otak dapat pula disingkirkan karena tidak ditemukan SOL yang
12

dimana bila adanya tumor maka akan adanya lesi yang mendesak otak dan akan menggeser
midline shift. Hipotesis terakhir yang dapat ditegakkan menuju diagnosis kerja berdasarkan
gambaran CT scan ini ialah stroke dengan gambaran hiperdens ini merupakan perdarahan
(hemoragik) intraserebrum.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang yang dilaksanakan maka diagnosis yang kami tegakkan ialah :
Diagnosis klinis : Sefalalgia, hipertensi, afasia sensorik, berkelakuan aneh
Diagnosis topik : Lobus temporalis sinistra
Diagnosis patologis : Hemoragik
Diagnosis etiologi : Hipertensi
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini ialah :
A. Terapi Umum
a. Pasien harus dirawat di ICU apabila volume hematoma >30 mL, perdarahan
intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk
b. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tiba - tiba mencapai tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130
mmHg
c. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 300,
posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol untuk menangani adanya
edeme serebral dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg)
B. Terapi Khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
13

memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
VIII. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien ini dari ad vitam, ad functionam, dan ad sanationamnya ialah
dubia ad bonam. Kehidupan pasien akan lebih baik bila penatalaksanaan yang diberikan adekuat,
cepat, dan tepat. Penurunan fungsi luhur yang dialami pasien akibat perdarahan hemoragik dapat
kembali ke keadaan semula sebelum serangan nyeri kepala hebat apabila disertai dengan
penatalaksaan yang benar. Namun tidak menutup kemungkinan penurunan fungsi luhur pada
pasien ini akan tetap terjadi sesuai bertambahnya umur pasien mengingat pasien sudah
menginjak usia dekade ke-enam. Berulangnya serangan nyeri kepala hebat sebagai keluhan
utama pasien dapat terjadi kembali apabila penanganan etiologinya yaitu hipertensi tidak
diperhatikan dengan baik dimana untuk prognosis ke arah yang lebih baik harus didukung
dengan gaya hidup yang sehat.
14

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
15

BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas, pasien ini mengalami stroke hemoragik
karena hipertensi yang dialaminya. Hipertensi inilah yang menyebabkan tekanan intakranial
meningkat sehingga pasien mengalami nyeri kepala yang hebat selama beberapa jam. Tekanan
intrakranial yang meningkat dapat merusak pembuluh darah sehingga terjadinya perdarahan.
Pada gambaran CT scan, perdarahan yang ditemukan terletak pada lobus temporalis sinistra
dimana perdarahan ini menekan lobus temporalis dan menekan saraf-saraf yang terletak di lobus
tersebit sehingga terjadinya penurunan fungsi berbicara secara sensorik (afasia sensorik) yang
terlihat dari cara berbicaranya kacau dan pemberian jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan
yang diajukan dokter, perubahan mental seperti berkelakuan aneh, serta tidak mau berbicara.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini ialah medikamentosa dan
nonmedikamentosa. Penatalaksaan terpenting ialah bagaimana penanganan terhadap hipertensi
yang dialami pasien sebagai etiologi stroke hemoragik yang dialaminya. Penatalaksaan yang
adekuat, cepat dan tepat dapat meningkat prognosis pasien ini menuju ke arah yang lebih baik.
16

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Price,Wilson. Patofisiologi. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Asih D,Editors. 6 th ed.
Jakarta: Penerbit EGC;2006.
2. Snell,Richard. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. In: Liliana, Editors.
5th ed. Jakarta: Penerbit EGC;2006.
3. Snell R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. In: Huriawati H, Listiawati
E,Editors. 6th ed. Jakarta: Penerbit EGC; 2006.
4. Provan D, Krentz A. Oxford Handbook of Clinical And Laboratory Investigation. New
York: Oxford University Press; 2002.
5. Sutedjo, AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta: Asmara Books; 2007.
6. Toole JF. Cerebrovascular Disorder. 4th ed. Raven Press. New York. 1990
7. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.
8. PERDOSSI. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI), 2007
17

18