makalah kanker paru

19
PENDAHULUAN Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990. Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan .2. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan. Salah satu factor prognostic kanker paru adalah sindroma vena cava superior (SVCS). SVCS merupakan salah satu kegawatan nafas yang dapat terjadi di saluran nafas, pembuluh darah toraks dan parenkim paru. SVCS terjadi apabila karena adanya gangguan aliran darah dari kepala dan leher akibat berbagai sebab. SVCS merupakan salah satu gejala pada keganasan di paru yang mengganggu aliran darah vena kava superior atau cabang-cabangnya. Identifikasi yang cepat dan

Upload: fahmy-ben-bella

Post on 28-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hghgjh

TRANSCRIPT

Page 1: makalah kanker paru

PENDAHULUAN

Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai

salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan

angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena

kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990.

Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah jenis penyakit

keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian akibat

keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan .2. Buruknya prognosis

penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika

penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita

kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I

sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika

dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.

Salah satu factor prognostic kanker paru adalah sindroma vena cava superior

(SVCS). SVCS merupakan salah satu kegawatan nafas yang dapat terjadi di saluran nafas,

pembuluh darah toraks dan parenkim paru. SVCS terjadi apabila karena adanya gangguan

aliran darah dari kepala dan leher akibat berbagai sebab. SVCS merupakan salah satu gejala

pada keganasan di paru yang mengganggu aliran darah vena kava superior atau cabang-

cabangnya. Identifikasi yang cepat dan terapi yang tepat dapat menghindari kegawatan

akibat SVCS dan meningkatkan hasil terapi terhadap penyebabnya.

Page 2: makalah kanker paru

A. KANKER PARU

1. Definisi

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di

paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan

dari luar paru (metastasis tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang

dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yaitu tumor ganas

yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic

carcinoma).

2. Epidemiologi

Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,

berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena

1 dari 13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan

risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru

dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun

2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang

meninggal karena kanker.

Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki

dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa

insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan

pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-

laki dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik

yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan

kebiasaan merokok yang bervariasi di seluruh dunia.

Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit

Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan.

Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah

seluruh penderita rawat jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap. 18

3. Factor risiko dan etiologi

Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab

utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan

terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok

Page 3: makalah kanker paru

dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat

dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan

pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan

berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih

tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka

kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang

semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda.

Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap

arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas,

penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl

chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada

industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi

genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.

4. Diagnosis Kanker Paru

a. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat

bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah

bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat

mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.

Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi:

1. Manifestasi local kanker paru ( intrapulmonal intratorakal)

Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi

sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala

karsinoma sel bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma).

Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus.

Nyeri dada juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi

tumor atau nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding

dada atau mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan penurunan berat

badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal

rekuren dan pneumonia segmental mungkin terjadi karena lesi obstruktif

dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang terjadi

karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila

trakea sudah terlibat.

2. Manifestasi ekstrapulmonal intratorakal

Page 4: makalah kanker paru

Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru

ke struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan

oleh keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat

menyebabkan sesak nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan

gangguan kardiovaskuler. Tumor lobus atas kanan atau kelenjar

mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan kompresi vena kava

superior dari eksternal. Dengan demikian pasien tersebut akan

menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu nyeri kepala,

wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran vena-vena

dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis

superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus

brakialis dan menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari

otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus

laringeus rekurens yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan

suara serak dan paralisis pita suara kiri. invasi tumor langsung dan

mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus

dan akhirnya disfagia.

3. Manifestasi ektratorakal non metastasis

Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma

paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor,

melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu

sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah,

mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti

galaktorea (galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada

karsinoma sel kecil dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-

endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone

(ACTH), antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon

paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien

kanker paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang menunjukkan

sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic

pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non

metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma neurologi

seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan dengan

kanker paru.

Page 5: makalah kanker paru

4. Manifestasi ektratorakal metastasis

Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan

sebelumnya) sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan

metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker

paru umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan

kulit. Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local.

Metastasis ke tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung

melibatkan tulang iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi

metastasis ke otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti

confusion, perubahan kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening

supraklavikular dan servikal anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan

sebaiknya dinilai secara rutin dalam mengevaluasi pasien kanker paru.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu

penyakit. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat

memberikan gambaran normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan

ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi

bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil

yang informatif. Pada pasien kanker paru dapat ditemukan demam,

kelainan suara pernafasan pada paru, pembesaran pada kelenjar getah

bening, pembesaran hepar, pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, atau

pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan otot regional atau

umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit menghitam, atau bibir

dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang mengindikasikan

tumor primer ke organ lain.

c. Pemeriksaan radiologi

1. Foto toraks

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila

massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan

adalah tepi yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan

lain-lain. Pada foto toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada,

efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.

2. CT scan toraks

Page 6: makalah kanker paru

CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat

mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat

dilihat dengan foto toraks, dapat menentukan ukuran, bentuk, dan

lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT scan toraks

juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening

regional.Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan baik,

bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor

intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah

terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.

Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis

intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya diminta

hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi ada/tidak adanya

pembesaran KGB adrenal.

3. MRI

MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker

paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi

area yang sulit diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti

diafragma atau bagian apeks paru (untuk mengevaluasi keterlibatan

pleksus brakial atau invasi ke vertebra)

4. PET scan (Positron Emission Tomography)

PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul

glukosa yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam

tubuh kemudian scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan

sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa

daripada sel yang normal karena sel-sel kanker bertumbuh dan

bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan dengan sel

kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor

primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor

metastasis tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.

d. Sitology sputum

Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari

sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan

pula berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang

pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem

Page 7: makalah kanker paru

bronkopulmoner yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material

seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses patologis

yang mendasarinya. Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau

sel darah merah dari saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang

dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor paru. Sel-sel non

pulmoner seperti sel-sel skuamosa orofaring atau sisa-sisa makanan yang

dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi ke paru

dan kemudian dibatukkan. Air merupakan komponen utama dari sputum

(90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan

glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum adalah karakteristik

fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses

inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.

B. Sindroma Vena Cava Superior

1. Anatomi, patofisiologi dan patogenesis

Vena kava superior (VKS) normal berukuran 6-8 cm dengan diameter 1-2

cm. Vena ini terletak di mediastinum anterior, di depan trakea dan di sisi

kanan aorta. Vena kava superior membawa aliran darah dari kepala dan leher

kembali ke atrium kanan. Bagian VKS yang masuk ke rongga perikard sekitar

2-3 cm .Pada bagian atas VKS bermuara vena brakiosefalik kanan dan kiri,

brakiosefalik kanan menerima aliran darah dari vena subklavia dan jugular

interna kanan, sedangkan vena brakiosefalik kiri menerima aliran darah dari

vena subklavia dan jugular interna kiri. Drainase daerah kepala dan leher

mempunyai 8 sistem kolateral vena-vena, di antaranya vena paravertebra,

azigos-hemiazigos, mammaria interna, torakal lateral, jugular anterior, tiroidal,

timik dan perikardiofrenik.4 Pada gambar 1 dapat dilihat anatomi vena kava

superior.

Page 8: makalah kanker paru

Gambar 1. Anatomi vena kava superior

dan vena-vena utama lain yang membawa

aliran darah dari kepala dan leher.

Kompresi dari luar terhadap VKS dapat terjadi karena vena

ini mempunyai dinding tipis dan tekanan intravaskuler yang rendah. Vena

kava superior dikelilingi oleh bagian/struktur kaku sehingga relatif mudah

terjadi kompresi. Tekanan intravaskuler yang rendah memudahkan

pembentukan trombus, misalnya trombus yang terjadi akibat kateterisasi

(catheter-induced thrombus). Obstruksi dan aliran yang lambat

menyebabkan tekanan vena meningkat dan inilah yang menyebabkan

timbulnya edema interstisial dan aliran darah kolateral membalik

( retrograde collateral flow). Obstruksi pada vena kava superior atau vena

yang berhubungan dengan aliran darah dari kepala dan leher menyebabkan

terjadinya SVKS. Obstruksi dapat disebabkan oleh proses dari luar

yang menyebabkan terjadinya penekanan (kompresi) terhadap vena tetapi

dapat juga terjadi karena proses di dalam vena, misalnya munculnya

trombosis. Kasus SVKS akibat proses dari dalam meningkat seiring dengan

semakin sering dilakukan intervensi pada vena sentral seperti tindakan

kateterisasi.

Page 9: makalah kanker paru

2. Etiologi

Penyakit yang paling banyak menyebabkan terjadi SVKS adalah

keganasan, tetapi penyakit infeksi seperti sifilis dan tuberkulosis juga

dapat menjadi penyebab SVKS walaupun jarang.

3. diagnosis

Diagnosis SVKS didasarkan pada klinis dan gambaran radiologis

yang menunjukkan kondisi VKS dan vena-vena lain yang tergabung dalam

kolateral aliran darah dari kepala dan leher. Rerata munculnya gejala

SVKS adalah 48 hari 7 dan 40% pasien hanya dapat bertahan kurang dari

8 hari tanpa terapi dari mulai terjadi gejala akibat obstruksi itu.10 Peneliti

lain melaporkan bahwa rerata lama diagnostik dari mulai muncul gejala

adalah 28 hari.8 Sekali SVKS ditemukan maka prosedur diagnosis untuk

mencari penyakit penyebab harus segera dilakukan. Prosedur diagnosis lain

setelah pemeriksaan klinis dan radiologis adalah prosedur untuk keganasan

di paru yaitu sputum sitologi, biopsi transtorakal (TTB), biopsi dan lain-

lain.

4. Gejala klinis

Keluhan atau gejala klinis pada SVKS sangat individual, tergantung

berat ringan gangguan. Tanda khas untuk SVKS adalah

peningkatan gejala disebabkan oleh pertambahan ukuran massa yang

bersifat invasif (khusus untuk keganasan). Sesak napas adalah keluhan

yang paling sering, kemudian leher dan lengan bengkak. Pada keadaan

berat selain gejala sesak napas yang hebat dapat dilihat pembengkakan

leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena- vena subkutan leher dan

dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk

mengatasi keluhan. Berat ringan gejala ini juga dipengaruhi oleh lokasi

obstruksi yang terjadi, perluasan proses penyakit penyebab, aliran cabang

vena yang tersumbat dan kemampuan vena beradaptasi terhadap

perubahan aliran darah.

5. Gambaran radiologi

Pada foto toraks polos terlihat bayangan massa di mediastinum superior

kanan (90%), adenopati hilus (50%), efusi pleura kanan (25%). Informasi

Page 10: makalah kanker paru

lebih baik dengan menggunakan CT-scan toraks. Pada CT-scan toraks

kadang- kadang gambaran opak pada kolateral vena toraks sering diduga

sebagai SVKS, tetapi indikator paling baik untuk oklusi (penyempitan)

pada VKS adalah jika tampak gambaran opak pada pembuluh darah di

daerah subkutan toraks anterior, tampakan seperti itu mempunyai

spesifikasi 96%. Kemampuan magnetic resonance imaging (MRI) untuk

mendeteksi obstruksi pada vena toraksik juga tinggi yaitu dengan

sensitifiti 94% dan spesifisiti 100%.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk penderita dengan SVKS sangat individual,

faktor yang perlu dipertimbangkan adalah :

a. Ada atau tidak kegawatan pada SVKS itu yang apabila tidak

dilakukan tindakan segera dapat menyebabkan kematian.

b. Bisa atau tidak melakukan prosedur diagnostic

c. Cepat atau lambat identifikasi penyakit penyebab

d. Akurasi penilaian

Sindrom Vena Kava Superior dengan prediksi penyakit penyebabnya

adalah keganasan maka dapat dilakukan prosedur seperti yang dibuat

oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), seperti terlihat pada

gambar 2. Jika keadaan umum penderita baik (PS >50) maka harus

dilakukan prosedur diagnostik, pada kasus keganasan harus diupayakan

tindakan untuk mendapatkan jenis sel kanker. Radioterapi cito dengan dosis

300 – 1000 cGy segera diberikan, bila telah memungkinkan dilakukan

prosedur diagnostik. Terapi selanjutnya tergantung pada diagnosis pasti

penyebab penyakit.

Penatalaksanaan ideal untuk mengatasi SVKS adalah terapi definitif

penyakit penyebab, kadang diperlukan pengobatan multimodaliti

yaitu kemoterapi, radioterapi, bedah, pemasangan stent, trombolisis dan

obat jenis lain.

a. Obat-obatan

Pasien dengan gejala ringan dan telah terbentuk aliran kolateral

mungkin tidak membutuhkan pengobatan. Jika lesi di atas vena

azygos atau penyumbatan berjalan lambat dan terjadi kompensasi

Page 11: makalah kanker paru

dengan aliran kolateral, cukup waktu untuk menjalani prosedur

diagnosis tanpa pengobatan sampai ditemukan diagnosis pasti

penyebab penyakit. Terapi jangka pendek yang tidak agresif dapat

diberikan untuk mengurangi gejala yaitu dengan pemberian

kortikosteroid dan diuretik untuk mengurangi edema.

b. Radiasi

Jika obstruksi terjadi karena keganasan dan tumornya

kemoresisten, maka radiasi harus diberikan. Dosis radiasi total sesuai

dengan penatalaksanaan keganasan 5000 – 6000 cGy.

c. Kemoterapi.

Kemoterapi adalah terapi pilihan untuk KPKSK dan limfoma. Urban

dkk, mendapatkan bahwa radiasi cito sebelum diagnosis atau

kemoterapi untuk KPKSK tidak membantu. Kemoterapi juga menjadi

pilihan terapi untuk KPKBSK karena SVKS merupakan salah satu

faktor yang menentukan staging penyakit lanjut. Kemoterapi juga

menjadi pilihan untuk tumor mediastinum jenis nonseminoma karena

radioresisten.

Page 12: makalah kanker paru

d. Trombolisis

Terapi tambahan untuk pasien SVKS yang disebabkan oleh

karena pembentukan trombus adalah trombektomi dengan atau tanpa

aktivator plasminogen (TPA) atau agen trombolitik lain seperti

streptokinase dan urokinase.

e. StentPemasangan stent intravena untuk SVKS masih kontroversial

tetapi pernah dilaporkan walaupun jumlah kasus sedikit.

Page 13: makalah kanker paru

DAFTAR PUSTAKA

1. Aurora R, Milite F, Vander-Els NJ. Respiratory emergencies.Semin Oncol 2000; 27(3): 256-69.

2. Martins SJ, Pereira JR. Clinical factors and prognosis in non-small cell lung cancer. Am J Clin Oncol 1999; 22(5): 453-7.

3. Wurschmidt F, Bunemann H, Heilmann HP. Small cell lung cancer with and without superior vena cava syndrome: a multivariate analysis of prognostic factors in 408 cases. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 33(1):77-82.

4. Nesbitt JC. Surgical management of superior vena cava syndrome. In: Lung cancer principles and practices. Pass HI, Mitchell JB, Johnson DH, Turrisi AT, eds. Philadelphia, Lippincolt-Raven, 1996, p. 673-81.

5. Naidich DP, Zerhouni EA, Siegelman SS, Kohn JP. Mediastinum. In: Computed tomography and magnestic resonance of the thorax, 2

nd ed, New York, Raven-Press, 1991.p. 35-148.