makalah imunologi
TRANSCRIPT
MAKALAH IMUNOLOGI
RESPON IMUN TERHADAP VIRUS
oleh:
Ikrar Arumingtyas
NIM: 201251046
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL KAMAL
JAKARTA
2012
1
BAB I
A. VIRUS
Virus adalah suatu mikroorganisme yang sering mengganggu pertumbuhan sel di
dalam tubuh manusia. Hal ini dikarenakan virus menngunakan bagian sel tubuh dari
organisme untuk media bereproduksi dan mempeertahankan hidup dengan mengambil fungi
fungsi sel dalam tubuh inangnya. Virus memiliki ukuran mikroskopik, yaitu antara 15 – 600
nm, dan mengandung inti dari RNA/ DNA. Tiap - tiap virus memiliki afinitas terhadap sel sel
tertentu. Sebagai contoh, virus HIV hanya menyerang sel sel CD4+ pada sel darah putih, dan
virus Hepatitis C hanya menyerang sel sel liver.
Virus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Double stranded DNA (e.g. Adenoviruses, Herpesviruses, Poxviruses)
2. Single stranded (+) sense DNA (e.g. Parvoviruses)
3. Double stranded RNA (e.g. Reoviruses)
4. Single stranded (+) RNA (e.g. Picornaviruses, Togaviruses)
5. Single stranded (-) sense RNA (e.g. Orthomyxoviruses, Rhabdoviruses)
6. Single stranded (+) sense RNA with DNA intermediate in lifecycle (e.g. Retroviruses)
7. Double stranded DNA with RNA intermediate (e.g. Hepadnaviruses)
Virus dapat bereplikasi jika menginfeksi tubuh host-inangnya dengan jalan melalui
proses enzimatik inangya. Oleh karena itu, suatu virus tidak dapat bereproduksi sendiri. Virus
memiliki material genetic,yang berupa protective protein coat yang disebut kapsid. Virus
Dapat menginfeksi berbagai varietas organisme, baik eukariot (hewan, tumbuhan, protista,
dan fungi) maupun prokariot (bacteria dan archae).Virus yang menginfeksi bakteri dikenal
bakteriophage (phage).
Infeksi virus dapat menyemabkan penyakit serius terhadap manusia. Sebagai contoh
adala penyakit AIDS, HIV, Rabies, dan lainnya. Terapi untuk menangani virus dengan
antibiotik tidak mampu memberikan efek terapi. Sebagai penggantinya, maka digunakan
antivirus.
Struktur virus yang lengkap memiliki virion, dimana asam nukleatnya dikelilingi oleh
proactive coat yang disebut kapsig (protein). Capsid tersusun dari proteun yang dikode oleh
viral genome.
2
Siklus hidup virus terdiri dari 5 tahap, yakni: attachment, penetration, uncoating,
replication, dan release. Berikut adalah bahasan dari 5 tahap siklus hidup virus:
1. Attachment
Attachment adalah ikatan khas diantara viral capsid proteins and specific receptors
pada permukaan sel inang. Virus akan menyerang sel inang yang spesifik, contohnya
human immunodeficiency virus (HIV) hanya menginfeksi manusia pada sel T. karena
membran protein virus (gp120) dapat berinteraksi dengan CD4+ and reseptor pada
permukaan sel T.
2. Penetration
Viruse masuk ke sel inang menembus reseptor secara endocytosis atau melalui
mekanisme lain.
3. Uncoating
Uncoating adalah proses terdegradasinya viral kapsid oleh enzim viral atau host-
enzymes yang dihasilkan oleh veral genomic nucleat acid.
4. Replication
Replikasi virus dapat dilakukan secara litik maupun lisogenik. Meskipun media yang
digunakan untuk masuk virus ke sel inangnya berbeda – beda, tapi mekanisme dasar
pengadaan sama untuk senua virus. Siklus hidup virus yang paling mudah dipahami
adalah siklus hidup bakteriophage (phage). Phage biasa menggandakan diri dengan 2
mekanisme alternatif, yaitu daur litik (virulen), dan daur lisogenik (avirulen). Daur
litik berakhir dengan lisis (pecah) yaitu matinya sel induk, sedangkan daur lisogenik
berakhir dengan sel induk yang masih tetap hidup. Berikut adalah gambar daur hidup
virus mekanisme litik:
3
Faga T4 memiliki sekitar 100 gen, yang ditranskripsi dan ditranlasi menggunakan
peralatan sel inangnya. Salah satu gen faga pertama yang ditranlasi setelah infeksi
mengkose enzim yang memotong DNA sel inang tersebut. DNA faga terlindungi
karena mengandung bentuk sitosin termodifikasi yang tidak dapat dikenali oleg
enzim. Nukleotida yang dielamatkan dari DNA sel ini digunakan untuk membuat
salinan genom faga. Keseluruhan siklus litik, mulai dari pertama kali faga kontak
dengan permukaan sel sampai ke proses lisis, hanya menghabiskan waktu sekitar 20-
30 menit pada suhu 370C. Berikut adalah gambar daur hidup virus secara lisogenik:
4
Pada fase ini, Profage akan berada di dalam tubuh bakteri selama bakteri masih
mempunyai virulensi. Ketika sel bakteri mengalami pembelahan, DNA virus yang
ikut terkopi sehingga terbentuklah dua bakteri yang masing-masing mempunyai
profage. Pembelahan sel bakteri dapat berulang-ulang dalam beberapa generasi dan
profagenya juga akan terbagi dalam beberapa generasi. Istilah lisogenik
mengimplikasikan bahwa profage pada kondisi tertentu, dapat menghasilkan phage
aktif yang melisis sel inangnya. Hal ini terjadi ketika genom lamda keluar dari
kromosom bakteri. Pada saat ini, genom lamda memerintahkan sel inang untuk
membuat phage yang utuh dan kemudian menghancurkan dirinya sendiri, melepaskan
partikel phage yang dapat menginfeksi. Yang mengubah virus dari menggunakan cara
lisogenik mnejadi cara litik adalah pemicu dari lingkungan, seperti radiasi atau adanya
beberapa zat kimia tertentu.
5. Release
Virus dilepaskan dari sel inang melalui lisis. Enveloped viruses (e.g. HIV) dilepaskan
dari sel inangnya melalui “budding”. Disamping itu,virus mendapatkan phospholipid
envelope yang berisi kumpulan viral glycoproteins.
Mekanisme virus dalam menginfeksi inangnya berlangsung pada fase replikasi. Ada 3
cara virus menginfeksi inangnya, yakni sebagi berikut:
1. Penetrasi langsung (direct penetration)
Sebagian kecil virus telanjang masuk ke dalam sel inang melalui penetrasi langsung,
dimana proses ini virus hanya melekat pada reseptor membran sitoplasma dan yang
dimasukkan kedalam sel inang hanya asam nukleatnya saja (DNA atau RNA). Contoh
virus yang melakukan proses ini yaitu virus polio dan virus dengue.
5
2. Fusi membran (membrane fusion)
Proses ini terjadi pada virus yang berselubung / bersampul, seluruh virus masuk ke
dalam sel inang. Sampul yang mengandung glikoprotein itu melebur dengan permukaan
membrane sel inang, peleburan ini berakibat dengan terbebasnya bahan nukleokapsid
ke dalam sitoplasma sel inang. Baru didalam sel inang virus melakukan proses
uncoating pelepasan asam nukleat (DNA atau RNA).
3. Endositosis (endocytosis)
Mekanisme lain yang terjadi pada virus bersampul / berselubung yaitu dengan proses
endositosis (fagositosis), dimana seluruh bagian virus masuk ke dalam sel inang.
Setelah virus masuk ke dalam sel inang diikuti dengan pelepasan selubung atau
pembuangan kapsid, proses ini terjadi di dalam vakuola fagositik dan disebabkan oleh
kerja enzim protease lisosimal (lizosim). Contoh virus yang melakukan proses ini yaitu
adenovirus dan virus herpes.
6
B. RESPON IMUN TERHADAP VIRUS
Sistem imun sangat jelas berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada
semua vertebrata tingkat tinggi termasuk manusia. Hal ini berarti sistem imun mempunyai
sifat cepat tanggap dan bersifat sangat spesifik dalam upaya pencegahan terhadap infeksi
mikroorganisme yang menyerang tubuh. Proses respon imun adalah suatu proses interaksi
antara tuan rumah atau penjamu dengan mikroba patogen berupa respon imun spesifik dan
respon imun non spesifik.
Respon imun spesifik terdapat dalam sel dan darah yang akan membentuk imunitas
humoral dan imunitas seluler, sedangkan respon imun non spesifik adalah pertahanan tubuh
melalui suatu organ yang telah ada dalam tubuh sebelum terjadi infeksi, seperti kulit yang
memiliki asam laktat dan asam lemak dalam keringat, rambut silia dalam saluran nafas yang
dibantu dengan batuk dan bersin, mukosa usus yang menghambat masuknya mikroba ke
epitel usus, cairan lambung yang memiliki keasaman kuat yang mampu membunuh bakteri,
dan lain sebagainya.
Salah satu fungsi respon imun adalah mencari keseimbangan antara respon imun yang
berupa imunitas atau antibodi dengan antigen, seperti virus dan bakteri. Bila ada infeksi yang
menyerang tubuh, maka tubuh akan mencari keseimbangan antara penjamu dan agen (virus,
bakteri). Bila penjamu mempunyai kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang lebih tinggi
terhadap infeksi virus atau bakteri, maka tidak akan terjadi kerusakan sel maupun timbulnya
penyakit, dan sebaliknya.
Kejadian imunitas sendiri dipengaruhi oleh bebagai hal, diantaranya adalah umur,
genetik, nutrisi, dan lainnya. Sedangkan infeksi virus atau bakteri sendiri dipengaruhi oleh
virulensi virus, berat ringannya infeksi itu sendiri dan sifat sifat dari virus penginfeksi.
Dalam proses respon imun terdapat 3 fase penting yang dimulai dengan fase
pengenalan antigen, fase aktivasi, dan fase afektor. Pada fase pengenalan terhadap antigen
virus dikenal melaui permukaan dinding virus. Tubuh akan mengenalnya, kemudian imunitas
humoral akan mengeluarkan anti permukaan luar dinding virus. Kemudian fase aktivasi yang
dimulai dari aktivasi sel fagosit yang mngeluarkan sitokin yakni interleukin 1 (IL 1), dan
Tumor Necrotizing Factor (TNF a) yang berperan pada awal inflamasi. Pada fase efektor
yang terjadi adalah infalamsi pada daerah tersebut. Apabila antigen yang menyebabkan
infeksi tersebut tidak dapat dihilangkan, maka aktivasi sistem imun akan berlangsung terus,
dan pemberian tanda atau informasi akan diberikan ke seluruh pertahanan tubuh untuk dapat
bersama – sama menghancurkan virus tersebut. Pada keadaan ini, respon imun spesifik
7
humoral yang diperankan oleh sel B, dan imunitas seluler yang diperankan oleh sel T sebagai
imunitas spesifik akan ikut diaktifkan untuk menghancurkan virus. Baik imunitas spesifik
maupun imunitas non spesifik ini tidak mampu menghancurkan virus secara sendiri – sendiri,
dibutuhkan kejasama keseluruhan sistem pertahan tubuh untuk menghancurkan virus tersebut
termasuk komplemen dan sistem pertahan tubuh lainnya. Dalam keadaan ini respon imun
humoral yang diperankan oleh sel B akan bekerja untuk menetralkan, meningkatkan
fagositosis, mengkaktivasi komplemen dan antibodi, kemudian menghancurkan virus.
Sedangkan sel T akan mampu mengidentifikasi virus dan sel sel yang terinfeksi. Reaksi
reaksi imun ini akan menimbulkan inflamasi yang tidak terbatas yang akan mampu
menimbulkan kerusakan sel dan jaringan.
8
BAB II
A. SISTEM IMUN NON SPESIFIK TERHADAP VIRUS
Pada prinsipnya pertahan tubuh non spesifik diperankan oleh makrofag yang bersifat
fagositosis, sel NK yang merupakan sel pembunuh yang akan membunuh bakteri maupun
virus ekstra dan intra sel. Secara jelas respon imun non spesifik yang terjadi adalah timbulnya
interferon dan sel Natural Killer (sel NK).
Dua mekanisme utama dari sistem imun non spesifik terhadap virus adalah: (1)
infeksi virus secara langsung akan merangsang pembentukan sel IFN oleh sel sel yang
terinfeksi, sel IFN ini akan menghambat proses replikasi dari virus tersebut, (2) sel NK akan
mampu membunuh virus - virus yang terdapat di dalam sel tersebut walaupun virus akan
menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC Klas I. IFN tipe I akan meningkatkan
kerja sel NK untuk membunuh virus yang terdapat di dalam sel. Sebagai tambahan, aktivasi
komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang datang dari ekstra sel dan
sirkulasi.
Sistem inum non spesifik terdiri atas: epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel sel
dalam sirkulasi dan jaringan, dan beberapa protein plasma.
1. Epitel
Tempat masuknya virus, baik itu kulit, saluran gastrointestinal. Maupun sluran
pernafasan dilindungi oleh epitel yang berperan sebagai barrier fisik maupun kimiawi
terhadap infeksi virus. Sel epitel ini memproduksi antibodi peptida yang mampu
membunuh virus. Selain itu, epitel juga memgandung limfosit intraepitelial yang
mirip dengan sel T, namun hanya mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya.
2. Sistem fagosit
Terdapat 2 sistem fagosit di dalam tubuh yakni neurofil dan monosit yaitu sel darah
yang datang ke tempat terinfeksi kemudian mengeenalinya dan memkannya
(intracellular killing).
3. Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba
intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin
untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit
di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma
dan mempunyai penanda permukaan (surface marker) yang khas. Sel ini tidak
mengekspresikan imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel
9
pejamu yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini
belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk molekul sel
pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel NK dan sebagian yang
lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di
permukaan sel pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang
mengandung virus dan bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas
untuk mengenali molekul permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi).
Secara teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal, akan
tetapi hal ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor inhibisi yang akan
mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi sel NK. Reseptor inhibisi ini
spesifik terhadap berbagai alel dari molekul major histocompatibility complex (MHC)
kelas I.
Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell immunoglobulin-like
receptor(KIR), serta reseptor yang mengandung protein CD94 dan subunit lectin yang
disebut NKG2. Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan
imunoglobulin. Kedua jenis reseptor inhibisi ini mengandung domains structural
motifs di sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory
motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika reseptor
berikatan dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut mengaktivasi protein dalam
sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari
residu tirosin dalam molekul sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK
terhambat. Oleh sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel
NK menjadi tidak aktif.
Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC kelas I
pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari pemusnahan oleh sel T
sitotoksik CD8+. Jika hal ini terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga
sel NK akan membunuh sel yang terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk
mengatasi infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya
interleukin-12 (IL-12). Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari
berbagai antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang telah
diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein dalam
granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi, yang
mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi dan menyebabkan
10
apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa dengan mekanisme yang
digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari reaksi ini adalah sel NK membunuh
sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan
mensekresi interferon-γ (IFN-γ) yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan
makrofag bekerja sama dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag
memakan mikroba dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk
mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba
yang sudah dimakan tersebut.
Dalam respon virus terhadap jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan
membantu terjadinya respon imun bawaan. Peran antivirus dari IFN ini sangat besar
terutama dari IFN-a dan IFN-b. Kerja IFN sebagai antivirus adalah (1) meningkatkan
ekspresi MHC Kelas I, (2) aktivasi sel NK dan makrofag, (3) menghambat replikasi
virus, dan (4) menghambat penetrsi virus (budding) ke dalam sel yang terinfeksi.
Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang ditunjukkan
oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan berespons pada
keadaan dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan
hasil akhir dari infeksi.
4. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting
dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim
proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini
yang dinamakan enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur
lektin. Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan
mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur
komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah). Jalur ini merupakan komponen
imunitas non spesifik, yang terdiri dari: (1) Jalur klasik dipicu setelah antibodi
berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral
pada imunitas spesifik. (2) Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu
lektin pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di
permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik,
tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap
sebagai bagian dari imunitas non spesifik.
11
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk
memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3
yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement
cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan
mengaktivasi reaksi selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda
pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama,
C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan
fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen
bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di
tempat aktivasi komplemen. Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa
pembentukanmembrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein polimerik
yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang
sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba.
5. Sitokin pada imunitas non spesifik
Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi sitokin untuk
memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein
yang mudah larut (soluble protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit
dan antara leukosit dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai
interleukin dengan alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada
leukosit (namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan
bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama sitokin adalah
makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke reseptornya di makrofag
merupakan rangsangan kuat untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada
imunitas selular dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).
Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus eksternal
(misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan reseptor di sel target.
Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau pada
sel di sekitarnya (parakrin). Pada respons imun non spesifik, banyak makrofag akan
teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat
sekresinya (endokrin).
Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi, misalnya
TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan monosit ke tempat
12
infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan
tekanan darah sebagai akibat dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan
vasodilatasi. Infeksi bakteri Gram negatif yang hebat dan luas dapat menyebabkan
syok septik. Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar
TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap LPS
bakteri. Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons terhadap LPS dan
mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah mengaktivasi sel NK yang akan
menghasilkan IFN-γ. Pada infeksi virus, makrofag dan sel yang terinfeksi
memproduksi interferon (IFN) tipe I. Interferon ini menghambat replikasi virus dan
mencegah penyebaran infeksi ke sel yang belum terkena.
6. Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik
Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada pertahanan
melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma bekerja dengan cara
mengenali karbohidrat pada glikoprotein permukaan mikroba dan menyelubungi
mikroba untuk mempermudah fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui
jalur lectin. Protein MBL ini termasuk dalam golongan protein collectin yang
homolog dengan kolagen serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin).
Surfaktan di paru-paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi
saluran napas dari infeksi. C-reactive protein(CRP) terikat ke fosforilkolin di mikroba
dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui reseptor CRP pada
makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan meningkat cepat pada infeksi. Hal
ini disebut sebagai respons fase akut (acute phase response).
Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari jenis mikroba.
Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit, sistem komplemen, dan
protein fase akut. Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus
diperantarai oleh fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit
dan sel NK.
7. Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi imunitas spesifik
Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk menstimulasi
imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan suatu molekul yang
bersama-sama dengan antigen akan mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit
yang spesifik terhadap suatu antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah
antigen itu sendiri, sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba,
dan sel pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya “sinyal
13
kedua” ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons terhadap agen infeksius, dan
tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi, respons imun
spesifik dapat dirangsang oleh antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini,
pemberian antigen harus disertai dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant.
Adjuvant akan merangsang respons imun non spesifik seperti halnya mikroba.
Sebagian besar adjuvant yang poten merupakan produk dari mikroba.
Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan
makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua” pengaktivasi limfosit T.
Pertama, sel dendrit dan makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut
ko-stimulator. Ko-stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian
bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat
Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini
merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor pada imunitas selular .
Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif. Pada
aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada saat
limfosit B mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d
yang terikat pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini
mengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk
komplemen berfungsi sebagai “sinyal kedua” pada respons imun humoral.
14
B. PERANAN ANTIBODI TERHADAP INFEKSI VIRUS
Sistem imun melibatkan dari berbagai jenis sel yang memiliki fungsi terkait dalam
upaya memberikan dampak pertahanan tubuh dari virus. Jenis sel dari sistem membedakan
dari sel stem (sel tandan) dalam sumsum tulang, termasuk limsosit B dan sel T, makrofag,
granulosit, dan sel mast. Sel B merupakan sel penghasil antibodi yang menghasilkan antibodi
dan mengenali antigen (molekul asing yang terdapat dalam sistem imun). Pengenalan sel B
dari suatu antigen akan menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut.
Terdapat 5 kelas antibodi yakni IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE. Kesemuanya memiliki
struktur dasar yang sama, yakni suatu polipeptida empat-rantai yang terdiri dari dua rantai
ringan (L), dan dua rantai berat (H), yang kesemuanya dihubungkan oleh suatu ikatan
disulfida. Suatu kelas antibodi diidentifikasi melalui jenis rantai berat yang dimilikinya.
Pertahanan yang efektif mengandalkan pada jumlah antibodi yang besar yang sistem
imunnya dapat diproduksi secara normal. Produksi antibodi mengandalkan jumlah gen yang
relative kecil, dimana penyusunan kembalinya membutuhkan rangkaian pengkodean, dan
menimbulkan keseragaman antibodi yang luas.
Jika terpapar oleh suatu antigen, tubuh akan meningkatkan respon kekebalan tubuh.
Setelah 7 hari setelah paparan atau pemberian antigen, aktivasi sistem imun dalam tubuh
diketahui dengan timbulnya antibodi dalam pembuluh darah. Titer antibodi (jumlah dalam
serum darah) akan mengalami peningkatan, mencapai konsentrasi tertinggi, kemudian
mengalami penurunan. Disebut sebgai respon imun primer, aktivasi dari sistem imun
menyebabkan proliferasi dari sel B yang menghasilkan antibodi yang mengenali antigen
monovalen atau multivalen tertentu. Dalam respon ini, antigen yang dihasilkan pertama kali
adalah dari kelas IgM, kemudian IgG yang diikuti dengan penurunan serentak sintesis IgM.
Antibodi IgM berfungsi untuk menetralkan antigen, sedangkan antibodi IgM berfugsi untuk
meningkatkan fagositosis dan mengaktivasi komplement untuk meningkatkan pertahanan
tubuh.
Jika seseorang divaksinasi terhadap suatu penyakit, tertentu, maka diberikan suatu
strain yang dilemahkan (avirulen), atau patogen yang dimatikan dari suatu penyakit. Dan
respon imun primer dari vaksinasi inilah yang memberikan proteksi dari paparan infeksi atau
pemberian antigen kedua inilah. Paparan atau pemberian antigen kedua inilah yang
menimbulkan respon imun sekunder. Dari tabel di bawah ini akan terlihat bahwa respon imun
sekunder lebih efektif dari respon imun primer dalam menghasilkan antibodi. Berikut adalah
rangkaian perjalan watu dari suatu respon imun terhadap suatu antigen:
15
Respon sekunder berbeda dari respon imun primer dalam hal – hal berikut ini: (1)
sintesis antibodi terjadi lebih dini, (2) titer antibodi lebih tinggi, (3) kadar antibodi yang
tinggi menetap lebih lama. Pada kasus individu yang divaksinasi, respon sekunder yang
efektif adalah respon yang melindungi terhadap infeksi jika terjadi paparan dari patogen
hidup.
Aktivasi Sel B. Aktivasi sel B setelah mengikat suatu antigen memicu seleksi klonal,
yang melibatkan proliferasi, dan proses diferensiasi dari sel B. Dalam seleksi klonal,
proliferasi dan proses pematangan secara bermakna akan meningkatkan populasi sel B dan
produksi dari antibodi yang mengenali antigen.
Sel B yang menghasilkan antibodi disebut sel plasma, yang merupakan sel B yang
telah mengalami diferensiasi terminal, yaitu tumbuh menjadi lebih besar, mensekresi
sejumlah besar antibodi, dan berhenti bereproduksi. Sel plasma hanya hidup untuk beberapa
hari. Selain itu, juga dihasilkan tipe kedua dari sel B, yakni sel memori, berbeda dengan sel B
yang menghasilkan antibodi, sel memori lebih sebagai sel pengenal-antibodi. Dengan
demikian seleksi klonal dari sel B mempunyai peranan ganda yakni untuk melakukan
pertahan tubuh secara langsung, dan untuk mempertahankan sistem pemantauan terhadap
antigen tertentu.
16
C. PERANAN SEL T SEBAGAI RESPON IMUN TERHADAP VIRUS
Kekebalan spesifik dari sistem imun diperankan oleh sel T. Dalam respon imun, sel T
merupakan pemeran kunci karena aktivasinya menyusun semua sistem pertahanan tubuh
yang secara kolektif akan melakukan perlindungan tubuh terhadap berbagai macam infeksi
virus. Suatu antigen harus dikenalkan pada sel T untuk memicu aktivasi perlindungan tubuh.
Limfosit T tidak mampu mengenal antigen secara langsung, tetapi akan mengenal antigen
tersebut melalui Major Histocompatibility Complex (MHC), molekul Clusster Of
Deferentiation (CD), dan T Cell Receptor (TCR). Molekul MHC kelas I berperan pada
pengenalan antigen pada infeksi virus, sedangkan MHC kelas II berperan pada pengenalan
antigen terhadap infeksi bakteri.
Dalam tubuh manusia, sistem imun diperankan oleh sel B dan sel T yang diproduksi
berturut-turut oleh sumsum tulang dan thymus. Kedua sel tersebut memiliki peran masing-
masing. Sel B membawa molekul-molekul antibodi pada permukaan sel yang dapat
mengindentifikasi dan menghancurkan virus, sedangkan sel T mampu mengidentifikasi virus
dan sel terinfeksi. Salah satu jenis sel T adalah CTL (cytotoxic Tlymphocyte), yang mampu
menghancurkan sel terinfeksi. Selain itu, CTL juga dapat mengeluarkan zat kimia yang
memicu reaksi di dalam sel terinfeksi. Reaksi yang terjadi dapat mencegah agar gen virus
(viral genome) tidak diekspresikan menjadi partikel-partikel virus baru. Pada saat virus
tertentu pertama kali menginfeksi sel dalam tubuh, respon imun yang bekerja adalah CTL,
sedangkan antibodi belum dapat diaktifkan. Hal ini dikarenakan sel B belum mengenal virus
tersebut.
Respon imun seluler dimulai dari aktivasi sel Helper (sel TH), dan makrofag yang
bekerjasama dengan baik. Makrofag merupakan suatu fagosit yang akan menelan dan
mendegradasi bahan bahan asing yang terjadi karena infeksi. Makrofag akan memfagosit
antigen, mengolahnya secara internal, kemudian memperlihatkannya ke permukaan sel, yaitu
berperan sebagai sel penyaji-antigen yang akan dikenali oleh sel T. Berikut adalah gambar
bagaimana suatu antigen dapat dikenal oleh sel T untuk melakukan sistem pertahanan tubuh:
17
Reaksi respon imun seluler akan menghasilkan bahan mediator sitokin, dan
interleukin (IL) yang bertujuan mempertahankan tubuh dari infeksi. Secara morfologi dan
fungsional, populasi sel TH dibagi menjadi dua. Sel TH I berperan pada imunitas seluler,
infeksi pada sel, proses inflamasi, rejeksi transplantasi, dan sebagainya dengan mengeluarkan
sitokin dan interferon. Sedangkan sel TH II berperan pada alergi, infeksi parasit, produksi
IgE, rekruitmen eusinofil yang akan menghasilkan sitokin lainnya. Berikut adalah gambar
mekanisme respon imun spesifik seluler dan humoral terhadap infeksi virus:
Pada[[[mdcmk
ssssssss
18
Pada gambar terlihat bahwa mekanisme respon spesifik ada dua jenis, yaitu respon
imun seluler, dan respon imun humoral. Respon spesifik ini memiliki peran penting, yakni:
(1) menetralkan antigen virus dengan berbagai cara yakni dengan menghambat perlekatan
virus terhadap reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus tidak mampu
menembus membran sel, juga dengan mengaktivasi komplement yang menyebabkan agregasi
virus sehingga mudah difagositosis, serta (2) melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel
yang lisis. Respon imunitas seluler juga merupakan imunitas yang penting, terutama untuk
melakukan perlawanan terhadap virus nonsitopatik. Respon ini melibatkan sel T sitotoksik
yang bersifat protektif, sel NK, ADCC, MHC kelas I sehingga menyebabakan kerusakan sel
jaringan.
Interaksi antara sel penyaji-antigen dengan suatu sel T-penolong diikuti dengan
aktivasi sel T oleh interleukin I (IL I) yang dihasilkan oleh makrofag. Sel T penolong akan
mengaktivasi interleukin 2 (IL 2) dan berperan dlam meningkatkan suhu tubuh. Interleukin 2
merupakan suatu limfokin, yakni suatu protein yang dihasilkan oleh limfosit dan berindak
sebagai komunikator molekular diantara sel dengan sistem imun. Interleukin 2 bertindaka
sebagai faktor otokrin, mengaktivasi sel T penolong untuk mensitesis reseptor IL 2.
Kemudian, sebagai akibat dari dtimulasi IL 2, sel berproliferasi dan berdeferensiasi,
memperluas populasi sel T penolong antigen-spesifik. IL 2 sebagai pesuruh kimiawi, juga
diperlukan untuk proliferasi dari prekusor sel T sitotokksik teraktivasi-antigen. Dalam
strategi pertahanan, sel T sitotoksik akan mengenali dan melisis sel yang mengandung
antigen, contohnya antigen virus.
Sel T penolong yang teraktivasi juga akan merangsang sel B dengan menghasilkan
faktor diferensiasi dan pertumbuhan sel B yang menimbulkan proliferasi dan diferensiasi, dan
dengan demikian meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen. Aktivasi sel T juga
mengaktivasi makrofag, yang diperantarai oleh interferon-ɣ (ɣ-IFN), limfokin lain yang
dihasilkan oleh sel T penolong yang diaktivasi. Makrofag fagositik mengenali dan menelan
antigen bebas. Interkasi sel T penolong dengan makrofag akan mengaktivasi sel T penolong,
sel T sitotoksik, sel B, makrofag, juga akan meningkatkan suhu tubuh. Berikut adalah skema
dari aktivasi sel T:
19
Beberapa limfokin tambahan berperan secara kolektif untuk memberikan pertahanan
tubuh terhadap infeksi, diantaranya: (1) IL-3 berfungsi merangsang sel tandan multipotensial,
(2) IL-4 berfungsi untuk merangsang sel B, sel T, sel Mast, dan juga makrofag, (3) IL-5
berfungsi untuk pertumbuhan sel B dan faktor deferensiasi, merangsang sel T dan eusinofil,
penting untuk produksi IgM dan IgA, (4) IL-6 berfungsi menginduksi pematangan sel B
menjadi Ig yang memproduksi se
20
BAB III
KESIMPULAN
Virus adalah mikroorganisme yang dapat mengganggu bahkan merusak sel atau
jaringan dalam tubuh dikarenakan sifat hidupnya yang merugikan host-nya Respon imun
terhadap suatu infeksi virus melaui imunitas non spesifik dan imunitas spesifik baik itu
imunitas seluler maupun imunitas humoral. Melibatkan berbagai jenis sel, diantaranya sel
Natural Killer (NK) yang akan membunuh patogen asing, sel B yang memproduksi antibodi
spesifik, sel T yang berperan dalam pengenalan antigen, dan lainnya yang secara kolektif
dengan fungsinya masing – masing meningkatkan pertahanan tubuh apabila terjadi infeksi
virus.
21
DAFTAR PUSTAKA
Kurdhi, Arfawi, 2010, Analisis Model Dinamika Virus dalam Sel Tubuh dan Pengaruh
Respon Imun CTL, Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Notoatmojo, Harsoyo, 2004, Peran Imunitas Tubuh Terhadap Virus Hepatitis B pada Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Nowak, M.A. and May, R.M, 2000, Virus Dynamics, Oxford University Press, Inc, New
York
Widjaja, Barata, 1996, Imunologi Dasar Edisi ke-3, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
22