makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah keanekaragaman konsep...
TRANSCRIPT
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH KEANEKARAGAMAN
KONSEP TENTANG HAKIKAT MANUSIA(Latar Historis dan Relevansinya dengan Pemecahan Masalah Umat dan Kemanusiaan)
MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. M. Abdul Fattah Santoso, M.Ag
Oleh:
LOVITA IVAN HIDAYATULLAH
NIM : O100160030
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH KEANEKARAGAMAN KONSEP TENTANG HAKIKAT MANUSIA
(Latar Historis dan Relevansinya dengan Pemecahan Masalah Umat dan Kemanusiaan)
Lovita Ivan Hidayatullah (O 100 160 030)Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email : [email protected]
A. Pendahuluan
Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya,
manusia akan memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat
mencapai kehidupannya agar bisa menjadi lebih baik. Dalam sejarah manusia, pendidikan
sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia, hal ini berarti bahwa
pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama, dengan proses dan perkembangan dan
kehidupan manusia1.
Pendidikan secara umum merupakan sebuah proses untuk memanusiakan manusia. Sebuah
pemahaman yang baik tentang hakikat manusia akan mempengaruhi pemahaman yang baik
tentang hakikat dan tujuan pendidikan Islam. Para filsuf Muslim memberikan beragam
pengertian mereka tentang apakah hakikat manusia. Para filsuf Muslim klasik cenderung melihat
hakikat manusia pada dimensi internalnya yaitu al-nafs al-natiqah (jiwa rasional). Berbeda
dengan para filsuf Muslim klasik, para filsuf Muslim kontemporer melihat hakikat manusia
dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dari konteks historis yang
melatarbelakanginya. Keanekaragaman pemahaman tentang hakikat manusia akan berdampak
pada keanekaragaman rumusan hakikat dan tujuan pendidikan.
Dalam makalah ini, akan mengemukakan beberapa pemahaman tentang hakikat manusia
menurut beberapa filsuf Muslim kontemporer. Di antara filsuf muslim tersebut adalah
Mohammad Iqbal, S.M. Naquib Al-Attas, Suhailah Hussien dan Syed Hussein Nasr.
Keempat filsuf tersebut memiliki pemikiran yang berbeda tentang hakikat manusia.
Muhammad Iqbal memandang hakikat manusia terletak pada karakternya yang individual, yaitu
kehendaknya. Hakekat manusia menurut S.M. Naquib Al-Attas adalah menjadi manusia yang
beradab dalam kehidupan spiritual dan material manusia. Suhailah Husein memandang konsep
hakikat manusia adalah wakil Tuhan yang bersifat historis, rasional, sosial, dan pembuat makna
yang aktif. Sedangkan konsep manusia menurut Sayyid Hossein Nasr bahwa manusia adalah
1 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam . (Jakarta: Bumi Aksara, t.t). Hlm. 92.
1
pertengahan diantara dunia materi-fisik dan dunia spiritual, dan salah satu tugas manusia adalah
menegakkan tatanan kosmos (Kosmologi Suci).
B. Pembahasan
1. Hakikat Manusia menurut Empat Filsuf Muslim Kontemporer
Bagi Muhammad Iqbal, memandang hakikat esensial manusia adalah kehendaknya yaitu pada karakternya yang individual, bukan nalar atau pemahamannya. Kemauan adalah suatu virus daya yang mahabesar yang mendorong aktivitas manusia. Kehendak adalah sebuah dorongan sangat besar yang
mendorong manusia untuk melakukan aktivitasnya. Dari keanekaragaman kehendak manusia
sesuai dengan berbagai macam kebutuhannya, kehendak yang menjadikan kepribadian
manusia sempurna adalah kehendak transendental dari Allah. Kehendak transendental yang
dimaksud adalah kehendak mencintai Tuhan. Ketika kehendak transendental itu menjadi
kehendak tertinggi yang mengatur dan mendisiplinkan kehendak-kehendak lain manusia,
maka ia mengalami kelahiran baru. Bagi Iqbal, kepribadian, ego atau diri, yaitu kesadaran diri
manusia yang dibangun dan diaktifkan oleh kesadaran Tuhan.2 Oleh karena iru, hakekat manusia adalah individu yang memiliki kesatuan dan
keunikan ego yang dipilih Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Kesatuan ego lebih
bersifat internal (kesatuan jiwa-raga, kesatuan indra, nalar, dan hati), dan keunikan lebih
bersifat eksternal (tidak ada individu yang sama, masing-masing memiliki keunikan melalui
pengalaman yang diterimanya). Ego sangatlah penting untuk persoalan moral, baik untuk
individu ataupun masyarakat. Individu dan masyarakatnya sebenarnya saling mencerminkan
satu dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa yang kuat sebelum bersatu dengan
masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, ego belajar
menerima batasan-batasan kebebasannya dan makna cinta.
Kepribadian manusia didefinisikan sebagai suatu kombinasi beragam kehendak yang pemenuhannya terarah pada suatu tujuan. Kehendak manusia berhubungan dengan kebutuhan kepribadiannya yang beragam. Kehendak kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz3, yaitu diri yang selalu
bergerak kesatu arah. Aktivitas kreatif, perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif dalam
2Muzaffar Hussain, “The Key Point in Iqbal’s Educational Philosophy” dalam http://www. allamaiqbal.com/publications/journals/review/oct82/5.htm, (1982), hlm. 3-4
3 Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, (Bandung: Teraju), hal. 83
2
permaslahan dunia harus menjadi tujuan hidup. Berkat kreativitas itulah manusia telah
berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan
mengisinya dengan aturan dan keindahan4.[8]
Konsep hakekat manusia menurut S.M. Naquib Al Attas adalah manusia yang
beradab.5. Manusia beradab merupakan individu yang sadar sepenuhnya akan individualitas-nya dan sadar akan hubungannya yang tepat dengan dirinya, Tuhannya, masyarakatnya, dan alam, baik yang tampak maupun yang gaib
Dalam pengertian yang asli, Makna adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwa ilmu dan segala yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitan-nya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.
Menurut Suhailah Hussein, tentang hakekat manusia bagi pendidikan kritis manusia berada di dunia dan bersifat historis, rasional, dan sosial, dan pembuat makna yg aktif. Hal ini juga dikarenakan bahwa manusia mampu
mengubah identitas dan masyarakatnya atas dasar refleksi mereka ke arah yang baik.6
Manusia bersifat historis yaitu manusia adalah subjek sejarah, makhluk sejarah, yaitu ketika dia mengubah identitas dan masyarakatnya atas dasar refleksi yang dilakukannya. Manusia sebagai mahkluk sosial dikarenakan
mereka mampu mengubah masyarakat melalui perubahan dalam praktek sosial dan hubungan
kemasyarakatannya.7. Manusia bersifat rasional, karena dia mampu melakukan refleksi terhadap praktik-praktik dan relasi-relasi sosialnya. Manusia bersifat aktif, karena dia dapat merekons-truksi dan mengubah praktik-praktik dan relasi-relasi sosialnya atas dasar refleksi rasionalnya.
4 K.G. Saiyidain, Iqbals Educational Philosophy, Penerjemah : M.I. Soelaeman, (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), hal. 120.
5Syed Muhammad Naquib al-Attas, “The Concept of Education in Islam” dalam http://www. mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf, (1980), hlm. 15-16
6Suhailah Hussien, “Critical Pedagogy, Islamisation of Knowledge and Muslim Education” dalam http://journals.iium.edu.my/ intdiscourse/index.php/ islam/article/ view/62/57, (2007), hlm. 3
7Ibid.
3
Dengan demikian, perubahan sosial dan perubahan individu saling terkait dan
mungkin karena manusia adalah makhluk aktif yang terletak di alam dan masyarakat, di mana
keduanya baik alam dan masyarakat merupakan dunia sosial bagi makhluk yang aktif.
Manusia mencoba untuk mengatasi dan membentuk lingkungan alam dan sosial mereka, dan
ketika mereka mencoba untuk membangun peran yang tepat di dunia, budaya mereka akan
berubah.8
Tokoh keempat yang mengemukakan pandangannya tentang hakikat manusia adalah
Syed Hussein Nasr. Beliau mengemukakan bahwa: pertama, Manusia mengantarai dunia material-fisikal dan spiritual; salah satu tugas manusia adalah menegakkan tatanan kosmos. Kedua, Manusia memilik jiwa yang memungkinkannya mengetahui Tuhan Yang Suci, dan melalui jiwalah Tuhan mengilhamkan pengetahuan-Nya kepada manusia. Karena hanya melalui jiwa manusialah Tuhan dapat memasuki ke bentuk manusia, dan dapat diteruskan ke
dalam alam fisik.9
Nasr menyimpulkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pandangan relijius
mengenai tatanan kosmos tersebut. Prinsip-prinsip ini merupakan sebuah warisan universal
bagi umat manusia dan pantas mendapatkan perhatian yang sangat serius, diantara prinsip-
prinsip Kosmologi Suci tersebut adalah : (1) Tatanan alam terkait dengan suatu tatanan di luar dirinya yang disebut prinsip-prinsip spiritual; terdapat suatu kualitas ‘suci’ dalam alam—realitas yang dapat diketahui dengan cara-cara sistematis/ ilmiah melalui studi esoteris dan intuisi; (2) Tatanan alam memiliki tujuan, makna, dan makna ini memiliki signifikansi spiritual dan moral bagi manusia; (3) Tatanan manusia dan alam terjalin dalam dwi-unitas, sehingga tujuan keduanya terkait juga; (4) Hukum moral-spiritual manusia dan hukum alam tidaklah berbeda, bahkan terjalin erat. (5) Bumi adalah guru bagi manusia dan ia dapat belajar dari bumi tdk hanya secara kuantitatif, namun juga secara moral, intelektual, dan spiritual10.
8Ibid. 9Almut Beringer, Reclaiming a Sacred Cosmology: Seyyed Hossein Nasr, the Perennial Philosophy, and
Sustainability Education, (Canadian Journal of Environmental Education, Vol. 11: 2006), hlm. 3510Ibid., hlm. 36
4
2. Latar Historis Hakikat Manusia menurut Filsuf Muslim Kontemporer
Latar belakang historis menurut pemikiran Muhammad Iqbal adalah adanya
kemunduran umat Islam selama lima ratus tahun terakhir yang disebabkan oleh kebekuan
dalam pemikiran. Solusi terhadap permasalahan ini adalah membangkitkan kembali
pemikiran dan kreativitas (umat) Islam.
Umat Islam diminta untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan
menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al-Qur’an. Nilai-nilai dasar
ajaran al-Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman
dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional
terhadap al-Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung di dalamnya, bukan
menjadikannya sebagai buku undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang
mati dan kaku. Sebagai konsekuensi, ijtihad kolektif perlu digalakkan dengan mengacu
kepada kepentingan masyarakat dan kemajuan umum.
Secara historis dasar pemikiran tentang hakikat manusia menurut S.M. Naquib Al
Attas adalah berakar pada sebab eksternal dan internal problem-problem kebudayaan Muslim
kontemporer. Faktor eksternal tersebut antara lain adalah adanya tantangan religio-kultural
dan sosio-politis kebudayaan dan peradaban Barat. Sedangkan faktor internal adalah
kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, hilangnya adab dan munculnya pemimpin
palsu. Menurut Iqbal hal yang pertama kali harus dibenahi dan sangat membantu pembenahan
dua faktor lainnya adalah ‘hilangnya adab’.
Makna adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwa ilmu dan
segala yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-
tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam
kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan
spiritualnya.11
Dalam konteks ilmu, adab merupakan ketertiban budi yang mengenal dan mengakui
hirarki ilmu berdasarkan kriteria keluhuran/kemuliaan, seperti seseorang yang
pengetahuannya berdasarkan wahyu lebih mulia/luhur dari mereka yang pengetahuannya
berdasarkan akal. Adab terhadap alam dilakukan dengan meletakkan tumbuhan, batu-batuan,
gunung, sungai, lembah, danau, hewan dan habitat-habitatnya pada tempat-tempat yang benar.
11Muhammad Naquib al-Attas, “The Concept …., hlm. 17
5
Pandangan Suhailah Hussein tentang hakikat manusia bermula dari ketidakpuasan
dari ketidaksetaraan yang diabadikan oleh pedagogi tradisional dalam pendidikan. Pedagogi
tradisional, seperti teori tradisional, membantu dalam reproduksi sosial kelas dan
mempromosikan ketidaksetaraan ras dan gender melalui praktek sekolah terorganisir dan
menipu. Hari ini, sekolah-sekolah umum berfungsi untuk meniru nilai-nilai yang ada dan hak
istimewa dari kelas dominan, pedagogi kritis memperlihatkan bagaimana sekolah menjadi
sebuah situs di mana cara-cara tertentu pemahaman dan berperilaku di dunia, termasuk
menerima ketidaksetaraan, sebenarnya diperkenalkan dan dilegitimasi untuk melayani
kepentingan kelompok sosial tertentu. Menyadari pengetahuan yang sebenarnya secara sosial,
historis, ekonomi, politik dan kultural, pedagogi kritis menetapkan untuk mengenali dan
mengidentifikasi bagaimana ada kurikulum dan pendekatan untuk mengajar menyediakan
siswa dengan perspektif yang cenderung meminggirkan suara tertentu dan cara hidup.12
Menurut Syed Hussein Nasr, pendidikan lingkungan khususnya dan studi-studi
lingkungan pada umumnya, memikul tanggung jawab untuk memperkenalkan kembali,
dimensi-dimensi yang hilang pada pengetahuan agama-spiritual mengenai alam raya dalam
tingkat budaya dan skala global. Hal ini meliputi mendapatkan kembali etika lingkungan yang
tertanam dalam pemahaman abadi mefafisik, epistemologi, dan ontologi mengenai kosmos,
dan menegaskan cara-cara pengetahuan non-ilmiah.13
Tanpa penemuan kembali ilmu pengetahuan yang suci mengenai tatanan alam ini,
eksposisi dalam media kontemporer dan perumusan hubungan antara pengetahuan tatanan
alam semacam itu dengan etika-etikanya, maka tidak diragukan bahwa sisa-sisa tatanan dalam
dunia alamiah dan dunia manusia akan berubah menjadi kekacauan yang dapat
menghancurkan semua kehidupan manusia di bumi. Pemahaman religi mengenai alam adalah
sangat dibutuhkan dalam proyek keberlangsungan global. Selain itu, tatanan alam yang
relijius akhirnya mempunyai tempat dalam pendidikan lingkungan, dan bahwa tugas bagi
pendidikan lingkungan adalah mendapatkan kembali kosmologi suci.14
Nasr memperingatkan mengenai situasi berbahaya global yang akan terjadi pada kita,
berdasarkan pada analisisnya mengenai kondisi manusia dalam era modern ini, yaitu
hilangnya dimensi-dimensi agama-spiritual dalam kehidupan budaya dan individual, termasuk
12Suhailah Hussien, “Critical Pedagogy…. hlm. 9313Almut Beringer, Reclaiming a Sacred Cosmology…., hlm. 2714Ibid.
6
pemahaman terhadap alam sebagai kekuatan-kekuatan hebat yang mengatur hubungan
manusia dan alam.15
3. Implikasi Hakikat Manusia kepada Rumusan dan Tujuan Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan menurut Muhammad Iqbal dikaitkan dengan implikasi hakikat
manusia adalah membantu manusia mengembangkan dirinya dan mengukuhkan perwujudan
dirinya sendiri, baik secara ragawi maupun secara rohani (terutama kreativitasnya).
Perwujudan diri tidak merupakan “kesendirian” atau individualisme yang mengacuhkan
kontak sosial, justru sebaliknya kontak sosial sebagai sarana perwujudan diri itu sendiri.
Pendidikan haruslah dinamis dan kreatif di mana tidak ada satu sisi mengatasi sisi yang lain,
melainkan masing-masing terpaut satu sama lain.
Sedangkan tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan adalah terbentuknya sebuah
individu yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa kehilangan kontak sosial, untuk
mewujudkan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Tujuan akhir dari pendidikan
hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga
mereka dapat menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan
keseluruhan potensi manusia yang mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju.
Serta mempunyai kehendak kreatif. Dengan kreativitas itulah manusia telah berhasil
mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan mengisinya
dengan aturan dan keindahan. Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-
masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat.
Pendidikan menurut S.M. Naquib Al Attas lebih tepat disebut ,ta’dîb) تأديب yaitu
penyemaian dan penanaman adab dalam diri manusia). Contoh ideal ‘manusia beradab
(universal/sempurna)’ adalah Nabi Muhammad SAW. Berbeda dari mayoritas pakar
kontemporer, dia berpandangan bahwa pendidikan bukan integrasi antara ta`lîm ,(تعـليم) tarbiyah ,(تربـية) dan ta’dîb .(تأديب) Bagi Al-Attas ta’dîb sudah mencakup ta`lîm dan
tarbiyah.
Implikasi ta’dîb pada praktik pendidikan:1. Pencarian kualitas dan sifat jiwa & pikiran yang baik.
15Ibid., hlm. 28
7
2. Pencarian perilaku yang benar (>< perilaku yg salah). 3. Kegiatan pendisiplinan jiwa, pikiran dan perilaku. 4. Transmisi ilmu yang menyelamatkan manusia dari kesalahan
mengambil keputusan; untuk ini diperlukan Islamisasi ilmu pengetahuan modern.
5. Penerapan metode pengetahuan yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
Jadi, hakikat pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan yang ditanam secara
progresif dalam diri manusia tentang tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam
susunan penciptaan, yang membimbing seseorang pada pengenalan dan pengakuan terhadap
keberadaan Tuhan dalam susunan being dan eksistensi.
Tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan dari pemikiran Al-Attas adalah
mengembangkan manusia beradab. Hal ini akan sangat berbeda dengan tujuan pendidikan
Barat kontemporer yang berorientasi untuk menghasilkan warga negara atau pekerja yang
baik.
Berbeda hakikat pendidikan menurut kedua filsof di atas, hakikat pendidikan yang
dikemukakan oleh Suhailah Hussein adalah pendidikan merupakan sebuah agen perubahan
dan transformasi sosial, pendidikan Islam perlu didasarkan pada pandangan kritis pendidikan,
yang mempromosikan pengetahuan emansipatif.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menyelesaikan krisis Muslim dan
mencerahkan umat Islam memberikan potensi kritis dari pikiran Muslim, dan kebutuhan
untuk refleksi diri dan interpretasi berdasarkan epistemologi Islam dan dunia. Umat Islam
harus mampu mengidentifikasi bagaimana pengetahuan beroperasi secara ideologis. Islam
adalah undangan untuk pemikiran dan analisis, tidak imitasi dan emosional.
Hakikat pendidikan Islam yang dapat disimpulkan dari pemikiran Syed Hussein Nasr
adalah pendidikan yang tidak boleh mengkesampingkan keterjagaan tatanan alam. Tatanan
alam berhubungan dengan suatu tatanan diluar itu sendiri. Realita alam mempunyai
signifikansi diluar tampilannya, ada sifat suci di dalam alam, namun istilah suci dapat
dipahami, termasuk manifestasi-manifestasi formalnya dalam agama-agama yang berbeda.
Tujuan pendidikan yang dapat disimpulkan adalah adalah agar pendidikan itu selaras
dengan tatanan kosmos, karena menurut husein nasr tatanan kosmos (lingkungan) yang ada
8
sekarang telah rusak dan hal ini salah satunya disebabkan oleh karena tujuan pendidikan yang
ada tidak mengindahkan tatanan alam dan cenderung merusaknya. Sehingga menurut beliau
tujuan pendidikan tersebut harus menyangkut tentang pelestarian alam, tidak hanya
mengeksploitasinya.
4. Relevansi Setiap Konsep Tentang Hakekat Manusia dan Tujuan Pendidikan Islam dengan Problema yang Dihadapi Umat
Hakikat dan tujuan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan keterkaitannya
terhadap latar belakang historis pemikiran yang menjadi pijakannya. Tujuan pendidikan
tersebut harus dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh keadaan yang
melatarbelakanginya.
Tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal adalah terbentuknya
sebuah individu yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa kehilangan kontak sosial,
untuk mewujudkan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Tujuan pendidikan ini sangat
relevan dengan latar belakang historisnya, dimana individu telah berkurang kreativitasnya dan
kurangnya kerjasama antar muslim yang satu dengan muslim yang lain. Dalam hal lain
bahkan cenderung saling mengedepankan perbedaan, bahkan dapat menimbulkan sebuah
konflik.
Umat Islam diminta untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan
menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al-Qur’an. Nilai-nilai dasar
ajaran al-Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman
dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional
terhadap al-Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung di dalamnya, bukan
menjadikannya sebagai buku undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang
mati dan kaku. Sebagai konsekuensi, ijtihad kolektif perlu digalakkan dengan mengacu
kepada kepentingan masyarakat dan kemajuan umum.
Tujuan pendidikan yang disimpulkan dari S.M. Naquib Al Attas yaitu membentuk
masyarakat yang beradab. Hal ini sangat relevan, kaitannya dengan kondisi masyarakat yang
mengesampingkan adab dalam memecahkan masalah kemasyarakatan. Pendidikan
berhubungan antara manusia dengan sebuah ekstensi masyarakat. Manusia harus mengetahui
adab, dimana tempat yang tepat sesuai dengan tingkatannya. Implikasi ta’dib dalam ranah
pendidikan adalah pembentukan kualitas manusia yang baik, pembentukan perilaku yang
9
benar atau yang salah, pendisiplinan jiwa, pikiran dan perilaku manusia dan sebuah
aktualisasi ilmu pengetahuan sesuai kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
Adab adalah pengetahuan yang melindungi manusia dari kesalahan penilaian. Adab
adalah pengakuan dan pengakuan kenyataan bahwa pengetahuan dan makhluk yang
diperintahkan hirarki menurut berbagai nilai dan derajat pangkat, dan dari seseorang.
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Suhailah Hussein yaitu membentuk
sebuah masyarakat yang kritis terhadap sebuah ketidaksetaraan, ketidakadilan dan pembedaan
sistem pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah agen perubahan dan transformasi sosial,
pendidikan Islam perlu didasarkan pada pandangan kritis pendidikan, yang mempromosikan
pengetahuan emansipatif.
Tujuan ini akan sangat berpengaruh melihat kondisi historis yang melatarbelakangi
terciptanya konsep ini, yaitu ketidakdilan, ketidaksetaraan dan tingkat masyarakat tertentu
diposisikan sebagai pelayan untuk tingkat tertentu yang terjadi pada pendidikan. Kita harus
megkritisi hal-hal tersebut, agar tercipta sebuah kesetaraan dan keadilan di masyarakat.
Lingkungan yang rusak yang diakibatkan oleh eksploitasi manusia akan sangat
berdampak pada kelestarian kehidupan manusia dan alam. Tatanan kosmos yang tidak
seimbang tersebut harus segera dicegah, agar kelestarian manusia dan alam ini akan tetap
terjaga. Menurut Syed Hussein Nasr pendidikan bertujuan agar manusia berjalan selaras
dengan tatanan kosmos dan sebagai penjaga tatanan kosmos. Kosmologi suci membedakan
antara tatanan alam dan tatanan Ketuhanan, dengan alam merefleksikan tatanan Ketuhanan.
Setiap makhluk di dunia alam tidak hanya keluar dari Prinsip Ketuhanan, namun
merefleksikan kearifannya, yang membangkitkan gagasan bahwa alam menyelubungi dan
membuka pesan-pesan dan ajaran-ajaran Tuhan.
5. Strategi Implementasi Konsep Hakikat Manusia pada Pendidikan Islam di Indonesia
Konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan oleh para filsuf Muslim kontemporer
yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat diimplementasikan pada pendidikan
Islam di Indonesia.
Pemikiran Muhammad Iqbal dapat diimplementasikan pada pendidikan di Indonesia.
Peserta didik ditanamkan nilai-nilai semangat dan kehendak untuk berusaha memperoleh
tujuannya tanpa mengesampingkan kerjasama dengan manusia lain. Menumbuhkan semangat
10
untuk maju kepada peserta didik, bahwa mereka mampu untuk berhasil dan menjadi bagian
dari sejarah, supaya bergerak dan jangan tinggal diam.
Dalam konsep ta’dib yang dikemukakan oleh SM. Naquib Al Attas, peserta didik
harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai Tuhannya, penciptanya,
pemilik, pengatur, pengawas, pendidik, pemberi dan lain sebagainya. Pada saatnya nanti
lahirlah manusia-manusia 'abid yang penuh kesadaran, memiliki kemampuan intelektual
maupun spiritualnya. Selanjutnya akan lahirlah berbagai pandangan hidup tauhid, baik
rububiyah, uluhiyah, maupun ubudiyah, yang meyakini kesatuan ciptaan (unity of creation),
kesatuan kemanusiaan (unity of purpose of life), yang semua ini merupakan derivasi dari
kesatuan ketuhanan (unity of Godhead).
Pemikiran pendidikan Islam yang terformula dan ditawarkan al-Attas, pada
prinsipnya merupakan konsep pendidikan yang bercorak moral dan religius, yang tetap
menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut dapat dilihat dalam
konsepsinya tentang ta'dib (adab) yang di dalamnya telah mencakup konsep ilmu dan amal.
Dalam definisinya dijelaskan bahwa, setelah manusia dikenalkan akanposisinya dalam tatanan
kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di
masyarakat berdasarkan nilai-nilai moral dan ajaran agama.
Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa dalam penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia harus melandasi keduanya berdasarkan pada
pertimbangan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama ataupun nilai-nilai yang berlaku
dimasyarakat. Nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai pengendali dalam mengamalkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pencarian, penguasaan
dan pengembangan ilmu pengetahuan lebih bermakna dan dapat dilaksanakan dalam
kerangkaibadah guna kemaslahatan manusia.
Implikasinya dalam merumuskan kurikulum pendidikan Islam hendaknya bentuk dan
formulasi kurikulum di sini harus mengandung makna dan nuansa nilai-nilai “ilahiyah” yang
tidak mesti dipahami dalam bentuk dikotomis, yakni mengalokasikan pada satu bidang
disiplin ilmu yang khusus dalam membahas mengenai masalah nilai. Akan tetapi proses
sosialisasinya bisa didekati dengan muatan semua disiplin ilmu yang diajarkan dengan ruh
dan semangat moralitas atau akhlak Islam. Karena Islam sebagai sumber nilai dalam
kehidupan, tentu menghendaki agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bermakna dan
11
diterima secara universal, sehingga setiap penelaahan disiplin ilmu selaludalam nuansa
akhlaki dalam pengertian yang luas.
Pedagogi kritis yang digagas oleh Suhailah Hussein bila diaplikasikan dalam bidang
pendidikan maka teori kritis ini memunculkan pendekatan critical pedagogy, pendekatan ini
menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu memecahkan
masalah dan mampu berpikir kritis. Pendidik sering disebut critical educator yang secara
kritis mempertanyakan kultur yang sudah mapan atau dominan dan menjadikannya sebagai
objek analisis politik. Teori kritis memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial
sebagaimana terscermin dalam sistem pendidikan atau pesekolahan. Dibalik ilmu pengetahuan
yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam system persekolahan
sesungguhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu. Dibalik sistem
persekolahan ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan kritis dengan
mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Pembelajaran pendidikan lingkungan hidup Syed Hussein Nasr kini telah dan
semakin marak diterapkan di sekolah adalah bukan mempekerjakan siswa sebagai pekerja di
lingkungan sekolah, tetapi membangun jiwa cinta lingkungan, dengan harapan bahwa
generasi berikut menjadi generasi yang berbudaya lingkungan dan menjadi sebuah habit bagi
semua civitas sekolah.Untuk maksud tersebut, sekolah dan semua stakeholder serta
pemerhati lingkungan hidup melakukan konsistentisasi yang holistik kepada konsumen
pendidikan tentang peran lingkungan terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi, ancaman
terhadap kehidupan dan solusi penyelamatan kehidupan di bumi, serta menjelaskan tentang
porsi perhatian sekolah dalam hal ini siswa terhadap ekosistim lingkungan hidup sekitarnya.
Tujuan lainnya adalah dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan
kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup secara umum, juga
untuk dapat mengajak warga sekolah melaksanakan proses belajar mengajar materi
lingkungan hidup dan turut berpartisipasi melestarikan serta menjaga lingkungan hidup di
sekolah dan sekitarnya.
Untuk merealisasikan kegiatan dimaksud, maka diperlukan sebuah program kegiatan
berkelanjutan melalui kegiatan pembinaan pendidikan kesadaran lingkungan hidup bagi
seluruh warga sekolah, sehingga tercipta sekolah yang berbudaya lingkungan.
6.Sintesis Tujuan Pendidikan Islam
12
Mohammad Iqbal, sintesis tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana kepribadian tercerahkan dan pemahaman tugas manusia di bumi (atas kehendaknya), yaitu:
1. Mistisisme baru ilmu pengetahuan alam/IPA (interpretasi spiritual terhadap alam).
Bagi Iqbal, IPA itu penting karena dua alasan: (1) ia memberikan kekuatan kepada manusia yang memungkinkannya untuk menangkap dunia materi; dan (2) ia mempertajam apresiasinya yang lebih dekat dan lebih baik dengan Tuhannya.
Dalam pendidikan, IPA diarahkan untuk mencari Tuhan, menghargai-Nya, dan menemukan-Nya sebagai sumber pengetahuan. Untuk itu, konsep tauhid harus diintegrasikan dengan pengajaran IPA.
2. Emansipasi spiritual individuMenjadikan sîrah Nabi sebagai pusat dalam sistem
pendidikan, sehingga siswa mengembangkan emosi dan intelektualnya dengan merujuk kepada kepribadian besar dan secara praktis mengikuti beliau sebagai model karakter yang ideal.
3. Demokrasi spiritualDemokrasi adalah aspek Islam yang terpenting. Konsep
persamaan (musâwah), persaudaraan (ukhuwwah), dan kebebasan (hurriyah) harus diajarkan dan ditanamkan kepada siswa sehingga memungkinkan mereka mempraktikkan demokrasi spiritual ketika memulai kehidupan praktis setelah pendidikan (formal) mereka.
Sedangkan sintesis tujuan pendidikan menurut S.M. Naquib Al-Attas adalah mengembangkan manusia beradab (Bandingkan dengan tujuan pendidikan Barat kontemporer yang berorientasi untuk menghasilkan warga negara atau pekerja yang baik).
Sedangkan menurut Suhailah Hussien, dalam menuju sintesis pendidikan kritis dan pendidikan islam (pendidikan Islam dan pendidikan kritis).
13
Demikian juga pendidikan Islam, krisis yang muncul adalah akibat penindasan dan hegemoni pendidikan Barat terhadapnya di hampir seluruh dunia Islam. Proyek IIIT (International Institute of Islamic Thought) berupaya mengatasi krisis tersebut melalui sistem pendidikan terpadu sekaligus mengatasi tantangan modernitas Barat melalui antara lain Islamisasi pengetahuan (a la Al-Faruqi) yang bertujuan mengatasi sekularisasi melalui pencelupan ilmu sosial modern dengan kerangka Islam.
Pandangan keempat tentang sintesis tujuan pendidikan adalah Syed
Hussein Nasr, implikasi praktis bagi pengembangan kurikulum pendidikan lingkungan:
1. Pemberian pelatihan intelek/nalar dan intuisi2. Pembelajaran ilmiah yang mencakup baik bahan ajar eksoterik
maupun bahan ajar esoterik3. Mendeskripsikan tatanan alam melalui metode ilmiah dan spiritual4. Menyeimbangkan pengalaman indoor dan outdoor untuk kehidupan
yang lebih baik dan bermakna, berbasis hukum alam dan harmoni dengan alam, sesuai dengan yang dipahami dan diwahyukan sebagai bagian dari Realitas Tuhan.
C. Kesimpulan
Pendidikan senantiasa selalu berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dari hal itu maka tidak dapat dipungkiri bila dalam pendidikan selalu muncul
sebuah problematika yang sangat actual berkembang didalamnya. Dalam hal ini Mohammad
Iqbal, S.M. Naquib Al-Attas, Suhailah Hussien dan Syed Hussein Nasr. memberikan konsep
tentang hakekat manusia, pendidikan dan tujuan pendidikan, serta relevansinya yang dibangun
oleh empat tokoh diatas sangat sesuai dengan yang diharapkan oleh pendidikkan pada zaman
sekarang secara ideal.
Dari uraian tentang pemikiran para filsuf Muslim kontemporer dapat diambil suatu sintesis
tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam bertujuan untuk (1) terbentuknya sebuah individu
yang memiliki kesatuan dan keunikan ego, tanpa kehilangan kontak sosial, untuk mewujudkan
tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi, (2) membentuk masyarakat yang beradab, (3)
14
membentuk sebuah masyarakat yang kritis terhadap sebuah ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan
(4) membentuk manusia berjalan selaras dengan tatanan kosmos dan sebagai penjaga tatanan
kosmos.
D. Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980. The Concept of Education in Islam. http://www. mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf
Beringer, Almut. 2006. Reclaiming a Sacred Cosmology: Seyyed Hossein Nasr, the Perennial Philosophy, and Sustainability Education. Canadian Journal of Environmental Education, Vol. 11
Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal. Bandung: Teraju.Hussain, Muzaffar. 1982. The Key Point in Iqbal’s Educational Philosophy.
http://www.allamaiqbal.com/publications/journals/review/oct82/5.htm.Hussien, Suhailah. 2007. Critical Pedagogy, Islamisation of Knowledge and Muslim Education.
http://journals.iium.edu.my/ intdiscourse/index.php/ islam/article/ view/62/57Saiyidain, K.G. 1981. Iqbals Educational Philosophy, Penerjemah : M.I. Soelaeman. Bandung:
CV. Diponegoro.Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta: Bumi Aksara, t.t.
15