makalah farmasi kel 3 edit banget
DESCRIPTION
asssTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes melitus.1
Menurut data stastistik tahun 2010 dari WHO terdapat 220 juta
penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Tahun 2030 jumlah penderita
diabetes melitus diperkirakan akan melonjak lagi mencapai dua kali lipat dari
jumlah sekarang. Saat ini penyakit diabetes melitus banyak dijumpai
penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita diabetes
melitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan
Amerika Serikat.2
Informasi mengenai obat glibenklamid memang telah dituliskan oleh
dokter dalam resep. Untuk mencapai efek terapi yang maksimal diperlukan
cara penggunaan obat yang benar. Sebagai contoh; penggunaan
glibenklamid yang benar adalah 30 menit sebelum makan dengan
penggunaan maksimal 2 kali sehari pada pagi hari sebelum makan pagi
dan sebelum makan siang. Diberikan 30 menit sebelum makan bertujuan
agar obat dapat merangsang keluarnya insulin sehingga dapat mengatasi
peningkatan gula darah setelah makan.3
Selain cara penggunaan obat yang benar, efek samping yang
minimal juga dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang maksimal
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien. Efek samping
1
2
glibenklamid yang paling patut untuk diwaspadai adalah hipoglikemia karena
dapat menyebabkan kehilangan kesadaran (koma). Tanda-tanda yang muncul
pada saat hipoglikemia antara lain adalah berkeringat, gemetar, muka pucat,
jantung berdebar, dan merasa lapar. Untuk mengatasi hipoglikemia ringan
dimana pasien masih sadar cukup diberikan gula atau minuman yang
mengandung gula, tetapi bila hipoglikemia sudah berat dimana pasien
kehilangan kesadaran maka larutan gula diberikan secara intravena.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah
utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pemberian obat
glibenklamid untuk pasien diabetes melitus tipe 2?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian obat glibenklamid untuk pasien diabetes
melitus tipe 2
2. Tujuan Khusus
Berikut ini adalah tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini:
1. Untuk mengetahui mekanisme glibenklamid sebagai obat anti diabetes
melitus tipe 2.
2. Untuk mengetahui sifat fisiko-kimia dari glibenklamid.
3. Untuk mengetahui farmakodinamik dari glibenklamid.
4. Untuk mengetahui farmako kinetik dari glibenklamid.
5. Untuk mengetahui toksisitas dari glibenklamid.
3
D. Manfaat
Hasil penulisan makalah ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk:
1. Bagi peneliti dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan di
bidang obat anti diabetes mellitus golongan sulfonylurea khususnya
glibenklamid.
2. Institusi pendidikan, sebagai tambahan data dasar dan informasi untuk
pendidikan yang berkaitan dengan obat anti diabetes melitus tipe 2
khususnya glibenklamid.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolisme yang
ditandai oleh kondisi hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.DM disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin, sensitivitas reseptor insulin, atau keduanya.Kondisi
hiperglikemia pada pasien DM dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang,
disfungsi, dan kegagalan beberapa organ penting, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Di Indonesia saat ini masalah DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas
dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas sumber daya manusia,
terutama akibat komplikasi menahun yang ditimbulkannya.5
Kejadian diabetes melitus tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada
laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil
Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi diabetes
melitus di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian
diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 jutajiwa, dimana proporsi
kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita
diabetes melitus tipe 1.6
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi
insulin”.6Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya
aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat juga
4
5
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel beta langerhanssecaraautoimunseperti diabetes melitus
tipe1.Defisiensifungsi insulin padapenderita diabetes melitus tipe 2
hanyabersifat relative dantidakabsolut.7
Terapi diabetes melitus hendaklah bertujuan untuk mencegah akibat-
akibat defisiensi insulin yang akan segera timbul, yang meliputi hiperglikemia
simptomatik (yaitu: polyuria, polydipsia dan penurunan berat badan),
ketoasidosis diabetika (KAD) dan sindroma hyperosmolar non-ketotic
(SHNK) dan mencegahkan atau meminimalkan komplikasi-komplikasi
penyakit yang berlangsung lama yang timbul akibat diabetes melitus. Faktor
yang terkaitdenganrisiko diabetes adalahpenderitapolycystic
ovarysindrome(PCOS), penderitasindrom metabolic memiliki
riwayattoleransiglukosaterganggu (TGT) atauglukosadarahpuasaterganggu
(GDPT) sebelumnya, memilikiriwayatpenyakitkardiovaskulerseperti stroke,
PJK, atauperipheral arterial Diseases (PAD), konsumsialkohol, faktor stres,
kebiasaanmerokok, jeniskelamin,konsumsi kopi dankafein.8
B. Glibenklamid
1. Definisi
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonylurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati
individu dengan diabetes melitus tipe II untuk menurunkan konsentrasi
gula darah.
2. Farmasi – Farmakologi
a. SifatFisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat
Glibenclamide memiliki nama lain gliburide, Diabeta, Glynase,
Micronase, Glibenclamidum.
6
Gambar 1: Rumuskimiaglibenklamide
Glibenklamidadalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-
metoksobenzamido)etil]benzensulfonil]-3-sikloheksilurea
danmerupakanserbukhablur, putihatau hamper putih; tidakberbau atau
hampir tidakberbau. Glibenklamidtidaklarutdalam air dandalameter;
larutdalam 330 bagian alcohol, dalam 36 bagiankloroform, dandalam
250 bagian methanol. Glibenklamidmemilikititiklebur 1720-1740C.
b. Farmasi Umum
1. Kelas terapi atau golongan: anti diabetes golongan Sulfonilurea
generasi kedua.
2. Nama generik: Glibenclamide
3. Nama dagang:
- Abenon - Clamega - Condiabet - Daonil
7
- Diacella - Euglucon - Fimediab - Glidanil
- Glimel - Glimel - Gliseta - Gluconic
- Glyamid - Glynase Pres Tab - Harmida - Hisacha
- Latibet - Libronil - Merzanil - Prodiabet
- Prodiamel - Renabetic - Samclamide - Semi Euglucon
- Semi Gliceta - Tiabet - Glibenclamide (Generik)
4. Sediaan: setiap kaptab mengandung glibenklamide 5mg
5. Dosis dan rute pemberian glibenklamid:
- Dosisawal: 2,5 – 5 mg sehari, bersama sarapan. Lakukan
penyesuaian dosis tiap 7 hari dari dosis 2,5–5 mg sehari sampai
15 mg perhari
- Dosis untuk orang tua (Geriatri): 2,5 mg/ hari
- Dosis tertinggi atau dosis maksimal: 3 kabtab sehari dalam
dosis terbagi.
- Interaksi obat
Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol,
siklofosfamid, antikoagulan kumarina, inhibitor MAO,
fenilbutazon, penghambat beta adrenergik, sulfonamida.
Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin,
kortikosteroid, tiazid.
c. Farmakologi Umum
1. Indikasi
Diabetes melitus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang
tidak responsive dengan diet saja. Digunakan sendiri atau dalam
kombinasi dengan satu atau lebih agen anti diabetik oral atau
insulin sebagai tambahan untuk terapi diet dan olah raga untuk
8
pengelolaan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin) diabetes
melitus (NIDDM).
Tidak efektif sebagai terapi tunggal pada pasien dengan
diabetes melitus tipe 1 atau diabetes asidosis, ketosis, ataukoma;
Terapi insulin jika dibutuhkan.
2. Kontraindikasi:
a. Diabetes Tipe 1
b. Komplikasi diabetes karena kehamilan
c. HipersensitifterhadapSulfonilurea
d. Gangguan hati atau ginjal, namun glibenklamid dalam batas-
batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan
e. Diabetes melitus juvenile, prekomadankoma diabetes
3. Farmako dinamik
Menstimulasi pancreas untuk memproduksi insulin dan
meningkatkan sensitivitas sel beta terhadap glukosa. Sulfonilurea dapat
menormalkan produksi glukosa di hati dan secara parsial membalikkan
resistensi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2. Glibenklamide hanya
bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin dengan baik. Pada penggunaan per oral
glibenklamid diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar keseluruh
cairan ekstrasel, sebagian besarterikat dengan protein plasma. Pemberian
glibenklamid dosis tunggal akan menurunkan kadar gula darah dalam 3
jam dan kadar ini dapat bertahan selama 15 jam. Glibenklamid
dieksresikan bersama feses dan sebagai metabolit bersama urin.9
4. Farmako kinetik
a. Absorbsi
9
Pemberian glibenklamid secara oral akan diabsorbsi melalui saluran
cerna dengan cukup efektif dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Dosis
awal untuk diabetes melitus tipe 2 adalah 2,5 mg–5 mg, dilanjutkan dosis
pemeliharan 5 mg-10 mg.
b. Distribusi
Setelah absorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel.Dalam
plasma sebagian besar terikat pada protein plasma terutama albumin
(70%-90%). Untuk mencapai kadar optimal glibenklamid akan lebih
efektif jika diminum 30 menit sebelum makan. Mesekipun waktu paruh
glibenklamid tergolong pendek namun efek hipoglikemiknya berlangsung
selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat
15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah
tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah
pemberian kadar dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja
sekitar 15 sampai 24 jam.
c. Metabolisme
Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit
inaktif.Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-
trans, Metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis,
sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi.Semua metabolit tidak
ada yang diakumulasi.
d. Ekskresi
10
Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar
diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.Waktu paruh
eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih
keluar dari serum setelah 36 jam. Glibenklamid tidak diakumulasi di
dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.
5. Efek Samping
Efek samping glibenklamide umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf
pusat.
a. Gangguan saluran cerna berupa:
mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
b. Gangguan susunan syaraf pusat berupa:
sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang
sekali.Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.
Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan
masa kerja panjang.Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat
badan.
6. Toksisitas
Reaksi tubuh seseorang terhadap sebuah obat berbeda-beda. Terdapat
beberapa efek samping umum seperti :
a. Gejala hipoglikemia
b. Merasa mual
c. Nyeri ulu hati
11
d. Efek samping gangguan lambung-usus seperti anorexia terutama pada
dosis di atas 1,5g/hari
e. Efek samping gastrointestinal pada awalnya sering terjadi, namun
biasanya kemudian berkurang.10
7. Interaksi Dengan Obat Lain:
a. Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik
b. Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu
toleransi glukosa.
c. Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme
OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO
d. Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik.
e. Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat
metabolisme)
f. Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik.
g. Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral)
antagonis efek hipoglikemia
h. Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek
aditif terhadap OHO.
i. Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan
menutupi gejala peringatan, misalnya tremor
j. Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik.
12
BAB III
PENELITIAN LAIN
1. Kerja Glibenklamid Pada Fungsi Jantung dan Insiden Aritmia Pada
Jantung yang Sehat dan Diabetes
Saluran Myocardial kalium ATP-dependent sarcolemmal (KATP), yang
biasanya tertutup oleh tingginya konsentrasi ATP, terbuka selama iskemia ketika
ATP menurun mengakibatkan efflux K +. Hal ini akan mengurangi durasi potensial
aksi(APD) akhirnya mengurangi waktu masuknya Ca2 + dan Ca2 + overload. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian itu mungkin terlibat dalamperlindungan terhadap
aritmia dan dalam mekanisme preconditioning iskemik.11
Sulfonilurea, digunakan sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan
diabetes tipe 2 juga memblokir saluran miokard KATP memperpanjang APD selama
iskemia, yang dengan membiarkan Ca2 + entri untuk jangka waktu yang lama,
berpotensi membahayakanjantung. Temuan kontroversial telah dilaporkan mengenai
efek perlindungan dari sulfonilurea.Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Negroni,
Del Valle, dan Lascano menemukan fungsi klinis pada jantung model hewan besar
yang relevan.Pengaruh glibenklamid, sebuahsulfonilurea, telah dipelajari dalam
hewan domba yang mengakibatkan iskemia selama 12 menit.Glibenclamide(0,4 mg /
kg) benar-benar memblokir saluran KATP, menghasilkan efek yang merugikanpada
reperfusi-induced aritmia dan pemulihan miokard dari berhentinya jantung pada
hewan normal. Efek Adverse tersebut lebih terlihat pada domba diabetes yang
diinduksi aloksan, dimana dosis yang lebih rendah (0,1 mg / kg) menghambat
pembukaan saluran KATP yangmemperburuk pemulihan mekanik dan kejadian
aritmia. Namun, glibenklamid tidak menghapus preconditioning iskemikterhadap
aritmia yang henti jantung pada hewan normal.Karena domba dengan diabetes tidak
12
13
mempunyai cardioprotectivefenomena, mungkin karena disfungsi saluran KATP,
tidak mungkin untuk menilai efek glibenklamid pada preconditioningdalam kondisi
patologis. Sebagai kesimpulan, pada hewan besar, glibenklamid mengganggu
terbukanya saluran KATP selama iskemia-reperfusi akut baik pada hewan normal dan
diabetes.Oleh karena itu, meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan
risiko kardiovaskular karena glibenklamid, Negroni dan peneliti lainnya
menyimpulkan farmakologisagen ini harus diselidiki lebih lanjut untuk memastikan
administrasi aman pada pasien dengan penyakit jantung.11
2. Glibenclamide Menurunkan Inflamasi, Vasogenic Edema, dan Aktifasi
Caspase-3 Setelah Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid (SAH) menyebabkan cedera otak sekunder karena
vasospasme dan peradangan. Penelitian ini mempelajari model tikus dari SAH
ringan-sampai sedang ditujukan untuk meminimalkan iskemia / hipoksia untuk
mengetahui peran reseptor sulfonilurea 1 (SUR1) dalam respon inflamasi disebabkan
oleh SAH. mRNA untuk Abcc8, yang mengkode SUR1, dan SUR1 protein terdapat
banyak di korteks yang berdekatan dengan SAH, dimana tumor necrosis factor-α
(TNFa) dan faktor nuklir (NF) kB memberi sinyal yang menonjol. Dalam percobaan
in vitro ditemukan bahwa transkripsi Abcc8 dirangsang oleh TNFa. Untuk
mengetahui konsekuensi fungsional SUR1 setelah SAH, mereka mempelajari
pengaruh inhibitorSUR1 selektif, yaitu glibenklamid. Peneliti memeriksa
permeabilitas barier (imunoglobulin G, IgG ekstravasasi), dan ternyata berkorelasi
dengan lokalisasi protein persimpangan ketat, zona occludens 1 (ZO-1). SAH
menyebabkan peningkatan besar dalam permeabilitas barier dan mengganggu
lokalisasi junctional normal ZO-1. Glibenklamid secara signifikan mengurangi kedua
efek tersebut. Selain itu, SAH menyebabkan kenaikan besar dalam tanda peradangan,
termasuk TNFa dan NFκB, dan tanda cedera sel atau kematian sel, termasuk
14
endositosis IgG dan aktivasi caspase-3, dengan glibenklamid secara signifikan
mengurangi efek ini. Peneliti (Simard,et al) menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh
glibenklamid dapat memperbaiki beberapa efek patologis yang berhubungan dengan
peradangan yang mengarah pada disfungsi kortikal setelah SAH.12
3. Observasi Pembelajaran Prospektif Untuk Menentukan Ukuran
Keberhasilan Glibenclamide Pada Wanita dengan Gestational Diabetes
Melitus
Sebuah penelitian dilakukan untuk menentukan parameter yang terkait dengan
keberhasilan terapi pada penderita diabetes gestasional yang diobati dengan
glibenclamide.13
Penelitian ini meneliti 69 penderita diabetes gestasional yang gagal terapi diet
diobati dengan glibenclamide.Tidak memadainya kontrol glikemik pada
glibenclamide dosis maksimum (10 mg b.i.d) dianggap kegagalan pengobatan.
Tingkat kegagalan glibenclamide dihitung dan faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi keberhasilan dengan glibenclamide dianalisis antara kelompok
keberhasilan dan kegagalan menggunakan chi square.13
Hasilnya tingkat kegagalan glibenclamide adalah 18,8%. Usia kehamilan pada
inisiasi glibenclamide (p <0,01), gula darah puasa perlakuan awal (p <0,001), dan
nilai 1-jam postprandial (p <0,001) adalah satu-satunya faktor signifikan secara
statistik antara keduakelompok. Keberhasilan glibenclamide diansumsikan jika gagal
diet terjadi setelah 30 minggu, atau guladarah puasa adalah <110 mg / dl dan 1-jam
postprandials adalah <140mg/dl (sensitivitas98%, spesifisitas 65%).
Chmait memberi kesimpulan penderita diabetes Gestational yang gagal terapi diet
setelah 30 minggu kehamilan atau gula darah puasa <110 mg/dl dan 1-jam
postprandial<140 mg/dl melakukannya dengan baik pada terapi glibenklamid.13
15
4. Pengobatan Jangka Panjang Pada Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan
Glimepiride (Amaryl): Perbandingan dengan Glibenklamide
Sebuah prospektif internasional, percobaan double-blind yang
membandingkan nilai terapeutik jangka panjang glimepirid dengan glibenklamid
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Pasien yang stabil dengan glibenklamid
secara acak diberikan glimepirid 1mg (524 pasien) atau glibenklamid 2,5 mg (520
pasien).14
Kelompok perlakuan dibandingkan sehubungan dengan usia (60,2 tahun),
indeks massa tubuh (26.5 kg/m2), durasi diabetes (5,0 tahun) dan kadar glukosa darah
puasa (163 mg / dl [9.0 mmol / l]). Dosis yang diberikan meningkat bertahap, sampai
dengan 8 mg untuk glimepirid (sekali sehari) dan 20 mg untuk glibenklamid (> 10 mg
sebagai dosis terbagi), sampai kontrol metabolik (glukosa darah puasa ≤ 150 mg / dl
[8.3 mmol / l]), atau dosis maksimum tercapai. Setelah satu tahun pengobatan, pasien
memasuki penelitian lebih lanjut.14
Hasil laboratorium untuk evaluasi kontrol metabolik, ditemukan rata-rata
hemoglobin terglikasi dan rata-rata glukosa darah puasa, adalah 8,4% dan 174 mg / dl
(9,7 mmol / l) untuk glimepirid dan 8,3% dan 168 mg / dl (9,3 mmol / l) untuk
glibenklamid. Perbedaan antara kelompok perlakuan tidak dianggap relevan secara
klinis menurut peneliti. Secara statistik rendahnya insulin puasa dan rendahnya nilai
C-peptida ditemukan pada pasien glimepirid dibandingkan dengan glibenklamid
(perbedaan: / [p = 0,04] insulin, -0,92 μU ml; C-peptida, -0,14 ng / [p = 0,03] ml).14
Kedua kelompok perlakuan menunjukkan profil keamanan setara.Adverse
effect konsisten dengan sifat populasi pasien diabetes yang telah dipelajari.Lebih
sedikit terjadi reaksi hipoglikemia dengan glimepirid dibandingkan dengan
glibenklamid (105 banding 150 episode). Pada 457 pasien ditemukan glimepiride (1 -
8 mg) sekali sehari memberikan kontrol metabolik setara dengan dosis lebih tinggi
(2,5-20,0 mg) glibenklamid.14
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Diabetes melitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh berupa kadar gula darah
yang tinggi (hiperglikemia). Hal ini dapat terjadi karena insulin tubuh tidak dapat
bekerja dengan efektif atau tubuh (sel ß pankreas) tidak mampu menghasilkan
hormon insulin yang memadai atau kedua-duanya. Dengan demikian kelainan
patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah kegagalan
memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan memanfaatkan insulin
(resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan kadar gula
darah serta hasil metabolisme lainnya.5
Pasien diabetes melitus tentunya membutuhkan beberapa penanganan terapi
untuk menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Saat ini,
obat-obatan yang paling banyak digunakan adalah golongan sulfonylurea sebanyak
65%, seperti glibenklamid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien
diabetes melitus yang ditambah dengan perubahan gaya hidup. Bila terjadi kegagalan
terapi, kombinasi glibenklamid dengan obat antidiabetes lain akan dilakukan.2
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan
sulfonilurea generasi kedua yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan
diabetes melitus tipe 2 untuk menurunkan konsentrasi gula darah.Pada bab ini
dibahas mengenai pengaruh pemberian glibenklamid terhadap penderita diabetes
mellitus, berdasarkan penelitian-penelitian selanjutnya.Penelitian pertama, dengan
judul “Kerja Glibenklamid Pada Fungsi Jantung dan Insiden Aritmia Pada Jantung
yang Sehat dan Diabetes”, menyatakan hasil penelitian bahwa sulfonilurea digunakan
sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan diabetes tipe 2 juga memblokir saluran
miokard KATP memperpanjang APD selama iskemia, yang dengan membiarkan 16
18
Ca2+entri untuk jangka waktu yang lama, berpotensi membahayakanjantung. Dengan
demikian penggunaan sulfonilurea khususnya glibenklamid tidak dianjurkan pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung seperti aritmia maupun gagal jantung.
Meskipun beberapa penelitian mengklaim ada penambahan risiko kardiovaskular
karena glibenklamid, peneliti menyimpulkan farmakologisagen ini harus diselidiki
lebih lanjut untuk memastikan administrasi aman pada pasien dengan penyakit
jantung.11
Penelitian kedua, dengan judul “Glibenclamide Menurunkan Inflamasi,
Vasogenic Edema, dan Aktifasi Caspase-3 Setelah Perdarahan Subarachnoid”
menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh glibenklamid dapat memperbaiki beberapa
efek patologis yang berhubungan dengan peradangan yang mengarah pada disfungsi
kortikal setelah SAH (perdarahan subarachnoid).12
Penelitian ketiga, dengan judul “Observasi Pembelajaran Prospektif Untuk
Menentukan Ukuran Keberhasilan Glibenclamide Pada Wanita dengan Gestational
Diabetes Melitus” dalam penelitian ini, keberhasilan glibenclamide diansumsikan jika
gagal diet terjadi setelah 30 minggu, atau guladarah puasa adalah <110 mg / dl dan 1-
jam postprandials adalah <140mg/dl (sensitivitas98%, spesifisitas 65%).
peneliti memberi kesimpulan penderita diabetes Gestational yang gagal terapi diet
setelah 30 minggu kehamilan atau gula darah puasa <110 mg / dl dan 1-jam
postprandials <140 mg / dl melakukannya dengan baik pada terapi glibenklamid.13
Penelitian keempat, dengan judul “Pengobatan Jangka Panjang Pada Diabetes
Mellitus Tipe 2 dengan Glimepiride (Amaryl®): Perbandingan dengan
Glibenclamide”Lebih sedikit terjadi reaksi hipoglikemia dengan glimepirid
dibandingkan dengan glibenklamid (105 banding 150 episode). Pada 457 pasien
ditemukan glimepiride (1 - 8 mg) sekali sehari memberikan kontrol metabolik setara
dengan dosis lebih tinggi (2,5-20,0 mg) glibenklamid. Dengan demikian
glibenklamidmempunyai reaksi hipoglikemik yang kuat jika dibandingkan dengan
20
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemi dan
dapat berakibat fatal pada penderitanya.Penatalaksanaan diabetes melitus dapat
berupa farmakologi dan non farmakologi.Glibenklamide adalah salah satu golongan
sulfonylurea yang digunakan untuk terapi diabetes melitus.Obat ini mempunyai
reaksi hipoglikemik yang kuat jika dibandingkan dengan glimepiride.Pada pasien
diabetes gestational yang gagal terapi dengan diet, dapat diterapi dengan
glibenklamide.Selain untuk terapi diabetes, glibenklamide dapat digunakan untuk
menurunkan inflamasi, vasogenic edema, dan aktifasi caspase-3 setelah perdarahan
subaraknoid. Penelitian lebih lanjut mengenai glibenklamide dibutuhkan untuk
mengetahui keamanan obat ini terhadap pasien dengan kelainan jantung.
20
21
BAB VI
CONCLUSION
CONCLUSION
Diabetes mellitus is a disease characterized by hyperglycemia and may be
fatal to the sufferer. Management of diabetes mellitus may include pharmacological
and non-pharmacological. Glibenklamide is one of the sulfonylurea class that is used
for the treatment of diabetes mellitus. This drug has a strong hypoglycemic reactions
when compared to glimepiride. Gestational diabetes in patients who failed therapy
with diet, can be treated with glibenclamide. In addition to diabetes therapy,
glibenclamide can be used to decrease inflammation, vasogenic edema, and activation
of caspase-3 after subarachnoid hemorrhage. Further studies on the glibenclamide is
needed to determine the safety of this drug to patients with heart defects.
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennett, P. Epidemiology of Type 2 Diabetes Millitus. In LeRoith et al.
Diabetes Millitusa Fundamental and Clinical Text. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins.2008;43(1): 544-7.
2. Kennedy, M. S. N., 2012. Pancreatic Hormones & Antidiabetic Drugs. In:
Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, & Anthony J. Trevor. Basic &
Clinical Pharmacology, 12th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies. Section VII, Chapter 41.
3. McEvoy, K 2002, AHFS Drug Information, American Society of Health-
System Pharmacists, Wisconsin.pp. 76-77.
4. Katzung, BG 2004. Basic & Clinical Pharmacology 9th, McGrawHill,
New York. p. 377-406.
5. Utomo, A.Y., 2011. Hubungan Antara 4 Pilar Pengelolaan Diabetes
Melitus Dengan Keberhasilan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2.Artikel karya tulis ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.p. 123-
130.
6. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology. 2003; 15 (1); 150-9.
7. Slamet S. 2008. Diet Pada DiabetesdalamNoerdkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam ed. III. Jakarta: Balai Penerbit FK-ill.
8. Sujaya, I Nyoman. PolaKonsumsiMakananTradisional Bali sebagai
Faktor Risiko Diabetes MelitusTipe 2 di Tabanan.JurnalSkalaHusada.
2009; 6 (1); 75-81.
9. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, wells BG, Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7thed. New York:
McGraw Hill.
23
10. Rubenstein David,dkk. 2007. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Erlangga
Medical Series.
11. J. Legtenberg Roger, Ralph J. F., Berend Oesberg, Paul Smits. 2001.
Effects of Sulfonylurea Derivates on Ischemia Induced loss of Function in
the Isolated Rat Heart. European Journal of Pharmacology. Vol. 419 (1):
85-92
12. Simard J. Marc, Zhihua Geng, S Kyoon Woo, et al. 2009. Glibenclamide
Reduces Inflammation, Vasogenic Edema, and Caspase-3 Activation After
Subarachnoid Hemorrhage. Journal of Cerebral Blood Flow &
Metabolism. Vol. 29: 317-330.
13. Rochon, Meredith MD., Larry Rand MD., Lisa Roth MD., Sreedhar
Gaddipati MD. 2006. Glyburide for the Management of Gestational
Diabetes: Risk Factors Predictive of Failure and Associated Pregnancy
Outcomes. American Journal of Obstetrics and Gynecology. Vol. 195 (4):
1090-1094.
14. KE. Dreager, Wernicke-Panten K., Lomp HJ., Schuler E, Rosskamp R.
1996. Long-Term Treatment of Type 2 Diabetic Patients With the New
Oral Antidiabetic Agent Glimepiride (Amaryl): A Double-Blind
Comparison With Glibenclamide. Glimepiride Multicentre Study Group,
Hoechst AG, Frankurt, Germany. Vol: 28 (9): 419-425.
15. Lofholm, P.W., and Katzung, B., 2012. Rational Prescribing and
Prescription Writing. In: Bertam G. Katzung, Susan B. Masters, and
Anthony J. Trevor, 2012. Basic and Clinical Pharmacology, 12th Edition.
New York: The McGraw-Hill Companies. Chapter 65.
16. Siregar, C.J.P. dan Wikarsa, S. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet:
Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: EGC. Halaman 13-42.