makalah evaluasi kinerjakebijakan billing sistem penebusan...

20
Makalah Evaluasi KinerjaKebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung Oleh: Wan Abbas Zakaria Muhammad Ibnu Teguh Endaryanto Lina Marlina Disampaikan pada Seminar Evaluasi Billing System Rabu, 7 November 2018 di KCP Bank Lampung

Upload: others

Post on 24-Feb-2020

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Makalah

Evaluasi KinerjaKebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

Oleh:

Wan Abbas Zakaria

Muhammad Ibnu

Teguh Endaryanto

Lina Marlina

Disampaikan pada Seminar Evaluasi Billing System

Rabu, 7 November 2018 di KCP Bank Lampung

Evaluasi KinerjaKebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

1. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama dan pemenuhannya merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD Tahun 1945. Pangan merupakan komponen

dasar untuk mewujudkan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, kedaulatan pangan merupakan isu

strategis nasional. Salah satu isu sentral NAWACITA adalah meningkatkan produktivitas, daya saing,

dan kemandirian bangsa, termasuk dalam urusan pangan. Menurut catatan Badan Pertanahan

Nasional, hingga 2015 lahan untuk tanaman padi nasional mencapai 14 juta hektar dan luas tersebut

dinilai tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan pangan sekitar 257 juta orang di Indonesia.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar tersebut akan terus bertambah akan diikuti dengan

tingkat konsumsi pangan yang meningkatjuga sehingga upaya penyediaan pangan harus terus

ditingkatkan secara berkelanjutan. Untuk mendukung pencapaian produksi pangan yang tinggi tentu

diperlukan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Beberapa hal di antaranya adalah

tersedianya pupuk yang merupakan sumber nutrien bagi tanaman, begitu pula dengan tenaga kerja

sebagai elemen penggerak produksi dan yang terakhir adalah tersedianya modal yang kuat untuk

menjalankan usaha.

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani. Dalam

rangka meningkatkan produksi untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah

mengeluarkan kebijakan menyediakan pupuk dengan harga murah melalui pemberian subsidi harga

pupuk. Penyediaan pupuk diupayakan untuk memenuhi target 6 (enam) tepat, yaitu: tepat jumlah,

tepat jenis, tepat waktu, tepat tempat, tepat harga, dan tepat mutu.

Implementasi kebijakan subsidi pupuk dimulai dari tahap perencanaan kebutuhan pupuk,

penetapan harga pupuk bersubsidi, penentuan alokasi pupuk, hingga pendistribusian pupuk sampai

ke petani. Pada kenyataannya, sistem yang dirancang demikian komprehensif tersebut, belum mampu

menjamin tersedianya pupuk di level petani dangan kriteria 6 tepat. Beberapa permasalahan berulang

kali muncul terkait dengan pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi, antara lain: kelangkaan pupuk;

harga pupuk melebihi HET; perencanaan dan alokasi kebutuhan tidak sesuai; pengawasan belum

maksimal dan lain-lain. Selain itu, disparitas harga pupuk bersubsidi dengan non-subsidi yang sangat

besar menimbulkan perilaku rent seeker.

Jumlah penyerapan pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani di Provinsi Lampung cukup

tinggi. Hal ini terlihat dari data realisasi penyerahan pupuk Urea bersubsidi pada tahun 2014 yang

mencapai 238.785 ton dari total alokasi yang mencapai 244.005 ton atau 97,8 persen dari alokasi

tahun 2014. Kabupaten dengan serapan pupuk tertinggi adalah Kabupaten Lampung Tengah,

kemudian diikuti Lampung Timur dan Lampung Selatan.

Adapun potensi kebutuhan pupuk urea di Provinsi Lampung untuk padi sawah dan ladang

berturut-turut sebanyak 144.764,12 ton dan 115.367,31ton per tahun. Penggunaan pupuk SP36 paling

sedikit digunakan dalam budidaya padi. Potensi penggunaan pupuk phonska di Provinsi Lampung

adalah 171.886,71 ton untuk padi sawah dan 13.864,83 ton untuk padi ladang.Pupuk yang umumnya

digunakan adalah Urea, SP-36, dan Phonska.

Berdasarkan data, realisasi pupuk Urea bersubsidi lima tahun terakhir menunjukkan trend

yang menurun dari tahun ke tahun. Realisasi pupuk Urea bersubsidi tahun 2009−2014 dapat dilihat

pada Gambar 1.

Sumber: BPS, 2010−2015

Gambar 1. Realisasi Pupuk Urea Bersubsidi Tahun 2009−2014.

Pada Gambar 1. tampak jelas bahwa selama kurun waktu 2009−2014 terjadi penurunan secara

konsisten realisasi pupuk Urea bersubsidi. Penurunan tersebut tampaknya tidak sejalan dengan upaya

pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian menuju swasembada pangan. Dalam beberapa

tahun ke depan, diperlukan kebijakan yang lebih berpihak kepada peningkatan produksi pertanian

secara konsisten, yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan alokasi pupuk bersubsidi.

Persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan penyediaan dan distribusi pupuk bersubsidi

diantaranya: kelangkaan pupuk, harga pupuk melebihi HET, perencanaan dan alokasi kebutuhan yang

belum optimal, pengawasan yang belum maksimal, disparitas harga pupuk bersubsidi dengan non

subsidi sangat besar yang menimbulkan perilaku rent seeker sehingga penyaluran pupuk menjadi tidak

efektif dan efisien.

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Realisasi pupuk Urea bersubsidi (ton)

Realisasi pupukUrea bersubsidi

Secara khusus persoalan yang sering kali berulang pada setiap musim tanam adalah lonjakan

harga dan langkanya pupuk pada saat dibutuhkan. Permasalahan ini diduga erat kaitannya dengan

aspek teknis pada saat penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang kurang

akurat,tidak tepat waktu dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan pupuk bersubsidi. RDKK

merupakan daftar kebutuhan pupuk riil petani untuk sekali periode produksi dalam setahun yang

menjadi dasar dalam pengajuan kebutuhan pupuk dan penyaluran alokasi pupuk bersubsidi.

Oleh karena itu pemerintah Provinsi Lampung melakukan Kebijakan Billing Sistem Penebusan

Pupuk Subsidi melalui penerbitanPeraturan Gubernur Lampung No 99 Tahun 2016 tentang Pola

Distribusi Pupuk Bersubsidi agar pengelolaan pupuk bersubsidi berjalan optimal. Berdasarkan Bab II

pasal 3 pada Pergub tersebut dinyatakan bahwa pengaturan pola penebusan dan pendistribusian

pupuk bersubsidi sektor pertanian bertujuan:

a) menyederhanakan prosedur penebusan dan distribusi pupuk bersubsidi;

b) mengendalikandistribusipupuk bersubsidi;

c) menjamin ketersediaan pupuk dan penerapan pemupukan berimbang;

d) meningkatkan produktivitas dan produksi komoditas pertanian;

e) melindungi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan petani;

f) mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan.

Billing sistem telah dilaksanakan sejak tahun 2016 pada dua kecamatan di Kabupaten

Lampung Selatan yang selanjutnya pada tahun 2017 dikembangkan pada dua kecamatan.

Direncanakan pada masa yang akan data Billing Sistem ini akan dilaksanakan pada seluruh wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, agar kebijakan perluasan penerapan Pergub berjalan dengan

baik perlu dilakukan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka

Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung

2. MAKSUD DAN TUJUAN

Pelaksanaan kegiatan ini bermaksud untuk melakukanEvaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem

Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung,

selain itu tujuan kajian ini adalah untuk

a. Mengevaluasi Kinerja Penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi

Lampung.

b. Mengkaji persepsi pihak-pihak yang terkait dan stakeholder terhadap Kebijakan Billing Sistem

Penebusan Pupuk Subsidi.

c. Menganalisis dampak pelaksanaan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi

terhadap pencapaian target peningkatan produksi pangan dan pendapatan.

3. SASARAN

Sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing

Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi

Lampungadalah sebagai berikut:

a. Mengetahui efektivitas penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di

Provinsi Lampung.

b. Menentukan strategi perluasan penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk

Subsidi di Provinsi Lampung.

4. NAMA ORGANISASI PENGGUNA JASA

Organisasi pengguna jasa kegiatan Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan

Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampungadalah Biro

Perekonomian Provinsi Lampung.

5. LINGKUP KEGIATAN

Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam

Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampungmeliputi kegiatan-kegiatan

sebagai berikut:

1) Berkoordinasi dengan dinas/instansi yang tekait dengan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem

Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi

Lampung.

2) Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan

3) Melakukan Pengkajian dan turun lapang untuk survey terkait Pelaksanaan Evaluasi Kinerja

Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada

Pangan di Provinsi Lampung; dan

4) Menyusun Rekomendasi rencana perluasan penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan

Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung.

6. KELUARAN

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan

Pupuk Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung adalah

rekomendasi untuk perluasan penerapan Billing Sistem Penebusan Pupuk Bersubsidi di kabupaten-

kabupaten lain di Provinsi Lampung.

7. RENCANA KERJA PELAKSANAAN

Rencana Kerja Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi

Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung direncanakan selama 3

(tiga) bulan.

8. METODE YANG DIGUNAKAN

Metode yang digunakan dalam Evaluasi Kinerja Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk

Subsidi Dalam Rangka Mencapai Target Swasembada Pangan di Provinsi Lampung, yaitu:

a. Studi literatur/studi kepustakaan, yang bersumber dari buku-buku ilmiah, jurnal ilmiah, hasil

penelitian serta buku-buku data yang dikeluarkan oleh instansi yang kompeten.

b. Metode Diskusi Terarah/Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang stakeholder terkait

dan narasumber yang kompeten.

c. Metode survei dengan pendekatan partisipatif, dimana setiap stakeholder sdilibatkan sebagai

objek kajian untuk memperoleh hasil analisis yang komprehensif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Evaluasi Kinerja Penerapan Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi di Provinsi

Lampung.

Kriteria 6 Tepat atau 6T (Tepat Jumlah, Tepat Tempat, Tepat Jenis, Tepat Mutu, Tepat Harga, dan Tepat

Waktu) merupakan indikator Kinerja Billing system. Berdasarkan hasil analisis terhadap data survey,

ditemukan mayoritas petani (secara frekuensi dan presentase jumlah) memiliki tingkat penilaian

‘tinggi’ terhadap Kriteria 6T tersebut (lihat Tabel 1. dibawah ini).

Tabel 2. Statistik Deskriptif (Frekuensi dan Persentase Jumlah) Responden Pemilih untuk Masing-masing Kriteria 6 Tepat dan Tingkat Kinerjanya

Kriteria 6 Tepat (6T) Tingkat Kinerja Billing System

Statistik Deskriptif Frekuensi Persentase

Tepat Jumlah ‘rendah’ 11 9.6

‘sedang’ 16 14.0 ‘tinggi’ 87 76.3

Total 114 100 Tepat Tempat ‘rendah’ 6 5.3

‘sedang’ 4 3.5 ‘tinggi’ 104 91.2

Total 114 100 Tepat Jenis ‘rendah’ 3 2.6

‘sedang’ 13 11.4 ‘tinggi’ 98 86.0

Total 114 100 Tepat Harga ‘rendah’ 3 2.6

‘sedang’ 7 6.1 ‘tinggi’ 104 91.2

Total 114 100 Tepat Mutu ‘rendah’ 7 6.1

‘sedang’ 13 11.4 ‘tinggi’ 94 82.5

Total 114 100 Tepat Waktu ‘rendah’ 19 16.7

‘sedang’ 25 21.9 ‘tinggi’ 70 61.4

Total 114 100 Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas petani (> 60 %) menilai Billing System telah berada

pada tingkat kinerja yang ‘tinggi’. Mayoritas (91,20 %) petani menilai Kinerja Billing System adalah

‘tinggi’ dalam hal memenuhi kriteria Tepat Tempat dan Tepat Harga, diikuti oleh 86,0 % petani yang

menilai ‘tinggi’ Kriteria Tepat Jenis, 82,50 % petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria Tepat Mutu, 76,30 %

petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria Tepat Jumlah, dan 61,40 % petani yang menilai ‘tinggi’ kriteria

Tepat Waktu.

Selanjutnya, untuk mempermudah melihat perbandingan antara Tingkat Penilaian (‘tinggi’, ‘sedang’,

dan ‘rendah’), Gambar 1 sampai dengan 7 menampilkan persentasi jumlah petani yang memberikan

evaluasi/penilaian untuk kinerja setiap kriteria 6T.

Gambar 1. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Jumlah

Gambar 2. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Tempat

Gambar 3. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Jenis

9.65 14.04

76.32

020406080

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Kinerja

Tepat Jumlah

5.26 3.51

91.23

0

20

40

60

80

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Kinerja

Tepat Tempat

2.6311.40

85.96

0

20

40

60

80

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Kinerja

Tepat Jenis

Gambar 4. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Harga

Gambar 5. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Mutu

Gambar 6. Persentasi Petani Berdasarkan Tingkat Evaluasi Kinerja Tepat Waktu

Berdasarkan gambar-gambar di atas, walaupun mayoritas petani (secara persentase jumlah) menilai

‘tinggi’ Tingkat Kinerja Billing System, sebagian petani ada pula yang menilai ‘rendah’ Tingkat Kinerja

2.63 6.14

91.23

0

20

40

60

80

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Kinerja

Tepat Harga

6.1411.40

82.46

0102030405060708090

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Respon

Tepat Mutu

16.6721.93

61.40

0

10

20

30

40

50

60

70

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Kinerja

Tepat Waktu

Billing System. Persentase petani yang menilai ‘rendah’ tersebut adalah sebagai berikut yaitu 16, 67

% menilai Kinerja Kriteria Tepat Waktu adalah ‘rendah’, diikuti 9,65 % petani yang menilai Kriteria

Tepat Jumlah adalah ‘rendah’, 6,14 % petani yang menilai Kriteria Tepat Mutu adalah ‘rendah’, 5,26

% petani yang menilai Kriteria Tepat Tempat adalah ‘rendah’, dan 2,63 % petani yang menilai (masing-

masing) Kriteria Tepat Jenis dan Tepat Harga adalah ‘rendah’.

Untuk Tingkat Kinerja yang dinilai ‘sedang’, Kriteria Tepat Waktu masih memiliki persentase

responden pemilih terbanyak (21,93 %), diikuti oleh Kriteria Tepat Jumlah (14,04 %), Kriteria Tepat

Jenis dan Tepat Mutu (masing-masing 11,40 %), Kriteria Tepat Harga (6,14 %), dan Kriteria Tepat

Tempat (3,51 %).

Persentase jumlah responden petani pemilih untuk masing-masing tingkat kinerja (‘tinggi’, ‘sedang’,

‘rendah’) secara linear menentukan nilai keseluruhan (overall score) untuk masing-masing kriteria 6T

Kinerja Billing System. Berdasarkan nilai/skor yang diberikan petani responden, Tabel di bawah

menunjukkan bahwa Billing System mampu menghasilkan kinerja yang ‘tinggi’ untuk Kriteria Tepat

Tempat (skor =0,82), Tepat Harga (skor =0,82), Tepat Jenis (skor =0,79), Tepat Mutu (skor =0,77), dan

Tepat Jumlah (skor =0,76). Namun, Billing System hanya mampu menunjukkan kinerja pada tingkat

‘sedang’ untuk Kriteria Tepat Waktu (skor=0,70).

Tabel 3. Penilaian Keseluruhan (overall evaluation) Petani tentang Kinerja Billing System Indikator Kinerja

6T Nilai Respon

Petani Klasifikasi Tingkat

Kinerja 6T Ranking Kinerja 6T Berdasarkan Nilai

Respon Petani Tepat Jumlah 0.76 ‘tinggi’ 4 Tepat Tempat 0.82 ‘tinggi’ 1 Tepat Jenis 0.79 ‘tinggi’ 2 Tepat Harga 0.82 ‘tinggi’ 1 Tepat Mutu 0.77 ‘tinggi’ 3 Tepat Waktu 0.70 ‘sedang’ 5

B. Persepsi Stakeholder terhadap Kebijakan Billing Sistem Penebusan Pupuk Subsidi.

Stakeholder pada umumnya memiliki tingkat persepsi yang ‘tinggi’ tentang berbagai kategori terkait

kebijakan Billing System. Hal tersebut ditunjukkan oleh Tabel 4 di bawah ini.

Pada Tabel 4 di bawah dapat dilihat bahwa sebagian besar stakeholder (> 51 %) memiliki tingkat

persepsi yang ‘tinggi’ (dan positif) terhadap kebijakan Billing System. Mayoritas stakeholder (96,8 %)

memiliki tingkat persepsi ‘tinggi’ terhadap Tujuan (goal) Kebijakan dan Prosedur Implementasi Billing

System, diikuti 83,9 % stakeholder yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang Manfaat Kebijakan dan

Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Billing System, 77,4 % stakeholder yang memiliki sikap Positif

tentang Kebijakan Billing System, 58,1 % stakeholder yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang

Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System, dan 51,6 % stakeholder

yang memiliki persepsi ‘tinggi’ tentang rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System.

Tabel 4. Statistik Deskriptif (Frekuensi dan Persentase Jumlah) Responden (Stakeholder) Pemilih untuk Berbagai Kategori dan Tingkat Persepsi

Kategori Tingkat Persepsi Stakeholder

tentang Kebijakan Billing System Statistik Deskriptif

Frekuensi Persentase

Persepsi Stakeholder tentang Tujuan (goal) kebijakan dan prosedur implementasi Billing System

‘rendah’ 0 0 ‘sedang’ 1 3.20 ‘tinggi’ 30 96.80

Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Manfaat Kebijakan Billing System

‘rendah’ 1 3.20 ‘sedang’ 4 12.90 ‘tinggi’ 26 83.90

Total 31 100.00 Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System

‘rendah’ 4 12.90 ‘sedang’ 3 9.70 ‘tinggi’ 24 77.40

Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Kebijakan Billing System

‘rendah’ 0 0 ‘sedang’ 5 16.10 ‘tinggi’ 26 83.90

Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

‘rendah’ 4 12.90 ‘sedang’ 9 29.00 ‘tinggi’ 18 58.10

Total 31 100.00 Persepsi Stakeholder tentang rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System

‘rendah’ 3 9.70 ‘sedang’ 12 38.70 ‘tinggi’ 16 51.60

Total 31 100.00

Selanjutnya, Gambar 7 - 12 menampilkan persentasi jumlah stakeholder yang memberikan

evaluasi/penilaian (‘tinggi’, ‘sedang’, dan ‘rendah’) untuk setiap kategori persepsi.

Gambar 7. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Tujuan (Goal) Dan Prosedur Implementasi Billing System

3.23

96.77

0

20

40

60

80

100

120

Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Persepsi

Tujuan (goal) kebijakan dan prosedur implementasi Billing System

Gambar 8. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Manfaat Kebijakan Billing System

Gambar 9. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Kebijakan Billing System

Gambar 10. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Kemudahan Distribusi Pupuk melalui Billing System

3.2312.90

83.87

0

20

40

60

80

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Persepsi

Manfaat Kebijakan Billing System

12.90 9.68

77.42

0

20

40

60

80

100

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Sikap

Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System

16.13

83.87

0

20

40

60

80

100

Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Persepsi

Kemudahan Distribusi Pupuk Melalui Kebijakan Billing System

Gambar 11. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

Gambar 12. Persentase Stakeholder Berdasarkan Tingkat Persepsi tentang ‘rendah’nya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System

Berdasarkan Gambar 7 sampai dengan Gambar 12, walaupun sebagian besar stakeholder (secara

persentase jumlah) memiliki tingkat persepsi (positif) yang ‘tinggi’ terhadap kebijakan Billing System,

dapat dilihat pula bahwa sebagian stakeholder memiliki tingkat persepsi yang ‘rendah’. Persentase

jumlah stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘rendah’ mengenai Ketersediaan Sumberdaya,

Fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System dan mengenai Sikap Positif terhadap

Kebijakan Billing System (masing-masing) adalah 12,9 %, persentase stakeholder yang memiliki tingkat

persepsi ‘rendah’ mengenai (Rendahnya) Resiko Implementasi Kebijakan Billing System adalah 9,68

%, dan persentase stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘rendah’ mengenai Tujuan dan Prosedur

Implementasi dan mengenai Manfaat Kebijakan Billing System masing-masing adalah 3,23 %.

12.90

29.03

58.06

0

10

20

30

40

50

60

70

Rendah Sedang Tinggi

Pers

enta

se

Tingkat Persepsi

Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

9.68

38.71

51.61

0

10

20

30

40

50

60

Rendah Sedang Tinggi

Perc

ent

Tingkat Persepsi

Rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing System

Persentase jumlah stakeholder yang memiliki tingkat persepsi ‘sedang’ terhadap Kebijakan Billing

System ditemukan cukup besar pada kategori Rendahnya Resiko Implementasi Kebijakan Billing

System (38,7%), diikuti Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing

System (29,03 %), Kemudahan Distribusi Pupuk melalui Billing System (16, 13 %), Manfaat Kebijakan

Billing System (12,9 %), Sikap Stakeholder tentang Kebijakan Billing System (9,68 %), dan Tujuan (goal)

dan prosedur implementasi Billing System (3,23 %).

Frekuensi dan/atau persentase jumlah stakeholder yang memberikan skor nilai untuk masing-masing

tingkat persepsi (‘tinggi’, ‘sedang’, ‘rendah’) menentukan keseluruhan nilai (overall score) untuk

masing-masing kategori persepsi. Pada Tabel 5 di bawah dapat dilihat bahwa, secara berturut-turut

berdasarkan nilai skor persepsi stakehoder, Billing System dianggap sebagai sebagai kebijakan yang

‘tepat’ dan ‘positif’ dalam hal Tujuan (goal) dan Prosedur Implementasi (skor=0,85), Manfaat dan

Kemudahan Implementasi (masing-masing skor=0,83), Dukungan Sikap Stakeholder (skor=0,78),

Rendahnya Resiko (skor=0,71), dan dalam hal Ketersediaan Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi

Pendukung Kebijakan (skor=0,70).

Tabel 5. Persepsi Keseluruhan (overall perception) Stakeholder tentang Kebijakan Billing System Kategori Skor

Persepsi Klasifikasi Persepsi

Rangking Persepsi

Berdasarkan Skor

Persepsi Stakeholder tentang Tujuan (goal) kebijakan dan prosedur implementasi Billing System

0.85 ‘tinggi’ 1

Persepsi Stakeholder tentang Manfaat Kebijakan Billing System

0.83 ‘tinggi’ 2

Sikap Positif Stakeholder tentang Kebijakan Billing System 0.78 ‘tinggi’ 3 Persepsi Stakeholder tentang Kemudahan Implementasi Kebijakan Billing System

0.83 ‘tinggi’ 2

Persepsi Stakeholder tentang Ketersediaan Sumberdaya, fasilitas, dan Teknologi Pendukung Kebijakan Billing System

0.70 ‘sedang’ 5

Persepsi Stakeholder tentang Rendahnya Resiko dalam Billing System

0.71 ‘sedang’ 4

C. Dampak Pelaksanaan Kebijakan Billing System Penebusan Pupuk Subsidi Terhadap Perubahan

(Peningkatan) Pendapatan dan Hasil Produksi Padi Petani

Dampak pelaksanaan kebijakan Billing System terhadap perubahan (peningkatan) pendapatan dan

hasil produksi padi petani dievaluasi dengan menggunakan data di tingkat petani selama 3 (tiga)

musim terakhir (setelah dan sebelum implementasi kebijakan Billing System). Perbandingan kondisi

sesudah dan sebelum Billing System menunjukkan adanya perubahan pada berbagai indikator, seperti

pendapatan, hasil produksi, luas lahan, jumlah dan harga pupuk, frekuensi penyuluhan, kondisi iklim

dan irigasi, dan perubahan keaktifan kelompok tani. Perubahan berbagai indikator tersebut dapat

dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Statistik Deskriptif Berbagai Perubahan Indikator Sebelum dan Sesudah Kebijakan Billing System

Indikator Perubahan Sebelum dan Sesudah Billing System *

Jumlah Observasi

Total kumulatif Perubahan

Rata-rata Perubahan per observasi

Standar Deviasi

Perubahan Pendapatan (Rp) 114 43,493,580.00 381,522.63 2710608

Perubahan_Hasil_ Produksi (kg) 114 -7,935.50 -69.61 .1224808 Perubahan_Luas_Lahan (ha) 114 2.50 0.02 226.0543 Perubahan_Jumlah_Urea (kg) 114 1,995.00 17.50 319.7924 Perubahan_Jumlah_SP36 (kg) 114 14,569.38 127.80 71.67542 Perubahan_Jumlah_NPK (kg) 114 451.88 3.96 Perubahan_Harga_Urea (Rp/kg) 114 -94,060.00 -825.09 1354.102 Perubahan_Harga_SP36 (Rp/kg) 114 15,600.00 136.84 1394.062 Perubahan_Harga_NPK (Rp/kg) 114 -49,560.00 -434.74 1697.713 Perubahan_Harga_Hasil Produksi (Rp/kg) 114 53,850.00 472.37 968.3736

Perubahan_Frek_Penyuluhan (kali) 114 89.00 0.78 3.494012 Perubahan_Iklim** 114 -41.00 -0.36 Perubahan_Jarak_Kios (km) 114 -174.50 -1.53 .8531793 Perubahan_Kondisi_Irigasi ** 114 -16.00 -0.14 2.95162 Perubahan_Keaktifan_Kelompok Tani (KT)** 114 37.00 0.32 .4955946

* Data berdasarkan 3 (tiga) musim tanam Sebelum dan Sesudah Billing System ** Data nominal, tanda positif/negatif menunjukkan bahwa kondisi setelah Billing System adalah lebih mendukung/tidak mendukung dibandingkan kondisi sebelum Billing System

Berdasarkan perbandingan kondisi Sebelum dan Sesudah Billing System, pada Tabel 6 di atas, dapat

dilihat bahwa terdapat perubahan bertanda positif seperti perubahan pendapatan (penjualan padi),

perubahan luas lahan, perubahan jumlah kilogram pupuk yang digunakan (Urea, SP36, dan NPK),

perubahan harga hasil produksi (padi), perubahan frekuensi penyuluhan, dan perubahan keaktifan

kelompok tani. Namun demikian, tidak semua perubahan bertanda positif tersebut tergolong dalam

kategori perubahan yang diinginkan, seperti perubahan Harga SP36 yang justru meningkat setelah

implementasi Billing System. Selain itu, hasil produksi padi secara kumulatif dalam 3 (tiga) musim

terakhir (setelah implementasi Billing System) justru mengalami penurunan sebesar 7,935.50

kilogram.

Analsisis regresi kemudian digunakan untuk mengevaluasi signifikansi variabel-variabel yang diduga

mempengaruhi Perubahan Pendapatan dan Perubahan Hasil Produksi. Tabel 7 dan Tabel 8 masing

masing menampilkan hasil output program STATA untuk dua model regresi Dampak Billing System,

yaitu (1) terhadap Perubahan Pendapatan dan (2) terhadap Perubahan Hasil Produksi. Regresi

didasarkan pada data perubahan berbagai indikator (selama tiga musim tanam terakhir) sesudah dan

sebelum implementasi Billing System.

Tabel 7. Regresi Dampak Billing System terhadap Perubahan Pendapatan Perubahan Pendapatan Coef. Std. Err. t P>t [95% Conf. Interval]

Perubahan_Luas_Lahan -8504224 2036085 -4.18 0.000* -1.25e+07 -4464688 Perubahan_Jumlah_Urea -524.7653 1105.068 -0.47 0.636 -2717.188 1667.657 Perubahan_Jumlah_SP36 625.4917 723.9114 0.86 0.390 -810.7278 2061.711 Perubahan_Jumlah_NPK -3396.626 3558.122 -0.95 0.342 -10455.84 3662.587 Perubahan_Harga_Urea -613.245 328.565 -1.87 0.065 -1265.109 38.61863 Perubahan_Harga_SP36 -280.3282 186.3769 -1.50 0.136 -650.0948 89.43832 Perubahan_Harga_NPK 519.8647 272.843 1.91 0.060 -21.44813 1061.178 Perubahan_Harga_Hasil Produksi -1111.445 253.9121 -4.38 0.000* -1615.2 -607.6911 Perubahan_Frek_Penyuluhan -16651.14 63034.32 -0.26 0.792 -141709.4 108407.1 Perubahan_Iklim 471670.4 323061.4 1.46 0.147 -169274.3 1112615 Perubahan_Jarak_Kios 29348.28 83041.19 0.35 0.725 -135403.1 194099.6 Perubahan_Kondisi_Irigasi 376328.5 491893.6 0.77 0.446 -599574.4 1352232 Perubahan_Keaktifan_KT 213175.8 199916.2 1.07 0.289 -183452.4 609803.9 _cons 1005311 355820.2 2.83 0.006 299374 1711248

R-squared = 0.3761

Adj R-squared = 0.2949

* signifikan pada selang kepercayaan 95 %

Tabel 8. Regresi Dampak Billing System terhadap Perubahan Hasil Produksi Perubahan_Hasil_Produksi Padi Coef. Std. Err. t P>t [95% Conf. Interval]

Perubahan_Luas_Lahan -8111.001 1016.232 -7.98 0.000* -10127.18 -6094.825 Perubahan_Jumlah_Urea .1471576 .5515513 0.27 0.790 -.9471044 1.24142 Perubahan_Jumlah_SP36 -.6645765 .361312 -1.84 0.069 -1.381409 .0522563 Perubahan_Jumlah_NPK -.1425126 1.775897 -0.08 0.936 -3.665843 3.380817 Perubahan_Harga_Urea -.1640153 .1639904 -1.00 0.320 -.4893675 .1613369 Perubahan_Harga_SP36 .0363091 .0930228 0.39 0.697 -.1482454 .2208636 Perubahan_Harga_NPK .1769384 .1361789 1.30 0.197 -.0932367 .4471135 Perubahan_Harga_Hasil Produksi .61781 .1267303 4.87 0.000* .3663807 .8692392 Perubahan_Frek_Penyuluhan -.5621111 31.46111 -0.02 0.986 -62.98006 61.85584 Perubahan_Iklim 361.5524 161.2435 2.24 0.027* 41.64989 681.4548 Perubahan_Jarak_Kios 43.4283 41.44676 1.05 0.297 -38.80089 125.6575 Perubahan_Kondisi_Irigasi -122.8474 245.5095 -0.50 0.618 -609.9312 364.2363 Perubahan_Keaktifan_KT -64.44734 99.78037 -0.65 0.520 -262.4088 133.5141 _cons 36.60081 177.5937 0.21 0.837 -315.7401 388.9417

R-squared = 0.5026

Adj R-squared = 0.4380

* signifikan pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan hasil Regresi pada kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa hanya Perubahan Luas Lahan

(P-value=0,00) dan Perubahan Harga Hasil Produksi (P-value=0,00) yang secara siginifikan

mempengaruhi baik pada Perubahan Pendapatan maupun pada Perubahan Hasil Produksi. Perubahan

iklim (P-value=0,027) tampak secara signifikan mempengaruhi Perubahan Hasil Produksi. Namun

secara keseluruhan, baik pada model regresi Perubahan Pendapatan (Adj R-squared = 0.2949) maupun

pada model regresi Perubahan Hasil Produksi (Adj R-squared = 0.4380), variabel-variabel terikatnya

tampak memiliki korelasi yang lemah terhadap indikator-indikator/variabel-variabel bebasnya.

Kesimpulan

Billing System paling tidak memiliki 2 (dua) manfaat yang dapat diobservasi secara langsung di

lapangan. Pertama, melalui pengaturan 'kuota' pupuk subsidi berdasarkan RDKK kelompok tani, Billing

System dapat memberikan jaminan bahwa hak suatu Kelompok Tani akan pupuk subsidi tidak

dialihkan ke kelompok/pihak lain. Jaminan hak ini mendukung distribusi pembagian pupuk secara

lebih adil dan merata antar kelompok tani. Kuota yang telah ter-sistemize di dalam Billing System ini

tidak mudah di 'permainkan' ditingkat distributor/kios. Kedua, Billing System mendorong terjadinya

perbaikan manajemen/administrasi melalui aktivitas kelompok dalam mengatur pola pengajuan

pupuk dan pembagian pupuk keanggotanya (termasuk pencatatan dan pembuatan RDKK). Selain itu,

terdapat manfaat finansial dalam bentuk 'saving' yang bisa dimanfaat oleh kelompok tani untuk

penguatan modal/kas. Sebagai contoh, dengan Billing System, kelompok tani menebus pupuk urea di

kios Rp. 97.000/sak terima di tempat (biasanya rumah ketua kelompok). Kelompok kemudian

membagikan pupuk tersebut ke anggota dengan harga Rp. 100.000/sak. Kelompok mendapatkan

kelebihan Rp.3000/sak yang disimpan sebagai 'saving'. Sebelum Billing System, saving ini dinikmati

oleh kios/distributor namun berpindah ke kelompok tani setelah mengikuti Billing System.

Manfaat-manfaat kebijakan Billing System yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan berada di

tingkat kelompok tani. Terkait dengan manfaat-manfat tersebut, hasil analisis data survei memberikan

beberapa kesimpulan yang lebih detil mengenai tingkat kinerja, persepsi, dan dampak Billing System

(terhadap perubahan pendapatan dan hasil produksi petani) di tingkat individu petani, kelompok, dan

stakeholder lainnya. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

Pertama, Billing System mampu menghasilkan kinerja yang ‘tinggi’ untuk Kriteria Tepat Tempat (skor

=0,82), Tepat Harga (skor =0,82), Tepat Jenis (skor =0,79), Tepat Mutu (skor =0,77), dan Tepat Jumlah

(skor =0,76). Namun, Billing System hanya mampu menunjukkan kinerja pada tingkat ‘sedang’ untuk

Kriteria Tepat Waktu (skor=0,70). Dengan demikian Kinerja Billing System secara keseluruhan belum

optimal, ditambah lagi dengan temuan/observasi di lapangan bahwa tidak semua individu petani

menyukai Billing System.

Alasan individu petani tidak menyukai Billing System direfeleksikan dalam dua hal, yaitu (1) Sebagian

petani menganggap membeli di kios (sebelum Billing System) lebih praktis (membeli dalam jumlah

kecil dan bertahap) daripada membeli di kelompok tani (secara sekaligus setelah Billing System).

Sebagian petani juga merasa kesulitan untuk melakukan penambahan pupuk subsidi dalam jumlah

kecil setelah Billing System karena kios tidak melayani pembelian seperti itu lagi. (2) Petani merasa

tidak ada perubahan harga sebelum dan sesudah Biling System karena, sebagai contoh, petani

membeli urea di kios Rp. 100.000 (sebelum Billing System) dan membayar jumlah yang sama Rp.

100.000 di kelompok tani (sesudah billing sistem). Hal ini selanjutnya berdampak pada skor kinerja

Tepat Harga yang walaupun termasuk ‘tinggi’ (yaitu 0,82), namun masih belum mencapai nilai

maksimal (yaitu 1,00). Dengan demikian, secara umum dapat pula disimpulkan bahwa belum

optimalnya kinerja Billing System adalah karena manfaat pertama dan kedua Billing System yang telah

diuraikan di atas tidak dipahami/belum dirasakan petani. Individu petani yang tidak

paham/merasakan manfaat Billing System dan bagaimana Billing System bekerja akan sulit

berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan. Informasi mengenai Kebijakan Billing System tampaknya

baru sebatas informasi 'teknis' bagaimana menggunakan Billing System, pembuatan rekening

kelompok dan lain-lain. Namun, usaha-usaha dalam memberikan pemahaman mengenai aspek

filosofis dan manfaat Billing System, baik pada jangka pendek maupun panjang, terutama untuk

individu petani tampaknya masih kurang.

Ketiga, Kelompok Tani dan stakeholder lainnya secara umum memiliki persepsi yang ‘tinggi’ dan

'positif' terhadap kebijakan Billing System penebusan pupuk subsidi. Billing System dianggap sebagai

sebagai kebijakan yang ‘tepat’ dalam hal Tujuan (goal) dan Prosedur Implementasi (skor=0,85),

Manfaat dan Kemudahan Implementasi (masing-masing score=0,83), dan Dukungan Sikap Stakeholder

(score=0,78). Namun demikian, stakeholder masih memiliki tingkat persepsi yang ‘sedang’ dalam hal

Rendahnya Resiko (score=0,71), dan Ketersediaan Sumberdaya, Fasilitas, dan Teknologi Pendukung

Kebijakan (scoer=0,70). Dengan demikian, penguatan sumberdaya terutama Kelembagaan Kelompok

Tani sangat diperlukan. Penebusan pupuk subsidi melalui Billing System tidak dapat dilakukan tanpa

kelompok tani. Kelompok yang memiliki manajemen yang kurang baik akan kesulitan mengatur pola

pengajuan pupuk. Kesulitan utama kelompok adalah dalam hal mengumpulkan 'dana' dari anggotanya

untuk menebus pupuk pada Billing System sesuai waktu musim tanam.

Keempat, untuk dampak Billing System, berdasarkan perbandingan kondisi ‘sesudah dan sebelum’

implementasi kebijakan, terdapat berbagai berbagai perubahan indikator dalam ‘tanda’ yang positif

seperti perubahan pendapatan (penjualan padi), perubahan luas lahan, perubahan jumlah kilogram

pupuk yang digunakan (Urea, SP36, dan NPK), perubahan harga hasil produksi (padi), perubahan

frekuensi penyuluhan, dan perubahan keaktifan kelompok tani. Namun demikian, tidak semua

perubahan bertanda positif termasuk dalam kategori yang ‘diinginkan’ seperti perubahan pada pupuk

SP36 yang harganya justru meningkat setelah implementasi Billing System. Berdasarkan observasi,

Billing System tampaknya memiliki 'hole' atau lubang yang berpotensi mengurangi efektivitasnya di

tingkat Kelompok Tani. Kelompok Tani yang tidak menebus kuota haknya di Billing System (dengan

alasan utama masalah kurangnya dana tebusan), pada beberapa kasus, mengakui 'menawarkan' kuota

miliknya tersebut ke Kelompok Tani lain. Bila Kelompok Tani lain tersebut setuju, Kelompok Tani yang

menawarkan akan mewakilkan untuk menebus pupuk tersebut. Hal ini merupakan aktivitas yang tidak

dapat di kontrol oleh Billing System, apakah akan terjadi kegiatan 'bisnis' yang tidak diinginkan dan

mungkin menjadi salah satu penyebab meningkatnya harga pupuk SP36 tersebut.

Selain itu, ditemukan bahwa hasil produksi padi, secara kumulatif dalam 3 (tiga) musim terakhir

setelah implementasi Billing System, justru mengalami penurunan sebesar 7,935.50 kilogram.

Berdasarkan hasil Regresi, hanya Perubahan Luas Lahan (P-value=0,00) dan Perubahan Harga Hasil

Produksi (P-value=0,00) yang secara siginifikan mempengaruhi baik pada Perubahan Pendapatan

maupun pada Perubahan Hasil Produksi. Perubahan iklim (P-value=0,027) tampak secara signifikan

mempengaruhi Perubahan Hasil Produksi. Secara keseluruhan, kedua model regresi adalah lemah

dalam hal menjelaskan keterkaitan antara Perubahan Pendapatan dan Perubahan Hasil Produksi

dengan indikator-indikator/variabel-variabel bebasnya. Dilihat dari adjusted R-squarenya, kedua

model regresi tersebut hanya mampu menjelaskan < 50 % dari realita di lapangan.

Sebagai kesimpulan akhir adalah Billing System diyakini mempunyai berpotensi yang besar dalam hal

mengatasi berbagai masalah terkait distribusi pupuk. Namun, peningkatan pendapatan dan hasil

produksi petani tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan terkait pupuk, tetapi tampaknya justru lebih

dipengaruhi oleh peningkatan harga hasil produksi (harga padi), peningkatan luas lahan, dan variabel-

variabel lain yang belum diperhitungkan dalam model regresi. Dengan kata lain, perubahan terkait

pupuk masih didominasi variabel-variabel lain yang belum dimasukkan dalam model. Oleh karena itu,

perlu didiskusikan lebih lanjut implikasi-implikasi temuan ini dengan para stakeholder, terutama

pemerintah, untuk mengatasi persoalan-persoalan terkait Pendapatan dan Hasil Produksi Petani,

termasuk mengatasi masalah-masalah yang terkait langsung dengan implementasi kebijakan Billing

System.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurohim, O. 2008. Pengaruh Kompos Terhadap Ketersediaan Hara Dan Produksi Tanaman Caisin Pada Tanah Latosol Dari Gunung Sindur, sebuah skripsi. Dalam IPB Information Resource Center, diunduh 13 Juni 2010.

Adisarwanto T., A.A.Rahmiana dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang Tanah. Kacang Tanah. Monograf Balittan Malang No.12. Malang. H.91-106.

Diez, J.A., MaC Cartagena dan A. Vallejo. 1992. Controlling phosphorus fixation in calcareous soils by using coated diammonium phosphate. Fertilizer research. June 1992, Volume 31, Issue 3, pp 269-274.

Fabunmi, T.O. 2009. Effect of different split applications of npk fertilizer on growthand yield of maize, and economic returns. Nigeria Agriculture Journal. Vol 40, No 1-2 (2009)

Gaur, D. C. 1980. Present Status of Composting and Agricultural Aspect, in: Hesse, P. R. (ed). Improvig Soil Fertility Through Organic Recycling, Compost Technology. FAO of United Nation. New Delhi.

Guntoro D., Purwono, dan Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase Terhadap Serapan Hara Dan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.). Dalam Buletin Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.

Handayani, M. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk NPK dan Kompos Terhadap Pertumbuhan Bibit Salam, sebuah skripsi. Dalam IPB Information Resource Center diunduh 13 Juni 2010.

Ispandi A. 2000. Pengaruh Pemupukan NPK dan S terhadap dinamika hara di lahan kering Alfisol dan tanaman kacang tanah. Ilmu Pertanian Vol.8. No.2. Des. 2001. p. 83-93. Fakultas Pertanian Universitas gajah mada Yogyakarta.

Ispandi,A. dan Abdul Munip. 2004. Efektivitas pupuk pk dan frekuensi pemberian pupuk k dalam

meningkatkan serapan hara dan produksi kacangtanah di lahan kering alfisol. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2, 2004 : 11-24

Jat, R.A., S.P.Wani, K.L.Sahrawat, P.Singh dan P.L.Dhaka. 2011. Fertigation in Vegetable Crops for Higher Productivity and Resource Use Efficiency. Indian Journal of Fertilizers, 7 (3). pp. 22-37.

Lopez, M.A.H., A.L.Ulery dan Z.Samani. 2011. Response of chile pepper (Capsicum annuum L.) To salt stress and organic and inorganic nitrogen sources: iii. Ion uptake and translocation. Tropical and Subtropical Agroecosystems. Vol. 14 No.3.

Miller M.H., C.P.Mamaril dan G.J.Blair. 1970. Ammonium effect and phosphorus absorbtion through pH change and phosphorus precipitation at the soil root interface. Agron.Journ.62.524-527.

Novizan. 2001. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Sri setyadi Harjadi. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta. Sudaryono dan Indrawati. 2001. Dinamika hara dan pemupukan kacang tanah dan kacang hijau pada

pola tanam padi – kacang tanah/kacang hijau. Laporan Hasil Penelitian Balitkabi 2001. Balitkabi Malang.

Sumarno. 1986. Teknik Budidaya Kacang Tanah. Sinar Baru. Bandung. 79h. Sutarto I.V., Harnoto dan Sri Astuti Rais. 1988. Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.

47 h. Sutedjo,M.M. 1989. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta. Sutedjo,M.M.. 1985. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bina Cipta. Jakarta. Toharisman, A. 1991. Potensi Dan Pemanfaatan Limbah Industri Gula Sebagai Sumber Bahan Organik

Tanah.