makalah etika bisnis muzara'ah aaaa

28
MATA KULIAH ETIKA BISNIS PEREKONOMIAN PERTANIAN ISLAM MELALUI KONSEP DAN APLIKASI MUZARA’AH Disusun Oleh UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2014 BAB I PENDAHULUAN Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 1

Upload: ijankasbar

Post on 20-Oct-2015

248 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

as

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

MATA KULIAH ETIKA BISNIS

PEREKONOMIAN PERTANIAN ISLAM

MELALUI KONSEP DAN APLIKASI MUZARA’AH

Disusun

Oleh

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG

2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 1

KEL 6

IBNU HAJARIAN SUPANDRI

IJANG ASBAR

Page 2: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Ajaran Islam menganjurkan apabila seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia harus memanfaatkannya dan mengolahnya. Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk digarap dengan menggunakan bagi hasil dalam sistem muzara’ah.

Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas bagi hasil tersebut.

Dari latar belakang di atas Islam mempunyai solusi pemanfaatan lahan pertanian dengan sistem yang lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muzara’ah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam. Oleh karena itu, pembahasan makalah kali ini adalah berkisar tentang konsep dan aplikasi muzara’ah dalam ekonomi pertanian Islam.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pandangan islam tentang kerjasama dibidang pertanian ? Bagaimana hukum muzara’ah menurut ulama imam mazhab ? Bagaimana ketentuan-ketentuan muzara’ah berdasarkan aturan/etika islam

1.3. Tujuan

   Untuk mengetahui kerjasama dibidang pertanian dalam islam.

   Untuk mengetahui hukum kerjasama dibidang pertanian menurut

islam.

    Untuk memahami ketentuan-ketentuan kerjasama dalam muzara’ah .

BAB IIPEMBAHASAN

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 2

Page 3: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

2.1       Pengertian Muzara’ah Muzara’ah memiliki arti suatu kerjasama dalam bidang pertanian antara

pihak pemilik tanah dan penggarap tanah. Kata muzara’ah berasal dari wazan mufa’alah dari akar kata zara’a yang sinonimnya:anbata, seperti dalam kalimat

ونماه : أنبته الزرع الله زرع“Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan:artinya Allah menumbuhkannya dan mengembangkannya.”

Dalam pengertian istilah, muzara’ah adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan), sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut dengan mukhabarah. Menurut Abdurrahaman Isa, sebagaimana dikutip oleh Masjpuk Zuhdi, mengenai hak dan kewajiban masing-masing dari pemilik lahan dan penggarap tanah bisa diatur sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat baik menurut adat istiadat setempat maupun menurut perundang-undangan yang berlaku.

Selain definisi di atas, pengertian muzara’ah secara termonologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, antara lain:

  Ulama Malikiyah

الزرع فى ألشركة“Perserikatan dalam pertanian”

  Ulama Hanafiyah

بينهما األدفع عليهاوالزرع يزرعهاأويعمل من الى رض“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua”

  Ulama Syafi’iyah

لك األعمل الما من منهاوالبذر يخرج ما ببعض رض“Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit disediakan pemilik tanah”

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa muzara’ah adalah suatu akad kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja atau petani untuk diolah,

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 3

Page 4: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, seperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu. Hanya saja dalam definisi muzara’ah di atas ulama Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah, apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap maka istilahnya bukan muzara’ah melainkan mukhabarah.

2.2 Perbedaan Muzara’ah, Mukhabarah dan Musaqat

a)      Muzara’ahBentuk kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman berasal dari pemilik tanah.

b)      MukhabarahMukhabarah ialah bentuk kerja sama anata pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.

c)      MusaqatBentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Kerjasama dalam bentuk musaqat ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu. Perbedaan tersebut dapat disimpulkan, yaitu:a.       Muzara’ah :benih dari pemilik lahanb.      Mukhabaroh :benih dari penggarapc.       Musaqat :perawatan tanaman atau pepohonan

Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah adalah dari sisi asal benih, sedangkan musaqat adalah kerjasama dalam pemeliharaan dan perawatan pepohonan dalam sebidang kebun.

2.3 Dasar Hukum Muzara’ah Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum

muzara’ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 4

Page 5: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

يرفق ان امر ولكن الزارعة يحرم لم وسلم عليه لله صلى نبي إنفإن اخاه ليمنحها أو فليزرعها أرض له نت كا من بقوله ببعض بعضهم

ازضه فليمسك ابى“Sesungguhnya nabi saw menyatakan tidak mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”

Dalam membahas hukum muzara’ah para pakar fikih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Beberapa ulama yang memperbolehkannya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik, Ahmad serta Dawud Az-Zhahiri didasarkan pada hadis Nabi berikut.

أهل مل عا وسل>م عليه الله رسول >ن> أ عنهما الله رضي عمر ابن< عن<. >وزرع أ ثمر من منها يخرج ما <شطر ب خيبر

Dari Ibnu Umar  bahwa Rasullullah melakukan kerja sama (penggarapan tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman. (Muttafaq ‘alaih)

Mereka yang memperbolehkan akad muzara’ah berdasarkan pendapat bahwa muzara’ah merupakan akad syirkah antara modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad mudharabah yang hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak (dibutuhkan). Akad muzara’ah tersebut diperbolehkan sebagaimana akad ijarah dari segi kerjasama dalam hal penggarapan tanah. Adapun upah dari muzara’ah adalah ditentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam asy-Syafi’i tidak membolehkannya.1[13] Hal ini didasari oleh hadis Nabi.

عليه الله صل>ى الله رسول >ن> أ عنه الله رضي الضحاك بن< <ت >اب ث وعن>مر و>أ Cمزارعة ال عن< نهى Cمؤاجر  وسلم ل <ا ب

Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang untuk melakukan muzara’ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa-menyewa). (HR. Muslim)

Obyek akad dalam muzara’ah dinilai memiliki dimensi spekulatif yang tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen yang belum ada (ma’dum) dan tidak jelas (jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan

1

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 5

Page 6: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi untuk terjadinya kerugian. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan akad muzara’ah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar, bukanlah muzara’ah , melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah Saw setiap kali panen dalam presentase tertentu.

Adapun menurut jumhur ulama fikih hukum muzara’ah adalah diperbolehkan. Dasar kebolehannya secara khusus merujuk pada hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

عامل وسلم عليه الله صلى الله رسول >ن أ عنه الله عمررضي بن< ا عنأوثمر زرع من منها مايخرج خيبربشرط أهل

“Bahwasanya rasulullah memperkerjakan penduduk khaibar dalam pertanian dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”.(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).

Selain itu dalam kitab Subul as-Salam dijelaskan bahwa larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, merekapun sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk kebelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadis tentang larangan muzara’ah tersebut memiliki batasan, yakni jika dalam perjanjianya terdapat peraturan yang menekan salah satu pihak, sehingga memberatkannya.

Akad muzara’ah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ijarah. Muzara’ah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Muzara’ah juga menyerupai akad ijarah dan upahnya adalah bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan.

Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan oleh Islam menurut al-Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Halal wa al-Haram adalah muzaraah yang didalamnya terdapat unsur penipuan dan ketidak jelasan yang membawa kepada perselisihan. Para pemilik lahan mensyaratkan agar ia mendapat hasil bagian pada lahan tertentu dan hasil pada bagian lahan yang lainnya untuk petani penggarap.

Pada praktik tersebut terdapat unsur penipuan dan ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa kepada perselisihan antara keduanya. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 6

Page 7: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

tanaman yang tumbuh di area 300 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 700 m tertentu.

Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 300 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Apabila sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara tersebut merupakan pembagian yang lebih adil untuk kedua belah pihak.

Dengan demikian kita dapati bahwa pendapat jumhur ulama (Malikiyah, Hanafiyah dan Zhahiriyah) adalah pendapat yang lebih kuat, yaitu hukum bolehnya akad muzara’ah ini. Hal itu dikarenakan akad muzara’ah ini sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah dan maqasidnya. Akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan ketentuan hasilnya mereka bagi dengan sesuai dengan kesepakatan bersama.

2.4     Rukun dan Syarat Muzara’ah 1.      Menurut Ulama Hanafiyah

Rukun muzara’ah menurut ulama Hanafiyah hanya berupa ijab (ungkapan penyerahan lahan dari pemilik lahan) dan qabul (pernyataan menerima lahan untuk diolah dari petani) yang keduanya harus diucapakan secara jelas.

2.      Menurut Ulama HanafiyahAdapun ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adanya qabul. secara lafadz, namun cukup dengan suatu tindakan saja yang menunjukkan adanya qabul. Dengan demikian qabulnya hanya berupa perbuatan dari penggarap.Adapun jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka adalah:

a)      Pemilik lahanb)      Petani penggarap

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 7

Page 8: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

c)      Objek muzara’ah yaitu antara manfaat dan hasil kerja petani. Apabila bibit berasal dari petani maka objeknya adalah manfaat lahan dan apabila bibit berasal dari pemilik lahan maka objeknya adalah hasil kerja petani.

d)     Ijab dan qabul. Namun dalam hal ini, ulama mazhab Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan (qabul) akad muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung mengolah lahan tersebut.

Menururt Hanafiyah akad muzara’ah adalah sama dengan akad syirkah lainnya, yakni termasuk akad yang ghairu lazim (tidak mengikat). Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit, maka akad menjadi lazim (mengikat). Akan tetapi menurut pendapat yang kuat di kalangan Malikiyah, semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan telah terjadinya Ijab qabul. Sedangkan menurut Hanabilah muzara’ah dan musaqah merupakan akad yang ghairu lazim yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak dan akad menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak.

Adapun penjelesan mengenai syarat muzara’ah, secara singkat Ali ‘Abd ar-Rasul menjelaskan dalam karyanya al-Mabadi’ al-Iqtisadi fi al-Islam, bahwa syarat sah muzara’ah ada delapan, antara lain:Adanya dua pihak yang berakad1.      Adanya lahan yang subur untuk pertanian 2.      Jelasnya asal benih3.      Jelasnya bagian orang yang tidak membawa benih4.     Pemilik lahan tidak ikut campur dalam pengelolaan tanah tersebut

(pengelolaan diserahkan sepenuhnya pada penggarap)5.      Jelasnya jenis benih yang akan ditanam6.      Ketentuan bagian dari hasil pengelolaan lahan

Sedangkan syarat-syarat muzara’ah menurut jumhur ulama adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang yang akan ditanam, lahan yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad. 1.      Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang

yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat lain dari kalangan ulama mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan orang yang murtad dianggap mauquf (tidak punya efek hukum sampai ia masuk Islam kembali). Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan tersebut, karena akad muzara’ah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 8

Page 9: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang ditanam tersebut jelas dan akan menghasilkan.

3.      Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah: a)      Menurut adat dikalangan para petani, lahan tersebut bisa diolah dan

menghasilkan. Jika lahan tersebut adalah lahan yang tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan lahan pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.

b)      Batas-batas lahan itu jelas.c)      Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah. Apabila

disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut mengolah pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.

4.      Adapun syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah : a)      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas. b)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur

dari luar.c)      Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari

perselisihan nantinyad)     Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-

orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan bahwa bagian tetentu diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.

2.5   Bentuk-Bentuk Akad Muzara’ah

Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari segi sah atau tidaknya akad muzara’ah . Maka ada empat bentuk muzara’ah tersebut, yaitu:1.     Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani,

sehingga yang menjadi objek muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.

2.     Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi objek muzara’ah adalah manfaat lahan, maka akad muzara’ah juga sah.

3.      Apabila lahan, alat, bibit, dari pemilik lahan dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi objek muzara’ah adalah jasa petani, maka akad muzara’ah juga sah.

4.      Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan sedangkan bibit dan kerja dari petani maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikut pada lahan. Menurut

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 9

Page 10: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian menurut mereka harus mengikut pada petani penggarap bukan kepada pemilik lahan.

2.6   Akibat Akad Muzara’ah Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah , apabila

akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah: 1.      Petani (penggarap) bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya

pemeliharaan pertanian tersebut.2.      Biaya pertanian seperti biaya pupuk, penuaian serta pembersihan tanaman

ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.

3.      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak4.     Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak .

apabila tidak ada kesepakatan maka berlaku kebiasaan di tempat masing-masing.

5.     Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya.

Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muzara’ah yang fasid atau tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan diatas, antara lain:

1.      Tidak ada kewajiban apapun bagi muzari’ (penggarap) dari pekerjaan muzara’ah karena akadnya tidak sah.

2.      Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih, baik pemilik tanah maupun penggarap. Dalam hal ini malikiyah dan Hanabilah sepakat dengan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akadnya fasid maka hasil tanaman untuk pemilik benih.

3.      Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh upah atas pekerjaannya, karena fasidnya akad muzara’ah tersebut. Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah berhak memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam dua kasus ini status akadnya menjadi sewa-menyewa.

4.      Dalam muzara’ah yang fasid, apabila muzari’ telah menggarap tanah tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujrah al-misli), meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena muzara’ah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun dalam muzara’ah yang shahih, apabila tanah garapan tidak menghasilkan apa-apa, maka muzari’ dan pemilik tanah sama sekali tidak mendapatkan apa-apa.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 10

Page 11: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

5.      Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam muzara’ah yang fasid harus ditetapkan dengan jumlah yang disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar penuh, karena ia merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah dipenuhi oleh penggarap.

2.7 Ketentuan Muzara’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)

Dalam KHES pasal 256-265 dijelaskan beberapa peraturan berkaitan pelaksanaan akad muzara’ah , yakni:

1. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan menggarap.

2. Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang diterimanya.

3. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.

4. Akad muzara’ah dapat dilakukan secara mutlak dan atau terbatas.5. Jenis benih yang akan ditanam dalam muzara’ah terbatas harus dinyatakan

secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap.6. Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam dalam akad

muzara’ah yang mutlak.7. Penggarap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan,

keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.

8. Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muzara’ah mutlak.

9. Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing pihak.

10. Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muzara’ah , dapat mengakibatkan batalnya akad itu.

11. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan pelanggaran sebagaimana dalam huruf (10) menjadi milik pemilik lahan.

12. Dalam hal terjadi keadaan seperti pada ayat (11), pemilik lahan dianjurkan untuk memberi imbalan atas kerja yang telah dilakukan penggarap.

13. Penggarap berhak melanjutkan akad muzara’ah jika tanamannya belum layak dipanen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.

14. Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerjasama muzara’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 11

Page 12: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

15. Hak menggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen.

16. Ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad muzara’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal.

2.8 Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di IndonesiaPada dasarnya, baik muzara’ah, mukhabarah dan musaqat adalah

konsep kerja sama bagi hasil dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam praktiknya, sebenarnya muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan yang dikenal istilah bagi hasil. Khususnya di tanah Jawa, praktik ini biasa disebut dengan maro, mertelu dan mrapat. Penerapan sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat pedesaan yang hidupnya mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan membentuk kerjasama antara pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari rasa persaudaraan antara kedua belah pihak, dan juga sangat membantu mereka yang memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani.

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh. Perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam keentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa:

”Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap” berdasrkan perjanjian mana penggerap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggrakan usaha pertanian di atas pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”

Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum poin 3 disebutkan:

a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan oenggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.

b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 12

Page 13: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersdia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.

c. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan rakyat”.

2.9      Operasional Akad Muzara’ah di Lembaga Perbankan Syari’ahSektor pertanian (agribisnis) yang merupakan basis pertumbuhan ekonomi

pedesaan, sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, sampai saat ini para petani masih dihadapkan pada kesulitan pembiayaan untuk pengembangan usahanya. kurangnya keberpihakan perbankan syariah pada sektor pertanian indikasinya jelas, bahwa pembiayaan bank syariah dalam sektor pertanian masih sangat minim. Begitu banyaknya skim-skim bank syariah yang beroperasi saat ini, namun faktanya pembiayaan bank syariah dalam sektor ini masih sangat sedikit dibanding dengan sektor lainnya. Dengan kata lain, sektor pertanian masih dipandang sebelah mata oleh perbankan syariah saat ini

Hal ini dikarenakan dari sudut pandang perbankan sendiri sektor pertanian kurang menarik untuk berinvestasi. Karakteristik kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Selain itu, minimnya pembiayaan disektor ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi perbankan, sebab pembayaran terhadap pembiayaan yang diberikan tidak secepat pembiayaan dalam sektor perdagangan. Jika pada sektor perdagangan intensitas hasil dapat dihitung dalam waktu yang relatif singkat, bisa per-bulan, per-minggu bahkan per-hari. Berbeda dengan pembiayaan pertanian yang menunggu waktu yang relatif lama, empat atau enam bulan.

Dalam khazanah hukum bisnis syariah, hukum Islam telah memberikan aturan khusus bagi penerapan kontrak kerjasama pengolahan lahan tersebut dengan cara khusus sebagaimana dalam akad muzara’ah.. Secara teknis, kontrak muzara‘ah tidak berbeda jauh dengan kontrak mudharabah. Hanya saja muzara‘ah berarti khusus untuk pengolahan lahan pertanian sebagai pengganti dari produksi yang diatur oleh suatu aturan tertentu. Oleh karena itu, teknis pengaplikasian sistem ini dalam perbankan syariah hampir sama dengan sistem pembiayaan mudharabah.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 13

Page 14: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

Kondisi ini terjadi disebabkan terdegradasinya visi ekonomi syariah pada perbankan syariah, disamping ketidakmampuan perbankan syariah untuk menggali dan mendinamisasi konsep agribisnis syariah secara praktis di lapangan. Dengan demikian, menjadikan bank syariah sebagai bank yang hanya berorientasi profit minded tanpa memperhatikan kesejahteraan merata akan mereduksi makna kesyariahan, lebih dari itu akan mencederai ekonomi syariah itu sendiri.

Lebih penting dari itu, bahwa sudah saatnya umat Islam menggali sistem ekonomi Islam dalam bidang agribisnis yang teruji secara konsep dan praktis. Belum maksimalnya pemberdayaan ekonomi di bidang pertanian menunjukkan bahwa terjadi kesalahan dalam melihat konsep pertanian negeri ini. Adagium ibarat “petani mati di lumbung” menandakan terjadi kesalahan besar manajemen pertanian di Indonesia. Tentu pembahasan konsep ini harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sistem pertanian, manajemen pertanian hingga tata kelola swasta dan negara dalam bidang pertanian.

2.10    Zakat Muzara’ahZakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang

punya benih, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Adapun dalam mukhabarah yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

Menurut Yusuf Qardhawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang yang oleh karena itu wajib secara bersamaan menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq, mengeluarkan 5% atau 10% diambil dari kedua bagiannya.

2.11      Implikasi dari Penerapan Akad Muzara’ah Apabila praktik muzara’ah dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang telah dikemukakan diatas, maka secara riel diterapkannya bagi hasil dengan menggunakan akad muzara’ah akan berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti saling tolong menolong dimana antara pemilik tanah dan yang menggarapnya saling diuntungkan serta menimbulkan

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 14

Page 15: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

adanya rasa keadilan dan keseimbangan. Lebih lanjut hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah:

1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.

2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.

3. Dapat mengurangi pengangguran.4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri. 5. Dapat mendorong pengembangan sektor riel yang menopong pertumbuhan

ekonomi secara makro.

2.12      Berakhirnya Akad Muzara’ah 2[33]Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan

tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah karena sebab-sebab berikut:1.      Jangka waktu yang disepakati berakhir, akan tetapi apabila jangka waktu

sudah habis sedangkan hasil penen belum layak panen maka akad tersebut tidak dibatalkan sampai panen tiba, dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam waktu menunggu panen tersebut, menurut jumhur ulama petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimum yang berlaku bagi petani setempat. Selanjutnya, dalam masa menunggu masa panen tersebut biaya tanaman seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupkana tanggung jawab bersama pemilik lahan dan petani sesuai persentase pembagian masing-masing.

2.      Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Hanabila, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad muzara’ah berkahir, karena mereka berpendapat bahwa akad muzara’ah tidak dapat diwariskan. Akan tetapi ulama mazhab Maliki dan mazhab Syaafi’i berpendapat bahwa akad muzara’ah dapat diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berkahir dengan wafatnya salah satu pihak yaang berakad.

3.      Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik lahan maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad muzara’ah tersebut. Uzur yang dimaksud antara lain adalah:

a)     Pemilik lahan terbelit hutang, sehingga lahan pertanian tersebut harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi hutang tersebut.

2

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 15

Page 16: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi apabila tumbuh-tumbuhan tersebut telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka lahan tersebut boleh dijual sebelum panen.

b)    Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan ke luar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan untuk bisa sembuh sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

BAB IIIPENUTUP

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 16

Page 17: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa muzara’ah merupakan akad kerjasama antara pemilik tanah pertanian dan penggarap (petani) dengan cara pemilik tanah menyerahkan tanahnya berikut dengan benihnya kepada pihak penggarap untuk diolah yang hasilnya dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.Muzara’ah menurut jumhur ulama hukumnya diperbolehkan, karena muzara’ah adalah termasuk akad kerjasama antara modal dengan pekerjaan seperti halnya mudharabah.

Pada hakikatnya muzara’ah merupakan salah satu dari bentuk kerjasama bagi hasil dalam bidang pertanian. Adapun perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian

Akad muzara’ah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ijarah. Muzara’ah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Muzara’ah juga menyerupai akad ijarah dan upahnya adalah bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam praktik muzara’ah agar akad tersebut menjadi akad yang sah.

Jika merujuk dari karakter sistem muzara’ah, terdapat beberapa hikmah dan keuntungan yang dapat diambil dalam pemberlakuan akad tersebut, antara lain terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tertanggulanginya kemiskinan, terbukanya lapangan pekerjaan terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani.

Namun demikian, menurut hemat penulis sistem muzara'ah ini jarang sekali diaplikasikan dalam dunia perbankan, karena karakteristik kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Oleh karena itu diperlukan adanya pembedahan konsep teorotis ke dalam konsep aplikatif, sehingga akad muzara’ah mudah diberlakukan dalam membangun kerjasama antara sektor agribisnis dan sektor perbankan. Wallahu a’lam bi as-sawab

Daftar Pustaka

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 17

Page 18: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

---------,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2010.

Anwar, Moh., Fiqih Islam:Mua’amalah, Munakahat, faraid dan Jinayah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, Bandung:al-Ma’arif, 1988.

Dahlan,Abdul Azizi et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Ghazali, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, Cet. ke-1, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010.

Haroen, Nasroen, Fiqh Mu’amalah, Cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama,2007.

Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.

Muslich, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, Jakarta:Mizan, 2010.

Nabhani, Taqiyuddin an-, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Cet.ke-9, Surabaya: Risalah Gusti, 2009.

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta:Sinar Grafika,1996.

Qardlawi, Yusuf al-, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, cet ke-13, Beirut:al-Maktab al-Islam,1980.

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf Prima Yasa, 1995.

Rasul, Ali Abd ar-, al-Mabadi’ al-Iqtisa fi al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980.

Sahrani, Sohari dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Syariffudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor:Kencana, 2003.

Thayyar, Abullah bin Muhammad ath-, Ensiklopedia Fikih Muamalah dalam pandangan 4 Mazhab, alih bahasa Miftahul Khairi, Yogyakarta:Maktabah al-Hanif, 2009.

Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz 5, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 18

Page 19: Makalah Etika Bisnis Muzara'Ah aaaa

Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6, Cet ke-4, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Cet.ke-10, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.

Tugas Etika Bisnis disusun oleh: Ibnu hajar, Ian supandri, Ijang Asbar Page 19