makalah enteritis regional & kolitis ulseratif

67
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis). Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis. Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya secara jelas (Ardizzone, 2003). Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006). 1

Upload: riainairtif

Post on 26-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.

Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya secara jelas (Ardizzone, 2003).Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006).

Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit crohn dan kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn 1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1.

Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di usia lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis ulseratif, mampu melakukan tindakan asuhan keperawatannya dan mampu menginformasikan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif. 1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari enteritis regional?1.2.2 Bagaimana etiologi dari enteritis regional?

1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis dari enteritis regional?

1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari enteritis regional?

1.2.5 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari enteritis regional?

1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan dari enteritis regional?1.2.7 Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh enteritis regional?1.2.8 Apa definisi dari kolitis ulseratif?

1.2.9 Bagaimana etiologi dari kolitis ulseratif?

1.2.10 Bagaimana manifestasi klinis dari kolitis ulseratif?

1.2.11 Bagaimana patofisiologi dari kolitis ulseratif?

1.2.12 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari kolitis ulseratif?

1.2.13 Bagaimana penatalaksanaan dari kolitis ulseratif?

1.2.14 Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh kolitis ulseratif?

1.3 Tujuan1.3.1 Tujuan UmumMahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.1.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.1.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.1.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.1.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi penyakit kolitis ulseratif1.1.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi penyakit kolitis ulseratif1.1.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.1.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang terhadap pasien dengan penyakit kolitis ulseratif1.1.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.1.2.9 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif1.4 Manfaat1.4.1 Manfaat Teori

Mengetahui definisi etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, dan penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai calon perawat mampu memahami patofisiologi pada pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi Sistem Pencernaan

2.1.1 Mulut

Mulut adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga vestibulum (bukal) terletak di antara gigi dan, bibir dan pipi sebagai batas luarnya.

Batas-batas mulut adalah:

Atas

: palatum durum dan molle,

Bawah : mandibula, lidah dan struktur lain pada dasar mulut,

Lateral: pipi,

Depan: bibir,

Belakang: lubang menuju faring.

2.1.2 Faring

Faring adalah tabung fibromuskular yang melekat pada dasar tengkorak di atas dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Faring terdiri dari tiga bagian, nasofaring dan orofaring. Laringofaring ada di belakang epiglotis dan laring dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Makanan melewati orofaring dan laringofaring masuk ke dalam esofagus.

2.1.3 Esofagus

Esofagus adalah tabung muskular dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 0,5 cm.

Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan ke bawah leher dan toraks dan kemudian melalui crus sinistra diafragma memasuki lambung.

Di bagian depannya adalah:

Trakea dan kelenjar tiroid,

Jantung,

Diafragma.

Di bagian belakangnya:

Columna vertebralis.

Pada setiap sisi adalah:

Paru dan pleura.

Arcus aorta terletak pada sisi kiri esofagus dan aorta descendens awalnya terletak pada sisi kiri dan kemudian lewat di belakangnya, sehingga terletak di antara esofagus dan columna vertebralis.

Esofagus sedikit menyempit pada:

a. Ujung atas esofagus

b. Tempat bronkus menyilang esofagus

c. Tempat esofagus melewati diafragma

Komposisi

a. Lapisan dalam membran mukosa

b. Lapisan submukosa yang tebal, mengandung kelenjar mukus

c. Lapisan otot serat longitudinal dan sirkular

d. Lapisan fibrosa di bagian luar

Bolus memasuki sepertiga bagian atas esofagus kurang dari satu detik dan di dorong ke bawah melewati sisanya oleh kontraksi seperti cincin otot esofagus. Bolus yang lembab dan lunak mencapai pintu masuk lambung dalam beberapa detik, tetapi bolus yang kering mungkin harus didorong oleh gelombang sekunder, yang dapat terasa nyeri.

2.1.4 Lambung

Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah makanan di dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, respirasi, dan postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung sangat bervariasi.

Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri atas abdomen.

Lambung memiliki:

a. Permukaan anterior dan posterior

b. Curvatura minor pada sisi kanan

c. Curvatura mayor pada sisi kiri

d. Orificium cardia tempat esofagus bergabung

e. Fundus: kubah di atas tingkat orificium cardia, normal diisi oleh gelembung udara

f. Corpus: bagian terbesar lambung

g. Canalis pyloricus: tabung sempit di bawah corpus

h. Lubang pylorus: ke dalam bagian pertama duodenum

2.1.5 Usus Halus

Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileo-kolika, tempat bersambung usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar. Usus halus dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:

1. Duodenum

Merupakan bagian pertama usus halus yang memiliki panjang 25 cm, bentuknya seperti sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Isisnya adalah alkali. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau ampula Vateri, 10 cm dari pilorus.

2. Yeyenum

Letaknya 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya

3. Ileum

Letaknya 3/5 akhir.

2.1.5.1. Lapisan Usus Halus

Struktur usus halus, dindingnya terdiri dari 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu:

1. Dinding lapisan luar (serosa). Yaitu peritoneum yang membalut usus dengan erat.

2. Dinding lapisan berotot

Terdiri atas 2 lapis serabut, yaitu:

a. Lapisan luar terdiri atas serabut longitudinal

b. Lapisan tebal terdiri atas serabut sirkuler.

Diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh limfe dan plexus saraf.

3. Dinding submukosa

Terdapat antara otot sirkuler dan lapisan terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding ini terdiri atas jaringan areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus saraf yang disebut plexus Meissner. Di dalam duodenum terdapat beberapa kelenjar khasyang dikenal sebagai kelenjar Brunner. Kelemnjar-kelenjar ini adalah jenis kelenjar tandan yang mengeluarkan sekret cairan kental alakai yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam.

Dinding submukosa dan mukos

Dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut dengan mukosa muskhularis. Serabut-serabut berasal dari dari sini naik Vili dengan berkontraksi membantu mengososngkan semua lakteal.

4. Dinding mukosa dalamDinding ini yang menyelpauti sebelah dalamnya, disusun berupa kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes. Lipatan inin menambah luasnya ermukaan sekresi dan absorpsi. Dengan ini juga dihalangi agar isinya tidak terlalu cepat berjalan melalui usus. Dengan demikian memberi kesempatan lebih lama pada getah pencernaan untuk bekerja terhadap makanan. Lapisan mukosa ini berisi banyak lipatan Lieberkuhn yang bermuara diatas permukaan di tengah-tengah vili. Lipatan Liberkuhn ini berupa kelenjar sederhana yang diselaputi epitelium silinder. Epitelium ini bersambung menutupi vili.

Gb. 1Kedudukan usus halus dalam perbandingan terhadap kolon

Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjarsoliter. Di dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan kelenjar Peyer dan dapat berisi 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya 1 cm sampai bereapa sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam usu (tifoid). Permukaan valvulae koniventes tampak seperti beludru empuk karena adanya tajuk-tajuk serupa bulu halus yang disebut vili.

Gb. 2. Struktur sebuah vilus

2.1.5.2. Gerakan Usus Halus

Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengarbsorpsi khime dari lambung yang dijalankan oleh serangkaian gerak peristaltik yang cepat. Terdapat dua jenis gerakan lain, seperti berkut:

1. Gerakan segementalAdalah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karea diikat dengan gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair ini sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk digesti dan absorpsi. Kemudian segmen yang berisis itu hilang untuk timbul lebih jauh lagi dalam usus tadi.2. Gerakan pendulum atau ayunanGerakan ini menyebabkan isi usus bercampur. Dua cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran-salurannya yaitu empedu melalui hati dan getah pankreas dari pankreas.

Gb. 3. Bagian-bagian usus halus. (A) Bagian duodenum dan jejenum. (B) Vili. (C) Potongan pada villus memperlihatkan jaring-jaring kapilar, lakteal, dan hubungan antar kelenjar usus.

Ada tiga spesialisasi struktural yang memperluas permukaan absorptif usus halus sampai kurang lebih 600 kali, yaitu:

1. Plicae circulares adalah lipatan sirkular membran mukosa yang permanen dan besar. Lipatan ini hampir secara keseluruhan mengitari lumen.2. Vili adalah jutaan tonjolan menyerupai jari tingginya 0,2 mm- 1,0 mm yang memanjang ke lumen dari permukaan mukosa . Vili hanya ditemukn paadcausus halus, setiap vilus mengandung jaring-jaring kapilar dan pemuluh limfe yng disebut lakteal.3. Mikrovili adalah lipatan-lipatan menonjol kecil pada membran sel yang muncul pada tepi yang berhadapan dengan sel-sel epitel2.1.5.3. Kelenjar Usus Halus

1. Kelenjar-kelenjar usus (kripta Liebrkuhn) tertanam dalam mukosa dan membuka diantara basis-basis vili. Kelenjar ini mensekresi hormon dan enzim.a. Enzim yang dibentuk oleh sel-sel epitel dibutuhkan untuk melengkapi digesti.b. Hormon-hormon yang mempengaruhi sekresi dan motilitas salauran pencernan antara lain:2. Kelenjar penghasil mucusSel gobet terletak dalam epitelium di sepanjang usus halus. Sel ini memproduksi mukus pelindung.

3. Kelenjar Brunner terletak dalam submukosa duodenum. Kelenjar ini memproduksi mukus untuk melindungi mukosa duodenum terhadap kimus asam dan cairan lambung yang masuk ke pilorus melalui lambung.

4. Kelenjar enteroendokrin menghasilakn hormon-hormon gastrointestinal.

2.1.5.4. Jaringan limfatik

Leukosit dan nodulus limfe ada di keseluruhan usus halus untuk melindungi dinding usus terhadap invasi benda asing. Agregasi nodulus limfe yang disebut bercak Peyer terdaoat dalam ileum.

2.1.5.5. Fungsi usus halus

1. Mengakhiri proses pencernaan makanan yang dimulai dari mulut dan di lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim pankreas serta dibantu oleh empedu dalam hati.

2. Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.

2.1.6. Usus Besar

Panjang usus besar bervariasi, berkisar sekitar 150 cm. Dapat dibedakan dari usus halus dengan ukurannya yang lebih besar dan adanya taenia coli dan appendices epiploicae. Taenia coli adalah 3 pita serat otot longitudinal pada bagian luar colon dan memendek daripada seluruh dinding usus menyebabkan gambaran sakulasi atau berkerut. Appendiks dan rectum tidak memiliki taenia coli. Appendices epiploicae adalah umbai peritoneum yang mengandung lemak pada permukaan caccum.

1. Caecum

Caecum adalah kantong lebar, terletak pada fossa iliaca dextra. Ileum memasuki sisi kirinya pada lubang ileosekal, celah oval yang dikontrol oleh sfingter otot. Appendiks membuka ke dalam caecum di bawah lubang ileosekal. Caecum berlanjut ke atas sebagai colon ascendens.

2. Appendiks

Appendiks adalah tonjolan seperti cacing dengan panjang sampai 18 cm dan membuka pada caecum pada sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal. Appendiks memiliki lumen yang sempit. Lapisan submukosanya mengandung banyak jaringan limfe.

Appendiks berhubungan dengan mesenterium ileum oleh mesenterium pendek berbentuk segitiga yang di dalamnya berjalan pembuluh darah dan pembuluh limfe appendicular.

3. Colon ascendens

Colon ascendens membentang dari caecum pada fossa iliaca dextra ke sisi kanan abdomen sampai flexura colica dextra di bawah lobus hepatis dexter.

4. Colon transversum

Pada flexura colica dextra colon membelok ke kiri dengan tajam dan menyilang abdomen sebagai colon transversum dalam lengkungan yang dapat menggantung lebih rendah daripada umbilikus, dan naik pada sisi kiri berakhir pada flexura colica sinistra di bawah lien.

5. Colon descendens

Pada flexura colica sinistra, colon membelok kembali berjalan ke bawah pada sisi kiri abdomen sampai tepi pelvis, tempat colon berlanjut sebagai colon sigmoid.

6. Colon sigmoid (pelvicus)

Colon sigmoid memiliki beberapa lengkungan di dalam pelvis dan berakhir pada sisi yang berlawanan dengan pertengahan sacrum tempatnya berhubungan dengan rectum.

7. Rectum

Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dan mendapat namanya karena berbentuk lurus atau hampir lurus. Rectum dimulai pada pertengahan sacrum dan berakhir pada canalis analis.

2.2 Inflamasi Usus Halus

Penyakit inflamasi usus termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Keduanya ini merupakan kondisi penyakit otoimun dengan penyebab yang tidak diketahui, disertai aktivasi sitokin pro-inflamatori yang menyebabkan jaringan parut dan inflamasi jaringan. Kedua gangguan ini sangat dipengaruhi genetik dan diperparah dengan stres.

Membedakan kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn mungkin sulit dilakukan; pada 10% kasus tidak dibuat diagnosis diferensial. Etiologi kedua penyakit ini tidak diketahui meskipun penelitian sekarang memusatkan perhatiannya pada penyebab genetik, imunologi, diet, dan infeksi.

Kemungkinan ada hubungan antara spondilitis ankilosis dan histokompatibilitas antigen leukosit manusia (HLA-B27) dengan penyakit inflamasi usus. Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn memiliki gejala awal serupa, seperti diare, perdarahan dari rektum, nyeri abdomen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak-anak pada mulanya tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu, anoreksia, demam, dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal. Kedua kondisi tersebut ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Dapat timbul manifestasi ekstrakolon, seperti masalah sendi, kondisi-kondisi hepatobilier, ruam kulit, dan iritasi pada mata. Meskipun insidensi puncak penyakit inflamasi usus ini terjadi antara usia 15 dan 25 tahun, 15% dari semua kasus terjadi pada usia 15 tahun atau lebih muda. Prognosis penyakit ini bergantung pada faktor-faktor berikut:

1. Usia pada saat awitan dan kecepatan awitannya

2. Respons terhadap pengobatan

3. Tingkat keparahan

Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat penyempitan usus itu sendiri.

Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada kira-kira 50% kasus.

2.2.1. Enteritis Regional (Crohns Disease)

1. Definisi Enteritis RegionalPenyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling umum ditemukan pada usus halus (ileum terminal) (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula, dan penebalan dinding usus. Walaupun banyak persamaan antara kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, ada juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan klinis dan distribusi penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009). Inflamasi pada penyakit Crohn timbul sebagai lesi granulomatosa berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus yang terkena. Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal. Pada inflamasi kronis, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat gizi akan terganggu. Jika penyakit terlokalisasi terutama di kolon, keseimbangan air dan elektrolit dapat terganggu. Saluran atau fistula abnormal kadang-kadang terbentuk antara bagian saluran cerna dan antara saluran GI dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini dapat menyebabkan malabsorbsi dan infeksi.

Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus enteritis regional melibatkan usus halus, khususnya ileum terminal. Presentasi karakteristik enteristik regional adalah sakit perut dan diare, yang mungkin menjadi rumit oleh fistula usus, obstruksi, atau keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang sulit diprediksi dan mempunyai tingkat remisi jangka panjang (Aufses, 2001).

Pada tahun 1932, Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer mendeskripsikan penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan memengaruhi saluran gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian didokumentasikan bahwa enteritis regional bisa melibatkan bagian mana pun dari saluran gastrointestinal (Thoreson, 2007).

Gb. 4. Penyakit Crohn pada ileum dengan penyempitan segmen yang iregular (tanda panah)

2. Etiologi

Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara pasti. Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian besar ahli terlibat dalam patogenesis enteritis regional (Wu, 2009).

Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada enteritis regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip yang kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan memiliki kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). Pengaruh lingkungan seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada enteritis regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko rendah untuk pengenbangan enteritis regional dan berbanding terbalik dengan terjadinya risiko kolitis ulseratif (Thoreson, 2007). Kemungkinan infeksi seperti Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria mempunyai keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa radang dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber infeksi (Van Heel, 2001). Interleukin dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) juga terlibat dalam proses enteritis regional. Enteritis regional ini ditandai oleh pola respons imun selular T-helper tipe-1 yang mengarah pada produksi interleukin 12 (IL-12), TNF, dan interferon gamma (IFN-gamma). TNF telah ditunjukkan untuk memainkan peran penting dalam peradangan pada penyakit ini. Peningkatan produksi TNF oleh makrofag pada pasien dengan enteritis regional menyebabkan peningkatan konsentrasi TNF pada tinja, darah, dan mukosa (Wu, 2009).

3. Manifestasi Klinis

Di antara anak-anak penderita penyakit Crohn, gejala permulaan paling sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi dapat juga melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita ileitis terminal saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis granulomatosa). Penyakit Crohn jarang dijumpai pada umur 1 tahun pertama. Seperti pada kolitis ulserativa, penyakit Crohn cenderung mempunyai distribusi umur bimodal dengan puncak pertama mulai pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011).Penyakit Crohn dapat muncul dalam beberapa bentuk; manifestasinya cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat, derajat radangnya, dan adanya komplikasi seperti striktura atau fistula. Anak dengan ileokolitis khas menderita nyeri abdomen dengan kram dan diare, kadang-kadang dengan darah. Ileitis dapat muncul dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja. Kolitis Crohn dapat disertai dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan mendadak ingin buang kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa. Demam, malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan dengan keterlambatan pematangan tulang dan keterlambatan perkembangan seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2 tahun sebelumnya dan setidak-tidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa. Anak dapat datang dengan gagal tumbuh sebagai satu-satunya manifestasi penyakit Crohn. Retardasi pertumbuhan disertai dengan penurunan massa badan tetapi tidak disertai pengurangan lemak badan; kehilangan protein melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh meningkat. Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai = tags, fistula, abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin disertai dengan muntah berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus halus parsial, biasanya akibat penyempitan lumen usus karena radang atau striktura, dapat menyebabkan gejala-gejala nyeri abdomen dengan kram (terutama waktu makan), borborigmi, dan kembung abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai apabila anak merasakan gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak degukan (gurgling) isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter akibat perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada penyakit Crohn.

Manifestasi klinis penyakit Crohn menurut Diane, 2000 sebagai berikut:

1. Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda nyeri abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan defekasi.

2. Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini.

3. Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.

4. Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang mengalami inflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk abses intraabdominal dan anal.

5. Terjadi demam dan leukositosis.

6. Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi.

4. Patofisiologi

Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan diikuti dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang sel-sel inflamasi dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk granuloma. Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk ke dalam mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam bentuk abses yang dalam, menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan atrofi dari usus besar. Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk penumpukan vili di usus kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan sering terlihat (Thoreson, 2007).

Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema dari mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal di atas mukosa yang meradang. Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah sehat (Thoreson, 2007).

Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh dinding) membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait. Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering reversibel setelah mendapat agen antiinflamasi. Pada proses lanjut, halangan menjadi kronis akibat jaringan parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang menembus serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan malabsorbsi. Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atau enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya (Wu, 2009).

Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen menetap dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi pada 90% pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma memengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen yang terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram.

Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membran usus dan di tempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa kekurangan gizi. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air besar dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut lemak, dan batu ginjal. Malabsorpsi lemak, dengan penangkap kalsium, dapat mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan menyebabkan pembentukan batu ginjal (Chen, 2007).

5. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan malabsorpsi vitamin B12 atau folat.

b. Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, dan hipoprothrombinemia mungkin mencerminkan malabsorpsi.

c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau pengobatan steroid.

d. Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas penyakit. Laju endap darah/eritrosit sedimentation rate (ESR) dianggap lebih bermanfaat dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada kolitis ileitis.

2. Pemeriksaan radiografik

a. Studi kontras barium

Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).

b. Computed tomography scan

CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal (Mackalski, 2006).

c. Magnetic resonance imaging

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis enteritis regional (Chen, 2007).

3. Pemeriksaan UltrasonographyUltrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk komplikasi (Wu, 2009).

4. Pemeriksaan Kolonoskopi

Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon. Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi bedah untuk mengevaluasi anatomosis dan memprediksi kemungkinan kambuh klinis, serta respons terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski, 2006).

5. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sangat membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat terapeutik pada pasien dengan striktur kolangitis sklerosa (Wu, 2009).

6. Penatalaksanaan Medis

1. Penurunan respons diare :

a. Pemberian antidiare

b. Pemberian diet rendah lemak

c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg), dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125 mg)

d. Antiinflamasi

2. Terapi medikamentosa

Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik yang parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam kondisi mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-60 mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah resmi tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu). Berikan juga Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta Fe, asam folat, dan vitamin B12. Pada pasien yang kambuh setelah pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid tidak diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi serius, seperti nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak, diabetes, dan hipertensi.

3. Terapi imunosupresi

Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6-mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya risiko supresi sumsum tulang.

4. Terapi bedah

Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis regional untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi medis gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi fistula enterovesicular, enterocutaneous, cologastric, dan fistula coloduodenal.

Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus. Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun tindakan ini tidak bertujuan kuratif.

5. Diet

Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi.

Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen kalsium mungkin diperlukan.

Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200 kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal.

Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut :

a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak preoperatif).

b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek.

7. Komplikasi

a. Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)

b. Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh

c. Perforasi usus dan pembentukan abses

d. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)

e. Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada kolitis ulseratif)

f. Hemoragi

g. Abses hati dan penyakit hati

8. WOC Enteritis Regional

2.2.2 Penyakit Kolitis Ulseratif1. Definisi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit (Greenberg, 1988; Wong, 1996; Behrman & Nelson, 1996).

Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis (Yasmin Asih dkk, 1998).

Kolitis ulseratif adalah suatu kondisi yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi pada lapisan kolon dan rektum. Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap cedera atau iritasi dan juga dapat menyebabkan kemerahan, bengkak dan nyeri. Luka kecil terbuka, atau borok, tersebar pada permukaan lapisan kolon dan rektum bisa membunuh sel-sel yang melapisi sehingga menimbulkan perdarahan dan nanah. Ketika lapisan terjadi peradangan akan memproduksi ekstra mukus, merangsang usus besar untuk mempercepat pengosongan sehingga mengakibatkan diare. Peradangan biasanya dimulai di rektum dan usus besar bagian bawah, tetapi dapat mempengaruhi seluruh bagian usus besar. Kolitis ulseratif adalah salah satu dari dua penyakit utama Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan dideskripsikan sebagai kondisi kronis.2. Epidemiologi

Prevalensi Jenis Kelamin

Kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama besar, dari sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada wanita.Onset Usia

Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul ketika orang berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi antara usia 15-40 tahun tahun.

Prevalensi Geografis dan Ras

Kolitis ulseratif paling sering terjadi pada orang kulit putih keturunan Eropa (Ras Kaukasia), terutama yang berasal dari Yahudi Ashkenazi. Hal ini terlihat lebih umum di antara orang-orang yang telah tinggal selama beberapa generasi di Eropa Timur dan Rusia. Kondisi ini juga umum pada orang kulit hitam tetapi jarang pada keturunan Asia. Alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi di daerah perkotaan dan di negara-negara maju di Utara Eropa Barat dan Amerika dibandingkan dengan daerah pedesaan tidak diketahui. Namun telah terlihat bahwa prevalensi dan insidensi mulai meningkat di negara berkembang.

3. Klasifikasi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan bagian kolon dan beratnya peradangan. Jenis yang paling terbatas melibatkan hanya rektum yaitu proctitis, untuk yang paling luas melibatkan seluruh usus besar yaitu pancolitis. Sekitar dua orang dari sepuluh penderita kolitis ulseratif mengalami perluasan sampai usus besar setelah 10 tahun.1. Proctitis

Merupakan inflamasi yang terbatas pada rektum. Pada penderita proctitis cenderung ditemukan gejala utama lebih ringan yaitu perdarahan merah terang yang bisa bercampur dengan lendir. Penderita mungkin mengalami diare, atau memiliki tinja yang normal dan bahkan mungkin mendapatkan sembelit. Jika pada peradangan parah, akan terasa nyeri rektum dan perasaan mendesak untuk buru-buru ke toilet, tetapi yang keluar hanya angin. Selain itu, kulit di sekitar anus juga bisa mengalami iritasi.2. ProctosigmoiditisJenis kolitis ulseratif yang mempengaruhi rektum dan kolon sigmoid. Seperti proctitis, gejala yang ditemukan yaitu perdarahan dan rasa urgensi.3. Kolitis Distal (Left-side Colitis)

Pada kolitis distal terjadi peradangan dimulai di rektum dan terus ke sisi kiri usus besar, kolon sigmoid, kolon desendens sampai dengan lentur lienalis. Gejala termasuk diare dengan darah dan lendir, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan dan sakit parah di sisi kiri perut. Frekuensi diare cenderung lebih sedikit yaitu kurang dari 6 kali sehari.4. Extensive dan Pancolitis (Total Colitis)

Pankolitis merupakan inflamasi dari proksimal ke lentur lienalis, biasanya sampai dengan usus buntu. Ketika kolitis ulseratif mempengaruhi sebagian besar kolon, akan menyebabkan frekuensi diare yang sangat sering dengan darah dan lendir. Jika peradangan parah penderita bisa mengalami diare 20 kali sehari, dan bisa mengarah pada dehidrasi. Gejala lain yang dijumpai seperti sakit perut (parah), kram, demam, dan penurunan berat badan. Sangat jarang ketika peradangan parah, gas dapat terjebak dalam usus besar menyebabkan bengkak, dikenal sebagai megakolon toksik. Megakolon toksik menyebabkan demam tinggi, rasa sakit dan nyeri di perut.

Gambar Klasifikasi Kolitis Ulseratif4. Etiologi Kolitis UlseratifPenyebab pasti dari kolitis ulseratif masih idiopatik, namun hal ini dianggap sebagai penyakit autoimun. Dalam kondisi normal sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi dan infasi mikroba. Pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuhnya sendiri. Ada miliaran bakteri berbahaya terdapat di usus. Pada penyakit radang usus seperti penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sistem kekebalan tubuh menyerang bakteri berbahaya di dalam usus besar dan berbalik menyerang jaringan usus besar, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi atau radang.Faktor yang berkontribusi pada patogenesis kolitis ulseratif yaitu faktor genetik, interaksi dengan lingkungan, faktor-faktor lain seperti hubungan dengan paparan untuk infeksi pada periode perinatal atau kehidupan awal, kebalikannya hubungan dengan menyusui, administrasi non steroid anti-inflamasi obat, dan inversi hubungan dengan usus buntu sebelum usia 20 tahun.Penyebab mengapa sistem kekebalan tubuh bertindak seperti itu masih belum jelas. Beberapa hipotesis mengenai penyebab kolitis ulseratif meliputi:

1. Sistem ImunologikSetelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh tidak lantas menjadi nonaktif. Sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif mengarah ke peradangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi oleh miliaran bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan manifestasi dari hipotesis autoimun dibalik penyebab kolitis ulseratif.Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.2. Faktor Genetik

Terdapat studi populasi yang mengungkapkan bahwa setidaknya 1 dari 6 orang dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi seperti ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian masyarakat dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena. Faktor resiko pada orang kulit putih keturunan Eropa terutama yang berasal dari komunitas Yahudi Ashkenazi lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit hitam dan orang keturunan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit. Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa gen yang tampaknya bisa memprediksi apakah seseorang akan terkena kolitis ulseratif, tetapi mekanisme secara tepat belum diketahui.

3. Faktor Lingkungan

Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di bagian utara Eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan hubungan kolitis ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polusi udara, diet dan kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini sangat berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode diet kebarat-baratan bisa menjadi kunci untuk penyebab dari kolitis ulseratif.

Selain itu, anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang semakin bebas kuman gagal terkena mikroba yang diperlukan yang membantu dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh. Ini disebut hipotesis kebersihan dan menunjukkan mengapa mereka yang tinggal di negara berkembang dan negara miskin dengan standar kebersihan yang lebih rendah relatif lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan kolitis ulseratif. Bersama dengan hipotesis lain seperti penggunaan kontrasepsi oral, infeksi mikobakteri atipikal dll belum terbukti meningkatkan risiko khususnya kolitis ulseratif.

Merokok adalah faktor lingkungan yang penting. Kolitis ulseratif lebih umum di kalangan mantan perokok dan non perokok, sementara penyakit Crohn lebih umum di kalangan perokok. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan resiko penyakit kolitis ulseratif diantara perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Analisis meta menunjukkan resiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan bukan perokok.4. Faktor Infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.

5. Faktor PsikologikGambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya. 5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis kolitis ulseratif dapat diamati dari berbagai gangguan yang diakibatkan dari penyakit tersebut. Gejala utama adalah diare dan ditemukan darah yang berwarna merah terang pada feses dengan frekuensi sering (antara 4 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah, akibat adanya iritasi rektum yang meradang. Gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan.Proktitis ditandai dengan gejala tenesmu, urgensi dan feses lembek bercampur darah serta lendir. Hal sebaliknya terjadi pada kolitis sisi kiri atau pankolitis, pada kondisi tersebut dapat ditemukan diare berdarah dan sakit perut secara bermakna. Sebagian besar pasien akan datang dengan riwayat gejala selama beberapa minggu, dan maka dari itu kegagalan pertumbuhan jauh lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan penyakit Crohn. Tingkat keterlibatan mukosa kolon dan tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan manifestasi klinis dari kolitis ulseratif.Tanda dan gejala kolitis ulseratifKolonSistemik

Perdarahan rektum

Diare

Tenesmus

Inkontinensia fekalKram perut bagian bawahNyeri pada saat defekasi nyeri hilang setelah defekasiIritasi peritoneumKelelahan

Demam

Anoreksia

Ketidakseimbangan elektrolit

Penurunan berat badan (kehilangan berat badan 5-10 kg dalam 2 bulan)

Takikardia

AnemiaPeningkatan LED

Leukositosis

Flatulensi

Retardasi pertumbuhan

Tingkatan gangguan pada kolon berhubungan dengan manifestasi klinik dari kolitis ulseratif.Ringan (mild)Sedang-berat (moderate/severe)Fulminan

Buang air besar 4 kali per hari

Adanya darah dalam feses setiap hari

Tidak ada gejala sistemikBuang air besar 5 kali per hari

Adanya darah dalam feses setiap hari

Dengan atau tanpa gangguan sistemikPerdarahan lebih jelas tiap hari

Demam lebih dari 38 C

Takikardi

Hemoglobin 8 gr/dl

Serum albumin 3,0 gr/dl

Perbandingan penyakit inflamasi usus antara kolitis ulseratif dengan penyakit crohn

KarakteristikKlitif UlseratifPenyakit Crohn

Perdarahan usus

Diare

Nyeri abdomen

Anoreksia

Penurunan berat badan

Retardasi pertumbuhan

Lesi anal dan perianal

Fistula dan strikturUmum, ringan sampai berat

Sering berat

Jarang

Ringan sampai sedang

Ringan sampai sedang

Biasanya ringan

Jarang

Jarang Tidak umum, ringan sampai berat

Ringan sampai berat

Umum

Mungkin berat

Mungkin berat

Umum

Umum

6. Patofisiologi Kolitis UlseratifKolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh. Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksis, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukkan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma insitu atau dispalsia. Secara anatomis sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superficial kolon dan dikarekteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan deskuamasasi atau pengelupasan epithelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuiti lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi muscular dan deposit lemak.Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma dan eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelanjar ikut meradang dan terjadi abses-abses di kripta-kripta Lieberkuhn.Kemudian terdapat destruksi kelenjar-kelenjar dan ulserasi pada epitel. Makroskopis mukosa kelihatan hiperemis secara difus pada keadaan yang ringan dan kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat. Dinding usus bisa menjadi tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.Pada waktu penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan sehingga menyerupai suatu polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun, usus akan menjadi lebih pendek, sering timbul penyempitan lumen, walaupun striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita, proses radang hanya terdapat pada rektum.Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversible.Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.Proses alteratif ulseratif superfisialis dan granulasi yang diikuti oleh reepitelisasi bisa menyebabkan tonjolan yang membentuk polip peradangan (pseudopolip), yang tidak neoplastik. penyakit yang berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina muskularis mukosa dan bila disertai oleh fibrosis pasca peradangan, terjadi pemendekan kolon serta mengakibatkan terjadinya megakolon.7. Pemeriksaan PenunjangKolitis ulseratif bisa sulit untuk didiagnosis karena gejala yang mirip dengan gangguan usus lainnya dan penyakit Crohn. Perbedaan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif bahwa pada penyakit Crohn menyebabkan peradangan lebih dalam di dinding usus dan dapat terjadi di bagian lain dari sistem pencernaan, termasuk usus halus, mulut, kerongkongan.Pasien yang diduga kolitis ulseratif dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan riwayat medis pada angkah pertama dalam mendiagnosis, selanjutnya diikuti oleh satu atau lebih tes dan prosedur.3.7.1 Riwayat medis

Perjalanan tanda dan gejala, onset usia, keparahan gejala, kemungkinan pemicu flare up yang diperoleh. Riwayat keluarga dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota keluarga yang pernah mengalami kolitis ulseratif.3.7.2 Pemeriksaan fisikLangkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik pasien. Kesehatan umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan nyeri abdomen.

3.7.3 Tes darah

Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Tes darah rutin membantu untuk mendeteksi anemia yang dapat menjadi indikasi adanya perdarahan di kolon atau rektum, atau untuk mengetahui jumlah sel darah putih yang tinggi (tanda peradangan di suatu tempat di tubuh). Ada dua tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan peradangan, merupakan tes non spesifik namun dan dapat memberikan hasil positif jika ada infeksi dalam tubuh.

3.7.4 Antibody markers and in-depth blood tests

Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh sebagai bagian dari proses peradangan. Pengujian meliputi Perinuklear Anti-neutrofil Antibodies (pANCA) dan Anti-Saccharomyces Cerevisiae Antibodi (ASCA). Antibodi ini disebut biomarker. Banyak pasien dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA dalam darah mereka sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk memiliki ASCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi mungkin positif pada pasien tanpa penyakit kolitis ulseratif.3.7.5 Tes tinja

Petugas medis akan memberikan pasien wadah untuk menampung dan menyimpan tinja. Sampel dikirim ke laboratorium untuk analisis. Sampel juga memungkinkan petugas medis untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi pada kolon atau rektum yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.3.7.6 Sinar X barium enema

Suatu larutan Barium diberikan kepada pasien untuk diminum sebelum sinar X abdomen dilakukan. Senyawa radio-opak akan muncul di sinar-X, garis-garis besar dinding usus dapat terlihat dengan jelas. Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan.Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus. Hal ini dapat membantu dalam diagnosis.3.7.7 Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi

Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa kolitis ulseratif. Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan luasnya peradangan usus. Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan seluruh usus besar, sementara sigmoidoskopi fleksibel digunakan untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih rendah. Ini melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan kamera pada ujungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang menyakitkan dan dilakukan dengan sedasi . Biasanya diperlukan waktu sekitar 15 menit sampai setengah jam untuk menyelesaikan.Gambar-gambar dari dinding usus ditransmisikan ke komputer, dokter bisa melihat bagian dalam dinding usus. Sigmoidoscope ini hanya mampu melihat rektum dan bagian bawah usus besar sementara kolonoskopi meliputi seluruh usus sampai persimpangan ileocecal. Tes ini melayani tujuan lain mengesampingkan kondisi usus lain dengan gejala serupa termasuk kanker usus.

Tes lain yang serupa adalah EGD (Esophagogastroduodenoscopy) yang menggunakan prinsip yang sama untuk memeriksa lapisan kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam mengesampingkan penyakit Crohn karena kondisi ini dapat mempengaruhi saluran pencernaan bagian atas juga. Kapsul enteroscopy menggunakan kapsul kecil dengan sensor dan kamera yang diambil sebagai pil dan yang mentransmisikan gambar dari dalam usus.

ERCP (Endoscopic retrograde cholangiopancreatography) adalah tes lain yang meneliti saluran empedu di hati dan saluran pankreas. Hal ini membantu untuk menyingkirkan primary sclerosing cholangitis (PSC) yang terlihat pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif.

3.7.8 CT scan CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi komplikasi kolitis ulseratif termasuk abses, fistula, dan penyumbatan usus. Ini juga dapat membantu mendiagnosa kanker usus.

Temuan-temuan kolitis ulseratif dapat diperoleh dari pemeriksaan endoskopi atau radiologi kolon, pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi lebih sensitif untuk penyakit ringan dan memberikan peluang untuk sekaligus melakukan biopsy.Evaluasi ultrasonografi ketebalan usus merupakan pemeriksaan yang dapat diandalkan, merupakan modalitas pencitraan non invasif untuk diagnostik dan follow-up klinis pasien IBD. Penggunaan kombinasi kalprotectin feses, ASCA/PANCA, dan pengukuran ultrasonografi dinding adalah strategi pengambilan keputusan klinis yang berguna. Jika hasil tes positif, pasien kemudian akan menjalani evalusai lengkap.

Derajat kolitis ulseratif berdasarkan pemeriksaan endoskopi.

1. Tahap 0: kapal mukosa sedikit tertekuk, pucat

2. Tahap 1: eritema, sedikit granularitas

3. Tahap 2: individu ulserasi, tidak ada kapal terlihat, perdarahan spontan

4. Tahap 3: ulserasi lebih besar, perdarahan spontan, edema mukosa

Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari haustras; pada tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra. Lebih dalam borok dapat merusak mukosa, yang menyebabkan pengembangan ulserasi khas. Evaluasi dengan kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas dan beratnya persentasi kolitis ulseratif.

Prosedur pemeriksaan sigmoidoskopi dapat membantu untuk menemukan adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan kolon, saat disentuh dapat juga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema pada stadium dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus yang berisi barium berbulu.

Gambar jenis Sigmoidoscopy

8. Penatalaksanaan MedisTerapi obat

Pengobatan untuk kolitis ulseratif tergantung pada beratnya penyakit. Masing-masing individu memiliki pengalaman kolitis ulseratif yang berbeda, sehingga pengobatan disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat adalah untuk mendorong dan mempertahankan remisi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa jenis obat-obatan yang tersedia.

a. Aminosalicylates

Kelas obat yang mengandung Asam 5-aminosalicyclic (5-ASA), membantu mengontrol peradangan. Sulfasalazine adalah kombinasi dari sulfapyridine dan 5-ASA. Komponen sulfapyridine membawa antiinflamasi 5-ASA ke usus. Namun, sulfapyridine dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen yang lain dari 5-ASA seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa yang berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orang-orang yang tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara oral, melalui enema, atau supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon. Kebanyakan pasien kolitis ulseratif tingkat mild atau moderate diberikan kelompok obat ini. Kelas obat ini juga digunakan dalam kasus kekambuhan.b. Kortikosteroid

Kelas obat seperti prednisone, methylprednisone dan hidrokortisone juga mengurangi peradangan. Kelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif yang memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5-ASA. Kortikosteroid juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral , intravena, melalui enema, atau dalam supositoria tergantung pada lokasi peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping seperti kenaikan berat badan, jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati, kehilangan massa tulang dan resiko infeksi. Kelas obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk penggunaan jangka pendek.

c. Immunomodulators

Kelas obat seperti azathioprine dan 6-mercapto-purine (6-MP) mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Obat ini digunakan untuk pasien yang tidak merespon 5-ASAs atau kortikosteroid atau ketergantungan pada kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secara oral, namun bereaksi secara lambat sehingga bisa memakan waktu hingga 6 bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang memakai obat ini harus dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis, berkurangnya jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. Siklosporin A dapat digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe kolitis ulseratif pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena.

Obat lainnya bisa diberikan untuk menimbulkan efek rileks pasien atau untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau infeksi. Beberapa orang memiliki remisi (periode ketika gejala hilang) selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Namun, sebagian sesar gejala pasien kembali.Tabel obat yang dapat membantu meringankan gejala.

Pembedahan

Gejala kolitis ulseratif yang cukup parah mengakibatkan seseorang harus dirawat di rumah sakit. Misalnya, seseorang mengalami perdarahan berat atau diare berat sehingga dehidrasi. Dalam kasus tersebut harus ditangani untuk menghentikan diare dan kehilangan darah, cairan, dan garam mineral. Pasien mungkin perlu diet khusus, makan melalui pembuluh darah, obat-obatan, atau pembedahan.

Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk dilakukan pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif, penyakit parah, pecahnya kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan merekomendasikan pemotongan kolon jika penatalaksanaan medis gagal atau jika efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam kesehatan pasien. Pembedahan untuk mengangkat kolon dan rektum, dikenal sebagai proctocolektomy, diantaranya sebagai berikut:

a. Ileostomy

Ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel di ileum. Feses dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma. Stroma terletak di bagian abdomen dekstra bawah.

b. Ileoanal Anastomosis

Pull-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan usus normal karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli bedah mengangkat kolon dan rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar rektum. Ahli bedah kemudian menempelkan ileum ke dalam rektum dan anus, menciptakan sebuah kantong. Feses atau kotoran disimpan dalam kantong dan melewati melalui anus dengan cara biasa. Frekuensi buang air besar mungkin lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan kantong (pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.

Tindakan operasi dilakukan sesuai tingkat keparahan penyakit dan kebutuhan pasien, harapan, dan gaya hidup. Pasien dihadapkan pada keputusan ini sehingga sebelumnya harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin dengan berbicara dengan dokter, kepada perawat menangani pasien operasi usus besar (enterostomal therapists).

9. Komplikasi Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada kolitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan resiko terjadinya kanker karena Inflammatory Bowel Disease lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).

Kolitis ulseratif dapat menyebabkan masalah di luar usus. Beberapa penderita mendapatkan kondisi lain, terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan kulit. Kolitis ulseratif juga dapat mempengaruhi tulang, mulut, ginjal, hati, dan sirkulasi darah.10. WOC Kolitis Ulseratif

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat penyempitan usus itu sendiri.Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada kira-kira 50% kasus.

3.2 SaranMenurut kelompok kami, untuk menurunkan resiko gangguan pada usus, pasien yang menderita gangguan sistem pencernaan seperti enteritis regional dan kolitis ulseratif hendaknya melakukan terapi medis maupun non-medis secara kontinyu, melakukan pola gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, diet teratur sesuai dengan kebutuhan, menjaga kestabilan emosional dan lain-lain.DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: GramediaBetz, Cecily Lynn. 2009. Buku saku keperawatan pediatri. Jakarta: EGCDoenges, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba MedikaInayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika

Kliegman, Robert M., dkk. 1999. Nelson textbook of pediatrics. Jakarta: EGC

Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC

Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit ErlanggaGibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGCAriestine, Dina Aprillia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik, dan PatogenesaSodikin. 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier (hal.252-255, hal.260-263). Jakarta: Salemba MedikaSchwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri (hal. 279-280). Jakarta: EGC. Ulcerative Colitis Edition 7. National Association for Colitis and Crohns Disease (NACC). 2011Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OAINS

Respon peningkatan progresifitas enteritis regional

Malabsorpsi

Enteritis regional

Respons psikologis

Gangguan gastrointestinal

Penyempitan lumen intestinal

Mual, muntah, kembung, diare, anoreksia

Gangguan transportasi makanan

Kecemasan Pemenuhan Informasi

Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output cairan berlebih

Nyeri

Kekuatan jaringan pascabedah

Jaringan parut dan pembentukan granumola

Penurunan absorpsi nutrisi dan asam folat

Pembentukan fistula enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal, atau enterokutaneous

Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit

Intervensi bedah total kolektomi dan ileostomi

Kram abdomen

Frekuensi BAB meningkat

Preoperatif

Pascaoperatif

Diare

Perdarahan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Respons psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan

Port de entree pascabedah

Kekurangan volume cairan

Risiko infeksi

Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas

Penurunan kemampuan batuk efektif

Kecemasan Pemenuhan Informasi

Resiko gangguan Integritas kulit

Rasa perih di daerah anus ketika BAB

Faktor imunitas, faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan, faktor infeksi, faktor psikologik

Kolitis ulseratif

Infeksi kuman

Lesi pada mukosa usus

Permeabilitas usus meningkat

Mengeluarkan toksin

Pembentukan abses

Abses pecah

Absorbsi berkurang

Adanya gangguan fungsi mukosa

Merangsang reseptor nyeri

Iritasi pada mukosa

Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit

Pengeluaran neurotransmitter

Gangguan keseimbangan floral usus

Tukak tersebar

Stadium lanjut

Frekuensi BAB meningkat

Persepsi nyeri

Bakteri usus meningkat

Tahap kronik

Asam lambung meningkat

Nyeri

Cemas, takut, gelisah

Diare

Perdarahan

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Mual muntah tidak nafsu makan penurunan berat badan

Ansietas

Intoleransi aktivitas

Badan Lemas (5L)

Kekurangan volume cairan

Anemia

Resiko gangguan Integritas kulit

Rasa perih di daerah anus ketika BAB

44