makalah ekologi industri pabrik gula

27
EKOLOGI INDUSTRI MAGISTER TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN JURUSAN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOYGAKARTA 2010 KELOMPOK : SATYA DARMAYANI RAUDATI HILDAYATI NOVI LAURA INDRAYANI EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI PENGOLAHAN TEBU

Upload: tya-asteria-theya

Post on 11-Aug-2015

795 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

Kawasan industri di Indonesia pada umumnya berupa kumpulan industri yang belum memiliki hubungan satu dengan yang lain. Dengan memasukkan pertimbangan aspek lingkungan pada tahap perancangan, akan dapat dihasilkan suatu industri yang tidak hanya lebih ekonomis tetapi juga berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme.

TRANSCRIPT

EKOLOGI INDUSTRI

MAGISTER TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

JURUSAN TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOYGAKARTA

2010

KELOMPOK :

SATYA DARMAYANI

RAUDATI HILDAYATI

NOVI LAURA INDRAYANI

EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI

PENGOLAHAN TEBU

EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI PENGOLAHAN TEBU

Kawasan industri di Indonesia pada umumnya berupa kumpulan industri yang belum

memiliki hubungan satu dengan yang lain. Tahapan pendirian suatu industri dimulai dengan

penemuan proses pada tahap riset, kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan dan

perancangan proses, peralatan, evaluasi ekonomi, konstruksi, serta operasi. Dalam

perancangan industri harus feasible secara teknis, ekonomis, memperhatikan aspek

keselamatan yang maksimal dan mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Dengan

memasukkan pertimbangan aspek lingkungan pada tahap perancangan, akan dapat dihasilkan

suatu industri yang tidak hanya lebih ekonomis tetapi juga berwawasan lingkungan. Hal ini

dapat dilakukan dengan memilih bahan baku dan proses yang menghasilkan sedikit limbah

atau menghasilkan limbah tetapi dapat dimanfaatkan kembali secara berkelanjutan. Konsep

industri berwawasan lingkungan sangat penting untuk diterapkan mengingat daya dukung

alam semakin menurun dibandingkan pertumbuhan industri yang begitu cepat. Dalam konsep

ekologi industri seperti pada Gambar 1, kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga

industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam

kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.

Gambar 1. Tipe Kawasan Industri

Penataan kawasan ekologi industri dapat dimulai dari pendirian kawasan industri

terpadu di dekat kawasan pertanian masyarakat. Sebagai contoh kawasan ekologi industri

berbasis industri pengolahan tebu. Tebu adalah bahan baku dalam pembuatan gula (gula

kristal putih, white sugar plantation) di pabrik gula. Dalam operasionalnya setiap musim

giling (setahun), pabrik gula selalu mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padatan dan

gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di laboratorium dan luberan bahan olah yang

tidak disengaja. Limbah padat meliputi ampas tebu, abu dan debu hasil pembakaran ampas di

ketel, padatan bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas

cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian cara sulfitasi.

Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula, diproduksi

dalam jumlah 32 % tebu, atau sekitar 10,5 juta ton per tahun atau per musim giling se

Indonesia. Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai produk pendamping, karena ampas tebu

sebagian besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk

memproduksi energi keperluan proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4 % produksi

ampas). Sisanya (sekitar 0,3 juta ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat

menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar pabrik gula.

Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan

mengalami fermentasi yang menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94oC akan

terjadi kebakaran spontan.

Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira, diproduksi sekitar

3,8 % tebu atau sekitar 1,3 juta ton. Limbah ini sebagian besar diambil petani untuk dipakai

sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang di lahan terbuka, dapat menyebabkan polusi udara,

pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar lahan tersebut. Sedangkan belerang dioksida

(SO2) merupakan limbah gas yang keluar dari cerobong reaktor sulfitir pada proses pemurnian

nira tebu yang kurang sempurna menyebabkan polusi udara di atas pabrik dan pemakaian

belerang menjadi lebih tinggi dari normal.

Tetes (molasses) sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar 4,5 % tebu

atau sekitar 1,5 juta ton. Tetes tebu sebagai produk pendamping karena sebagian besar dipakai

sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin (sodium glutamate), alkohol atau spritius dan

bahkan untuk komoditas ekspor dalam pembuatan L-lysine dan lain-lain. Namun untuk hal ini

dibutuhkan kandungan gula dalam tetes yang cukup tinggi, sehingga tidak semua tetes tebu

yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu. Akibatnya tidak sedikit pabrik gula yang mengalami

kendala dalam penyimpanan tetes sampai musim giling berikutnya, tangki tidak cukup

menampung karena tetes kurang laku, atau memungkinkan terjadinya ledakan dalam

penyimpanan di tangki tetes sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi.

Dalam analisa kontrol kualitas bahan alur proses di laboratorium dihasilkan limbah

bekas analisa yang berbentuk cairan dan padatan yang mengandung logam berat (Pb). Logam

tersebut berasal dari bahan penjernih Pb-asetat basa yang digunakan untuk analisa gula dalam

pengawasan pabrikasi. Bahan penjernih tersebut telah digunakan sudah cukup lama, sejak satu

abad yang lalu. Diperkirakan untuk pabrik gula yang berkapasitas 4000 ton tebu per hari

diperlukan tidak kurang dari 100 kg Pb per musim giling. Dapat dibayangkan untuk pabrik

gula seluruh Indonesia, khususnya di Jawa, diperkirakan sekitar 5 ton Pb per tahun dibuang

sebagai limbah analisa gula, atau sekitar 500 ton Pb tersebar di perut bumi Pulau Jawa selama

seabad.

Dari uraian di atas tampaknya perancangan, penanganan, pencegahan dan

pemanfaatan limbah pabrik gula yang lebih “tajam” perlu digalakkan agar limbah yang

mengganggu, polusi udara, tidak ramah lingkungan, membuat pandangan dan bau yang

kurang sedap dapat diatasi dengan baik. Yang terpenting dalam perancangan, penanganan,

pencegahan dan pemanfaatan limbah tersebut mempunyai prinsip menangani masalah limbah

tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada lingkungan.

Perancangan, Penanganan, Pencegahan dan Pemanfaatan Limbah

Perancangan Kawasan

Saat terbaik untuk memasukkan pertimbangan penerapan ekologi industri adalah

pada tahapan awal perancangan proses, yaitu pada saat riset dan pengembangan proses. Hal ini

disebabkan kebijakan yang dibuat pada saat awal pengembangan proses seringkali akan

menentukan aktifitas pengembangan pada tahapan selanjutnya, seperti dalam hal pemilihan

jenis peralatan, material, dan kondisi proses. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan

mengarahkan isu lingkungan pada awal siklus pengembangan, masalah teknis dan nonteknis

(konsekuensi ekonomis dan peraturan perundangan) yang akan muncul di depan dapat

diantisipasi. Hal ini dapat mereduksi resiko teknis dan ekonomis yang berkaitan dengan isu

lingkungan.

Gambar 2. Kawasan Ekologi Agroindustri

Gambar kawasan ekologi industri di atas menjelaskan proses penataan kawasan

dimulai dari kawasan pertanian tebu rakyat. Hasil tebu diproses di industri gula menghasilkan

produk gula dan produk samping tetes tebu serta selulosa. Tetes tebu digunakan sebagai bahan

baku industri penyulingan etanol sedangkan serat selulosa dimanfaatkan sebagai bahan baku

industri kertas. Pada industri kertas dihasilkan produk kertas dan limbah lumpur yang telah

diolah dapat menjadi bahan baku industri pupuk organik. Industri penyulingan etanol dapat

menghasilkan produk etanol dan efluen yang dapat dijadikan bahan baku industri biogas.

Industri biogas dapat menghasilkan energi yang dapat memasok kawasan tersebut. Limbah–

limbah yang dihasilkan telah sangat berkurang kuantitas dan sifat toksisitasnya. Limbah

tersebut diolah secara terpadu sehingga dihasilkan limbah yang ramah lingkungan. Air limbah

yang telah diolah dapat juga dikembalikan sebagai air proses di industri.

Penanganan Limbah

Sisa Ampas atau ampas lebih. Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku

energi listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak untuk sisa ampas

(produksi ampas – ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit energi untuk proses)

adalah ditempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan

berat jenis ampas, kemudian diikat agar ampas tidak mudah lepas berterbangan (mawur).

Selanjutnya ampas bal siap untuk digudangkan.

Debu dan abu hasil pembakaran ampas. Penanganan debu hasil pembakaran ampas

dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust collector yaitu

wet atau dry scrubber sebelum keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil pembakaran

ampas ditanam bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air. Hal ini

dilakukan agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari kebakaran

karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent.

Blotong. Penanganan awal untuk sisa blotong (produksi blotong - blotong yang telah

dimanfaatkan petani) perlu ditangani dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan

awal sebelum dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari

pandangan dan bau yang tidak sedap.

Limbah cair dan padat bekas analisa gula di laboratorium. Limbah cair bekas

analisa gula di laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut

untuk di-elektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil dari

elektroda sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas analisa gula di

laboratorium dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam tempat pembuangan akhir.

Selanjutnya limbah cair yang telah ditritmen dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan

cairan lainnya (pendingin alat mesin pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air

kebutuhan karyawan pabrik) dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah

dengan teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah untuk dipakai kembali

sehingga dapat mengurangi suplei air segar sampai 0,6 – 1 M3 per ton tebu dan beban polutan

dapat diturunkan sampai nihil.

Tetes tebu. Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat ditangani dengan cara

mengantisipasi suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke tangki tetes suhu tetes harus berkisar

antara 35 – 40oC. Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin

sehingga tetes yang keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 – 40oC.

Pencegahan Limbah

Blotong dan SO2. Pemakaian bahan pembantu proses (kapur dan belerang) yang

berlebihan dapat ditekan dengan kontrol kondisi proses pemurnian nira yang efektif melalui

optimasi pH, suhu dan waktu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku yang diolah dan

hasil pemurnian yang ingin dicapai maka kondisi operasional proses yang optimal dapat

ditetapkan, sehingga pemakaian bahan pembantu proses dapat ditekan. Dampaknya jumlah

blotong dan gas SO2 dapat ditekan pula. Limbah cair atau padat bekas analisa di laboratorium.

Pencegahan terjadinya limbah logam berat berkategori B3 karena penggunaan bahan penjernih

Pb-asetat basa dapat dinihilkan melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL)

sebagai alternatif pengganti bahan penjernih berkategori B3 tersebut. Sehingga dengan

demikian, cairan yang dihasilkan (filtrat) langsung dapat dikirim ke tempat pengolahan limbah

tetes tebu. Pencegahan terjadinya ledakan selama penyimpanan tetes dalam tangki dapat

dilakukan dengan mendinginkan tetes pada suhu 35 – 40oC. Di dalam tangki tetes dipasang

pipa-pipa pendingin yang melingkar, air pendingin mengalir di dalam pipa pendingin.

Sehingga dengan demikian, sambil menunggu pengeluaran tetes diharapkan suhu tetes yang

disimpan berkisar 35 – 40oC. Pengawasan suhu tetes terjadwal menjadi sangat penting. Gas

cerobong ketel. Kesempurnaan pembakaran ampas dipengaruhi oleh kualitas ampas sebagai

bahan bakar, jenis dan kondisi dapur + ketel. Namun demikian pembakaran yang sempurna

dapat diidentifikasi dari kualitas gas cerobong (kadar CO2 > 12 %, O2 < 7 dan produksi uap

per kampas > 2 kg). Oleh karena itu kontrol kualitas gas cerobong ketel terjadwal perlu

menjadi perhatian.

Pemanfaatan limbah industri gula melalui pengolahan biologis dan kimiawi

dalam upaya meningkatkan kecernaan secara invitro

Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif adalah limbah dari

perkebunan tebu. Limbah dari tebu ini yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan antara lain

adalah mollases, blotong, dan pucuk tebu. Pucuk tebu adalah limbah tebu yang memiliki

potensi sangat besar. Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan rum__inansia. Salah satu

kelemahan dari pucuk tebu adalah kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk meningkatkan

manfaaat dari pucuk tebu make dilakukan pengolahan. Metode pengolahan yang biasa

digunakan untuk pakan berserat tinggi adalah pengolahan kimiawi. Bahan kimia yang biasa

digunakan adalah urea dan NaOH.

Fraksi limbah tebu lainnya yang masih memiliki nilai gizi yang baik adalah blotong.

Blotong adalah limbah yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan dalam proses

klarifkasi nira. Untuk meningkatkan nilai gizi dari protein pada blotong perlu dilakukan

fermentasi dengan menggunakan kapang. Keseimbangan asam amino diharapkan dapat

ditingkatkan melalui fermentasi.Dengan meningkatnya kualitas protein diharapkan dapat

meningkatkan kecernaan zat-zat makanan. Jenis kapang yang biasa digunakan adalah

Saccharomyces cereviceae, Aspergillus oryzae, Aspergiltus niger.

Penelitian tahap pertama dilakukan terdiri dua bagian yaitu tahap pengolahan pucuk

tebu dan penggunaannya dalam ransum Pucuk tebu akan dilakukan pengolahan dengan

amoniasi, silase, dan hidrolisis dengan NaOH.Untuk menentukan cara pengolahan yang

terbaik terhadap pucuk tebu maka dilakukan penelitian secara in vitro. Perlakuan yang

dicobakan pada perlakuan vitro adalah:

RI = Pucuk tebu tanpa pengolahan ;

R2 = Pucuk tebu diolah secam Amoniasi;

R3 = Pucuk tebu diolah secara Silase ;

R4 = Pucuk tebu diolah secara Hidrolisis dengan NaOH.

Berdasarkan basil penelitian tersebut, ternyata metode pengolahan yang baik untuk

pucuk tebu adalah amoniasi. Untuk menentukan penggunaaanya dalam ransum dilakukan

penelitian dengan rancangan acak lengkap 4 x 5 , tiap perlakuan diulang 5 kali.

Susunan perlakuannya adalah sebagai berikut:

RO = 70% konsentrat +30% rumput lapang

RI = 70% konsentrat + 20% rumput lapang + 10% pucuk tebu teramoniasi

R2 =70% konsentrat + 10% rumput lapang + 20% pucuk tebu teramoniasi

R3 = 70% konsentrat + 0% rumput lapang + 30% pucuk tebu teramoniasi

Penelitian tahap kedua diawali dengan menentukan jenis kapang yang paling baik pada

fermentasi blotong, Susunan perlakuannya sbb:

RO = blotong tanpa pengolahan; Rl= blotong difermentasi dengan Saccharomyces cereviceae ;

R2 = blotong difermentasi dengan Aspergillus oryzae

R3=blotong difermentasi dengan Aspergillus niger

R4 = blotong difermentasi dengan Rhizopus orryzae.

Berdasarkan hasil peneliian tersebut fermentasi yang terbaik adalah menggunakan

yeats Saccharomyces cereviceae. Untuk menentukan penggunaannya adalah ransum dilakukan

penelitian dengan rancangan acak lengkap 5 x 5, susunan perlakuannya adalah sebagai

berikut:

RO = ransom basal

Rl = RO + 5% blotong terfermentasi dari BK ransom

R2 = RO + 10% blotong terfermentasi Bari BK ransum

R3 = RO + 15% blotong terfermentasi dari BK ransum

R4 = RO + 20% blotong terfermentasi dari BK ransum

Berdasarkan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap

KCBK dan KCBO. Hasil nyata ditunjukkan pada parameter NH3 dan VFA. Berdasarkan

kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi menunjukkan hasil yang

lebih baik dibandinngkan perlakuan lainnya dan oleh karena itu, pengolahan yang digunakan

pada pucuk tebu dalam ransom adalah amoniasi. Berdasarkan uji lanjut polinominal ortogonal

menunjukkan bahwa penggunaan pucuk tebu teramoniasi dalam ransum terhadap kecernaan

bahan kering dan dan bahan organik berpola linier dengan persamaan masing-masing Y =

37,739 +0,094X dan 39,361 + 0,114X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan

pucuk tebu dalam ransom semakin tinggi nilai kecernaannya.

Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang terhadap

parameter kecemaan menujukkan tidak berberda nyata. Hasil yang nyata terlihat dari

parameter WA dan NH3. Berdasarkan parameter VFA dan NH3 menujukkan

bahwa penggunaan yeast Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong

memberikan basil yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan kapang lainnya.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan blotong dalam ransom berpengaruh nyata

terhadap kadar NH3. Berdasarkan uji lanjut polinomial ortogonal menunjukkan bahwa

perlakuan memliki respon linear terhadap kadar NH3 dengan persamaannya Y= 4,035

+0,237X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong semakin tinggi

kadar NH3 cairan rumen.

Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan

blotong dalam ransom tidak berbeda nyata terhadap WA dan kecemaan bahan organik ransum

(KCBO). Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa

perlakuan blotong berbeda nyata terhadap kecemaan bahan kering ransum. Kurva responnya

adalah linear dengan persamaan Y=45,964 - 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi kandungan blotong dalam ransum nilai kecemaan bahan keringnya menurun.

Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik yang dijual ke rumah

tangga. Misalnya saja sisa ampas tebu pada musim giling 2008 (279.332 ton) dapat

menghasilkan listrik sekitar 36 ribu MW, atau dapat untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar

60.000 rumah tangga di lingkungan pabrik gula selama 6 bulan (asumsi kebutuhan rumah

tangga 100 KW per bulan) yang menghasilkan rupiah sekitar Rp. 18 Milyard.

Tabel 1. Listrik yang dihasilkan (KW) dari sisa ampas tebu pada musim giling 2008

Produsen Tebu

digiling

(ton)

Ampas

diproduksi

(ton)

Ampas

dibakar

(ton)

Sisa

ampas

(ton)

Setara uap

dihasilkan

(ton)

Setara

listrik

dihasilkan

(MW)

SetaraRp .

Milyard

Jawa 23.626.250 7.615.601 7.423.503 192.098 383.617 25.574 12,79

Sumatra 9.790.911 3.155.967 3.076.360 79.607 139.462 9.297 4,65

Sulawesi 937.995 302.350 294.723 7.627 15.050 1.003 0,50

Indonesia 34.355.156 1.107.3918 10.794.586 279.332 538.129 35.875 17,94

Serat-serat ampas merupakan bahan organik yang terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin.

Bahan organik tersebut dapat diubah menjadi kompos melalui proses biokimia dengan

melibatkan aktivitas mikroba. Oleh karena itu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan

baku kompos. Kompos ampas tebu (KAT) dan kompos dari campuran ampas tebu, blotong

dan abu ketel (KABAK) bagus untuk pemupukan lahan tebu. Ampas tebu juga dapat

digunakan sebagai bahan baku briket arang ampas. Briket tersebut mempunyai kualitas yang

tidak begitu berbeda dengan kualitas cokes. Dalam ukuran kecil, briket dapat digunakan di

dapur rumah tangga. Di samping itu ampas tebu dapat digunakan untuk membuat particle

board. Particle board biasanya digunakan untuk keperluan interior, akustik, insulator, panel

dinding dan meb. blotong. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena

mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong

dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu sebanyak

100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendamen tebu

secara segnifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan kompos dari

ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK).

Tabel 2. Hasil analisis kimia KAT, blotong dan KABAK:

Di dalam

tetes tebu terkandung

total gula sebagai invert antara 60 - 70 %, merupakan bahan baku yang potensial bagi produk-

produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah etanol (alkohol). Bahkan jika diproduksi

dalam skala industri perumahan menjanjikan untuk menambah pendapatan rumah tangga.

Dalam 5 tahun terakhir ini pemerintah sedang giatnya menggalakkan program bahan bakar

yang bersifat renewable. Salah satu diantaranya adalah mencampur etanol ke dalamm BBM

menjadi gasohol sebagai energi alternatif. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia telah

berhasil menguji gasohol sampai E20 (etanol : bensin = 20 : 80) untuk mesin bensin. Di dalam

tetes tebu terkandung sukrosa antara 35 - 45 %, gula invert antara 17 – 35 %, total gula

sebagai invert (TSAI) antara 60 - 70 %. Hal ini merupakan bahan baku yang potensial bagi

Analisis KAT Blotong KABAK

pH 7.32 7.53 6.85

Karbon (C), % 16.63 26.51 26.51

Nitrogen (N), % 1.04 1.04 1.38

Nisbah C/N 16.04 25.62 15.54

Fosfat (P2O5), % 0.421 6.142 3.020

Kalium (K2O), % 0.193 0.485 0.543

Natrium (Na2O), % 0.122 0.082 0.103

Kalsium (Ca), % 2.085 5.785 4.871

Magnesium (Mg), % 0.379 0.419 0.394

Besi (Fe), % 0.251 0.191 0.180

Mangan (Mn), % 0.066 0.115 0.090

produk-produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah sirup invert. Untuk menjadikan

gula dalam tetes menjadi invert semua maka komponen sukrosa harus diinversi terlebih

dahulu. Proses inversi sukrosa menjadi gula invert yang banyak diminati adalah cara

enzimatis karena tidak bersifat korosif terhadap peralatan yang digunakan. Proses inversi

menggunakan ragi roti optimal pada larutan brix tetes 50 %, pH 4,5, suhu inkubasi 60oC

selama 24 jam. Di samping dapat dibuat alkohol atau spiritus dan sirup invert, tetes tebu juga

dapat dipakai sebagai bahan baku L-lysine dan media untuk pembuatan sodium glutamate di

pabrik vitsien. Bahkan tetes tebu saat ini merupakan komoditas eksport non migas yang cukup

menjanjikan.

Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa

diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi.

Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin,

dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang

akan menjadi bahan baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol. Unit

preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang dihasilkan unit

gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi.

Klarifikasi terutama bertujuan untuk menghilangkan beberapa impurities yang bisa

mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih.

Sedangkan unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui

aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch)

atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi

ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi.

Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga

terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian

sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat

kemurnian lebih tinggi (99% ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran

unleaded gasoline, menjadi gasohol.

Modifikasi pabrik gula dan pabrik etanol ini bisa dilakukan dengan memisahkan

aliran nira mentah yang ditampung dari unit gilingan kedalam 2 jalur, yaitu: ke unit preparasi

nira dan selanjutnya dibawa ke unit fermentasi untuk menghasilkan etanol atau dibawa ke

statsiun pengolahan untuk menghasilkan gula. Dalam bentuk diagram sederhana proses

tersebut disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema modifikasi PG untuk menghasilkan gula dan etanol

Produksi etanol secara terpadu dengan pabrik gula lebih disukai karena ada fleksibilitas

produksi, efisiensi energi, dan biaya produksi menjadi lebih rendah.

CO2 dari gas cerobong. Limbah gas cerobong, khususnya gas CO2, dapat

dimanfaatkan kembali untuk keperluan pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2 atau

dimanfaatkan dalam pemurnian defekasi remelt karbonatasi. Dalam 2 tahun terakhir ini proses

defekasi remelt karbonatasi sedang banyak dibicarakan para pakar dan praktisi industri gula

dalam negeri sehubungan dengan harga belerang yang mahal, produksi gula dalam negeri

yang telah menyentuh swa sembada gula dan tuntutan akan gula mutu tinggi. Diprediksi pada

musim giling ditahun yang akan datang terjad kelebihan stok gula dalam negeri sehingga

dikhawatirkan terjadi penyaluran gula berlebih yang macet, untuk diekspor mutu gula dalam

negeri masih kalah bersaing.

Oleh karena itu paling bijak adalah memilih proses defekasi remelt karbonatasi dalam

mengatasi masalah ini. Dengan proses tersebut, di samping dapat mengurangi cemaran

lingkungan, juga dapat memproduksi gula mutu tinggi sehingga dapat mengatasi masalah

pergulaan nasional yang sedang mengalami kendala dalam persaingan global. Dengan

perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut

diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri.

Oleh karena itu penataan kawasan ekologi industri sangat diperlukan dalam rangka

pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dimana konsep

kawasan ekologi industri di Indonesia sebaiknya disesuaikan dengan kondisi geografis dan

yang paling sesuai untuk dikembangkan segera adalah kawasan ekologi industri pertanian atau

agro-industri.

Kawasan ekologi industri dapat diimplementasikan dengan baik jika masing-masing

industri dalam kawasan tersebut dapat saling terbuka dan terhubung dengan baik. Dalam hal

ini diperlukan kesepakatan bersama tentang pengelolaan kawasan industri bersama dengan

tetap berpegang pada prinsip ekonomi dan keselamatan lingkungan. Penerapan kawasan

ekologi industri di Indonesia saat ini masih pada tahap pengembangan dan masih sangat

sedikit kawasan industri yang menerapkannya. Hal ini disebabkan adanya ketakutan industri

untuk membagi informasi tentang bahan baku, proses produksi, dan limbah apa yang

dihasilkan. Industri masih menganggap informasi tersebut dapat disalahgunakan oleh industri

lain untuk meniru produknya. Peran pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen sangat

diperlukan untuk mendorong industri menerapkan ekologi industri. Pemerintah dapat berperan

dalam pembuatan kebijakan peraturan dan pemberian insentif bagi industri yang menerapkan

ekologi industri. Masyarakat sebagai konsumen dapat menekan industri dengan memilih

produk yang dihasilkan dari proses yang ramah lingkungan.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa limbah pengolahan tebu dari pabrik

gula yang terasa mempunyai konotasi mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya

dapat diatasi dengan baik, sehingga memberi manfaat pada lingkungan. Upaya penanganan

limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah

limbah cair yang keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan

dengan cara menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam

atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium kepembuangan. Upaya

pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL)

dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan kontrol pemurnian nira. Upaya

pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk

kompos, ampas untuk energi listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri

etanol, spiritus dan vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira

sebagai pengganti gas SO2. Dengan perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan

limbah pengolahan tebu yang berasal dari pabrik gula tersebut diharapkan program langit biru

dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri. Namun yang terpenting dari

semua pemanfaatan limbah pabrik tersebut adalah mempunyai prinsip menangani masalah

limbah tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada

lingkungan yakni dengan menerapkan konsep ekologi industri. Indonesia telah menerapkan

konsep kawasan ekologi industri meskipun masih sederhana dan perlu dikembangkan lebih

lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan.Y., Susmiadi.A., dan Toharisman.A., 2005, Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Surabaya.

Martoyo, T., B. E. Santoso dan M. Mochtar. 1994. Bahan penjernih alternatif untuk analisis pol nira dan bahan alur proses di pabrik gula. Majalah Penelitian Gula Vol 30 (3 - 4). P3GI. Pasuruan. pp: 1– 5.

Santoso.B.E., 2008., Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan Dan Pemanfaatannya Dalam Upaya Program Langit Biru Dan Bumi Hijau. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan, Indonesia. p: 1-6.

Wantomo.D.S., Christina.M., dan Megasari.P.K., 2007, Kajian Penerapan Ekologi Industri Di Indonesi, STTN BATAN, Yogyakarta.

Widodo. Yusuf., 2007, Pemanfaatan Limbah Industri Gula Melalui Pengolahan Biologis Dan Kimiawi Dalam Upaya Meningkatkan Upaya Kecernaannya Secara Invitro, Lampung University Library, Lampung.

http://www.penelitian_gula.asp.atm.