makalah ekologi hewan meriana

37
MAKALAH EKOLOGI HEWAN ‘’STRUKTUR KOMUNITAS BULU BABI DI PERAIRAN LAUT INDONESIA ’’ Oleh : NAMA : MERIANA NPM : (F1D012039) JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BENGKULU

Upload: meriana

Post on 08-Nov-2015

140 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

serangga terbang unib

TRANSCRIPT

MAKALAH EKOLOGI HEWANSTRUKTUR KOMUNITAS BULU BABI DI PERAIRAN LAUT INDONESIA

Oleh :NAMA : MERIANANPM : (F1D012039)

JURUSAN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS BENGKULU2015

BAB IPendahuluan1.1 Latar belakangIndonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumber daya alam yang sangat produktif baik sebagai sumber kehidupan, sumber pangan, tambang mineral, kawasan rekreasi atau pariwisata (Bengen, 2000). Salah satu bagian dari ekosistem tersebut dan memiliki peranan penting bagi kehidupan laut adalah Bulu babi. Bulu babi yang tergolong fauna invertebrata dapat ditemukan hampir diseluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang surut sampai pada perairan dalam. Bulu babi lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang. Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti zona rataan terumbu karang, daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati (Radjab, 2004). Salah satu lokasi di Bali yang masih memiliki rataan terumbu karang cukup luas adalah Pulau Menjangan. Secara administratif pulau ini terletak di sebuah kawasan taman nasional, yaitu Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan secara fisik termasuk kategori pulau kecil karena merupakan pulau karang yang memiliki luas hanya 175 Ha (TNBB, 2003). Gambaran kondisi lingkungan seperti ini, sangat memungkinkan bagi Bulu babi untuk dapat hidup dan berkembang biak, hal ini didasari oleh karakteristik dari Bulu babi yang umumnya hidup pada substrat berupa karang maupun pecahan karang (rubble). Selain itu, hasil penelitian Yudasmara dan Kariasa (2009) juga menemukan bahwa di pesisir Pulau Menjangan terdapat daerah pertumbuhan alga dengan kepadatan mencapai 33 %, sehingga menunjukkan bahwa komunitas Bulu babi kemungkinan dapat ditemukan pada perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan komunitas Bulu babi, jenis sedimen dan pengaruh faktor fisika kimia perairan terhadap keberadaan Bulu babi di perairan Pulau Menjangan. Bulu babi termasuk anggota dari Filum Echinodermata yang tersebar mulai dari daerah intertidal yang dangkal hingga ke laut dalam (Jeng 1998). Fauna ini umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun dan menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran yang terdiri dari pasir dan pecahan karang (Aziz 1994a). Di dunia terdapat kurang lebih 6000 jenis fauna Echinodermata (Guille et al. 1986, diacu dalam Jeng 1998) dan diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi (Suwignyo et al. 2005) yang terbagi dalam 15 ordo, 46 famili (Aziz 1987; Suwignyo et al. 2005) dan 121 genus (Heinke & Schultz 2006). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe 1971). Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi bulu babi memiliki peran ekologis yang penting tidak hanya bagi bulu babi semata tetapi juga bagi berbagai organisme lain yang ada di dalamnya serta bagi lingkungan di sekitarnya. Kikuchi dan Peres (1977) menyebutkan bahwa secara ekologi padang lamun berfungsi sebagai habitat dari berbagai organisme, sementara secara fisik padang lamun merupakan suatu bentuk tahanan yang mempengaruhi pola aliran arus dengan mereduksi kecepatan arus sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang (Randall 1965, diacu dalam Azkab 2006), sehingga berfungsi sebagai stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). 1.2 Batasan masalah1. Bagaimana struktur komunitas bulu babi?2. Apa tipe habitat pada bulu babi?3. Bagaimana cara mengetahui sebaran spesies bulu babi?4. Bagaimana morfologi pada bulu babi?1.3 Tujuan 1. untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas bulu babi.2. mengkaji karakteristik habitat dan sebaran spasial bulu babi .3. mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi dan menguraikan keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas.4. mengetahui sebaran spasial bulu babi dan eterkaitan antara komunitas dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati suatu perairan sebagai habitatnya.

BAB IIPEMBAHASAN2.1 Morfologi dan Klasifikasi Bulu babi merupakan salah satu hewan yang menjadikan rumput laut (lamun) sebagai pakan secara langsung (herbivore). Bulu babi yang tergolong fauna invertebrata dapat ditemukan hampir diseluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang surut sampai pada perairan dalam. Bulu babi lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang. Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti zona rataan terumbu karang, daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati (Radjab, 2004). Studi mengenai berbagai aspek ekologi bulu babi telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, antara lain studi ekologi komunitas: Echinoidea (McClanahan et al. 1994; Jeng 1998; McClanahan 1998; Larrain et al. 1999; Chao 2000; Paulay 2003; Putchakam & Soncaeng 2004; Lessios 2005), Echinometra mathaei (McClanahan 1995), dan Echinometra viridis (McClanahan 1999); struktur komunitas: Echinoidea (McClanahan & Shafir 1990; Andrew & McDiarmid 1991; Levitan 1992; McClanahan et al. 1996;), Diadema antillarum (Carpenter 1990a, 1990b), dan Echinometra mathaei (Kessing 1992; Prince 1995); ekologi tingkah laku: Echinoidea (Shulman 1990; Ikuo et al. 1999), Strongylocentrotus droebachiensis (Bernstein et al. 1981; Mann et al. 1984; Scheibling & Hamm 1991; Russell 1998), Strongylocentrotus purpuratus (Edwards & Ebert 1991), Paracentrotus lividus (Barnes & Cook 2001), Echinometra mathaei (Black et al. 1982; Black et al. 1984; Neill 1988), Diadema antillarum (Levitan 1991), dan Heliocidaris erythrogramma (Constable 1993); dan studi aktivitas makan: Echinoidea (Valentine & Kenneth 1991; Macia 2000; Alcovero & Mariani 2002), Echinometra mathaei (Hart & Chia 1990), Lytechinus variegatus (Greenway 1995), dan Evechinus chloroticus (Barker et al. 1998). Berbagai aspek ekologi bulu babi yang telah diteliti di Indonesia, antara lain aspek ekologi Echinoidea (Tuwo et al. 1997; Rondo 1992, Radjab 2004), Diadema setosum (Darsono & Aziz 1979), Clypeasteroidae (Radjab 2000a); studi aktivitas makan: Echinoidea (Aziz 1994b, 1999a) dan Tripneustes gratilla (Darsono & Aziz 2000). Selain aspek ekologi, telah dilaporkan juga berbagai studi mengenai aspek biologi: Echinoidea (Sumitro et al. 1992, Aziz 1999a); Tripneustes gratilla (Darsono & Sukarno 1993; Tuwo 1995); pertumbuhan: Diadema setosum (Yusron & Manik 1989), Tripneustes gratilla (Yusron 1991; Radjab 1997); aspek reproduksi: Diadema setosum (Aziz & Darsono 1979, Darsono 1993), Tripneustes gratilla (Andamari et al. 1994; Tuwo & Pelu 1997; Radjab 1998; Baszary et al. 2001), Echinometra mathaei (Lintong, 1998; Lasut et al. 2002), Toxopneustes pileolus (Hayati 1998 & Zulaika 1998), Temnopleurus alexandri (Sugiharto, 1995), dan komposisi kimia gonad Tripneustes gratilla (Chasanah & Andamari 1997). Di Indonesia, beberapa marga bulu babi yang dijumpai di padang lamun antara lain Diadema, Tripneustes, Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra, Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis (Sumitro, et al. 1992 dan Aziz 1994a). Gonad bulu babi dari marga-marga tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai bahan makanan (Darsono 1982; Aziz 1993; Chasanah & Andamari 1997 dan Radjab 1998) dan dapat dijadikan sebagai bahan uji toksikologi lingkungan (Sumitro et al. 1992; Lasut et al. 2002). Selain itu, jenis-jenis seperti Toxopneustes pileolus, Tripneustes gratilla, Diadema setosum, dan Asthenosoma menghasilkan peditoxin, bahan bioaktif yang berguna dalam bidang farmasi (Takei et al. 1991; Nakagawa et al. 2003). Habitat Echinodermata dapat ditemui hampir semua ekosistem laut. Namun ekosistem yang paling tinggi terdapat pada terumbu karang di zona intertidal. Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia pada masing-masing daerah. Nybakken (1987:226) mengemukakan bahwa, Dari semua pantai intertidal, pantai berbatu yang tersusun dari bahan keras merupakan daerah yang paling padat mikroorganismenya dan mempunyai keanekaragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Diketahui bahwa komunitas hewan Echinodermata di alam bebas memiliki ukuran populasi yang tidak sama kerena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi. Secara morfologi, bulu babi terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Bentuk tubuh bulu babi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulu babi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987; Chao 2000; Pechenik 2005; Radjab 2001). Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia

Selain itu, Suwignyo et al. (2005) juga menyebutkan bahwa tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organ pada bulu babi umumnya terletak di dalam tempurung (test sceleton) yang terdiri atas 10 keping pelat ganda, biasanya bersambungan dengan erat, yaitu pelat ambulakra, disamping itu terdapat pelat ambulakra yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri. Di antara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi. Kebanyakan bulu babi mempunyai 2 macam duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal sebagai aristotles lantern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak di sisi aboral. 2.2 Struktur komunitas echinodermata pada zona intertidal di gorontalo Abubakar sidik katili Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo.Penelitian ini dilakukan di kawasan pantai Desa Biluhu Timur Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo dan kawasan pantai Desa Dambalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Setiap lokasi penelitian dibagi menjadi 2 stasiun dan setiap stasiun terdiri atas 4 transek yang masingmasing transek terdiri atas 3 plot pengamatan. Pemilihan lokasi di dasarkan pada karakteristik kawasan, kenampakan secara visual dan perimbangan kemudahan dalam mengakses lokasi yang dipilih. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif, yaitu menggambarkan jenis-jenis Echinodermata. Selain beberapa hal yang telah diuraikan di atas menyangkut struktur komunitas Echinodermata yang terdapat di kedua lokasi peneleitian, faktor lainya yang dapat berpe-ngaruh adalah kondisi lingkungan fisik dan kimia. Sesuai dengan hasil pengukuran faktor lingkungan pada kedua lokasi penelitian terlihat adanya faktor lingkungan dapat memberikan pengaruh struktur komunitas Echinodermata pada kedua lokasi tersebut. Salah satu faktor lingkungan yang diukur adalah suhu. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Desmukh (1992: 42) bahwa perairan pantai daerah tropika biasanya mempunyai kisaran suhu antara 27-290C akan tetapi dapat tinggi dengan berkurangnya ke dalaman air. Faktor lingkungan lainnya adalah salinitas. Adaya karakteristik pantai berupa lamun dan berbatu karang diketahui dapat dapat mengurangi penguapan, sehingga hal tersebut memberkan pengaruh juga pada tinggi rendahnya salinitas. Hal lainnya yang berbengaruh pada salinitas adalah curah hujan, seperti yang dikatakan oleh Nontji (1993:29) bahwa Salinitas perairan pantai menjadi turun karena dipengaruhi oleh curah hujan dan aliran sungai, sebaliknya daerah dengan penguapan yang kuat menyebabkan salinitas meningkat. Untuk faktor lingkungan berupa pH yang terukur pada kedua lokasi penelitian terlihat memiliki pH rata-rata 7-8, derajat pH ini termasuk optimal. Menurut Romimohtarto dkk (2007:90) bahwa pH yang baik mendu-kung kehidupan organisme perairan berkisar antara 5,0-8,0. Berdasarkan uraian tersebut dapat katakan bahwa kisaran faktor lingkungan baik suhu, salinitas maupun pH yang terdapat pada kedua lokasi masih menunjukkan kisaran toleransi yang dapat mendukung kehidupan Echinodermata, meskipun di sisi lain terdapat tekanan-tekanan secara ekologis terhadap kehidupan Echinodermata yang ada di kedua lokasi tersebut. 2.3 Struktur komunitas echinodermata di padang lamun perairan kema sulawesi utara .Struktur komunitasHasil penelitian terhadap komunitas ekhinodermata yang dilakukan pada 56 plot transek kuadrat di padang lamun perairan Kema didapatkan 7898 individu dari 31 jenis ekhinodermata yang terdiri dari 7 jenis kelas Asteroidea, 6 jenis kelas Ophiuroidea, 10 jenis kelas Holothuroidea dan 8 jenis kelas Echinoidea (Tabel 1). Penelitian YUSRON & SUSETIONO (2005) melaporkan di perairan Tanjung Merah didapatkan 21 jenis ekhinodermata dengan metode transek kuadran. Tingkat kekayaan jenis maupun kepadatan individu ekhinodermata di perairan Kema ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan perairan Sulawesi Utara lainnya. Penelitian ekhinodermata di perairan Sulawesi Utara yang dilakukan oleh YUSRON & SUSETIONO (2005), SUPONO & SUSETIONO (2008), SUPONO (2009), YUSRON (2009) ditemukan berkisar antara 20 28 jenis ekhinodermata. Hal ini dikarenakan ukuran frame transek yang lebih besar dan perbedaan karakteristik perairan termasuk tutupan lamun, sehingga bisa mendapatkan lebih banyak jenis dalam satu transek. Pentaceraster alveolus dan Pentaster obtusatus, Holothuria fuscogilva, Euapta godeffroyi, Opheodesoma spectabilis dan Pseudoboletia indiana merupakan jenis-jenis yang jarang ditemukan di tempat lain.Indeks keanekaragaman (H) fauna ekhinodermata di lokasi transek perairan Kema sangat rendah jika dibandingkan dengan di perairan Sulawesi Utara lainnya.Indeks keanekaragaman (H) tertinggi di stasiun transek yang di amati adalah 1,64 (Tabel 2). Dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di tempat lain, hasil ini termasuk rendah. Hasil penelitian di perairan Likupang Timur, Sulawesi Utara memiliki nilai indek keanekaragaman jenis tertinggi sebesar 2,47 (SUPONO 2009). Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah, homogenitas substrat dan kondisi tiga ekosistem penting di daerah pesisir (padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove) sebagai habitat dari fauna perairan. Berpedoman pada DAGET (1976), bahwa jika nila H bekisar antara 1,0 - 2,0 maka nilai keanekaragaman jenis di suatu wilayah perairan termasuk dalam kategori sedang dan jika nilainya kurang dari 1,0 maka nilai keanekaragaman jenisnya rendah. Dengan demikian, keanekaragaman jenis ekhinodermata di perairan Kema termasuk dalam kategori rendah sampai sedang (H= 0-1,64).Nilai indeks kemerataan jenis (J) ekhinodermata yang didapat di perairan Kema berkisar antara 0 - 0,964 (Tabel 2). Nilai indeks kemerataan jenis dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Suatu komunitas bisa dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati angka 1, dan sebaliknya dikatakan tidak stabil jika mempunyai nilai indeks kemerataan jenis yang mendekati angka 0. Sebaran fauna seimbang atau merata apabila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis yang berkisar antara 0,6 - 0,8 (ODUM 1963). Sebaran jenis suatu organisme berkaitan erat dengan dominasi jenis, bila nilai indeks kemerataan jenis kecil (kurang dari 0,5) menggambarkan bahwa ada beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan jenis yang lain. Jika dilihat secara umum, nilai indeks kemerataan jenis ekhinodermata pada lokasi penelitian sebagian cenderung mendekati 1, yang berarti dapat dikatakan bahwa komunitas berada dalam kondisi yang cukup stabil. Hal ini menunjukkan tidak adanya dominansi jenis-jenis tertentu di beberapa stasiun. Sebagian lainnya cenderung mendekati angka 0, bahkan beberapa stasiun memiliki nilai indeks kemerataan jenis 0, sehingga dapat dikatakan bahwa komunitas berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini disebabkan karena pada stasiun yang memiliki nilai indeks kemerataan jenis tersebut tidak ditemukan ekhinodermata. Kehadiran fauna ekhinodermata berhubungan dengan kondisi substrat maupun tutupan lamun di setiap stasiun pengamatan. Beberapa stasiun yang tidak ditemukan kehadiran ekhinodermata bisa disebabkan rendahnya tutupan lamun di stasiun tersebut dan substrat didominasi oleh pasir.Nilai indeks kekayaan jenis (D) pada masing-masing stasiun berkisar antara 0 2,222 (Tabel 2). Artinya bahwa berdasarkan pada kriteria ODUM (1971), maka kekayaan jenis ekhinodermata di perairan Kema termasuk dalam kategori rendah. Secara umum, kekayaan jenis ekhinodermata dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, terutama oleh faktor kualitas lingkungan, baik fisik maupun kimia. Kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan yang diterima oleh lingkungan tersebut. Secara umum, kondisi padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang yang masih baik seharusnya berperan besar dalam menyediakan makanan, tempat perlindungan dan berbagai bentuk kebutuhan hidup lainnya. Kemungkinan lainnya, terjadi degradasi lingkungan perairan yang menyebabkan adanya perubahan sifat fisik maupun kimia perairan yang pada akhirnya mempengaruhi keberadaan ekhinodermata, maupun fauna lainnya. Penelitian mengenai pengaruh polutan di perairan terhadap ekhinodermata telah di lakukan oleh SHLESINGER (1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan yang tercemar oleh fosfat akan menyebabkan menurunnya kehadiran ekhinodermata dari kelompok teripang dan lili laut serta hewan lain yang hidup di dasar perairan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh DAFNI (2008) yang mengamati pengaruh limbah rumah tangga (deterjen) terhadap kelainan ekhinodermata kelompok bulu babi, diantaranya tubuh bulu babi memipih dan duri-duri tubuh rusak. Selain itu juga diperlukan penelitian lebih lanjut yang tidak dilakukan pada penelitian ini yaitu mengukur kualitas air di lokasi penelitian untuk mengetahui apakah ada faktor pencemaran.Tabel 1. Kepadatan dan frekuensi kehadiran jenis ekhinodermata setiap stasiun.Table 1. Density and frequency of occurence of echinoderms at each stations.SpeciesNumber of individual (per 15m2)Number of stationDensity (ind/m2)Frequency of occurence (%)

ASTEROIDEA

Culcita novaeguineae1190.01316.07

Echinaster luzonicus110.0011.79

Linckia laevigata55250.06544.64

Nordoa tuberculata220.0023.57

Pentaceraster alveolatus330.0045.36

Pentaster obtusatus220.0023.57

Protoreaster nodosusOPHIUROIDEA688500.81989.29

Ophiolepis superba210.0021.79

Ophiocoma erinaceus220.0023.57

Ophiocoma dentata110.0011.79

Ophiomastix anulosa2620.0313.57

Macrophiothrix rugosa210.0021.79

Ophiarachna incrasataHOLOTHUROIDEA210.0021.79

Bohadschia argus220.0023.57

Bohadschia marmorata110.0011.79

Euapta godeffroyi7590.08916.07

Holothuria atra1680.01914.29

Holothuria hilla92581.10114.29

Holothuria fuscogilva110.0011.79

Stichopus variegatus1530.0185.36

Synapta maculata107190.12733.93

Holothuria nobilis110.0011.79

Opheodesoma spectabilisECHINOIDEA420.0053.57

Diadema savignyi2.025252.41144.64

Diadema setosum2.953343.51560.71

Echinometra mathaei6770.08012.50

Echinothrix calamaris149210.17737.50

Mespilia globulus2450.0298.93

Pseudoboletia indiana440.0057.14

Toxopneustes pileolus2590.03016.07

Tripneustes gratilla707180.84232.14

Number of Individu7.898

Number of Species31

Kepadatan dan frekuensi kehadiran tiap jenisKepadatan tiap jenis ekhinodermata pada tiap transek bervariasi antara 0,0013 3,51 individu/m2 (Tabel 1). Kepadatan jenis ekhinodermata tertinggi adalah dari kelompok bulu babi Diadema setosum di kelas Echinoidea, yaitu sebesar 3,51 individu/m2 dengan frekuensi kehadiran tiap lokasi transek 60,71 %, sedangkan jenis ekhinodermata yang hampir ditemukan di setiap lokasi transek adalah jenis bintang laut Protoraster nodusus dari kelas Asteroidea. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase frekuensi kehadiran jenis tersebut sebesar 89,29%. CRANDALL et al. (2008) menyatakan bahwa P. nodusus lebih banyak ditemukan di area padang lamun dengan substrat pasir. SUSETIONO (2007) menambahkan bahwa makanan utama jenis P. nodusus adalah lamun, detritus dan rumput laut.Tingginya jumlah individu Diadema setosum per luasan transek pada penelitian ini berhubungan dengan preferensi jenis Diadema terhadap makanan yang melimpah, yaitu lamun. Penelitian dengan menganalisis isi lambung bulu babi ditemukan beberapa jenis lamun seperti jenis Thalassia hemprichi dan Syringodium isoetifolium (MUKAI & NOJIMA 1985), yang menunjukkan kecenderungan preferensi pakan jenis Diadema terhadap lamun (CLINTOCK et al. 1982). Selain Diadema setosum, jenis lain dari kelompok bulu babi yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi jika dibandingkan kelompok lainnya adalah Diadema savignyi (2,41 individu/m2) dan Tripneustes gratilla (0,84 individu/m2). Kedua jenis bulu babi tersebut umumnya ditemukan hidup berkelompok di balik daun lamun atau di antara vegetasi lamun. CHIU (1985) menyatakan bahwa makanan utama kelompok bulu babi yang hidup di perairan dangkal adalah alga dan lamun. Kelompok bulu babi yang hidup di perairan dalam dimana alga bentik sudah tidak bisa tumbuh lagi, umumnya mereka bersifat omnivora (NAGAI & KANEKO 1975), yaitu dengan memakan berbagai jenis cacing, moluska, krustasea, diatom dan sisa alga yang terbawa arus. Sifat hidup berkelompok beberapa jenis bulu babi di padang lamun tidak selalu memberi pengaruh positif terhadap siklus rantai makanan di ekosistem tersebut bagi setiap penyusun rantai makanan tersebut. Kebiasaan jenis bulu babi tertentu untuk hidup mengelompok (agregasi) seperti pada marga Diadema dan Strongulocentrotus ternyata mempengaruhi komunitas alga dan lamun sebagai makanannya.Penelitian PAINE & VADAS (1969) tentang hubungan antara kehadiran bulu babi dengan kelimpahan alga dan lamun terhadap sifat agregasi bulu babi marga Strongulocentrotus menunjukkan bahwa marga tersebut mempunyai efek negatif yang langsung terhadap kelimpahan jenis alga tertentu. Dari penelitian yang dilakukan oleh kedua pakar tersebut di Teluk Mukkaro, Washington ternyata bahwa apabila semua bulu babi disingkirkan pada luas areal tertentu, pada kedalaman antara nol sampai dengan enam meter, maka akan terlihat alga dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada kedalaman sampai dengan delapan meter di mana "kelp" marga Laminaria akan menjadi predominan setelah bulu babi disingkirkan. MOORE (1966) melaporkan bahwa bulu babi jenis Paracentrotus lividus dengan kepadatan 4 individu/m2 dapat mereduksi tutupan alga sebesar 33-50% dan apabila kepadatan bulu babi ini meningkat sampai 11 individu/m2, maka beberapa jenis alga akan habis.2.4 peranan ekologi bulu babi dalam komunitas rumput laut di perairan pesisir kema kabupaten minahasa utara.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas pengambilan makanan bulu babi Salmacis belli cenderung proporsional dengan ukuran tubuhnya. Tidak terdapat variasi berat relatif makanan dalam usus dihubungkan dengan diameter bulu babi. Gambar menunjukkan hubungan Indeks Usus (IU) dengan diameter (D) ambitus cangkan bulu babi. Hubungan kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut: IU=13,45-0,07D (N=120; r=-0,14) Gambar 1. Hubungan Indeks Usus dan Diameter ambitus cangkang bulu babi S. belli di perairan dangkal pantai Kema. Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh ukuran (diameter) cangkang terhadap Indeks Usus (P>0,05) atau dengan kata lain variasi IU bebas dari pengaruh variasi D (r tidak nyata). Hal ini berarti bahwa pengambilan contoh bulu babi pada sembarang ukuran untuk mengkaji periode keaktifan melakukan grazing (feeding periodicity) tidak dipengaruhi oleh efek ukuran. Gambar 2. Periodisitas pengambilan makanan bulu babi belliS. diukur jam 24selama 11.1311.057.808.637.947.7010.2712.157891011121313:0016:0019:0022:001:004:007:0010:00Indeks UsusPeriode (Jam)

berdasarkan Indeks Usus. Gambar 2 menunjukkan osilasi berat relatif IU harian (feeding periodicity) dalam selang waktu 3 jam. Rata-rata berat isi usus >7,79% dan